• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kedepannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan. empat situasi pokok, yaitu (a) perubahan (change); (b) kompleksitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kedepannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan. empat situasi pokok, yaitu (a) perubahan (change); (b) kompleksitas"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah bagaimana kehidupan akan lebih baik kedepannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan dan lingkungan adalah hal yang tidak dipisahkan. Bruce Mitchell mengatakan pengelolaan sumber daya lingkungan akan mengalami empat situasi pokok, yaitu (a) perubahan (change); (b) kompleksitas

(complexity); (c) ketidakpastian (uncertainty); (d) konflik (conflict).1

Disisi lain, Emil Salim mengatakan bahwa sungguh pun pembangunan telah berjalan ratusan tahun di dunia, namun baru pada permulaan tahun tujuh puluhan, dunia mulai sadar dan cemas akan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sehingga mulai menanganinya secara sungguh-sungguh sebagai masalah dunia.2

1 Bruce Mitchell dkk, 2000, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, hlm. 1.

2 Emil Salim, 1995, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara Sumber Widya,

(2)

Masalah lingkungan global merupakan refleksi masyarakat internasional atas adanya pembangunan yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Meadows memberikan laporan berbagai masalah yang menimpa banyak Negara di dunia dalam sebuah laporannya yang berjudul The Limits to Growth, suatu laporan kepada The Club of Rome (Project on the Predicament of

Mankind). Publikasi tersebut yang merupakan laporan pertama

kepada The Club of Rome (1972) mengemukakan tentang adanya 5 (lima) faktor pokok yang menentukan, dan pada akhirnya membatasi pertumbuhan di planet bumi, yaitu “… pollution, agriculture

production, natural resources, industrial production, and

pollution”.3

Dewasa ini, masalah lingkungan yang terjadi di suatu Negara atau kawasan tertentu tidak hanya berdampak kepada negara itu sendiri, ttetapi juga berpengaruh pula pada negara atau kawasan lain. Kebanyakan masalah lingkungan yang bersifat lintas Negara ini adalah masalah pencemaran lingkungan. Salah satu contoh nyata dari masalah diatas adalah masalah kebakakaran hutan di Indonesia, dimana Kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan,

3 Donella H. Meadows et al, 1974, The Limits to Growth, A Signet Book, Potomac

(3)

tidak hanya berdampak kepada Indonesia sebagai negara sumber kebakaran hutan, tetapi dampaknya juga dapat dirasakan oleh Malaysia dan Singapura.4

Menyadari bahwa masalah ini bukan hanya masalah satu negara sendiri, namun juga menjadi masalah bagi negara tetangga, maka negara yang terdapat di kawasan atau regional tertentu perlu melakukan suatu perjanjian atau kerja sama sebagai upaya untuk menemukan solusi dan mengatasi masalah lingkungan tersebut.

Dalam menyikapi hal ini, ASEAN sebagai salah satu organisasi kawasan yang telah dirintis kurang lebih 30 tahun telah menyepakati beberapa kerja sama di berbagai bidang kegiatan, di antaranya kerja sama politik, ekonomi dan budaya, termasuk bidang kerja sama di bidang lingkungan hidup. Salah satu bentuk komitmen ASEAN terhadap isu lingkungan hidup, maka pada tanggal 30 April 1 Mei 1981 di Manila diadakan pertemuan pertama para Menteri Lingkungan Hidup yang berhasil merumuskan kerangka kerja sama ASEAN dalam bidang lingkungan yang dituangkan dalam Manila

Declaration on the ASEAN Environment yang bertujuan untuk:5

4 Supriadi, 2010, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetakan ketiga, Sinar Grafika,

Jakarta, hlm. 42.

5 Siti Sundari Rangkuti, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan

(4)

“To ensure the protection of the ASEAN environment and the sustainability of its natural resources so that it can sustain continued development with the aim of eradicating poverty and attaining the highest possible quality of life of the people of the ASEAN countries.”

Lebih lanjut lagi pada Tahun 2002, dalam upaya ASEAN untuk mencegah polusi asap melalui kerangka kerja sama telah disepakati sebuah perjanjian regional ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution. Pembuatan AATHP ini adalah

bentuk komitmen ASEAN untuk menyudahi permasalah kabut asap yang setiap tahunnya terjadi di wilayah Asia Tenggara.

Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006, Malaysia dan Singapura meminta kepada Indonesia untuk dapat segera menyelesaikan masalah Kebakaran hutan di negaranya. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa Kebakaran hutan tersebut telah mengakibatkan adanya polusi asap yang menimbulkan kerugian bagi kedua Negara tersebut. Sektor ekonomi, pariwisata dan kesehatan merupakan sektor yang paling terkena dampak oleh polusi kabut asap dari Indonesia, bahkan Malaysia mengecam Indonesia karena tidak mampu mengatasi masalah asap dan Indonesia harus membayar kompensasi akibat

(5)

asap.6 Kerugian sosial ekonomi dan ekologis yang timbul oleh kebakaran hutan cukup besar, bahkan dalam beberapa hal sulit untuk diukur dengan nilai Rupiah. Kerugian yang harus ditanggung oleh Indonesia akibat kebakaran hutan tahun 1997 dulu diperkirakan mencapai 5,96 trilyun Rupiah atau 70,1% dari nilai PDB sektor kehutanan pada tahun 1997. Malaysia yang juga terkena mengalami kerugian 300 juta Dolar Amerika di sektor industri dan pariwisata, sedangkan Singapura mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di sector pariwisata.7

Seperti yang diketahui, polusi asap akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip “Sic utere tuo ut alienum non laedes”, yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan Negara lain.8 Disisi lain, pencemaran asap ini juga telah bertentangan dengan prinsip good neighbourliness9, yang menyatakan bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain.

6

Kuala Lumpur Suara Karya Online,

http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=118116, diakses pada tanggal 17 Maret 2015, jam 14.12 WIB.

7 Portal Penelitian Universitas Andalas, “Dampak Kebakaran Hutan di Wilayah Sumatera

Barat dan Riau Terhadap Perubahan Iklim (Climate Change)”, http://lp.unand.ac.id/?pModule=news&pSub=news&pAct=detail&detail=210, diakses pada tanggal 18 Maret 2015, jam 13.36 WIB.

8 J.G, Starke, 1992, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 546 9 Sucipto, 1985, Sistem Tanggung Jawab dalam Pencemaran Udara, Malang, hlm. 82.

(6)

Pencemaran kabut asap lintas batas di Asia Tenggara sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1997, namun hingga kini masalah haze pollution ini tetap menjadi agenda penting di ASEAN. Kebakaran hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah yang paling berkontribusi dalam pencemaran asap Malaysia dan Singapura. Pencemaran kabut asap mengakibatkan berbagai macam masalah. Tidak hanya masalah lingkungan seperti deforestisasi, tetapi juga menganggu sektor transportasi darat laut dan udara di Indonesia dan juga Negara tetangga.10

Dalam rangka menyelesaikan permasalahan kabut asap tersebut, maka pada tahun 1995 ASEAN melakukan perundingan kerjasama dalam bentuk ASEAN Cooperation Plan on

Transboundary Pollution.11 Kemudian diikuti dengan Regional Haze

Action Plan di tahun 1997. Lalu kemudian pada tahun 2002 ASEAN

mengesahkan The ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (AATHP) yang bertujuan untuk mencegah dan memantau

pencemaran asap lintas batas Negara yang berasal dari kebakaran

10

Metro TV, http://metrotvnews/0706, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, jam 08.23 WIB.

11 Why Indonesia must ratify the ASEAN haze pollution treaty,

http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/14/why-indonesia-must-ratify-asean-haze-pollution-treaty.html, diakses pada tanggal 17 Maret 2015, jam 15.47 WIB.

(7)

hutan dan lahan. Tujuan ini secara ekplisit termaktub di dalam Pasal 2 AATHP:

“The objective of this Agreement is to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, through concerted national efforts and intensified regional and international co-operation. This should be pursued in the overall context of sustainable development and in accordance with the provisions of this Agreement.”

Sebelum tahun 2014, Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang belum ratifikasi AATHP. Sehingga setiap pertemuan dalam membahas Transboundary haze pollution ASEAN, Indonesia selalu dihadapkan dengan pertanyaan terkait ratifikasi AATHP oleh Indonesia. Akibatnya setiap pertemuan, Indonesia hanya hadir sebagai pengamat yang tidak memiliki hak suara. Hal ini pada akhirnya akan menyulitkan Indonesia dan ASEAN dalam rangka menyelesaikan masalah kabut asap di Asia Tenggara. Melalui Sidang Paripurna DPR 16 September 2014 akhirnya ratifikasi AATHP.12 Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat yang diperoleh Indonesia melalui ratifikasi AATHP, maka pada akhir periode DPR RI 2009-2014, RUU tentang Pengesahan AATHP disetujui oleh Indonesia.

12 Indonesia Ratifikasi soal Asap Lintas Batas,

http://sains.kompas.com/%20%20read/2014/09/17/20032011/Indonesia.%20%20Ratifika si.soal.Asap.Lintas.Batas, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, jam 14.56 WIB.

(8)

Terlepas dari alasan yang menyebabkan Indonesia menjadi negara peratifikasi terakhir AATHP, pengesahan UU tentang Pengesahan AATHP merupakan langkah maju bagi Indonesia untuk menunjukkan keseriusan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Permasalahan asap yang selama ini memojokkan Indonesia sebagai negara pencemar (source state) sebagian tanggung jawabnya akan menjadi tanggung jawab bersama negara-negara ASEAN.13

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka sekiranya sangat penting sekali mengkaji dan menelaah bagaimana pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas batas Negara pasca ratifikasi AATHP? Dan bagaimana mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN setelah ratifikasi AATHP? Selanjutnya adalah, bagaimana konsep pertanggungjawaban dan mekanisme di masa datang dalam transboundary haze pollution?

13 Teddy Prasetiawan, 2014, Implikasi Ratifikasi AATHP Terhadap Pengendalian

Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia, Info Singkat, Vol. VI, No. 19/I/P3DI/Oktober/2014, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hlm. 11.

(9)

1.3 Tujuan Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas batas negara pasca ratifikasi AATHP. Di sisi lain, penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN. Selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan untuk membuat konsep pertanggungjawaban dan mekanisme di masa datang dalam transboundary haze pollution

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademis

Manfaat akademis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian dapat dijadikan rujukan bagi upaya pengembangan Ilmu Hukum, dan berguna juga untuk menjadi referensi bagi mahasiswa, peneliti, dan ilmuwan yang melakukan kajian atau penelitian terhadap tanggung

(10)

jawab Indonesia terhadap asap lintas batas Negara pasca ratifikasi AATHP.

1.4.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran terhadap pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan pertanggung jawaban Indonesia pasca ratifikasi AATHP. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dalam mengetahui mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian yang mengangkat tema mengenai konsep Pertanggungjawaban Negara dan Transboundary Haze Pollution sudah pernah ada sebelumnya tetapi sepanjang penelurusan kepustakaan di perpustakaan dan juga melalui dunia cyber, belum ditemukan judul penelitian PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA TERHADAP ASAP LINTAS BATAS NEGARA

(11)

TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION, sehingga penelitian ini memenuhi kaedah keaslian penelitian.

Adapun beberapa judul penelitian yang terkait dengan tema diatas yang pernah ada sebelumnya, antara lain:

1.5.1. Penelitian mengenai ”Pertanggungjawaban Indonesia Dalam Penyelesaian Kasus Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan Indonesia Berdasarkan Konsep

State Responsibility” oleh Dinarjati Eka Puspita Sari S.H.

M.Hum dan Agustina Merdekawati S.H Tahun 2007 yang membahas terkait bentuk pertanggungajawaban Indonesia dalam penyelesaian kasus pencemaran asap lintas batas berdasarkan konsep state responsibility dan mengenai langkah-langkah yang dapat Indonesia lakukan dalam upaya menghindari tuntutan yang timbul atas masalah Kebakaran hutan di Indonesia. Hasil pembahasan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa rejim pertannggungjawaban negara yang berlaku adalah rejim

liability, kriteria pertanggungjawaban dengan konsep strict

liability, tanggung jawab murni ada pada pemerintah

Indonesia, jenis pemulihan atas kerugian didasarkan pada kesepakatan para pihak. Sedangkan upaya Indonesia

(12)

meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution merupakan salah satu upaya yang dapat Indonesia

lakukan untuk menghindari konflik dengan negara tetangga akibat pencemaran asap lintas batas tersebut.

1.5.2. Penelitian mengenai “Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial dalam Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014

(No. 24 of 2014) Akibat Kabut Asap dari Kebakaran Hutan

di Indonesia” oleh M. Triatmodjo yang mempermasalahkan terkait bentuk pertanggungjawaban Indonesia dalam pencemaran kabut asap lintas batas Negara di Asia Tenggara dan problematika penerapan yurisdiksi ekstrateritorial didalam Singapore Transboundary Haze

Pollution Act 2014 (No. 24 of 2014). Hasil pembahasan dari

penelitian ini mengungkapkan bahwa Pembentukan aturan

Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014(No. 24

of 2014) telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum

internasional berdasarkan prinsip yurisdiksi kewarganegaraan pasif (passive personality

principle), yurisdiksi proteksi (protective principle), dan

berdasarkan yurisdiksi teritorial objektif (

(13)

dari pemberlakuan aturan ini adalah dalam penerapan aturan hukum tersebut karena terbentur dengan kedaulatan negara yang dimiliki Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mahkamah Internasional (International

Court of Justice) dalam opininya dalam Kasus Lotus (Lotus

Case). Bahwa suatu negara dapat melaksanakan kekuasaannya di luar wilayahnya selama jika: (1)

permissive rule yang berasal dari kebiasaan internasional

(international costumary law); dan (2) permissive rule yang

berasal dari suatu konvensi. Kedua kriteria ini belum dipenuhi oleh Singapura dalam rangka menegakkan aturan nasionalnya, karena penegakan secara unilateral akan mengalami hambatan jika harus berhadapan dengan yurisdiksi dari negara-negara lain. Singapura bisa menerapkan aturan tersebut dengan menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, misalnya dengan kesepatakan ekstradisi yang telah lama di usung oleh pemerintah Indonesia dan Singapura dalam rangka penegakan kasus korupsi yang kerap kali “melarikan diri” ke Singapura tersebut. Namun sayangnya, kesepatan tersebut hingga kini belum memiliki titik temu. Jalur lain yang bisa ditempuh

(14)

Singapura adalah dengan menjalin Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Indonesia

1.5.3. Penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Negara terhadap Pencemaran Lingkungan Transnasional” oleh Deni Bram Tahun 2011. Penelitian ini terkait perbedaan konsep pertanggungjawaban Negara menurut hukum transnasional dan hukum lingkungan internasional terhadap isu pencemaran asap lintas batas dan mekanisme penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan yang bersifat transnasional, lebih lanjut lagi, penelitian membahas terkait pertanggungjawaban Indonesia atas kasus pencemaran asap apabila locus delicti nya berada dalam yurisdiksi negara Indonesia. Hasil pembahasan dari penelitian ini yaitu

pertama, keberadaan hukum lingkungan internasional

sebagai salah satu cabang dari hukum internasional turut pula membawa pemberlakuan prinsip tanggung jawab negara dalam beberapa kasus hukum lingkungan internasional.

Kedua, mekanisme penyelesaian hukum lingkungan

internasional yang tersedia adalah pemberlakuan prinsip pertanggungjawaban negara yang diawali dari adanya claim

(15)

dari negara yang mengalami kerugian yang merupakan suatu bentuk absorpsi hukum lingkungan internasional terhadap keberlakuan prinsip utama dalam hukum internasional tersebut.

Ketiga, berdasarkan teori pertanggungjawaban negara yang

terdapat pada Draft Article on Responsibility of State for

Internationally Wrongful Act yang dirilis oleh International

Law Comission pada akhir 2002, maka pemerintah

Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban atas pencemaran kabut asap yang terjadi. Sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari pertanggungjawaban Indonesia adalah reparasi yang wajib dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada negara tercemar seperti keadaan semula baik kerugian yang berifat materiil hingga kepada kerugian imateriil.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dimana fokus kajian dalam penelitian sebelumnya umumnya membahas tentang bentuk pertanggungjawaban negara menghadapi Transboundary Haze Pollution dalam hukum internasional secara umum, sedangkan dalam penelitian ini pertanggungjawaban negaranya lebih spesifik paska ratifikasi

(16)

AATHP oleh Indonesia dan bentuk penyelesaian sengketa yang dapat digunakan apabila timbul sengketa antara Indonesia sebagai Negara pencemar dan Negara tercemar kedepannya menurut hukum internasional di ASEAN.

1.6 Landasan Teori

1.6.1. Teori Kerjasama Internasional

Kerjasama internasional muncul karena keadaan, kebutuhan, kemampuan serta potensi dari suatu negara yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan suatu negara bekerjasama dengan negara lainnya agar dapat memenuhi kepentingan nasionalnya di luar negeri14. Kerjasama internasional dapat dilakukan jika suatu negara sekurang-kurangnya memiliki dua syarat utama, yaitu adanya keharusan menghargai kepentingan masing-masing negara yang terlibat bekerjasama serta adanya keputusan bersama Negara-negara yang melakukan kerjasama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul dalam perjanjian tersebut15.

14 Sjamsumar Dam dan Riswandi, 1995, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang,

Perkembangan, dan

Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15

(17)

Menurut pendapat James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff kerjasama atau cooperation dapat muncul dari kesepakatan masing-masing individu terhadap kesejahteraan bersama atau sebagai akibat persepsi kepentingan sendiri.16 Kunci dari perilaku yang mengarah pada kerjasama terletak pada kepercayaan masing-masing pihak (masing-masing negara) bahwa pihak lain juga akan melakukan kerjasama, dimana masalah utama yang muncul dari perilaku ini adalah kepentingan nasional masing-masing negara. Bila mengarah pada persamaan kepentingan nasional maka kerjasama yang diinginkan akan tercapai.

Hal ini didukung dengan adanya asumsi yang bersumber pada pelaksanaan politik luar negeri yang mengatakan bahwa baik persoalan maupun sasaran tertentu tidak mungkin dicapai hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Kerja sama akan diusahakan apabila manfaat yang diperoleh diperkirakan akan lebih besar daripada konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggungnya. Oleh sebab itu keberhasilan kerjasama

16 Dougherty E, Jamesdan Pfaltzgraff, Jr LRobert, Contending Theories of International

Relatins: A

Chomprehensive Survey 4th.Ed. Addison Wesley Longman,New York, 1997, hlm. 418-419

(18)

dapat diukur dari perbandingan besarnya manfaat yang dicapai terhadap konsekuensi yang ditanggung17. Dalam kajian hubungan internasional setidaknya ada empat bentuk kerjasama yang diketahui, yaitu:18

1.6.1.1. Kerjasama Global

Adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam satu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama bagi kerjasama global. Sejarah kerja sama global dapat ditelusuri kembali mulai dari terbentuknya kerja sama multilateral seperti yang diperlihatkan oleh perjanjian Westphalia (1648) dan merupakan akar dari kerjasama global.

1.6.1.2. Kerjasama Regional

Kerjasama Regional merupakan kerjasama antar negara-negara yang secara geografis letaknya berdekatan. Kerjasama tersebut bisa dalam bidang pertahanan tetapi bisa juga dibidang lain

17 Drs. R. Soeprapto, Hubungan Internasional”Sistem,Interaksi dan Perilaku”, PT.Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 181

(19)

seperti pertanian, hukum, kebudayaan dan lain sebaginya. Menurut Dr. Budiono, kerjasama regional baik yang berbentuk organisasi atau bukan, pada waktu sekarang ini mendapatkan masalah yang cukup rumit dan kompleks. Adapun yang menentukan terwujudnya kerjasama regional selain kedekatan geografis, kesamaan pandangan dibidang politik dan kebudayaan juga perbedaan struktur produktivitas ekonomi. Kerjasama regional merupakan salah satu alternatif yang dapat dipergunakan dalam mengatasi kemiskinan dan kebodohan.

1.6.1.3. Kerjasama Fungsional

Kerjasama fungsional, permasalahan atau pun metode kerjasamanya menjadi semakin kompleks disebabkan oleh semakin banyaknya organisasi kerjasama yang ada.Walaupun terdapat kompleksitas dan banyak permasalahan yang dihadapi dalam masalah kerjasama fungsional baik dibidang ekonomi maupun sosial, untuk

(20)

pemecahannya diperlukan kesepakatan dan keputusan politik. Kerjasama fungsional berangkat dari pragmatisme pemikiran yang mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada masing-masing mitra dalam kerjasama. Dengan demikian kerjasama fungsional tidak mungkin terselenggara apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk mendukung suatu fungsi yang spesifik yang diharapkan darinya oleh yang lain. Adapun kendala yang dihadapi dalam kerjasama fungsional terletak pada ideologi politik dan isu-isu wilayah.

1.6.1.4. Kerjasama Ideologis

Pengertian ideologi menurut Vilfredo Pareto, adalah alat dari suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan.Dalam hal perjuangan atau kerjasama ideologi batas-batas teritorial tidaklah relevan. Berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujuannya dengan memanfaatkan

(21)

berbagai kemungkinan yang terbuka dalam forum yang global.

Lebih jauh lagi, dalam kerjasama Internasional, hal tersebut dapat didasari suatu perjanjian, namun apabila belum ada perjanjian, kerjasama dapat dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity

principle). Dalam penulisan thesis ini, penulis

mengaitkan teori ini dengan kerjasama yang dilakukan antara Negara Indonesia dan Negara tetangga dibawah bendera ASEAN dalam upaya penanganan pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara pasca ratifikasi AATHP oleh Indonesia.

1.6.2. Teori Pertanggungjawaban Negara

Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hakhaknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak itu. Apabila kewajiban internasional ini dilanggar sehingga merugikan pihak lain,

(22)

maka lahirlah tanggung jawab negara. Itulah sebabnya mengapa hukum internasional melembagakan kewajiban tersebut sebagai prinsip yang fundamental19.

Menurut Karl Zemanek, pertanggungjawaban negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara internasional, yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap korban.20

Lebih lanjut lagi, pertanggungjawaban oleh negara biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional. Negara dikatakan bertanggungjawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan wilayah negara lain, menyerang negara lain, menciderai perwakilan diplomatik

19

Lihat Pasal 2 Draft Articles on State Responsibility yang menyatakan bahwa “every

state is subject

to the possibility of being held to have commited an internationally wrongful act entailing

its national

responsibility”, dikutip dari Marina Spinedi et.al (ed), United Nations Codification of

State

Responsibility, Oceana Publications, Inc., New York, 1987, hlm. 32

20 Karl Zemanek, Responsibility of States: General Principles, dalam Rudolf L.

Bindshdler, et.

al., Encyclopedia of Public International Law, 10, State Responsibility of States,

International Law

and Municipal Law,Jilid ke-10, Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.V., 1987, hlm. 363.

(23)

negara lain atau memperlakukan warga asing dengan seenaknya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara berbeda-beda kadarnya tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besar kerugian yang telah ditimbulkan.21

Dalam konteks hukum lingkungan, timbulnya tanggung jawab negara didasarkan pada adanya tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan lingkungan tanpa mengenal batas negara. Hukum lingkungan internasional mengatur bahwa setiap orang berhak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya teori pertanggungjawaban negara menyatakan bahwa suatu negara bertanggung jawab kepada negara lain bilamana tindakan yang terjadi di negaranya menyebabkan kerugian bagi negara lain tersebut.

21 Jawahir Thontowi, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, Refika

(24)

Dalam penulisan thesis ini, penulis mengaitkan teori ini dengan bentuk tanggung jawab yang diemban Indonesia setelah meratifikasi AATHP dan upaya-upaya hukum apa saja yang harus Indonesia penuhi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara.

1.6.3. Teori Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai

Permanent Court International of Justice dalam

sengketa Mavrommatis Palestine Concession 1924 telah mendefiniskan pengertian sengketa yaitu “disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest

between two person”22. Menurut Mahkamah Internasional,

sengketa internasional adalah situasi ketika dua Negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Meskipun terkadang sengketa internasional ini hanya melibatkan dua atau lebih Negara

22 Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta, Sinar

(25)

yang bersengkata, namun dapat dipastikan bahwa sengketa tersebut dapat mengancam perdamaian dan ketertiban internasional.

Sehingga peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional itu sendiri adalah memberikan cara penyelesaian sengketanya melalui hukum internasional yang berlaku, sehingga tidak akan merusak sendi-sendi perdamaian yang sudah ada.

Huala Adolf dalam bukunya menjelakan bahwa hukum internasional membagi sengketa internasional menjadi dua, yakni sengketa politik (political or

non-justiciable dispute) dan sengketa hukum (legal or judicial

dispute). Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) mengatur dua bentuk penyelesaian sengketa internasional, yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan penggunaan kekerasan. Dalam pasal 33 Piagam PBB menyebutkan Perundingan (Negotiation), Penyelidikan

(Enquiry), Mediasi (Mediation), Konsiliasi (Conciliation)

dan Arbitrase (Arbitration) sebagai cara-cara damai dalam menyelesaikan sengketa internasional.

(26)

Dalam penulisan tesis ini, penulis mengaitkan teori ini dengan mekanisme penyelesaian sengketa damai yang dapat Indonesia piih apabila kedepannya ada sengketa antar anggota ASEAN yang diakibatkan oleh pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara.

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak kayu tumbuhan Biau berpotensi sebagai antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi dan Shigella dysenteriae yang ditandai dengan terbentuknya

Peserta harus melaporkan secara tertulis kepada PKL dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh

Penelitian ini didasari dari perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang salah satunya merupakan indikator tingkat kesuksesan, motivasi, kemajuan dan tolak ukur

Dengan adanya penambahan fasilitas ini mengakibatkan bertambahnya jumlah pengunjung yang menuju Kawasan Wisata Pantai Muaro Lasak Kota Padang, hal ini mendorong

(1) Setoran bagian Pemerintah sebesar 34% (tiga puluh empat persen) dari penerimaan bersih usaha kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan

Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan ini dibatasi pada balita usia 24-59 bulan di Puskesmas Cihampelas Kabupaten Bandung Barat sebagai target populasi dan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul MODEL ANTRIAN BUS ANTAR KOTA DI TERMINAL TIRTONADI belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada

Input data, yaitu: data Sumber PLN, Trafo, Saluran, dan beban yang diperoleh dari sistem yang terkait dengan catu daya Kawasan GI PUSPIPTEK dalam hal ini menggunakan catu