• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KURIKULUM SIAGA BENCANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL KURIKULUM SIAGA BENCANA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

LANDASAN PENGEMBANGAN MODEL KURIKULUM

LAYANAN KHUSUS

MODEL KURIKULUM

SIAGA BENCANA

TIM PENGEMBANG

PUSAT KURIKULUM

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

(2)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, panduan model kurikulum layanan khusus siaga bencana dapat diselesaikan. Penyusunan kurikulum siaga bencana melalui beberapa tahapan yaitu: identifikasi masalah dan kebutuhan, pembuatan kerangka model, penelaahan kerangka model, ujicoba model di sekolah dan finalisasi hasil uji coba. Penyusunan kurikulum siaga bencana bagi siswa sekolah dasar dilatar belakangi karena penanaman konsep sejak dini diperlukan untuk bekal dalam menghadapi bencana yang terjadi sewaktu-waktu. Bekal pengetahuan dan kecakapan hidup diperlukan oleh siswa sehingga ketika terjadi bencana dapat melakukan upaya penyelemaatan diri dan juga dapat menolong orang lain. Mudah-mudahan model kurikulum siaga bencana dapat berguna bagi daerah yang memiliki potensi bencana, sehingga dapat mengurangi jumlah korban

Dalam kegiatan tersebut banyak pihak yang terlibat seperti siswa, guru, kepala sekolah, ahli mitigasi bencana, komite sekolah dan Dinas Pendidikan Propinsi dan sebagainya. Bentuk kegiatan yang dilakukan workshop, diskusi, uji coba, seminar dan lain-lain Kami menyadari model kurikulum siaga bencana untuk sekolah dasar ini masih perlu banyak disempurnakan. Untuk itu, kami masih mengharapkan masukan dan saran bagi penyempurnaan model.

Jakarta, September 2008

(3)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1 B. Landasan Hukum 2 C. Tujuan 3

BAB II KONSEP DASAR/KAJIAN TEORITIS

A. Batasan istilah 4 B. Konsep Penaggulangan Bencana 5

BAB III STRATEGI PENGEMBANGAN

A. Pengembangan KTSP 10 B. Penekanan dalam Pengembangan KTSP 11 C. Pengembangan Selanjutnya 13

BAB IV GAMBARAN DAERAH MODEL

A. Kondisi Geografis 14 B. Profil Sekolah 15

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahwa kondisi alam dan keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam. Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi (gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat hidrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), bencana akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakaan industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat perebutan sumberdaya yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik. Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada suatu daerah.

Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang berlangsung secara perlahan. Beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, hampir tidak mungkin diperkirakan secara akurat kapan, dimana akan terjadi dan besaran kekuatannya. Sedangkan beberapa bencana lainnya seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, letusan gunungapi, tsunami dan anomali (penyimpangan) cuaca masih dapat diramalkan sebelumnya. Meskipun demikian kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan tersebut terjadi karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya.

Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan bencana diharapkan akan semakin baik, karena Pemerintah dan Pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana dilakukan secara terarah mulai pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana. Tahap awal dalam upaya ini adalah mengenali/mengidentifikasi terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.

Paling tidak ada interaksi empat faktor utama yang dapat menimbulkan bencana-bencana tersebut menimbulkan banyak korban dan kerugian besar, yaitu:

1. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya (hazards)

2. Sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya alam

(vulnerability)

3. Kurangnya informasi/peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapan

(5)

Oleh karena itu, langkah-langkah untuk pengelolaan penanggulangan bencana menjadi sangat penting untuk dilakukan, baik sebelum, setelah maupun saat terjadinya bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat yang perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan mitigasi bencana. Kegiatan lain yang diambil pada saat sebelum terjadinya bencana adalah kegiatan pencegahan

(prevention) dan kesiapsiagaan. Kegiatan pencegahan dimaksudkan untuk

menghindarkan terjadinya bencana, dan dititikberatkan pada upaya penyebarluasan berbagai peraturan perundang-undangan yang berdampak dalam meniadakan atau mengurangi resiko bencana. Kegiatan kesiapsiagaan ditujukan untuk menyiapkan respon masyarakat bila terjadin bencana, yang dilakukan dengan mengadakan pelatihan bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, serta pendidikan dan pelatihan bagi aparat pemeritah. Sedangkan mitigasi dilakukan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak dampak yang ditimbulkan bencana.

Pentingnya pendidikan dan pemberdayaan masyarakat akan dapat mengurangi besarnya kerugian akibat bencana. Pada saat sebelum terjadi tsunami di Aceh, orang-orang di sekitar pantai berlarian menuju ke pantai untuk menangkap ikan yang terdampar di pantai ketika air laut secara tiba-tiba menyusut setelah terjadinya gempa. Mereka tidak menyadari hal tersebut merupakan awal dari bencana, karena air kembali bergerak ke pantai dengan kecepatan dan gelombang yang sangat tinggi. Banyaknya korban bencana alam mengindikasikan kurangnya kesiapan dan antisipasi masyakarakat akan gempa yang diikuti oleh tsunami dan akibat yang ditimbulkannya. Keadaan ini berkaitan erat dengan minimnya informasi, pendidikan bencana, dan kurangnya pengetahuan dasar akan fenomena dan gejala alam yang terjadi di wilayah pesisir dan laut. Bencana tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga akan pentingnya peningkatan pendidikan public, khususnya bagi masyarakat di daerah rawan bencana.

Satu hal lagi yang tak kalah penting adalah tanggap darurat bagi anak-anak sekolah dasar agar pengetahuan mengenai gempa dapat tertanam sejak dini dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan di masa mendatang. Untuk itulah maka dilakukan penyusunan Kerangka Pengembangan Model Kurikulum Siaga Bencana Sekolah Dasar.

B. Landasan Hukum

Landasan hukum penyusunan Kurikulum Siaga Bencana adalah sebagai berikut: 1. UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 38, ayat (2),

berbunyi:

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan

(6)

sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.

2. UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 36, ayat (2), berbunyi:

Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

3. PP No 19 Tahun 2005 tentang SPN, pasal 17, ayat (1), berbunyi:

Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB,

SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik

4. Permen no 6/2007: Perubahan Permen no. 24/2006, berbunyi:

Satuan pendidikan dapat mengadopsi atau mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional bersama unit terkait.

5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

C. Tujuan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Siaga Bencana Sekolah Dasar disusun dengan tujuan :

1. Sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah; 2. Menjadikan kurikulum lebih sesuai dengan kebutuhan setempat;

3. Menciptakan suasana pembelajaran di sekolah yang bersifat mendidik, mencerdaskan dan mengembangkan kreativitas anak.

4. Menciptakan pembelajaran yang efektif, demokratis, menantang, menyenangkan, dan mengasyikkan.

(7)

BAB II KONSEP DASAR/KAJIAN TEORITIS

A. Batasan Istilah

1.Bencana (disaster)

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

2.Penanggulangan bencana (disaster management)

Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. 3.Bahaya (hazard)

Bahaya adalah suatu keadaan alam yang menimbulkan potensi terjadinya bencana.

4.Kerentanan (vulnerability)

Kerentanan adalah suatu keadaan yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia (hasil dari proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan) yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat terhadap bahaya.

5.Kemampuan (capacity)

Kemampuan adalah penguasaan sumberdaya, cara, dan kekuatan yang dimiliki masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.

6.Risiko (risk)

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.

7.Pencegahan (prevention)

Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.

(8)

8.Mitigasi (mitigation)

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

9.Kesiapsiagaan (preparedness)

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

10. Peringatan Dini (early warning)

Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

11. Pemberdayaan masyarakat (community empowerment)

Pemberdayaan masyarakat adalah program atau kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat melaksanakan penanggulangan bencana baik pada sebelum, saat maupun sesudah bencana.

B. Konsep Penanggulangan Bencana

Konsep penanggulangan bencana terdiri dari tahapan : 1. Pra bencana

Pemetaan daerah rawan bencana Analisis resiko

Rencana kontingensi

Peraturan dan pengaturan tataruang dan tata bangun Pengkajian dan penelitian

Sosialaisasi siaga bencana melalui media umum

Pendidikan, pelatihan siaga bencana dan peringatan dini

Penyadaran pemeliharaaan dan penyelamatan alat deteksi dan mitigasi bencana

2. Tanggap darurat Aktivasi posko

Pencarian dan penyelamatan Air bersih dan sanitasi Pemberian bantuan darurat Layanan kesehatan

c. Pasca darurat

Pemulihan (recovery)

Rehabilitasi sarana dan prasarana Rehabilitasi fasilitas umum dan sosial

(9)

Rehabilitasi kesiapan belajar dan pembelajaran Penanganan pos trauma stress

Rekontruksi pembangunan Pemberdayaan masyarakat

Penyadaran perlunya siaga bencana

Penyadaran pemeliharaaan dan penyelamatan alat deteksi dan mitigasi bencana

Konsep penanggulangan bencana mengalami pergeseran paradigma dari konvensional menuju ke holistik. Pandangan konvensional menganggap bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan, sehingga fokus dari penanggulangan bencana lebih bersifat bantuan (relief) dan kedaruratan (emergency). Oleh karena itu pandangan semacam ini disebut dengan paradigma Relief atau Bantuan Darurat yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan darurat berupa: pangan, penampungan darurat, kesehatan dan pengatasan krisis. Tujuan penanggulangan bencana berdasarkan pandangan ini adalah menekan tingkat kerugian, kerusakan dan cepat memulihkan keadaan.

Paradigma yang berkembang berikutnya adalah Paradigma Mitigasi, yang tujuannya lebih diarahkan pada identifikasi daerah-daerah rawan bencana, mengenali pola-pola yang dapat menimbulkan kerawanan, dan melakukan kegiatan-kegiatan mitigasi yang bersifat struktural (seperti membangun konstruksi) maupun non-struktural seperti penataan ruang, building code dan sebagainya.

Selanjutnya paradigma penanggulangan bencana berkembang lagi mengarah kepada faktor-faktor kerentanan di dalam masyarakat yang ini disebut dengan Paradigma Pembangunan. Upaya-upaya yang dilakukan lebih bersifat mengintegrasikan upaya penanggulangan bencana dengan program pembangunan. Misalnya melalui perkuatan ekonomi, penerapan teknologi, pengentasan kemiskinan dan sebagainya.

Paradigma yang terakhir adalah Paradigma Pengurangan Risiko. Pendekatan ini merupakan perpaduan dari sudut pandang teknis dan ilmiah dengan perhatian kepada faktor-faktor sosial, ekonomi, pendidikan dan politik dalam perencanaan pengurangan bencana. Dalam paradigma ini penanggulangan bencana bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan menekan risiko terjadinya bencana. Hal terpenting dalam pendekatan ini adalah memandang masyarakat sebagai subyek dan bukan obyek dari penanggulangan bencana dalam proses pembangunan.

Di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Hal ini merupakan gambaran bahwa paradigma konvensional masih kuat dan berakar di masyarakat. Pada umumnya mereka percaya

(10)

bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mengambil langkah-langkah pencegahan atau penanggulangannya.

Paradigma penanggulangan bencana sudah beralih dari paradigma bantuan darurat menuju ke paradigma mitigasi/preventif dan sekaligus juga paradigma pembangunan. Karena setiap upaya pencegahan dan mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksinya telah diintegrasikan dalam program-program pembangunan di berbagai sektor.

Dalam paradigma sekarang, Pengurangan Risiko Bencana yang merupakan rencana terpadu yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah serta meliputi aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam implementasinya kegiatan pengurangan risiko bencana nasional akan disesuaikan dengan rencana pengurangan risiko bencana pada tingkat regional dan internasional. Dimana masyarakat merupakan subyek, obyek sekaligus sasaran utama upaya pengurangan risiko bencana dan berupaya mengadopsi dan memperhatikan kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Sebagai subyek masyarakat diharapkan dapat aktif mengakses saluran informasi formal dan non-formal, sehingga upaya pengurangan risiko bencana secara langsung dapat melibatkan masyarakat. Pemerintah bertugas mempersiapkan sarana, prasarana dan sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana.

Dalam rangka menunjang dan memperkuat daya dukung setempat, sejauh memungkinkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana akan menggunakan dan memberdayakan sumber daya setempat. Ini termasuk tetapi tidak terbatas pada sumber dana, sumber daya alam, ketrampilan, proses-proses ekonomi dan sosial masyarakat.

Jadi ada tiga hal penting terkait dengan perubahan paradigma ini, yaitu:

Penanggulangan bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat tetapi lebih pada keseluruhan manajemen risiko

Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujud pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan semata-mata karena kewajiban pemerintah

Penanggulangan bencana bukan lagi hanya urusan pemerintah tetapi juga menjadi urusan bersama masyarakat dan lembaga usaha, dimana pemerintah menjadi penanggung jawab utamanya

Sebagai salah satu tindak lanjut dalam mengahadapi perubahan paradigma tersebut, pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe - Jepang, diselenggarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference on Disaster Reduction) yang menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana,

(11)

baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan. Substansi dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima prioritas kegiatan untuk tahun 2005-2015 yaitu:

Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat

Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini

Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat

Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana

Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif

Sebagai langkah dalam penusunan kurikulum siaga bencana meliputi : identifikasi kebutuhan, membuat kerangka model, menelaah kerangka model, melakukan uji coba dan finalisasi hasil uji coba.

Salah satu penyebab timbulnya bencana di Indonesia adalah kurangnya pemahaman terhadap karakteristik ancaman bencana. Sering kali seolah-olah bencana terjadi secara tiba-tiba sehingga masyarakat kurang siap menghadapinya, akibatnya timbul banyak kerugian bahkan korban jiwa. Padahal sebagian besar bencana dapat diprediksi waktu kejadiannya dengan tingkat ketepatan peramalan sangat tergantung dari ketersediaan dan kesiapan alat serta sumber daya manusia.

Pemahaman tentang ancaman bencana meliputi pengetahuan secara menyeluruh tentang hal-hal sebagai berikut:

Bagaimana ancaman bahaya timbul.

Tingkat kemungkinan terjadinya bencana serta seberapa besar skalanya Mekanisme perusakan secara fisik.

Sektor dan kegiatan kegiatan apa saja yang akan sangat terpengaruh atas kejadian bencana.

Dampak dari kerusakan.

Beberapa jenis bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah: Banjir.

Tanah Longsor. Kekeringan.

Kebakaran hutan dan lahan. Angin badai.

Gelombang badai/pasang. Gempa bumi.

Tsunami.

(12)

Kegagalan teknologi. Wabah penyakit.

Menghadapi berbagai jenis bencana tersebut, maka dilakukan upaya mitigasi dengan prinsip-prinsip bahwa:

Bencana adalah titik awal upaya mitigasi bagi bencana serupa berikutnya.

Upaya mitigasi itu sangat kompleks, saling ketergantungan dan melibatkan banyak pihak

Upaya mitigasi aktif lebih efektif dibanding upaya mitigasi pasif

Jika sumberdaya terbatas, maka prioritas harus diberikan kepada kelompok rentan

Upaya mitigasi memerlukan pemantauan dan evaluasi yang terus menerus untuk mengetahui perubahan situasi.

Sedangkan strategi mitigasi bencana dapat dilakukan antara lain dengan:

Mengintegrasikan mitigasi bencana dalam program pembangunan yang lebih besar.

Pemilihan upaya mitigasi harus didasarkan atas biaya dan manfaat.

Agar dapat diterima masyarakat, mitigasi harus menunjukkan hasil yang segera tampak.

Upaya mitigasi harus dimulai dari yang mudah dilaksanakan segera setelah bencana.

Mitigasi dilakukan dengan cara meningkatkan kemampuan lokal dalam manajemen dan perencanaan.

(13)

BAB III STRATEGI PENGEMBANGAN

A. Pengembangan KTSP

Perbedaan karekteristik geografis membutuhkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan wilayahnya. Pemerintah yang direpresentasikan melalui satuan pendidikan (sekolah), membuka pendidikan layanan khusus, dalam mengembangkan KTSP-nya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Panduan Penyusunan KTSP Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

2. Kondisi geografis sekolah

Kondisi geografis suatu daerah menjadi perhatian penting dalam mengembangkan KTSP. Perbedaan karakteristik wilayah harus diakomodasi dalam kurikulum yang akan dilaksanakan. Keragaman kondisi geografis dapat terjadi pada masyarakat yang berada di daerah pedesaan, pantai, pegunungan, pertanian, pariwisata, industri, daerah rawan bencana dan sebagainya. Sekolah dapat memberikan mata pelajaran vokasi yang sesuai dengan kondisi geografis daerah. Misalnya daerah bencana dapat mengembangkan pendidikan yang memiliki muatan pemahaman potensi bencana dan siaga bencana. Untuk menentukan mata pelajaran yang sesuai, sekolah dapat menganalisis kondisi geografis di daerahnya.

3. Potensi sekolah

KTSP Pendidikan Layanan Khusus (PLK) menjadi bagian dari penyusunan KTSP sekolah yang mengakomodasi peserta didik yang berada pada daerah rawan bencana. Untuk itu diperlukan kesiapan sekolah dalam pelayanan tersebut. Hal penting yang perlu diperhatikan sekolah adalah:

a. Sarana prasarana

Kesiapan sekolah dalam menyediakan sarana dan prasarana sangat menunjang pelaksanaan KTSP. Perlu diperhatikan kondisi dan jumlah kelas, media pembelajaran, laboratorium, ruang praktikum, dan perpustakaan.

b. Peserta didik

Diperlukan analisis untuk mengetahui kebutuhan peserta didik yang berada pada lingkungan potensi bencana. Data diperlukan untuk menentukan kebijakan dalam memberikan layanan khusus kepada mereka.

c. Pendidik dan tenaga kependidikan

Perlu dipersiapkan pendidik dan tenaga kependidikan yang mampu melayani pendidikan layanan khusus.

(14)

4. Berkoordinasi dengan: a. Komite Sekolah

Sekolah yang berada pada daerah potensi bencana memberikan informasi kepada komite sekolah, agar dalam penyelenggaraan pembelajarannya memperoleh dukungan sepenuhnya. Komite Sekolah memberikan masukan ketrampilan yang diperlukan dalam menghadapi bencana

b. Dinas Pendidikan setempat

Sekolah juga harus menginformasikan kepada Dinas Pendidikan kalau di sekolahnya menggunakan kurikulum yang memuat materi siaga, di samping juga dukungan dana dalam pengadaan dan pemeliharaan fasilitas sekolah, serta kehadiran guru yang memadai.

c. Masyarakat sekitar

Masyarakat sekitar mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penanganan siaga bencana. Keterlibatan mereka sangat diperlukan untuk memberikan masukan kebutuhan ketrampilan dalam menghadapi bencana. Diharapkan yang berwenang di masyarakat bisa membantu mensosialisasikan kurikulum siaga bencana

B. Penekanan dalam Pengembangan KTSP

Dalam pengembangan KTSP, sekolah harus berpijak pada panduan yang dikeluarkan dari BSNP, disamping itu dapat memperhatikan 4 aspek berikut ini:

1. Prinsip Pengembangan KTSP PLK a. Fleksibel

Untuk pendidikan layanan khusus, sekolah memberikan fleksibilitas waktu kepada peserta didik. Fleksibilitas yang dimaksud adalah pada layanan waktu belajar dan lama waktu belajar. Layanan waktu belajar dimaksudkan dengan memberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk menempuh waktu belajar pada pagi atau sore hari. Layanan belajar pada sore hari ditujukan bagi peserta didik yang bekerja pada pagi hari. Layanan lama belajar dimaksudkan dengan memberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk mengatur lama masa belajar. Bagi peserta didik yang memiliki kecepatan belajar yang lebih dari rata-rata dan menguasai standar kompetensi yang ditetapkan dapat mengikuti akselerasi. Yang perlu diperhatikan dalam layanan ini adalah pendekatan belajar mastery learning (pembelajaran tuntas). Untuk itu, sekolah dapat melaksanakan sistem pembelajaran sesuai dengan kecepatan belajar anak. KTSP yang dirancang sekolah bertujuan agar semua peserta didik mencapai Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi, dan Kompetensi Dasar yang sama.

Pengelolaan waktu dibedakan dengan mengatur penambahan alokasi waktu jam pelajaran setiap minggu. Peserta didik diberikan ketrampilan menghadapi bencana, dapat dilakukan dengan simulasi siaga bencana. Waktu yang diperlukan lebih banyak untuk praktek

(15)

b. Kompeten

KTSP bertujuan untuk memberikan kompetensi-kompetensi pada peserta didik untuk setiap mata pelajaran yang diikutinya. Peserta didik diberi ketrampilan dalam menghadapi bencana. Artinya, sekolah memberikan pelayanan kepada siswa dengan kompetensi yang lebih ditujukan ke arah kecakapan hidup (life skill) dalam menghadapi bencana yang ada dilingkungannya.

c. Independen

Dengan diberikan kompetensi tertentu yang secara khusus mampu meningkatkan kemandirian peserta didik, diharapkan kompetensi itu diwadahi dalam mata pelajaran tersendiri, tidak terintegrasi dengan mata pelajaran lain. Sehingga dapat dikatakan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Mata pelajaran ini dapat berupa keterampilan dan muatan lokal. Mata pelajaran keterampilan diarahkan guna kelangsungan hidup setelah hidup dalam masyarakat. Disamping itu, perlu dipikirkan pengelolaan mata pelajaran mulok yang diberikan, agar tidak terjadi adanya benturan dari Dinas setempat dalam pemberian mulok ini. Untuk itu perlu adanya komunikasi dan koordinasi dengan Dinas.

d. Percaya Diri

Kompetensi yang mengarah ke kecakapan hidup (life skill) ini dapat dijadikan bekal bagi siswa dalam menumbuhkan kepercayaan diri dapat dijadikan bekal untuk kejenjang berikutnya dan setelah terjun kemasyarakat nantinya

2. Karakteristik Peserta Didik

Dalam pengembangan KTSP perlu juga diperhatikan permasalahan yang mungkin muncul pada sekolah rawan bencana , yakni:

a. Siswa yang memiliki traumatis psikologis

Siswa dengan kategori ini adalah siswa yang pernah mengalami bencana. Sehingga diperlukan pendekatan khusus agar pengalaman yang pernah dialami menjadi bekal untuk menghadapi bencana.

b. Siswa kurang memiliki motivasi untuk menggali pengetahuan

Siswa dengan kategori ini kurang memiliki minat baca bahan ajar seperti buku paket/penunjang disediakan di sekolah.

3. Perlakuan Khusus

Setelah memperhatikan prinsip pengembangan dan karakteristik dalam pengembangan KTSP, sekolah dapat memberlakukan sistem sebagai berikut: a. Pemanfataan media, sekolah membuat media yang dapat dipahami oleh

peserta didik sehingga kompetensi yang diharapkan dapat tercapai. Media dapat berupa buku penunjang yang mudah dipahami. Atau media tiga dimensi yang dibuat sendiri

(16)

Pembelajaran tidak hanya terbatas didalam kelas tetapi dapat dilakukan diluar kelas melalui game, simulasi, out bond dan kegiatan lainnya yang lebih bersifat ketrampilan motorik.

4. Tujuan Akhir

Pengembangan KTSP PLK ini mempunyai tujuan akhir bagi peserta didiknya, yaitu:

a. Memahami kondisi lingkungan sekitarnya yang memiliki potensi bencana b. Memiliki pengetahuan yang benar terhadap bahaya bencana

c. Memiliki ketrampilan hidup (life skill) menghadapi bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu

d. Dapat menularkan pengetahuan dan ketrampilannya ke lingkungan keluarga dan masyarakat

C. Pengembangan Selanjutnya

Melihat realita permasalahan yang ada pada jenjang pendidikan dasar, maka diperlukan kebijakan tertentu dalam penyelenggaraan pendidikan layanan khusus. Pembekalan karakteristik kompetensi tertentu yang berbeda perlu diwadahi agar pendidikan dasar dapat memberikan layanan yang lebih beragam. Perlu dipikirkan pengembangan konsep kurikulum terdiferensiasi dan kebijakan yang dapat melayani peserta didik yang bertempat tinggal didaerah yang memiliki potensi bencana.

(17)

BAB IV GAMBARAN DAERAH MODEL

C. Kondisi Geografis

Bencana alam yang bisa berupa gempa bumi, longsor, banjir, kebakaran hutan, tsunami, gunung meletus, gas alam beracun, dan sebagainya, menimbulkan pengaruh yang besar terhadap lingkungan sosial masyarakat, khususnya terhadap kelangsungan pendidikan di daerah yang mengalaminya.

Beberapa wilayah Indonesia termasuk ke dalam kategori daerah rawan bencana, yang sewaktu-waktu dapat kembali tertimpa bencana serupa. Oleh karena itu di daerah-daerah tersebut harus diupayakan terdapat tindakan-tindakan tertentu sebagai antisipasi menghadapi bencana dan akibat yang ditimbulkannya. Demikian juga dalam hal penyelenggaraan pendidikan.

Kabupaten Sikka merupakan salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang merupakan daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Kabupaten Sikka yang dikelilingi laut merupakan kepulauan yang berada pada lempeng Eurasia, bagian selatan pulau Nusa Tenggara merupakan pertemuan antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudera Hindia Australia. Lempeng samudera menunjam lempeng benua yang pada periode tertentu melepaskan energi berupa gempa tektonik. Pertemuan lempeng didalam perairan dapat memicu gelombang tsunami. Gempa tektonik yang ditimbulkan tidak selamanya menimbulkan tsunami. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seperti kedalam, intensitas gempa , dan jenis pergerakannya

Bencana tsunami terakhir yang dialami terjadi di kabupaten Sikka pada tanggal 12 Desember 1992, mengakibatkan kerugian baik korban jiwa maupun harta benda. Jumlah korban dapat dikurangi apabila masyarakat memiliki kesiapsiagan bencana. Baik melalui pengetahuan dan ketrampilan maupun dalam pembangunan sarana dan prasarannya.

Salah satu kerusakan fisik akibat gempa adalah runtuhnya bangunan sekolah Sekolah yang berada dekat dengan pantai sehingga ketika terjadi gempa dan tsunami mengalami kerusakan berat dan sampai sekarang dilakukan relokasi ke SDN XXIV Wuring Kecamatan Alok..

Namun demikian perjuangan memulihkan kondisi persekolahan ke keadaan semua sekaligus mengembangkannya menjadi beban tersendiri yang tidak dialami sekolah lain di daerah normal. Dalam upaya menyiapkan peserta didik memperoleh kompetensi yang dibutuhkannya, maka SDN XXIV Wuring dijadikan sekolah model untuk uji coba kurikulum siaga bencana. Pelaksanaan uji coba dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam penerapannya di sekolah secara langsung. Uji coba dengan melakukan praktek penerapan rencana pembelajaran dan menyebar kuesioner terhadap dokumen kurikulum siaga bencana. Disusun pula pengembangan silabus dan rencana pembelajaran yang diintegrasikan (disatukan) dengan matapelajaran yang ada.

(18)

D. Profil Sekolah

NAMA SEKOLAH : SDN WURING NOMOR STATISTIK SEKLOAH : 101240808002

ALAMAT SEKOLAH : Nangahure-Kel. Wuring, Kecamatan Alok Barat Kabupaten Siswa Propinsi NTT

AKREDITASI SEKOLAH : C

LUAS TANAH : 11.210 M2 LUAS BANGUNAN :654 M2 KONDISI BANGUNAN

NO JENIS UNIT KONDISI KETERANGAN 1 Ruang kelas 13 Baik -

2 Ruang

perpustakaan

1 - Sedang

dibangun

3 Ruang guru - - -

4 Ruang Kepsek 1 Baik -

5 Ruang TU - - -

6 Ruang Lab - - -

TENAGA PENGAJAR/TATA USAHA

1.Jenjang Pendidikan a. Tenaga pengajar - SI = 2 orang - D3 = 1 orang - D2 = 6 orang - SMA = 12 orang b. Tenaga tata usaha

- SMA = 1orang - SLTP= 1 orang 2. Status Pegawai

a. PNS = 19 orang b.Honore r= 4 orang

(19)

KEADAAN SISWA PADA AWAL TAHUNPELAJARAN 2008/2009

Laki-laki = 229 orang Perempuan = 242 orang Jumlah = 471 orang

JUMLAH SISWA PER KELAS

Kelas Laki-laki Perempuan Jumlah

1a 17 19 36 1b 17 19 36 1c 18 17 35 52 55 107 2a 21 15 36 2b 21 14 35 42 29 71 3a 18 42 60 3b 19 24 43 37 48 85 4a 20 16 36 4b 16 17 33 36 33 69 5a 17 17 34 5b 12 21 33 29 38 67 6a 11 22 33 6b 22 17 39 33 39 72 229 242 471

Referensi

Dokumen terkait

Perjuangan perempuan dalam dunia kerja untuk perluasan akses aktivitasnya dapat membuat kaum perempuan berada pada posisi negatif (suatu tindakan keburukan) dan positif

Tanggal 5 Desember 2005, Obar Sobarna menjabat Bupati Bandung untuk kali kedua didampingi oleh H. Yadi Srimulyadi sebagai wakil bupati, melalui proses pemilihan langsung. Pada

bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 185 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8

bahwa dengan bertambahnya aset kekayaan Daerah serta tarif retribusi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2000 sebagaimana diubah beberapa kali

Dari hasil penelitian ini yang menunjukkan adanya korelasi antara usia dengan jumlah kehilangan gigi pada usia yang berisiko osteoporosis, sebaiknya setiap dokter gigi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan uji wilcoxon tentang perbedaan nilai pre-test dan post-test pada kelompok intervensi didapatkan hasil dengan

(2) ADB Kependudukan yang telah melaksanakan pengembangan kompetensi Jabatan Fungsional ADB Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), berhak

Refleksi yang terjadi pada kondisi gelombang pecah di kaki struktur sangat berkemungkinan dipengaruhi oleh kondisi – kondisi lokal oleh proses interaksi aliran