• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBATALAN MEREK DI PENGADILAN NIAGA MEDAN (Studi Putusan No. 03/Merek/2008/PN.Niaga/Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBATALAN MEREK DI PENGADILAN NIAGA MEDAN (Studi Putusan No. 03/Merek/2008/PN.Niaga/Medan)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

190 PEMBATALAN MEREK DI PENGADILAN NIAGA MEDAN

(Studi Putusan No. 03/Merek/2008/PN.Niaga/Medan) Mandras1,Januari Siregar2

1Wiraswata 2Universitas Medan Area 1m.mandras87@yahoo.co.id

2drjanauri@yahoo.com

ABSTRAK

Filosofi perlindungan atas kekayaan intelektual yang bermanfaat bagi pengembangan ekonomi dan teknologi bagi mayarakat lokal yang pertama A Normative Justification dan Kedua A Nationalistic Justification. Adapun manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat, yaitu mereka mendapatkan barang yang asli, bukan tiruan. Akan tumbuh juga di dalam masyarakat semangat untuk terus berkreasi karena telah merasakan manfaat positifnya. Adanya kreativitas yang tinggi di antara sesama produsen diharapkan bisa meningkatkan daya saing produk karena selalu ada inovasi. Merek diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, dimana merek sendiri merupakan bagian salah satu Hak Kekayaan Intelektual, yang merupakan ”hak milik” seseorang/beberapa orang secara bersama-sama bersifat mutlak, eksklusif serta mempunyai jangka waktu yang terbatas. Sebagai kekayaan bagi pemiliknya, merek mempunyai manfaat dan berguna bagi kehidupan manusia serta bernilai ekonomis. Sebagai hak kekayaan intelektual merek juga memiliki aspek sengketa, dimana dalam kajian ini akan dibahas tentang pembatalan merek dengan menganalisis Putusan No. 03/Merek/2008/PN.Niaga/Medan.

Kata Kunci: Pembatalan, Merek, Pengadilan Niaga.

ABSTRACT

The philosophy of protection of intellectual property that are beneficial to the economic and technological development for the local society the first is A Normative Justification and the second is A Nationalistic Justification. The benefits can be felt by the public, that they get the goods are genuine, not artificial. Will grow well in the community spirit to continue to be creative because it has felt the positive benefits. The presence of high creativity among producers is expected to increase the competitiveness of the product because there is always innovation. Brand regulated in Law No. 15 of 2001, where the brand itself is part of one of the Intellectual Property Rights, which is "property rights" someone / some people together is absolute, exclusive and has a limited period. As wealth for its owners, the brand has benefits and useful for human life as well as economic value. As a brand of intellectual property rights also has aspects of the dispute, which in this study will be discussed about the cancellation of the brand by analyzing Decision No. 03 / Merek / 2008 / PN.Niaga / Medan.

Keywords: Cancellation, Brand, Commercial Court.

I. Pendahuluan

Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya meliputi pengertian yang sangat luas antara lain terciptanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan lingkungannya, antara manusia dengan sesama manusia, keseimbangan antara bidang materiil dan spirituil, keseimbangan

antara kehidupan sosial dan pribadi, keseimbangan antara hak dan kewajibannya, dan seterusnya.1

Disadari pula bahwa syarat

1 Artidjo Alkostar, & M. Sholeh Amin, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), halaman 57

(2)

191

pembangunan yang berhasil adalah adanya partisipasi aktif dari seluruh masyarakat. Hal ini dikarenakan manusia adalah subyek sekaligus obyek dari pembangunan. Sebagai subyek pembangunan berarti masyarakat menjadi pelaku pembangunan dengan memberikan sumbangan pikiran, waktu, tenaga dan dana.2

Usaha yang telah dilakukan oleh masyarakat kurang dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat secara terus menerus ”continue”, karena upaya produktivitas yang dilakukan kurang optimal, sehingga hasilnya pun hanya dirasakan sementara ”temporary” oleh mayarakat. Faktor yang menjadi kendala adalah masyarakat tidak mendapatkan pembinaan dan bimbingan dari pihak-pihak yang berkompeten di bidang pemberdayaan dan pengelolaan perdagangan dan industri, tidak berjalannya proses penataan produksi dan distribusi seharusnya dapat diatasi dengan melakukan pembinaan dalam proses produksi dan distribusi barang, dari mulai pengelolaan produksi, penataan kemasan, pendaftaran merek dan kerjasama distribusi hasil produksi.3

Filosofi perlindungan atas kekayaan intelektual yang bermanfaat bagi pengembangan ekonomi dan teknologi bagi mayarakat lokal yang pertama A Normative Justification yang berarti penemu berhak menikmati hasilnya dan masyarakat turut menikmati. Kedua A Nationalistic Justification berarti HKI menginginkan perlindungan bagi Investor Domestik (lokal) dari persaingan curang pihak luar di era globalisasi.

Untuk lebih jelasnya fungsi perlindungan kekayaan intelektual ada 3 yaitu:

1. Memberi motivasi guna mengembangkan teknologi yang lebih cepat.

2. Upaya untuk mewujudkan gairah pencipta.

3. Penciptaan menarik investor asing dan

memperlancar perdagangan

internasional.4

2 Ibid., halaman 59

3 Ifdhal Kasim, Gerakan Studi Hukum Kritis, terjemahan, (Jakarta: ELSAM, 1999), halaman 67.

4 Giyarto, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intelektual Dalam Bidang

Adapun manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat, yaitu mereka mendapatkan barang yang asli, bukan tiruan. Akan tumbuh juga di dalam masyarakat semangat untuk terus berkreasi karena telah merasakan manfaat positifnya. Adanya kreativitas yang tinggi di antara sesama produsen diharapkan bisa meningkatkan daya saing produk karena selalu ada inovasi.5

Perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual diberikan untuk masa jangka waktu tertentu. Selama masa jangka waktu tertentu, pemegang hak dapat memiliknya / melaksanakan sendiri haknya atau menyerahkan kepada orang lain untuk melaksanakan, baru setelah itu habis jangka waktu kepemilikan tersebut, hak yang dimiliki perseorangan akan berubah menjadi milik umum atau berfungsi sosial.

Merek sebagai tanda pengenal barang/ jasa mempunyai fungsi, pertama menghubungkan barang/ jasa yang bersangkutan dengan produsennya, artinya menggambarkan kepribadian dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya sewaktu diperdagangkan, kedua memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen, ketiga sebagai sarana promosi dan reklame bagi produsen atau pengusaha yang memperdagangkan barang/ jasa yang bersangkutan, keempat merangsang pertumbuhan industri dan perdagangan yang sehat dan menguntungkan semua pihak.6

Perlindungan hukum yang melekat pada merek menurut pasal 28 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek ”Merek terdaftar mendapatkan perlindungan hukum untuk jangka waktu sepuluh tahun”. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selam 10 tahun lagi apabila jangka waktu yang pertama telah usai. Pengajuan perpanjangan jangka waktu, diajukan setidak-tidaknya dua belas bulan dan sekurang-kurangnya enam bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi Hak Cipta dan Merek di Indonesia, (Surakarta Tesis : Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, 2006), halaman 32

5 Insan Budi Maulana, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia Dari Masa Ke Masa, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), halaman 71

(3)

192 merek yang terdaftar. Kepemilikan merek

sendiri dapat dialihkan secara pewarisan, hibah, wasiat maupun perjanjian.

Guna memahami tentang merek, maka sebelumnya perlu dipahami tentang pengertian merek. Untuk memahami hal itu, akan dikemukakan berbagai pandangan dari para sarjana dan pengertian merek menurut Undang-undang tentang Merek. Pengertian/batasan tentang merek diperlukan agar permasalahan yang menyangkut merek dapat dipahami dari berbagai sudut pandang. Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek diberikan pengertian atau batasan tentang merek sebagai berikut :

“Merek adalah tanda yang berupa gambar nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembedaan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, memberikan pengertian tentang merek sebagai berikut :

Merek adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dan lain sebagainya) pada barang-barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal, cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya.7

Selain pengertian merek berdasarkan Undang-undang Merek dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka para sarjana mengemukakan pandangannya tentang merek sebagai berikut :

1. H.M.N. Purwo Sutjipto, "Merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis".8

2. 2. Prof. K. Soekardono, "Merek adalah sebuah tanda (Jawa: ciri atau tengger) dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, di mana perlu juga

7 I Gusti Gede Getas, Peranan Merek Dalam Dunia Usaha, (Denpasar: Upada Sastra, 1996)

8 H.M N. Purwo Sutjipto, Pengertian Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia, (Djambatan, 1983) halaman 82

dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain".9

3. Mr. Tirtaamidjaya yang mensitir pendapat Prof. Vollmar, "Suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannya, gunanya membedakan barang itu dengan barang-barang yang sejenis lainnya".10

4. Drs. Iur Soeryatin, "Suatu merek dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya oleh karena itu, barang yang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya."11

5. Poerwadaminta, Memberikan arti merek sebagai;12

a. Cap (tanda) yang menyatakan nama dan sebagainya, misalnya : pisau ini tidak ada mereknya, merek took, merek obat nyamuk.

b. Keunggulan, kegagalan, kualitas, misalnya, jatuh (turun) merek, mendapat nama buruk, sudah tidak gagah (megah) lagi, bermerek, bercap, bertanda dan sebagainya. 6. Suryodiningrat, Barang-barang yang

dihasilkan oleh pabriknya dengan dibungkus dan pada bungkusya itu dibubuhi tanda tulisan dan/atau perkataan untuk membedakannya dari barang-barang sejenis hasil pabrik pengusaha lain. Tanda itu disebut merek perusahaan.13

9 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cetakan ke-8, (Jakarta: Dian Rakyat, 1962), halaman 149

10 Mr. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, (Djambatan, 1962), halaman 80

11 Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980) halaman 84.

12 W.J.S. Poerwadaminta, , Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1974), halaman 647

13 RM Suryodiningrat, , Pengantar Ilmu Hukum Merek, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975), halaman 30

(4)

193

7. A.B. Loebis, Merek adalah nama atau tanda yang dengan sengaja digunakan untuk menandakan hasil/barang suatu perusahaan/perniagaan dari seseorang/badan dari pada barang perniagaan sejenis milik orang/badan lain.14

Beberapa rumusan pengertian mengenai merek tersebut di atas, maka ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk suatu merek. Unsur itu adalah :

1. Merupakan suatu tanda; 2. Mempunyai daya pembeda; 3. Digunakan dalam perdagangan;

4. Digunakan pada barang atau jasa yang sejenis.

Tanda yang dapat dipakai sebagai merek tanda yang dapat memiliki daya pembeda. Untuk merek dagang tanda dapat dilekatkan pada barangnya, pembukusnya atau kedua-duanya. Sedangkan untuk merek jasa dapat dicantumkan secara tertentu pada hal-hal yang bersangkutan dengan merek jasa. Sedangkan apa yang disebut sebagai barang sejenis menurut A. Oemar Wongsodiwirjo adalah barang tersebut tidak harus sama, tetapi secara teknik dan pemakaian terdapat hubungan yang yang sangat dekat, atau mengandung persamaan pada sifat dan susunannya dan juga cara membuatnya.15

Globalisasi ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan komputer dan internet.16

Lebih dari itu sistem yang berlaku akan berubah lebih efisien dan produktif. Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Globalisasi adalah pergerakan

14 A.B. Loebis, Sengketa Merek di Pengadilan Negeri Jakarta, (Jakarta: tanpa penerbit, 1974), halaman 1

15 Oemar Wongsodiwirjo, 1998, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Merek Terkenal, Makalah pada Seminar Perlindungan Hak Cipta, Paten dan Merek Dalam Era Perdagangan Bebas di Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, 5 Desember 1998, halaman 9

16 Nicholas A. Rahallus, “Globalisasi atau Hegemoni Intelektual Global?” Analisis CSIS No. 4, 2003. halaman 498-515

ekonomi dari masa depan. Dunia Global menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen. Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan itu sendiri.

Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional, yakni masuknya perusahaan-perusahaan asing (multinasional). Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kesulitan besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku usaha/debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran

utang kepada para lembaga

pembiayaan/kreditor. Hal ini merupakan akibat ekspansi usaha yang mereka lakukan.

Mengatasi persoalan tersebut, pada 22 April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (selanjutnya UUK) pada 24 Juli 1998. UUK merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad tahun 1906 No. 384. UUK diharapkan menjadi sarana efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utang-piutang.

Salah satu soal penting setelah penyempurnaan aturan kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang.

Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya. Di sinilah kadang terjadi

(5)

194 persimpangan dengan kompetensi

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal pemeriksaan perkara, teruama perkara-perkara yang bersifat perdata. Melalui UUK, kewenangan mutlak (kompetensi absolut) Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit dialihkan ke Pengadilan Niaga.

Saat ini perluasan kompetensi itu mencakup kewenangan untuk memeriksa masalah-masalah yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yang meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.

Pengakuan atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga dalam masing-masing UU tersebut belum bersifat integratif dan koordinatif. Hal ini antara lain terlihat dari pengaturan prosedur beracara, atau hukum acara perkara niaga di luar masalah kepailitan. Hukum acara yang selama ini digunakan dalam pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga masih menggunakan ketentuan Herziene Indonesisch Reglement/ Rechtsreglement Buitengewesten (HIR/R.BG).17

Suatu perkara di Pengadilan seyogianya harus mengkombinasikan tiga hal secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Untuk itu, perluasan pengembangan Pengadilan Niaga akan mendasarkan pada ketiga poin tersebut dengan melihat dari eksistensi Pengadilan Niaga saat ini dalam kaitannya dengan pembahasan skripsi ini yaitu pelaksanaan pembatalan merek.

17 Hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia adalah Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan untuk beberapa materi dari Rechtsreglement Buitengewesten R.BG) serta Rechtsvordering (R.V). Pasal 284 ayat (1) UUK menyatakan bahwa kecuali ditentukan lain dengan undang-undang, hukum acara perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Niaga. UUK yang lebih banyak mengatur tentang ketentuan dan prosedur beracara dalam proses kepailitan, merupakan lex specialis dari ketentuan hukum acara perdata yang berlaku umum. Sehingga, hukum acara dalam proses kepailitan ini dapat merujuk pada HIR terutama untuk hal-hal yang tidak atau belum diatur dalam UUK

II. Penyelesaian Sengketa Pembatalan Merek Di Pengadilan Niaga Medan

Permasalahan Hak Kekayaan Inteletual merupakan permasalahan yang terus berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Istilah tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI)18

merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR), sebagaimana diatur pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1994 tentang Pengesahan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization). Pengertian Intellectual Property Right (selanjutnya ditulis IPR) adalah yang mengatur segala karya yang lahir karena adanya kemampuan intelektual yang mempunyai hubungan dengan hak seseorang secara pribadi yaitu hak asasi manusia (human right).

Menurut W.R. Cornish dalam Etty Susilowati, “hak milik intelektual melindungi pemakaian idea dan informasi yang mempunyai nilai komersiil atau nilai ekonomi”.19 Pemilikannya tidak berupa hasil

kemampuan intelektual manusianya yang baru berupa idea tertentu. Hak milik intelektual ini baru ada, bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan secara praktis.

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan hak kekakayaan intelektual dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya yang merupakan benda berwujud (benda material). Contoh: hak cipta dalam bidang

18 Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan istilah pengganti dari Hak Milik Intelektual yang selama ini digunakan. Menurut Bambang Kesowo, istilah Hak Milik Intelektual belum menggambarkan unsur-unsur pokok yang membentuk pengertian Intellectual Property Right, yaitu hak kekayaan dan kemampuan Intelektual. Istilah Hak Milik Intelektual (HMI) masih banyak digunakan, karena dianggap logis untuk memilih langkah yang konsisten dalam kerangka berpikir yuridis normatif. Istilah HMI ini bersumber pada konsepsi Hak Milik Kebendaan yang tercantum pada KUH Perdata Pasal 499, 501, 502, 503, 504. Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia, Kumpulan Makalah, tanpa tahun, halaman 139

19 Etty Susilowati, Kontrak Alih Teknologi Pada Industri Manufaktur, (Yogyakarta: Genta Press, 2007), halaman 106

(6)

195

ilmu pengetahuan (hak kekayaan intelektual) dan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan dalam bidang hak paten, jadi yang dilindungi oleh hukum adalah haknya bukan wujud dari hak tersebut yang dilindungi oleh hukum benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).20

Pada prinsipnya Intellectual Property Right merupakan perlindungan hukum atas HKI yang selanjutnya dikembangkan menjadi suatu lembaga hukum yang dinamakann IPR (Intellectual Property Right). Secara material aspek-aspek yang terkandung dalam IPR telah mengalami perkembangan sebelum muncul lembaga tersebut. Secara formal perhatian negara-negara terhadap IPR terjadi sejak abadpada ke-19, pada abad ini perhatian negara terhadap IPR semakin meningkat hingga abad ini.21

Sistematika IPR atau Hak Kekayaan Industri yang diikuti oleh WIPO yang berlaku sampai saat ini terdiri dari:22

1. Paten Sederhana (Utility Model) dan Desain Produk Industri (Industrial Design); dan

2. Merek, termasuk Merek Dagang (Trade Mark), Merek Jasa (Service Mark), Nama Perusahaan (Trade Name), Petunjuk Sumber (Indication of Source) dan Sebutan Asal (Appellation of Origin).

Merek pada hakekatnya adalah suatu tanda. Akan tetapi agar tanda tersebut dapat diterima sebagai merek, harus memiliki daya pembeda. Yang dimaksud dengan daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang membedakan hasil perusahaan yang satu dengan

20 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Intellectual Property Rights), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 9

21 Dengan berlakunya TRIPs yaitu dimasukkannya maslah IPR dalam sistem perdagangan Internasional, secara formal lahir sejak lahirnya Convention for the Protection of Industrial Property Right

22 Article Paris Convention for The Protection of Industrial Property 1967, Bandingkan dengan Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1990), halaman 3

perusahaan yang lain.23

Diundangkannya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebagai perbaikan terhadap Undang-Undang Kepailitan sebelumnya membawa beberapa perubahan penting. Diantaranya adalah pembentukan pengadilan niaga sebagai wadah untuk menyelesaikan perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pembentukan pengadilan niaga merupakan terobosan fenomenal diantara berbagai upaya lainnya. Pembentukan pengadilan niaga merupakan suatu langkah awal bagi reformasi peradilan untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang perekonomian.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Pengadilan Niaga perlu dibentuk. Salah satunya adalah keadaan ekonomi Indonesia saat itu yang diperkirakan akan mengalami lonjakan besar kasus kepailitan. Pembentukan Pengadilan Niaga juga dimaksudkan sebagai model percontohan bagi Pengadilan Indonesia yang dapat bekerja secara baik dan tertib.24

Bila dilihat era globalisasi ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan komputer dan internet.25

Lebih dari itu sistem yang berlaku akan berubah lebih efisien dan produktif. Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Hal ini seperti yang diungkapkan Hilario G. Davide Jr. (Chief Justices of the Court of the Republic of the Philipines), yang menegaskan bahwa: “Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia Global menyodorkan banyak kesempatan

23 Erma Wahyuni, et. all. Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek, Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia, (Yogyakarta, Tanpa Tahun), halaman 133

24 Rudhy A. Lontoh, dkk, Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), halaman 11

25 Robert Gilpin, Global Political Economy, dikutip dalam Nicholas A. Rahallus, Globalisasi atau Hegemoni Intelektual Global?, Analisis CSIS No. 4, 2003, halaman 498-515

(7)

196 untuk mencapai peradilan yang independen.

Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan mengikis independensi peradilan itu sendiri”.26

Dampak dari globalisasi menyebabkan banyak negara khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional, yakni masuknya perusahaan-perusahaan asing (multinasional). Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Gejolak moneter pada pertengahan tahun 1997 menimbulkan kesulitan besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi muncul kondisi sebagian pelaku usaha/debitor tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para lembaga pembiayaan/kreditor. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 (dua puluh dua) April 1998 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada 24 (dua puluh empat) Juli1998.27 Bila dilihat

26 Hilario G. Davide, Jr, Comments on the Paper of Hon. Andrew Kwok Nang Li, Chief justice of the Court of Final Appeal of the Hongkong Special Administrative Region of the People’s Republic of China, makalah pada Conference of Chief Justices of Asia and Pacific, 18th Law Asia Conference, Seoul, 8 September 1999, dikutip dalam Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi, Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia,

www.bappenas.go.id/.../&view=85/pndilan_niaga_ acc.pdf., diakses tanggal 9 Oktober 2013

27 Berdasarkan sejarah pembentukan UU No. 4 Tahun 1998, seharusnya paling lambat tanggal 9 September 1999, pemerintah sudah harus menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kepailitan sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 1998. Namun demikian, si satu sisi karena luas dan kompleksnya materi yang diatur maka baru pada tanggal 18 Nopember 2004 lahir UU No. 37 Tahun 2004 yang menyempurnakan UU No. 4 Tahun 1998 dan mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, lihat Bismar Nasution dan Sunarmi, Modul Hukum Kepailitan Dan Reorganisasi

Undang Kepailitan sebenarnya merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad tahun 1906 Nomor 384.

Undang-Undang ini diharapkan menjadi sarana efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai landasan penyelesaian utang-piutang. Salah satu soal penting setelah penyempurnaan aturan kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum.28

Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang.29

Dilihat dari Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dikatakan bahwa mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian/dunia usaha, maka penyelesaian sengketa merek memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat.30

Pengakuan atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga dalam Perusahaan, Magister Kenotariatan Sekolah PascaSarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, halaman 14

28 Bila dilihat saat ini, Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, lihat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 5 Tahun 2004 jo UU No. 14 Tahun 1985,kemudian lingkup peradilan umum tersebut saat ini telah mengalami beberapa pengkhususan yaitu dalam hal Peradilan Hak Asasi Manusia, Peradilan Anak, Peradilan Niaga, Peradilan Korupsi, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perikanan, lihat UU No. 8 Tahun 2004 jo UU No. 2 Tahun 1986

29 Lihat Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia No. 97 Tahun 1999

30 Lihat Penjelasan Umum Atas UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

(8)

197

masing Undang-Undang tersebut masih belum bersifat integratif dan koordinatif. Hal ini antara lain terlihat dari pengaturan prosedur beracara, atau hukum acara perkara niaga. Hukum acara yang selama ini digunakan dalam pemeriksaan perkara-perkara niaga pada Pengadilan Niaga masih menggunakan ketentuan Herziene Indonesisch Reglement/Rechtsreglement Buitengewesten (HIR/R.BG).31

Memang apabila dilihat dalam hal-hal tertentu digunakan hukum acara khusus, sepeti dalam masalah sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.32 Selain melalui proses gugatan maka

penyelesaian sengketa pembatalan merek melalui Pengadilan Niaga termasuk Pengadilan Niaga Medan terlebih dahulu dilakukan melalui mediasi.

III. Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Perkara Pembatalan Merek Di Pengadilan Niaga Medan Dari serangkaian proses beracara di pengadilan niaga, di samping masih

31 Hukum Acara yang digunakan oleh Pengadilan Niaga selain hukum acara perdata dalam hal tertentu digunakan hukum acara khusus berdasarkan aturan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dengan demikian merupakan lex specialis dari HIR/R.Bg dan hukum acara perdata lainnya, lihat Marny Emmy Mustafa, Hukum Acara Dan Putusan Perkara Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, EC-ASEAN Intellectual Property Rights Co-Operation Programme (ECAP II). HIR/R.Bg.

32 Demikian pula halnya di dalam hal pengaturan prosedur beracara, atau hukum acara pemeriksaan perkara kepailitan diluar masalah kepailitan, yang juga menggunakan ketentuan Herziene Indonesisch Reglement/ Rechtsreglement Buitengewesten (HIR/R.BG).

menyisakan beberapa kelemahan-kelemahan, proses beracara di pengadilan juga masih mengandung sejumlah kerancuan terutama prosedur pra mediasi yang diatur di dalam PERMA No. 1 Tahun 2008.

Adapun kerancuan yang dimaksud antara lain pertama mengenai kewajiban para pihak untuk memilih mediator, atau dalam hal ini dapat juga dikatakan kewajiban untuk memilih proses mediasi. Kerancuan ini muncul terutama ketika para pihak memilih cara berdamai dengan mekanisme negoisasi, dimana para pihak tidak mau menggunakan mediator sebagaimana yang dimungkinkan oleh pasal 130 dan pasal 131 HIR. Sementara di dalam Perma No. 1 Tahun 2008 pilihan untuk memilih upaya perdamaian hanya terbatas pada mediasi, padahal masih ada mekanisme perdamain yang lain seperti negoisasi.

Kedua mengenai waktu harus dikeluarkan perintah majelis dan kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi dan harus ditetapkannya penundaan persidangan, dalam kaitannya dengan waktu pemilihan mediator. Dalam hal ini, penundaan persidangan harus sudah dilakukan pada saat sidang pertama yakni setelah majlis hakim memerintahkan para pihak untuk terlebih dahulu menempuh mediasi, sementara pada saat itu para pihak belum menunjuk mediator. Pada sisi yang lain, permasalahan kapan para pihak berhasil menunjuk mediator memiliki implikasi pada lamanya rentang waktu proses mediasi dapat dilakukan.

Kekurangan yang berpotensi

menimbulkan hambatan dalam

implementasinya ditemukan dalam Perma No. 1 Tahun 2008 Pasal 7 Ayat (5) bahwa “Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi”. Penundaan persidangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Penundaan persidangan ini adalah mutlak, hakim tidak boleh melakukan pemeriksaan perkara. Hal ini adalah konsekuensi logis dari adanya kewajiban hakim untuk mendahulukan penyelesaian sengketa melalui mediasi.

Tentang penundaan persidangan tersebut, di dalam Perma No. 2 Tahun 2003

(9)

198 maupun Perma No. 1 Tahun 2008, tidak

mengatur dengan jelas berapa lama hakim harus menunda persidangan, akan tetapi jika kita melihat peruntukannya maka lamanya penundaan persidangan dapat dilihat dari batas paling lama proses mediasi sudah harus selesai. Adapun mengenai lamanya waktu yang dapat diberikan untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi, Perma No. 1 Tahun 2008 menjelaskan pada Pasal 13 Ayat (3) dan (4), “proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim dan dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari tersebut.

Kelemahan ini dikawatirkan akan berimplikasi terhadap lamanya proses berperkara, karena juga disebutkan dalam Pasal 13 Ayat (5) Perma tersebut, yaitu jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara, sehingga tujuan untuk mengoptimalkan peran lembaga peradilan tingkat pertama.

Kendala yang lainnya adalah jika para pihak tidak mentaati perintah hakim, dalam arti bahwa sampai batas waktu yang disediakan habis (batas waktu maksimal 40 hari kerja), para pihak tidak mau menempuh proses mediasi. Jika masalah ini yang terjadi, hakim dapat menganggap bahwa proses perdamian atau mediasi telah gagal, sehingga pada tahap selanjutnya hakim akan memeriksa perkara dan memutuskannya berdasarkan hukum acara perdata biasa.

Hubungan dengan tugasnya untuk mengurangi penumpukan perkara, memperluas akses rakyat terhadap perlindungan hukum dengan cara mendorong sedapat mungkin agar setiap sengketa yang diajukan ke pengadilan dapat diselesaikan melalui proses mediasi. Proses mediasi di pengadilan masih memiliki sejumlah kelemahan. Adapun keterbatasan yang dimaksud antara lain:

1. Institusi mediasi tersebut tidak bisa menjangkau sengketa-sengketa yang tidak diajukan ke pengadilan.

2. Institusi mediasi yang dimaksud kurang efektif karena biasanya baru bisa bekerja setelah suatu sengketa itu menjadi sengketa yang sulit didamaikan. Dikatakan demikian karena orang

membawa perkaranya ke pengadilan biasanya karena sudah sedemikian sulit didamaikan.

IV. Akibat Hukum Dari Pembatalan Merek Yang Dilakukan Pengadilan Niaga Medan berdasarkan putusan No.

03/Merek/2008/PN.Niaga/Medan Akibat hukum dari pembatalan merek yang dilakukan Pengadilan Niaga Medan berdasarkan Putusan No. 03/Merek/2008/PN. Niaga Medan maka dilakukan penghapusan merek Insar Daftar Umum Merek dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek. Penghapusan pendaftaran merek akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan cara mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek. Sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek maka Sertifikat Merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan Penghapusan pendaftaran merek mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum merek yang bersangkutan.

Suatu hal yang dapat dilihat dari Putusan Pengadilan Niaga di atas adalah adanya istilah itikad tidak baik. Pendaftaran atas merek merupakan suatu keharusan bagi pemilik merek, akan tetapi hak atas merek hanya akan diberikan oleh Direktorat Merek jika permintaan pendaftaran merek oleh pemohon merek dilakukan dengan itikad baik.

Unsur itikad baik dalam suatu permintaan pendaftaran merek merupakan unsur yang penting, seperti tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Merek 2001 yang menyebutkan bahwa merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara jujur dan layak tanpa ada niat apapun untuk membonceng meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen.33

33 Yayasan Klinik HAKI, Kompilasi Undang-Undang Hak Cipta, Paten Merek dan

(10)

199

Pengertian itikad baik menurut J. Satrio, itikad baik dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif (subjectief goeder trouw) adalah berkaitan dengan apa yang ada dalam pikiran manusia, yaitu berkaitan dengan sikap batinnya apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa kehendaknya itu bertentangan dengan itikad baik. Itikad baik objektif (objectief goeder trouw) adalah kalau pendapat umum mengungkapkan tindakan begitu bertentangan dengan itikad baik.34

Secara umum jangkauan pengertian iktikad tidak baik menurut Amalia Rooseno meliputi perbuatan “penipuan” (fraud), rangkaian “menyesatkan” (misleading) orang lain, serta tingkah laku yang mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat keuntungan. Bisa juga diartikan sebagai perbutan yang tidak dibenarkan secara sadar untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jujur (dishonesthy purpose). Dalam pengkajian merek, setiap perbuatan peniruan, reproduksi, mengkopi, membajak atau membonceng kemasyuran merek orang lain dianggap sebagai perbuatan pemalsuan, penyesatan atau memakai merek orang lain tanpa hak (unauthorized use) yang secara harmonisasi dalam perlindungan merek dikualifikasikan sebagai persaingan curang (unfair competition) serta dinyatakan sebagi perbuatan mencari kekayaan secara tidak jujur (unjust enrichment).35

Berkaitan dengan hal tersebut menurut Henry Soelistyo, dalam kasus gugatan penghapusan pendaftaran merek oleh pihak ketiga harus dilihat siapa sebenarnya yang beriktikad baik dan yang beriktikad tidak baik, karena filosofi dari pendaftaran merek adalah perlawanan terhadap iktikad tidak baik.36

Terjemahan Konvensi-Konvensi di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), halaman 506

34Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), halaman 179

35 Emmy Yuhassari, Hak Kekayaan Intelektual dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), halaman 221

36 Legal Review Nomor : 41 Tahun IV Maret 2006

V. Penutup

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut :

1. Penggugat sebagai klaim pemilik merek terdaftar mengajukan gugatan di Pengadilan Niaga tempat Tergugat berdomisili. Sebelum dilakukannya pemeriksaan gugatan di dalam persidangan maka majelis hakim terlebih dahulu melakukan upaya mediasi antara para pihak yang bersengketa. Jika upaya mediasi tersebut berhasil maka dibuat akta perdamaian, dan sidang untuk sengketa merek tersebut ditiadakan karena pihak pihak sudah sepakat berdamai. Sebaliknya jika upaya mediasi tidak tercapai maka dilakukan penyelesaian sengketa merek melalui persidangan di Pengadilan Niaga.

2. Kendala yang dihadapi dalam penyelesaian perkara pembatalan merek di Pengadilan Niaga Medan dapat ditemui dalam upaya mediasi maupun melalui persidangan. Kendala dalam mediasi seperti hakim hanya untuk melaksanakan mekanisme formilnya, tidak berupaya untuk menemukan solusi terbaik dalam penanganan perkara. Sedangkan kendala yang terdapat dalam penyelesaian perkara pembatalan merek melalui pengadilan di Pengadilan Niaga Medan adalah proses beracara yang panjang serta biaya perkara yang cukup besar.

3. Akibat hukum dari pembatalan merek yang dilakukan Pengadilan Niaga Medan

berdasarkan putusan No.

03/Merek/2008/PN.Niaga/Medan adalah penghapusan merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek. Penghapusan pendaftaran merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek. Sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek, sertifikat merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi yang secara otomatis mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan, selanjutnya pihak yang dikalahkan tersebut dikenakan sanksi

(11)

200 penghapusan merek serta membayar

ongkos perkara sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

Terhadap hal tersebut di atas, maka perlu disarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Disarankan kepada Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HaKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), untuk lebih meningkatkan kualitas serta profesinalisme dari Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HaKI) tersebut, lebih meningkatkan kualitas sistem pemeriksaan merek serta sarana yang digunakan di dalam melakukan proses pendaftaran merek, sehingga dapat menghindari atau meminimalisir terjadinya pelanggaran terhadap hak merek yang berakibat pada timbulnya suatu sengketa khususnya lagi mengenai sengketa pembatalan atas merek terdaftar.

2. Disarankan kepada pihak legislatif supaya segera dibuat aturan pelaksanaan yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) dari Pasal 84 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa merek juga dapat dilakukan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa, hal ini diharapkan untuk mengatur lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) pada umumnya dan merek pada khususnya melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam perkara-perkara Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) pada umumnya dan sengketa merek pada khususnya, karena secara tidak langsung telah diamanatkan oleh Undang-Undang.

3. Disarankan untuk segera melakukan pembenahan institusi Pengadilan Niaga, khususnya kepada aparatur Penegak Hukum dalam hal ini Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang mempunyai kompetensi penyelesaian sengketa-sengketa Hak atas Kekayaan Intelektual

untuk lebih dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari para hakim itu sendiri, sarana dan prasarana pengadilan, sistem serta budaya kerja, sehingga diharapkan dengan pembenahan institusi Pengadilan Niaga ini nantinya akan memunculkan hakim-hakim yang profesional dan tentunya nantinya akan berimbas kepada hasil yang maksimal dari suatu putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Niaga.

DAFTAR PUSTAKA

Alkostar, A., & M. Sholeh A., 2002, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta

Azhar dan Elvi Z., (2009), Penegakan

Hukum dalam Tindak Pidana Merek

Terkenal, Mercatoria, 2 (2): 13-127

Erma, W., T. Saiful B., Hessel N.S.T., 2003, Kebijakan Dan Manajemen Hukum Merek, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI), Yogyakarta

Getas, I G.G., 1996, Peranan Merek Dalam Dunia Usaha, Upada Sastra, Denpasar Giyarto, 2006, Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Hak Kekayaan Intelektual Dalam Bidang Hak Cipta dan Merek di Indonesia, Tesis : Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta

HAKI, Yayasan Klinik, 2002, Kompilasi Undang-Undang Hak Cipta, Paten Merek dan Terjemahan Konvensi-Konvensi di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung

Kasim, I., 1999, Gerakan Studi Hukum Kritis, terjemahan, ELSAM, Jakarta

Loebis A.B., 1974, Sengketa Merek di Pengadilan Negeri Jakarta, tanpa penerbit, Jakarta

Lontoh, R.A. dkk, 2001, Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung

Maulana, I.B., 1999, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia Dari Masa Ke Masa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung

(12)

201

_________, 1997, Sukses Bisnis Melalui Merek Paten & Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung

Mustafa, M.E., Hukum Acara Dan Putusan Perkara Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, EC-ASEAN Intellectual Property Rights Co-Operation Programme (ECAP II). HIR/R.Bg. Poerwadaminta, W.J.S., 1974, Kamus Umum

Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta

Rahallus, N.A., 2003, “Globalisasi atau Hegemoni Intelektual Global?” Analisis CSIS No. 4

Rendra Yozar Dharmaputra, dan Januari S.,

(2010),

Pelaksanaan

Perjanjian

Kredit Modal Kerja di Bank

Mandiri (PERSERO) Tbk. Cabang

Binjai di Tinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen,

Mercatoria, 3 (2): 71-87

Saidin, OK, 1997, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Intellectual Property Rights), Raja Grafindo Persada, Jakarta

Satrio, J., 2000, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sinambela, R.W.N., dan Marlina, (2010),

Kajian

Yuridis

Pembatasan

Penerapan

Asas

Kebebasan

Berkontrak oleh UU NO. 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat, Mercatoria, 3 (1):45 –

51

Soekardono, R., 1962, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cetakan ke-8, Dian Rakyat, Jakarta

Suryatin, 1980, Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Jakarta

Suryodiningrat, RM., 1975, Pengantar Ilmu Hukum Merek, Pradnya Paramitha, Jakarta

Susilowati, E., 2007, Kontrak Alih Teknologi Pada Industri Manufaktur, Genta Press, Yogyakarta

Sutjipto, H.M N. Purwo, 1983, Pengertian Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan.

Syaparudin, Ferri A.S., dan Henry D.S.,

(2010), Perlindungan Hukum bagi

Para

Pihak

dalam

Perjanjian

Franchise, Mercatoria, 3 (2):

144-162

Yuhassari, E., 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Perkembangannya, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta

Wongsodiwirjo, O., 1998, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Merek Terkenal, Makalah pada Seminar Perlindungan Hak Cipta, Paten dan Merek Dalam Era Perdagangan Bebas di Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, 5 Desember 1998, Surabaya

Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perma No. 1 Tahun 2008 mengenai revisi

Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi, Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia, www.bappenas.go.id/.../&view=85/pn dilan_niaga_acc.pdf.

MaPPI FHUI, Pengembangan Karir Serta Pendidikan Dan Latihan Hakim Niaga, diakses 27 Oktober 2013, pemantauperadilan.com.

Referensi

Dokumen terkait

Arahan program yang dapat dilakukan pada areal prioritas 5 adalah: (1) Pada lahan agak kritis, potensial kritis maupun tidak kritis dengan jarak 100 meter kiri kanan badan

Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak semua perusahaan memiliki suatu sistem informasi yang memadai karena dapat dikatakan bahwa tidak semua perusahaan memiliki suatu sistem

Mura>bah}ah di BRI Syariah Kantor Cabang Pembantu Purbalingga”. Penulisan Tugas Akhir ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Ahli

Dalam penerapan strategi pemasaranya guna meningkatkan laba ./ pendapatan BMT Pahlawan dan KSPPS Al-Bahjah Tulungagung tidak jauh dari unsure strategi pemasaran

(8 poin) Benda massa M mula-mula meluncur di atas lantai dengan kecepatan v 0 dan setelah sampai di titik B benda lepas meninggalkan ujung lantai dan mendarat di ujung bawah

Tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak,

Pada industri pangan dengan bahan baku hasil peternakan, teknologi membran telah dimanfaatkan dalam berbagai proses antara lain pemekatan putih telur dan kuning telur,

Maka, bila ditinjau dari sisi penderma, waktu terbaik untuk memberikan dana adalah pada saat penderma sedang berlatih me- ditasi vipassanā dan secara otomatis hal