• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. usaha-usaha pariwisata di daerah digolongkan atas : 1. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata yang dikelompokkan atas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. usaha-usaha pariwisata di daerah digolongkan atas : 1. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata yang dikelompokkan atas"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekowisata

Menurut undang-undang RI No. 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan, usaha-usaha pariwisata di daerah digolongkan atas :

1. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata yang dikelompokkan atas a. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam

b. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya c. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus 2. Usaha sarana pariwisata yang dikelompokkan atas :

a. Penyediaan akomodasi

b. Penyediaan makanan dan minuman c. Penyediaan angkutan wisata

Salah satu bentuk wisata alam yang saat ini berkembang adalah ekowisata. Ekowisata merupakan suatu konsep bentuk wisata yang sangat erat kaitannya dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi pengembangannya juga memakai prinsip konservasi, dengan demikian ekowisata ini akan sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Bahkan dengan ekowisata, pelestarian alam dapat ditingkatan kualitasnya karena desakan dan tuntutan dari para eco-traveler. Menurut Fandeli dan Mukhlison (2000) bahwa ekowisata lebih populer dan banyak dipergunakan jika dibandingkan dengan terjemahan yang seharusnya dari istilah ecotourism yaitu ekoturisme.

(2)

masyarakat lokal. Oleh karena itu, setiap kegiatan ekowisata harus mengikuti prinsip – prinsip pengelolaan yang berkelanjutan seperti: (1) berbasis pada wisata alam, (2) menekankan pada kegiatan konservasi, (3) mengacu pada pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, (4) berkaitan dengan kegiatan pengembangan pendidikan, (5) mengakomodasikan budaya lokal, (6) memberi manfaat pada ekonomi lokal. Kegiatan ekowisata secara langsung maupun tidak langsung mengarahkan wisatawan untuk menghargai dan mencintai alam serta budaya lokal, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian para wisatawan untuk turut memelihara kelestarian alam. Agar obyek wisata tetap lestari perlu adanya pengelolaan dengan melibatkan stakeholders terkait seperti pemerintah, masyarakat, swasta (industri pariwisata), peneliti, ilmuwan dan LSM. Pengembangan ekowisata selain sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan juga diharapkan dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat lokal (Hidayati dkk., 2003).

Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam pengembangan ekowisata kawasan hutan tropika, yang tersebar di kepulauan Indonesia.. Ekowisata diberi batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat serta bagi kelestarian sumberdaya dan berkelanjutan. Pengelolaan hutan produksi yang dimulai dengan penanaman hingga penebangan dan angkutan merupakan atraksi wisata. Hutan produksi di Jawa maupun di luar Jawa mempunyai daya tarik yang sama. Wisatawan mancanegara akan memperoleh suguhan atraksi alam dan buatan yang sangat berbeda dengan kegiatan semacam di negaranya. Pengembangan ekowisata dan wisata minat khusus dalam kawasan hutan akan

(3)

dapat menjamin tetap terpeliharanya hutan di samping pendapatan yang secara ekonomi sangat penting dalam pemulihan krisis ekonomi. Bila dikembangkan, ekowisata akan memperpanjang length of stay wisatawan dan memperkecil kebocoran devisa dari wisatawan mancanegara. Pengembangan ekowisata juga akan menyerap tenaga kerja yang besar dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemerintah daerah. Di dalam pengembangan kepariwisataan alam juga memerlukan koordinasi dan integrasi yang bagus bagi seluruh stakeholders. Demikian pula lembaga pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan harus sejalan dengan seluruh pelaku pariwisata (Fandeli dan Mukhlison, 2000).

Damanik dan Weber (2006) menyatakan bahwa dari segi pasar ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya – upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya, sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pariwisata secara ramah lingkungan, dan disini kegiatan ini akan bertanggungjawab terhadap kelestarian alam dan kesejahterahaan masyarakat lokal serta kelestarian alam akan lebih ditekankan dan itu merupakan ciri khas ekowisata.

Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, maka konservasi merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang. Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya

(4)

menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar (Fandeli dan Mukhlison, 2000).

Peluang pengembangan ekowisata ditunjang pelaksanaan otonomi daerah yang telah mulai diberlakukan sejak tahun 2000. Diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan kesempatan yang sangat besar bagi pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi daerah. Pengembangan ekowisata dapat optimal tergantung tiga faktor kunci yaitu: faktor internal, eksternal dan struktural. Faktor internal antara lain meliputi potensi daerah, pengetahuan operator wisata tentang keadaan daerah baik budaya maupun alamnya serta pengetahuan tentang pelestarian lingkungan dan partisipasi penduduk lokal terhadap pengelolaan ekowisata. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar yang meliputi kesadaran wisatawan akan kelestarian lingkungan, kegiatan penelitian dan pendidikan di lokasi ekowisata yang memberi kontribusi terhadap kelestarian lingkungan dan penduduk lokal. Adapun faktor struktural adalah berkaitan dengan kelembagaan, kebijakan, perundangan dan peraturan tentang pengelolaan ekowisata baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Apabila pengembangan dan pengelolaan ekowisata sesuai dengan pengelolaan yang diharapkan, maka ekowisata yang dikembangkan oleh daerah akan menjadi ekowisata yang berkelanjutan yang mengikuti enam prinsip dasar ekowisata.

(5)

Namun jika pengelolaan ekowisata terdapat banyak hambatan sehingga pengelolaan yang ideal tidak dapat dilakukan maka pengembangan ekowisata akan kurang optimal dan akan merupakan pariwisata massal yang konvensional yang berbasis alam (Fandeli dan Mukhlison, 2000).

Kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai kawasan wisata yang berbasis lingkungan adalah kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan hutan lindung melalui kegiatan wisata alam terbatas, serta hutan produksi yang berfungsi sebagai wana wisata. Kebijakan umum pengembangan hutan untuk ekowisata saat ini mengacu pada kebijakan pariwisata alam yang berlandaskan UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 18 dan No. 13 tahun 1994 tentang pengembangan pariwisata alam dilakukan dalam kerangka mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Hidayati dkk., 2003).

Ekowisata pada mulanya hanya bercirikan bergaul langsung dengan alam untuk mengenali dan menikmati. Meningkatnya kesadaran manusia akan meningkatnya kerusakan/perusakan alam oleh ulah manusia sendiri telah menimbulkan rasa cinta alam pada semua anggota masyarakat dan keinginan untuk sekedar menikmati telah berkembang menjadi memelihara dan menyayangi, yang berarti mengkonservasi secara lengkap. Perkembangan tersebut terutama terjadi dalam dekade terakhir yang diperkuat oleh Deklarasi Rio de Janeiro pada tahun 1992. Ciri-ciri ekowisata sekarang menjadi mengandung unsur utama yaitu konservasi, edukasi untuk berperan serta dan pemberdayaan masyarakat setempat. Dengan demikian maka pengusahaan ekowisata dalam kawasan hutan harus

(6)

bersasaran: melestarikan hutan dan kawasannya, mendidik semua orang untuk ikut melestarikan hutan yang dimaksud, baik itu pengunjung, karyawan perusahaan sendiri sampai ke masyarakat yang ada di hutan dan disekitarnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat agar dengan demikian tidak mengganggu hutan (Fandeli dan Mukhlison, 2000).

Perum Perhutani Unit II Jawa Timur

Perum Perhutani adalah sebuah BUMN lingkup kehutanan yang didirikan berdasarkan PP 30/2003. Namun demikian institusi Perhutani sudah dibentuk sejak tahun 1972 yang merupakan kelanjutan pengelolaan hutan di Pulau Jawa sejak jaman Belanda, sehingga Perhutani adalah lembaga yang sudah tua dan berpengalaman. Perum Perhutani memiliki tugas mengelola hutan di Pulau Jawa dan Madura seluas 1.767.304 Ha hutan produksi dan 658.902 Ha hutan lindung. Luas kawasan hutan Negara di Pulau Jawa 3.135.800 Ha, ± 23,4% dari luas wilayah daratan Pulau Jawa (13.411.000 Ha) (Direksi Perum Perhutani, 2007).

Secara struktural Perum Perhutani di bawah Kementerian Negara BUMN dengan Pembina Teknis Departemen Kehutanan. Kantor pusat Perum Perhutani berkedudukan di DKI Jakarta. Perum Perhutani dipimpin oleh jajaran direksi yang disebut BOD (Board of Director) yang terdiri atas 5 posisi, yaitu : direktur utama, direktur umum, direktur keuangan, direktur produksi dan direktur pemasaran. Perum Perhutani terbagi atas 3 wilayah kerja atau unit, yang terdiri dari :

1. Unit I Jawa Tengah berkedudukan di Semarang 2. Unit II Jawa Timur berkedudukan di Surabaya 3. Unit III Jawa Barat berkedudukan di Bandung

(7)

Masing-masing unit tersebut dipimpin oleh Kanit (Kepala Unit). Setiap unit di Perum Perhutani terbagi atas beberapa KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan). Pada Unit II Jawa Timur terdiri dari 23 KPH. Setiap KPH dipimpin oleh seorang KKPH (Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang berpangkat administratur (Perum Perhutani,1993).

Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Barat dan Banten seluas 2.426.206 hektar yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Wilayah Kerja Perum Perhutani

Unit Kerja Provinsi Hutan Produksi (Ha) Hutan Lindung (Ha) Total Luas (Ha) Unit I Jawa Tengah 546.290 84.430 630.720 Unit II Jawa Timur 809.959 326.520 1.136.479 Unit III Jawa Barat 349.649

61.406 230.708 17.244 580.357 78.650 Jumlah 1.767.304 658.902 2.426.206

Luas tersebut tidak termasuk kawasan hutan suaka alam dan wisata yang dikelola oleh Ditjen PHPA Departemen Kehutanan. Berdasarkan amanat UU nomor 41 tentang Kehutanan, luas kawasan hutan minimal yang disisakan adalah 30% dari luas daratan. Luasan hutan dibanding daratan yang ada saat ini adalah sekitar 24% sehingga perlu dipertahankan keberadaannya sehingga dapat berperan mempertahankan daya dukung lingkungan (Perum Perhutani, 2009).

Sebagai perusahaan umum kehutanan negara yang bergerak di bidang kehutanan yang memperoleh hak untuk mengelola kawasan hutan produksi untuk menghasilkan hasil hutan kayu maupun non kayu sesuai SK 807/KPTS-II/Dir/2007, tgl 4 September 2007 memiliki luas areal 31.221,8 Ha yang terletak

(8)

di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan SK tersebut selanjutnya perusahaan melakukan seluruh rangkaian kegiatan pembangunan hutan sebagai bagian dari pembangunan dan pengelolaan di bidang kehutanan Indonesia (Perum Perhutani Unit II Jatim Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun, 2009).

Kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani secara umum menurut Perum Perhutani, (2009) antara lain:

1. Perencanaan hutan, meliputi : Rencana Umum Perusahaan (RUP), Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH), Rencana Lima Tahun Perusahaan (RLTP), Rencana Kerja Tahunan (RKTP) dan Rencana Teknik Tahunan (RTT). 2. Reboisasi dan rehabilitasi hutan

Reboisasi dan rehabilitasi hutan dilaksanakan di lokasi bekas tebangan maupun kawasan tidak produktif. Reboisasi hutan dengan sistem tumpangsari memberikan kontribusi besar dalam produksi pangan dan dalam jangka pendek memberikan hasil, serta mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang sangat signifikan. 3. Pemeliharaan hutan, meliputi penyiangan, wiwil/pembersihan tunas air, pruning/pemangkasan cabang, penjarangan, pencegahan terhadap hama dan penyakit, pencegahan gangguan penggembalaan dan perlindungan hutan lainnya. 4. Perlindungan hutan, meliputi : pencurian pohon, okupasi lahan/bibrikan, penggembalaan liar, kebakaran hutan dan bencana alam.

5. Pemungutan hasil hutan, meliputi kegiatan teresan, penebangan, pembagian batang, pengangkutan dan penumpukan di TPK (Tempat Pengumpulan Kayu) meliputi jenis kayu jati, pinus, mahoni, damar, mangium, sengon dan rimba lainnya. Pemungutan hasil hutan non kayu antara lain getah pinus, getah damar, minyak kayu putih, madu, seedlak, sutera, kopi, minyak atsiri dan sebagainya.

(9)

6. Industri hasil hutan

Perum Perhutani telah memiliki industri hasil hutan yakni : Industri Pengolahan Kayu di Cepu, Brumbung, Gresik, dan 12 Unit Penggergajian dengan produk antara lain : garden furniture (GF), housing component, veneer sayat, parket block, flooring; pabrik pengolahan gondorukem dan terpentin sebanyak 8 buah ; pabrik minyak kayu putih sebanyak 12 buah, pabrik seedlak dan pabrik pemintalan benang sutera.

7. Pemasaran

Tahun 1976 Perum Perhutani mulai melakukan seleksi pohon plus jati. Eksplorasi dilakukan terus menerus baik di Jawa maupun di luar Pulau Jawa hingga tahun 1999 jumlah pohon plus tercatat 600 pohon, pohon-pohon plus ini digunakan untuk materi genetik dasar program pemuliaan. Era tersebut menandai dimulainya kembali upaya pemuliaan pohon jati di Indonesia yang dimulai dari jaman penjajahan Belanda dan terhenti selama jaman revolusi. Kegiatan ini kemudian diberi wadah organisasi khusus dengan pembentukan pusat jati (teak center) pada tahun 1998 (Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani, 2005).

KPH Madiun

Setelah Indonesia merdeka, mulai tahun 1945 sampai dengan tahun 1961 pengelolaan hutan di KPH Madiun di bawah Jawatan Kehutanan. Sejak tahun 1961 sampai dengan 1972 Jawatan Kehutanan berubah menjadi Perusahaan Kehutanan Negara, selanjutnya mulai tahun 1972 sampai dengan tahun 2001 berubah menjadi Perusahaan Umum Kehutanan Negara. Pada tahun 2001 berubah menjadi PT Perum Perhutani, tetapi sejak tahun 2003 kembali menjadi

(10)

Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani Unit II Jatim Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun, 2009).

Perum Perhutani Unit II Jawa Timur terdiri atas 23 KPH. Setiap KPH dipimpin oleh seorang KKPH (Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang berpangkat administratur. KPH Madiun dibagi menjadi 2 SKPH (Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan) yaitu SKPH Madiun Utara dan SKPH Madiun Selatan, masing-masing dibagi menjadi beberapa bagian dari BKPH. Setiap BKPH dipimpin oleh seorang KBKPH (Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang dipimpin seorang Asisten Perhutani (Asper). Setiap BKPH terdiri dari beberapa RPH (Resort Pemangkuan Hutan). RPH tersebut dipimpin oleh seorang KRPH (Kepala Resort Pemangkuan Hutan) yang disebut sebagai mantri. Masing – masing KRPH tersebut dibantu oleh beberapa mandor tanaman untuk melaksanakan tugasnya. Contohnya mandor persemaian, mandor tanam, mandor tebang, dan yang sesuai dengan ahlinya. Namun biasanya di setiap RPH memiliki buruh harian lepas untuk melaksanakan kegiatan tersebut, contohnya buruh tebangan dan lainnya.

Pembagian wilayah hutan di KPH Madiun dibagi menjadi dua SKPH, Madiun Selatan dan Madiun Utara. Masing – masing SKPH dibagi lagi menjadi beberapa BKPH yang disajikan pada Tabel 2.

(11)

Tabel 2. Luas Kawasan SKPH Madiun Pembagian Wilayah KPH Madiun Utara (Terdiri dari 6 BKPH) KPH Madiun Selatan (Terdiri dari 5 BKPH)

BKPH Luas (Ha) BKPH Luas (Ha)

Brumbun Caruban Dagangan Dungus Mojorayung Ngadirejo 1.764,7 3.152,5 2.230,1 3.396,1 2.835,4 2.251,9 Bondrang Pulung Sampung Sukun Sumoroto 2.925,5 2.207,4 3.956 3.071,1 2.589.7 Jumlah 16.075,4 Jumlah 15.153,8

Luas kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani KPH Madiun seluas 31.221,82 Ha. Menurut Perum Perhutani Unit II Jatim Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun, (2009) dengan komposisi :

1). Kelas perusahaan jati seluas 27.267, Ha terdiri dari hutan untuk produksi 87,8% (24.133,3 ha) dan hutan bukan untuk produksi 12,19% (3.352,2 ha). 2). Kelas perusahaan kayu putih seluas 3.736,3 ha terdiri dari hutan untuk

produksi 83,89% ( 3.134,6 ha) dan hutan bukan untuk produksi sebesar 16,1% (601,76 ha).

3). Hutan lindung, tak baik untuk produksi (tpb) dan lapangan dengan tujuan istimewa (ldti) 2.248,9 ha (7,2%).

Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun merupakan salah satu KPH di wilayah Perum Perhutani Unit II Jawa Timur yang memiliki luas 31.221, 82 ha. Secara geografis wilayah KPH Madiun terletak diantara 4°30’ – 4°50’ BT dan 7o30’ – 7o 50’ LS, sedangkan secara administratif pemerintahan wilayah tersebut berada di Kabupaten Madiun, Magetan dan Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan tata ruangnya, kawasan hutan Madiun dapat dibedakan kedalam 2 macam, yaitu kawasan dilindungi sekitar 3.188,72 ha atau sebesar 10,21 % (Hutan

(12)

Lindung seluas 1.117,3 ha (35,04%), Kawasan Perlindungan Setempat seluas 1.713,7 ha (53,74%) dan Kawasan Khusus seluas 357,72 ha (11,22%) dan Areal Budidaya Kehutanan seluas 28.033,0091 ha atau sebesar 89,79% (Areal produktif untuk unit produksi seluas 26.81,1146 ha (96,25%) dan Areal tidak produktif untuk unit produksi seluas 1.051,9845 ha (3,75%) (Perum Perhutani KPH Madiun, 2008).

Keanekaragaman hayati merupakan bagian dari komponen yang secara ekologis berperan sebagai penentu keseimbangan ekosistem yang penting bagi kehidupan, terutama dalam penyediaan kebutuhan keanekaragaman bahan hayati dan penyediaan bahan jasa lainnya. Dengan demikian keanekaragaman hayati merupakan salah satu penopang utama kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia, sehingga keanekeragaman hayati harus tetap dipertahankan / ditingkatkan. Dalam mempertahankan keanekaragaman hayati di wilayah KPH Madiun sangat dibutuhkan adanya rencana pengelolaan dan pemantauannya. (Perum Perhutani Unit II Jawa Timur Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun, 2008).

Pengelolaan umum sumberdaya hutan KPH Madiun ditujukan untuk memproduksi jenis-jenis tanaman pokok (Jati & Kayu Putih) menurut kelas perusahaan yang berkualitas secara lestari dan menjamin fungsi dan jasa hutan secara ekonomi, ekologi dan sosial secara terus-menerus dipertahankan dan ditingkatkan. Pengelolaan sumberdaya hutan di KPH Madiun terdiri dari :

a. Memproduksi hasil hutan secara lestari berdasarkan prinsip dan kriteria yang secara internasional diakui.

(13)

b. Mengkonservasi, melindungi dan mengelola hutan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, yang memperhatikan kepentingan keanekaragaman hayati, tanah, sumber air dan masyarakat desa hutan secara proporsional.

c. Mengembangkan sistem pemanenan hasil hutan yang memiliki dampak negatif seminimal mungkin terhadap lingkungan.

Sebagai wujud komitmen kuat KPH Madiun terhadap Pengelolaan Hutan yang berkesinambungan (lestari), maka KPH Madiun menjalankan program sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) mengikuti skema yang dikembangkan Skema FSC (Forest Stewardship Council).

Kegiatan Pemuliaan Pohon

Program pemuliaan pohon jati di Perum Perhutani tahun 1981 dengan adanya usaha-usaha untuk menetapkan daerah penghasil benih, mencari pohon plus dan membangun bank klon serta kebun benih klonal (Wirodarmodjo dan Subroto, 1983 dalam Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani, 2005). Adapun strategi pemuliaan yang ditempuh oleh Perum Perhutani selanjutnya adalah adalah penunjukkan Areal Produksi Benih (APB), pemilihan pohon plus, uji provenans, uji keturunan, uji klon, pembangunan kebun benih klon, Kebun Benih Semai (SSO), dan bank klon. Di dalam aksi program pemuliaan jati Perum Perhutani tahun 1983, ditunjuk 8 KPH, yaitu 5 KPH di Unit I Jawa Tengah dan 3 KPH di Unit II Jawa Timur. Salah satunya adalah KPH Madiun yang memiliki APB hingga sekarang yang terletak pada BKPH Dungus.

Kegiatan pemuliaan pohon yang umumnya dilakukan oleh Perum Perhutani adalah APB, pohon plus, Kebun Benih Klon (KBK), kebun pangkas, uji keturunan half-sib jati, konservasi ex-situ jati dan penyerbukan terkendali.

(14)

Kegiatan-kegiatan program pemuliaan pohon di atas juga merupakan strategi pemuliaan yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Tujuan dari strategi ini adalah untuk memenuhi kebutuhan benih unggul yang mendesak dan memperoleh benih unggul melalui pentahapan ilmiah yang terencana dan sistematis (Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani, 2005).

Kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh KPH Madiun antara lain: perencanaan, penentuan batas/rekonstruksi tata batas, pembukaan wilayah hutan dan pengadaan sarana prasarana, penetapan sistem silvikultur, pembibitan, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan perlindungan hutan. Sebagian kegiatan pemuliaan pohon termasuk ke dalam kegiatan persemaian, yang mana kegiatan pemuliaan pohon yang dilakukan oleh KPH Madiun antara lain: kebun pangkas, APB, stek pucuk dan pohon plus adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan bibit di KPH Madiun (Perum Perhutani Unit II Jawa Timur Kesatuan Pemangkuan Hutan, 2009).

Areal Produksi Benih (APB) adalah areal tegakan plus atau tegakan terpilih dari hutan tanaman yang dikelola untuk menghasilkan benih. APB ini merupakan sumber benih sementara sebelum program pembangunan kebun benih, baik secara generatif (SSO) ataupun vegetatif (CSO) berproduksi sesuai kebutuhan.

Untuk menentukan lokasi APB diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Sesuai dengan kondisi ekologis yang bersangkutan agar dapat berbunga/berbuah dengan baik

(15)

3. Terisolir dari tegakan lain yang bukan sumber benih atau perlu dibuat jalur isolasi sekitar 10 – 25 meter mengelilingi sumber benih

4. Terlindungi dari angin keras dan banjir 5. Aksesibilitas tinggi (mudah dikunjungi) 6. Tanah subur (bonita III ke atas)

7. Arealnya dapat diperluas 8. Tenaga kerja mudah

Kultur jaringan adalah pertumbuhan sel tanaman terisolasi atau bagian kecil dari jaringan dalam sebuah media steril. Media yang digunakan dirancang untuk memenuhi kebutuhan hormon dan nutrisi.

Stek pucuk adalah metode pengembangbiakan tanaman secara vegetatif dengan bahan pucuk tanaman. Tanaman atau bibit yang dihasilkan sifat genetisnya relatif sama dengan tanaman induknya. Pucuk bahan stek diambil dari kebun pangkas, sedangkan pucuk yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Tunas ortotrop

2. Memiliki 3 atau 4 internodia/pasang daun 3. Panjang batang ± 5-7 cm

4. Minimal sudah berumur 2 minggu dari pecahnya mata tunas 5. Batang silindris, lurus, berbulu hijau cerah

6. Batang masih muda/juvenil (tidak terlalu muda dan tidak terlalu keras) 7. Kuncup masih kaku berwarna coklat

Jadi tidak semua pucuk dapat dipanen sebagai bahan stek pucuk yang baik. Pengambilan pucuk dilakukan pada pagi atau sore hari untuk menghindari

(16)

penguapan bahan stek yang menyebabkan layu/kering. Pada saat pengambilan harus menggunakan gunting pangkas yang tajam dan diusahakan dalam sekali iris bahan stek sudah terpotong (Perum Perhutani, 2007).

Kebun pangkas adalah pertanaman yang dibangun untuk tujuan khusus sebagai penghasil bahan stek. Kebun pangkas dikelola untuk meningkatkan produksi bahan stek. Kebun pangkas dibangun dari benih atau bahan vegetatif yang dikumpulkan dari pohon plus. Kebun pangkas dan persemaian harus dibangun di dalam satu lokasi atau merupakan satu paket yang tidak terpisahkan. Pembuatan kebun pangkas di Perum Perhutani dimulai dengan pembuatan bud grafting pohon plus yang ada di Jawa dan luar Jawa. Hasil dari bud grafting tersebut ditanam mengelompok sesuai nomor pohon plus. Materi genetik untuk pembangunan kebun pangkas terseleksi berdasarkan hasil uji klon, kemampuan bertunas dan uji kemampuan perakaran serta identifikasi klon yang sebelumnya telah dilakukan di pusbang SDH Cepu (Anton Sudiartha, 2003 dalam Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani, 2005).

Pohon plus adalah individu pohon yang memiliki fenotip (penampakan fisik) terbaik dalam suatu tegakan hutan dibanding dengan pohon-pohon sekitarnya dan telah memenuhi kriteria penilaian pohon plus. Kriteria seleksi tergantung jenisnya dan tujuan akhir pemanfaatan pohon.

Kebun benih adalah suatu kebun hutan yang dibangun secara semai maupun secara klon dengan bahan tanaman yang digunakan baik benih maupun bahan vegetatif berasal dari pohon-pohon terseleksi. Kebun benih semai (SSO: Seedling Seed Orchard) adalah kebun benih yang dibangun dari anakan pohon-pohon plus setelah melalui proses seleksi, biasanya merupakan konversi dari uji

(17)

keturunan. Kebun benih klonal (CSO) adalah sumber benih yang dibangun dengan bahan vegetatif (misalnya : ranting, tunas, mata tunas, dan lain-lain) yang berasal dari pohon plus. Kebun benih klonal yang dibangun Perum Perhutani pada tahap awal pada tahun 1983 – 1996 terdiri dari klon- klon yang belum diuji, maka disebut kebun benih klonal belum diuji. Hal tersebut disebabkan pada saat pembangunannya belum dilakukan uji keturunan dan uji klon, sehingga belum diperoleh informasi yang terperinci mengenai sifat genetik dari pohon yang telah dimiliki. Sedangkan pembangunan kebun benih klonal baru yang terdiri dari klon-klon yang terseleksi dilakukan mulai tahun 2003 – 2004 dengan luas kurang lebih 90 hektar dengan materi 25 pohon plus (Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, 2000).

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Perum Perhutani Cepu, (2007) sebelum membangun kebun pangkas di suatu tempat, semua persyaratan kebun pangkas harus dipenuhi agar maksud dan tujuan pembangunan kebun pangkas tercapai atau memenuhi sasaran yang diharapkan. Persyaratan kebun pangkas yang baik adalah sebagai berikut :

1. Tersedia SDM Perhutani yang secara manajemen dan teknis menguasai pengelolaan kebun pangkas dan pembuatan bibit dan stek pucuk

2. Lokasi harus tersedia sumber benih yang mencukupi sepanjang tahun. Ketesediaan air dimaksud untuk penyiraman kebun pangkas dan persemaian stek pucuk.

(18)

4. Luas lokasi harus memenuhi kebutuhan minimal untuk lokasi kebun pangkas dan persemaian. Dalam hal ini lokasi kebun pangkas dan persemaian menjadi satu kesatuan (satu paket)

5. Ketinggian lokasi 0 – 600 mdpl dan topografi harus datar 6. Solum tanah dalam dan tidak berbatu

7. Aksesibilitas tinggi atau mudah dijangkau, baik untuk kepentingan angkutan bibit dan sarana prasarana maupun pengawasan

8. Drainase baik, bebas banjir dan angin kencang

9. Tersedia tenaga kerja baik dalam jumlah maupun keterampilanya, diutamakan tenaga kerja dari sekitar lokasi kebun pangkas/persemaian

10. Kemampuan 1 (satu) mandor dalam pengelolaan kebun pangkas adalah 1 ha 11. Tidak ada masalah tenurial atau agrarian

Gambar

Tabel 1. Wilayah Kerja Perum Perhutani
Tabel 2.  Luas Kawasan SKPH Madiun  Pembagian Wilayah  KPH Madiun Utara  (Terdiri dari 6 BKPH)  KPH Madiun Selatan  (Terdiri dari 5 BKPH)

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Daerah, maka dipandang perlu untuk mengatur

Dari hasil penelitian tersebut, para pengunjung menginginkan suatu media yang bisa memberikan informasi tentang denah lokasi, agenda, sejarah lokasi dari tempat-tempat olah raga

Giving the exercise in the last part of the course to check the students’ ability to interpret the poem through the help of figure of speech.. MATERIALS

Di SLB Negeri Pembina Yogyakarta, diukur dari hasil belajar, proses pembelajaran IPA pada di kelas VII SMPLB anak tunagrahita ringan cenderung masih perlu ditingkatkan karena

Tidak sesuai untuk penggunaan: Material ini tidak diperuntukkan untuk digunakan dalam produk yang kontak dalam jangka waktu lama dengan selaput lendir, cairan tubuh atau

belum memadai seperti kerusakan pada komputer yang bisa menghambat proses penerbitan surat persetujuan berlayar, kerusakan dan kurangnya fasilitas yang memadai di

Atas dasar uraian di atas, laba kemudian dide"inisikan se$ara umum, "ormal dan Atas dasar uraian di atas, laba kemudian dide"inisikan se$ara umum,

Oleh sebab itu, cara lain untuk mengembangkan bahasa daerah adalah dengan melakukan penyerapan kosakata bahasa Indonesia dan/atau bahasa asing ke dalam bahasa