• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

15

2 FORMULASI INDEKS RESILIENSI

2.1. Pendahuluan

Pengukuran kualitas suatu ekosistem merupakan tahapan yang sangat penting di dalam pengelolaan. Mengenali karakteristik dari suatu ekosistem merupakan langkah awal di dalam membuat rencana pengelolaan yang efektif. Salah satu komponen kualitas ekosistem terumbu karang adalah resiliensi, yaitu potensi pemulihan terumbu karang jika terjadi gangguan. Semakin tingginya ancaman terhadap kerusakan terumbu karang di era perubahan iklim global, membuat posisi resiliensi ekosistem semakin penting. Sayangnya, metode pengukuran resiliensi ekosistem tersebut masih dalam proses pengembangan.

Di dalam awal bab ini perlu diklarifikasikan lebih dahulu tentang penggunaan kata ‘indeks’, ‘indikator’, dan‘peubah (variabel)’, yang akan banyak digunakan di dalam disertasi ini. Penggunaan istilah ‘indeks’ dan ‘indikator’ yang sangat bervariasi di dalam ekologi telah membingungkan dan multi-tafsir (Heink & Korawik 2010). Indeks dapat didefinisikan sebagai sebuah indikator ekologis yang secara kuantitatif mendeskripsikan kondisi dari suatu lingkungan atau ekosistem (Lin et al. 2009). Kompleksitas ekosistem yang disederhanakan di dalam sebuah indeks menuntut formulasi indeks tidak cukup hanya melibatkan sebuah peubah. Sebuah indeks disusun menggunakan sejumlah peubah yang terintegrasi di dalam sebuah rumus penghitungan indeks. Peubah yang digunakan di dalam penghitungan suatu indeks disebut sebagai peubah indikator indeks atau peubah indikator.

Secara konvensional kondisi terumbu karang dinilai berdasarkan tutupan dan keanekaragaman spesies karang, serta kelimpahan dan keanekaragaman ikan terumbu karang (English et al. 1994). Data keanekaragaman karang seringkali kurang meyakinkan karena sedikitnya ahli taksonomi karang di Indonesia. Keanekaragaman spesies karang juga tidak dapat dianggap sebagai jaminan dari resiliensi terumbu karang. Keanekaragaman fungsional dapat lebih penting untuk menjalankan fungsi ekosistem daripada keanekaragaman komposisional (Peru & Doledec 2010). Pentingnya keanekaragaman fungsional memungkinkan ekosistem kehilangan spesies tanpa mengalami perubahan fungsi.

(2)

Tutupan karang sebagai indikator kondisi terumbu karang sudah lama mendapat keluhan, misalnya Pearson (1981) dan Done (1988), tetapi belum ada penggantinya yang lebih baik. Kekurangan dari tutupan karang sebagai satu-satunya indikator ekologis adalah tidak mencerminkan struktur komunitas dan kompleksitas habitat. Conservation International (CI) telah mengembangkan sebuah indeks untuk mengukur kualitas atau “kesehatan” terumbu karang yang disebut Reef Condition Index (RCI). RCI dihitung berdasarkan 10 peubah kerusakan terumbu karang dan tutupan karang. Kesebelas peubah tersebut diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kategori dan masing-masing diberi bobot, sebagai bonus atau penalti (Mckenna et al. 2002, p. 68). Penghitungan ini menghasilkan sebuah angka yang dianggap mencerminkan kondisi umum terumbu karang. Pengelompokan data tutupan karang dan penilaian peubah lain dilakukan dengan menggunakan skor skala 1-4. Pembulatan nilai peubah dengan skor membuat RCI menjadi indeks yang kurang sensitif terhadap perubahan komunitas.

Penelitian ini dimaksudkan untuk menyusun suatu rumus matematis yang dapat digunakan untuk menilai tingkat resiliensi terumbu karang. Tingkat resiliensi terumbu karang dalam arti kecepatan komunitas karang pulih kembali dari gangguan, tidak dapat dinilai hanya dari tutupan karang. Indeks resiliensi yang akan dikembangkan didasarkan pada metode transek garis, sebuah metode yang sudah sangat popular digunakan di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.

2.2 Metode Penelitian

2.2.1 Penentuan peubah indikator

Berdasarkan kajian pustaka diperoleh 11 peubah yang dapat menjadi calon peubah indikator resiliensi terumbu karang. Kesebelas peubah tersebut mewakili 6 (enam) komponen atau faktor yang berperan besar di dalam pemulihan terumbu karang (Tabel 2), jika terjadi gangguan yang berdampak akut dan berkaitan langsung dengan kelulushidupan karang.

Indeks resiliensi yang dikembangkan dirancang untuk mengukur secara kuantitatif kemampuan terumbu karang pulih kembali ketika mengalami gangguan kematian karang masal. Di dalam terumbu karang, komunitas karang

(3)

merupakan komponen utama pembentuk ekosistem terumbu karang, sehingga pemulihan komunitas karang merupakan indikator utama dari pemulihan terumbu karang.

Tabel 2 Daftar 11 peubah indikator resiliensi terumbu karang yang diperoleh dari kajian pustaka.

Komponen Peubah indikator Unit/penjelasan

A. Warisan biologis (Biodiversity)

1) Kekayaan genus (CGR: coral genera richness)

2) Kekayaan kelompok fungsional (CFG: coral functional group)

jumlah genus

jumlah bentuk tumbuh (life form)

B. Warisan struktural (Habitat complexity and substrate)

3) Karang masif dan submasif (CMC dan CSC: coral massive and sub-massive covers) 4) Susbtrat yang tidak dapat dihuni

(USS: unsuitable settlement substrate)

% tutupan CMC+CSC

% tutupan pasir (S) dan lumpur (SI)

C. Biota yang datang (Mobile link,

Recruitment)

5) Jumlah kelas ukuran koloni (CSC: coral size classes) 6) Jumlah karang ukuran kecil

(CSN: coral small-size number)

jumlah kelas, dengan interval 10 cm jumlah koloni kecil

D. Produktivitas (Regimes)

7) Karang (CCO: coral cover) 8) Algae (ALC: algal cover) 9) Fauna lain (OTF: other fauna

cover) % tutupan karang % tutupan algae % tutupan OTF E. Herbivori (Herbivory)

10)Algae berdaging (AMC: macroalgal cover)

% tutupan makroalgae (MA)

F. Kualitas perairan (Water quality)

11)Karang Acropora (CAC: coral Acropora cover)

% tutupan karang Acropora

Proses pemulihan kembali terumbu karang tersebut tergantung pada:

(a) Warisan biologis, berupa karang yang selamat dari gangguan. Besar kecilnya warisan biologis tersebut ditentukan oleh keanekaragaaman hayati komunitas karang saat ini. Karang dari spesies tertentu, genus tertentu, atau dengan bentuk tumbuh tertentu lebih tahan terhadap gangguan daripada yang lainnya (Brown & Suharsono 1990; Gleason 1993; Marshall & Baird 2000; Ninio & Meekan 2002). Karang yang selamat dari gangguan dapat mempercepat rekolonisasi ruang yang terbuka, baik dari larva yang dihasilkan (Miller & Mundy 2003; Starger et al. 2010), dari rekruitmen secara vegetatif (Williams et al. 2008; Golbuu et al. 2007), maupun dari pertumbuhan karang tersebut.

(4)

Peubah indikator dari keanekaragaman hayati karang yang digunakan adalah keanekaragaman genus (CGR, coral genera richness), dan keanekaragaman bentuk tumbuh atau kelompok fungsional karang (CFG, coral functional groups). Keanekaragaman spesies tidak digunakan karena tingginya tingkat kesulitan identifikasi karang ke tingkat spesies di dalam air, dan kurangnya ahli taksonomi karang di Indonesia (Erdinger & Risk 2000).

(b) Warisan struktural adalah bentuk fisik terumbu karang yang akan bertahan ketika terjadi gangguan. Warisan struktural ini berupa kompleksitas habitat dan substrat yang dapat ditumbuhi karang. Habitat yang kompleks dapat menjaga keanekaragaman ikan (Wilson et al. 2007) dan kelangsungan proses herbivori (Ledlie et al. 2007), serta meningkatkan rekruitmen karang (Petersen et al. 2005), sehingga sangat penting dalam pemulihan komunitas karang. Kompleksitas habitat terumbu karang biasanya diukur dengan indeks spasial (Rogers et al. 1983), indeks permukaan (Roberts & Ormond 1987), atau penilaian visual (Wilson et al. 2007). Di dalam penelitian ini, yang menggunakan data transek garis, ukuran kompleksitas habitat diperkirakan berdasarkan tutupan karang masif (CMC, coral massive cover) dan submasif (CSC, coral submassive cover). Keduanya dapat dijadikan satu peubah sebagai CMS (coral massive submassive). CMS, disamping memiliki kepadatan kerangka yang tinggi juga banyak dilaporkan merupakan kelompok yang tahan (resistant) terhadap gangguan (Gleason 1993; Ninio & Meekan 2002). Pada terumbu karang yang mengalami kematian masal, semua bentuk tumbuh karang yang lain akan segera menjadi pecahan karang (rubble) karena memiliki kepadatan kerangka kapur yang jauh lebih rendah. Kelimpahan CMS yang tinggi dapat menjamin ketersediaan habitat yang kompleks ketika terjadi gangguan kematian karang secara masal. Sayangnya kelimpahan CMS tidak hanya menunjukkan kompleksitas habitat yang tinggi tetapi juga berkaitan dengan kualitas air yang buruk, misalnya dekat sumber polusi dari daratan (Erdinger & Risk 2000). Hubungan antara kelimpahan CMS dengan resiliensi menjadi tidak linier, melainkan seperti parabola (kuadratis), sehingga tidak dapat secara langsung dijadikan sebagai peubah indikator dari resiliensi terumbu karang.

(5)

Sebagian struktur terumbu karang merupakan substrat keras yang stabil sehingga dapat ditumbuhi larva karang, tetapi sebagian lainnya tidak. Besarnya jumlah substrat yang dapat ditumbuhi oleh karang sulit diukur pada transek, karena sebagian substrat stabil tersebut sedang ditumbuhi dan tertutup oleh karang atau oleh biota lainnya. Di dalam penelitian ini peubah indikator yang digunakan adalah besarnya substrat yang tidak dapat digunakan larva karang untuk menempel dan tumbuh (USS, unsuitable settlement subsrate), sehingga tidak ditumbuhi karang atau benthos lainnya, yaitu tutupan pasir dan lumpur. Peubah indikator USS tersebut bersifat negatif terhadap potensi pemulihan karang sehingga memiliki tanda kurang (-) di dalam rumus indeks. Substrat pecahan karang, karang mati, dan batu kapur (rock) dapat berfungsi sebagai substrat penempelan larva karang ketika dalam kondisi stabil. Jika pecahan karang tersebut belum stabil saat ini, mereka akan menjadi stabil di lain waktu setelah banyak mendapat sedimentasi kapur perekat dari algae berkapur.

(c) Komponen biota yang datang (mobile link) dapat berupa karang, ikan terumbu, maupun biota yang lainnya. Pemulihan komunitas karang sangat tergantung pada datangnya larva karang, yang menjadi faktor utama keterkaitan antar terumbu. Kedatangan ikan terumbu dan biota lain dapat menjadi bagian penting dari proses rekruitmen karang, tetapi tidak berpengaruh secara langsung pada pemulihan karang. Data rekruitmen karang tidak tersedia di dalam transek garis, sehingga digunakan pendekatan lain untuk mewakili rekruitmen karang, yaitu ukuran koloni karang.

Di dalam penelitian ini rekruitmen karang diukur berdasarkan ukuran koloni karang di transek garis. Transek garis dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran koloni karang (Marsh et al. 1984), dengan menggunakan rumus tertentu. Ukuran koloni ditentukan sebagai panjang potongan transek (intercept chord) yang melintasi bagian koloni tersebut, karena penggunaan rumus yang rumit dianggap tidak praktis bagi pengelola (manajer) kawasan terumbu karang. Cara pendugaan yang praktis ini juga tidak berpengaruh pada hasil penelitian, karena tujuan utama penelitian bukan untuk mengetahui ukuran koloni karang.

(6)

Jika di suatu terumbu terjadi rekruitmen yang berkesinambungan maka struktur komunitas karang akan memiliki banyak ukuran koloni, atau rentangan ukuran koloni terkecil dengan terbesar lebar. Peubah indikator jumlah kelas ukuran koloni (CCS, coral colony size), dengan interval ukuran koloni 10 cm (panjang transek) digunakan untuk melihat kesinambungaan rekruitmen karang. Jumlah koloni pada kelas ukuran koloni yang terkecil (≤10 cm) dapat mencerminkan proses reskruitmen pada terumbu karang tersebut, sehingga dapat digunakan juga sebagai indikator dari rekruitmen karang. Secara konvensional, rekruitmen karang di habitat alami diukur berdasarkan jumlah anakan karang atau juvenile yang didefinisikan sebagai koloni karang berukuran ≥5 cm (Van Moorsel 1985; Golbuu et al. 2007), 2 dan 5 cm (Miller et al. 2000), 0.5-5.0 cm (McClanahan et al. 2005), dan 2-40 mm (Edmunds et al. 2004). Di dalam penelitian ini rekruitmen karang diestimasi berdasarkan jumlah koloni karang yang berukuran kecil (CSN, coral small-size number), yaitu yang mempunyai ukuran 1-10 cm panjang transek. Batasan ukuran koloni ini tidak memiliki makna secara biologis dan ekologis, tetapi dapat menunjukkan ada tidaknya proses rekruitmen karang di terumbu karang tersebut.

(d) Produktivitas ekosistem juga merupakan faktor yang penting dari resiliensi terumbu karang. Kelimpahan karang (COC, coral cover) sudah lama dijadikan sebagai indikator utama kondisi terumbu karang. Walaupun hal ini tidak selalu efektif (Erdinger & Risk 2000), peneliti dan pengambil kebijakan belum melihat alternatif lain yang lebih baik dan praktis seperti peubah tutupan karang. Pada komunitas yang telah mengalami pergantian fase (phase shift), maka kelimpahan karang akan digantikan oleh makroalgae dan fauna lain, misalnya sponge, karang lunak, atau anemon (Hughes 1994; Fox et al. 2003; Tkachenko et al. 2007; Norstrom et al. 2009).

Sebagai peubah indikator dari komunitas alternatif setelah hilangnya dominansi karang adalah kelimpahan makroalgae atau fauna lain. Baik makroalgae maupun fauna lain ternyata keduanya memiliki kelimpahan yang sedikit pada terumbu karang Indonesia, secara berurutan mempunyai rata-rata (±SD) adalah 2.18±7.61% dan 8.05±11.28%, dan rentangan 100% dan

(7)

0-81.1%. Nilai rata-rata yang kecil dengan rentangan yang sangat besar merupakan indikasi peubah yang memiliki sumbangan ragam kecil. Jika kedua peubah tersebut digabungkan menjadi satu peubah indikator dari resiliensi terumbu karang, maka peubah tersebut masih kurang berpengaruh. Di antara lima kelompok algae yang paling dominan adalah algae turf (turf algae), yaitu kelompok algae yang berfilamen, tidak berdaging; yang memiliki rata-rata tutupan 18.93±19.99%. Algae berfilamen merupakan pesaing karang yang penting (Jompa & McCook 2003a, 2003b), disamping makroalgae. Agar biota dominan alternatif di terumbu karang menjadi peubah yang sebanding dengan tutupan karang, maka digunakan peubah indikator gabungan yang meliputi semua jenis algae dan fauna lain, dengan nama AOF (algae-other-fauna). Pada terumbu karang di Indonesia kelimpahan rata-rata AOF 30.57±24.24% dan rentangan 0-100%. Penggunaan semua jenis algae sebagai indeks kesehatan terumbu karang sudah pernah disarankan Bahartan et al. (2010). (e) Herbivori merupakan satu proses ekologis yang sangat penting pada resiliensi

ekosistem terumbu karang. Herbivori merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat mengendalikan kelimpahan makroalgae. Jika pertumbuhan makroalgae tidak dikendalikan maka komunitas makroalgae akan segera mendominasi terumbu karang (Hughes et al. 2007). Dominansi makroalgae berdampak negatif pada komunitas karang batu. Herbivori menyediakan ruang kosong untuk penempelan larva karang. Herbivora yang besar tidak hanya mencabik makroalgae tetapi juga memarut dasar terumbu tempat tumbuhnya makroalgae. Bagian kapur terumbu yang terbuka akibat cabikan tersebut akan segera ditumbuhi oleh bakteri dan layak untuk menjadi tempat penempelan larva planula karang.

Meskipun herbivori penting, penggunaan ikan herbivora sebagai peubah indikator resiliensi tidak mudah. Di dalam komunitas ikan herbivora, spesies yang berperan penting sangat tergantung pada komposisi komunitas makroalgae (Fox & Bellwood 2008; Hoey & Bellwood 2008). Herbivori yang sangat penting juga kadang diperankan oleh ikan yang umumnya dikelompokkan sebagai invertivora, misalnya Platax pinnatus di Orpheus Island (Bellwood et al. 2006). Redundansi peran ikan herbivora dengan

(8)

Diadema antillarum juga bervariasi antar lokasi (Carpenter 1990). Pengukuran intensitas herbivori lebih reliabel dilakukan pada dampak herbivori, yaitu kelimpahan makroalgae. Pada kondisi herbivori rendah komunitas makroalgae atau turf algae akan mempunyai kelimpahan yang tinggi (Littler et al. 2006), tergantung pada nutrient yang tersedia. Dengan menggunakan kelimpahan atau tutupan makroalgae (AMC, algae macro cover), pengukuran dampak herbivori lebih langsung dan datanya dapat diperoleh dari transek garis. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tutupan makroalgae (AMC) digabungkan dengan peubah yang lain menjadi AOF (algae dan faua lain).

(f) Kualitas perairan merupakan komponen yang sangat penting di dalam resiliensi terumbu karang. Air yang keruh atau banyak sedimen merupakan tekanan lingkungan yang menurunkan resiliensi terumbu karang. Di dalam data transek garis, komponen yang dapat berkaitan dengan kondisi perairan yang baik adalah karang Acroporidae (Done 1982; Erdinger & Risk 2000). Disamping itu, Acroporidae juga mencerminkan kondisi resiliensi yang tinggi karena komunitas karang Acropora berkaitan dengan pemulihan tutupan karang yang cepat (Ninio & Meekan 2002; Wakeford et al. 2008). Pentingnya karang Acropora sebagai indikator dari indeks resiliensi ini sangat disarankan oleh Dr. Brian Keller, peneliti NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), suatu lembaga yang mengelola terumbu karang di Florida Keys.

Sebaliknya, jika terjadi gangguan yang menyebabkan kematian masal karang, maka karang Acropora menjadi salah satu kelompok karang yang paling rentan (Brown & Suharsono 1990; Ninio & Meekan 2002). Kelimpahan karang Acropora yang terlalu tinggi menunjukkan kompleksitas habitat yang rendah. Kerangka karang Acropora yang sudah mati mudah patah dan menjadi puing pecahan karang, sehingga permukaan terumbu karang hampir menjadi rata kehilangan struktur tiga dimensi. Kelimpahan karang Acropora perlu dipadukan dengan kelimpahan karang masif dan submasif untuk menunjukkan kualitas perairan yang baik dan kompleksitas habitat yang tinggi.

(9)

Peubah indikator dari kedua kualitas terumbu karang tersebut dinamakan kualitas habitat karang (CHQ, coral habitat quality), yang merupakan akar kuadrat dari interaksi kelimpahan karang masif dan submasif dengan kelimpahan karang Acropora. Istilah karang masif dan submasif mengacu pada karang non-Acropora yang memiliki kerangka padat dengan bentuk tertentu. Secara teoritis nilai maksimum dari CHQ adalah 50%, yaitu ketika terumbu karang 50% tertutup oleh karang Acropora dan 50% sisanya tertutup oleh karang masif dan submasif. Peubah CHQ merupakan peubah baru yang menunjukkan kompleksitas habitat dan kualitas air, dengan satuan %.

Keterangan:

CAC=tutupan karang Acropora, CMC=tutupan karang masif, CSC=tutupan karang sub-masif.

Adanya penggabungan peubah membuat jumlah peubah indikator resiliensi terumbu karang berkurang dari 11 menjadi 8 (delapan) peubah. Peubah ALC, AMC, dan OTF telah bergabung menjadi sebuah peubah baru AOF, yang juga melibatkan kelimpahan jenis-jenis algae yang lain (turf algae, coralline algae, algal assemblage, Hallimeda). Peubah kompleksitas habitat (CMC dan CSC) digabung dengan peubah kondisi perairan (CAC) menjadi peubah kualitas habitat CHQ. Dengan demikian peubah indikator dari resiliensi yang diteliti meliputi: CGR, CFG, CCS, CSN, USS, CHQ, COC, dan AOF.

2.2.2 Pengumpulan data

Data yang digunakan di dalam penelitian ini seluruhnya adalah data yang telah dikoleksi oleh peneliti P2O LIPI, yang secara spasial terdistribusi pada sebagian besar wilayah perairan utama di Indonesia. Data tersebut telah dikoleksi di dalam program CRITC-COREMAP tahun 2009 dan di luar program COREMAP dalam periode 1992-1998. Data program COREMAP yang dikoleksi dengan metode LIT pada tahun 2009, meliputi seluruh 5 (lima) perairan ekoregion yang ada di Indonesia (Gambar 2).

(10)

Gambar 2. Peta lokasi pengambilan data CRITC-COREMAP pada tahun 2009 (huruf kapital), dan lokasi pengambilan data di luar COREMAP pada periode 1992-1998 (huruf kecil).

(11)

Data dari COREMAP meliputi sebagian besar perairan utama di Indonesia. COREMAP di Indonesia Barat dilaksanakan di 8 (delapan) kabupaten yang terdapat di 3 (tiga) propinsi, yaitu Natuna, Batam, Bintan, dan Lingga (Kepulauan Riau); Tapanuli Tengah, Nias, dan Nias Selatan (Sumatra Utara); serta Mentawai (Sumatra Barat). COREMAP di Indonesia Timur meliputi 7 (tujuh) kabupaten dari 4 (empat) propinsi, yaitu Pangkajene Kepulauan dan Selayar (Sulawesi Selatan); Buton dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara); Raja Ampat dan Biak (Papua Barat); serta Sikka (Nusa Tenggara Timur). Sebagian besar transek permanen diletakkan pada kedalaman 5 (lima) meter, dengan panjang 10 meter. Di sejumlah lokasi khusus, transek dibuat pada kedalaman kurang dari 5 (lima) meter, misalnya di Batam, Bintan, Lingga dan Buton, atau lebih dari 7 (tujuh) meter, misalnya di Wakatobi.

Data P2O LIPI yang lama (1992-1998) berasal dari perairan Kepulauan Seribu, Selat Sunda, Papua, dan Karimunjawa. Data lama tersebut disamping melengkapi kondisi terumbu karang Indonesia secara temporal, juga secara spasial, yaitu data perairan Laut Jawa. Data lama ini juga mempunyai panjang transek 10 meter, tetapi kedalamannya pada satu lokasi sangat bervariasi antara 1-15 meter. Perbedaan kedalaman dianggap tidak mempengaruhi terhadap rumus yang akan dihasilkan karena indeks tersebut belum digunakan untuk membandingkan resiliensi antar kedalaman atau antar lokasi, melainkan untuk mendapatkan perbedaan ragam antar peubah indikator dari indeks resiliensi terumbu karang.

2.2.3 Analisis data

Analisis data di dalam penelitian ini melibatkan pengukuran hubungan korelasional antar peubah indikator, pengurangan jumlah peubah, dan pemberian bobot setiap peubah di dalam indeks. Koefisien korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan korelasional antar peubah yang akan digunakan sebagai indikator indeks. Penghitungan koefisien korelasi menggunakan perangkat lunak MS Excell 2007. Peubah yang memiliki hubungan korelasional tinggi dipertimbangkan untuk dibuang salah satunya.

(12)

Pengurangan jumlah peubah indikator di dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik BEST (Biological-Environmental Step-wise). BEST adalah suatu analisis statistik multifaktor non-parametrik, yang digunakan untuk menguji hubungan antara matriks kesamaan peubah biologis dengan matriks ketidaksamaan peubah lingkungan, melalui permutasi matriks (Clark et al. 2008). BEST merupakan statistik non-parametrik sehingga tidak ada persyaratan asumsi distribusi normal dari data multifaktor yang akan dianalisis dengan alat ini. Selain untuk menguji hubungan antara peubah biologis dengan lingkungan yang bersifat multifaktor, BEST juga dapat digunakan untuk mengurangi jumlah peubah, baik biologis maupun lingkungan, dengan syarat koefisien korelasi antara kelompok peubah penuh dengan yang sudah dikurangi tidak lebih rendah dari 0.95 (Clark et al. 2008). Penghitungan BEST dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Primer 6 versi 6.1.13 (PRIMER-E Ltd., 2009).

Pengurangan jumlah peubah tidak menggunakan PCA (Principle Component Analysis) dan PFA (Principle Faktor Analysis) yang mengurangi jumlah peubah berdasarkan sumbangan setiap peubah terhadap ragam total. Kedua metode tersebut baik digunakan jika setiap peubah memiliki kepentingan dan kepraktisan yang sama. Baik PCA maupun PFA tidak mempertimbangkan hubungan korelasi antar peubah sehingga dapat muncul dua peubah yang memiliki koefisien korelasi tinggi yang keduanya mempunyai sumbangan ragam tinggi. Kedua peubah tersebut akan memberikan informasi yang sama, sehingga penggunaannya menyebabkan pengulangan (redundancy).

Walaupun demikian, PCA tetap digunakan untuk pemberian bobot setiap peubah indikator. Primpas et al. (2010) menggunakan komponen pertama dari PCA untuk memberikan bobot pada lima peubah indikator eutrofikasi, dan mendapatkan bahwa indeks tersebut efisien untuk membedakan eutrofikasi perairan. Penelitian ini menggunakan metode yang sama untuk memberikan bobot berdasarkan sumbangan masing-masing peubah terhadap ragam total. Penghitungan PCA berdasarkan matriks kesamaan (resemblance matrix) dengan menggunakan perangkat lunak Primer 6 versi 6.1.13, setelah data ditransformasi dengan y = log (x+1) dan dinormalisasikan. Hasil lengkap penghitungan dalam formulasi indeks dan analisis statistik disajikan pada Lampiran 1 dan 2.

(13)

2.3 Hasil-hasil Penelitian

2.3.1 Penentuan peubah indikator

Dari delapan peubah yang menjadi indikator indeks resiliensi terdapat sejumlah peubah yang memiliki koefisien korelasi tinggi. Sebagian besar pasangan peubah memiliki koefisien korelasi Pearson yang signifikan karena jumlah sampel yang besar (1240 transek). Hanya empat pasangan peubah yang menunjukkan koefisien korelasi tidak signifikan, yaitu AOF-CGR, AOF-CFG, CSN-CHQ, dan CSN-CCS. Pasangan peubah indikator yang memiliki koefisien korelasi agak tinggi dan tinggi, yaitu pasangan CFG-CGR dan COC-CCS yang memiliki koefisien korelasi secara berurutan 0.691 dan 0.833 (Tabel 3). CFG dan CGR mewakili komponen resiliensi yang sama, yaitu rekruitmen karang. Sedangkan CCS mewakili komponen yang berbeda dari COC. Penggunaan dua atau lebih peubah indikator yang memiliki koefisien korelasi tinggi dapat menyebabkan adanya pengulangan (redundansi) sehingga perlu dilakukan pengurangan peubah indikator indeks.

Tabel 3 Koefisien korelasi Pearson (r) antar peubah indikator resiliensi terumbu karang. N=1240 transek.

CGR CFG USS CHQ CCS CSN COC AOF CGR 1.000 CFG 0.691 1.000 USS -0.224 -0.277 1.000 CHQ 0.299 0.550 -0.222 1.000 CCS 0.343 0.382 -0.287 0.395 1.000 CSN 0.512 0.443 -0.155 0.055 0.015 1.000 COC 0.511 0.526 -0.389 0.478 0.833 0.175 1.000 AOF 0.046 0.023 -0.113 -0.100 -0.280 0.123 -0.313 1.000

Hasil analisis BEST dengan jumlah maksimum 7 (tujuh) peubah menghasilkan sejumlah pilihan, berupa deretan kombinasi peubah yang menjadi prioritas untuk dipertahankan (Tabel 4). Penggunaan analsis BEST di dalam pemilihan indikator dipadukan dengan pertimbangan lainnya, yaitu keterwakilan komponen dan kepraktisan penggunaan. Keterwakilan komponen mengacu kepada 6 (enam) komponen resiliensi ekosistem terumbu karang pada Tabel 2,

(14)

yaitu warisan biologis, warisan struktural, rekruitmen, produktivitas, kualitas air, dan herbivori. Jika pasangan peubah mewakili komponen yang sama, maka nilai kepraktisan menjadi pertimbangan utama. Jika pasangan peubah tersebut mewakili komponen yang berbeda maka keterwakilan komponen menjadi pertimbangan yang utama. Kepraktisan pengukuran adalah kemudahan dalam mengambil data dari transek garis dan kemudahan dalam mengekstrak data dari hasil cetakan perangkat lunak “life-form”. Dari segi kepraktisan tersebut pengambilan data kelompok fungsional (CFG) jauh lebih mudah daripada kekayaan genus (CGR). Peubah COC tidak dapat digantikan karena mewakili komponen rejim terumbu karang yang didominasi oleh komunitas karang. Sebaliknya peubah CCS (jumlah kelas ukuran koloni) mewakili komponen yang sama dengan peubah CSN (jumlah koloni kecil), yaitu jumlah rekruitmen karang, sehingga peubah CCS tidak digunakan sebagai peubah indikator indeks. Alasan lain pemilihan CSN adalah bahwa jumlah rekruitmen diketahui tidak berkorelasi dengan COC (Golbuu et al. 2007), sedangkan CCS mempunyai korelasi tinggi dengan COC.

Tabel 4 Hasil analisis BEST untuk pengurangan jumlah peubah indikator. Kombinasi nomor 7 yang dipilih berdasarkan kemudahan pengukuran dan keterwakilan komponen.

No. Jumlah peubah

Koefisien korelasi

Kombinasi peubah Peubah

dikurangi 1 7 0.992 CGR, USS, CHQ, CCS, CSN, COC, AOF CFG 2 7 0.991 CFG, USS, CHQ, CCS, CSN, COC, AOF CGR 3 7 0.990 CGR, CFG, USS, CHQ, CCS, CSN, AOF COC 4 7 0.988 CGR, CFG, USS, CHQ, CSN, COC, AOF CCS 5 6 0.974 CGR, USS, CHQ, CSN, COC, AOF CFG, CCS 6 6 0.973 CGR, USS, CHQ, CCS, CSN, AOF CFG, COC 7 6 0.973 CFG, USS, CHQ, CSN, COC, AOF CGR, CCS 8 6 0.971 CFG, USS, CHQ, CCS, CSN, AOF CGR, COC 9 6 0.970 CHQ, CCS, CSN, USS, COC, AOF CGR, CFG 10 7 0.969 CGR, CFG, CHQ, CCS, USS, COC,

AOF

(15)

Berdasarkan analisis BEST serta pertimbangan kepraktisan dan keterwakilan maka deretan indikator yang dipilih untuk digunakan adalah nomor urut 7, yang mengurangi peubah CGR dan CCS. Dengan pengurangan dua peubah tersebut masih dapat diperoleh hasil yang mendekati hasil asalnya, yaitu memiliki koefisien korelasi 0.973 dengan kondisi sebelum peubahnya berkurang. Peubah yang dipilih untuk menjadi indikator di dalam indeks resiliensi terumbu karang adalah:

a) CFG: jumlah bentuk tumbuh (life-form) karang atau kelompok fungsional,

b) USS: tutupan pasir dan lumpur, yaitu substrat yang tidak dapat ditumbuhi karang secara permanen.

c) CHQ: kualitas habitat, yang merupakan penggabungan tutupan karang masif dan submasif (non-Acropora) dengan tutupan karang Acropora. d) CSN: jumlah koloni ukuran kecil (≤10 cm).

e) COC: tutupan karang

f) AOF: tutupan makroalgae dan fauna lain, yaitu tutupan alternatif terumbu karang ketika dominansi karang berkurang.

2.3.2 Perumusan indeks

Indeks resiliensi yang dibangun di dalam penelitian ini merupakan pengembangan atau modifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah yang dikembangkan oleh Orwin dan Wardle (2004). Modifikasi indeks tersebut dilakukan pada komunitas referensi dan peubah indikatornya. Di dalam Indeks Orwin dan Wardle, komunitas acuannya adalah komunitas kontrol, yaitu komunitas lokal yang tidak terkena dampak. Kelemahan dari referensi ini adalah indeks yang ditemukan tidak dapat diperbandingkan antar lokasi yang berjauhan, karena masing-masing lokasi memiliki komunitas acuan atau kontrol yang berbeda. Rumus indeks yang dimodifikasi (Orwin & Wardle 2004):

| |||||

1

(1)

RSt=Resiliensi pada saat t, D0=perbedaan antara kondisi sebelum dan setelah gangguan di lokasi kontrol, Dx=perbedaan antara kondisi sebelum dan setelah gangguan di lokasi yang diteliti.

(16)

Indeks resiliensi terumbu karang menggunakan acuan komunitas terumbu karang yang ideal, atau terumbu karang “super”. Terumbu karang super adalah terumbu karang yang memiliki nilai maksimum pada setiap peubah yang menjadi indikator indeks resiliensi (rumus 2). Terumbu karang “super” tidak ada di dalam kenyataan karena merupakan konsep ideal. Dari keenam peubah indikator yang terpilih, nilai maksimum CSN yang ideal tidak diketahui sehingga ditentukan dari transek yang secara spasial dan temporal tersebar di seluruh perairan utama Indonesia (Tabel 5).

$*+) | !"# | $%|& !"# $%| !"#'&

1(

(2) Keterangan: RIj=Indeks Resiliensi pada transek j, Ximax=nilai maksimum

untuk peubah Xi, Ximin=nilai minimum untuk peubah Xi, Xij=nilai peubah

Xi dari transek j.

Tabel 5 Nilai maksimum terumbu karang “super” yang menjadi acuan penghitungan indeks resiliensi terumbu karang. Panjang transek acuan 10 meter.

Indikator Satuan Dari transek

Di dalam rumus Minimum Maksimum Simbol

CFG kelompok 0-10 0 13 ,+ USS* % 0-100 100 0 , -CHQ % 0-36 0 50 , CSN koloni 0-23 0 25 ,. COC % 0-96 0 100 ,/ AOF* % 0-100 100 0 ,)

*Nilai maksimum USS dan AOF berlawanan arah dengan nilai maksimum indikator yang lain karena memberikan dampak negatif terhadap resiliensi terumbu karang.

Di dalam indeks, nilai minimum dan maksimum semua peubah, kecuali CSN, adalah nilai yang ideal, sehingga tidak dapat ditambah lagi. Nilai maksimum untuk peubah indikator CSN ditetapkan 25. Berdasarkan data dari sekitar 2100 transek di seluruh Indonesia, nilai maksimum CSN adalah 23 koloni, dengan nilai peluang 0.185%. Dengan penetapan nilai maksimum CSN sebesar 25 koloni dianggap sudah cukup untuk dijadikan referensi di dalam terumbu karang

(17)

ideal Indonesia, karena peluang menemukan CSN dengan nilai maksimum tersebut di bawah 0.046%.

Dengan menggunakan nilai peubah pada terumbu karang super tersebut, maka rumus indeks menjadi rumus 3 berikut:

0113 0 13 CFG 18 1213 0 50 0 50 CHQ 18250 0

125 0 25 CSN 18 1225 0 100 0 100 COC 182100 0 1100 0 USS 0 18 12100 0 100 0 AOF 0 18A2100 0

(3)

Masing-masing peubah indikator indeks resiliensi memiliki kontribusi yang berbeda terhadap indeks. Peubah indikator yang memiliki variasi spasial lebih besar akan menghasilkan ragam yang besar pula sehingga lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. Peubah indikator yang sensitif tersebut sebaiknya memiliki bobot yang lebih tinggi agar indeks resiliensi memiliki sensitivitas yang tinggi. Hasil PCA memberikan bobot kepada masing-masing indikator sebagai berikut (Tabel 6 dan 7).

Tabel 6 Hasil penggunaan PCA pada enam peubah indikator indeks resiliensi terumbu karang.

Komponen Utama (PC) Akar ciri Ragam yang dijelaskan (%)

1 2.86 47.7

2 1.09 65.7

3 0.903 80.8

4 0.629 91.2

5 0.406 98.0

Komponen pertama dari PCA (PC1) di dalam Tabel 7 menjelaskan 47.7% ragam (variance) dari data. Komponen berikutnya hanya menjelaskan 18%, 15.1%, 10.4%, dan 8.6%. Penggunaan komponen pertama dalam pembobotan tersebut dapat menjelaskan hampir setengah dari ragam yang ada. Nilai atau koefisien dari masing-masing indikator di dalam komponen pertama merupakan sumbangan dari tiap indikator terhadap ragam total. Di dalam PC1 tersedia daftar

(18)

koefisien masing-masing peubah dengan dua arah vektor, yang ditunjukkan dengan tanda negatif atau positif (Tabel 7). Perbedaan tanda nilai menunjukkan perbedaan arah aksis dari vektor peubah tersebut. Nilai komponen pertama kemudian dijadikan sebagai bobot dari masing-masing indikator.

Tabel 7 Pembobotan indikator resiliensi terumbu karang dengan menggunakan nilai komponen pertama dari PCA. Nilai minus (-) pada koefisien sebagai tanda perbedaan arah sumbu (vektor) pada PCA.

Peubah indikator Koefisien pada PC 1

CFG -0.560 USS 0.204 CHQ -0.423 CSN -0.430 COC -0.520 AOF 0.103

Dengan memasukkan bobot setiap peubah indikator indeks resiliensi, maka rumus indeks resiliensi terumbu karang secara operasional menjadi rumus 4 berikut: 00.56 113 0 13 DE 18213 0 0.42 150 0 50 18250 0 0.43 125 0 25 G 18225 0 0.52 1100 0 100 H 182100 0 0.20 1100 0 I 0 182100 0 0.10 1100 0 HD 0 18A2100 0 (4)

Adanya pembobotan tersebut menyebabkan modifikasi rumus Orwin dan Wardle (2004) tidak lagi menghasilkan nilai maksimum 1.000 dan minimum 0.000. Nilai indeks maksimum 1.930 pada kondisi ideal terbaik dan indeks minimum -0.200 pada kondisi ideal terburuk. Sebuah faktor koreksi (CF) diperlukan untuk menjadikan indeks resiliensi ini nilai minimum ideal tidak

(19)

negatif melainkan 0.000. Jika suatu traksek dipasang pada terumbu yang seluruhnya (100%) tertutup pasir atau lumpur atau keduanya, maka seharusnya nilai indeks resiliensi sama dengan 0.000 karena tidak ada harapan karang akan tumbuh kembali di lokasi tersebut. Faktor koreksi yang memenuhi harapan tersebut adalah CF = 0.200. Masuknya CF ke dalam rumus membuat nilai indeks secara teoritis antara 0.000 sampai 2.130. Rumus dari indeks resiliensi terumbu karang tersebut secara lengkap menjadi rumus 5 berikut:

00.56 113 0 13 DE 18213 0 0.42 150 0 50 18250 0 0.43 125 0 25 G 18225 0 0.52 1100 0 100 H 182100 0 0.20 1100 0 I 0 182100 0 0.10 1100 0 HD 0 18 0.20A2100 0 (5) 2.3.3 Indeks resiliensi dan tutupan karang

Indeks yang dikembangkan di dalam penelitian ini perlu diuji penggunaannya untuk membandingkan resiliensi terumbu karang, baik secara spasial maupun temporal (bab 3 dan 4). Terumbu karang yang memiliki nilai indeks resiliensi rendah mempunyai ciri-ciri: tutupan karang rendah, tutupan makroalgae dan fauna lain tinggi, tutupan pasir dan lumpur tinggi (Gambar 3). Kondisi sebaliknya akan menghasilkan indeks resiliensi yang tinggi.

Dari 5 (lima) indeks resiliensi yang paling rendah, empat transek diantaranya terdapat di Pulau Nyamuk tahun 1992, sedangkan pada 5 (lima) indeks tertinggi dua transek berasal dari Natuna dan dua transek lagi dari Batam tahun 2009. Tutupan karang yang tinggi bukan jaminan indeks resiliensinya akan

(20)

tinggi pula, karena masih ada faktor-faktor lain yang berpengaruh pada resiliensi terumbu karang. Tetapi, tutupan pasir dan lumpur (USS) yang tinggi menjadi jaminan bahwa indeks resiliensinya akan rendah.

Gambar 3 Indeks resiliensi terumbu karang dan hubungannya dengan tutupan karang (COC), tutupan makroalga dan fauna lain (AOF), serta tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva secara permanen (USS). Secara teoritis nilai indeks resiliensi terumbu karang pada suatu transek berada di antara 0.000 sampai 2.130, tetapi data dari Indonesia menunjukkan nilai empiris indeks suatu transek maksimum 1.070 dan minimum 0.021. Jumlah transek yang memiliki indeks resiliensi lebih besar dari 1.000 sangat sedikit, yaitu 0.403%. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya nilai acuan terumbu karang “super” yang dijadikan sebagai referensi rumus indeks bermanfaat untuk membuat nilai maksimum indeks secara empiris mendekati 1.000.

Pengukuran indeks memang didasarkan pada satu transek, tetapi penilaian indeks resiliensi terumbu karang tidak dapat dilakukan dengan satu transek saja. Penilaian resiliensi terumbu karang dilakukan pada sejumlah stasiun atau lokasi pemantauan. Setiap lokasi pemantauan, yang datanya digunakan dalam penelitian ini, minimal terdiri atas tiga transek. Di Indonesia, tidak satupun lokasi pemantauan terumbu karang yang memiliki nilai indeks rata-rata ≥1.000. Tiga stasiun atau lokasi pemantauan dengan nilai rata-rata (±SD) indeks tertinggi adalah 0.976±0.107 di Natuna, 0.927±0.145 di Batam, dan 0.901±0.114 di

(21)

Lingga. Sebuah stasiun pengamatan di Pulau Nyamuk, tahun 1992, memiliki rata-rata indeks terendah 0.067±0.032.

2.3.4 Klasifikasi indeks

Nilai indeks perlu diklasifikasikan untuk mempermudah komunikasi dan interpretasi. Dengan mengacu pada kurva distribusi normal, nilai indeks resiliensi dapat dibagi menjadi 5 (lima) kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang, kurang, dan buruk (Table 8). Klasifikasi indeks ini untuk mempermudah para pengelola terumbu karang dalam melaporkan perubahan dan mengambil keputusan pengelolaan. Di Indonesia, data indeks resiliensi terumbu karang menunjukkan distribusi yang normal (rata-rata = 0.468, median = 0.469, N = 1240). Klasifikasi indeks dilakukan berdasarkan kurva distribusi normal dengan rata-rata indeks 0.468 dan simpangan baku (SD) 0.225.

Tabel 8 Klasifikasi indeks resiliensi terumbu karang ke dalam lima kategori, dengan lebar kelas 1 SD.

Kategori Batas kelas

A. Baik sekali (excellent) ≥ 0.806

B. Baik (good) 0.581 – 0.805

C. Sedang (fair) 0.356– 0.580

D. Kurang (poor) 0.131 – 0.355

E. Buruk (bad) ≤ 0.130

Klasifikasi nilai indeks tersebut tidak berkaitan langsung dengan pergantian fase. Di perairan Indonesia, pergantian dominansi karang ke dominansi makroalgae merupakan kejadian yang langka. Dari 1240 transek, yang digunakan dalam formulasi indeks, hanya 10 transek (0.806%) yang memiliki tutupan makroalgae di atas 50%. Di antara kesepuluh transek tersebut, 6 (enam) mempunyai indeks resiliensi dalam kategori buruk dan 4 (empat) lainnya masuk kategori resiliensi kurang.

2.4 Pembahasan

Modifikasi dari rumus indeks resiliensi komunitas tanah Orwin dan Wardle (2004) untuk mengukur resiliensi terumbu karang, menghasilkan indeks resiliensi

(22)

terumbu karang dengan acuan data nasional. Dengan acuan tersebut, mestinya dapat dibandingkan indeks resiliensi terumbu karang antar kabupaten, antar provinsi, dan antar wilayah di Indonesia, serta antar waktu. Hasil pengukuran indeks terhadap 1240 transek di Indonesia menunjukkan bahwa indeks resiliensi tersebut dapat memberikan hasil yang memuaskan (Gambar 3). Indeks bertambah dengan bertambahnya tutupan karang, dan berkurang jika terjadi sebaliknya. Tutupan pasir dan lumpur (USS) yang tinggi bertepatan dengan nilai indeks yang rendah. Terumbu karang dengan tutupan karang yang sama dapat memiliki indeks resiliensi yang berbeda.

Indeks resiliensi terumbu karang ini dirancang untuk mengukur indeks dari suatu transek. Setiap transek menghasilkan sebuah nilai indeks. Penilaian indeks resiliensi terumbu karang membutuhkan banyak transek. Kehandalan indeks dalam menilai tingkat resiliensi suatu terumbu karang sangat tergantung dari rancangan pengambilan cuplikan (sampling design) dan pengambilan data di dalam transek. Semakin banyak transek yang digunakan maka presisi indeks akan semakin baik, sebagaimana alat pengambilan cuplikan lainnya. Penggunaan indeks ini sebaiknya mengikuti protokol pengambilan cuplikan terumbu karang dengan transek garis, sebagaimana yang telah dikembangkan dan dibakukan pada English et al. (1994, 1997). Protokol penilaian indeks disajikan pada Lampiran 3.

Rata-rata indeks resiliensi pada suatu terumbu karang pada umumnya lebih kecil daripada 1.000. Penilaian resiliensi terumbu karang membutuhkan sejumlah transek yang dapat dianggap mewakili terumbu karang tersebut. Di suatu terumbu karang atau pulau, penilaian kondisi terumbu karang dilakukan minimal pada dua lokasi, dan di masing-masing lokasi terdiri atas sejumlah transek, yang dapat tersebar di beberapa kedalaman. Pengukuran indeks resiliensi dari setiap transek dapat menguntungkan karena kita dapat melihat ragam dari resiliensi suatu terumbu karang.

Keuntungan dari acuan yang tinggi sebagai referensi indeks adalah indeks resiliensi ini dapat digunakan pada kawasan yang lebih luas. Jika terumbu karang di kawasan Philippines atau GBR tidak melampaui acuan standar di dalam indeks, maka indeks ini dapat digunakan di kawasan tersebut. Hanya ada satu peubah indikator yang memiliki peluang dilampaui oleh data lapang, yaitu CSN (jumlah

(23)

koloni ukuran kecil), walaupun peluang tersebut sangat kecil yaitu lebih kecil dari 0.00185 atau 0.185%. Di masa depan indeks ini diharapkan dapat diujicoba penggunaannya di kawasan Indo-Pasifik oleh para peneliti terumbu karang di kawasan tersebut.

Indeks resiliensi yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan indeks resiliensi ekologis yang sangat praktis dan dapat digunakan oleh pengelola terumbu karang hampir di seluruh kabupaten di Indonesia. Pengukuran indeks resiliensi dilakukan dengan metode transek garis atau LIT (line intercept transect) yang diperkenalkan oleh Loya (1972, 1978), dan dibakukan sebagai metode standar penilaian kondisi terumbu karang di kawasan ASEAN dan Australia (English et al. 1994, 1997). Di Indonesia, terdapat 727 orang yang telah mendapat pelatihan Metode Penilaian Kondisi Terumbu Karang (MPTK) yang menggunakan metode transek garis melalui COREMAP (Suharsono 2008). Ratusan atau ribuan mahasiswa juga diperkirakan telah mendapat pelatihan semacam MPTK di bangku kuliah. Dengan bekal ketrampilan tersebut ditambah ketrampilan dasar mengoperasikan perangkat lunak MS Excell atau Lotus untuk menghitung rumus indeks, setiap kabupaten wilayah COREMAP memiliki kemampuan melakukan penilaian indeks resiliensi terumbu karang di wilayahnya masing-masing. Protokol penggunaan indeks disajikan pada Lampiran 3.

Penelitian ini juga menyediakan klasifikasi resiliensi terumbu karang yang diharapkan dapat membantu para pengelola terumbu karang. Pembagian indeks resiliensi ke dalam lima kategori tersebut masih belum memberikan makna penting di dalam pengelolaan, selain menyatakan bahwa terumbu ini lebih resiliens daripada terumbu yang lain. Klasifikasi indeks resiliensi membutuhkan interpretasi yang lebih kongkrit berkaitan dengan waktu pemulihan terumbu karang. Misalnya, jika suatu terumbu karang mempunyai indeks resiliensi baik (0.594) maka terumbu tersebut dapat pulih kembali ke tingkat resiliensi awal dalam waktu X tahun ketika terjadi penurunan indeks sebesar Y. Interpretasi semacam itu akan sangat penting bagi pengelola terumbu karang di dalam pengambilan keputusan. Interpretasi indeks tersebut membutuhkan data runut waktu yang lama (sekitar 15 tahun) yang di dalamnya terjadi kematian masal,

(24)

dengan jumlah sampel yang cukup. Sayangnya, data yang dibutuhkan tersebut belum tersedia saat ini di Indonesia.

Penggunaan peubah indikator USS, AOF, dan CHQ (kualitas habitat) ini diduga merupakan yang pertama di dalam pemantauan dan penilaian kondisi terumbu karang. Banyak pemantauan terumbu karang tidak membedakan antara substrat yang berupa pasir dan lumpur, atau substrat yang tertutup oleh algae atau terbuka, misalnya pemantauan terumbu karang di kawasan Florida dan Karibia. Program pemantauan yang mengambil data tutupan pasir dan lumpur juga tidak memasukkan peubah tersebut ke dalam analisisnya sebagai bagian dari kualitas terumbu karang. Tingginya tutupan karang Acropora serta tutupan karang masif dan submasif umumnya juga tidak mendapat perhatian dan interpretasi di dalam analisis kondisi terumbu karang. Kedua peubah tersebut menjadi bagian yang terpadu dari indeks resiliensi.

2.5 Kesimpulan

Modifikasi indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle (2004) menghasilkan indeks resiliensi terumbu karang. Indeks resiliensi terumbu karang tersebut diukur berdasarkan enam peubah indikator, yang dapat secara praktis digunakan di dalam pengelolaan. Indeks resiliensi terumbu karang bertambah dengan meningkatnya tutupan karang, dan atau menurunnya tutupan makroalgae dan fauna lain. Nilai indeks tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu baik sekali, baik, sedang, kurang, dan buruk; walaupun interpretasi kategori tersebut masih belum dikembangkan.

Penilaian indeks resiliensi terumbu karang tidak dapat dilakukan dengan satu transek, melainkan membutuhkan banyak transek dengan rancangan pengambilan cuplikan yang baik. Indeks resiliensi terumbu karang mempunyai nilai maksimum 2.130 dan minimum 0.000. Sangat sedikit transek (0.403%) yang mempunyai indeks ≥1.000. Di Indonesia, rata-rata indeks resiliensi di suatu lokasi atau terumbu karang ≤1.000. Berdasarkan data yang ada, rata-rata (±SD) indeks resiliensi di suatu lokasi pengamatan antara 0.067±0.032 sampai 0.976±0.107. Uji coba penggunaan indeks secara spasial dan temporal masih diperlukan untuk menilai reliabilitas indeks.

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen perubahan (change management) adalah suatu proses yang sistematis dengan menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan organisasi untuk bergeser

Al-ra’yu yang menjadi sumber hukum menurut Mah}mud Syaltu>t adalah al- ra’yu yang digunakan tehadap masalah yang tida dikemukakan oleh nas}s}. Dengan urutan-urutan

Dalam penelitian ini tujuan sales dalam mendapatkan gaji tambahan antara lain adalah mencukupi kebutuhan hidup, menambah pendapatan, membeli barang-barang mewah serta

“Gang” di Desa Wisata Dieng pada dasarnya mempunyai karakteristik termal yang tidak berbeda jauh dengan lingkungan sekitar Dieng yang cenderung mempunyai

Selera Masa perlu melakukan perbaikan dan mempertahankan aspek pelayanan jasa kepada konsumen serta melakukan evaluasi dalam hal perencanaan strategi perusahaan yang

Jos lähtökohtana on normaaliaikaan tehty normaalitiheä kylvö ilman orasäestystä, myöhäistetty kylvö yhdessä tihennetyn kylvön ja orasäestyksen kanssa vähensi

Demikian sambutan yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga kita senantiasa berada dalam bimbingan dan lindungan Allah SWT, sekali lagi saya ucapkan selamat dan terima

Suatu penelitian akan berjalan terarah bila tujuan penelitian telah dirumuskan, karena dengan adanya tujuan penelitian dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai