BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Kata kecerdasan emosi sudah ada sejak pada tahun 1950. Gardner (dalam Goleman, 2003) menjelaskan bahwa terdapat delapan kecerdasan pada manusia (dalam hal ini kecerdasan majemuk). Goleman (2003) menyatakan bahwa kecerdasan majemuk yang dikemukakan oleh Gardner merupakan wujud akan pandangan intelektual quotient (IQ).
Salovey (dalam Goleman, 2003), mengartikan kecerdasan pribadi dari Gardner adalah definisi fundamental dari kecerdasan emosional. Kecerdasan yang dimaksud merupakan kecerdasan antar pribadi dan kecerdasan intrapribadi. Kecerdasan emosi bisa memposisikan emosi individu dengan kadar emosi yang tepat, menentukan kepuasan dan mengelola suasana pada seseorang. Dalam mengatur suasana yang ada pada individu ini merupakan inti dari relasi sosial yang baik. Goleman (2003) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan dalam emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki suatu sistem pengelolaan daya tahan ketika berhadapan dengan masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati dan pikiran, memberikan kemampuan berempati dan membina relasi dengan orang lain.
Pengelolaan dari suasana hati merupakan hal yang bersifat penting dalam membangun relasi sosial yang baik. Mayer dan Salovey (1993) mendefinisikan kecerdasan emosi merupakan suatu kecerdasan yang bersifat sosial dan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memperhatikan emosi yang ada pada dirinya maupun seseorang yang lain, dan juga dalam mengelola emosi dirinya sendiri dengan emosi orang lain, yang dimana kemampuan ini dapat mengarahkan pola pikir dan perilakunya. Emosi dapat muncul ketika stimulus juga muncul, hal ini dapat memengaruhi kondisi psikis dan menimbulkan respon dari masing-masing individu. Emosi yang dikontrol dengan baik dan benar dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal. Emosi yang dihasilkan tersebut bila digunakan dengan benar dapat diterapkan sebagai sumber energi yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas ataupun masalah yang memengaruhi orang lain , bahkan menciptakan hal-hal yang baru.
Shapiro (2001) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi merupakan bentuk himpunan suatu fungsi yang ada pada jiwa, yang melibatkan kemampuan memahami tingkat intensitas perasaan atau emosi pada seseorang. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kecerdasan emosi merupakan kemampuan dalam
merasakan dan memahami secara lebih dan efektif terhadap daya sensitifitas emosi dalam kemampuan memotivasi diri sendiri atau orang lain, pengelolaan diri, mampu memahami perasaan orang lain dengan baik, dan mampu mengontrol emosi yang dapat digunakan untuk menentukan pikiran dalam pengalmilan keputusan yang baik.
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Dalam kecerdasan emosi, terdapat aspek-aspek yang didalamnya. Goleman (2003) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik adalah seseorang teersebut mampu memotivasi dirinya sendiri, bertahan dalam menghadapi tekanan, mengelola dorongan hati dan tidak memberikan respon berlebihan dalam kondisi apapun, mengelola suasana pikiran dan menjaga agar stresor tidak melemahkan kemampuan berfikir, serta berempati dan berdoa. Kemudian Goleman (2003) mejelaskan perincian aspek-aspek kecerdasan emosi secara khusus:
a. Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu yang berfungsi untuk memahami perasaan dari waktu ke waktu, mencermati setiap perasaan yang muncul. Apabila seseorang tidak mampu untuk mencermati perasaannya, hal tersebut menandakan bahwa orang tersebut tidak dapat mengendalikan emosi. Memahami dan mengenali diri sendiri diperlukan untuk pengambilan keputusan dan mengerti batasan-batasan yang ada dalam diri individu. Jika individu memiliki kemampuan ini, maka individu akan dapat memiliki tolok ukur yang sesungguhnya, individu juga dapat mengenali kemampuan yang ada dalam dirinya, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi b. Mengelola emosi, merupakan sebuah kemampuan untuk mengontrol diri sendiri, kemudian menjauhi dari stimulus yang memberikan dampak kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan. yang muncul karena kemampuan keterampilan emosi yang kurang baik. Orang yang memiliki kemampuan yang buruk dalam pengelolaan emosi, akan terus menerus melawan perasaan murung, sementara seseorang individu yang memiliki kemampuan pengelolaan emosi yang baik akan dapat bangkit kembali cepat.
Pengelolaan emosi meliputi kemampuan penguasaan diri dan kemampuan menenangkan diri sendiri. Kemampuan mengelola emosi ini memiliki dampak yang positif dalam pelaksanaan sebuah tugas, membuat individu dapat mudah beradaptasi, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kehikmatan sebelum tercapai suatu tujuan, serta mampu untuk memulihkan dari tekanan-tekanan emosi yang ada dirasakan individu.
c. Memotivasi diri sendiri, yaitu merupakan kemampuan dalam mengatur emosi sebagai alat dalam menggapai suatu tujuan untuk memotivasi dan memiliki penguasaan diri. Orang yang memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri akan lebih produktif dan memiliki cara yang efektif dalam aktifitas yang dikerjakannya.
Kemampuan ini didasari oleh kemampuan mengendalikan emosi, yang dimana individu dapat mengelola diri terhadap dorongan hati Kemampuan ini meliputi:
pengendalian dorongan hati, berfikir positif dan optimis.
d. Mengenali emosi orang lain, kemampuan ini sering disebut sebagai empati. Empati merupakan sebuah keterampilan sosial yang bersifat fundamental untuk dapat memahami dan menangkap tanda-tanda sosial yang terlihat secara langsung maupun tidak secara langsung. Empati merupakan sebuah keterampilan yang berdasar pada kesadaran diri. Kemampuan ini merupakan keterampilan yang sifatnya fundamental yang harus ada pada lingkungan sosial. Empati memiliki arti sebagai kemampuan merasakan perasaan orang lain, memahami perspektif orang lain, menumbuhkan rasa percaya, dan menyesuaikan diri dengan bermacam orang. Individu yang memiliki sikap empati lebih mampu memahami dinamika yang terjadi pada lingkungan sosial yang secara langsung maupun tidak secara langsung.
e. Membina hubungan, membangun relasi sosial merupakan sebuah kemampuan yang penting dalam mengontrol emosi individu lainnya. Membina hubungan dengan sosial dapat memberikan manfaat yang positif, seperti menunjang popularitas, menambahkan rasa kepemimpinan dan harmonisnya suatu hubungan sosial. Dengan kemampuan ini individu mengendalikan emosi dengan baik pada saat bersosialisasi dengan orang lain, peka membaca situasi dan jaringan sosial, dan berinteraksi dengan lancar.
Tridhonanto (2009) membagi aspek kecerdasan emosi secara lebih umum, yaitu:
a. Kecakapan pribadi, yang merupakan keterampilan pengelolaan/mengontrol diri sendiri.
b. Kecakapan sosial, yang merupakan keterampilan membina atau membangun suatu hubungan.
c. Keterampilan sosial, yang merupakan sebuah keterampilan dalam memberikan respon dari orang lain secara baik.
Aspek-aspek kecerdasan emosi yang telah dijelaskan oleh Goleman merupakan hasil penjabaran dari pendapat Tridhonanto. Dalam kecakapan pribadi menurut Tridhonanto terdapat aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Goleman yaitu; mengenali emosi diri,
mengelola emosi diri dan memotivasi diri sendiri. Kemudian dalam kecakapan sosial menurut Tridhonanto juga terdapat aspek kecerdasan emosi menurut Goleman yaitu mengenali emosi orang lain. Sedangkan keterampilan sosial menurut Tridhonanto terdapat aspek kecerdasan emosi menurut Goleman yaitu membina hubungan. Berdasarkan penyampaian yang telah dituliskan, peneliti menggunakan aspek-aspek kecerdasan emosi dari Goleman yang terdiri dari: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan, karena penjelasan dari Goleman menjelaskan aspek secara rinci.
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi muncul melalui proses pembelajaran, tidak timbul dengan begitu saja. Goleman (2003) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kecerdasan emosi individu menurut, yaitu:
a. Lingkungan keluarga, kehidupan keluarga merupakan tempat sebagai pendidikan non formal pertama dalam mempelajari emosi. Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam hal ini karena orang tua merupakan individu pertama yang perilakunya dikenali, ditanamkan yang pada akhirnya akan menjadi sebagian dari kepribadian anak. Kecerdasan emosi ini dapat dilatih pada saat anak masih bayi dengan berbagai ekspresi. Emosi yang dibangun dalam keluarga sangat berguna bagi karakter anak kelak di masa yang akan datang, sebagai contoh:
membiasakan hidup dengan sikap disiplin dan memiliki tanggung jawab, melatih empati, memperdulikan sekitar dan sebagainya. Hal tersebut akan menjadikan anak menjadi lebih mudah untuk mengelola dan menenangkan diri dalam menghadapi permasalahan, sehingga anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan tidak memiliki banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar dan negatif.
b. Lingkungan non keluarga, dalam hal ini yang yang berarti adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk yang ada disekitar. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktifitas bermain anak seperti bermain peran. Anak berperan sebagai individu di luar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga anak akan mulai belajar mengerti keadaan orang lain. Pengembangan kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan diantaranya adalah pelatihan komunikasi asertif, empati dan masih banyak lagi bentuk pelatihan yang dapat digunakan.
Goleman (2000) menjelaskan bahwa terdapat faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan emosi pada seseorang, yakni:
a. Fisik, anatomi saraf emosi merupakan bagian secara fisik yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi. Konteks merupakan bagian otak yang berfungsi untuk berfikir, (terkadang disebut juga neo konteks). Sistem limbikpun juga mengurusi emosi, namun kedua bagian pada otak ini menentukan kecerdasan emosi seseorang.
b. Psikis, kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat memengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak yaitu konteks dan sistem limbik, secara psikis diantaranya meliputi relasi dengan keluarga dan relasi dengan non keluarga.
B. Musik dan Musisi
Musik merupakan seni yang berkaitan dengan melibatkan suara-suara yang teratur.
Johansson (2006) menjelaskan bahwa musik adalah suatu hal yang unik bersifat istimewa yang dibuat oleh manusia yang mempunyai kompetensi yang sangat kuat untuk menyampaikan emosi dan mengatur emosi. Kemudian Ahuja (dalam O’connel, 2004) menjelaskan semua kejadian dan peristiwa yang penting dapat ditandai dengan adanya keterlibatan musik, contohnya seperti acara perkawinan yang bersifat perayaan yang menggembirakan, bahkan terdapat acara yang bersifat peristiwa sedih seperti pemakaman.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa kehidupan ini pada dasarnya bersifat musikal.
Campbell (2001) menyampaikan bahwa musik merupakan bahasa yang mengandung banyak unsur-unsur yang universal, bahasa yang melintasi batas-batas usia, jenis kelamin, ras, agama, dan kebangsaan. Sehingga musik merupakan suatu suku kata yang sulit didefinisikan karena mengingat tidak terbatasnya wujud dan bentuk, apresiasi dan ukuran didalamnya.
Hingga saat ini musik masih belum ada yang bisa mendefinisikan musik hanya dari kata-kata, sehingga musik hanya akan bisa dapat terdefinisikan jika memasuki dan merasakan musik itu sendiri secara mendalam. Menurut Miller (2005) musik merupakan sebuah urutan atau rangkaian nada-nada yang teratur sesuai dengan tempo tertentu, namun menurut Seashore (1967) untuk menjelaskan musik, perlu adanya :
a. The music merupakan sebuah bentuk ekspresi musik yang dapat menjadi stimulus untuk membangkitkan perasaan dalam musik itu sendiri, yang nantinya akan berkaitan dengan penciptaan musik.
b. The listener merupakan bagian yang penting karena dengan adanya the listener akan
diartikan sebagai apresiasi dari musik, juga menafsirkan dan mengidupkan kembali musik yang diciptakan maupun ditampilkan oleh musisi.
c. The performer merupakan pelaku seni yang dalam hal ini adalah penyanyi atau pemain
instrumen musik, yang menguasai masing-masing instumen yang dimainkan dalam sebuah penampilan.
Sehingga terdapat tiga penjelasan mengenai musik dalam hal ini definisi musikus/musisi sesuai dengan penjelasan Sheasore (1967) yaitu the performer, karena terdapat unsur yang sama yaitu pemain memainkan alat/instrumen musik. Dari penjelasan tersebut juga dapat dipahami bahwa non pemusik merupakan seseorang yang tidak terlibat dan tidak pernah merasakan pengalaman secara musikal dalam memainkan instrumen/alat musik.
1. Musisi Sekuler dan Musisi Rohani
Dalam kalangan masyarakat terdapat pemikiran bahwa musisi merupakan seorang pencipta, seorang yang menampilkan seni musik. Fredrickson (2002) menjelaskan bahwa musisi adalah seorang yang memainkan ataupun menulis musik, serta mempunyai kemampuan untuk memainkan alat musik, sehingga musisi adalah seorang yang menghabiskan sejumlah waktu untuk mempelajari hal-hal berkaitan dengan musik, mendengarkan musik secara seksama dan menampilkan pertunjukan musik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemusik diartikan sebagai seseorang yang memainkan instrumen atau alat musik. Dari pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa musisi merupakan sebutan bagi para pelaku musik baik untuk musik vokal maupun musik instrumen.
Setiap musisi cenderung memiliki sifat kebebasan, karena sifat kebebasan inilah mereka para musisi sekuler cenderung untuk bertingkah laku sesuka hatinya, sebab dalam musisi sekuler hanya berfokus pada musik saja. Pada musisi sekuler penekanan bermusiknya dengan aturan dunia atau etika yang diakui oleh dunia, dengan begitu musik mereka akan cepat laku di pasaran dan segera mencapai ketenaran. Dalam musik sekuler yang dimainkan oleh musisi sekuler banyak mengenai cinta, keputusasaan, kekerasan, depresi, kepahitan. Sehingga dapat kita lihat pada video klip, lirik, sampul album yang cenderung mengumbar hal-hal yang
bertentangan dengan nilai ajaran agama Kristen. Hal ini didukung dengan penjelasan oleh Rhoderick (2000) bahwa musik sekuler merupakan musik-musik atau lagu yang menggambarkan kebiasaan hidup seseorang dalam kesehariannya dengan teks-teks yang berisikan percintaan, anggur, sindirian, apapun mengenai duniawi. Jelas sekali bahwa musisi sekuler tujuannya semata-mata hanya untuk menyenangkan dunia, dan mendapatkan uang dengan sebanyak-banyaknya. Namun bukan berarti musisi sekuler tidak memeluk suatu agama. Musisi sekuler juga tidak terlepas akan kebutuhan spiritual, kegiatan bermusik yang menyibukkan membuat pikiran menjadi lelah, dan dari kegiatan spiritual ini musisi sekuler dapat menenangkan dirinya, agar dapat menguasai perasaan tersebut.
Sedangkan musisi gereja merupakan seorang musisi yang memainkan instrumen musik di gereja. Dalam ajaran agama Kristen suatu talenta harus dikembangkan, sehingga dalam mengasah skill bermusik gereja merupakan salah satu tanggung jawabnya. Dalam sikap musisi gereja pun harus mencerminkan sosok Tuhan yang dipuji dalam agama Kristen. Wilson (1977) menjelaskan bahwa seorang penyembah dalam hal ini juga terkait dengan musisi gereja harus sudah mengalami hubungan pribadi dengan Tuhan dan sanggup memelihara pengalaman tersebut dalam dirinya. Mike dan Hibbert (2001) menyampaikan bahwa panggilan musisi gereja dalam memainkan instrumen musik dalam gereja adalah panggilan yang bersifat suci dan tidak dapat dianggap remeh. Tidak menganggap remeh sering diartikan keseriusan, terutama dalam hal menjauhi dosa-dosa, seorang musisi gereja tidak boleh sedikitpun dengan dosa. Dalam pengertian ini menjelaskan bahwa musisi gereja haruslah menjaga sikap, sehingga musisi gereja tidak bisa melakukan hal-hal yang bertentangan yang menyimpang yang tertulis dalam kitab dalam agama Kristen.
Dengan penjelasan ini sangat jelas bahwa musisi gereja kehidupan kerohaniannya harus sesuai dengan ajaran agama Kristen.
2. Usia Produktif dalam Bermusik
Usia merupakan faktor yang berkaitan langsung dengan produktifitas seseorang. Menurut Suksmaningrum dan Imron (2017) menjelaskan bahwa usia produktif terbagi dalam beberapa macam, yaitu penduduk belum produktif, penduduk usia produktif dan penduduk non produktif. Penduduk usia produktif adalah penduduk yang masuk dalam rentang usia 15-64. Penduduk usia tersebut dianggap sudah
mampu menghasilkan barang maupun jasa dalam proses produksi. Kemudian jika usia ditinjau dari segi psikologis, dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai usia 40 tahun, kemudian dewasa madya dimulai dari usia 41 tahun sampai usia 60 tahun (Hurlock, 2001). Pada usia produktif dan secara psikologis telah pada usia dewasa awal, dengan berbagai tuntutan dalam hidup seseorang, individu akan diperhadapkan tuntutan untuk bekerja, hal ini juga dijelaskan oleh Hurlock (2009) bahwa mendapatkan suatu pekerjaan merupakan sebuah tugas perkembangan dewasa awal.
Salah satu industri yang sedang berkembang pada saat ini adalah industri kreatif.
Dengan kemunculan industri kreatif, peluang industri pekerjaan membuka dan memberikan kesempatan bagi setiap individu-individu yang mempunyai karya.
Kementrian Perdagangan Indonesia (dalam Fitriarti, 2014) menjelaskan bahwa industri kreatif merupakan industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, keterampilan serta bakat individu dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi. Industri kreatif sendiri terdiri dari periklanan, arsitektur, seni, fashion, film, musik, seni pertunjukan dan lain-lain. Musik merupakan salah satu industri kreatif yang berjalan pada saat ini. Dalam artikel Djarumcoklat (2019) dijelaskan bahwa saat ini musik dapat mendatangkan uang dan hal ini berpontesial. Sehingga setiap individu yang memiliki bakat dan minat musik dapat memanfaatkan musik sebagai pekerjaan.
Peneliti mengambil kesimpulan dari beberapa pernyataan diatas bahwa dengan usia dewasa awal yaitu usia 18 tahun hingga 45 tahun dan usia tersebut adalah keadaan seseorang dalam kondisi produktif, sehingga peneliti memutuskan partisipan pada penelitian ini adalah usia 18 tahun sampai dengan usia 45 tahun.
C. Musik dan Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi merupakan salah satu keahlian yang diperlukan oleh seseorang.
Shapiro (1998) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan yang memahami perasaan diri dan emosi bagi individu diri sendiri maupun pada individu lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi untuk menentukan pikiran dan tindakan. Dalam hal ini kecerdasan emosi membutuhkan bantuan stimulus untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosi secara maksimal. Musik merupakan salah satu cabangseni yang sudah umum digunakan oleh instansi dalam bidang pendidikan dalam meningkatkan kecerdasan emosi. Hal ini didukung oleh pernyataan Juslin dan Laukka (2003) yang menjelaskan bahwa musik dapat membantu
seseorang untuk memahami orang lain dan menyediakan kesempatan dalam perkembangan sosial dan emosi dalam diri seseorang, musik dapat memberikan kepekaan dalam mengenali emosi, kemudian Haas dan Brandes (2009) juga menjelaskan bahwa kemampuan dalam bermain musik dapat membantu seorang memiliki kemampuan untuk menjadi individu yang sejahtera. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Hallam (2005) bahwa musik juga dapat mengembangkan kecerdasan emosi dalam diri seseorang.
D. Perbedaan Kecerdasan Emosi Pada Musisi Sekuler Dan Musisi Gereja Di Kota Salatiga
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Khususnya pada musisi sekuler dan musisi gereja yang memiliki tuntutan dan tekanan dalam menjalani proses kehidupannya.
Beberapa penelitian menemukan bahwa orang yang terlibat langsung dengan memainkan dan mendengarkan secara langsung menunjukkan bahwa mempunyai kecerdasan emosi yang baik. Namun tidak menjamin semua musisi sekuler memiliki kecerdasan emosi yang baik dan sebaliknya. Wilson (1977) menjelaskan bahwa menjaga kekudusan merupakan hal yang diwajibkan untuk musisi gereja, sedangkan musisi sekuler tidak perlu dan wajib untuk menjaga hidup kekudusan saat akan memainkan alat musiknya seperti musisi gereja.
Kemudian beberapa hasil observasi oleh peneliti pada lingkungan komunitas musik sekuler sering menunjukkan umpatan dan amarah yang menunjukkan bahwa seseorang tersebut tidak dapat meregulasi emosinya, dan ditambahnya dengan beberapa musisi sekuler yang terlibat dalam penggunaan NAPZA, yang dimana terdapat penelitian bahwa seseorang yang terlibat dalam penggunaan NAPZA mengindikasikan bahwa memiliki kecerdasan emosi yang rendah. Selain dalam musik sekuler, terdapat juga musik gereja, yang dimana musisi-musisi gereja juga menjadi orang yang terlibat secara langsung dengan musik. Namun yang menjadi pembeda adalah dalam musisi gereja panggilan terhadap Tuhan yang bersifat suci dan tidak b dianggap remeh, sehingga mengasumsikan bahwa musisi gereja memiliki tujuan bermusik yang berbeda jika dibandingkan dengan musisi sekuler yang tidak wajib untuk menjaga kehidupannya secara kudus saat akan tampil sebagai musisi. Dengan adanya hal, menjelaskan bahwa masing-masing tujuan dari musisi sekuler dan gereja pun berbeda, tentu dengan adanya tujuan, sikap yang saling berbeda mengindikasikan bahwa terdapat adanya perbedaan kecerdasan emosional pada musisi sekuler dan musisi gereja.
E. Hipotesa
Hº : Tidak terdapat perbedaan kecerdasan emosi pada musisi sekuler dan musisi gereja di Kota Salatiga, Jawa Tengah.
H¹: Terdapat perbedaan kecerdasan emosi pada musisi sekuler dan musisi gereja di Kota Salatiga, Jawa Tengah.