• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. analisa perkembangan ekonomi di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. analisa perkembangan ekonomi di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Konsep Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan ekonomi merupakan bagian penting dalam melakukan analisa perkembangan ekonomi di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam suatu pembangunan ekonomi dan mempunyai implikasi kebijakan yang cukup luas, baik terhadap wilayahnya maupun terhadap wilayah lain.

Dalam Teori Klasik Adam Smith menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan penduduk. Jumlah penduduk yang bertambah akan memperluas pangsa pasar, dan perluasan pasar akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Lebih lanjut, spesialisasi akan meningkatkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga meningkatkan upah dan keuntungan. Dengan demikian, proses pertumbuhan akan terus berlangsung sampai seluruh sumber daya termanfaatkan.

Sementara itu David Ricardo, mengemukakan pandangan yang berbeda dengan Adam Smith. Menurutnya, perkembangan penduduk yang berjalan cepat pada akhirnya akan menurunkan kembali tingkat pertumbuhan ekonomi ke taraf yang rendah. Pola pertumbuhan ekonomi menurut Ricardo berawal dari jumlah penduduk rendah dan sumber daya alam yang relatif melimpah.

Keynes melihat pertumbuhan dalam kondisi jangka pendek dan menyatakan bahwa pendapatan total merupakan fungsi dari pekerjaan total dari suatu negara. Semakin besar volume pekerjaan yang dihasilkan, semakin besar

(2)

pendapatan nasional yang diperoleh, demikian juga sebaliknya. Volume pekerjaan tergantung pada permintaan efektif. Permintaan efektif ditentukan pada titik saat harga permintaan agregat sama dengan harga penawaran agregat. Keynes juga menyatakan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang stabil pemerintah perlu menerapkan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta pengawasan secara langsung.

Boediono (1999), pertumbuhan ekonomi dapat didefenisikan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor apa yang menentukan kenaikan output perkapita dalam jangka panjang dan penjelasan bagaimana faktor-faktor tersebut sehingga terjadi proses pertumbuhan. Menurut Schumpeter dan Hicks dalam Jhingan (2004), ada perbedaan dalam istilah perkembangan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Perkembangan ekonomi merupakan perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya, sedangkan pertumbuhan ekonomi adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk. Hicks mengemukakan masalah negara terbelakang menyangkut pengembangan sumber-sumber yang tidak atau belum dipergunakan, kendati penggunaanya telah cukup dikenal.

Menurut Simon dalam Jhingan (2004) pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan kemampuan suatu negara (daerah) untuk meyediakan barang-barang ekonomi bagi penduduknya, yang terwujud dengan adanya kenaikan output nasional secara terus-menerus yang disertai dengan kemajuan teknologi serta adanya penyesuaian kelembagaan, sikap dan ideologi yang dibutuhkannya.

(3)

Pertumbuhan ekonomi dalam Sukirno (2006) sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dengan membandingkan PDRB pada satu tahun tertentu dengan PDRB tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dinilai sebagai dampak kebijaksanaan pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan yang terjadi dan sebagai indikator penting bagi daerah untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan (Sirojuzilam, 2008).

Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor penting (Arsyad, 2010) yaitu:

1. Akumulasi Modal

Akumulasi modal adalah semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal dan sumber daya manusia (human resources), akan terjadi jika ada bagian dari pendapatan sekarang yang ditabung dan kemudian diinvestasikan untuk memperbesar output pada masa yang akan datang. Akumulasi modal akan menambah sumber daya yang telah ada.

2. Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja (labor force) dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun kemampuan merangsang pertumbuhan ekonomi tergantung pada kemampuan sistem ekonomi yang

(4)

berlaku dalam menyerap dan mempekerjakan tenaga kerja yang ada secara produktif.

3. Kemajuan Teknologi

Menurut para ekonom, kemajuan teknologi merupakan faktor yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam bentuknya yang paling sederhana, kemajuan teknologi disebabkan oleh cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional.

2.2. Konsep Pembangunan Ekonomi

Penjelasan tentang definisi atau pengertian pembangunan ekonomi banyak dikemukakan oleh beberapa ahli ekonomi. Menurut Adam Smith dalam Suryana (2000), pembangunan ekonomi adalah proses perpaduan antara pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi. Bertambahnya penduduk suatu negara harus diimbangi dengan kemajuan teknologi dalam produksi untuk memenuhi permintaan kebutuhan dalam negeri. Menurut Sukirno (2006), pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Di sini ada dua aspek penting yang saling berhubungan erat yaitu pendapatan total atau yang lebih dikenal dengan pendapatan nasional dan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita berarti pendapatan total dibagi dengan jumlah penduduk.

Menurut Schumpeter dalam Sukirno (2006) pembangunan ekonomi bukan merupakan proses yang harmonis dan gradual, tetapi merupakan proses yang spontan dan tidak terputus-putus. Pembangunan ekonomi disebabkan oleh perubahan terutama dalam lapangan industri dan perdagangan. Berdasarkan

(5)

pengertian tersebut pembangunan ekonomi terjadi secara berkelanjutan dari waktu ke waktu dan selalu mengarah positif untuk perbaikan segala sesuatu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Industri dan perdagangan akan mewujudkan segala kreatifitas dalam pembangunan ekonomi dengan penggunaan teknologi industri serta dengan adanya perdagangan tercipta kompetisi ekonomi.

Pembangunan ekonomi juga merupakan suatu proses pembangunan yang terjadi terus menerus yang bersifat dinamis, menambah dan memperbaiki segala sesuatu menjadi lebih baik lagi. Apapun yang dilakukan, hakikat pembangunan ekonomi itu mencerminkan adanya terobosan yang baru, bukan merupakan gambaran ekonomi satu saat saja.

Dalam Sukirno (2006), pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan. Arti dari pernyataan tersebut adalah pembangunan ekonomi dalam suatu negara pada suatu tahun tertentu tidak hanya diukur dari kenaikan produksi barang dan jasa yang berlaku dalam kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan, perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan infrastruktur yang tersedia dan peningkatan dalam pendapatan dan kemakmuran masyarakat.

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang bersifat multidimensional yang melibatkan kepada seluruh perubahan besar baik terhadap perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan (disparitas) dan pengangguran (Todaro, 1997).

Arsyad (2002), mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses. Proses yang dimaksud adalah proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan

(6)

kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.

Ada empat model pembangunan (Suryana, 2000) yaitu model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasarkan atas model pembangunan tersebut, semua itu bertujuan pada perbaikan kualitas hidup, peningkatan barang dan jasa, penciptaan lapangan kerja baru dengan upah yang layak, dengan harapan tercapainya tingkat hidup minimal untuk setiap rumah tangga.

Sasaran utama dari pembangunan nasioanal adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasilnya serta pemantapan stabilitas nasional. Hal tersebut sangat ditentukan keadaan pembangunan secara kedaerahan.

2.3. Pembangunan dan Pertumbuhan Daerah

Perbedaan kondisi daerah membawa implikasi bahwa corak pembangunan yang diterapkan di setiap daerah akan berbeda pula. Munir (2002), peniruan mentah-mentah terhadap pola kebijakan yang pernah diterapkan dan berhasil pada suatu daerah, belum tentu memberi manfaat yang sama bagi daerah yang lain.

Setiap pembangunan daerah memiliki tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan masyarakatnya harus secara

(7)

bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah dengan partisipasi masyarakatnya dengan memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah (Syafrijal, 2008).

Pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumber daya alam, tenaga kerja dan sumber daya manusia, investasi modal, sarana dan prasarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas (Adisamita, 2008).

Pembangunan daerah dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama, dari segi pembangunan sektoral. Pencapaian sasaran pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan sektoral yang dilakukan di daerah. Pembangunan sektoral disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah. Kedua, dari segi pembangunan wilayah yang meliputi perkotaan dan pedesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Ketiga, pembangunan daerah dilihat dari segi pemerintahan. Tujuan pembangunan daerah hanya dapat dicapai apabila pemerintahan daerah dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu pembangunan daerah merupakan suatu usaha mengembangkan dan memperkuat pemerintahan daerah dalam rangka semakin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab (Sjafrizal, 2008).

Program pembangunan daerah yang akan dilaksanakan suatu daerah tidak boleh bertentangan dengan program pembangunan yang telah ditetapkan oleh

(8)

pemerintah pusat. Jadi pada hakikatnya perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh tiap daerah merupakan pelengkap perencanaan pembangunan yang dilaksankan oleh pemerintah pusat yaitu membuat suatu program untuk mendistribusikan proyek-proyek ke berbagai daerah dengan tujuan memberikan sumbangan yang optimal kepada usaha pemerintah untuk membangun.

Ada 2 kondisi yang mempengaruhi proses perencanaan pembangunan daerah (Kuncoro, 2004) yaitu:

a. Tekanan yang berasal dari lingkungan dalam negeri maupun luar negeri yang mempengaruhi kebutuhan daerah dalam proses pembangunan perekonomiannya.

b. Kenyataan bahwa perekonomian daerah dalam suatu negara dipengaruhi oleh setiap sektor secara berbeda-beda.

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah peningkatan variabel ekonomi dari suatu subsistem spasial suatu wilayah dan juga dapat diartikan sebagai peningkatan kemakmuran suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi wilayah menganalisis suatu wilayah sebagai suatu sistem ekonomi terbuka yang berhubungan dengan wilayah-wilayah lain melalui arus perpindahan faktor-faktor produksi dan pertukaran komoditas.

Pertumbuhan ekonomi daerah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu daerah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di daerah tersebut (Tarigan, 2005). Perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat dalam era otonomi daerah. Hal ini dikarenakan dalam otonomi daerah masing-masing daerah berlomba-lomba meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya, guna meningkatkan

(9)

kemakmuran masyarakatnya. Oleh karena itu, pembahasan tentang struktur dan faktor penentu pertumbuhan daerah akan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah dalam menentukan upaya-upaya yang dapat dilakukan bagi mendorong pertumbuhan ekonomi di daerahnya (Sjafrizal, 2008).

Perhitungan pendapatan daerah pada awalnya dibuat pada harga berlaku, namun agar dapat melihat dari kurun waktu ke waktu berikutnya harus dinyatakan dengan nilai riil, artinya dinyatakan dalam nilai konstan. Pendapatan daerah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja dan teknologi), yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu daerah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di daerah tersebut oleh seberapa besar terjadinya transfer payment, yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar daerah atau mendapat aliran dari luar daerah (Septa, 2007).

2.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Informasi hasil pembangunan ekonomi yang telah dicapai dapat dimanfaatkan sebagai bahan perencanaan maupun evaluasi pembangunan. Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah adalah melalui penyajian angka-angka pendapatan regional (PDRB). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat didefenisikan sebagai estimasi total produk barang dan jasa yang diterima oleh masyarakat suatu daerah sebagai balas jasa dari penggunaan faktor-faktor produksi yang dimilikinya.

Berdasarkan lapangan usaha, PDRB dibagi ke dalam sembilan sektor, sedangkan secara makro ekonomi dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu sektor

(10)

primer, sekunder dan tersier. Dikatakan sektor primer apabila outputnya masih merupakan proses tingkat dasar dan sangat bergantung kepada alam. Yang termasuk dalam sektor ini adalah sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian. Sektor sekunder adalah sektor ekonomi yang outputnya berasal dari sektor primer, yang meliputi sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas dan air bersih; serta sektor konstruksi. Sedangkan sektor-sektor lainnya seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa dikelompokkan ke dalam sektor tersier.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara keseluruhan disajikan dalam dua bentuk yaitu penyajian atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. Penyajian atas dasar harga berlaku menunjukkan besaran nilai tambah bruto masing-masing sektor sesuai dengan keadaan pada tahun yang sedang berjalan. Penilaian terhadap produksi, biaya antara dan nilai tambahnya dilakukan dengan menggunakan harga berlaku pada masing-masing tahun.

Penyajian atas dasar harga konstan diperoleh dengan menggunakan harga tetap suatu tahun dasar. Semua barang dan jasa yang dihasilkan, biaya antara yang digunakan dan nilai tambah masing-masing sektor dinilai berdasarkan harga pada tahun dasar. Penyajian ini memperlihatkan perkembangan produktivitas secara riil karena pengaruh perubahan harga (inflasi/deflasi) sudah dikeluarkan. Angka PDRB yang atas dasar harga konstan menjelaskan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.

(11)

1. Metode langsung, yaitu perhitungan nilai tambah dari suatu lapangan usaha/sektor atau subsektor suatu wilayah dengan cara mengalokasikan angka pendapatan nasional.

2. Metode tidak langsung, yaitu metode alokasi pendapatan nasional dengan memperhitungkan nilai tambah sektor/subsektor suatu wilayah dengan cara mengalokasikan angka pendapatan nasional berdasarkan jumlah produksi fisik, nilai produksi fisik, nilai produksi bruto atau neto, tenaga kerja dan alokator tidak langsung.

Metode-metode di atas, dilakukan dengan beberapa pendekatan antara lain: 1. Pendekatan Produksi (Production Approach), yaitu menghitung nilai tambah

dari barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan cara mengurangkan biaya tiap sektor/subsektor.

2. Pendekatan Pendapatan (Income Approach), yaitu menghitung nilai tambah suatu kegiatan ekonomi dengan menjumlahkan semua balas jasa faktor-faktor produksi seperti upah/gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung neto.

3. Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach), yaitu menghitung nilai tambah suatu kegiatan ekonomi yang bertitik tolak pada penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi.

Metode umum perhitungan pendapatan nasional di Indonesia adalah dengan metode langsung dan pendekatan produksi. Perlu diperhatikan bahwa dalam menjumlahkan hasil produksi barang dan jasa, haruslah dicegah perhitungan ganda (Double Counting). Hal ini penting karena sering terjadi bahan

(12)

mentah suatu sektor dihasilkan oleh sektor lain, sehingga nilai bahan mentah tersebut telah dihitung pada sektor yang menghasilkannya.

2.5 Teori Pembangunan Regional.

Petumbuhan regional adalah produk dari banyak faktor yang bersifat intern dan eksetern. Faktor itern meliputi distribusi faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Sedangkan salah satu penentu ekstern yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh suatu daerah tertentu. Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah. Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.

Percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh di dorong sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu system wilayah pengembangan ekonomi yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administratif, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata-rantai proses industri dan distribusi. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan sehingga menurunkan kualitas (degaradasi) dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan hidup. Selain itu seringkali pula terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor.

Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal yaitu :

(13)

1. Teori Basis Ekspor (Export Base Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Douglas E.North (1955) ini merupakan model yang paling spesifik dari teori pertumbuhan ekonomi. Region yang ruang tinjauannya lebih berfokus kepada kemampuan untuk melakukan transaksi ekspor, sehingga pertumbuhan ekonomi daerah lebih banyak ditentukan oleh jenis keuntungan dan tata lokasi kegiatan tersebut.

Model teori basis ekspor ini menekankan pada beberapa hal antara lain : 1. Bahwa suatu daerah tidak menjadi daerah industri untuk dapat tumbuh

dengan cepat, sebab faktor penentu pertumbuhan daerah adalah keuntungan komparatif (keuntungan lokasi) yang dimiliki yang oleh daerah tersebut.

2. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan dapat dimaksimalkan bila daerah yang bersangkutan memanfaatkan keuntungan komparatif yang dimiliki menjadi kekuatan basis ekspor.

3. Ketimpangan antar daerah tetap sangat besar dipengaruhi oleh variasi potensi masing-masing daerah.

Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan suatu region, strategi pembangunan Harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan pada tingkat nasional.

2. Teori Neo-klasik (Neo-Classic Theory)

Dalam Negara sedang berkembang, pada saat proses pembangunan baru dimulai, tingkat perbedaan kemakmuran antar wilaya cenderung menjadi tinggi (divergence), sedangkan bila proses pembangunan telah seimbang dalam waktu

(14)

yang lama maka perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (Convegence). Hal ini disebabkan pada Negara sedang berkembang lalu lintas modal masih belum lancar sehingga proses penyesuaian kearah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi ( Sirojuzilam,2008).

Teori ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsure-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenga kerja, dan teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara mendalam pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dam lalu lintas modal terhadap pertumbuhan regional. Masih belum lancarnya fasilitas perhubungan dan komunikasi serta kuatnya tradisi yang menghalangi mobilitas penduduk biasanya merupakan faktor utama yang menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan modal antar daerah. Sedangkan pada Negara-negara yang telah maju proses penyesuaian tersebut dapat terjadi dengan lancar karena telah sempurnanya fasilitas perhubungan dan komunikasi.

3. Teori Kumulatif Kausatif (Cummulative Causative Theory)

Yang mempelopori teori ini adalah Gunnar Myrdal (1957) yang mengatakan adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan relatif dari “Spread Effect” dan “Back wash effect”. Spread Effect merupakan kekuatan yang menuju konvergensi antar daerah-daerah kaya dan daerah-daerah miskin. Dengan timbulnya daerah kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya terhadap produk-produk daerah miskin. Dengan demikian mendorong pertumbuhannya. Namun Myrdal meyakini bahwasanya dampak Spread Effect ini lebih kecil daripada Back wash effect. Pertambahan permintaan terhadap produk daerah miskin tersebut terutama barang-barang hasil pertanian oleh daerah kaya tentu saja mempunyai

(15)

nilai permintaan yang rendah, sementara konsumsi daerah miskin terhadap produk daerah kaya akan lebih mungkin terjadi. Para pelopor teori ini menekankan pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi perbedaan yang semakin menonjol.

4. Teori pusat Lingkungan (Core Perpihery Theory).

Teori pusat lingkungan ini di kemukakan oleh Friedman sejak tahun 1966, yang melihat hubungan antara pembangunan kota (core) dan desa (periphery) disekitarnya. Friedman berusaha untuk merumuskan suatu keadaan yang akan menciptakan suatu suasana kota di areal pedesaan, misalnya adanya kelengkapan yang memadai sebagaimana halnya diperkotaan, atau sebaliknya bagaimana pula menciptakan kehidupan dan nunsa desa di daerah kota.

5. Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory)

Teori pusat pertumbuhan merupakan salah satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus. Maka dengan demikian teori pusat pertumbuhan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelsok daerah.Teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.

Pusat pertumbuhan jika dilihat secara fungsional adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar. Secara geografis pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga

(16)

menjadi pusat daya tarik yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di daerah tersebut dan memanfaatkan fasilitas yang ada. Tidak semua kota generative dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai.

2.6 Pengeluaran Pemerintah

Peran Pemerintah dalam perekonomian dapat diklasifikasikan dalam empat macam peran, yaitu : peran alokasi, peran distribusi, peran stabilisasi, dan peran dinamisasi. Peranan pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan fiskal. Menurut McEachern (2000) kebijakan fiskal menggunakan belanja pemerintah, pembayaran transfer, pajak dan pinjaman untuk mempengaruhi variabel mekroekonomi seperi tenaga kerja, tingkat harga dan tingkat GDP. Alat kebijakan fiskal dapat dipisahkan menjadi dua kategori yaitu kebijakan fiskal stabilisator dan diskrit.

Kebijakan fiskal penstabil otomatik atau disebut juga stabilisator terpasang, menurut Lipsey (1990) adalah berbagai kebijakan yang dapat menurunkan kecenderungan membelanjakan marjinal dari pendapatan nasional, sehingga mengurangi angka multiplier. Penstabil otomatik mengurangi besarnya fluktuasi pendapatan nasional yang disebabkan oleh perubahan-perubahan autonomous pada pengeluaran-pengeluaran seperti investasi. Selain itu, perangkat ini akan bekerja tanpa pemerintah harus bereaksi dengan sengaja, terhadap setiap perubahan pendapatan nasional pada waktu perubahan ini terjadi. Tiga bentuk penstabil otomatik yang utama adalah pajak, pengeluaran pemerintah dan transfer

(17)

pemerintah.

Pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah cenderung relatif stabil dalam menghadapi variasi pendapatan nasional yang bersifat siklis. Banyak pengeluaran sudah disetujui oleh peraturan sebelumnya, sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat dirubah oleh pemerintah. Perubahan kecil tersebut dilakukan dengan sangat lambat. Sebaliknya, konsumsi dan pengeluaran swasta untuk investasi cenderung bervariasi sejalan dengan pendapatan nasional. Semakin besar peran pengeluaran pemerintah dalam suatu perekonomian, makin kecil kadar ketidakstabilan siklis pada seluruh pengeluaran. Meningkatnya peran pemerintah dalam perekonomian dapat saja merugikan atau menguntungkan. Meskipun demikian, pengeluaran pemerintah merupakan penstabil otomatik yang ampuh dalam perekonomian.

Kebijakan fiskal yang kedua adalah kebijakan fiskal diskresioner, yaitu memberlakukan perubahan pajak dan pengeluaran yang dirancang untuk mengimbangi senjang yang timbul. Agar dapat melakukannya secara efektif, pemerintah secara periodik harus mengambil keputusan untuk merubah kebijakan fiskal. Dalam proses mempertimbangkan kebijakan fiskal diskresioner, perlu dipertimbangkan dua hal, yaitu kemudahan kebijakan fiskal untuk dirubah dan pandangan rumah tangga dan perusahaan atas kebijakan fiskal pemerintah yang bersifat sementara atau jangka panjang.

Stabilitas perekonomian dapat dicapai apabila pemerintah mampu melaksanakan kebijakan fiskalnya dengan baik. Artinya pemerintah hanya mampu memelihara angkatan kerja tinggi (pengangguran rendah), tingkat harga yang stabil, tingkat suku bunga yang wajar, dan pertumbuhan ekonomi yang

(18)

memadai. Jika perekonomian stabil maka pendapatan masyarakat akan meningkat dan pengangguran menurun sehingga tercipta kesejahteraan sesuai dengan harapan masyarakat (Soediyono,1992:92).

Desentralisasi di Indonesia dimulai pada Tahun 2001 dengan menerapkan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang telah diperbaharui UU No 32 dan 33 Tahun 2004. Dengan demikian telah terjadi telah terjadi perubahan struktural, dimana pada era sebelumnya pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara sentralistik kemudian berubah menjadi desentralisasi. Tujuan umum dari perubahan tersebut adalah untuk membentuk dan membangun sistem publik yang dapat menyediakan barang dan jasa publik lokal yang semakin efektif dan efisien, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi.

Dengan dilaksanakannya desentralisasi maka pemerintah daerah mempunyai kebebasan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan rencana-rencana pembangunan yang telah disetujui dalam APBD. Namun demikian setiap pemerintah daerah harus mampu mengkoordinasikan pembangunan-pembangunan yang dilaksanakan agar dapat mengurangi masalah ketimpangan pembangunan wilayah.

2.7 Aglomerasi

Pertumbuhan ekonomi antar daerah biasanya tidak akan sama. Terdapat daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi akan tetapi disisi lain ada pula daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya rendah. Perbedaan daerah dilihat dari pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada munculnya aglomerasi, yaitu terpusatnya kegiatan-kegiatan ekonomi pada suatu daerah saja

(19)

dan tidak terjadi persebaran yang merata (Kartini, 2008). Montgomery dalam Mudrajad Kuncoro (2004) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktifitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen untuk meminimisasi biaya-biaya seperti biaya-biaya transportasi, informasi, dan komunikasi.

Menurut Robinson Tarigan (2005), keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya aglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale) dan economic of agglomeration. Economic of scale adalah keuntungan karena dapat berproduksi berdasarkan spesialisasi sehingga produksi lebih besar dan biaya per unit lebih efisien. Sedangkan economic of agglomeration ialah keuntungan karena di tempat itu terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan oleh perusahaan. Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar wilayah sebab proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Sedangkan konsentrasi kegiatan ekonomi rendah proses pembangunan akan berjalan lebih lambat. Oleh karena itu, ketidakmerataan ini menimbulkan ketimpangan pembangunan antar wilayah (Sjafrizal, 2008).

(20)

2.8. Ketimpangan Pembangunan Wilayah

Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo-Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesa Klasik (Sjafrizal, 2008). Menurut Hipotesa Neo-klasik, pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun (Sjafrizal, 2008).

Myrdal dalam Jhingan (1990), ketimpangan wilayah berkaitan erat dengan sistem kapitalis yang dikendalikan oleh motif laba. Motif laba inilah yang mendorong berkembangnya pembangunan terpusat di wilayah-wilayah yang memiliki harapan laba tinggi, sementara wilayah-wilayah yang lainnya tetap terlantar. Lincolin Arsyad (1997) juga berpendapat perbedaan tingkat pembangunan ekonomi antar wilayah menyebabkan perbedaan tingkat kesejahteraan antar wilayah. Ekspansi ekonomi suatu daerah akan mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain, karena tenaga kerja yang ada, modal, perdagangan akan pindah ke daerah yang melakukan ekspansi tersebut.

Ketimpangan pada kenyataannya tidak dapat dihilangkan dalam pembangunan suatu daerah. Adanya ketimpangan, akan memberikan dorongan kepada daerah yang terbelakang untuk dapat berusaha meningkatkan kualitas

(21)

hidupnya agar tidak jauh tertinggal dengan daerah sekitarnya. Selain itu daerah-daerah tersebut akan bersaing guna meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga ketimpangan dalam hal ini memberikan dampak positif. Akan tetapi ada pula dampak negatif yang ditimbulkan dengan semakin tingginya ketimpangan antar wilayah.

Dampak negatif tersebut berupa inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro,1997). Adapun faktor-faktor yang menetukan ketimpangan pembangunan antar wilayah antara lain konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah, mobilitas barang dan factor produksi antar daerah serta alokasi investasi antar wilayah dengan wilayah lainnya. Bahkan kebijakan yang dilakukan oleh suatu daerah depat pula mempengaruhi ketimpangan pembangunan regional. Oleh karena itu untuk menghitung tingkat ketimpangan wilayah digunakan beberapa metode yaitu indeks Williamson, indeks Entrophy Theil dan Ketimpangan Berdasarkan Konsep PDRB per Kapita Relatif.

2.9 Dampak Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan pembangunan telah memberikan berbagai dampak terhadap daerah dan masyarakat. Adapun yang menjadi dampak dari ketimpangan tersebut (www.bappenas.go.id) adalah :

1. Banyak Wilayah-Wilayah yang Masih Tertinggal Dalam Pembangunan Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari

(22)

wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain :

a. Terbatasnya akses trasnportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif maju.

b. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar.

c. Kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia.

d. Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah secara langsung.

e. Belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.

2. Belum Berkembangnya Wilayah-Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh Banyak wilayah-wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan, antara lain : a. Adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan

produk unggulan;

b. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasaan di daerah;

c. belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku swasta;

(23)

d. belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah;

e. masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi;

f. keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah;

3 Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wiayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan illegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan sosial.

Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan daerah. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah-wilayah prioritas pembangunan

(24)

oleh pemerintah. Sementara itu daerah-daerah pedalaman yang ada juga sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar pemerintah.

4. Kesenjangan Pembangunan Antara Kota dan Desa

Ketimpangan pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara daerah perkotaan dengan pedesaan, yang diakibatkan oleh : (a) investasi ekonomi cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan; (b) kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi di pedesaan; (c) peran kota yang diharapakan dapat mendorong perkembangan pedesaan, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan.

5. Pengangguran, Kemiskinan dan Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia

Dampak utama dari ketimpangan pembangunan adalah pengangguran, kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Dampak ini merupakan dampak turunan dari kurangnya lapangan kerja di suatu daerah bersangkutan, yang disebabkan kurangnya investasi baik dari pemerintah maupun swasta, dan mengakibatkan terjadinya pengangguran. Jika pengangguran terjadi maka biasanya disusul terjadinya kemiskinan. Kemiskinan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (generasi berikutnya) cenderung rendah, karena terbatasnya kemampuan untuk menikmati pendidikan akibat rendahnya pendapatan masyarakat bahkan cenderung tidak ada sama sekali, sehingga masyarakat lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan yang paling krusial yaitu makanan dan minuman.

(25)

2.10. Penelitian Terdahulu

Caska (2005) Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau. Menggunakan metode Indeks Williamson, Indeks entropi Theil dan hipotesis Kuznets. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Selama periode pengamatan 2003-2005, terjadi ketimpangan pembangunan yang tidak cukup signifikan berdasarkan Indeks Williamson, sedangkan menurut Indeks entropi Theil, ketimpangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadinya pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan. Sebagai akibatnya tidak terbuktinya hipotesis Kuznets di Provinsi Riau yang mengatakan adanya kurva U terbalik.

Mulyanto (2006) melakukan penelitian tentang Analisis Transformasi Struktural, Pertumbuhan Ekonomi, dan Ketimpangan Antar Daerah diWilayah Pembangunan I Jateng menggunakan metode Location Quotient, Shift Share, Model Rasio Pertumbuhan, Overlay, hipotesis Kuznets. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Hipotesis Kuznets yang menunjukkan hubungan antara ketimpangan dengan pertumbuhan ekonomi yang berbentuk kurva U terbalik ternyata berlaku di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah. Alat analisis LQ juga memiliki beberapa kekurangan antara lain mengasumsikan adanya permintaan yang sama padahal penduduk memiliki selera yang berbeda, produktivitas yang sama padahal tingkat upah berbeda di berbagai daerah, ketidakmampuan untuk dapat menerangkan keterkaitan antar industri.

Angelina (2007) Analisis Ketimpangan Pembangunan Wilayah diPropinsi DKI Jakarta 1995-2008. Menggunakan metode Hipotesis Kuznet, analisis regresi berganda dengan variable PDRB per kapita, investasi, dan aglomerasi serta

(26)

dummy time. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Hipotesis Kuznet mengenai Kurva U-Terbalik terbukti untuk Provinsi DKI Jakarta. Pada pertumbuhan awal ketimpangan di Provinsi DKI Jakarta memburuk, kemudian pada tahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun. Akan tetapi, suatu waktu ketimpangan tersebut akan kembali meningkat sehingga terbukti bahwa terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan. Uji F-statistik menunjukkan bahwa semua variabel independen dalam model regresi yaitu PDRB per kapita, investasi, dan aglomerasi serta dummy time desentralisasi fiskal secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen ketimpangan wilayah.

Sirojuzilam (2008), Disparitas Ekonomi Wiayah Barat Dan Wilayah Timur Propinsi Sumatera Utara dan Kaitannya Dengan Perencanaan Wilayah. Menggunakan metode Indeks Williamson, Klassen Typologi, Metode GLS dengan Variabel (PDRB, Investasi PMDN, Pengeluaran Pembangunan, Pemerintah, Panjang jalan kabupaten/kota, Kepadatan Penduduk, Jumlah Murid SLTA. Hasil penelitiannya daerah-daerah di Wilayah Timur memiliki indeks Williamson relatif rendah, yang menggambarkan bahwa ketidakmerataan antar wilayah relatif kecil. Wilayah Timur memiliki indeks Williamson relatif tinggi, yang menggambarkan bahwa ketidakmerataan antar wilayah relatif besar. Dan berdasarkan hasil regresi hannya variabel jumlah murid SLTA yang tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Cholif (2010), Analisis Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten/Kota Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2007. Menggunakan metode indeks Williamson dan Indeks Theil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Ketimpangan/disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di

(27)

Propinsi Jawa Tengah selama tahun 2003-2007 tergolong tinggi, karena berada diatas ambang batas 0,5. Indeks Theil dan indeks Williamson yang menunjukkan adanya disparitas pendapatan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa tengah tersebut belum menunjukkan kecenderungan menurun karena masih tergolong tinggi.

Puput (2013) Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan Antar Kecamatan di Kabupaten Buleleng, Menggunakan metode Tipologi Klassen, Indeks Williamson, dan Korelasi Pearson. Hasil penelitiannya, dari hasil tipologi klassen Kabupaten Buleleng dapat di bagi menjadi dua daerah klasifikasi. Daerah yang pertama yakni daerah yang tumbuh cepat tetapi tidak maju terdiri lima kecamatan yakni, Kecamatan Gerokgak, Kecamatan Seririt, Kecamatan Sukasada, Kecamatan Buleleng, dan kecamatan Kubutambahan. Daerah yang kedua yakni daerah yang relative tertinggal adalah Kecamatan Bususngbiu, Kecamatan Banjar, Kecamatan Sawan, dan Kecamatan Tejakula. Selama periode pangamatan tahun 2007-2011 angka ketimpangan di hitung dengan indeks Williamson angkanya cukup kecil, hal ini dapat dikatakan ketimpangan di Kabupaten Buleleng cukup kecil.

(28)

2.11. Kerangka Konseptual

Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi tiap daerah merupakan fenomena yang umum dijumpai, terutama di negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dari laju pertumbuhan pendapatan daerah yang bersangkutan sebagai upaya mencapai pembangunan daerah. Salah satu indikator mengetahui pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah ditunjukkan oleh data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui perubahan struktur ekonomi daerah.

Pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan secara optimal. Setiap daerah pada dasarnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang berbeda antarwilayah satu dengan yang lainnya. Perbedaan pertumbuhan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan potensi yang ada pada tiap daerah seperti sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Sehingga mengakibatkan adanya kesenjangan antarwilayah yang pada akhirnya akan menimbulkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah dan merupakan konsekuensi dari proses pertumbuhan ekonomi antarwilayah.

Disparitas Wilayah ini merupakan masalah yang dihadapi dalam proses pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dan tingkat disparitas wilayah antar kabupaten/kota di kawasan Pantai Barat dan timur Propinsi Sumatera Utara ini, dilihat melalui PDRB dan PDRB perkapitanya. PDRB merupakan indikator untuk mengukur perkembangan ekonomi daerah. Sedangkan PDRB perkapita merupakan hasil bagi PDRB dengan jumlah penduduk wilayah yang bersangkutan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan masyarakatnya.

(29)

Dalam penelitian ini untuk mengukur disparitas wilayah antara kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara selama tahun 2001-2013 menggunakan Indeks Williamson (IW) dipakai sebagai analisis dalam mengukur tingkat ketimpangan pembangunan dan potensi ekonomi daerah dengan Location Quatient (LQ) selama tahun 2008-2013. Alur pemikiran penelitian dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian

Pertumbuhan Antar Wilayah Kabupaten/Kota Pesisir Pantai Barat Dan Timur Sumatera Utara

Potensi Ekonomi/sektor-sektor unggulan Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Jumlah Penduduk Pengeluaran Pemerintah PDRB Aglomerasi

(30)

2.12 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2006), dimana kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesis menyatakan hubungan tentang yang ingin dicari atau dipelajari. Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terjadi ketimpangan wilayah antara kabupaten/kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, Ceteris Paribus.

2. Sektor-sektor ekonomi unggulan dapat menunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, Ceteris Paribus.

3. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap ketimpangan wilayah diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, Ceteris Paribus.

4. PDRB berpengaruh negatif terhadap ketimpangan wilayah diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, Ceteris Paribus.

5. Pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap ketimpangan wilayah diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, Ceteris Paribus.

6. Aglomerasi berpengaruh positif terhadap ketimpangan wilayah diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, Ceteris Paribus.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai seorang ketua Sekretariat kongres Maria Ullfah dengan tegas mengatakan kepada organisasi perempuan yang masuk ke dalam Gerakan Massa untuk memilih Kongres

(1) Ketentuan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf d merupakan acuan bagi pemerintah Kabupaten dalam melakukan tindakan penertiban terhadap

Sedangkan faktor internal yang akan mempengaruhi perekonomian Kabupaten Samosir untuk Tahun 2012 diperkirakan adalah Pertama, persentase belanja Tidak Langsung terhadap

Jadi, yang tadi saya pegang Kartu Indonesia Sehat, kalau sakit, baik sakitnya batuk-batuk maupun sakitnya flu jangan ke dok... jangan ke rumah sakit tapi ke

Pertama, Pada tanggal 28 Desember 2012 sekitar pukul 10.30 WIB petugas KPPBC Pasar Baru dan petugas Subdit Narkotika Dit P2 DJBC, disaksikan petugas kantor pos melakukan pemeriksaan

Untuk mengetahui kinerja keuangan koperasi yang telah diperoleh melalui analisis rasio keuangan terhadap laporan keuangan berdasarkan latar belakang yang telah di

Oleh karena itu, mengingat dari urgensi pemeriksaan kesehatan pra nikah sendiri terlebih lagi terkait keberlangsungan suatu kehidupan rumah tangga yang sakinah, maka penulis

Apabila Anda tidak mampu menggali informasi ini dari sistem penjualan dan katering Anda, Anda dapat menyerahkan informasi ini dalam file Excel dengan dilengkapi informasi wajib