• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERALIHAN HAK ATAS TANAH PETANI MELALUI PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN TANAH JURNAL. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERALIHAN HAK ATAS TANAH PETANI MELALUI PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN TANAH JURNAL. Oleh"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

Oleh

MESTIKA DEWI SARI SAGALA 167011097/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PERALIHAN HAK ATAS TANAH PETANI MELALUI PROGRAM FOOD ESTATE DIKAITKAN DENGAN BATAS

MAKSIMUM KEPEMILIKAN TANAH

MESTIKA DEWI SARI SAGALA

Abstract

Food Estate program is a government program to realize the national food security, based on the legal background, PP (Government Regulation) No. 18/2010 on Crop Cultivation. This program needs a wide agricultural land area. The research used juridical normative method which analyzed. The nature of the research was descriptive analytic The result of the research shows that the regulation on land acquisition of farmers’ land rights for implementing Food Security program, related to the maximum boundary of individual or legal entity land area based on Law No. 56 Prp 1960 on Regulation on Agricultural Land Area, is contrary to PP No. 18/2010. The implementation of the program in Bulungan Regency, East Kalimatan Province and in Merauke Regency is also contrary to PP No. 18/2010 concerning maximum boundary of land area which is allowed to be controlled by investors. Legal protection for land owners in the implementation of the program related to the Indonesian positive law is that land owners must not be treated arbitrarily, and the land transfer has to be carried out based on the agreement on the market price between farmers as the land owners and investors.

Keywords: Food Estate, Land Transfer, Maximum Boundary of Land Area

I. Pendahuluan

Tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia di masyarakat. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari benda tidak bergerak berupa tanah tersebut, karena tanah merupakan sumber kehidupan manusia, sebagai tempat mendirikan rumah tempat tinggal, tempat usaha atau tempat bertani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu setiap manusia berkeinginan untuk menguasai/memiliki tanah sebagai sarana pendukung untuk melanjutkan kehidupannya dan juga untuk memenuhi kebutuhannya.

Karena fungsi tanah yang sangat penting dalam kehidupan manusia di masyarakat, maka setiap orang akan berusaha untuk mengurus dokumen hak atas tanah yang diduduki/dikuasainya agar dapat menimbulkan suatu kepastian hukum atas tanah yang diduduki/dikuasainya tersebut. Pada prinsipnya pada setiap hak atas tanah yang dimiliki oleh individu terkandung fungsi sosial hak atas tanah, dimana apabila kepentingan umum menghendaki maka hak atas tanah yang dimiliki individu dapat diambil alih oleh negara melalui suatu prosedur hukum

(3)

ganti rugi yang pada dasarnya menguntungkan kedua belah pihak baik pemilik tanah maupun instansi pemerintah yang membutuhkan tanah tersebut.1

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD) bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan tanah merupakan salah satu kekayaan alam yang wajib dilindungi.2

Sebagai negara hukum yang bersifat agraris maka semua tanah yang ada diwilayah negara kesatuan Negara Republik Indonesia pada hakekatnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi kepentingan masyarakat luas yang sebesar- besarnya agar tercipta suatu masyarakat yang adil, sejahtera dan makmur sebagai tujuan negara menguasai tanah tersebut.3

UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga timbul keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi yang memiliki tanah. Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.

Oleh karena itu meskipun setiap hak atas tanah yang dimiliki oleh individu memiliki fungsi sosial, tetapi di dalam prosedur pengambilalihan hak atas tanah tersebut tidak boleh dilakukan oleh pemerintah secara sewenang-wenang.

Pengambil alihan hak atas tanah yang dimiliki oleh individu harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku dan dilakukan dengan tidak merugikan para pemilik tanah tersebut, bahkan para pemilik tanah harus diuntungkan, dan kondisi ekonominya harus lebih baik dari sebelum hak atas tanah yang dimiliki oleh individu tersebut diambil alih oleh negara untuk kepentingan umum. Apabila dalam pelaksanaan pengambilalihan hak atas tanah yang dimiliki oleh individu, negara bertindak sewenang-wenang dan cenderung merugikan pemilik tanah

1Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm.46

2 A. P Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung : Alumni, 1990), hlm.25.

3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2007), hlm.19.

(4)

maka negara telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat digugat oleh para pemilik hak atas tanah tersebut.

Pengertian fungsi sosial hak atas tanah maksudnya adalah bahwa apabila kepentingan umum membutuhkan/menghendaki hak atas tanah tersebut, maka hak kepemilikannya dapat dicabut oleh negara melalui suatu prosedur ganti rugi yang wajar. Hal ini sesuai ketentuan yang termuat dalam Pasal 6 UUPA yang menyebutkan, “Semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial”.

Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :

1. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

2. Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.

3. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga

(5)

menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.4

Fungsi sosial juga mengandung pengertian bahwa setiap hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau perseorangan, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hak atas tanah tersebut perlu dibatasi dengan fungsi sosial dalam rangka mencegah penggunaan hak milik yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya.

Penguasaan bumi, air, permukaan di atas bumi dan kekayaan alam yang terkandung di bawah bumi oleh negara untuk dipergunakan bagi kepentingan masyarakat yang sebesar-besarnya memiliki maksud dan tujuan antara lain sebagai berikut :

1. Fungsi sosial hak milik bertujuan untuk mencapai kesejahteraan diri sendiri dan kesejahteraan bersama. Harus terpelihara kelestariannya, setiap perbuatan merusak barang atau benda yang berfungsi sosial adalah perbuatan tercela (amoral) yang harus diberi sanksi (Pasal 15 jo. Pasal 52 UUPA).

2. Perwujudan fungsi sosial, bahwa untuk sementara dalam kaitannya dengan kepentingan umum, hendaknya dijaga agar kepentingan diri mereka yang ekonominya lemah mendapat perlindungan secara wajar.5

Berpedoman pada tujuan hak menguasai Negara demi kemakmuran rakyat, maka Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bagunan atau hak pakai. Segala sesuatu yang akan diselenggarakan untuk kepentingan rakyat menurut keperluannya tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.6

Indonesia merupakan Negara agraris, maka pemerintah sepatutnya membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa

4 Rasmanto Gunawan, Fungsi Sosial Hak atas Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2014), hlm. 25

5 Denny Wira Atmadi, Pengertian Kepentingan Umum Dalam Pengambilalihan Hak Atas Tanah oleh Negara, (Jakarta : Media, Ilmu, 2013), hlm.39

6 Syafruddin Kalo, Kapital Selekta Hukum Tanah, (Fakultas Hukum USU : Medan, 2004) hlm.35

(6)

ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Selanjutnya Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat wajib mewujudkan ketehanan pangan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pagan dan Gizi (selanjutnya disebut PP Ketahanan Pangan dan Gizi), Peraturan Pemerintah Tersebut mengatur mengenai ketersediaan, cadangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran Pemerintah Pusat, Daerah dam Masyarakat serta pengembangan sumber daya manusia dan kerjasama Internasional. Hingga saat ini ketehanan pangan belum dapat terwujud dan krisis pangan masih terjadi di Indonesia.7

Kebutuhan pangan di Indonesia selalu fluktuatif setiap tahunnya, khususnya komoditas pangan utama seperti beras. Kondisi ini dipengaruhi banyak faktor antara lain perubahan iklim (banjir, musim tanam berubah, kekeringan), alih fungsi lahan, serangan hama penyakit, ketersediaan sarana produksi khususnya benih varietas unggul dan pupuk. Berdasarkan alasan tersebut maka pemerintah Kalimantan Timur dengan program Kalimantan Timur Bangkit 2013 melakukan revitalisasi pertanian dalam arti luas untuk memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengembangan budidaya pangan skala luas (Food estate ) yang merupakan bagian dari amanat Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi dan Inpres nomor 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembagunan Nasional Tahun 2010.8 Kemudian dilanjutkan oleh Peraturan Pemerintah nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman (selanjutnya disebut PP Usaha Budidaya Tanaman). PP ini mengatur mengenai budidaya tanaman, perizinan

7 Ibid, hlm.4

8 Bank Indonesia, Kajian Ekonomi Regional (KER) Kalimantan Timur (Kaltim) Periode Triwulan II-2012, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Timur , 2012, hlm.22.

(7)

usaha budidaya tanaman dan pembinaan dan peran masyarakat dalam usaha budidaya tanaman.9

Food estate (selanjutnya disebut FE) adalah istilah popular dari kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas ( > 25 Ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai system industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, serta organisasi dan manajemen modern. Selanjutnya konsep FE didasarkan pada keterpaduan sektor dan sub sektor dalam suatu system agribisnis, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kuat.

FE diarahkan pada sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan berbasis pemberdayaan masyarakat adat lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah.10

Pengaturan hukum tentang batas minimal dan maksimal luas tanah yang dapat dipunyai dengan suatu hak atas tanah oleh satu keluarga atau badan hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA, selanjutnya akan diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan tersendiri. Tanah yang melampaui batas maksimum tidak akan disita, namun akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.

Pada prinsipnya ganti kerugian hak atas tanah tersebut dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu, namun karena umumnya yang memperoleh pembagian tanah tersebut berasal dan golongan yang tidak mampu, maka pembayaran ganti rugi hak atas tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah yang kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat yang membutuhkannya.11

Pengaturan luas maksimum tanah pertanian telah ditentukan dalam UU No. 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Daerah-daerah yang tidak padat (kepadatan penduduk sampai 50 tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 15 hektar untuk sawah atau 20 hektar untuk tanah kering.

9 Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah (Suatu Kumpulan Karangan), (Jakarta: FH UI, 2002), hlm.96.

10 Tim Pengembangan Food estate, Buku Pintar Food estate, (Jakarta : Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2011), hlm.2.

11 Novita Bimarianti, Pengaturan Hukum tentang Lahan Pertanahan untuk Pertanian, (Jakarta :Pradnya Paramitha, 2012), hlm.35

(8)

2. Daerah-daerah yang kurang padat (kepadatan penduduk 51 sampai 250 tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 10 hektar untuk sawah atau 12 hektar untuk tanah kering.

3. Daerah-daerah yang cukup padat (kepadatan penduduk 251 sampal 400 tiap kilometer persegi), luas maksimum penguasaan tanah pertanian adalah 7,5 hektar untuk sawah atau 9 hektar untuk tanah kering. 12

Pasal 28 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa, “Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan”.

Selanjutnya ketentuan Pasal 28 ayat (2) UUPA mengatur tentang batas maksimum luas tanah hak guna usaha yang dapat diberikan kepada perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan yaitu paling sedikit luasnya 5 ha dengan ketentuan jika luasnya 25 ha atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dari tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Pasal 29 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa, “Hak guna usaha diberikan waktu untuk paling lama 25 tahun”. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUPA menyebutkan bahwa, “Untuk perusahaan memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun”. Selanjutnya Pasal 29 ayat (3) UUPA menyebutkan bahwa, “Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaan, jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun”.

Dari ketentuan Pasal 29 UUPA tersebut maka dapat dikatakan bahwa hak guna usaha untuk usaha pertanian perikanan dan peternakan total jangka waktu hak guna usaha yang dapat diberikan adalah 60 (enam puluh) tahun. Pihak yang dapat mempunyai hak guna usaha atas tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia adalah :

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

12 Rismawan Harianto, Ketentuan tentang Batas Maksimum dan Minimum Penguasaan Lahan Pertanahan oleh Perorangan dan Badan Hukum, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.79

(9)

c. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh hak guna usaha, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.

d. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu satu tahun tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah.

e. Hak guna usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA

Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah, dalam hal ini adalah PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”.

Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran hak guna usaha untuk kepentingan perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan meliputi : pengukuran, perpetaan, pembukuan tanah, pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut dan pemberian surat tanda bukti hak guna usaha yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat atas hak guna usaha tersebut.13

Perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang pengambilalihan hak atas tanah dari masyarakat petani guna pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan batas maksimum kepemilikan tanah?

2. Bagaimana peralihan hak atas tanah untuk kebutuhan program food estate terhadap perusahaan pertanian (investor) dalam program budidaya tanaman di

13 Dina Safriani, Pendaftaran Hak Atas Tanah Menurut PP No. 24 Tahun 1997, (Jakarta : Rajawali Press, 2013), hlm.15

(10)

atas lahan dengan skala besar dikaitkan dengan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap petani pemilik hak atas tanah dalam pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan hukum pertanahan di Indonesia?

Sesuai dengan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini ialah :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang pengambilalihan hak atas tanah dari masyarakat petani guna pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan batas maksimum kepemilikan tanah

2. Untuk mengetahui peralihan hak atas tanah untuk kebutuhan program food estate terhadap perusahaan pertanian (investor) dalam program budidaya tanaman di atas lahan dengan skala besar dikaitkan dengan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap petani pemilik hak atas tanah dalam pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan hukum pertanahan di Indonesia

II. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat adalah deskriptif analitis. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pertanahan pada umummya dan hukum penguasaan fisikatas tanah pada khususnya. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah Undang-Undang Dasar 1945, UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan jangka Panjang Nasional, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan

(11)

Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah tentang hukum pertanahan.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan lain sebagainya

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan : metode penelitian kepustakaan (library research). Untuk lebih mengembangkan data penelitian ini, dilakukan analisis secara langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman analisis yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

III. Hasil dan Pembahasan

Program food estate merupakan suatu program pemerintah yang menggunakan cara percepatan dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional bagi seluruh rakyat dengan dasar hukum PP No.18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, dengan mengandalkan para pengusaha-pengusaha besar (investor) di bidang pertanian, namun tidak melibatkan cara langsung masyarakat petani yang memiliki kompetensi yang cukup besar apabila dibudidayaakan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Oleh karena itu program food estate yang dijalankan oleh pemerintah tersebut pada prinsipnya tidak menyentuh secara langsung pemberdayaan masyarakat petani secara luas karena hanya melibatkan investor-investor besar yang menanamkan modalnya di bidang usaha budidaya tanaman atau di bidang pertanian. 14

Program food estate menjadikan karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant-based agriculture (pertanian berbasis-desa) dan family-based agriculture (pertanian berbasis-keluarga) menjadi corporate-based food (perusahaan berbasis pangan) dan agriculture productio (produksi pertanian). Hal ini merupakan suatu trobosan yang dilakukan pemerintah untuk

14 Achmad Suryana, Ketahanan Pangan Dan Keamanan Energi Untuk Kebangkitan Indonesia, (Bogor : Ikatan Cendekiawan Muslim SeIndonesia, 2008), hlm.21

(12)

meningkatkan produksi pangan nasional, namun cara pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan nasional justru membuat akses masyarakat petani atas kepemilikan tanah untuk dijadikan lahan pertanian menjadi lebih kecil sehingga masyarakat petani tidak mempunyai kesempatan melakukan produksi sendiri di bidang pertanian. 15

Pelaksanaan food estate untuk ketahanan pangan yang membutuhkan lahan pertanahan dalam skala luas, peralihan hak atas tanahnya dari masyarakat petani kepada pemerintah atau investor yang melaksanakan program ketahanan pangan nasional berupa food estate tersebut harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pertanahan, khususnya dalam bidang pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana termuat dalam Perpres No. 71 Tahun 2012, sebagaimana telah mengalami perubahan srbanyak empat kali dan terakhir dengan perpres No. 148 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.16

Namun demikian pengalihan hak atas tanah dalam rangka dari pemiliki tanah kepada para investor dalam rangka melaksanakan program food estate harus sesuai dengan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang perubahan sebanyak empat kali atas Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Di dalam Pasal 1 ayat (6) Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disebutkan bahwa, “Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (9) Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disebutkan bahwa,

“Pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang

15 Bustanul Arifin, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, (Jakarta : Kompas,2004), hlm.32

16Bustanul Arifin, Ibid, hal.36

(13)

berhak kepada negara melalui kementerian”, sedangkan yang dimaksud dengan ganti rugi adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah (Pasal 1 ayat (10)).

Pada dasarnya para investor yang membutuhkan lahan pertanahan dalam pelaksanaan program food estate tersebut melakukan musyawarah mufakat terhadap masyarakat pemilik tanah tempat dimana program food estate akan dilaksanakan dalam menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi atas pengambil alihan tanah dari masyarakat pemilik tanah tersebut.17 Hal ini sesuai dengan Pasal 68 Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang menyebutkan bahwa

1. Pelaksana Pengadaan Tanah melaksanakan musyawarah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai diterima oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah 2. Pelaksana musyawarah dilaksanakan dengan mengikutsertakan instansi

yang memerlukan tanah

3. Musyawarah dilakukan secara langsung untuk menetapkan bentuk ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian

4. Dalam musyawarah pelaksanaan pengadaan tanah menyampaikan besarnya ganti kerugian hasil penilaian ganti kerugian

Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam hal bentuk besarnya ganti rugi maka musyawarah dapat dilaksanakan lebih dari satu kali oleh pihak yang membutuhkan lahan pertanahan tersebut. Apabila kedua belah pihak dalam musyawarah mufakat untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi telah mencapai kata sepakat maka kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam berita acara kesepakatan yang memuat antara lain adalah18 :

a. Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya, yang setuju beserta bentuk dan besarnya ganti kerugian yang disepakati

a. Pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya, yang tidak setuju b. Pihak yang berhak yang tidak hadir dan tidak memberikan kuasa

Apabila tidak terjadi kesepakatan dalam hal bentuk besarnya ganti rugi pihak yang berhak atas tanah dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri tempat dimana tanah tersebut berada dalam waktu paling lama 14 (empat

17 Achmad Suryana, Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, (Yogyakarta : BPFE, 2003), hlm.32

18 Ibid, hlm.33

(14)

belas) hari kerja setelah ditanda tangani berita acara hasil musyawarah tersebut.

Selanjutnya pengadilan negeri memutuskan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan oleh pihak pemilik tanah yang berhak. Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 73 Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Pemberian ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk uang tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Bentuk ganti kerugian sebagaimana tersebut di atas dapat berdiri sendiri maupun digabungkan menjadi satu bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik tanah yang berhak sesuai dengan nilai ganti kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh penilai. di dalam musyawarah mufakat dalam hal pelepasan hak atas tanah maka diutamakan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang. Apabila terjadi penitipan ganti kerugian, instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penitipan ganti kerugian kepada ketua pengadilan negeri pada wilayah lokasi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut. Penitipan ganti kerugian diserahkan kepada pengadilan negeri pada wilayah lokasi pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dalam hal 19:

a. Pihak yang berhak menolak untuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah dan tidak mengajukan keberatan ke pengadilan.

b. Pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan putusan pengadilan negeri / Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

c. Pihak yang berhak tidak diketahui keberadaannya

d. Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian : 1. Sedang menjadi objek perkara di pengadilan

19 Nurhasan Ismail, Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2007), hlm.75

(15)

2. Masih dipersengketakan kepemilikannya 3. Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang 4. Menjadi jaminan di bank

Bentuk ganti rugi yang dititipkan di pengadilan negeri adalah bentuk mata uang rupiah dan dibuat dalam berita acara penitipan ganti kerugian. Apabila pihak pemilik tanah yang berhak menolak dan atau besarnya ganti kerugian yang tidak mengajukan keberatan atas penetapan ganti kerugian tersebut, ganti kerugian dapat diambil dalam waktu yang dikehendaki oleh pihak pemilik tanah yang berhak dengan surat pengantar dari ketua pelaksana pengadaan tanah (Pasal 87).

Apabila pihak yang berhak menolak bentuk dan atau besarnya ganti kerugian berdasarkan putusan pengadilan negeri / mahkamah agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka ganti kerugian dapat diambil oleh pihak yang berhak setiap saat apabila pihak yang berhak tersebut menghendakinya dengan membawa surat pengantar dari ketua pelaksana pengadaan tanah. 20

Program food estate dalam pelaksanaannya membutuhkan lahan yang cukup luas harus melakukan peralihan hak atas tanah dari para pemilik tanah dengan cara ganti rugi. Peralihan hak atas tanah dari para pemilik tanah yang umumnya adalah petani di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur tersebut dilakukan oleh para investor dengan melakukan pendekatan kepada para pemilik tanah yang ada di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan program food estate dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan tersebut bukan merupakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, tetapi merupakan pengadaan tanah untuk kepentingan para investor dalam upaya memperoleh lahan pertanahan sebagai tempat dilaksanakannya usaha budidaya tanaman dalam skala luas untuk mewujudkan program food estate tersebut. 21

Pelaksanaan peralihan hak atas tanah dari para pemilik tanah kepada para investor dilaksanakan dengan cara negosiasi untuk mencapai kesepakatan harga sehingga dapat dilaksanakan peralihan hak atas tanah dengan ganti rugi apabila telah tercapai kesepakatan antara para pemilik tanah dengan investor yang

20 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta : Kencana, 2011, hlm.2.

21 Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm.1-2

(16)

melaksanakan program food estate tersebut. Apabila tidak tercapai kesepakatan harga antara investor dan para pemilik tanah maka tidak boleh ada pemaksaan berupa penitipan uang ke pengadilan (konsignasi) ataupun dengan melakukan pencabutan hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961.

Apabila investor tidak mencapai kesepakatan harga dengan para pemilik tanah maka investor wajib mencari lahan pertanahan yang lain hingga bisa mencapai kesepakatan harga dengan para pemilik tanah tersebut.22

Meskipun dalam pengambilalihan hak atas tanah dalam pelaksanaan program food estate dari pemilik tanah kepada pemilik tanah yang diwakili kementerian pertanian dapat dipaksanakan pelaksanaan melalui penitipan ganti rugi dalam bentuk uang ke pengadilan negeri tempat dimana tanah tersebut berada, namun pada dasarnya yang paling penting adalah pelaksanaan ganti rugi tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan nilai ganti rugi berdasarkan harga pasar yang berlaku saat terjadinya pelepasan hak atas tanah tersebut dan juga harus memperhatikan nilai- nilai keadilan dalam melakukan pengambilalihan hak atas tanah dari pemilik tanah yang sah tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pemilikan benar-benar dapat merasakan manfaat atas pelepasan hak dari tanah tersebut kepada pemerintah dalam pelaksanaan program food estate. Keadaan ekonomi dari pemilikan harus lebih baik lebih / lebih sejahtera dari sebelumnya, saat terjadinya pelaksanaan ganti rugi hak atas tanah dari pemilik tanah tersebut, sehingga pelaksanaan ganti rugi tersebut benar-benar dapat menguntungkan para pemilik tanah.

Pemerintah harus benar-benar memperhatikan orientasi dan implementasi kebijakan food estate ini agar tidak berdampak negatif pada petani dan dunia pertanian. Dalam hal ini pemerintah seharusnya memastikan bahwa food estate bukalah bersifat substitusi terhadap keberadaan petani. Sehingga food estate sebaiknya tidak boleh didirikan di atas lahan-lahan pertanian rakyat. Dalam persoalan harga produk pemerintah perlu memikirkan kebijakan yang dapat menghindari dari terjadinya persaingan antara petani rakyat dan food estate. Pada kenyataannya dengan pelaksanaan food estate yang saat ini berlangsung di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur maka petani yang pada mulanya

22 Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2014), hlm.10

(17)

memiliki lahan pertanahan, sejak pelaksanaan food estate tanahnya telah beralih haknya kepada para investor dengan cara melakukan ganti rugi, sehingga para petani tersebut tidak lagi memiliki lahan.

Petani menjadi pekerja di lahan pertanian yang semula menjadi miliknya sendiri, yang berada di bawah penguasaan investor dalam pelaksanaan program food estate tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan produktivitas usaha budidaya tanaman yang telah dikuasai sepenuhnya oleh para investor, dimana hasil produksinya tidak sepenuhnya ditujukan oleh mendukung program ketahanan pangan nasional tetapi diperuntukan untuk keuntungan kelompok/golongan tertentu yang menmjadi mitra usaha dari para investor tersebut. Oleh karena itu pencapaian ketahanan pangan melalui program food estate pada saat ini di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur justru menimbulkan permasalahan yang baru yang mengakibatkan para petani tidak lagi memiliki lahan pertanian untuk diusahakan sendiri dalam bidang usaha budidaya tanaman tersebut. Selain itu tingkat perekonomian dan taraf kehidupan petani juga makin rendah dengan tidak lagi menguasai lahan pertanian untuk diusahakan sendiri.

IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan

1. Pengaturan hukum tentang pengambilalihan hak atas tanah dari masyarakat petani guna pelaksanaan program food estate dikaitkan dengan batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki oleh perorangan maupun badan hukum berdasarkan Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah bertentangan dengan PP No. 18 Tahun 2010 dan pelaksanaan program food estate di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Merauke juga bertentangan dengan PP No. 18 Tahun 2010 dalam hal batas maksimum luas tanah yang boleh dikuasai untuk usaha budidaya tanaman oleh investor yaitu maksimal 10.000 hektar bagi daerah yang kepada kepadatannya penduduknya dinilai masih kurang padat, dan 20.000 hektar bagi wilayah Papua. Sedangkan pada kenyataannya penguasaan lahan pertanahan untuk usaha budidaya pertanahan oleh investor mencapai

(18)

32.726 hektar di Kabupaten Bulungan Kalimantan sampai dengan 1.000.000 yang ada di wilayah Papua.

2. Pelaksanaan peralihan hak atas tanah untuk kebutuhan program food estate dalam rangka ketahanan pangan berdasarkan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman dikaitkan dengan UUPA adalah pihak perusahaan (investor) yang membutuhkan lahan pertanahan untuk kepentingan program food estate wajib melakukan pendekatan dengan jalan musyawarah mufakat kepada para petani pemilik lahan serta melakukan sosialisasi terhadap program food estate tersebut, peralihan hak atas tanah dari masyarakat petani kepada investor dilakukan dengan cara ganti rugi sesuai dengan kesepakatan para pemilik tanah dengan investor. Apabila tidak terjadi kesepakatan harga antara investor dengan petani sebagai pemilik tanah maka investor tidak bisa menggunakan ketentuan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum karena program food estate tidak termasuk kepada bagian dari kepentingan umum.

3. Perlindungan hukum terhadap pemilik hak atas tanah dalam pelaksanaan program food estate melalui usaha budidaya tanaman dikaitkan dengan hukum positif Indonesia adalah bahwa pemilik hak atas tanah tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang, dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah harus dilakukan dengan cara ganti rugi berdasarkan kesepakatan sesuai harga pasar antara petani selaku pemilik tanah dan investor.

B. Saran

1. Hendaknya dalam pelaksanaan program food estate harus sesuai antara pengaturan hukum tentang batas maksimum dari luas tanah yang dapat digunakan untuk usaha pertanian antara Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 dengan PP No.18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman.

Apabila tidak sesuai pelaksanaan usaha budidaya tanaman di wilayah dengan ketentuan hukum yang berlakau sebagai dasar hukum pelaksanaan usaha budidaya tanaman tersebut yang dilakukan oleh investor maka pemerintah

(19)

wajib memberikan sanksi yang tegas berupa penghentian pelaksanaan program usaha budidaya tanaman tersebut.

2. Hendaknya dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah dari petani kepada investor dilakukan dengan cara ganti rugi yang sesuai dengan harga pasar yang berlaku, sehingga dapat menguntungkan para petani pemilik lahan tersebut.

3. Hendaknya dalam pengambilalihan lahan pertanahan untuk kepentingan program food estate oleh investor harus memperhatikan hak dan kepentingan para petani, sehingga hak dan kepentingan para petani menjadi terlindungi khususnya dalam melaksanakan usaha budidaya tanaman di wilayah tempat pelaksanaan program food estate tersebut.

V. Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul, Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta : Kompas, 2004 Atmadi, Denny Wira, Pengertian Kepentingan Umum Dalam Pengambilalihan

Hak Atas Tanah oleh Negara, Jakarta : Media, Ilmu, 2013

Bank Indonesia, Kajian Ekonomi Regional (KER) Kalimantan Timur (Kaltim) Periode Triwulan II-2012, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Timur , 2012.

Bimarianti, Novita, Pengaturan Hukum tentang Lahan Pertanahan untuk Pertanian, Jakarta :Pradnya Paramitha, 2012

Gunawan, Rasmanto, Fungsi Sosial Hak atas Tanah Untuk Kepentingan Umum, Jakarta : Rineka Cipta, 2014

Harianto, Rismawan, Ketentuan tentang Batas Maksimum dan Minimum Penguasaan Lahan Pertanahan oleh Perorangan dan Badan Hukum, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2007

HS, Salim dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2014

Hutagalung. Arie S., Serba Aneka Masalah Tanah (Suatu Kumpulan Karangan), Jakarta: FH UI, 2002

(20)

Ismail, Nurhasan, Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2007

Kalo, Syafruddin, Kapital Selekta Hukum Tanah, Fakultas Hukum USU : Medan, 2004

Parlindungan, A. P, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung : Alumni, 1990

Safriani, Dina, Pendaftaran Hak Atas Tanah Menurut PP No. 24 Tahun 1997, Jakarta : Rajawali Press, 2013

Santoso, Urip, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2011

Suryana, Achmad, Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, Yogyakarta : BPFE, 2003

Suryana, Achmad, Ketahanan Pangan Dan Keamanan Energi Untuk Kebangkitan Indonesia, Bogor : Ikatan Cendekiawan Muslim SeIndonesia, 2008

Tim Pengembangan Food estate, Buku Pintar Food estate, Jakarta : Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2011

Untung. Hendrik Budi, Hukum Investasi, Jakarta : Sinar Grafika, 2010

Yamin, Muhammad, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini diperkuat oleh penelitian Mindo (2008), yang menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara dukungan sosial orang tua dengan prestasi belajar

Untuk membuat matriks biaya, jarak yang dihitung adalah penjumlahan dari jarak rumah setiap sopir dengan TPS yang pertama dikunjungi pada rute optimal dan jarak TPA

Analisis ini mengacu pada Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Umum Kelas A yang diselaraskan dengan Pedoman Teknis Bangunan Fasilitas Rehab Medik dan Peraturan

In The Past Common Parliament Government Operator Input License Service Guidance...

Hasil penelitian Habib (2008) tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saeedi dan Ebrahimi (2010) yang melakukan penelitian terhadap

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 4, diketahui bahwa pemodelan dan peramalan deret waktu debit Sungai Citarum PDA Nanjung yang dilakukan sebelumnya melalui model SARIMA

Dalam pembelajaran fisika dengan mengunakan alat batu pembelajaran Flash CS 4 dirasakan akan lebih efektif dan berhasil dari pada menggunakan metode

Telah diterima oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar