1
PENGARUH PEMANASAN OHMIK SELAMA ALKALISASI
TERHADAP VISKOSITAS DAN KEKUATAN GEL
SEMI-REFINED CARRAGEENAN (SRC) RUMPUT LAUT
Eucheuma cottonii
SKRIPSI
Oleh
FILDZAH WAHYUDDIN
G 621 08 009
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN
JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
ii
PENGARUH PEMANASAN OHMIK SELAMA ALKALISASI
TERHADAP VISKOSITAS DAN KEKUATAN GEL
SEMI-REFINED CARRAGEENAN (SRC) RUMPUT LAUT
Eucheuma cottonii
SKRIPSI
Oleh
FILDZAH WAHYUDDIN
G 621 08 009
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Teknologi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN
JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul
: Pengaruh Pemanasan Ohmik Selama Alkalisasi
terhadap Viskositas dan Kekuatan Gel Semi-Refined
Carrageenan (SRC) Rumput Laut Eucheuma cottonii
Nama
: Fildzah Wahyuddin
Stambuk
: G 62108009
Program Studi
: Keteknikan Pertanian
Jurusan
: Teknologi Pertanian
Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Salengke, M.Sc
Dr. Ir. Supratomo, DEA
NIP. 19631231 198811 1 005
NIP. 19430717 196903 2 001
Mengetahui
Ketua Jurusan
Ketua Panitia
Teknologi Pertanian
Ujian Sarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir, MS
Dr. Ir. Sitti Nur Faridah, MP
NIP. 19570923 198312 2 001
NIP. 19681007 199303 2 002
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
berkah dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Pemanasan Ohmik Selama Alkalisasi Terhadap Viskositas
dan Kekuatan Gel Semi-Refined Carrageenan (SRC) Rumput Laut Eucheuma
cottonii” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
tingkat sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.
Dalam prosesnya, penulis menyadari bahwa bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: Bapak Prof.Dr.
Ir. Salengke, M.Sc dan Dr.Ir.H. Supratomo, DEA selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan, dorongan, kritik dan saran. Bapak Azis Abdullah, S.TP, M.Si
yang telah memberikan bimbingan selama penelitian. Bapak Prof.Dr.Ir. Mursalim,
dan Bapak Dr.Ir. Daniel Useng, M.Eng.Sc selaku penguji. Disamping itu, penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf di Program Studi Keteknikan
Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua
dan keluarga atas segala doa dan nasihat yang diberikan kepada penulis. Untuk
kawan-kawan sejawat TEKPERT 08 dan untuk tim rumput laut.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis
mengucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Makassar, 2012
v
Fildzah Wahyuddin (G621 08 009). Pengaruh Pemanasan Ohmik Selama
Alkalisasi terhadap Viskositas dan Kekuatan Gel Semi-Refined Carrageenan
(SRC) Rumput Laut Eucheuma cottonii. Pembimbing : Salengke dan
Supratomo.
RINGKASAN
Pemanasan ohmik merupakan teknologi baru dalam pengolahan bahan
pangan, dengan menerapkan hukum Ohm. Pemanasan ohmik menempatkan bahan
pangan sebagai tahanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pemanasan ohmik pada beberapa konsentrasi larutan alkali, lama, dan suhu
alkalisasi, serta kekuatan medan listrik terhadap viskositas dan kekuatan gel yang
dihasilkan dari alkalisasi dengan pemanasan ohmik. Alkalisasi merupakan tahap
untuk mendapatkan karaginan dari rumput laut Eucheuma cottonii. Tahapan
penelitian ini meliputi menyiapan larutan Kalium hidroksida (KOH), alkalisasi,
pengeringan dengan tray drier dan penepungan. Parameter yang diujikan meliputi
viskositas dan kekuatan gel karaginan. Gel tergantung dari jenis karaginan,
konsentrasi, keberadaan ion-ion lain, keberadaan larutan lain. Untuk kappa
karaginan lebih sensitif terhadap ion-ion kalium, oleh sebab itu jenis alkali yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kalium. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa viskositas dengan teknologi ohmik ditunjukkan pada perlakuan konsentrasi
alkali 0.5 N, suhu 75
oC dan lama alkalisasi 0,5 jam masing-masing sebesar
53,335: 47,533 dan 42,892 cP
sedangkan, kekuatan gel tertinggi ditunjukkan pada
perlakuan konsentrasi alkali 1 N sebesar dan lama pemansan 2 jam sebesar
166,940 dan 232,411 g/cm
2. Berdasarkan hasil analisi ragam menunjukkan bahwa
konsentrasi alkali, lama dan suhu pemanasan memberi pengaruh nyata terhadap
viskositas, sedangkan perlakuan konsentrasi dan lama pemanasan berpengaruh
nyata terhadap kekuatan gel.
Kata-Kata Kunci: Alkalisasi, Eucheuma cottonii, Kekuatan Gel Pemanasan
Ohmik, Viskositas.
vi
RIWAYAT HIDUP
Fildzah Wahyuddin. Penulis dilahirkan di Kota Makassar,
Sulawesi Selatan pada tanggal 27 Oktober 1989. Anak kedua
dari empat bersaudara pasangan Bapak Wahyuddin Jaddu
dan Ibu Hj. Nurwan Katta. Penulis memulai pendidikan
pertama pada tingkat taman kanak-kanak yaitu TK Aisyiyah
Bustanul Athfal
selama setahun. Selanjutnya, penulis bersekolah di SD Negeri
006 Sidodadi, Wonomulyo selama 4 tahun, SD Negeri 029 Inpres Sumberjo,
Wonomulyo selama setahun dan SD Negeri No.2 Kampung Baru, majene selama
setahun. Kemudian, pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikan pada
Sekolah Menengah Pertama di SMPN 3 Majene. Setelah itu, dilanjutkan dengan
pendidikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 2005 di SMAN 3 Majene. Selama
menjalani pendidikan di bangku sekolah, berbagai prestasi telah penulis peroleh
dalam bidang akademik, seni, dan dalam kepengurusan OSIS. Selanjutnya,
penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas pada tahun
2008 dan terdaftar sebagai mahasiswi program S1 pada Program Studi Keteknikan
Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Hasanuddin Makassar melalui jalur JPPB.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...
i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RINGKASAN ... iv
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumput Laut ... 3
2.2 Alkali Treated Cottonii (ATC) ... 4
2.3 Karaginan ... 6
2.4 Pemanasan Ohmik ... 13
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat ... 19
3.2 Alat dan Bahan ... 19
3.3 Parameter Perlakuan dan Pengamatan ... 19
viii
3.5 Prosedur Penelitian ...
21
3.6 Parameter Pengamatan ... 22
3.7 Pengolahan Data ...
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Kuat Medan Listrik dan Konsentrasi Larutan KOH terhadap
Laju Pemanasan ... 27
4.2 Pengaruh Suhu Listrik dan Konsentrasi Larutan KOH terhadap
Konduktivitas ... 30
4.3 Konsumsi Daya selama Pemanasan ... 32
4.4 Pengaruh Perlakuan terhadap Viskositas ... 33
4.5 Pengaruh Perlakuan terhadap Kekuatan Gel ... 36
V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan ... 39
5.2 Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1. Standar Mutu Rumput Laut Kering untuk Eucheuma, Gelidium,
Gracilaria, dan Hypnea.
4
Tabel 2. Daya Kelarutan Karaginan pada Berbagai Media Pelarut
8
Tabel 3. Beberapa Teknologi Pengolahan Karaginan dari Eucheuma sp.
9
Tabel 4. Standar Mutu Karaginan Komersial, FAO (Food Agriculture
Organization), FCC (Food Chemicals Codex), dan EEC
(European Economic Community)
12
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1. Diagram Prinsip Pemanasan Ohmik
15
Gambar 2. Grafik Pemanasan Ohmik Suhu 70
oC
27
Gambar 3. Grafik Pemanasan Ohmik Suhu 75
oC
28
Gambar 4. Grafik Pemanasan Ohmik Suhu 80
oC
29
Gambar 5. Grafik Konduktivitas pada Suhu 70
oC Perlakuan Kuat Arus
Listrik dan Konsentrasi Larutan
30
Gambar 6. Grafik Konduktivitas pada Suhu 75
oC Perlakuan Kuat Arus
Listrik dan Konsentrasi Larutan
30
Gambar 7. Grafik Konduktivitas pada Suhu 80
oC Perlakuan Kuat Arus
Listrik dan Konsentrasi Larutan
31
Gambar 8. Grafik Total Konsumsi Daya
32
Gambar 9. Grafik Konsentrasi Alkali terhadap Viskositas
33
Gambar 10. Grafik Suhu Pemanasan terhadap Viskositas
34
Gambar 11. Grafik Lama Pemanasan terhadap Viskositas
35
Gambar 12. Grafik Konsentrasi Alkali terhadap Kekuatan Gel
37
Gambar 11. Grafik Lama Pemanasan terhadap Kekuatan Gel
38
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Teks
Halaman
1.
Laju Pemanasan
42
2.
Konduktivitas Listrik
68
3.
Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Pada Suhu 60
oC
82
4.
Konsumsi Energi
91
5.
Hasil Pengukuran Viskositas dan Kekuatan Gel
115
6.
Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Viskositas tepung semi-refined
carrageenan (SRC)
118
7.
Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Kekuatan Gel tepung
semi-refined carrageenan (SRC)
121
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini rumput laut menjadi komoditi ekspor andalan Indonesia. Berdasarkan
data FAO, Indonesia adalah negara terbesar ketiga sebagai produsen rumput laut
setelah Cina dan Filipina. Pada tahun 2007 Indonesia mampu mengekspor rumput
laut sebanyak 1.733.705 ton. Salah satu jenis rumput laut yang banyak dijumpai di
perairan Indonesia adalah Eucheuma cottonii.
Eucheuma merupakan rumput laut dari kelompok Rhodopyceae (alga merah)
yang mampu menghasilkan karaginan, dikelompokkan menjadi beberapa spesies
yaitu Eucheuma edule, Eucheuma spinosum, Eucheuma cottonii, Eucheuma
cupressoideum dan masih banyak lagi yang lain (Anggadireja et al., 2009).
Dewasa ini, salah satu jenis Eucheuma yang banyak dibudidayakan dan
dipasarkan di Sulawesi Selatan yakni Eucheuma cottonii. Namun, pengolahannya
hanya sebatas pengeringan secara konvensional atau penjemuran dengan sinar
matahari, yang menyebabkan rendahnya nilai ekonomis dari rumput laut. Oleh
karena itu, diperlukan penangan untuk meningkatkan nilai dari rumput laut. Salah
satunya dapat dibuat dalam bentuk karaginan.
Karaginan adalah getah rumput laut dari spesies tertentu dari kelas alga merah
yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali yang dilanjutkan dengan pemisahan
karaginan dengan pelarutnya. Euchema cottonii termasuk penghasil jenis
kappa karaginan yang larut dalam air panas, serta membentuk gel dalam
air (Distantina et al., 2009).
Penggunaan karaginan semakin meluas dan sehingga permintaan terhadap
karaginan semakin meningkat pula. Karaginan sangat penting sebagai stabilisator
makanan, bahan pengental, pembentuk gel, pengemulsi, dan banyak dimanfaatkan
antara lain dalam industri makanan untuk memperbaiki tekstur makanan, dalam
bidang farmasi, kosmetik, sabun, tekstil, cat, pasta gigi dan lain lain.
Pada dasarnya, pemungutan karaginan dari rumput laut membutuhkan
beberapa tahap, yaitu perendaman, ekstraksi, kemudian pengeringan karaginan.
Proses pengolahan karaginan dimulai perendaman kemudian dilanjutkan dengan
2
sistem ekstraksi dengan suatu basa yang kemudian dilanjutkan pengeringan dan
penggilingan hingga menjadi suatu tepung.
Prosedur pengekstrasian karaginan telah banyak dikembangkan khususnya
dalam proses alkalisasi. Pada tahapan ini, kuantitas karaginan dipengaruhi oleh
jenis alkali, lama dan suhu pemanasan. Pada penelitian ini, proses pemanasan
dilakukan dengan menggunakan teknologi ohmik.
Konsep pemanasan ohmik atau dikenal juga dengan pemanasan Joule (Joule
Heating) adalah pemanasan produk pangan dengan cara melewatkan pada aliran
listrik. Teknik ini terutama digunakan untuk material yang dapat mengalir
(Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Jika produk memiliki lebih dari satu fase
seperti dalam kasus dari campuran cairan dan partikulat, konduktivitas listrik
semua tahap harus dipertimbangkan. Konduktivitas listrik dipengaruhi oleh
kandungan ion, untuk menyesuaikan konduktivitas listrik produk dengan tingkat
ion untuk mencapai efektif pemanasan ohmik (Ruan et al.,2001)
Untuk mendapatkan karaginan pada dasarnya rumput laut diberi perlakuan
panas dan penambahan alkali dapat meningkatkan mutu hasil dari perlakuan panas
tersebut. Proses ini dikenal dengan alkalisasi panas. Dalam modifikasi karaginan,
penggunaan teknologi ohmik diasumsikan sesuai untuk alkalisasi panas, karena
kandungan ion dalam larutan alkali tersebut mempengaruhi tingkat pemanasan
ohmik. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini merujuk pada alkalisasi dengan
pemanasan ohmik.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemanasan ohmik
pada beberapa konsentrasi larutan alkali, lama, dan suhu alkalisasi, serta kekuatan
medan listrik terhadap viskositas dan kekuatan gel yang dihasilkan dari alkalisasi
dengan pemanasan ohmik.
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan informasi dalam
pengembangan teknologi ohmik untuk pengolahan rumput laut jenis Euchema
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumput Laut
Algae atau ganggang terdiri dari empat kelas, yaitu Rhodophyceae (ganggang
merah), Phaeophyceae (ganggang cokelat), Chlorophyceae (ganggang hijau),
Cyanophyceae (ganggang hijau-biru). Pembagian ini berdasarkan pigmen yang
dikandungnya. Bila dilihat dari ukurannya, ganggang terdiri dari mikroskopik dan
makroskopik. Ganggang makroskopik inilah yang kita kenal sebagai rumput laut
(Indriyani dan Sumarsih, 1997).
Rumput laut sebagai salah satu sumber hayati laut, bila diproses akan
menghasilkan senyawa hidrokoloid yang merupakan produk dasar (hasil dari
proses metabolisme primer). Senyawa hidrokoloid yang berasal dari rumput laut
disebut juga senyawa fikokoloid. Senyawa hidrokoloid yang berasal dari rumput
laut ini merupakan bahan dasar lebih dari 500 jenis produk komersial yang
digunakan di berbagai industri. Senyawa hidrokoloid yang berasal dari rumput
laut komersial di Indonesia antara lain agar (yang dihasilkan dari jenis-jenis
agarofit), karaginan (yang dihasilkan dari jenis-jenis karaginofit), dan alginat
(yang dihasilkan dari jenis-jenis alginofit) (Anggadireja et al., 2009).
Selain jenis rumput laut penghasil agar-agar, terdapat jenis lain yang cukup
potensial dan banyak dijumpai di perairan Indonesia yaitu Euchema sp. yang
dapat menghasilkan karaginan dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan.
Karaginan dan agar-agar dapat dihasilkan dari ganggang merah (Rhodopyceae),
sedangkan alginat dihasilkan dari ganggang cokelat jenis Sargassum. Jumlah
rumput laut jenis ini sangat sedikit di Indonesia, sedangkan kebutuhan alginat
cukup banyak (Indriyani dan Sumarsih, 1997).
Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah
(Rhodophyceae) dan karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi
kappa-karaginan, maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii. Nama
daerah ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia
perdagangan nasional maupun internasional (Samsuar, 2006).
4
Indonesia telah mengekspor rumput laut kering dari marga Eucheuma,
Gelidium, dan Hypnea. Rumput laut yang dikirim harus memenuhi standar mutu
yang telah ditetapkan (Tabel 1.)
Tabel 1. Standar Mutu Rumput Laut Kering untuk Euchema, Gelidium,
Gracilaria dan Hypnea
Karakteristik
Syarat
Eucheuma
Gelidium
Gracilaria
Hypnea
Kadar air
maksimal (%)
32
15
25
30
Benda
asing
maksimal (%)
5*)
5**)
5**)
5**)
Bau
Spesifik rumput
laut
Spesifik
rumput laut
Spesifik
rumput laut
Spesifik
rumput laut
Sumber : Poncomulyo et al., 2006.
*) Benda asing di sini adalah garam, pasir, karang, kayu dan jenis lain
**) Benda asing di sini adalah garam, pasir, karang, dan kayu
2.2 Alkali Treated Cottonii (ATC)
Kandungan karaginan yang banyak dibudidayakan didapatkan dari rumput
laut dengan spesies Eucheuma ialah Eucheuma cottoni dan Eucheuma spinosum.
Dalam dunia perdagangan karaginan terdiri atas tiga jenis, yaitu : kappa, iota, dan
lambda karaginan. Dimana ketiga jenis ini dibedakan berdasarkan perbedaan
ikatan sel, sifat gel dan protein reactivity. Kappa karaginan dihasilkan dari rumput
laut jenis Eucheuma cottoni, larut dalam air panas, serta membentuk gel dalam air.
Lambda karaginan dari Chondrus crispus, sedang iota karaginan dihasilkan dari
Eucheuma spinosum (Suryaningrum et al.,2003).
Rumput laut penghasil karaginan seperti Eucheuma cottonii yang baru
dipanen umumnya memiliki kadar air sekitar 85% dan harus dikeringkan hingga
kadar air 30-35%, yang merupakan kadar air standar untuk kualitas ekspor.
Rumput laut penghasil karagian dapat dengan mudah menjadi “semi-refined
carrageenan” (SRC) melalui proses alkalisasi, SRC sering juga disebut
alkali-modified flour (AMF) atau alkali-treated carrageenophyte (ATC)
5
Karaginan adalah zat aditif alami yang banyak dimanfaatkan dalam berbagai
industri, terutama industri makanan dan kosmetika. Semi-refined carrageenan
(SRC) adalah salah satu produk karaginan dengan tingkat kemurnian lebih rendah
dibandingkan refined carrageenan, karena masih mengandung sejumlah kecil
selulosa yang ikut mengendap bersama karaginan. Semi-refined carrageenan
(SRC) secara komersial diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii
melalui proses ekstraksi menggunakan larutan alkali (Kalium hidroksida / KOH)
(Oviantari dan Purwata, 2007).
Tujuan utama proses semimurni adalah untuk meningkatkan sifat karaginan
untuk menghasilkan gel dengan biaya produksi yang lebih rendah. Proses
semimurni biasanya tidak melibatkan proses filtrasi karaginan dan tidak didapati
proses ekstraksi dengan isopropanol. Sebagai hasilnya produk karaginan
semimurni berwarna, berbau dan keruh. Hal ini meyebabkan karaginan semimurni
tidak cocok untuk industri farmasi. Biasanya karaginan semimurni digunakan
untuk pengawet daging, karena kemampuannya membentuk gel untuk berbagai
basis jenis ikan dan daging (Yasita dan Rachmawati, 2010).
Dalam pengolahan rumput laut untuk menghasilkan produk seperti karaginan,
agar, dan alginat, larutan alkali yang digunakan sebagai medium pemasakan
memiliki dua fungsi. Pertama, alkali membantu proses pemuaian (pembengkakan)
jaringan sel-sel rumput laut yang mempermudah keluarnya karaginan, agar, atau
alginat dari dalam jaringan. Kedua, apabila alkali digunakan pada konsentrasi
yang cukup tinggi, dapat menyebabkan terjadinya modifikasi struktur kimia
karaginan akibat terlepasnya gugus 6-sulfat dari karaginan sehingga terbentuk
residu 3,6-anhydro-D-galactosa dalam rantai polysakarida. Hal ini akan
meningkatkan kekuatan gel karaginan yang dihasilkan. Selain itu, senyawa alkali
dapat memisahkan protein dari jaringan sehingga memudahkan proses ektraksi
karaginan dari jaringan rumput laut (Yasita dan Rachmawati, 2010).
Berdasarkan metode ekstraksi yang digunakan, dapat diperoleh dua jenis
ekstrak karaginan yaitu semi-refined dan refined carrageenan. Proses ekstraksi
karaginan dari rumput laut secara tradisional dilakukan dengan pemanasan dalam
larutan alkali dengan medium pemanas berupa aliran uap yang dikontrol debitnya
untuk mengontrol suhu pemanasan. Suhu pemasakan untuk memproduksi
semi-6
refined carrageenan dipertahankan dibawah 80-85
oC untuk mencegah larutnya
karaginan dalam larutan alkali yang akan menurunkan rendemen SRC yang
dihasilkan. Setelah proses pemasakan, rumput laut kemudian dibilas beberapa kali
dan dikeringkan. Produk kering yang dihasilkan kemudian digiling menjadi
tepung dan dijual sebagai tepung rumput laut atau sebagai semi-refined
carrageenan (Yasita dan Rachmawati, 2010).
2.3 Karaginan
Karaginan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi
rumput laut merah dengan menggunakan air panas (hot water) atau larutan alkali
pada temperatur tinggi (Glicksman, 1983). Karaginan merupakan nama yang
diberikan untuk keluarga polisakarida linear yang diperoleh dari alga merah dan
penting untuk pangan (Samsuar, 2006).
Karaginan diperoleh dari ekstrak rumput laut merah Chondrus sp.,
Gigartina sp., dan Eucheuma sp., sampai 86 spesies telah dimanfaatkan. Setiap
spesies memiliki susunan polimer karaginan yang beragam, dan hal itu juga
tergantung umur rumput laut, musim, dan lain sebagainya. Karaginan terdapat
pada tanaman, umumnya dalam bentuk sejumlah polimer yang sangat mirip, atau
fraksi-fraksi yang perbandingan jumlahnya tergantung pada asal spesies.
Karaginan larut dalam air, tetapi sedikit larut dalam pelarut-pelarut lainnya,
umumnya perlu pemanasan agar karaginan larut semuanya. Biasanya pemanasan
dilakukan sampai suhu 50-80
oC, tergantung adanya kation yang dapat mendorong
pembentukan gel seperti ion kalium atau faktor lainnya. Kemampuan karaginan
untuk membentuk gel dengan ion-ion merupakan dasar dalam penggunaannya di
bidang pangan. Sifat-sifat karaginan yang unik sebagai hidrokoloid adalah
reaktivitasnya dengan beberapa jenis protein, khususnya dengan protein susu yang
menyebabkan timbulnya sifat-sifat yang menjadi alasan banyak penggunaannya
dalam pangan (Cahyadi, 2008).
Karaginan biasanya diproduksi dalam bentuk garam natrium, kalium, dan
kalsium yang dibedakan menjadi dua macam yaitu kappa karaginan dan iota
karaginan. Kappa karaginan berasal dari Eucheuma cottonii dan Eucheuma
7
striatum, sedangkan iota karaginan berasal dari Eucheuma spinosum. Berikut ini
beberapa sifat karaginan (Poncomulyo et al., 2006) :
1. Dalam air dingin, seluruh garam dari lambda karaginan dapat larut,
sedangkan pada kappa dan iota karaginan hanya garam natrium yang larut.
2. Lambda karaginan larut dalam air panas (40-60
oC). Kappa dan iota
karaginan larut pada temperatur di atas 70
oC.
3. Kappa, lambda, dan iota karaginan larut dalam susu panas. Dalam susu
dingin, kappa dan iota tidak larut, sedangkan lambda karaginan akan
membentuk dispersi.
4. Kappa karaginan dapat membentuk gel dengan ion kalium, sedangkan iota
karaginan membentuk gel dengan ion kalsium. Lambda karaginan tidak
dapat membentuk gel.
5. Semua jenis karaginan stabil pada pH netral dan alkali. Pada pH asam
karaginan akan terhidrolisis.
Ketiganya berbeda dalam sifat gel dan reaksinya terhadap protein.
Kappa-karaginan menghasilkan gel yang kuat (rigid), sedangkan iota-Kappa-karaginan
membentuk gel yang halus (flaccid) dan mudah dibentuk. Selain itu,
masing-masing karaginan juga dihasilkan oleh rumput laut yang berbeda. Kelarutan
karaginan di dalam air dipengauhi oleh bebrapa faktor, diantaranya temperatur,
kehadiran senyawa organik lainnya, garam yang larut dalam air, serta tipe
karaginan itu sendiri (Anggadireja et al., 2009).
Berdasarkan strukturnya, karaginan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu kappa,
iota, dan lambda. Kappa karaginan tersusun dari (1- > 3) D-galaktosa-4 sulfat
dan (1- > 4) 3,6 anhidro-D-galaktosa. Iota karaginan mengandung 4-sulfat ester
pada residu galaktosa dan gugusan 2 sulfat ester pada setiap residu
D-galaktosa dan gugusan 2 sulfat ester pada setiap gugusan 3,6
anhidro-D-galaktosa. Sedangkan lambda karaginan memiliki sebuah residu disulphated (1-4)
D-galaktosa. Perbedaan yang lain adalah daya kelarutan pada berbagai media
pelarut (Indriyani dan Sumarsih, 1997).
Karaginan bereaksi dengan fraksi protein susu, khususnya kappa kasein,
sehingga membentuk jaringan gel tiga dimensi dengan air dan garam, serta
8
mampu menyaring partikel yang ada di dalamnya. Karena merupakan galaktosa
yang mengandung sulfida, maka karaginan bermuatan (Kordi, 2011).
Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut disajikan pada tabel 2
(Kordi, 2011).
Tabel 2. Daya Kelarutan Karaginan pada Berbagai Media Pelarut
Medium
Kappa-karaginan
Iota-karaginan
Lambda-karaginan
Air panas
Larut di atas 60
oC
Larut
di
atas
60
oC
Larut
Air dingin
Garam
Na
larut,
garam K, Ca tidak
larut
Garam Na larut,
garam
Ca
memberi dispersi
thixotropic
Larut
Susu panas
Larut
Larut
Larut
Susu dingin
Garam Na, Ca, K
tidak larut tetapi akan
mengembang
Tidak larut
Larut
Larutan gula pekat Panas, larut
Larut, sukar
Larut, panas
Larutan
garam
pekat
Tidak larut
Larut, panas
Larut, panas
Sumber : Moraino (1997 dalam Winarno, 1990)
Karaginan berasal dari rumput laut Euchema cottonii yaitu jenis
kappa-karaginan. Beberapa teknologi pengolahan karaginan secara garis besar disajikan
pada tabel 3. Proses produksi karaginan semirefine lebih banyak diaplikasikan
rumput laut Euchema cottonii. Produk SRC ada yang berbentuk chips dan ada
pula yang berbentuk tepung (flour) (Anggadireja et al., 2009).
Kelarutan karaginan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
tipe karaginan, temperatur, pH, kehadiran jenis ion tandingan dan zat-zat terlarut
lainnya. Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam
dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara
jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam
bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas
untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium
lebih mudah larut. Lambda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis
garamnya (Anonim, 1977).
9
Derajat kekentalan karaginan dipengaruhi oleh konsentrasi, temperatur, dan
volume lain yang larut dalam campuran tersebut. Kekentalan karaginan dalam
membentuk gel dibedakan dari yang kuat sampai rapuh dengan tipe yang lembut
dan elastis. Sedangkan teksturnya tersebut yakni tergantung dari jenis karaginan,
konsentrasi, keberadaan ion-ion lain, keberadaan larutan lain, serta senyawa
hidrokoloid yang tidak membentuk gel (Anggadireja et al., 2009).
Sifat dasar karaginan terdiri dari tiga tipe karaginan yaitu kappa, iota dan
lambda karaginan. Tipe karaginan yang paling banyak dalam aplikasi pangan
adalah kappa karaginan. Sifat-sifat karaginan meliputi kelarutan, viskositas,
pembentukan gel dan stabilitas pH (Samsuar, 2006).
Tabel 3. Beberapa Teknologi Pengolahan Karaginan dari Euchema sp.
Bahan Baku
Tahap Proses
Jenis/
Tipe Karaginan
Metode
Bentuk Produk
metode alkohol
powder
refine
kappa-karaginan
metode pressing
powder
E.cottonii
chip
food grade
kappa-karaginan
alkali panas
powder
semirefine
chip
industrial grade
kappa-karaginan
alkali panas
powder
Sumber : Anggadiredja et al., 2009.
Kekentalan larutan karaginan akan berkurang dengan cepat, seiring
meningkatnya temperatur. Kekentalan karaginan dalam membentuk gel
(menjedal) dibedakan dari yang kuat sampai rapuh (britle) dengan tipe yang
10
lembut dan elastis. Apabila dalam larutan terdapat ion potasium, gel
kappa-karaginan cenderung lebih rapuh dibandingkan dengan iota-kappa-karaginan.
Penambahan elastisitas dari gel iota-karaginan disebabkan oleh keberadaan
jumlah 2-sulfat pada polimernya (Indriyani dan Sumarsih, 1997).
Viskositas dan kekuatan gel karaginan merupakan sifat utama yang
diperlukan untuk diterapkan di industri pangan dan farmasi. Pembentukan gel
merupakan hasil crosslinking antara rantai heliks yang berdekatan, dengan grup
sulfat menghadap ke bagian luar. Kelarutan dalam air sangat dipengaruhi kadar
grup sulfat (bersifat hidrofilik) dan kation dalam karaginan. Kation yang
terionisasi yang dijumpai dalam karaginan adalah sodium (Na), potasium (K),
calsium (Ca), dan magnesium (Mg). Banyaknya fraksi sulfat dan keseimbangan
kation dalam air menentukan kekentalan atau kekuatan gel yang dibentuk
karaginan (Campo et al., 2009).
Pengukuran viskositas ini bertujuan untuk menentukan nilai kekentalan suatu
larutan, semakin tinggi nilai viskositasnya semakin tinggi tingkat kekentalan
larutan tersebut. Guiseley et al., (1980) dan Moraino (1977) menjelaskan bahwa
kekentalan pada karaginan disebabkan adanya gaya tolak-menolak antar grup
sulfat yang bermuatan negatif yang terdapat disepanjang rantai polimernya
sehingga menyebabkan rantai polimer tersebut kaku dan tertarik kencang. Selain
itu, adanya sifat hidrofilik menyebabkan molekul tersebut dikelilingi oleh air
yang tidak bergerak. Hal inilah yang menentukan nilai viskositas karaginan,
semakin sedikit kandungan sulfat viskositasnya juga semakin kecil, tetapi
konsistensi gelnya semakin meningkat.
Penggunaan konsentrasi KOH lebih tinggi menyebabkan kadar sulfat dalam
karaginan berkurang lebih banyak, dan sebagai akibatnya kekuatan gelnya juga
semakin tinggi. Pengurangan sulfat dapat menyebabkan crosslinking sehingga
terbentuk fase gel. Waktu ekstraksi berpengaruh terhadap viskositas dan kekuatan
gel karaginan yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pengurangan sulfat yang
terjadi, dimana waktu ekstraksi semakin lama maka kandungan sulfat semakin
kecil (Campo et al., 2009).
11
Karaginan dapat membentuk gel secara reversibel artinya dapat membentuk
gel pada saat pendinginan dan kembali cair pada saat dipanaskan. Pembentukan
gel disebabkan karena terbentuknya struktur heliks rangkap yang tidak terjadi
pada suhu tinggi (Samsuar, 2006).
Kappa karaginan jika dimasukkan ke dalam air dingin akan membentuk
sebaran kasar yang memerlukan pemanasan sampai suhu 70
OC untuk
melarutkannya. Suhu pembentukan gel dipengaruhi oleh konsentrasi, jumlah
dan adanya ion-ion logam seperti K
+, NH
4+, Ca
++, Sr
++dan Ba
++. Secara
umum karaginan membentuk gel pada suhu antara 10–20
oC dan meleleh kembali
jika suhu dinaikkan 45–65
oC dari suhu yang ditetapkan (Anonim, 1977).
Adanya intrusi kation ke dalam masing-masing karaginan tersebut akan
mempengaruhi kekuatan gel seperti kappa karaginan dengan adanya kation K
+cenderung membentuk gel yang kuat, iota dengan adanya kation Ca
2+gel sangat
kuat, sedangkan pada lambda karaginan tidak membentuk gel apabila
ditambahkan kation. Menurut Glicksman (1969), pembentukan gel pada
hidrokoloid dapat dilakukan dengan meningkatkan atau memperbesar gaya antar
molekul terlarut dengan cara: menambahkan bahan yang tidak melarutkan koloid,
menguapkan zat pelarut dan menambahkanbahan pengikat atau pengatur reaksi
kimia yang bertujuan untuk mengurangi kelarutan koloid. Selain itu pembentukan
gel hidrokoloid juga dapat terjadi dengan cara melarutkan suatu larutan dalam
pelarut yang dapat menyerap air (Basmal et al., 2003).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Basmal et.al (2003)
menjelaskan bahwa penggunaan larutan KOH cenderung memperbaiki nilai
kekentalan karaginan. Tujuan pemberian larutan KOH di samping untuk
meningkatkan nilai kekentalan, juga untuk mengeliminir bahan-bahan lain seperti
protein, selulosa, dan mineral-mineral yang ada pada rumput laut seperti mineral
Na+, Yodium, Mg, dan lain-lain.
Perbedaan penggunaan basa berpengaruh pada kekentalan dan kekuatan gel
karaginan. Jika diinginkan suatu produk yang kental dengan kekuatan gel rendah
maka digunakan garam natrium, untuk gel yang elastis digunakan garam kalsium
sedangkan garam kalium menghasilkan gel yang keras. Untuk kappa karaginan
12
lebih sensitif terhadap ion-ion kalium sedangkan iota karaginan lebih sensitif
dengan ion-ion kalsium (Basmal et al., 2003).
Di Indonesia sampai saat ini belum ada standard mutu karaginan. Standard
mutu karaginan yang telah diakui dikeluarkan oleh Food Agriculture
Organization (FAO), Food Chemicals Codex (FCC) dan European Economic
Community (EEC). Spesifikasi mutu karaginan dapat dilihat pada tabel 4 (Yasita
dan Rachmawati, 2010).
Tabel 4. Standar Mutu Karaginan Komersial, FAO (Food Agriculture
Oraganization), FCC (Food Chemicals Codex), dan EEC
(European Economic Community)
Parameter
Karaginan
Karaginan
Karaginan
Karaginan
Komersial
Standar
FAO
Standar FCC
Standar
EEC
Kadar Air (%)
14,34 ± 0,25
Maks 12
Maks 12
Maks 12
Kadar Abu (%)
18,60 ± 0,22
15-40
18-40
15-40
Kekuatan gel
685,50 ± 13,43
(dyne/cm
2)
500
g/cm
2-
-
Titik Leleh (%)
50,21 ± 1,05
-
-
-
Titik gel (
oC)
34,10 ± 1,86
-
-
-
Viskositas pada
larutan 1.5% (cP)
-
5
-
-
Sumber : A/S Kobenhvas Pektifabrik (1978) dalam Yasita dan Rachmawati
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Distantina et al., (2009)
menjelaskan bahwa ekstraksi menggunakan larutan alkali akan meningkatkan sifat
gel, tetapi tidak menunjukkan kecenderungan meningkatkan rendemen. Ekstraksi
menggunakan air memberikan rendemen tertinggi tetapi sifat gel karaginannya
tidak cukup baik. Kekuatan gel karaginan yang dihasilkan dengan pelarut akuades
sangat rendah dan penggunaan konsentrasi KOH lebih tinggi menyebabkan kadar
sulfat dalam karaginan berkurang lebih banyak, dan sebagai akibatnya kekuatan
gelnya juga semakin tinggi. Kadar alkali semakin besar menghasilkan gel strength
semakin besar pula.
Karaginan sebagai salah satu jenis hidrokoloid penting memiliki aplikasi yang
sangat luas dalam industri pangan dan nonpangan, di antaranya berfungsi sebagai
penstabil (stabilizator), pengental (thickener), pembentuk gel, dan pengemulsi
(emulsifier). Anggadireja et al., (2006) secara spefisik memberikan contoh
13
cream lotions dan saus tomat, penstabil lemak pada makanan ternak, dietic foods
dalam bentuk jeli, pensuspensi pada susu kental manis dan yogurt, gelling agent
pada milk gel, water gels, fish and meat gels dan gel pengharum ruangan.
2.4 Pemanasan Ohmik
Akhir-akhir ini, minat terhadap pemanasan ohmik kembali dilirik karena
meningkatnya ketersediaan dan kualitas material ektroda. Keterbatasan perlakuan
pemanasan konvensional telah dikenal di industri pangan, dimana kualitas produk
tidak sesuai dengann yang diinginkan selain juga berhubungan dengan sensivitas
produk pangan terhadap panas (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Pemanasan ohmik mengambil nama dari hukum Ohm, yang dikenal sebagai
hubungan antara arus, tegangan, dan perlawanan (persamaan 1). Bahan makanan
terhubung antara elektroda memiliki resistansi peran dalam rangkaian.
(1)
Konduktivitas listrik bahan pangan memegang peranan penting dalam
perancangan sistim pemanasan secara ohmic. Konduktivitas listrik merupakan
hubungan timbal-balik tahanan melalui unit penampang luas (A) dan jarak
unit (L). Konduktivitas listrik dari setiap bahan dapat diturunkan dari hukum Ohm
dan dinyatakan sebagai berikut:
σ =
(2)
atau
σ =
(3)
Dalam persamaan 3, 1/R merupakan konduktan listrik dari bahan yang
nilainya sama dengan rasio antara besarnya arus listrik (I) yang mengalir melalui
bahan dengan gardien dari tegangan (V).
Tahanan dari bahan makanan untuk melewatkan arus listrik menyebabkan
panas yang dihasilkan dalam makanan. Dengan kata lain, energi listrik dikonversi
menjadi energi panas (Sastry, 1992). Waktu pemanasan ohmik bergantung
pada gradien tegangan yang digunakan. Jika gradien tegangan meningkat, panas
14
yang dihasilkan per unit waktu meningkat, dan karena itu waktu pemanasan yang
diperlukan untuk mencapai temperatur berkurang. Skala waktu dapat diatur
dengan memilih parameter gradien tegangan (Icier, 2012).
Pada pemanasan konvensional, proses pemanasan dari permukaan yang panas
menuju bagian dalam, proses ohmik melibatkan internal generation pada
kecepatan terkontrol; sehingga merupakan proses High Temperature Short Time
(HTST) yang dapat diterapkan untuk produk pangan solid. Walaupun perlakuan
ohmik bukan merupakan olah minimal yang sesungguhnya, akan tetapi jika desain
dan penerapan yang hati-hati terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan
perlakuan panas konvensional. (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Pemanasan ohmik adalah proses termal lanjutan di mana makanan berperan
sebagai resistor listrik. Desain eksperimental biasanya terdiri dari elektroda yang
berhungan dengan makanan, dimana listrik melewati substansi yang
menggunakan berbagai tegangan dan kombinasi arus. Zat dipanaskan oleh
pembuangan energi listrik. Bila dibandingkan dengan pemanasan konvensional, di
mana panas dilakukan dari luar ke dalam menggunakan permukaan panas,
pemanasan ohmik menghantarkan panas di seluruh massa makanan secara
seragam (Anderson, 2008).
Prinsip pemanasan ohmik sangat sederhana seperti digambarkan dalam
Gambar1. Pemanasn ohmik didasarkan pada bagian arus listrik bolak-balik (AC)
melalui tubuh seperti sistem makanan partikel cair yang berfungsi sebagai
hambatan listrik di mana panas dihasilkan. Tegangan AC diterapkan pada
elektroda di kedua ujung badan produk. Tingkat pemanasan proposional
secara langsung hasil perkalian/kuadrat dari kekuatan medan listrik, E dan
konduktivitas listrik. Kekuatan medan listrik dapat bervariasi dengan
menyesuaikan elektroda celah atau tegangan yang dikenakan. Namun, faktor yang
paling penting adalah konduktivitas listrik dari produk dan ketergantungannya
pada suhu. Jika produk memiliki lebih dari satu fase seperti dalam kasus dari
campuran cairan dan partikulat, konduktivitas listrik semua tahap harus
dipertimbangkan (Ruan et al., 2001).
15
Konduktivitas listrik meningkat dengan kenaikan suhu, pemanasan ohmik
menjadi lebih efektif sebagai suhu meningkat, yang secara teoritis dapat
mengakibatkan pemanasan runaway. Perbedaan dalam hambatan listrik dan
yang ketergantungan suhu antara dua fase dapat membuat karakteristik pemanasan
sistem yang sangat rumit. Karena konduktivitas listrik dipengaruhi oleh
kandungan ion, mungkin untuk menyesuaikan konduktivitas listrik produk
(kedua fase) dengan tingkat ion (misalnya garam) untuk mencapai efektif
pemanasan ohmik. Mekanisme electroporation ringan dapat terjadi selama
pemanasan ohmik yang beroperasi pada frekuensi rendah (50-60 Hz) yang
memungkinkan muatan listrik untuk membangun dan membentuk pori-pori di
seluruh dinding sel (Ruan et al., 2001)
Gambar.1 Diagram yang Menunjukkan Prinsip Pemanasan Ohmik.
Laju panas yang dihasilkan dalam konduktor resistif secara murni yang
dilalui oleh arus listrik diatur oleh hukum Joule, berikut (Berk, 2009):
(4)
dimana :
q
= laju pelepasan panas, w
I
= arus listrik, amp
R
= tahanan konduktor listrik, ohm
E
= tegangan, Volt.
16
Arus listrik yang diterapkan dalam pemanasanan ohmik adalah arus
bolak-balik, untuk menghindari elektrolisis. Kebanyakan sistem sekarang menggunakan
garis frekuensi komersial umum (50-60 Hz). Tegangan diatur sehingga mencapai
suhu akhir yang dikehendaki, meskipun fluktuasi dalam komposisi pasokan dan
laju aliran (Berk, 2009).
Prinsip dasar pemanasan ohmik terkenal dengan disipasi energi listrik
menjadi panas, yang menghasilkan generasi energi internal berbanding lurus
dengan kuadrat dari kekuatan medan listrik dan konduktivitas listrik
(Sastry, 1992). Suatu bahan pangan dengan konduktivitas listrik σ, ditempatkan di
antara dua elektroda dengan kekuatan medan ΔV, menghasilkan laju generasi
energi internal (internal energy generation) µ sebesar (Muhtadi dan
Ayustaningwarno, 2010) :
µ = | |
2σ
(5)
Karakteristik kritis yang mempengaruhi laju generasi energi internal
adalah σ. Di mana konduktivitas listrik σ adalah fungsi dari suhu. Jenis fungsi
tergantung pada bahan; dan metode pemanasan. Telah ditemukan bahwa untuk
bahan-bahan selular, konduktivitas listrik mengalami kenaikan signifikan pada
70
oC dan ke atas. Namun, ketika medan listrik diterapkan, pecahnya dinding sel
terjadi pada temperatur lebih rendah. Untuk bahan pangan solid, konduktivitas
listrik tergantung pada suhu dan gradien tegangan. Jika jaringan sayuran
dikenakan pemanasan konvensional, konduktivitas listrik meningkat tajam pada
suhu 60
oC, akibat pecahnya dinding sel (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Diatas kekuatan medan listrik tertentu, atau jika materi telah diolah secara
termal, kurva konduktivitas listrik - suhu sering menjadi linear. Dengan demikian
(Sastry, 1992) :
σ =
( )
(6)
karena konduktivitas listrik meningkat dengan suhu, pemanasan ohmik menjadi
lebih efektif pada suhu yang lebih tinggi.
Konduktivitas listrik adalah ukuran dari seberapa baik suatu zat
mentransmisikan muatan listrik, dinyatakan dalam Siemens per meter (S/m).
Konduktivitas listrik adalah rasio densitas substansi pada kekuatan medan listrik
dan dipengaruhi oleh komposisi kimia dari suatu zat. Dalam terminologi
17
pemanasan ohmik, konduktivitas adalah ukuran dari isi mineral atau ion. Untuk
bahan makanan, bahan ion yang paling umum garam (NaCl). Semakin tinggi
jumlah garam terlarut dalam zat, semakin tinggi konduktivitas (Anderson, 2008).
Konduktivitas listrik makanan sangat tergantung pada komposisi dan
terutama pada kandungan elektrolit (garam) dan kelembaban (Fryer dan Li, 1993).
Hal ini juga tergantung suhu. Bertentangan dengan logam, di mana suhu
berpengaruh terhadap konduktivitas, konduktivitas makanan umumnya meningkat
dengan suhu (Szczeniak, 1983; Resnick, 1996) dalam (Berk, 2009).
Ketika jaringan selular dipanaskan secara ohmik, suhu konduktivitas menjadi
linier ketika gradien tegangan dinaikkan hal ini menjelaskan bahwa terjadi
non-linearitas pada gradien tegangan rendah (20 sampai 30 V/cm). Penjelasannya
adalah terjadinya electro-osmosis ketika pemanasan ohmik digunakan yang
tergantung dari besar medan voltase yang digunakan. Pada gradien tegangan
tinggi, electro-osmosis mendorong ion-ion melewati membran dinding sel bahkan
pada suhu lebih rendah (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Karena konduktivitas listrik tergantung pada konsentrasi ion, maka
memungkinkan untuk mengubahnya menggunakan perlakuan sederhana seperti
penambahan garam. Penurunann konduktivitas listrik dalam sampel yang
direndam air disebabkan hilangnya senyawa ionik dalam air (Muhtadi dan
Ayustaningwarno, 2010).
Ukuran solid berpengaruh terhadap konduktivitas listrik. Konduktivitas listrik
cenderung meningkat ketika ukuran partikel menurun, walaupun tanpa
kesimpulan secara general tidak dapat dilakukan tanpa memperhitungkan bentuk
dan orientasi partikel (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Daya yang diubah oleh peralatan listrik mengingatkan bahwa energi yang
diubah bila muatan Q bergerak melintasi beda potensial sebesar V adalah QV
(persamaan 7). Maka daya P, adalah (Giancoli, 2001):
P = daya (Watt) =
=