• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN TANAMAN NAUNGAN PADA PRODUKSI BENIH KAKAO (Theobroma cacao L.) Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN TANAMAN NAUNGAN PADA PRODUKSI BENIH KAKAO (Theobroma cacao L.) Oleh"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN TANAMAN NAUNGAN

PADA PRODUKSI BENIH KAKAO (Theobroma cacao L.)

Oleh

Diana Kustantini, AMd.(PBT Ahli Pertama)

Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Surabaya

A. Pendahuluan

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai US $ 701 juta. Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan pada tahun 2002 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut sebagianbesar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Produksi kakao Indonesia sebagian besar diekspor dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Produk yang diekspor sebagian besar (78,5%) dalam bentuk biji kering (produk primer) dan hanya sebagian kecil (21,5%) dalam bentuk hasil olahan. Tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Amerika Serikat, Malaysia, Brazil dan Singapura. Di sisi lain, Indonesia juga mengimpor biji kakao yang akan digunakan untuk campuran bahan baku industri pengolahan dalam negeri. Negara asal impor biji kakao

(2)

Indonesia antara lain Pantai Gading, Ghana dan Papua New Guinea (Anonim, 2011/prospek). Penjualan kakao jenis bulk diperkirakan akan mengadapi masa suram pada tahun 2013 ini. Serangan hama telah membuat kualitas dan kuantitas produksi kakao menurun, sehingga harganya pun anjlok (Diananta S, 2013). Usaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kakao adalah dengan memperhatikan aspek budidaya dari tanaman kakao yang berawal dari pembibitan. Pada produksi benih kakao untuk dapat menghasilkan produksi dan mutu benih yang baik maka salah satu aspek dalam budidaya yaitu pengelolaan tanaman naungan harus diperhatikan. Dengan pengelolaan tanaman naungan yang tepat maka dapat meningkatkan produksi dan memberikan nilai tambah bagi petani (Anonim, 2012).

B. Syarat Tumbuh Kakao

Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan. Lingkungan alami tanaman kakao adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan, suhu udara dan sinar matahari menjadi bagian dari faktor iklim yang menentukan. Demikian juga dengan faktor fisik dan kimia tanah yang erat kaitannya dengan daya tembus (penetrasi) dan kemampuan akar menyerap hara.

1. Ditinjau dari wilayah penanamannya kakao ditanam pada daerah-daerah yang berada pada 10o LU sampai dengan 10o LS. Walaupun demikian penyebaran pertanaman kakao secara umum berada diantara 7oLU sampai 18oLS. Hal ini erat kaitannya dengan distribusi curah hujan dan jumlah penyinaran matahari sepanjang tahun. Kakao juga masih toleran pada daerah 20o LU sampai 20o LS.Dengan demikian Indonesia yang berada pada 5o LU sampai dengan 10o LS masih sesuai untuk pertanaman kakao. Ketinggian tempat Ketinggian tempat di Indonesia yang ideal untuk penanaman kakao adalah tidak lebih tinggi dari 800 m dari permukaan laut.

2. Curah hujan yang berhubungan dengan pertanaman dan produksi kakao ialah distribusinya sepanjang tahun. Hal tersebut berkaitan dengan masa pembentukan tunas muda dan produksi. Areal penanaman kakao yang ideal adalah daerah-daerah dengan curah hujan 1.100-3.000 mm per tahun. Curah hujan yang melebihi 4.500 mm per tahun tampakya berkaitan erat dengan serangan penyakit busuk buah (black pod). Daerah yang curah hujannya lebih rendah dari 1.200 mm per tahun masih dapat ditanami kakao, tetapi dibutuhkan air irigasi. Hal ini disebabkan air yang hilang karena transpirasi akan lebih besar dari pada air yang diterima tanaman dari curah hujan, sehingga tanaman harus dipasok dengan air irigasi. Di tinjau dari tipe iklimnya, kakao sangat ideal ditanam pada

(3)

daerah-daerah yang tipenya iklim Am (menurut Koppen) atau B (menurut Scmidt dan Fergusson). Di daerah-daerah yang tipe iklimnya C menurut (Scmidt dan Fergusson) kurang baik untuk penanaman kakao karena bulan keringnya yang panjang. Dengan membandingkan curah hujan diatas dengan curah hujantipe Asia, Ekuator dan Jawa maka secara umum areal penanaman kakao di Indonesia masih potensial untuk dikembangkan. Adanya pola penyebab curah hujan yang tetap akan mengakibatkan pola panen yang tetap pula. Temperatur Pengaruh temperatur terhadap kakao erat kaitannya dengan ketersedian air, sinar matahari dan kelembaban. Faktor-faktor tersebut dapat dikelola melalui pemangkasan, penataan tanaman pelindung dan irigasi. Temperatur sangat berpengaruh terhadap pembentukan flush, pembungaan, serta kerusakan daun. Menurut hasil penelitian, temperatur ideal bagi tanaman kakao adalah 300C - 320C (maksimum) dan 180C-210C (minimum). Kakao juga dapat tumbuh dengan baik pada temperatur minimum 15o C perbulan. Temperatur ideal lainnya dengan distribusi tahunan 16,60C masih baik untuk pertumbuhan kakao asalkan tidak didapati musim hujan yang panjang. Berdasarkan keadaan iklim di Indonesia temperatur 250-260 C merupakan temperatur rata-rata tahunan tanpa faktor terbatas. Karena itu daerah-daerah tersebut sangat cocok jika ditanami kakao. Temperatur yang lebih rendah 100 C dari yang dituntut tanaman kakao akan mengakibatkan gugur daun dan mengeringnya bunga, sehingga laju pertumbuhannya berkurang. Temperatur yang tinggi akan memacu pembungaan, tetapi kemudian akan gugur. Pembungaan akan lebih baik jika berlangsung pada temperatur 230 C. Demikian juga tempertur 26oC pada malam hari masih lebih baik pengaruhnya terhadap pembungaan dari pada temperatur 23o-300 C. Temperatur tinggi selama kurun waktu yang panjang berpengaruh terhadap bobot biji. Tempertur yang relatif rendah akan menyebabkan biji kakao banyak mengandung asam lemak tidak jenuh dibandingkan dengan suhu tinggi. Pada areal tanaman yang belum menghasilkan kerusakan tanaman sebagi akibat dari temperatur tinggi selama kurun waktu yang panjang ditandai dengan matinya pucuk. Daun kakao masih toleran sampai suhu 50o C untuk jangka waktu yang pendek. Temperaturvyang tinggi tersebut menyebabkan gejala necrossis pada daun. Sinar Matahari Lingkungan hidup alami tanaman kakao ialah hutan hujan tropis yang didalam pertumbuhanya membutuhkan naungan untuk mengurangi pencahayaan penuh.

3. Cahaya matahari yang terlalu banyak menyoroti tanaman kakao akan mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan batang relatif pendek. Pemanfaatan cahaya matahari semaksimal mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan intersepsi cahaya dan pencapain

(4)

indeks luas daun optimum. Kakao tergolong tanaman C3 yang mampu berfotosintesis pada suhu daun rendah. Fotosintesis maksimum diperoleh pada saat penerimaan cahaya pada tajuk sebesar 20 persen dari pencahayaan penuh. Kejenuhan cahaya didalam fotosintesis setiap daun yang telah membuka sempurna berada pada kisaran 3-30 persen cahaya matahari atau pada 15 persen cahaya matahari penuh. Hal ini berkaitan pula dengan pembukaan stomata yang lebih besar bila cahaya matahari yang diterima lebih banyak.

4. Air dan hara merupakan faktor penentu bila mana kakao akan ditanam dengan sistem tanpa tanaman pelindung sehingga terus menerus mendapat sinar atahari secara penuh. 5. Pembibitan kakao membutuhkan naungan, karena benih kakao akan lebih lambat

pertumbuhannya pada pencahayaan sinar matahari penuh. Penanaman kakao tanpa pelindung saat ini giat diteliti dan diamati karena berhubungan dengan biaya penanaman maupun pemeliharaan. Penanaman dilakukan dipagi hari pada musim hujan tenyata lebih baik hasilnya kalau sore/malam harinya hujan turun dibandingkan dengan jika hujan yang turun 2 hari kemudian. Dengan demikian, air dan hara memang merupak faktor penentu bila mana cahaya matahari dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi pertanaman kakao.

6. Kakao dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan persyaratan kimia dan fisik yang berperan dalam pertumbuhan dan produksi tanaman kakao terpenuhi. Kemasaman tanah, kadar zat organik, unsur hara, kapasitas adsorbsi, dan kejenuhan basa merupakan sifat kimia yang perlu diperhatikan, sementara faktor fisiknya adalah kedalaman efektif, tinggi permukan air tanah, drainase, struktur dan konsistensi tanah. Selain itu kemiringan lahan juga merupakan sifat fisik yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao.

Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki masaman pH 6-7.5 tidak lebih tinggi dari 8, serta tidak lebih rendah dari 8.

7. Kadar zat organik yang tinggi akan meningkatkan laju pertumbuhan pada masa sebelum panen. Untuk itu zat organik pada lapisan tanah setebal 0-15 cm sebaiknya lebih dari 3 persen. Kadar tersebut setara dengan 1.75 persen unsur karbon yang dapat menyediakan hara dan air serta struktur tanah yang gembur.

Untuk meningkatkan kadar zat organik dapat dipergunakan serasah sisa pemangkasan maupun pembenaman kulit buah kakao. 900 kg kulit buah kakao memberikan hara 28 gram urea, 9 kg P, 56.6 kg Mo dan 8 Kg kiserit. Sebaiknya tanah-tanah yang hendak

(5)

ditanami kakao paling tidak juga mengandung kalsium lebih besar dari 8 me per 100 gram contoh tanah dan kalsium lebih besar dari 0.24 me per 100 gram pada kedalaman 0-15 cm (Anonim, 2006).

.

C. Pentingnya Tanaman Naungan Terhadap Proses Fisiologi Pada Tanaman Kakao Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis basah dan tumbuh di bawah naungan tanaman hutan. Di dalam teknik budidaya yang baik, sebagian sifat habitat aslinya tersebut masih dipertahankan, yaitu dengan memberi naungan secukupnya. Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia.

Pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree), laju fotosintesis optimum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 60%. Tanaman penaung berperan sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang.

Masih dipertahankannya pemakaian naungan pada budidaya kakao disebabkan oleh tingkat kejenuhan cahaya untuk fotosintesis relatif rendah. Hal ini membuktikan fotosintesis berlangsung optimum pada intensitas cahaya sekitar 60% dari penyinaran langsung. Penetapan hasil fotosintesis bersih dapat diketahui dengan menghitung jumlah daun serta mengukur laju penyerapan CO2 per satuan luas daun. Jumlah daun lazimnya dinyatakan dengan LAI (leaf area index) yaitu besaran yang menyatakan nisbah (perbandingan/rasio) antara jumlah luas semua daun dan tanah yang ternaungi. Hasil fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya LAI, tetapi sesungguhnya juga sangat bergantung pada struktur tajuk dan pencahayaan. Daun-daun yang ternaungi tidak optimal dalam melakukan fotosintesis. Dari hasil penelitian terhadap kelayuan buah muda (cherelle wilt) dapat dibuktikan bahwa untuk berkembangnya satu buah kakao perlu didukung oleh 8 – 10 lembar daun dewasa yang sehat dan mendapat pencahayaan yang baik. Jika proporsi daun hanya 5 – 6 lembar untuk setiap buah, angka kelayuan buah muda sangat tinggi dan telah terjadi tiga minggu setelah pertumbuhannya (Alvim, 1952). Dibandingkan dengan tanaman keras lainnya, tanaman kakao mempunyai laju fotosintesis bersih yang rendah. Hasil penelitian di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia menunjukkan ada perbedaan pada laju fotosintesis kakao lindak dengan kakao mulia. Kakao lindak lebih tahan terhadap penyinaran matahari dan pada

(6)

kondisi tanpa naungan, laju asimilasi bersih terus meningkat. Sebaliknya, pada bibit kakao mulia laju asimilasi menurun pada intensitas cahaya lebih dari 80%. Pada dasarnya, manajemen pemangkasan tanaman kakao dan pengelolaan naungan dimaksudkan untuk memperoleh LAI optimal. Tujuan pemangkasan di samping untuk memperoleh tajuk (kanopi) yang ideal juga untuk meningkatkan aerasi dan penetrasi cahaya ke dalam tajuk tanaman agar distribusi cahaya merata ke seluruh permukaan daun. Sementara itu, pohon naungan berfungsi untuk mengatur persentase penerimaan cahaya sesuai dengan kebutuhan tanaman kakao.

Telah disebutkan bahwa pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree), laju fotosintesis optimum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70%. Murray (1953) yang mengamati hubungan antara intensitas cahaya dan buah dipanen serta hasil biji mendukung pernyataaan tersebut. Namun dalam praktik di kebun, telah dibuktikan bahwa pada tanah yang subur dan faktor-faktor tumbuh yang lain mendukung pertumbuhan tanaman yang baik, hasil biji tertinggi diperoleh pada tanaman tanpa penaung. Tanaman penaung berfungsi sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang.

Intensitas sinar matahari yang diterima sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman cokelat. Menurut Ir Syahnen et all. 2011, bahwa intensitas sinar matahari yang optimum adalah 50%, tetapi bila keadaan tanah subur(tanaman yang dipupuk sesuai kebutuhan), intensitas bisa naik menjadi 70-80%.

Hasil fotosintesis tanaman kakao sebagian besar dipergunakan untuk menopang pertumbuhan vegetatif dan hanya sekitar 6% dipergunakan untuk pertumbuhan generatif. Dari bagian yang 6% tersebut tidak seluruhnya menjadi biji yang siap panen sebab sebagian besar buah kakao akan mengalami layu fisiologis yang lazim disebut dengan cherelle wilt. Sekitar sepertiga dari jumlah itu digunakan untuk menghasilkan biji kakao, sisanya untuk pertumbuhan kulit buah dan bunga.

Proses fotosintesis dan pembentukan jaringan yang baru memerlukan mineral dari dalam tanah. Penyerapan dan penggunaan mineral ini relatif sedikit, lazim 1 : 40 (mineral : asimilat). Peranan hara mineral ini amat penting karena beberapa mineral selain berperan secara struktural, juga berperan fungsional sebagai aktivator sistem enzim. Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa untuk menghasilkan 1.000 kg biji kering, diperlukan hara mineral N 31,0; P 4,9; K 53,8; Ca 4,9; Mg 5,2; Mn 0,11; dan Zn 0,09 (dalam satuan

(7)

kg/ha/tahun).

Kakao termasuk tanaman dengan laju fotorespirasi tinggi, yaitu 20 – 50% dari hasil total fotosintesis. Fotorespirasi tidak menghasilkan energi yang bermanfaat bagi tanaman sehingga upaya untuk menekan laju fotorespirasi berarti juga upaya untuk meningkatkan produktivitas, antara lain dengan pemberian pohon naungan.

Air yang diserap tanaman sebagian besar hilang lewat proses transpirasi (penguapan). Proses ini cukup penting karena berkaitan dengan penyerapan unsur hara dan menjaga suhu tubuh tanaman. Selain lewat proses transiprasi, kehilangan air juga dapat melalui evaporasi. Nilai evapotranspirasi berhubungan dengan suhu rata-rata bulanan . Di daerah tropis, nilai EP sekitar 4 – 5 inch tanaman kakao akan menderita akibat kekurangan air jika curah hujan bulanan lebih rendah dari nilai EP tersebut. Agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, tanaman kakao menghendaki suhu yang optimal. Meskipun tanaman kakao berasal dari daerah tropis, tanaman ini tidak tahan suhu yang tinggi. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan kakao mulia adalah 18,80C – 27,90C, sementara untuk kakao lindak 22,40C – 30,40C. Suhu yang tinggi mengakibatkan hilangnya dominasi pucuk, klorosis, nekrosis, gugur daun, dan tanaman menjadi kerdil (Imade Dermawan, 2010)..

Dengan terpeliharanya iklim mikro disekitar tanaman pada penggunaan tanaman naungan maka dapat mengurangi serangan hama dan penyakit tanaman seperti busuk buah, antraknose dan serangan serangga helopheltis (Ir. Syahnen etall., 2011).

Pola diversifikasi tanaman kakao dengan tanaman penaung merupakan peluang untuk pengembangan kakao dengan pemanfaatan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi petani .

D. Jenis dan Pengelolaan Tanaman Nanugan Pada Kakao 1. Jenis tanaman naungan

Pengembangan tanaman kakao memerlukan naungan dalam budidayanya. Tanpa persiapan lahan dan tanpa persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit diharapkan keberhasilannya. Pohon pelindung atau naungan ada dua jenis, yaitu pohon pelindung sementara dan pohon pelindung tetap. Pohon pelindung sementara bermanfaat bagi tanaman yang belum menghasilkan, terutama yang tajuknya belum bertaut. Pohon pelindung tetap bermanfaat bagi tanaman yang telah mulai menghasilkan. Penanaman pohon pelindung tetap hendaknya dilakukan 12 – 18 bulan sebelum cokelat ditanam di lapangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa cokelat

(8)

harus sudah dibibitkan 4 – 6 bulan sebelumnya. Tanaman penaung dapat berupa tanaman pisang, kelapa dan kayu-kayuan. Tanaman penaung Moghania macrophyla dan pisang sebagai tanaman penaung sementara, dan tanaman Gamal (Gliricidia sp) atau Lamtoro (Leucaena sp), jati, sengon, durian sebagai tanaman penaung tetap. 2. Pengelolaan tanaman naungan

a. Pisang (Musa paradisiaca)

Tanaman pisang dapat dimanfatkan sebagai tanaman penaung sementara dalam budidaya kakao. Tanaman pisang dapat ditanam dengan jarak tanam 6×3 m, sehingga di dalam lorong tanaman pisang arah utara-selatan dapat ditanam 2 baris tanaman kakao dengan jarak tanam 3×3 m. Sebagai tanaman penaung sementara, tanaman pisang dapat ditanam 6-12 bulan sebelum tanam kakao. Selanjutnya rumpun pisang dapat memelihara 2-3 anakan saja. Tanaman pisang dapat dipelihara sampai tahun ke 4 atau sesuai dengan keperluan dengan tetap memperhatikan tingkat penaungannya untuk tanaman kakao. Tata tanam kakao dengan pisang sebagai tanaman penaung sementara dapat digambarkan sebagai berikut : x o o x o o x o o x o o x o o x o o o o o o o o o o x o o x o o x o o x o o x o o x o o o o o o o o o o x o o x o o x o o x o o x o o x o o o o o o o o o o x o o x o o x o o x o o x o o x o o o o o o o o o o x o o x o o x o o x o o x o o x Keterangan

o: Kakao dengan Jarak tanam 3 x 3 m (1100 ph/ha) x: Pisang dengan Jarak tanam 6 x 3 m (550 ph/ha) Barisan arah utara-selatan

b. Kelapa (Cocos nucifera)

Tanaman kelapa dapat digunakan sebagai tanaman penaung tetap untuk tanaman kakao. Dalam hal ini harus diatur agar persaingan minimal. Sebaran akar kakao

(9)

terbanyak sampai radius 1 m dan sebaran akar kelapa terbanyak sampai radius 2 m, oleh karena itu perlu dibuat tata tanam dengan jarak antara kakao dan kelapa minimal 3 m. Dengan jarak tanam kelapa 10×10 m dan jarak tanam kakao 4×2 m dalam gawangan kelapa utara-selatan, maka dapat diperoleh pertanaman dengan populasi tanaman yang cukup yaitu tanaman kakao 1000 ph/ha dan kelapa 100 ph/ha. Sebagai penaung tanaman kakao, fungsi penaungan tanaman kelapa dapat diatur dengan melakukan siwingan (pangkasan) pelepah bila penaungannya terlalu gelap, terutama pada musim hujan. Demikian pula pada tanaman kelapa yang sudah cukup tua dan tinggi, apabila penaungannya kurang dapat ditambah tanaman penaung lain misalnya dengan lamtoro yang ditanam di diagonal tanaman kelapa. Tata tanam dalam penggunaan kelapa sebagai penaung kakao dapat disusun sebagaimana gambar berikut:

X o o X o o X o o X o o X o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o X o o X o o X o o X o o X o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o X o o X o o X o o X o o X Keterangan

o: Kakao dengan Jarak tanam 4×2 m (1000 ph/ha) x: Kelapa dengan Jarak tanam 10×10 m (100 ph/ha) Jarak kakao-kelapa 3 m

3. Tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya

Tanaman kayu-kayuan atau tanaman lain yang mempunyai nilai ekonomis juga dapat dimanfaatkan sebagai penaung, tanaman sela, ataupun tanaman tepi dalam budidaya kakao. Tanaman Jati (Tectona grandis) dan Sengon (Albisia falcata)

(10)

dapat dimanfaatkan sebagai tanaman tepi kebun ataupun tanaman sela pada pertanaman kakao. Pada pertanaman kakao tersebut tetap dimanfaatkan penaung Lamtoro atau Gamal, sedangkan Jati dan Sengon ditanam dalam barisan dua baris (double row) 3 x 2 m dengan jarak antar barisan jati atau sengon 24 – 30 m. Dengan tatatanam demikian terbentuk lorong diantara tanaman jati atau sengon, yang dapat ditanami tanama kakao 3×3 m. Dalam hal ini jati, sengon atau tanaman kayu-kayuan yang lain dapat difungsikan sebagai tanaman penaung dan atau tanaman pematah angin.

x x o o . o o + + o o . o o x x o o . o o + + x x o o . o o + + o o . o o x x o o . o o + + x x o o . o o + + o o . o o x x o o . o o + + x x o o . o o + + o o . o o x x o o . o o + + x x o o . o o + + o o . o o x x o o . o o + + x x o o . o o + + o o . o o x x o o . o o + + x x o o . o o + + o o . o o x x o o . o o + + x x o o . o o + + o o . o o x x o o . o o + + x x o o . o o + + o o . o o x x o o . o o + + Keterangan

o: Kakao dengan Jarak tanam (3 x 3)

x: Jati dengan Jarak tanam (3 x 2) m x 24-30 m +: Sengon dengan Jarak tanam (3 x 2) m x 24-30 m

Penggunaan penaung tersebut perlu disusun dalam tatatanam yang tepat, sehingga dapat memberikan produksi yang optimal dan memberi manfaat konservasi lahan. Persiapan lahan, penyiapan bibit, dan saat tanam harus dilakukan dengan perencanaan yang tepat, sehingga pada saat tanam, bibit kakao siap tanam, dan tanaman penaung di lapangan siap berfungsi sebagai penaung. Selanjutnya dengan teknik budidaya yang benar akan dapat diperoleh tanaman kakao dengan pertumbuhan baik dan produksi yang tinggi (Mikolehi Firdaus, 2009).

E. Kesimpulan

Kakao merupakan tanaman hutan tropis basah dan tumbuh di bawah naungan tanaman hutan. Di dalam teknik budidaya yang baik, sebagian sifat habitat aslinya tersebut masih

(11)

dipertahankan, yaitu dengan memberi naungan secukupnya. Dengan pengelolaan tanaman naungan yang tepat maka akan dapat meningkatkan produksi dan memberikan nilai tambah bagi petani. Ada dua macam naungan yaitu tanaman naungan sementara dan tetap. Beberapa tanaman penaung yang digunakan antata lain pisang (naungan sementara) , kelapa ( naungan tetap) dan tanaman kayu-kayuan. Teknik pengelolaan tanaman penaung tergantung dari jenis tanaman penaung yang digunakan hal ini yang berhubungan dengan persaingan penyerapan nutrisi, lebar tajuk/kanopi, panjang perakaran dan kontribusi tanaman penaung terhadap OPT baru.

F. Daftar Pustaka

Anonim. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Kakao. http://id.scribd.com

Anonim. 2011. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao. Departemen Pertanian. Anonim. 2012. Budidaya Tanaman Kakao. http://epetani.go.id.

Diananta Sumedi. 2013. Masa Suram Industri Kakao Bulk. Tempo Surabaya. I Made Dermawan. 2010. Budidaya Tanaman.

Ir. Syahnen Ms, Sry Ekanitha Br Pinem, SP, Ida Rhoma Tio Siahaan, SP. 2011. Rekomendasi Penyakit Antraknosa Pada Tanaman Kakao.

Mikolehi Firdaus. 2009. Penggunaan Tanaman Naungan Dalam Budidaya Tanaman Kakao. Departemen Agronomi dan Hortikultura. http://mikolehi.wordpress.com

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian diatas, maka peneliti sangat tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang, “ Pengaruh Kepemimpinan Kepala Madrasah dan Penerapan Strategi

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir berjudul ” Peran Public Relations PT Dirgantara Indonesia Bandung dalam Meningkatkan Citra Positif di Mata Masyarakat ”

Untuk Mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah elektif agar mendaftar di Bagian Akademik Fakultas Peternakan Univ.. Untuk Mata Kuliah Elektif, kuliah dan praktikum

Pada zaman dahulu motif batik memiliki nilai tersendiri yang berbeda-beda maknanya dan tidak semua orang bisa menggunakan motif batik, misalnya saja motif Lereng atau Parang..

Sesungguhnya pernintaan akan ikan kalengan masih - jauh lebih besar dari supplynya yang mana dapat dilihat -. dari terjualnya produk^prodok perusahaan tanpa marketings effort

Pada metode disc diffusion yang dilakukan oleh Omodamiro dan Amechi pada tahun 2013 terhadap bakteri Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus aureus, menunjukkan

Pendekatan yang menekankan pada prosedur adalah suatu sistem merupakan suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama untuk

Akan tetapi indikator tersebut relevan dijadikan sebagai ukuran dasar pengelolaan hutan lestari untuk aspek produksi karena indikator tersebut merupakan