• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga yang dapat dijadikan suatu media untuk menyalurkan sebagian harta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. lembaga yang dapat dijadikan suatu media untuk menyalurkan sebagian harta"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merekomendasikan seseorang untuk membelanjakan hartanya baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk orang lain dalam masyarakat.1Berkenaan dengan hal iniIslam mengisyaratkan suatu lembaga yang dapat dijadikan suatu media untuk menyalurkan sebagian harta seseorang bagi kepentingan sosial salah satunya adalah wakaf (waqaf).2

Amalan wakaf merupakan amalan yang telah dilembagakan, dan harta benda yang diwakafkan merupakan amal baik yang terlepas dari kepemilikan perseorangan. Maka harta benda yang telah dilembagakan dan menjadi milik bersama, penggunaanya harus disesuaikan dengan tujuan wakaf itu sendiri.

Harta wakaf pada dasarnya tidak boleh dijual atau diberikan pada orang lain yang akan menghilangkan kemanfaatan wakaf dan tidak boleh diwariskan bila sudah meninggal.3

Wakaf secara kongkrit berhubungan erat dengan peraturan yang berlaku di Indonesia juga sebagai salah satu bentuk kontribusi yang memberikan

1yaitu terdapat dalam surat al-Isra ayat 26 :







26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

2Said Agil Husein al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Cet. I, Jakarta:

Penamadani, 2004, hlm. 123. Selanjutnya ditulis al-Munawar, Hukum Islam

3Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press 1988 hlm 85. Ali, Sistem Ekonomi Islam

(2)

2

manfaat sosial kepada masyarakat. Akan tetapi ada kalanya ahli waris kurang puas dengan harta warisan yang didapatkannya, sehingga mempersoalkan harta benda yang diwakafkan tersebut bahkan mengambil kembali. Juga ada kemungkinan lain yang dikhawatirkan dalam penyalahgunaan tujuan harta yang diwakafkan, atau pemindahan harta wakaf menjadi hak milik pribadi.4

Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan terhadap harta benda wakaf. Terutama mengenai persyaratan yang harus dipenuhi sebagai wakif yang mewakafkan hartanya kurang begitu ditaati. Dimungkinkan karena mereka menganggap bahwa akad wakafnya dilakukan oleh sepihak tanpa ada pihak lain dan beranggapan tidak akan menjadi masalah di kemudian hari, sehingga mereka mengabaikan alat-alat bukti, terutama alat bukti saksi.5

Namun disisi lain banyak faktor yang mendorong seseorang untuk tidak mengakui adanya ikrar wakaf atau untuk menarik kembali harta yang telah diwakafkan. Baik oleh yang mewakafkannya sendiri maupun oleh ahli warisnya. Seperti dalam perwakafan tanah milik dengan sebab makin langkanya tanah, harga kebutuhan semakin tinggi, menipisnya semangat dan kesadaran beragama, atau mungkin mewakafkan seluruh tanahnya sehingga ahli warisnya terlantar tidak dapat sumber penghasilan atau belum merasa puas dari harta warisan yang didapatnya, oleh karenanya tidak mustahil ahli warisnya akan meminta kembali tanah wakaf, atau tidak mau memberitahukan kepada petugas dengan adanya ikrar wakaf, atau juga mungkin karena ketidak

4Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Ed. I, Cet.

I,Jakarta: Kencana, 2004, hlm 123-124. Selanjutnya ditulis, Effendi, Problematika Hukum.

5Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 3, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm. 522.selanjutnya ditulis, Sabiq, Fiqh Sunnah.

(3)

3

tahuannya karena orang tuanya tidak pernah memberi tahu perihal wakaf . hal inilah antara lain yang menyebabkan munculnya persoalan wakaf kepermukaan, sehingga menjadi sengketa di Pengadilan Agama.6

Oleh karena itu untuk menghindari hal-hal yang terjadi dikemudian hari, seperti berpindahnya harta menjadi milik pribadi, adanya sengketa dari ahli waris untuk mengambil kembali harta yang diwakafkan, atau penyalahgunaan yang menyimpang dari tujuan semula wakaf, maka wakaf harus mempunyai kedudukan yang jelas didepan hukum.7

Hukum menghendaki perwakafan diselenggarakan secara administratif yang dituangkan dalam akta ikrar wakaf (AIW). Sehingga AIW berfungsi sesuai dengan fungsi akta, yaitu sebagai alat bukti, maka dalam sengketa di Pengadilan Agama yang dikehendaki adalah akta sebagai alat bukti. Tetapi dalam hal proses perwkafan suatu benda tidak dilakukan di depan pejabat pembuat akta ikrar wakaf, sementara khalayak ramai sudah mengetahui bahwa benda tersebut adalah benda wakaf. Atau pemberian sumbangan atau amal jariyah dari seorang muslimin yang tidak diketahui jelasnya dan dari sumbangan itu terwujud bangunan mushala, madrasah, masjid, atau sarana sosial keagamaan lainnya, tidak menggunakan AIW. Satu-satunya alat bukti yangtersisa adalah kesaksian (syahādah) yang dalam peradilan Islam disebut Syahādah al-Istifāḍah.

Dalam hukum acara,pembuktian merupakan salah satu tahapan dalam proses berlitigasi, yang dibebankan kepada para pihak yang bersengketa

6Effendi, Problematika Hukum.hlm 410.

7Effendi,Problematika Hukum, hlm. 126.

(4)

4

sebagai upaya meyakinkan hakim dalam membuktikan kebenaran dalil- dalil.8Oleh karena itu pada prinsipnya siapa yang mendalihkan sesuatu menjadi haknya wajib membuktikan kebenaran dalihnya,9tujuanya untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan juga yang mempunyai akibat hukum, tujuan itu merupakan salah satu dari urgensi pembuktian dalam pemeriksaan perkara.10

Pembuktian dalam bahasa Arab adalah al-Bayyinah.Kata al-Bayyinah mempunyai arti keterangan ada juga yang mengartikan tanda atau bukti yang jelas, sehingga al-Bayyinah adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatakan kebenaran, termasuk alat bukti saksi.11 saksi secara etimologi berasal dari kata syahādah- musyahadah yang mengandung arti kesaksian, melihat atau menyaksikan dengan mata. MenurutSayid Sabiq dalam kitab sunnah bahwa apa yang dimaksud dengan saksi adalah memberitahukan seseorang tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maksudnya adalah

8Hukum acara perdata sebagai hukum formal mempunyai kedudukan yang penting dan strategis dalam upaya menegakkan dan mempertahankan hukum perdata sebagai hukum materil dalam praktiknya melalui lembaga peradilan.Karena keberadaan hukum perdata dan hukum acara perdata merupakan satu kesatuan dalam upaya menegakkan hukum, keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan, di antara keduanya tidak bisa berdiri sendiri.

9Membuktikan artinyamempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.

10Rasulullah saw menjelaskan mengenai persoalan pembebanan pembuktian ialah sebagai berikut

ن ا نم ىلع نيميلاو يع ّدملا ىلع ةنيبلا رك

Artinya: “mendatangkan bayyinah (wajib) atas pendakwa dan mengucapkansumpah wajib atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”

11Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat digunakan di hadapan majelis hakim. Namun tidak semuanya diterima oleh ahli fiqih. Adapun alat bukti yang disepakati oleh ulama fiqih adalah sebagai berikut:[1. Kesaksian 2. Ikrar 3. sumpah 4.

nukul 5. Qarinah 6. Qasamah. Lihat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam, Jakarta:

Pustaka Azzam, 2007, hlm 70. Selanjutnya ditulis Al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam,

(5)

5

pemberitahuan tentang orang apa yang dia ketahui sendiri, pengetahuan yang sebenar-benarnya.12

Sedangkan menurut terminologi kesaksian adalah pemberitahuan yang pasti atas apa yang disaksikan secara langsung atau pengetahuan yang didapat dari mendengar dari perkataan orang lain yang telah tersebar.13Hukum menjadi saksi adalah fardhu’ain. Oleh karena itu manakala dipanggil menjadi seorang saksi wajib hukumnya untuk hadir di muka persidangan dan memberikan kesaksian terhadap suatu perkara.14

Sebagai upaya meyakinkan hakim dalam memeriksa suatu perkara maka seorang saksi ialah orang yang memberikan keterangan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu tentang keadaan suatu peristiwa yang dia ketahui, dengar dan atas penglihatan sendiri tentang terjadinya atau tidak peristiwa itu.15Kesaksian haruslah datang dari dua orang saksi atau satu orang saksi tapi perlu adanya bukti lain kecuali dalam hal yang diperkenankan dalam

12Sabiq, Fiqih Sunnah 4, hlm. 361.

13Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 73. Selanjutnya disebut Anshoruddin, HukumPembuktian

14sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 283:















“dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikan kesaksiannya maka sesungguhnya ia adalah orang berdosa hatinya”

Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perrdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Kencana, 2008, hlm 377, selanjutnya ditulis Manan, Hukum Acara

15Sayid Sabiq dalam kitabnya Fikih Sunnah merinci tujuh hal yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang saksi, yaitu: (a) islam, (b) adil, (c) baligh, (d) berakal, (e) berbicara, (f) hafal dan (g) cermat bersih dari tuduhan. Lihat Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta, Cet II Kencana hlm 140. Selanjutnya ditulis Dewi, Hukum Acara Perdata

(6)

6

mempergunakan kesaksian istifāḍah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ahli hukum Islam.16

Arti kata al-istifāḍah ialah tersebar atau tersiar luas, dalam peradilan Islam, Menurut Ibnu Qayim Al-Jauziyah khabaristifāḍah ialah berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan masyarakat, yang tersebar secara mutawatir dan ahad atau berita dari orang perorang.17 jadi yang dimaksud dengan syahādah al-istifāḍah adalah suatu kesaksian berdasarkan pengetahuan yang bersumber pada berita yang sudah demikian luas tersebar, dan ini hampir sama dengan testimonium de auditu dalam Hukum Acara Perdata Indonnesia.18

Apabila suatu peristiwa atau kejadian yang sekian tahun berlalu membutuhkan kesaksian, sedangkan pihak yang mengetahui dan tidak semuanya ada atau hadir, baik dikarenakan telah meninggal dunia, udzur, berpindah tempat, dan lain sebagainya, dimana tidak mungkin dihadirkan dalam persidangan, maka hakim dalam proses perkara ini diperbolehkan mendatangkan „saksi istifāḍah’.

Para ulama membolehkan menggunakan syahādah al-istifāḍah dalam Hukum Acara Perdata Islam, menyangkut persoalan pribadi atau perdata seseorang, seperti : nikah, kelahiran, nasab, aurat (cacat badan), perwalian,

16Manan, Hukum Acara hlm 376

17Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, Terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2007, hlm. 344. Selanjutnya ditulis Al-Jauziyah, Hukum Acara peradilan Islam.

18Testimoniu de auditu adalah kesaksian yang berdasarkan dari mulut ke mulut, dari pendengaran ke pendengaran, atau dari cerita dan keterangan orang lain. Bila dikomparasikan antara hukum Islam dan Hukum positif akan ditemui persamaan dan perbedaannya. Persamaanya sama-sama merupakan keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain tidak mendengarkannya atau mengalaminya sendiri. Perbedaanya dalam HIR kesaksian de auditu tidak dapat menjadi alat bukti langsung, sedangkan dalam hukum Islam dapat menjadi alat bukti langsung. Anshoruddin, Hukum Pembuktian, hlm 138-139.

(7)

7

kematian dan hak milik, karena dalam persoalan tersebut terhalang mendapatkan informasi faktual atau karena sebab-sebab lainnya secara langsung,19 lebih tegas lagi Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa hakim boleh memutus perkara berdasarkan syahādah al-istifāḍahkarena kesaksian tersebut merupakan bukti yang sangat kuat. kesaksian ini pula sebagai salah satu kiat untuk mendapatkan informasi atau fakta yang akurat, sehingga dengan fakta itu dapat menepis kemungkinan adanya tuduhan kecurangan, baik bagi saksi maupun hakim, dan ia lebih kuat nilai kekuatan pembuktiannya dari kesaksian saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya.20

Mahkamah Agung telah menggagas penerapan syahādah al- istifāḍahdalam bidang perwakafan, dan mengartikannya sebagai suatu kesaksian dari orang yang tidak mengetahui sendiri, mengalami sendiri atau mendengar sendiri proses terjadinya wakaf suatu benda, tetapi orang itu dan orang-orang lain yang banyak jumlahnya hanya tahu bahwa barang itu sudah sejak lama digunakan untukkepentingan umum yang bersifat keagamaan atau ibadah, sedang banyak orang menganggap benda itu adalah benda wakaf.21

Namun dalam undang-undang hukum acara perdata, syarat materil saksi sebagai alat bukti adalah berdasarkan pada Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUH

19Manan, Hukum Acara, hal 377

20Salah satu jenis berita yang yang boleh disandarkan persaksiannya yaitu mengenai, seorang suami meli‟an istrinya karena tuduhan zina. Seorang suami dibolehkan berpegang padanya dalam menuduh istrinya dan meli‟annya apabila zina istrinya telah tersebar dikalangan manusia, maka berita yang tersebar ini merupakan satu jenis berita yang boleh dijadikan sandaran persaksian dan hakim dibolehkan berpegang padanya. Lihat Al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, hlm 345

21www.badilag.netLebih lanjut baca buku, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Agama Buku II, Mahkamah Agung RI, Edisi Revisi, Jakarta, 1998, cet. ketiga, hal. 233-234.

(8)

8

Perdata, keterangan yang diberikan harus berdasar sumber pengetahuan yang jelas. dan sumber yang dibenarkan merupakan pengalaman, penglihatan atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak. Sehingga keterangan yang bersumber dari cerita atau keterangan orang lain kepadanya berada di luar kategori keterangan saksi yang dibenarkan Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUH Perdata.

Keterangan saksi yang berdasarkan dari cerita atau keterangan orang lain hanyalah berkualitas sebagai testimonium de auditu. Menurut Sudikno padaumumnya saksi testimonium de auditu tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri.22

Pada dasarnya dalam pelaksanaan pembuktian pada Peradilan Agama di Indonesia diatur menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UU No 3 Tahun 2006Jo. UU No. 50 Tahun 2009. Hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.Sepanjang yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang, maka ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata, HIR, Rbg, dan BW, masih diberlakukan terutama yang menyangkut pembuktian dan alat-alat bukti.

Berdasarkan pemikiran dan latar belakang tersebut, mengingat pentingnya alat bukti kaitannya dengan masalah saksi perwakafan dalam upaya memberikan kepastian hukum guna mengantisifasi hal-hal yang tidak

22Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 131. Selanjutnya ditulis Mertokusumo, Hukum Acara Perdata

(9)

9

diinginkan seperti hal tersebut di atas dikarenakan alat buktinya tidak adaوmaka perlu dibahas tentang Syahādah al-Istifāḍahdengan masalah pokok Akurasi dan Kedudukan Syahādah al-Istifāḍah sebagai alat bukti dalam perkara wakaf menurut hukum positif dan hukum Islam. Adapun pembahasannya diliput dalam judul skripsi : “KEDUDUKAN SAKSI ISTIFĀḌAH DALAM WAKAF MENURUT HUKUM POSITIF DAN ISLAM”

B. Perumusan Masalah

Untuk mempermudah pengkajian dalam penelitian, diperlukan adanya suatu perumusan masalah. Adapun perumusan masalah yang dimaksud melalui tiga tahapan yaitu :

1. Identifikasi Msalah a. Wilayah Penelitian

Wilayah penelitian ini termasuk kedalam Hukum Acara karenameliputi pengaturan tentang bentuk dan proses perkara, yaitu tentang pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian, upaya damai, biaya perkara, putusan hakim.

b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatanlibraryresearch(pustaka) dengan metode kualitatif yaitumetode pengumpulan buku-buku tentang saksi istifāḍahserta menurut buku-buku fiqihdan akan diolah untuk menghasilkan bentuk pemaparan deskriptif bukan berupa angka-angka.

(10)

10 c. Jenis Masalah

Jenis masalah dalam penelitian ini tentang kedudukan saksi istifāḍahdalam perkara wakaf menurut hukum positif dan hukum Islam.

2. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan dalam skripsi ini tidak melebar pembahasannya, maka penulis membatasinya pada masalah kedudukan pembuktian dengan alat bukti saksi istifāḍahdalam perkara wakaf menurut hukum positif dan hukum Islam.

3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, dalam usaha menghindari ketidak jelasan serta agar lebih fokus pada pokok masalah yang dikaji, maka dibuatlah beberapa pertanyaan diantaranya:

a. Bagaimana konsep pembuktian dengan saksi istifāḍah dalam hukum positif dan hukum Islam?

b. Bagaimana nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada saksi istifāḍahdalam perkara wakaf?

c. Bagaimana konsekwensi penerimaan saksi istifāḍah dalam perkara wakaf ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai melalui masalah dalam penulisan ini sebagai berikut :

1. untuk mengetahui bagaimana konsep pembuktian dengan saksi istifāḍahdalam hukum acara positif dan hukum Islam.

(11)

11

2. untuk mengetahui bagaimana nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada saksi istifadhah dalam perkara wakaf.

3. Untuk mengetahui bagaimana konsekwensi penerimaan saksi istifāḍah dalam perkara wakaf.

D. Kajian Pustaka

Bertitik tolak dari permasalahan di atas, pada dasarnya penelitian tentang Kedudukan Saksi Istifāḍah dalam Perkara Wakaf (Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam), belum pernah ditemukan dan dilakukan, akan tetapi peneliti hanya menemukan berupa sumber tertulis, yaitu buku dan bentuk karya-karya ilmiah lainnya, tentunya terkait dengan permasalahan yang akan dibahas diantaranya ialah:

Kitab “Al-Thuruq al-Khukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah” karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Buku ini memberikan penjelasan mengenai konsep kesaksian dalam hukum Islam, diantaranya adalah masalah penempatan saksi berdasar atas berita yang sudah tersebar (khabar istifāḍah), dengan menguraikan kekuatan hukumnya.

Buku karya M. Yahya Harahap dengan judul “Hukum Acara Perdata” , yang membahas segala hal dalam hukum acara perdata serta landasan hukumnya, mulai dari gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, hingga putusan pengadilan. Pembahasan testimonium de auditu di dalam buku ini masuk dalam bab pembuktian, mencakup pengertian serta variabel penerapannya yang selama ini telah berjalan.

(12)

12

“Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif”

karya Anshoruddin, dalam buku ini sedikit banyak menjelaskan mengenai hukum acara dari dua segi sistem hukum yaitu sistem hukum positif dan hukum Islam, termasuk diantaranya adalah mengenai kesaksian.

Adapun naskah atau tulisan sebelumnya dalam bentuk skripsi adalah : 1. “Studi Komparatif Pembuktian Menurut Hukum Acara Positif Dan Hukum

Acara Islam (Tinjauan Khusus Dalam Kesaksian)” karya Agus Alamsyah, NIM. 50230008, Fakultas Syari‟ah, jurusan al-ahwal al-syakhsiyah, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tahun 2006. Skripsi ini hanya menjelaskan konsep pembuktian dengan saksi menurut hukum acara perdata positif dan hukum acara Islam, tentang persamaan dan perbedaan antara keduanya, agar dapat diketahui titik temunya.

2. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekuatan Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam Hukum Acara Perdata” Karya Fatwa Khidati Zulfahmi, NIM.032111061, fakultas syari‟ah, IAIN Walisongo Semarang, tahun 2010. Tulisan ini membahas secara literer, mengenai testimonium de auditu ditinjau menurut hukum Islam, juga tentang kekuatan kesaksian testimonium de auditu ditinjau dari hukum islam.

3. “Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi Al-Bantani Tentang Saksi Buta Berdasarkan Khabar Istifāḍah ” karya Mohammad Farid, NIM.2103092, fakultas syari‟ah, IAIN Walisongo Semarang, tahun 2007. Pokok pembahasan skripsi tersebut mengenai pendapat Imam Nawawi serta metode istinbat hukumnya tentang saksi istifāḍah.

(13)

13

Sedangkan dalam skripsi penulis yang berjudul “Kedudukan Saksi IstifāḍahDalam Perkara wakaf (Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam), akan memfokuskan pada pokok pembahasan kedudukan saksi istifāḍah dalam perkara perdata khususnya pada bidang wakaf, serta tentang konsekwensi penerimaan dan nilai kekuatan yang melekat pada saski istifāḍah dalam perkara wakaf, menurut hukum acara positif dan hukum acara Islam. Karena penulis mempunyai keyakinan, bahwa skrisi penulis belum pernah ada yang membahas, dengan demikian diharapkan akan sedikit memberikan kontribusi bagi perosalan pembuktian kesaksian dalam peradilan.

E. Kerangka Pemikiran

Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi orang-orang yang mencari keadilan khusus yang beragama Islam.23 Sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan pasal 49 ayat 1 Undang-undang No 7 Tahun 1989 yang diamandemen dalam UU No.3 Tahun 2006 Jo. UU No 50 Tahun 2009 bahwa Pengadilan Agama berfungsi mencari, menafsirkan, menentukan serta menerapkan hukum atas perkara-perkara dalam lingkup kewenangannya pada pasal 49 berbunyi:

“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

a. Perkawinan;

b. Waris;

c. Wasiat;

d. Hibah;

23Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum da keadilan.

(14)

14 e. Wakaf;

f. Zakat;

g. Infaq;

h. Shadaqah; dan i. Ekonomi syariah;”

Dalam UU tersebut pada pasal 54 berbunyi :

“Hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.24

Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstatir,mengkualifisir, dan kemudian mengkonstituir. Mengkonstatir artinya hakimharus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh parapihak itu adalah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat dilakukan melaluipembuktian.25

Pembuktian merupakan salah satu rangkain dari proses litigasi, dalam hal melakukan membuktikan kebenaran dalil, dengan cara yaitu menggunakan alat bukti yang telah diatur ketentuannya, dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 24 R.Bg dan Pasal 1866 KUH Perdata adalah : a.

Alat bukti tulis b. alat bukti saksi c. alat bukti persangkaan d. pengakuan dan e.

sumpah.

Dalam hukum Islam terdapat banyak ayat al-Qur‟an sebagai landasan tentang pembuktian, ada berbagai alat bukti yang dapat diajukan dalam

24Yang diatur secara khusus dalam undang-undang Peradilan Agama, disebutkan dalam bagian kedua yaitu pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan dengan: 1. Cerai talak yang datang dari pihak suami 2. Cerai gugat yang datang baik dari pihak suami maupun pihak istri. 3.

Cerai dengan alasan zina

25Abdul Manan, Hukum Acara, hal 227

(15)

15

persidangan dipengadilan berdasarkan hukum Islam, alat bukti tersebut antara lain sebagai berikut:26

1. Ikrar (Pengakuan) 2. Syahādah (Saksi) 3. Yamin (Sumpah)

4. Maktubah (bukti tertulis)

5. Tabbayyun (pemeriksaan koneksitas)

Alat bukti saksi adalah alat bukti yang sah diatur dalam Undang-undang hukum acara perdata juga dalam hukum acara perdata Islam. maka dapat digunakan dalam proses pembuktian, namun alat bukti saksi yang dapat dinilai kesaksiannya oleh hakim ialah jika sudah memenuhi syarat formil dan syarat materil, tetapi juga tidak semua alat bukti yang sah menurut hukum mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk membuktikan suatu peristiwa, karena nilai kekuatan antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lainnya itu berbeda.

Dalam hukum acara perdata untuk menjadi seorang saksi adalah harus memenuhi syarat formil dan materil, yang menjadi syarat formil27, diantaranya yaitu adalah:

a. Tidak ada hubungan apapun dengan salah satu pihak meskipun sudah bercerai.

b. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah.

c. Menghadap persidangan.

26Gemala Dewi,Hukum Acara,hlm 138

27Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta Sinar Grafika, 2010, hal 357.selanjutnya ditulis Ropaun, Hukum Acara Perdata Lengkap

(16)

16

d. Mengucapkan sumpah menurut agamanya.

e. Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk suatu peristiwa.

f. Memberi keterangan secara lisan.

Syarat materil saksi sebagai alat bukti adalah berdasarkan pada Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUH Perdata. menerangkan apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri, diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya, bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri, saling bersesuaian satu sama lain, tidak bertentangan dengan akal sehat.

Adapun terdapat istilah testimonium de auditu adalah keterangan karena mendengarkan dari orang lain yang disebut juga kesaksian tidak langsung.

Menurut Sudikno Mertokusumo adalah keterangan seorang saksi yang diperolehnya dari pihak ketiga. Di persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga dan memberikan keterangan yang diperolehnya dari pihak ketiga tersebut, akan tetapi testimonium bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir.28

Dalam khazanah peradilan Islam terdapat istilah syahādah alistifāḍah.29Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah khabar istifāḍah adalah berita yang mencapai derajat antara mutawatir dan ahad (berita dari orang perorang) yaitu berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan manusia, maka hakim dibolehkan berpegang padanya, hal ini

28Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata, hlm. 162

29Syahadah al istifadhah adalah suatu kesaksian berdasarkan pengetahuan yang bersumber padaberita yang sudah demikian luas tersiar. Lihat Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, MandarMaju, Bandung, 2008, hal. 390.Abdul Manaf, Refleksi

(17)

17

disepakati oleh ulama juga, saksi istifāḍah dapat disandarkan kesaksiannya dalam hal perkara perdata.30

Adapun penerapan kesaksianistifāḍahdalam sengketa wakaf di lingkungan Peradilan Agama bukan hanya bernilai sebagai alat bukti yang dikontruksi sebagai persangkaan (vermoeden), atau sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal alat bukti unus testis nullus testis yang diberikan seorang skasi, akan tetapi lebih tinggi dari itu yaitu sebagai alat bukti yang bernilai memenuhi syarat formil dan materil kesaksian.31

Apabila saksiistifāḍah ini ditolak dan tidak diperbolehkan, padahal peristiwa atau kejadian itu telah berlalu sekian tahun yang lalu, dan kebanyakan masyarakat mengetahui peristiwa tersebut sehingga menimbulkan kesulitan dalam istifāḍahini dapat diterima, maka akan menimbulkan keraguan karena dalam pembuktian, keterangan dari pendengaran tidak mempunyai nilai pembuktian sama sekali. Padahal pendengaran itu mempunyai kemungkinan salah dalam menilai suatu peristiwa yang telah terjadi.

Maka hakim bebas menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya, dan tidak terikat dengan keterangan saksi karena dapat juga menyingkirkan keterangan saksi asal dengan pertimbangan dan argumentasi yang kuat, dan bahkan hakim dapat menerima keterangan saksi yang kualitasnya istifāḍah atau dalam hukum acara perdata disebut testimonium de auditu, asal ada dasar eksepsional untuk menerimanya, dalam berbagai bentuk penerapannya dalam pemeriksaan perkara pada proses pembuktian.

30Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Hukum Acara Peradilan Islam, hlm 344

31Abdul Manaf, Refleksi, hlm 395.

(18)

18

Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung R.I di Makasar, memutuskan diantaranya bahwa Pengadilan Agama berwenang menerima, memeriksa dan mengadili perkara isbat wakaf, hasil keputusan tersebut juga menyebutkan bahwa persangkaan hakim dan syahādah istifāḍahdalam sengketa wakaf mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat.32

Makhkamah Agung telah memberikan dasar pijakan penerimaan saksi testimoniu de auditu atau istifāḍah dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.33 Sebagai upaya terciptanya standar hukum, penyatuan rujukan hukum, dan penyatuan putusan hakim, maka menjadi buku wajib untuk rechtelijke abtenaar.34

F. Metode Penelitian.

Metode Penelitian merupakan tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan35. Dalam hal ini peneliti akan menguraikan berbagai hal yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan:

1. Jenis Penelitian

penelitian ini termasuk library research atau penelititian pustakaialah dengan memanfatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian.36

32Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung R.I di Makassar Bidang Perdata Agama, dalam Website: http://badilag.net/

33Abdul Manaf, Refleksi, hlm 395.

34Mahkamah Agung RI, Buku II Edisi Revisi, hal. 129.

35M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet. ke-1, 2002, hlm. 21. Selanjutnya ditulis Iqbal hasan, Pokok-pokok Metodologi

36Nico Ngani, Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, Cet I, 2012, hlm 178. Selanjutnya ditulis Ngani, Metodologi Penelitian

(19)

19 2. Sumber Data

Penulis membagi sumber data menjadi dua yaitu sumber data primer atau sumber data sekunder. Sebagai data dalam penelitian ini adalah buku-buku yang membahas tentang hukum acara, yaitu “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama” karya Dr. Drs. H.

Abdul Manan, SH., S.IP., “Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama” karya Drs. H.A. Mukti Arto, SH., “Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia” karya Cik Hasan Bisri, “Hukum Acara Peradilan Islam” karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. “Hukum Pembuktian”

karya R. Subekti, dan “Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif” karya Drs. H. Anshoruddin, SH, MA. Sebagai sumber primer, serta buku-buku lainnya yan berkaitan dengan pembahasan ini sebagai sumber sekunder.

3. Teknik Pengumpulan Data

Studi dokumentasi, yaitu dilakukan dengan mengumpulkan data, dengan penelitian pada sejumlah literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan.37

4. Analisa Data.

Peneliti menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu metode pemecahan masalah dengan mengumpulkan data yang tertuju pada

37Ngani, Metodologi Penelitian, hlm 180.

(20)

20

masalah sekarang, dengan langkah sebagai berikut: dijelaskan, dianalisis dan diinterpretasikan dan kemudian disimpulkan.38

G. Sistematika Penulisan.

Sistematika penulisan skripsi diantaranya sebagai berikut :

BAB I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II konsep dasar wakaf yang mencakup pengertian dan dasar hukum wakaf, syarat dan rukun wakaf, unsur dan macam-macam wakaf, tata cara pelaksanaan dan kepemilikan wakaf, manfaat wakaf, sengketa wakaf.

BAB III tinjauan umum tentang saksiistifāḍah dalam hukum positif dan hukum Islam yaitu mencakup definisi saksi, dasar hukum saksi, syarat saksi, kewajiban seorang saksi, pengertian saksi istifadhah, kekuatan kesaksian.

BAB IV analisa terhadap keberadaan saksi istifāḍahdalam perkara wakaf menurut hukum positif dan hukum Islam,tentang akurasi saksi istifāḍah.

Konsekwensi penerimaan saksi istifāḍah.

BAB V kesimpulan yaitu intisari dari hasil penelitian. Saran-saran.

DAFTAR PUSTAKA

38Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Jakarta:Kencana, Cet 4, 2010 , hlm 78.

Selanjutnya ditulis Bungin, Penelitian Kualitatif.

(21)

21

Referensi

Dokumen terkait

Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, maka penelitian ini difokuskan pada faktor atau variabel yang mempengaruhi PMDN dengan judul “ Faktor – Faktor Yang

Faktor pendorong migrasi umumnya adalah harapan akan upah yang lebih tinggi (Todaro 1976). Migrasi merupakan solusi yang banyak dipilih dalam mengatasi keterpurukan

Proses pembatasan dilakukan dengan cara meneruskan traffic ketika CIR belum dilampaui, dan jika telah melampaui traffic akan di queue dalam perangkat tersebut dan akan

Persentase penguasaan atau ketuntasan siswa terhadap materi pembelajaran yang telah diajarkan sebesar 60% pada siklus I dan 85% pada siklus II untuk mata

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH EFEKTIVITAS KERJA

Further test results on dry matter digestibility and organic matter showed that organic mineral supplementation of Ca, P and S 1.5 times from the recommended [9]

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengendalian intern persediaan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan belum sepenuhnya memenuhi unsur-unsur pengendalian intern menurut

Pola Aktivitas Pengguna Utama KB-TK Islam Terpadu Al-Azhar 121 Bagan 15. Pola Aktivitas Pengelola KB-TK Islam Terpadu