• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gabriela Montolalu*, Bambang Budi Siswanto**

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gabriela Montolalu*, Bambang Budi Siswanto**"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Kadar Kreatinin dan Diabetes Melitus dengan Kematian dalam

Enam Tahun Pascaoperasi Bedah Pintas Arteri Koroner pada Pasien di RS

Pusat Jantung Nasional Harapan Kita

Gabriela Montolalu*, Bambang Budi Siswanto**

*Program Studi Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Indonesia

**Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pusat E-mail: gabriela.montolalu@gmail.com

Abstrak

Penyakit Jantung Koroner (PJK) memegang urutan pertama penyebab kematian dini pada laki-laki dengan usia menengah. Salah satu operasi tersering yang sering dilakukan sebagai intervensi terhadap PJK adalah Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kematian pasien dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK di RS Pusat Jantung Harapan Kita (RSPJNHK) pada tahun 2006. Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien yang menjalani operasi BPAK di RSPJNHK pada tahun 2006 menggunakan rekam medis subyek untuk menentukan apakah kadar kreatinin dan diabetes mellitus dapat menjadi prediktor kematian. Pada setiap variabel dilakukan uji chi-square. Dari 75 subyek untuk variabel kadar kreatinin, 18,66% (n=14) meninggal setelah 6 tahun pascaoperasi BPAK (p=0,007). Dari 79 subyek untuk variabel diabetes melitus didapatkan 18,98% (n=15) subyek meninggal setelah 6 tahun pascaoperasi BPAK (p=0,55). Kematian pasien dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK di RSPJNHK pada tahun 2006 menunjukkan adanya hubungan dengan kadar kreatinin preoperasi namun tidak berhubungan dengan status diabetes melitus subyek.

Kata Kunci: BPAK; diabetes melitus; kadar kreatinin; kematian dalam 6 tahun

Role of Creatinine Level and Diabetes Mellitus in Six-Years Mortality Post Coronary Artery Bypass Graft (CABG) at Harapan Kita National Cardiovascular Center

Abstract

Coronary heart disease is currently the leading cause of death among middle-aged men. One of the methods widely used as choice of treatment for coronary heart disease is Coronary Artery Bypass Graft (CABG). The aim of this study is to find out the factors that influence mortality in 6 years postsurgery among patients undergoing CABG at National Cardiovascular Center Harapan Kita in 2006. We used cohort retrospective study towards patients undergoing CABG at National Cardiovascular Center Harapan Kita during 2006 using medical records of subjects to find out whether creatinine level and diabetes mellitus are predictors of mortality among such patients. All variables were analyzed using chi-square test. Of 75 subjects for creatinine level variable, 18.66% (n=14) died within 6 years post CABG (p=0,007). Of 79 subjects for diabetes mellitus variable, 18,98% (n=15) died within 6 years post CABG (p=0,55). In conclusion, mortality among patients within 6 years post CABG at National Cardiovascular Center Harapan Kita in 2006 shows correlation with preoperation creatinine level, but no correlation with subjects’ diabetes mellitus status.

(2)

Pendahuluan

Menurut WHO, penyakit jantung merupakan penyebab 60% kematian di dunia saat ini, membuatnya disebut sebagai penyebab kematian terbesar. Sekitar 17,5 juta penduduk dunia meninggal akibat kejadian kardiovaskular di tahun 2005. Di Indonesia penyakit jantung memberikan sumbangsih kematian sebesar 26,3% yang diikuti infeksi, kelainan pulmonal, gastrointestinal, keganasan, dan kecelakaan lalu lintas.1

Angka kematian akibat kejadian kardiovaskular meningkat seiring dengan bertambahnya tahun, termasuk di antaranya Penyakit Jantung Koroner (PJK). Sejak tahun 2001 hingga saat ini, penyakit jantung koroner tetap memegang urutan pertama penyebab kematian dini pada laki-laki dengan usia menengah. Pada tahun 2002, PJK bertanggung jawab terhadap sekitar 7,2 juta kematian di dunia.2 Sayangnya, etiologi PJK sendiri belum diketahui secara jelas sampai saat ini. Dan lebih jauh lagi, penyakit jantung koroner memiliki banyak faktor risiko yang sangat dekat dengan lingkungan sekitar serta berkaitan dengan gaya hidup. Faktor risiko utama terhadap penyakit jantung koroner antara lain usia, jenis kelamin pria, riwayat keluarga, merokok, hipertensi, diabetes, obesitas sentral, dislipidemia, dan kurangnya aktivitas fisik.2 Sedikit yang mengetahui bahwa penyakit jantung koroner adalah penyakit

yang sifatnya progresif dan dimulai sejak usia muda serta diakibatkan oleh proses patologis yang disebut atherosklerosis.

Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani penyakit jantung koroner adalah upaya revaskularisasi melalui operasi bedah pintas arteri koroner (BPAK) atau yang lebih dikenal dengan istilah Coronary Artery Bypass Grafting (CABG). Tindakan bedah ini merupakan salah satu bentuk operatif terbuka yang paling umum dilakukan di seluruh dunia saat ini. Walaupun BPAK baru dilakukan bila jumlah atau lokasi dari penyumbatan arteri koroner memungkinkan risiko serangan jantung, data pada tahun 2010 menyatakan 80.000 pasien di seluruh dunia melewati BPAK setiap tahunnya. Tujuan dari tindakan surgikal ini adalah mempertahankan aliran darah menuju jaringan jantung, guna memenuhi kebutuhan jantung akan nutrisi dan oksigen dalam mempertahankan aktivitas sel-sel jantung.3 Operasi bypass ini biasanya dilakukan dengan cara mengganti arteri yang tersumbat dengan arteri atau vena yang berasal dari bagian tubuh yang lain, misalnya saja vena saphenous, arteri radialis, atau arteri mammaria interna.4

Tindakan Coronary Artery Bypass Grafting memiliki angka keberhasilan yang cukup tinggi. Angka mortalitas pasien BPAK di dalam rumah sakit adalah sebesar 1,9% sementara angka survival 3 tahun pascaoperasi mencapain 91,4%.5 Bila dibandingkan dengan

(3)

Percutaneous coronary intervention (PCI), BPAK menunjukkan tingkat mortalitas 4 tahun pascaoperasi yang lebih rendah yakni 16,4% bila dibandingkan dengan PCI yang mencapai 20,8%. Angka revaskularisasi BPAK juga lebih rendah bila dibandingkan dengan PCI pada 1 tahun (3,8% dengan 26,5%) dan 5 tahun (9,8% dengan 46,1%) pascaoperasi.6

Walaupun demikian, tindakan bedah ini tetap memiliki risiko kegagalan. Angka mortalitas 30 hari pascaoperasi BPAK adalah 3,05% dan meningkat7,8 sementara angka komplikasi mencapai 13,40% termasuk sroke, gagal ginjal, reoperasi, ventilasi memanjang dan infeksi sternal.7 Keberhasilan dari tindakan ini cenderung bergantung pada kondisi terakhir pasien akibat serangan penyakit jantung koroner. Beberapa faktor juga berperan serta dalam menentukan proses pemulihan bagi pasien pasca operasi terkait prognosis yang dihadapi oleh pasien ke depannya, salah satunya adalah kadar kreatinin pre operatif dan status diabetes mellitus.

Kadar kreatinin dan diabetes melitus merupakan faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko timbulnya komplikasi pascaoperasi. Angka insidensi cerebrovascular accidents (CVA) berkisar antara 1,4 – 3,8% dan dipengaruhi oleh diabetes melitus. Tingginya kadar gula darah juga meningkatkan risiko infeksi pada luka operatif sternal. Insidensi gagal ginjal akut juga dilaporkan pascaoperasi BPAK berkisar antara 2 - 3% di mana angkanya dipengaruhi dari disfungsi ginjal sebelumnya.6

Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mencari faktor-faktor yang mempengaruhi kematian pascaoperasi BPAK. Dari sini muncul pertanyaan: apakah terdapat hubungan antara kadar kreatinin dan diabetes melitus dengan kematian dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK pada pasien di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita pada tahun 2006?

Masalah penelitian yaitu hubungan antara kadar kreatinin dan diabetes melitus dengan kematian dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK pada pasien di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita pada tahun 2006.

Tinjauan Teoritis

Penyakit jantung koroner (PJK; Coronary Heart Disease) atau penyakit arteri koroner (Coronary Artery Disease) merupakan suatu keadaan penyempitan pembuluh darah koroner yang mengantarkan suplai darah dan oksigen ke jantung. Penyempitan terjadi akibat

(4)

penumpukan plak aterosklerotik dan pengerasan arteri oleh substansi lemak dan inflamasi lainnya. Hal ini berakibat turunnya bahkan ketiadaan perfusi jantung.3

Salah satu tindakan operasi yang banyak dilakukan sebagai upaya revaskularisasi daerah yang mengalami penurunan perfusi adalah operasi Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK; Coronary Artery Bypass Graft). BPAK bertujuan untuk mengurangi gejala dan memperpanjang angka harapan hidup. Operasi ini diindikasikan bagi pasien dengan keadaan kompleks biasanya melibatkan arteri koroner kiri atau three-vessels disease¸ stenosis koroner difus, atau pada pembuluh darah koroner dengan obstruksi total.4

Pada BPAK, sebuah arteri atau vena akan diambil dari bagian tubuh yang lain. Pembuluh darah ini kemudian akan digunakan untuk menciptakan jalur baru, melewati bagian pembuluh darah yang tersumbat sehingga memperbaiki aliran darah kaya oksigen menuju jaringan jantung. Tindakan operasi ini umumnya memakan waktu 3 – 5 jam, bergantung pada jumlah arteri yang dioperasi.5,9 Pembuluh darah yang dipakai biasanya diambil dari vena saphena magna, arteri radialis maupun dari arteri mamaria interna. Lokasi dan ukuran dan sumbatan akan mempengaruhi pemilihan pembuluh darah yang dipakai untuk BPAK.

Risiko mortalitas sehubungan operasi BPAK dipengaruhi oleh beberapa hal seperti lamanya iskemia intra operasi, fungsi ventrikel kiri, ekstensivitas stenosis, kondisi-kondisi komorbid, dan pengalaman, ketrampilan, serta pengambilan keputusan dokter bedah. Data menunjukkan angka mortalitas operasi BPAK primer sebesar 1,7% (operasi elektif), 2,6% (operasi mendesak), 6% (operasi darurat), 23% (operasi life-saving).4

Hasil BPAK dipengaruhi oleh usia, keparahan penyakit jantung preoperasi, kondisi komorbid lainnya, progresivitas aterosklerosis dan tindakan operasi tersebut sendiri. BPAK telah terbukti memperpanjang angka kehidupan pasca operasi; lebih dari 80% pasien hidup lebih dari 10 tahun setelah operasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh proses pascaoperasi seperti modifikasi gaya hidup, pengontrolan tekanan darah dan kolestrol menggunakan obat, serta penggunaan antikoagulasi.

Tindakan operasi ini relatif aman namun ada beberapa efek samping seperti bengkak, memar, sakit pada daerah luka operasi hingga mencapai 1 bulan dan dapat meninggalkan bekas luka yang permanen. Obesitas, diabetes, dan tindakan cangkok arteri bilateral mempengaruhi angka kejadian komplikasi luka yang lebih tinggi. Komplikasi BPAK mencakup reaksi yang tidak diinginkan terhadap anestesi, infeksi, pendarahan berlebih, hingga terbentuknya bekuan darah. Komplikasi yang lebih spesifik seperti serangan jantung, stroke, hingga kematian lebih jarang terjadi.5

(5)

Kreatinin merupakan hasil metabolism asam organic keratin fosfat yang dikandung dalam jaringan otot skeletal dan berperan dalam membantu menciptakan kontraksi otot. Kreatin seluruhnya diekskresikan melalui urin melalui filtrasi glomerulus karena tidak terikat dengan protein dan bersifat inert.9

Nilai normal dari kreatinin serum antara lain:11 Wanita : 0,6-1,2 mg/dL

Laki-laki : 0,8-1,4 mg/dL Anak-anak : 0,2-1,0 mg/dL

Kelainan pada fungsi ginjal (insufisiensi maupun gagal ginjal akut) dapat disebabkan dan menyebabkan kelainan jantung. Apabila jumlah darah yang dipompakan jantung menuju ginjal terlalu sedikit maka dapat menimbulkan gagal ginjal akut, sementara bila terlalu banyak dalam tekanan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan scarring pada pembuluh darah ginjal yang mengakibatkan kelainan kronik yang permanen pada ginjal. Sebaliknya, risiko kelainan kardiovaskular tidak terbatas hanya pada pasien tahap akhir penyakit ginjal, risiko mortalitas kardiovaskular sudah meningkat pada pasien dengan kelainan ginjal ringan. Peningkatan risiko ini diperkirakan disebabkan oleh faktor non tradisional seperti anemia, perubahan metabolism kalsium dan fosfat, inflamasi dan stress oksidatif, serta faktor tradisional seperti hipertensi, merokok, diabetes, dislipidemia, dan hipertrofi ventrikel kiri,13

Diabetes Melitus merupakan kelainan metabolik yang dapat dikategorikan menjadi diabetes melitus tipe I dan diabetes melitus tipe II. Diagnosis diabetes mellitus dapat ditegakkan melalui pemeriksaan kadar gula darah (gula darah puasa > 126 mg/dl; gula darah sewaktu > 200 mg/dl), uji OGTT (oral glucose tolerance test), dan uji HbA1c.14

Pada pasien diabetes terjadi peningkatan risiko penyakit jantung hingga lima kali lipat. Peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas ini duduga karena sinergisasi hiperglikemia dengan factor risiko lain seperti dislipidemia, hipertensi, rendahnya aktivitas fisik, dan merokok. Individu dengan resistensi insulin memiliki kadar plasminogen activator inhibitor dan plasminogen yang meningkatan. Hal ini menyebabkan peningkatan koagulasi dan menghambat fibrinolisiss sehingga memungkinkan terjadinya thrombosis. Selain itu pada pasien diabetes juga ditemukan disfungsi endotel dan otot polos vaskular.17

Berbagai penelitian telah dilakukan di seluruh dunia selama bertahun-tahun untuk membuat dan terus memperbaharui model prediktif untuk mengevaluasi risiko prosedur mayor

(6)

kardiovaskular, termasuk operasi jantung terbuka sepeti BPAK. Angka mortalitas operatif yang didapat digunakan secara luas sebagai indikator kualitas perawatan dan performa dokter bedah serta rumah sakit. Pengembangan model prediktif ini dinilai penting dalam membandingkan berbagai faktor risiko sehingga dalam prakteknya kita dapat menyesuaikan tingkat mortalitas dengan profil faktor risiko pasien. Hasilnya operasi jantung sekarang dapat dilakukan bahkan terhadap pasien berisiko tinggi.22

Model prefiktif ini sekarang digunakan secara luas dari koseling pasien hingga evaluasi hasil operasi maupun suatu institusi sehingga bermandaat baik bagi rumah sakit, dokter dan pasien itu sendiri dalam membuat keputusan sehubungan operasi dan perawatan perioperatif. 22

Di antara banyaknya model yang dikembangkan, European System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE) dan Society of Thoracic Surgeons (STS) merupakan dua model yang paling sering digunakan di Amerika dan Eropa. Namun merujuk model ini pun harus berhati-hati bila digunakan di luar daerah asalnya atau di populasi pasien yang berbeda.22 Model prediktif juga tidak ada yang kebal terhadap perjala;;nan waktu sehingga

harus terus diperbaharui.23 Berikut merupakan perbandingan berbagai model prediktif terhadap faktor risiko operasi jantung

(7)

Tabel 1 Perbandingan Enam Model Faktor Risiko Operasi Jantung24

Dari tabel dapat kita perhatikan, dua dari enam model memprediksikan diabetes sebagai faktor risiko peningkatan mortalitas dan mortalitas sementara empat dari enam model memprediksikan kadar kreatinin sebagai faktor risiko peningkatan mortalitas dan morbiditas.

Metode Penelitian

Desain penelitian adalah penelitian kohort retrospektif. Penelitian berlangsung di RS Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta, dari Januari 2013 hingga Mei 2014.

Sumber data adalah data sekunder dari rekam medis subyek di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Populasi target adalah rekam medis pasien yang menjalani BPAK di

(8)

DKI Jakarta pada tahun 2006. Populasi terjangkau adalah pasien yang menjalani BPAK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita pada tahun 2006. Sampel adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi.

Teknik pengambilan sampel menggunakan metode total population sampling yang dipilih karena sesuai dengan salah satu tujuan penelitian untuk menghasilkan laporan yang dapat digunakan untuk evaluasi kualitas BPAK di RS Pusat Jantung Harapan Kita. Besar sampel adalah seluruh populasi terjangkau pada penelitian ini.

Kami menginklusikan pasien dengan penyakit jantung koroner yang menjalani operasi BPAK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita selama tahun 2006. Subyek harus memiliki catatan mengenai kondisi medis sebelum dan sesudah operasi yang tertuang dalam rekam medis. Kami mengeksklusikan pasien dari penelitian jika rekam medis pasien tidak dapat ditemukan atau operasi BPAK yang dijalani pasien dilakukan bersamaan dengan operasi lain. Pasien dinyatakan drop out jika pasien tidak dapat dihubungi setelah 6 tahun pascaoperasi BPAK sehingga kondisinya sekarang tidak dapat diketahui.

Variabel dependen pada penelitian ini adalah kematian pasien dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK. Variabel independen pada penelitian ini adalah kadar kreatinin dan diabetes melitus. Variabel perancu pada penelitian ini adalah usia, status merokok, kepatuhan berobat pasca operasi BPAK, hipetensi.

Data didapatkan dengan cara menelusuri rekam medis pasien yang ada, mencatat dan mengumpulkan data sebelum dan saat operasi berupa nilai kreatinin sebelum operasi dan status diabetes melitus pasien. Data kematian didapatkan dengan cara menghubungi kembali pasien melalui nomor telepon yang tercatat di dalam rekam medis.

Data yang sudah dikumpulkan, diseleksi dan diuji menggunakan program SPSS for Windows version 17.Data disajikan dalam bentuk tabel dan penjelasan. Uji analisis yang dilakukan adalah dengan uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan yakni menggunakan uji chi-aquare. Bila nilai expected count di atas 20% maka dilakukan uji alternatif berupa uji Fisher.

Interpretasi data dilakukan secara analitik untuk melihat apakah ada hubungan bermakna secara statistik antara variabel independen dengan variabel dependen. Hal ini dapat diketahui dari besar nilai p masing-masing variabel independen. Nilai p < 0.05 menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara variabel independen dengan variabel dependen yang diuji.

(9)

Hasil Penelitian

Penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi kematian pasien pasca operasi BPAK ini melibatkan seluruhnya 81 subjek penelitian. Total subjek penelitian untuk pengaruh kadar kreatinin berjumlah 75 orang sedangkan total subjek penelitian untuk pengaruh status diabetes mellitus berjumlah 79 orang,

Dari seluruh subyek, didapatkan 66 hidup (81,481%) dan 15 mati (18,518%).

Tabel 2 Sebaran Karakteristik Subyek Penelitian

Sebaran Total Pria n (%) Wanita n (%) Karakteristik Hidup 56 (84,8) 10 (15,2) 66 Meninggal 15 (100) - (0) 15 Kadar Kreatinin ≥ 1,3 mg/dL   27 (93,1) 2 (6,9) 29 Diabetes Melitus 26 (78,8) 7 (21,2) 33

Tabel 3 Sebaran Kematian menurut Kadar Kreatinin Subyek Status Kematian Nilai p OR 95%CI Hidup n (%) Meninggal n (%) Min Mak Kadar Kreatinin (mg/dL) 0,007 5,53 1,54 19,88 <1,3 42 (91,3) 4 (8,6) >1,3 19 (65,5) 10 (34,4) Total 61 (81,33) 14 (18,66)

Tabel 2 menunjukkan sebaran kematian berdasarkan kadar kematian subjek. Sekitar 8,69% subjek dengan kadar kreatinin < 1,3 mg/dL meninggal setelah 6 tahun pasca BPAK. Sementara pada subjek dengan kadar kreatinin > 1,3 mg/dL, sebanyak 34,48% meninggal setelah 6 tahun pasca BPAK. Terdapat perbedaan yang bermakna antara subjek dengan kadar kreatinin >1,3 dengan kadar kreatinin <1,3 (p = 0,007).

(10)

Tabel 4 Sebaran Kematian menurut Status Diabetes Melitus Subyek Status Kematian Nilai p OR 95%CI Hidup n (%) Meninggal n (%) Min Mak Diabetes Melitus 0,558 0,91 0,29 2,87 Ya 27 (79,4) 6 (20,5) Tidak 37 (80,4) 9 (19,5) Total 64 (81,01) 15 (18,99)

Dari data subjek dengan status diabetes mellitus didapatkan; 20,58% dari penyandang status diabetes melitus meninggal dunia setelah 6 tahun pasca BPAK sementara ada 19,56% dari subjek tanpa diabetes melitus yang meninggal setelah 6 tahun pasca BPAK. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kematian pasca BPAK antara penyandang status diabetes mellitus dengan subjek tanpa diabetes mellitus (p = 0,55).

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa 10 dari 29, yakni 34,48% pasien dengan kadar kreatinin >1,3 mg/dL meninggal setelah 6 tahun pasca operasi BPAK. Angka ini lebih tinggi dari angka kematian pasien dengan kadar kreatinin <1,3 mg/dL yakni 8,69%. Hasil analisis data menggunakan metode chi-square menunjukkan nilai p sebesar 0,007, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kadar kreatinin pasien pada saat menjalani operasi BPAK dengan angka kematian pasien dalam 6 tahun pasca operasi BPAK. Penghitungan OR menunjukkan peningkatan risiko kematian pada pasien dengan kadar kreatinin preoperatif >1,3 gr/dL sebesar 5,53 kali lipat dibandingkan pasien dengan kadar kreatinin <1,3gr/Dl (95% CI 1,54 – 19,88). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Radmehr et al25 yang mengatakan bahwa peningkatan kadar kreatinin preoperasi menunjukkan peningkatan angka mortalitas pada pasien pasca BPAK.

Dari penelitian ini ditemukan pada 20,58% pasien dengan status diabetes mellitus meninggal dalam waktu 6 tahun pasca operasi BPAK, Angka ini sekilas lebih tinggi dari angka kematian pasien tanpa diabetes mellitus, yakni sebesar 19,56%. Namun hasil analisis data menggunakan metode chi-square menunjukkan nilai p sebesar 0,55 yang berarti tidak

(11)

adanya hubungan yang bermakna antara status diabetes melitus dengan angka kematian pasien dalam 6 tahun pasca operasi BPAK. Hasil yang didapat ini berbeda dari suatu penelitian yang dilakukan Hallberg et al21 yang mengatakan bahwa angka survival pasien dengan diabetes mellitus segera menurun beberapa tahun setelah operasi.

Sebuah penelitian lain oleh Yanagawa et al22 juga mendukung kontribusi diabetes (OR, 5.15; 95% CI, 1.08-24.59; p = 0.04) dan level kreatinin preoperatif (OR, 1.06; 95% CI, 1.02-1.10; p = 0.006) sebagai faktor independen prediktor kegagalan operasi pintas arteri. Hal ini sehubungan adanya komorbiditas insufisiensi ginjal, hipertensi dan dislipidemia pada tingginya level kreatinin sehingga meningkatkan risiko penyakit vaskular. Mekanisme yang terlibat dari tingginya kadar kreatinin hingga kegagalan pintas arteri mencakup hipertensi sekunder akibat retensi natrium, disfungsi endotel, inflamasi dan stress oksidatif.

Namun parameter “status diabetes melitus” sendiri perlu dikritisi lebih lanjut. EuroSCORE II mempertimbangkan kembali diabetes sebagai faktor risiko operasi jantung namun status tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, berikut berdasarkan hubungannya dengan angka mortalitas dari yang tinggi ke rendah; diabetes tergantung insulin, diabetes dengan pengobatan oral, serta diabetes dengan diet terkontrol; di mana yang kelompok terakhir mempunyai kemungkinan hasil yang lebih baik dari kelompok tanpa diabetes. Hal ini membuat kita harus mempertimbangkan kembali penggunaaan status diabetes dalam penelitian ini sebagai salah satu faktor prediktor kematian.23

Kesimpulan dan Saran

Dari penelitian ini, disimpulkan kadar kreatinin preoperasi memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian kematian subyek dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita pada tahun 2006. Sementara diabetes mellitustidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian kematian subyek dalam 6 tahun pascaoperasi BPAK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita pada tahun 2006.

Untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kedua faktor bersangkutan dengan jumlah sampel yang lebih besar karena hasil untuk faktor diabetes mellitus menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna. Hal ini membutuhkan database yang lebih besar dan lebih lengkap. Untuk mencapai tujuan ini, bisa menggunakan data operasi dari beberapa tahun sekaligus serta peningkatan upaya pengarsipan rekam medis yang lebih teratur di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

(12)

Kepustakaan

1. Supriyono M. Tesis: Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung koroner pada kelompok usia dibawah 45 tahun. 2008.

2. Khor GL. Cardiovascular Epidemiology in The Asia-Pacific Region. Asia Pacific J Clin Nutr. 2001; 10(2): 76-80.

3. Coronary Artery Bypass Graft. United Kingdom: Bupa's Health Information Team; [updated 2010 October; cited 2012 March 23]. Available from: http://www.bupa.co.uk/individuals/health-information/directory/c/con-art-bypass-cabg. 4. Feriyawati L. Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dengan menggunakan vena

saphenous, arteri mammaria interna dan arteri radialis. 2005.

5. Diodato M, Chedrawy EG.Coronary Artery Bypass Graft Surgery: The Past, Present and Future of Myocardial Revascularisation. Surgery Research and Practice. 2014.

6. Hannan EL, Racz MJ, McCallister BD, Ryan TJ, Arani DT, Isom OW, et al. Comparison of Three-Year Survival After Coronary Artery Byass Graft Surgery and Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty. J Am Coll Cardiol. 1999; 33(1): 63-72.

7. Shrover AL, Coombs LP, Peterson ED, Eiken MC, DeLong ER, Chen A, et al. The Society of Thoracic Surgeons: 30-day Operative Mortality and Morbidity Risk Models. Ann Thorac Surg. 2003; 75(6): 1856-64.

8. Cundiff DK. Coronary Artery Bypass Grafting (CABG): Reassessing Efficacy, Safety, and Cost [article on the internet]. 2002. Diakses dari http://www.medscape.com/viewarticle/434471_6

9. Saladin: Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function. 5th ed [ ebook]. The McGraw-Hill Companies. 2010; 19: 735-771.

10. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamentals of Anatomy & Physiology. 9th ed [ebook]. Benjamin Cummings. 2012; 20: 670-684.

(13)

11. Schoen FJ, Cotran RS. The Blood Vessels. Dalam: Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins Basic Pathology. Ed 7. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2004. p. 328-35. 12. Coronary Artery Bypass Graft (CABG). University of Michigan Health System Cardiac

Surgery; [updated 2011 December; cited 2013 January 28]. Available from: http://med.umich.edu/cardiac-surgery/patient/adult/adultcandt/cabg.shtml

13. Perrone RD, Madias NE, Levey AS. Serum Creatinine as an Index of Renal Function: New Insights into Old Concepts. Clin. Chem. 38/10. 1992: 1933 – 1948.

14. Crocker J, Burnett D. 2 ed. The Science of Laboratory Diagnosis. England: john Wiley and Sons, Ltd

15. Wilson DD. 2008. Manual of Laboratory and Diagnostic Test. USA: McGraw-Hill 16. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglycemia.: Report

of A WHO/IDF Consultation. Switzerland: WHO Press. 2006.

17. Na KY, Kim CW, Song YR, Chin HJ, Chae DW. The Association between Kidney Function, Coronary Artery Disease, and Clinical Outcome in Patients Undergoing Coronary Angiography. J Korean Med Sci. 2001; 24:S8.7-S94

18. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. 7th ed. Kanada: Brooks Cole; 2007

19. Shoback, Gardner, Dolores. Greenspan's basic & clinical endocrinology (9th ed.). New York: McGraw-Hill Medical, 2011

20. Guyton AC dan Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2006

21. Aneja A, Tang WHW, Bansilal S. Diabetic Cardiomyopathy: Insight Into Pathogenesis, Diagnostic Challenges and Therapeutic Options. The American Journal of Medicine 121. 2008.

22. Sanon S, Lee VV, Elayda MA, Gondi S, Livesay JJ, Reul GJ et al. Predicting Early Death After Cardiovascular Surgery by Using the Texas Heart Institute Risk Scoring Technique (THIRST). Texas Heart Institute. 2013; 40 (2): 156-62.

(14)

23. Nashef SAM, Roques F, Sharples LD, Nilsson J, Smith C, Goldstone AR, et al. EuroSCORE II. European Journal of Cardio-Thoracic Surgery. 2012; 41:734-45.

24. Geissler H, Holzl P, Marohl S, Kuhn-Regnier F, Mehlhorn U, Sudkamp M, et al. Risk Stratification in Heart Surgery: Comparison of Six Score Systems. European Journal od Cardio-Thoracic Surgery. 2000; 17:100-6.

25. Radmehr H, Forouzannia SK, Bakhshandeh AR, Sanatkar M. Relation between Preoperative Mild Increase in Serum Creatinine Level and Early Outcomes after Coronary Artery Bypass Grafting. Acta Med Iran. 2011; 49(2):89-92.

26. Hallberg V, Palomaki A, Lahtela J, Voutilainen S, Tarkka M, Kataja M. Associations of Metabolic Syndrome and Diabetes Melitus with 16-year survival after CABG. Cardiovascular Diabetology 2014, 13:25.

27. Yanagawa B, AlGarni KD, Singh SK, Deb S, Vincent J, Elituv R et al. Clinical, Biochemical and Genetic Predictors of Coronary Artery Bypass Graft Failure. Journal of Thoracic and Cardiovascular Surgery. 2013.

Gambar

Tabel 1 Perbandingan Enam Model Faktor Risiko Operasi Jantung 24
Tabel 2  Sebaran Karakteristik Subyek Penelitian
Tabel 4   Sebaran Kematian menurut Status Diabetes Melitus Subyek  Status Kematian  Nilai p  OR  95%CI  Hidup  n (%)  Meninggal n (%)  Min  Mak  Diabetes Melitus  0,558  0,91  0,29  2,87 Ya 27 (79,4) 6 (20,5)  Tidak  37 (80,4)  9 (19,5)  Total  64 (81,01)

Referensi

Dokumen terkait

Karya Indah ini memiliki beberapa masalah yang kemungkinan adalah keterlambatan pengiriman produk yang disebabkan oleh penyelesaian produk yang terlalu lama, menurut pihak

[r]

Remaja wanita perlu mempertahankan status gizi yang baik dengan cara mengonsumsi makanan yang seimbang karena sangat dibutuhkan pada saat menstruasi, terbukti pada saat

Pelatihan Manajemen Organisasi dan Dinamika Kelompok bagi KMPH Merawan dilaksanakan di Dusun Buring Desa Muara Merang pada tanggal 27 – 29 Mei 2010. Tujuan utama pelatihan ini

Selanjutnya apabila dikaitkan tentang dengan keberadaan kapal berbendera di ZEE Indonesia yang melakukan pelayaran sesuai kebebasan pelayaran di ZEEI dan melakukan tindak

Tabel Sidik Ragam Bobot Basah Tajuk (g). SK DB JK KT Fhitung Ftabel

Waham yang dialami pasien schizophrenia dapat berakibat pada kecemasan yang berlebihan jika isi wahamnya tidak mendapatkan perlakuan dari lingkungan

Samudranesia Tour and Travel Pekanbaru karena, dengan promosi yang tepat seperti pada dimensi periklanan, promosi penjualan, hubungan masyarakat yang memiliki skor