• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONSTRUKSI ESTETIKA AKHLAK: Suatu desain pendidikan moral generasi muda kontemporer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REKONSTRUKSI ESTETIKA AKHLAK: Suatu desain pendidikan moral generasi muda kontemporer"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI ESTETIKA AKHLAK: Suatu desain

pendidikan moral generasi muda kontemporer

Chairan M. Nur

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh chairan@ar-raniry.ac.id

Abstract

Good behavior (akhlāq) is an action that is acted without any consideration. Good deeds mirror the sincerity of the soul driven from good behaviors. Good behaviorcan not be separated with aesthetics. One action done sincerily yields fineness. Talking in a polite and proper ways evoke lovefrom those who saw it. In reverse, if they speak rudely, people could feel the aura of arrogancy and scary. Those are the strenght of aestahic behaviour that can filter all the deviation of the human being toward misbehavior.

Keywords: Reconstruction, Aesthetics, Moral

Abstrak

Akhlak adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan tanpa ada pertimbangan terlebih dahulu. Perbuatan terpuji mencerminkan ketulusan jiwa yng dimotori oleh akhlak mulia. Berbicara tentang akhlak, tidak dapat terlepas dari estetika (keindahan), karena suatu perbuatan yang dilakukan secara tulus ikhlas akan melahirkan keindahan berbicara dalam bahasa yang santun akan menimbulkan rasa cinta bagi orang yang melihatnya. Sebaliknya, kalau orang berbicara kasar, maka akan terlihat aura penuh arogansi dan menakutkan. Begitulah kekuatan estetika akhlak yang dapat membendung segala bentuk penyimpangan yang mendorong manusia pada perilaku keji.

Kata Kunci: Rekontruksi; Estetika; Akhlak

PENDAHULUAN

Diskursus tentang estetika (keindahan) tidak saja dikaitkan dengan cara pandang seseorang terhadap keindahan seni atau apapun yang terkait dengan penilaian terhadap benda-benda yang ada di seluruh jagat raya, yang dilihat dalam sudut pandang cantik atau jelek. Jika dihubungkan dengan akhlak manusia, maka nilai estetika juga memiliki hubungan yang sangat erat. Akhlak adalah bagian dari seni yang mengandung unsur keindahan. Ketika seseorang bertingkah laku yang baik, berbicara dengan sopan, tidak kasar dan arogan, maka yang terfleksi

(2)

merupakan keindahan bagi orang yang mendengar perbincangan tersebut. Kata-kata yang halus ketika diucapkan akan jauh menyentuh orang yang mendengar dibandingkan orang berbicara kasar.

Islam adalah agama tauhid yang mengajarkan kepada manusia sebuah prinsip keyakinan bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah dan dimintai pertolongan kecuali Allah Yang Maha Esa. Keindahan yang diciptakan oleh Allah Swt., tidak hanya terhenti pada nilai intrinsik atau sifat keindahan fisiknya saja, melainkan memiliki nilai intrinsik kegunaan di luar sifat indahnya itu. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam al-Quran Surat al-Naḥl ayat: 10-15.

Berdasarkan penjelasan di atas, tersirat satu pengertian bahwa Islam sangat memperhatikan masalah keindahan. Keindahan adalah salah satu sifat Allah dan oleh karena itu untuk mencapai keridhaan Allah Swt. manusia dapat menggunakan pendekatan dalam melakukan ibadah kepada-Nya. Dalam Islam nilai atau sifat keindahan yang ditimbulkan harus mengekspresikan nilai ibadah, yakni mencari ridha Allah Swt. dan memiliki manfaat bagi pembentukan nilai-nilai akhlak atau budi pekerti yang mulia. Hukum menciptakan keindahan adalah boleh (mubāh),

terlarang (haram), tercela (makrūḥ), dianjurkan (sunnah), atau sangat dianjurkan (sunnah muakkad).

PEMBAHASAN Estetika Akhlak

Keindahan merupakan salah satu ciri keeasaan, kebesaran, dan kesempurnaan Allah Swt. Oleh sebab itu apa yang diciptakan-Nya merupakan pancaran keindahan-Nya. Manusia dijadikan sebagai makhluk yang paling indah dan paling sempurna. Bumi yang merupakan tempat hidup dan kehidupan manusia juga dihiasi dengan segala keindahan oleh Sang Maha Pencipta. Allah Swt. bukan sekedar menjadikan manusia sebagai makhluk yang terindah tetapi juga mempunyai naluri yang mencintai keindahan. Dalam pembangunan seni, kerangka dasarnya harus menyeluruh dan meliputi aspek-aspek akhlak, iman, matlamat keagamaan dan falsafah kehidupan manusia. Seni harus merupakan satu proses pendidikan yang bersifat positif mengikuti nilai-nilai ajaran Islam, menggerakkan semangat, memimpin batin dan membangunkan akhlak. Artinya seni mestilah bersifat seruan kepada kebajikan dan larangan kepada kemungkaran (al-amr bi al-ma’rūf dan nahy ‘an al-munkar). Seni ditujukan untuk membangun

(3)

akhlak masyarakat, bukan membawa kemungkaran dan juga bukan sebagai perusak akhlak umat. Semua aktivitas kesenian manusia mesti ditundukkan kepada tujuan terakhir yaitu (keridhaan Allah Swt. dan ketakwaan). Semua nilai harus ditundukkan dalam hubungannya serta kesanggupan berserah diri. Seni juga seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan ketakwaan.

Prinsip seni dalam Islam bertujuan untuk mementingkan persoalan akhlak dan kebenaran yang menyentuh aspek-aspek estetika, kemanusiaan, moral dan lainnya. Islam menghubungkan keindahan sebagai nilai yang tergantung pada keseluruhan kesahihan Islam itu sendiri. Dalam Islam, kesenian yang mempunyai nilai tertinggi ialah mendorong ke arah ketakwaan, kebajikan, kesahihan dan budi pekerti yang luhur.

Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu membentuk suatu kesatuan tindakan yang dihayati dalam kenyataan hidup sehari-hari. Itulah yang terdapat dalam diri manusia sebagai fitrah sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna bagi dirinya.

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab. Akhlak merupakan bentuk jamak kata

khuluq atau al-khuluq, yang secara etimologis (bersangkutan dengan cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal usul kata serta perubahan-perubahan dalam bentuk dan makna) berarti sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia. Muchlis menjelaskan bahwa asal kata akhlak adalah dari khilqun: yang mengandung segi-segi persesuaian dengan kata Khāliq dan makhlūq”.1

Beberapa pendapat tokoh filsafat akhlak, di antaranya: menurut Moh. Abdul Aziz Kully, akhlak adalah sifat jiwa yang sudah terlatih demikian kuatnya sehingga mudah bagi yang memilikinya melakukan suatu tindakan tanpa pikir dan direnungkan lagi. Menurut Ibn Maskawaih, akhlak adalah ‘khuluk (akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong (mengajak) untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa pikir dan dipertimbangkan lebih dahulu. Sementara itu menurut Ibn Qayyim, akhlak adalah perangai atau tabiat yaitu ibarat dari suatu sifat batin dan perangai jiwa yang dimiliki oleh semua manusia. Sedangkan menurut al-Ghazālī, akhlak adalah sifat atau bentuk keadaan yang tertanam dalam jiwa, yang dari

(4)

padanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa perlu dipikirkan dan dipertimbangkan lagi.2

Mohammad Daud Ali menuturkan bahwa akhlak mengandung makna yang ideal, tergantung pada pelaksanaan dan penerapan melalui tingkah laku yang mungkin positif dan mungkin negatif, mungkin baik dan mungkin buruk, yang temasuk dalam pengertian positif (baik) adalah segala tingkah laku, tabiat, watak dan perangai yang sifatnya benar,amanah, sabar, pemaaf, pemurah rendah hati dan lain-lain. Sedang yang termasuk ke dalam pengertian akhlak negatif (buruk) adalah semua tingkah laku, tabiat, watak, perangai sombong, dendam, dengki, khianat dan lain-lain yang merupakan sifat buruk.3

Dari perspektif lain, akhlak dapat juga disebut kepribadian, yaitu berasal dari kata personare (Yunani) yang berarti menyuarakan melalui alat. Di zaman Yunani kuno para pemain sandiwara bercakap-cakap atau berdialog dengan menggunakan semacam penutup muka (topeng) yang dinamakan persona. Dari kata ini kemudian dipindahkan ke bahasa Inggris menjadi personality

(kepribadian).4

Dari pengertian di atas diketahui bahwa akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu tidak lahir berupa perbuatan baik yang sering disebut akhlak tercela sesuai dengan pembinaannya. Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrah yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari suatu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.

Pertanyaan selanjutnya muncul adalah bagaimana keindahan dapat didefinisikan? Memakai istilah logikawan, apakah genus dan diferensianya?

2 Endang Saifudin Ansari, Wawasan Islam, Cet.III, Bandung: Pelajar, 1982, hal. 26 dan

Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999, hal.162.

3 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1998, hal. 347. 4 Lihat Jalaluddin, Teologi Pendidikan, cet. Ke-III, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, hal.

191. Sedangkan perbuatan manusia itu sendiri adalah hasil dari suatu proses psikologis yang banyak seluk beluknya. Lihat W. Poespoprodjo, Filsafat moral, cet.I, Bandung: Pustaka Grafika, 1999, hal. 86.

(5)

Apakah termasuk kategori kuantitas (al-kam)? Ataukah kualitas (al-kayf), atau mungkin relasi (iḍāfah), afeksi (infi’ah), atau subtansi (jawhar). Dari sudut pandang kimia, dari unsur apa keindahan terbuat? Mungkinkah menentukan unsur-unsur keindahan sebagaimana menentukan rumusan dari setiap benda material untuk analisis kimia?

Sampai saat ini tidak seorang pun yang dapat menjawab dengan pasti serentetan pertanyaan di atas. Bahkan sebagian orang berkeyakinan, pertanyaan-pertanyaan tersebut sama sekali tidak memiliki jawaban. Dengan keyakinan, bahwa hakikat tertinggi alam semesta ini tidak dapat dipertanyakan dengan kata tanya “apa”. Demikian pula keindahan tidak dapat didefinisikan. Ulama berpendapat bahwa kefasihan (al-faṣāḥah) yang tergolong dalam kategori keindahan, pada hakikatnya tidak dapat didefinisikan dengan definisi yang sesungguhnya. Karena keindahakn adalah sesuatu yang dapat dimengerti, namun tidak dapat digambarkan.

Di dunia ini, manusia mempunyai banyak objek yang dapat dirasa namun tidak dapat didefinisikan. Di antaranya keindahan (al-jamāl). Menurut Plato, akhlak termasuk kategori estetik. Plato menyebut definisi keindahan, yang intinya “keserasian benda partikuler dengan yang universal”. Sebagaimana bila jasmani manusia serasi antara satu dengan lainnya, akan nampak indah dan menarik. Demikian pula ruhani manusia yang dipelihara dan dididik secara seimbang antara potensi-potensinya, diberikan hak-haknya secara profesional. Maka ruhani pun akan menjadi indah dan mulia.

Menurut Plato, keindahan ruhani adalah keseimbangan antara akhlak dan potensi kekuatannya. Untuk menyelaraskannya tergantung pada diri manusia sendiri. Berbeda dengan bentuk zahir manusia yang keindahan maupun keburukannya tidak tergantung pada pilihan manusia. Melainkan telah ditentukan oleh kehendak Allah Swt. sejak dalam perut ibu. Hingga akhirnya lahir ke dunia ini dengan bentuk jasmani yang telah ditentukan.

Berbeda dengan ruhani maupun bentuk batinnya. Dunia ini, menurut Plato, adalah tempat untuk membangun dan membentuk ruhani sesuai dengan pilihan manusia. Mulla Sadra mengatakan bahwa, “Dunia bagi ruhani ibarat perut ibu bagi janin”. Di tangan manusialah kebaikan maupun kejelekan ruhaninya terbentuk.5

5Murtadha Muthahhari, Filsafat Moral Islam: Kritik Atas Berbagai Pandangan Moral, penerj.

(6)

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah.6

Memang benar bahwa Allah Yang Maha Bijaksana telah menciptakan semua jenis binatang dilengkapi dengan naluri dan kekuatan yang sesuai dengan kehidupannya masing-masing di bumi. Akan tetapi manusia, kendati mempunyai potensi mencapai kesempurnaan ruhani, tapi diciptakan sebagai makhluk yang lemah pada sisi naluri dan fitrah dasar yang diperlukan dalam kehidupan di alam fisik ini. Namun, untuk mengimbangi kekurangan dan menambal kelemahannya, manusia dibekali alat yang dengannya dapat memilih tindakan yang sesuai sebagai makhluk terhormat dan bertanggung jawab.

Kewajiban pendidik adalah menolong manusia dalam menyempurnakan diri serta membebaskannya dari belenggu kelemahan alaminya. Yang demikian itulah maksud sabda Rasulullah yang artinya, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” atau, menyempurnakan sifat-sifat terpuji yang menjamin kebahagiaan manusia. Karena manusia memulai perjalanan hidupnya sebagai orang lemah, namun dengan pendidikan yang benar didasari oleh nilai-nilai akhlak luhur dan dengan anugerah kehendak dan berpikir, manusia dapat melewati kelemahan menuju kekuatan dan bertolak dari kekurangan menuju kesempurnaan yang mungkin dapat ia capai.

Rekontruksi Keindahan Akhlak untuk Mengatasi Krisis Spiritualitas

Negara Indonesia saat ini sedang dilanda krisis moral yang sangat serius, secara kualitatif terlihat bahwa pemerintah selaku penyelenggara negara dan rakyat pada umumnya kurang menyadari betapa pentingnya eksistensi moralitas bagi tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Abuddin Nata menggambarkan bahwa gejala keruntuhan moral dewasa ini sudah benar-benar mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong, dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal, dan saling merugikan. Banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, menipu, mengambil hak orang lain sesuka hati, dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.7

6QS. An-Nisa:28.

7 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,

(7)

Apabila dicermati lebih mendalam akar masalahnya sebenarnya ada suatu masalah yang sangat krusial namun kurang mendapat perhatian yang serius bahkan cenderung diabaikan oleh bangsa ini, yaitu masalah dekadensi moral, sebab berbagai masalah kejahatan tidak dapat dilepaskan dengan masalah moral. Ketika tingkat moralitasnya rendah, maka sangat berpotensi untuk melakukan kejahatan, namun sebaliknya ketika tingkat moralitasnya tinggi, maka seseorang cenderung akan melakukan kebaikan (berbuat baik).

Moralitas dalam pandangan Islam tidak hanya dipandang secara horizontal. Sebagai contoh seseorang yang mampu membangun relasi yang baik antar sesama, kemudian sudah langsung dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang yang bermoral. Namun moralitas dalam pandangan Islam juga harus dipandang secara vertikal. Jadi untuk menilai tingkat moralitas seseorang juga harus dilihat dari kedua sisi tersebut. Tetapi yang justru lebih menentukan adalah seberapa baik hubungan vertikalnya, karena apabila hal ini baik maka secara otomatis keseluruhan prilaku dalam hubungan horizontalnya juga akan baik.

Untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi dari akibat rendahnya moralitas bangsa, yang dampaknya telah kita rasakan dengan maraknya berbagai tindak kejahatan dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena kalaupun terus menerus kita membuat peraturan perundang-undangan baru, sangat potensial mengakibatkan adanya kriminalisasi. Jika kehidupan moral bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetap dibiarkan seperti sekarang ini, tanpa ada perhatian, pembenahan, dan perbaikan maka sampai kapan pun masalah-masalah kejahatan tidak akan pernah terselesaikan.

Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi akhlak yang mulia. Dalam salah satu keterangan hadisnya dengan tegas Rasulullah menyatakan bahwa tujuan utama beliau diutus kepada manusia adalah untuk menyempurnakan akhlak. Dari sini dapat dimengerti bahwa akhlak yang mulia merupakan sebuah misi kerasulan yang sangat suci dan abadi. Bukan hanya akhlak mulia kepada Allah Swt. yang diharapkan Islam atas umatnya, namun juga yang mengatur kehidupan sosial mereka dengan sesama. Akhlak mulia merupakan sebuah entitas yang bersifat universal.8

(8)

Manusia memiliki kemungkinan untuk mengalami perubahan-perubahan akhlak, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syari’at, diperlukan adanya nasehat-nasehat dan berbagai macam ajaran tentang adanya sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan manusia dengan akalnya untuk memilih dam membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Dari sini pula pendidikan memiliki arti yang penting, demikian pula lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlak.

Akhlak tidak lepas dari akidah dan syari’ah. Oleh karena itu akhlak merupakan pola tingkah laku yang mengakumulasikan aspek keyakinan dan ketaatan sehingga tergambar dalam perilaku yang baik. Jadi pada hakikatnya budi pekerti (khuluq) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan, mudah tanpa dibuat-buat, dan tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut pandangan syari’at dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti mulia dan sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela.9

Pada saat ini, pengaruh modernisasi dapat memiliki imbas terhadap akhlak atau sikap manusia kontemporer. Pengaruh tersebut ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. Namun, pengaruh negatiflah yang lebih mendominasi efeknya terhadap akhlak manusia. Hal ini terlihat jelas pada etika, moral maupun sikap yang diperlihatkan oleh manusia dewasa saat ini.

Etika merupakan ilmu atau refleksi sistematika mengenai moral. Dalam arti yang luas etika berarti keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia menjalankan kehidupannya. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat penulis rangkum beberapa catatan mengenai moral dan etika. Pertama, bahwa kedua-duanya moral dan etika adalah membicarakan tentang kebiasaan manusia yang didasarkan pada nilai baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika berarti ilmu yang membahas tentang baik atau buruk, hak dan kewajiban moral, kumpulan nilai, atau tentang nilai benar dan salah dalam

(9)

suatu komunitas manusia.10

Etika sama-sama membicarakan tentang nilai baik dan buruk perbuatan manusia, hanya saja moral lebih mengarah kepada tindakan atau perbuatan sedangkan etika lebih mengarah kepada cara bertindak (filsafat moral).

Kedua, bahwa etika senantiasa berpedoman kepada adat kebiasaan yang berlaku di

masyarakat. Ketiga, bahwa moral merupakan penentuan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai yang dinyatakan benar-salah, baik-buruk, layak atau tidak layak, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan di masyarakat.

Sumber utama nilai-nilai moral dalam Islam adalah nilai-nilai yang berasaskan pada nilai ilahiyah (wahyu Allah) yaitu al-Qur’an dan hadis Nabi. Selain itu sumber nilai-nilai moral adalah bersumber dari ijtihad para ulama, adat-istiadat, peraturan atau undang-undang yang dibuat atau disepakati oleh sekelompok manusia. Ulama-ulama pada masa lampau, dalam menyampaikan pesan-pesan moral (agama) tidak terbatas pada teks suci (al-Qur’an), hadis nabi, dan kitab-kitab akhlak, akan tetapi juga melalui karya sastra. Para filosof dan ulama menggunakan media syair atau puisi untuk menyampaikan nilai-nilai ajaran Islam (moral). Salah satu tokoh Islam yang menggunakan media syair atau puisi untuk menyampaikan nilai-nilai ajaran Islam (moral) adalah Ibn Miskawaih.

Moral dan estetika mempunyai hubungan yang saling terkait antara satu sama lain. Moral berhubungan dengan nilai baik dan buruk, sedang estetika berhubungan dengan kehalusan, keselarasan, dan keindahan. Moral dan estetika saling berhubungan. Moral merupakan keselarasan, kehalusan dalam kelakuan, kepekaaan, dan kesopanan. Makin halus, sopan, dan indah dalam berperilaku, maka seseorang dalam hidupnya makin selaras (semakin bermoral). Demikian pula sebaliknya makin kasar perilaku seseorang dalam masyarakat, maka ia semakin tidak selaras (tidak bermoral).

Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sehahteralah lahir dan batinnya, apabila akhlaknya rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya.

10Kamus Besar bahasa Indonesia, Kamus Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Jakarta: Balai

(10)

Kejayaan seseorang terletak pada akhlaknya yang baik, akhlak yang baik selalu membuat seseorang menjadi aman, tenang, dan tidak adanya perbuatan yang tercela. Seseorang yang berakhlak mulia selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dia melakukan kewajiban terhadap dirinya sendiri menjadi hak dirinya, terhadap Tuhan yang menjadi hak Tuhannya, terhadap makhluk lain, dan terhadap sesama manusia.

Seseorang yang berakhlak buruk menjadi sorotan bagi sesamanya, contoh: melanggar norma-norma yang berlaku di kehidupan, penuh dengan sifat-sifat tercela, tidak melaksanakan kewajiban yang seharusnya dikerjakan secara objektif, maka yang demikian ini menyebabkan kerusakan susunan sistem lingkungan, sama halnya dengan anggota tubuh yang terkena penyakit.

Manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah. Di dalam kehidupannya ada masalah material (lahiriah), spiritual (batiniah), dan akhlak. Apabila seseorang tidak mempunyai rohani maka orang itu mati, sebaliknya apabila tidak mempunyai jasmani maka tidak dapat disebut manusia. Sejalan dengan kehidupan tersebut, problema yang bersifat material, tidak pernah puas-puasnya. Jika sudah mendapatkan sesuatu, ia ingin mendapatkan yang lainnya. Hal ini wajar, namun dapat dinetralisasikan jika dasar kehidupannya kembali kepada spiritual, sebab jiwalah yang mempunyai kebahagiaan hakiki.

Dasar hidup manusia ialah ingin mencari kebahagiaan. Secara intrinsik mencari kebahagiaan yang menyeluruh dan kebaikan yang tertinggi.Tujuan setiap manusia adalah mencapai kebahagiaan yang tertinggi, karena itu Allah memerintahkan untuk berlomba-lomba memcapai kebahagiaan dunia dan akhirat.Untuk mencapai kebahagiaan, manusia mencari jalan menuju ke tempat tujuan, yaitu kebahagiaan dengan segala upaya dan sarana yang ada pada masing-masing manusia yang telah dianugerahkan oleh Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Sesuai dengan fitrah manusia ia mencari jalan menuju kebahagiaan yang universal pada masa kini dan nanti, maka Allah yang memberikan apa yang dicari oleh manusia, yaitu sesuatu jalan yang lurus.

Mengenai masalah hubungan antara kesempurnaan dan kebahagiaan. Apakah kesempurnaan berbeda dengan kebahagiaan, ataukah sejenis? Dalam hal ini, Kant Mengungkapkan bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan adalah dua kualitas yang berbeda, intuisi mengajak manusia kepada kesempurnaan bukan kepada kebahagiaan. Menurutnya, satu-satunya kebaikan di dunia ini adalah

(11)

kehendak baik yang secara mutlak taat pada instuisi. Inilah kesempurnaan yang diharapkan, apakah kesempurnaan ini membawa kesebahagiaan atau kedudukan. Karena yang penting bukanlah kebahagiaan melainkan kewajiban menjalankan perintah intuisi. Intuisi tidak memperdulikan hasil dari berbagai tindakan, maka bagaimana pun perintahnya harus dilaksanakan.

Akhlak kedudukannya lebih tinggi dari kebahagiaan. Karena kebahagiaan berarti kelezatan, meski tidak semua kelezatan adalah kebahagiaan. Kelezatan yang berakibat pada kepahitan bukanlah kebahagiaan.Kebahagiaan hakiki adalah sesuatu yang melahirkan kesenangan ruhani maupun jasmani, duniawi maupun ukhrawi, lawannya kesengsaraan. Di sini harus diperhatikan sejumlah kelezatan dan kepahitan. Kelezatan yang harus dikotori dengan kepahitan dan kesengsaraan itulah yang disebut dengan kebahagiaan, karena kebahagian berarti kelezatan murni. Namun, menurut Kant, intuisi tidak membahas kebahagiaan, melainkan

menyuruh pada kesempurnaan, meski membawa kepahitan dan

kesengsaraan.Karena manusia tidak mungkin menyeberangi hewaninya untuk sampai pada ketinggian alam mulakut, melainkan dengan kesempurnaan. Oleh sebab itu, Kant memisahkan antara kebahagiaan dengan kesempurnaan. Pandangan ini sampai sekarang masih dianut oleh para filosof Barat.

Berbeda dengan pandangan Kant yang memisahkan antara keduanya. Meskipun, ia mengakui kesulitan memisahkan antara akhlak yang menempatkan penugasan (taklīf) di atas keindahan dengan kesempurnaan di atas kebahagiaan. Filosof muslim memandang kebahagian sebagai dasar utama akhlak yang tidak dapat diabaikan. Kebahagiaan merupakan poin yang penting yang tidak dapat mungkin digugurkan dalam menimba akhlak, sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Farabi dalam bukunya Taḥṣīl as-Sa’ādah.11

SIMPULAN

Pada dasarnya akhlak (moral) dan estetika mempunyai hubungan yang harmonis, keduanya sama-sama membahas tentang nilai. Bedanya yang satu (akhlak) berhubungan dengan nilai baik dan buruknya perilaku seseorang, sedang yang satunya lagi (estetika) berhubungan dengan kehalusan, keselarasan, dan keindahan.

11Murtadha Muthahhari, Filsafat Moral Islam: Kritik Atas Berbagai Pandangan Moral, penerj.

(12)

Diskursus tentang estetika akhlak sangat berkaitan dengan upaya memanifestasikan seni dalam bertingkah laku. Melakukan perbuatan baik merupakan cerminan dari dorongan jiwa yang terbimbing pada jalan kebenaran. Semua kebaikan menyiratkan keindahan, karena prilaku terpuji akan diberikan apresiasi oleh semua manusia yang ada di muka bumi.

Akhlak adalah suatu sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian sehingga muncullah berbagai macam perbuatan spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran sebelumnya. Tidak ada seorangpun yang tidak mendukung tindakan mulia yang dilakukan dengan penuh ketulusan.

Dalam kehidupan sosial, budaya dan agama yang terlihat adalah tatanan hidup penuh kebahagiaan dan keindahan, semua itu terilhami dari akhlak yang mulia. Dengan estetika akhlak akan lahir generasi muda yang penuh optimism, disiplin, pelerja keras, dalam bingkai keserasian dan harmonisasi antara kebutuhan duniawi dan ukrawi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1998. Ansari, Endang Saifudin, Wawasan Islam, Cet.III, Bandung: Pelajar, 1982. Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. Bisri, Adib dan Munawir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif,

1999.

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, cet. Ke-III, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Jakarta:

Balai Pustaka, 2002.

Muchlis, Pelajaran Aqidah Akhlak, Bandung: Amirco, 1994.

Muthahhari, Murtadha, Filsafat Moral Islam: Kritik Atas Berbagai Pandangan Moral, terj. Muhammad Babul Ulum & Edi Hendri, Jakarta: Al-Huda, 2004.

Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, cet. ke-III, Jakarta: Prenada Media Group, 2003.

Poespoprodjo ,W., Filsafat moral, cet.I, Bandung: Pustaka Grafika, 1999.

Soffandi, Wawan Djunaedi, Akhlak Seorang Muslim, cet. I, Jakarta: Mustaqim, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Proses optimasi dilakukan dengan melakukan aktifitas drive test untuk mengambil sample kondisinya sinyal untuk di area Kampus Unjani dengan menggunakan software

Sementara itu, pada level discourse practice—yang merupakan dimensi yang menjembatani pengaruh sosiokultur terhadap pembentukan sebuah wacana—peneliti menemukan bahwa

Di antara muridnya Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Fatah (Raden Fatah, putera Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit) yang kemudian menjadi

Dua tahun sebelumnya Oersted telah menemukan bahwa jarum magnit kompas biasa dapat beringsut jika arus listrik dialirkan dalam kawat yang tidak berjauhan.. Ini

Pelaksanaan praktik dilaksanakan dengan jadwal mengajar jam pelajaran bervariasi dalam seminggu untuk masing-masing kelas dengan membuat RPP (Rencana Pelaksanaan

Fokus masalah yang dipilih penulis dalam skripsi ini adalah ” Analisa Identitas Logo Visit Indonesia Year 2008/2009 (sebuah analisis semiotika)” Penelitian ini berfokus

Dengan menggunakan analisis jaringan kerja metode PERT dan CPM dapat dilakukan upaya percepatan durasi proyek dengan mempercepat pekerjaan-pekerjaan yang berada

Dengan memperhatikan seluruh indikator evaluasi tingkat kepuasan secara total, maka dapat diketahui bahwa materi, cara penyuluhan, manfaat penyuluhan dan