• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH A. Pengertian Ilmu Falak

Secara etimologis kata falak berasal dari bahasa Arab yang merupakan murodif (persamaan) dari kata madar1 atau dalam bahasa Inggris yaitu orbit,2 sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri diartikan sebagai “lingkaran atau cakrawala”.3 Sementara itu falak juga berarti orbit, garis atau tempat perjalanan bintang.4 Jika mengutip ayat Al-Qur’an mengenai arti falak, berarti tempat beredarnya bintang- bintang.5 Jadi ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari peredaran bintang atau benda langit, atau pengetahuan tentang beredarnya benda langit.

Adapun secara terminologi dapat dikemukakan beberapa definisi menurut beberapa versi atau pendapat sebagai berikut:

1. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Ilmu falak adalah ilmu pengetahuan mengenai keadaan (peredaran, perhitungan dan sebagainya) bintang-bintang.6

2. Ensiklopedi Hukum Islam

Ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari benda- benda langit, tentang fisiknya, geraknya, ukurannya dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.7

3. Almanak Hisab Rukyat

1 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta:

PP Al-Munawir Krapyak, 1984), 1152

2 Munir Ba’albaki, Al-Maurid A Modern English-Arabic dictionary, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, cet. III, 1970) 637. Lihat juga Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Lazuardi, 2001), 1

3 Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke-1, Cet. IX, 1999), 274. Selanjutnya ditulis Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4 Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: GP Press, Cet. I, 2009) 1. Selanjutnya ditulis Maskufa, Ilmu Falak.

5 Departemen Agama RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya, Surat Yaasin (36) : 40

6 Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 274

7 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Houve, Jil. I, 1997), 304

(2)

Ilmu falak adalah ilmu penegtahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya, dengan tujuan untuk mengetahio posisi dari benda-benda langit itu serta kedudukannya dari benda-benda langit yang lain.8

4. Muhammad Wardan

Ilmu falak adalah pengetauan yang mempelajari benda-benda langit seperti matahari, bulan, bintang-bintang, demikian juga bumi menegnai letak, bentuk, ukuran, lingkaran dan lain sebagainya.9

5. Zubeir Umar al-Jailani

Ilmu falak ialah ilmu yang mempelajari benda-benda langit dari segi geraknya, posisinya, terbitnya, proses pergerakannya, ketinggiannya, juga membahas masa siang dan malam yang masing- masing berkaitan dengan perhitungan bulan dan tahun, hilal dan gerhana bulan dan matahari. Di mana definisi ini lebih dekat pada pada pengertian ilmu falak dalam aplikasinya yang cenderung pada masalah-masalah perhitungan atau hisab.10

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas baik yang kolektif maupun yang individu dapat diketahui bahwa objek kajiannya sama yaitu mengenai benda-benda langit. Dan jika demikian adanya, maka ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit sebagai objek kajiannya cukup beragam, yaitu:11

1. Astronomi yaitu ilmu yang mempelajari benda-benda langit secara umum.

2. Astrologi yaitu ilmu yang semula mempelajari benda langit tetapi kemudian dihubungkan dengan tujuan mengetahui nasib atau

8 Depag, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Bapera, 1982), 245-246

9 Maskufa, Ilmu Falak. 2

10 Maskufa, Ilmu Falak. 2. Lihat juga Zubeir Umar Jaelani, al-Khulashoh al- Wafiyah fi al-Falky bi Jadawi al-Lughoritmiyah, 2

11 Maskufa, Ilmu Falak. 2-3

(3)

peruntungan seseorang sehingga ilmu ini dikenal sebagai pseudo science (menyerupai sains).

3. Astrofisika yaitu cabang ilmu astronomi yang menerangkan benda- benda langit dengan cara, hukum-hukum, alat dan teori ilmu fisika.

4. Astrometrik yaitu cabang dari ilmu astronomi ysng kegiatannya melakukan pengukuran terhadap benda-benda langit dengan tujuan untuk mengetahui ukurannya dan jarak antara satu dengan yang lainnya.

5. Astromekanik yaitu cabang dari ilmu astronomi yang mempelajari gerak dan gaya tarik benda-benda langit dengan cara, hukum-hukum dan teori mekanika.

6. Kosmografi yaitu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari benda- benda langit dengan tujuan untuk mengetahui data-data dari seluruh benda-benda langit.

7. Kosmogoni yaitu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari benda- benda langit dengan tujuan untuk mengetahui latar belakang kejadiannya dan perkembangan sealanjutnya.

8. Ilmu hisab nama lain dari ilmu falak, dinamakan ilmu hisab karena diantara kegitan yang menonjolnya adalah memeperhitungkan kedudukan benda-benda langit tersebut.

9. Kosmologi yaitu ilmu pengetahuan yang memepelajari bentuk, tata himpunan, sifat-sifat dan perluasannya dari pada jagat raya.

Dari definisi dan objek kajian ilmu falak di atas seiring perkembangannya mengalami penyempitan atau pergeseran makna yaitu bahwa objek kajian ilmu falak ini terbatas pada benda langit yang terlihat bersinar dari bumi yaitu matahari dan bulan dan digunakan hanya untuk kepentingan ibadah. Maka ilmu falak yang merupakan bagian dari ilmu astronomi ini karena tujuan demikian disebutlah sebagai ilmu fiqh astronomi.12

12 Berdasarkan keterangan Bapak Sibli dalam acara Diklat Falakiyah di Losari Jawa Tengah, tanggal 14 Mei 2017.

(4)

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kajian ilmu falak terfokus pada kajian arah kiblat, awal bulan, awal waktu sholat dan gerhana bulan atau matahari. Karena keempat itulah merupakan hasil kajian atas benda langit (bulan dan matahari) yang kemudian memiliki pengaruh terhadap ketentuan ibadah, yaitu kapan memulai dan berakhirnya ibadah tertentu.

Adapun pergerakan bulan akan mempengaruhi penetapan awal bulan hijriyah/qamariyah yang akan berdampak pada pelaksanaan puasa Romadhan, dua hari raya (idul fitri dan idul adha) dan pelaksanaan ibadah haji. Sedangkan pergerakan matahari akan mempengaruhi ketetapan awal waktu sholat dan arah kiblat.

Sebagai umat Islam perlu kiraya untuk mempelajari ilmu ini karena pada dasarnya ada beberapa perintah-perintah ibadah yang dalam prakteknya tidak bisa dilepaskan pada ketetapan waktu dan cara pelaksanaannya yang melibatkan kajian lebih dalam terkait benda-benda langit, khususnya bulan, bumi dan matahari.13

Oleh karena ilmu falak mempelajari –khususnya– bulan, bumi dan matahari, maka ada istilah lain lain diguanakan karena memiliki kesamaan yaitu:14

1. Ilmu Rashd, karena ilmu ini memerlukan observasi atau pengamatan.

2. Ilmu Miqat, karena ilmu ini mempelajari tentang batas-batas waktu.

3. Ilmu Hisab, karena ilmu ini bekerja dengan kalkulasi matematik atau perhitungan.

B. Ilmu Falak dalam Hukum Islam

Pengertian ilmu falak dan hukum Islam secara umum sudah dapat dipahami, lalu bagaimana keterkaitan ilmu falak dengan hukum Islam itu sendiri karena secara fungsinya ilmu falak menduduki posisi yang sangat penting dalam hukum Islam terlebih dalam masalah ibadah. –ini khusus bagi ibadah yang memerlukan ketentuan-ketentuan tertentu– Seperti

13 Ahmad Izzudin, Ilmu Falak Prektis. 2

14 Abd. Salam Nawawi, Ilmu Falak Praktis. 3

(5)

ibadah memerlukan kajian ilmu falak misalnya waktu sholat, puasa, haji dan dua gerhana. Oleh karena itu ilmu falak menjadi bagian yang tidak bisa dihilangkan keberadaanya untuk kebutuhan manusia dalam hal ritual beribadah, yang kemudian akan membawa kepada kepastian hukum dan penyempurnaan ibadah tersebut.

1. Ruang Lingkup Ilmu Falak

Dikatakan bahwa ruang lingkup kajian ilmu falak ini secara garis besar (global) ilmu falak dibagi menjadi dua, yaitu ilmu falak

‘ilmy (Theoritical Astronomy) dan ilmu falak ‘amaly (Practical/Observational Astronomy), 15 berikut penjelasannya:

a. Ilmu falak ‘ilmy adalah ilmu falak dalam pengertian astronomi umum yang bersifat teori dan konsep benda-benda langit, seperti yang sudah dipaparkan dimuka yaitu astrologi, astrofisika, astrometrik, cosmografi, cosmogoni dan yang lainnya.

b. Sedangkan ilmu falak ‘amaly lebih bersifat praktek, yang memanfaatkan hasil-hasil penyelidikan atau observasi yang kemudian terorientasi pada hasil perhitungan untuk mengetahui posisi dan kedudukan benda-benda langit khususnya bulan, bumi dan matahari antara satu dengan yang lainnya untuk kepentingan praktis seperti untuk menghitung tibanya awal waktu sholat, awal bulan dan arah kiblat. Ilmu ‘amaly inilah yang oleh masyarakat umum dikenal dengan ilmu falak atau ilmu hisab.

Bahasan ilmu falak mengenai arah kiblat adalah salah satu dari kegiatan ritual ibadah umat Islam yang berkaitan dengan perhitungan- perhitungan matematis, yang mana ketetapan menghadap kiblat dalam ibadah (sholat mislanya) merupakan syarat sahnya sholat.16 Perhitungannya adalah menghitung berapa besar sudut yang diapit oleh garis meridian17 yang melewati suatu tempat yang dihitung arah

15 Abd. Salam Nawawi, Ilmu Falak Praktis, 3. Lihat juga Lutfi Adnan Muzamil, Studi Falak dan Trigonometri, 13

16 Lutfi Adnan Muzamil, Studi Falak dan Trigonometri, 14

17 Menurut Kamis Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Meridian adalah lingkaran khayal pada permukaan bumi, dibuat pada peta dan bola dunia sebanyak 180 buah dengan

(6)

kiblatnya dengan lingkaran besar yang melewati tempat yang bersangkutan dan ka’bah, serta menghitung jam berapa matahari itu memotong jalur menuju ka’bah.18 Cara praktis lain adalah dengan menggunakan media kompas, setelah kita mengetahui azimut sudut kiblat tempat yang kita hitung.

Sementara itu dalam penentuan awal waktu sholat perhitungannya adalah menghitung waktu ketika matahari berada di titik kulminasi atas19 dan waktu ketika matahari berkedudukan pada prediksi pancer pada awal waktu-waktu sholat. Penentuan awal bulan Qamariyah juga pada dasarnya menghitung kapan terjadinya ijtima’

(konjungsi), yaitu di mana posisi matahari dan bulan berada pada satu garis bujur astronomi dan menghitung posisi bulan pada saat gurub asy-syams20 pada hari di mana terjadi konjungsi tersebut. Demikian pula dalam perhitungan gerhana (matahari dan bulan) yaitu menghitung waktu terjadinya kontak antara matahari dan bulan yakni kapan bulan mulai menutupi sinar matahari kebumi dan lepas darinya pada saat terjadi gerhana matahari, dan kapan bulan mulai masuk pada bayangan umbra21 bumi serta keluar dari bayang tersebut pada saat terjadi gerhana bulan.22 Dengan melihat pokok bahasan dalam ilmu falak tersebut, keberadaannya akan sangat membantu dan memiliki urgensitas bagi umat Islam khususnya, karena kaitannya langsung dengan sah atau tidak sahnya suatu ibadah yang berkaitan.

jarak satu derajat antara satu dan yang lainnya, yang berpotongan dari kutub utara dan kutub selatan, digunakan untuk menatapkan letak tampak pada permukaan bumi dengan arah timur-barat satuan derajat, atau bias juga disebut garis bujur.

18 Ahmad Izzudin, Ilmu Falak Praktis. 3

19 Dalam Bahasa Arab disebut Ghayatul Irtifa’ yaitu titik tertinggi yang dicapai oleh benda langit dalam peredaran (semunya) mengelilingi bumi (seperti matahari mencapai titik kulminasi atas pada pukul 12.00). Lihat juga KBBI.

20 Terbenamnya matahari di ufuk barat.

21 Menurut Kamis Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Umbra adalah bagian tergelap di belakang benda tidak tembus cahaya yang terkena sinar; bayang-bayang inti.

Lihat juga Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, 87. Umbra adalah “bayangan inti”

yaitu bayang-bayang kerucut suatu benda langit. Bumi dan bulan adalah benda langit yang menerima sinar dar matahari, sehingga keduanya mempunyai bayang-bayang kerucut. Apabila bayangan kerucut bumi menyentuh piringan bulan maka terjadi gerhana bulan, dan jika bayangan kerucut bulan menyentuh permukaan bumi maka terjadi gerhana matahari.

22 Ahmad Izzudin, Ilmu Falak Prektis. 3-4

(7)

2. Hukum Mempelajari Ilmu Falak

Rasulullah SAW telah bersabda:

دابع رايخ نإ لىاعت للها ركذل رمقلاو سمشلا نوعاري نيذلا لىاعت للها

نىابرطلا هاور(

)دانسلاا حيحص لاقو مكالحاو رازبلاو

Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik hamba Allah SWT adalah orang yang mengamat-amati matahari dan bulan untuk mengingat Allah SWT.” (H.R. Tabhrani, Bazzar dan Hakim berkata bahwa Hadits tersebut shahih sanadnya)23

Dalam memahami hadits di atas, para ulama berbeda dalam menetapkan hukumnya. Ibnu Hajar al-Haitami misalnya dalam kitabnya al-Fatawā al-Hadīṡiyyah menjelaskan yang artinya:

“Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bintang-bintang di antaranya wajib dipelajari, seperti ilmu yang akan menunjukkan arah kiblat, waktu-waktu shalat, bersatu dan berbeda maṭla’, dan lain-lainnya. Ada pula yang mubah mempelajarinya, seperti ilmu yang dapat menunjukkan manzil bulan, lintang geografis dan lain-lainnya. Dan ada pula yang haram, seperti ilmu yang dapat menunjukkan kejadian- kejadian gaib-gaib.”

Abdurrahman bin Muhammad mengatakan dalam kitabnya Bugiyah al-Mustarsyidīn bahwa mempelajari ilmu falak adalah wajib bahkan mesti menguasainya, karena konsekuensinya dapat mengetahui dengannya arah kiblat, waktu memulai puasa, waktu sholat. Sementara itu, Zubair Umar al-Jailaniy memberikan penjelasan bahwa mempelajari ilmu falak hukumnya fardu kifayah atas orang- orang yang bersendirian.24

Dapat disimpulkan dari beberapa pendapat di atas mengenai hukum mempelajari ilmu falak, yaitu: Pertama, Fardu Kifayah bila tujuannya untuk mengetahui arah kiblat, waktu-waktu shalat, dan hal- hal yang berhubungan dengan ibadah, bahkan ada yang memahaminya sampai ke tingkat wajib. Kedua, Mubah bila hanya untuk mengetahui

23 Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2015), 24 Selanjutnya ditulis Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak.

24 Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, 24-25

(8)

manzil bulan, lintang dan buzur geografis. Ketiga, Haram bila mempelajarinya dengan tujuan untuk mengetahui hal-hal gaib –seperti nasib seseorang– bahkan dari sini bisa menumbulkan perbuatan syirik.25

3. Kegunaan dan Fungsi Ilmu Falak

Dalam kaitannya dengan hukum Islam, mempelajari ilmu falak bukanlah suatu yang sia-sia akan tetapi justru akan mendatangkan akibat yang positif. Karenanya ilmu falak ini sangat diperlukan sekali untuk kepentingan ibadah umat Islam. Sehingga dalam mempalajar ilmu falak pada dasarnya mempunyai dua kepentingan yang saling berkaitan, yaitu:26

a. Untuk penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terbukti bahwa pada abad-abad kemajuan Islam telah muncul astronom-astronom muslim terkenal seperti Abu Ja’far Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (yang menurut E.J. Brill, Al-Khawarizmi wafat sekitar tahun 220 H/835 M sampai 230 H/844 M) yang berhasil melahirkan sebuah buku yang berjudul Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah sekitar tahun 210 H/825 M di Baghdad. Ada juga Abu Ma’syar al-Falaky (wafat tahun 272 H/885 M), di antara karya-karyanya adalah Iṡbatul ‘Ulum dan Haiatul Falak27 dan masih banyak lagi ilmuwan astronomi yang ahli selain yang telah disebutkan di atas seperti Jabir Batany, Abul Raihan al-Niruni, Al-Farghani dan lain-lain.

b. Untuk kepentingan yang berkaitan dengan masalah-masalah ibadah seperti shalat, puasa dan haji. Kepentingan ini sifatnya pragmatis dan turut menentukan sahnya amal ibadah secara fiqih.

25 Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, 25-26

26 Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Prektek, (Yogyakarta: Lazuardi, Cet. I, 2001), 3-8 Selanjutnya ditulis Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Prektek,

27 A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. V, 1995), 297 Selanjutnya ditulis A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,

(9)

Sementara itu fungsi ilmu falak dalam kaitannya dengan ibadah akan membantu menumbuhkan kayakinan bagi setiap muslim dalam melasanakan ibadah, sehingga akan meningkatkan kekhusyuannya, berikut beberapa fungsinya:28

a. Untuk menetapkan waktu shalat lima waktu. Menurut Dr.

Susiknan Azhari bahwa dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan dan mengatur masalah ini. Dalam surat An- Nisā 103 misalnya menyebutkan bahwa shalat fardu itu sudah ditetapkan waktunya. Kemudian waktu sholat tersebut dijelaskan pada surat al-Isra’ ayat 78 yang mana Allah SWT memerintahkan agar shalat didirikan sejak matahari tergelincir (duluk asy-syams) sampai gelap malam (gasaq al-lail) dan waktu subuh (qur’an al- fajr) dan surat Hud ayat 114 pula menjelaskan agar shalat didirikan pada kedua tepi siang, pagi dan petang (tarafay an- nahar) dan pada bagian permulaan malam (zulafan min al-lail).

Ada pula hadits Nabi SAW yang sejalan dengan keterangan di atas yang menyatakan bahwa shalat itu wajib dilaksanakan sebanyak lima kali dalam sehari semalam dengan ketetapan waktu yang sudah pasti.

b. Penentuan arah kiblat, yaitu kearah mana kita menghadap dalam hal beribadah terutama dalam ibadah shalat. Seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 144. Berangkat dari sini para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat dalam ibadah shalat merupakan bagian dari syarat sahnya shalat.

c. Penentuan awal bulan Qamariyah. Dalam prakteknya ilmu falak sangat diperlukan untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, bulan Syawwal dan Dzulhijjah serta bulan-bulan lainnya. Selain untuk memperhitungkan awal bulan Qamariyah bisa digunakan untuk menghitung kapan terjadinya gerhana (matahari dan bulan) serta hari-hari besar umat Islam.

28 Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Prektek, 4-6

(10)

4. Hikmah dari Mempelajari Ilmu Falak

Sebagai insan akademis saat mempelajari suatu bidang ilmu tertentu akan lebih mempertimbangkan kegunaan, manfaat dan hikmah yang akan kembali kepada dirinya atau siapapun termasuk agamadan negaranya. Artinya bahwa lebih mengutamakan perkara yang bernilai dari pada yang tidak bernilai atau bahkan sia-sia adalah satu keharusan seorang insan akademis dalam mempertimbangkan sesuatu. Tidak terkecuali dalam mempelajari ilmu falak, penulis kira itu memiliki manfaat yang bisa didapat. Berikut adalah beberapa hikmahnya:29

a. Dapat menjelaskan berbagai konsep tentang adsar-dasar astronomi yang berkaitan dengan penentuan waktu-waktu ibadah.

b. Dapat menjelaskan peranan ilmu falak dalam penentuan awal waktu shalat.

c. Dapat memperhitungkan awal waktu shalat dengan benar.

d. Dapat menyusun waktu shalat dan waktu imsak.

e. Dapat menghitung dan mengukur arah kiblat yang tepat dan akurat.

f. Dapat menghitung sekaligus memprediksikan kapan waktu-waktu ibadah seperti awal dan akhir puasa itu tiba.

g. Dapat membuat kalender Masehi dan Hijriyah.

h. Dapat mengkritisi arah kiblat dan mushala yang ada dan diasumsikan tidak sesuai dengan teori-teori ilmu falak.

i. Dapat menumbuhkan sikap toleran bila dari hasil perhitungannya diprediksikan akan terjadi perbedaan ketetapan waktu ibadah seperti dua hari raya.

Selain beberapa kegunaan di atas yang bersifat praktis, ada yang tidak kalah penting dalam mempelajari ilmu falak ini seperti yang telah dinarasikan dalam firman-Nya yang berkaitan dengan alam semesta dan dalam mengenal benda-benda ciptaan Allah merupakan

29 Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung Persada Press, Cet. 1, 2009), 21-24 Selanjutnya ditulis Maskufa, Ilmu Falak.

(11)

fasilitas dan fitrah dari Allah. Dari situ manusia dituntut untuk menggunakan akalnya sebagai makhlik yang berakal yaitu untuk memikirkan, meneliti, dan memahami realitas dan relasi alam raya secara lebih dalam. Maka dengan cara itu lah waktu-waktu yang berhubungan dengan ibadah kepada Allah dapat diketahui, sehingga akan membuat subjeknya menjadi merasa lebih sempurna dan unggul.

C. Landasan Penentuan Awal Bulan Qamariyah

Secara garis besar bahwa kriteria atau metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan baru Qamariyah, terkhusus pada bulan- bulan tertentu yang erat sekali kaitannya dengan praktek ibadah seperti Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah adalah hisab dan rukyat. Dan inilah yang kemudian oleh Nabi Muhammad SAW diperkenalkan dan digunakan.30

Yang menjadi landasan normatif atau dalil dalam menentukan awal bulan Qamariyah (hisab dan rukyat) sebagai pijakan atau alasan atas dasar metode yang digunakan di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah SWT

Surat al-Baqarah ayat 185:

اَء ۡرُقۡلٱ ِهيِف َلِزنُأ ٓيِذَّلٱ َناَضَمَر ُرۡهَش ىَدُه ۡلٱ َنِّم تََٰنِّيَبَو ِساَّنلِّل ى ٗدُه ُن

ِِۚناَق ۡرُفۡلٱَو

َك نَمَو ُُۖه ۡمُصَيۡلَف َرۡهَّشلٱ ُمُكنِم َدِهَش نَمَف ۡوَأ اًضيِرَم َنا

رَفَس ىَلَع ََۗرَخُأ ٍماَّيَأ ۡنِّم ٞةَّدِعَف

َةَّدِع ۡلٱ ْاوُلِم ۡكُتِلَو َر ۡسُعۡلٱ ُمُكِب ُديِرُي َلََو َر ۡسُيۡلٱ ُمُكِب ُ َّللَّٱ ُديِرُي ىَلَع َ َّللَّٱ ْاوُرِّبَكُتِلَو

اَم

ۡمُكَٰىَدَه َنوُرُك ۡشَت ۡمُكَّلَعَلَو

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia

30 Maskufa, Ilmu Falak, 150

(12)

berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”31

Pemahaman dari ayat di atas adalah bahwa ada beberapa langkah atau cara untuk kita bisa mngetahui kapan jatuhnya tanggal satu bulan Qamariyah, di antaranya adalah dengan mengetahui bagaimana posisi matahari saat gurub atau terbenam di ufuk barat, kemudian selanjutnya mengetahui posisi ketinggian bulan di atas ufuk, apakah sudah berkedudukan di atas ufuk atau belum. Hisab yang terpenting di sini adalah bukan soal menentukan tinggi bulan di atas ufuk mar’i tetapi bagaimana meyakini apakah pada pertukaran siang dan malam, bulan sudah berkedudukan di sebelah timur matahari atau sudah konjungsi ataukah belum.32

Surat al-Baqarah ayat 189:

ۡسَي ِبۡلٱ َ ۡيَلَو َِِّۗۗ َجۡلٱَو ِساَّنلِل ُتيِق ََٰوَم َ ِه ۡ ُق ُِۖۖ َّلِهَ ۡأَٱ ِنَع َ َنوُل نِم َتوُيُبۡلٱ ْاوُتۡأَت نَأِب ُّر

ُجِلۡفُت ۡمُكَّلَعَل َ َّللَّٱ ْاوُقَّتٱَو ِۚاَهِب ََٰوۡبَأ ۡنِم َتوُيُبۡلٱ ْاوُتۡأَو ََٰۗىَقَّتٱ ِنَم َّرِبۡلٱ َّنِكََٰلَو اَهِروُهُظ َنو

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.

Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”33

31 Departemen Agama RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya, Surat Al-Baqarah (2) : 185

32 Jaenal Arifin, “Fiqih Hisab Rukyah di Indonesia (Telaah Sistem Penentuan Awal Bulan Qomariyah)” Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 05 : 2 (Desember 2014): 404-405

33 Departemen Agama RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya, Surat Al-Baqarah (2) : 189

(13)

Makna

ُتيِق ََٰوَم

dalam ayat di atas merupakan bentuk jamak dari

ت ا يق م

yang artinya tanda waktu atau waktu tertentu. Dalam penggunaan al-Qur’an sendiri waktu adalah batas akhir peluang untuk menyelesaikan suau aktifitas, dan ia adalah kadar tertentu dari suatu masa.34

Ditemukan keterangan dalam buku Asbabun Nuzul yang ditulis oleh Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy An-Naysabury bahwa ada riwayat lain menerangkan bagaimana latar belakang ayat ini turun, yaitu berkenaan dengan pertanyaan Muadz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghumamah yang diajukan kepada Rasulullah, yang artinya sebagai berikut: “Ya Rasulullah! Mengapa bulan sabit itu mulai timbul kecil sehalus benang, kemudian bertambah besar hingga bundar dan kembali seperti semula, tiada tetap bentuknya?”

Jika ditelaah lebih jauh, dalam ayat di atas terdapat konsep dasar tentang kalender Qamariyah, konsep dasar yang dimaksud disini adalah bulan sabit (hilal). Penafsiran ini juga sejalan dengan pemikiran Prof. Thomas Jamaluddin yang mengatakan:

“kalender Qamariyah merupakan kalender yang paling sederhana yang mudah dibaca di alam. Awal bulan diawalai oleh penampakkan hilal (visibilitas hilal) sesudah matahari terbenam.”35

Dalam Kitab Tafsir Jalalain36 menerangkan bahwa surah al- Baqarah ayat 189 di atas mengandung maksud sebagai keterangan waktu akan datangnya suatu musim untuk bercocok tanam, panen, berdagang waktu ‘iddah perempuan, puasa, berbuka puasa dan hari dua hari raya serta menentukan waktunya musim haji. Semuanya menunjukkan bahwa hilal merupakan suatu bentuk dari keterangan

34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, Volume 1, 2009), 503 Selanjutnya ditulis M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an.

35 http://alfandromeda79.wordpress.com/2015/04/13/tafsir-ahkam-penentuan- awal-bulan-qomariyah/ (diakses pada tanggal 03 Maret 2018)

36 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi, Tafsir Jalalein. (Maktabah Imaaratillah, tt)

(14)

waktu agar manusia mengetahui kapan datangnya waktu-waktu tersebut.

Lebih lanjut Imam Fahrurrazi menerangkan ayat

ِنَع َ َنوُل ۡس َي

ِۖ َّلِهَ ۡأَٱ

tidaklah menunjukkan sebuah bayan (penjelasan) didalamnya

walaupun kontek kalimatnya adalah pertanyaan akan tetapi pertanyaan tersebut mengandung inti faedah dan hikmah dibalik pertanyaan tersebut. Sedangkan

ُتيِق ََٰوَم

yaitu waktu yang telah tepat dengan makna lain bahwa waktu tersebut merupakan sebuah perjanjian yang mana harus ditepati dan dijalankan. Dan hilal merupakan tempat atau petunjuk untuk menghitung dan menentukan peredaran waktu-waktu tersebut.37

Beliau juga memetakan empat waktu yaitu tahun, bulan, hari dan jam. Sedangkan tahun menurutnya adalah peredaran matahari dari titik yang mu’ayanah (titik permulaan) sampai kembali lagi ke titik tempat dia mulai. Ini sangat bertentangan dengan pendapat para ahli astronomi modern yang mengatakan bahwa bumilah yang berputar mengelilingi matahari dari titik permulaan sampai kembali lagi ke titik semula atau biasa disebut denganrevolusi tahun sideris atau sidereal year.38

Surat Yunus ayat 5:

ٗءٓاَيِض َ ۡمَّشلٱ َ َعَج يِذَّلٱ َوُه َنيِنِّسلٱ َدَدَع ْاوُمَل ۡعَتِل َلِزاَنَم ۥُهَرَّدَقَو ا ٗروُن َرَمَقۡلٱَو

ٓ ۡأَٱ ُ ِّصَفُي ِِّۚقَجۡلٱِب َّلَِإ َ ِل ََٰذ ُ َّللَّٱ َقَلَخ اَم َِۚباَسِجۡلٱَو َنوُمَل ۡعَي يم ۡوَقِل ِتََٰي

Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui

37 Qomaruz Zaman, “Memahami maknahilal menurut tafsir Al-Qur’an dan sains”, Universum, 9 : 1 (Januari 2015): 107-108

38 Tahun sideris atau sideral year (as-Sunah an-Nujumiyah) adalah periode revolusi bumi mengelilingi matahari satu putaran elips penuh yang lamanya 365.2564 hari atau 365 hari 6 jam 9 menit 10 detik. Lihat juga Dr. Susiknan Azhari, M.A. Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. II, 2007), 17.

(15)

bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang- orang yang mengetahui”39

Keterangan dalam tafsir al-Misbah lafaz

ٗءٓاَيِض

, para ulama masa lalu memahami sebagai cahaya yang sangat terang karena menurut mereka ayat ini menggunakan kata tersebut untuk matahari dan menggunakan lafaz

رون

untuk bulan, yang mana cahaya bulan tidak lebih terang dari matahari.40 Begitu pula seperti yang dijelaskan dalam tafsir al-Maraghi, lafaz

ءٓاَيِض

menurut bahasa sama artinya dengan

رون,

tapi dalam hal ini lebih kuat. Ada juga ulama lain yang mengatakan ia adalah sinar yang dating dari materi itu sendiri, seperti sinar matahari dan api. Sedangkan lafaz

رون

adalah cahaya yang datang dari materi lain.41

Lafaz

َلِزاَنَم ۥُهَرَّدَق

dalam tafsir al-Misbah dipahami dalam arti Allah menjadikan bagi bulan manzilah-manzilah, yakni tempat-tempat dalam perjalanannya mengitari matahari. Setiap malam ada tempatnya dari saat ke saat sehingga terlihat di bumi ia selalu berbeda sesuai dengan posisinya dengan matahari. Inilah yang menghasilkan perbedaan-perbedaan bentuk bulan dalam pandangan kita di bumi.

Dari sini pula dimungkinkan untuk menentukan bulan-bulan Hijriah.

Untuk mengelilingi bumi, bulan menempuhnya selama 29 hari 12 jam 44 menit dan 2,8 detik.42

Prof. Dr. Syamsul Anwar menjelaskan ayat di atas menunjukkan bahwa bulan dan matahari memiliki system dan aturan peredaran yang telah ditetapkan oleh hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan Allah SWT sehingga peredaran itu dapat dihitung

39 Departemen Agama RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya, Surat Yunus (10) : 5

40 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian al- Qur’an, 322

41 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (diterjemahkan oleh Bahrun

Abu Bakar dari Tafsir Al-Maraghi), (Semarang: PT Toha Putra, 1992), Juz 1, 123.

42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 333-334.

(16)

(dihisab) oleh manusia. Dan bahwa peredaran bulan dan matahari dapat dihitung dan diprekdiksikan bukan sekedar informasi belaka, melainkan suatu isyarat agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu secara umum.43 Penegasan tersebut juga lebih bersifat imperatif yang memerintahkan untuk mempelajari dan meneliti gerak dan peredaran benda-benda langit tersebut yang dengannya akan mendatangkan banyak keguanaan seperti untuk meresapi kekuasaan Sang Pencipta, dan untuk kegunaan prektis bagi manusia sendiri antara lain untuk menyusun suatu sistem perorganisasian waktu yang baik.44

2. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW

ث نابعش ةدع اولمكاف مكيلع بيغ نإف هتيؤرل اورطفاو هتيؤرل اوموص ينثلا

45

)يراخبلا هاور(

Artinya: “Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Apabila hilal itu tertutup debu atasmu maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga puluh.”

(H.R. Bukhari)

مكيلع مغ ناف اورطفاف هومتيأر اذإو اوموصف للالها اومتيأر اذإ اوردقاف

هل

46

)ملسم هاور(

Artinya: “Bila kamu melihat hilal, maka berpuasalah, dan bila kamu melihat hilal maka berbukalah. Bila hilal itu tertutup awan, maka kira-kirakanlah ia.” (H.R. Muslim)

Berdasarkan kedua hadits di atas penetapan awal bulan Qamariyah adalah dengan jalan rukyatul hilal yaitu dengan melihat

43 Syamsul Anwar, Hisab Bulan Kamariyah Tinjauan Syar’I tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012), 29. Selanjutnya ditulis Syamsul Anwar, Hisab Bulan Kamariyah Tinjauan Syar’I tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah.

44 http://alfandromeda79.wordpress.com/2015/04/13/tafsir-ahkam-penentuan- awal-bulan-qomariyah/ (diakses pada tanggal 03 Maret 2018)

45 Maskufa, Ilmu Falak, 152. Lihat juga Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al- Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Dar Nahrannil, tt), juz 1, 327

46 Maskufa, Ilmu Falak, 152 Lihat juga Imam Abi Husain Muslim bin al-Hijāji al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), juz 1, 436

(17)

secara langsung pada hari di mana telah terjadi ijtima’ pada saat matahari terbenam pada hari ke 29 dalam bulan tersebut. Kemudian jika hilal tidak berhasil dirukyat atau dilihat maka langkah selanjutnya adalah dengan cara menggenapkan bilangan bulan tersebut menjadi 30 hari. Jika diamati secara matan maka hadits di atas lebih tepat untuk menggunakan jalan rukyatul hilal dalam menentukan awal bulan Qamariyah.47

Kemudian mereka yang menggunakan metode hisab dalam menentukan awal bulan bukan berarti didasarkan pada pengetahuan akal semata dengan melepaskan diri dari naṣ. Dalam surat al-Baqarah ayat 185 dan juga hadits Nabi SAW di atas mereka mengakui bahwa untuk mengawali puasa dan berhari raya hendaknya dengan rukyat.

Tetapi mereka memahami rukyat dalam arti melihat dengan ilmu atau akal (rukyat bil-‘ilmi). Diperkuat dengan hadits kedua di atas, kalangan penganut hisab memaknai kalimat

هلاوردقاف

(kira-kirakanlah) yaitu dengan jalan hisab.

Sementara itu dalam menafsirkan lafaz

هلاوردقاف

Para Ulama terjadi ikhtilaf (berbeda pendapat), sebagian ulama termasuk Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa lafaz tersebut memiliki arti

“sempitkanlah dan kira-kirakanlah keberadaan bulan ada di bawah awan.” Sedangkan Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, beserta jumhur ulama, berpendapat bahwa lafaz

هلاوردقاف

mempunyai arti “kira-kirakanlah dengan menyempurnakan jumlah hari pada bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”48

Baik dalam ayat-ayat al-Qur’an atau hadits-hadits di atas nampaknya jelas bahwa untuk mengawali kapan mulai berpuasa

47 Maskufa, Ilmu Falak, 152-155

48 Jaenal Arifin, “Fiqih Hisab Rukyah di Indonesia (Telaah Sistem Penentuan Awal Bulan Qomariyah)” Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 05 : 2 (Desember 2014): 405-407. Selanjutnya ditulis Jaenal Arifin, “Fiqih Hisab Rukyah di Indonesia (Telaah Sistem Penentuan Awal Bulan Qomariyah)” Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam.

(18)

dilanjutkan dengan kapan berhari raya, hendaknya dilakukan dengan rukyat. Mereka memahami rukyat dengan ilmu atau akal atau disebut rukyat bil ‘ilmi. Kemudian lebih jelas dalam hadits dengan tambahan keterangan

هلاوردقاف

yang mengisyaratkan untuk melakukan istikmal atau menyempurnakan bulan tersebut menjadi 30 hari jika memang dalam rukyat tidak berhasil, misalnya karena tertutup oleh awan, atau karena hilal belum bisa dilihat karena belum imkan ru’yat (kemungkinan bulan bisa dilihat) sekalipun pada hari tersebut sudah terjadi ijtima’ (konjungsi).49

Melihat beberapa pendapat ulama di atas Jaenal Arifin menyimpulakn bahwa ditemukan dua kategori macam rukyatul hilal yang merupakan penggabungan antara hasil pemikiran para ulama tersebut yang memungkinkan terhindarnya dari berbagai bentuk yang dapat melemahkan salah satunya. Maka penggabungan ini adalah langkah yang efektif sebagai bentuk praktis.50

Pertama, Rukyat bil Fi’li adalah usaha melihat hilal atau bulan baru tanpa dibantu dengan menggunakan alat apapun seperti teleskop dan peralatan canggih lainnya. Waktunya saat matahati terbenam di ufuk barat pada akhir (tanggal 29) bulan qamariyah. Kedua, Rukyat bil ‘Ilmi adalah usaha melihat hilal dengan menggunakan ilmu hisab, artinya tidak dengan melihat langsung tanpa menggunakan alat tetapi melihat hilal dengan mengetahui lewat ilmu hisab dengan tanpa dibuktikan di dunia nyata.

Maka rukyat semacam ini adalah metode yang menuntut perukyat untuk mengetahui dan mempelajari lebih dalam tentang ilmu hisab yang seperti kita tahu banyak sekali ragamnya dan bervariatif, yang kemudian akan menemukan hasil yang dianggap lebih benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara empiris dan ilmiah.

Dengan dasar dalil dan hadits di atas dapat diketahui bahwa hikmah dari Allah menetapkan ketentuan manzilah-manzilah bagi

49 Maskufa, Ilmu Falak, 155

50 Jaenal Arifin, “Fiqih Hisab Rukyah di Indonesia (Telaah Sistem Penentuan Awal Bulan Qomariyah)” Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 407-409

(19)

perjalanan bumi dalam orbitnya adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu bagi kepentingan ibadah dan muamalah.51

Ustadz Mohammad Iqbal Santoso (Ketua DHR PP PERSIS) menyebutkan bahwa sejatinya antara hisab dan rukyat keduanya saling melengkapi. Tidak mungkin ada hisab tanpa rukyat dan rukyat yang baik memerlukan panduan hisab dan memang seharusnya demikian beriringan untuk menghasilkan kesimpulan yang akurat.

D. Metode Penentuan Awal Bulan Qamariyah 1. Pengertian awal bulan Qamariyah

Awal bulan Qamariyah adalah suatu titik pergantian antara bulan lama dengan bulan baru yang ditandai dengan adanya hilal di atas ufuk pada waktu ghurub/maghrib (terbenamnya matahari) setelah terjadinya ijtima’ di hari tersebut. Keberadaan hilal tersebut merupakan batas antara bulan lama dan bulan baru yang tidak selalu tepat di atas garis bujur yang sama. Ini berbeda dengan date line kalender masehi yang berpedoman pada peredaran bumi mengelilingi matahari dengan menggunakan pedoman bujur yang terletak di bujur 180º dari kota Greenwich. Selain itu juga kemunculan hilal di atas ufuk dikaitkan dengan waktu gh\urub al-syams. Dari sini lah kemudian timbul penafsiran yang berbeda-beda dalam menentukan kapan awal bulan Qamariyah dimulai, dengan mempertimbangkan dan menghitung data-data sebagai berikut:52

a. Ketinggian hilal di atas ufuk pada saat ghurub dapat dilihat dengan mata telanjang;

b. Ketinggian hilal di atas ufuk hakiki;

c. Ketinggian hilal di atas ufuk mar’i;

d. Ketinggian hilal di atas ufuk mar’i dengan batas minimal imkan rukyat (kemungkinan hilal dapat dilihat);

51 Evi Maela Shofa, Penentuan Awal Bulan Dalam Kalender Hijriyah Menggunakan Kriteria 29 (Studi Analisis Pemikiran Hendro Setyantu), (Skripsi, Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syari’ah, Universitas Walisongo, Semarang, 2015), 35

52 Sofwan Jannah, Penentuan Awal Bulan Qomariyah: Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Al-Mawardi, Ed.I (September-Desember 1993): 59-60

(20)

e. Terjadinya ijtima’ (konjungsi) antara matahari dan bulan sebelum terbenamnya matahari;

f. Terjadinya ijtima’ dengan bulan sebelum fajar;

g. Dengan hisab ‘urfi, baik ciptaan Khalifah Umar bin Khattab maupun ciptaan Sultan Agung.

Sementara itu ada beberapa indikator yang memicu terjadinya perbedaan dalam menentukan awal bulan Qamariyah seperti yang diungkapkan oleh Jaenal Arifin (Dosen STAIN Kudus). Sumber- sumber yang memicu terjadinya perbedaan pendapat adalah akibat dari pola pikir dalam menafsirkan dan menterjemahkan serta asumsi individu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, terlebih jika harus bersangkutan dengan karakter berpikir seseorang yang sudah pasti memiliki start dan latar belakang yang berbeda. Beberapa perbedaan tersebutlah yang menjadi pangkal lahirnya perbedaan dalam menentukan awal bulan Qamariyah, utamanya dalam menentapkan bulan-bulan tertentu yang di dalamnya terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak bisa dilepaskan dengan ketetapan waktu dan tanggal sehingga menuntut setiap individunya untuk mengetahui dan mengkaji ilmu ini.53

2. Macam-macam metode penentuan awal bulan Qamariyah

Dalam menentukan awal bulan Qamariyah para ahli hisab menggunakan sistem perhitungan yang sudah diuju keakuratannya yang merupakan refleksi dari hasil observasi di lapangan dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Kemudian diformulasikan dalam bentuk daftar, table data, rumus-rumus serta cara perhitungannya sehingga sebelum melakukan rukyat sudah diketahui perhitungannya, seperti posisi ketinggian hilal di atas ufuk maupun di sebelah selatan atau utara matahari (azimut). Sedangkan sistem atau metode rukyat (observasi) sendiri merupakan formulasi dari hasil hisab yang di

53 Jaenal Arifin, “Fiqih Hisab Rukyah di Indonesia (Telaah Sistem Penentuan Awal Bulan Qomariyah)” Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 05 : 2 (Desember 2014): 403-404

(21)

praktekkan di lapangan. Sebagai catatan pula bahwa kedua metode ini tidak perlu dipermasalahkan penggunaannya, karena pada prinsipnya keduanya saling membantu dan melengkapi.54

Dari pemahaman inilah, secara umum dapat ditemukan dua metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan Qamariyah ini juga yang kemudian disepakati oleh ilmuwan-ilmuwan terutama di Indonesia:

a. Rukyat

Secara bahasa (etimologi) rukyat bersal dari kata ra’ā, yarā, ra’yan, wa ru’yatan yang memiliki arti melihat, mengerti, menyangka, menduga dan mengira-ngira.55 Sedangkan menurut istilah (terminologi) rukyat berarti melihat hilal pada saat matahari terbenam (gurub) pada tanggal 29 bulan Qamariyah untuk memastikan bulan baru Qamariyah. Jika hilal berhasil dirukyat atau dilihat –dengan mata telanjang atau dengan alat teknologi– maka sejak saat itu setelah matahari terbenam dihitung tanggal satu bulan baru Qamariyah, tetapi sebaliknya jika hilal tidak berhasil dilihat maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan yang berjalan dengan menggenapkan hari menjadi 30 hari (istikmal).56 Rukyat juga berarti melihat, yakni observasi atau mengamati benda-benda langit.57

Rukyat biasanya dimaksudkan untuk menentukan awal bulan Ramadhan, Syawwal dah Dzulhijjah. Bulan-bulan tersebut berkaitan dengan ibadah puasa dan ibadah haji. Maka dari itu untuk memastikan awal bulan Qamariyah perlu dilakukan

54 Sofwan Jannah, Penentuan Awal Bulan Qomariyah: Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, 60

55 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: PP “Al-Munawwir” Krapyak, 1984), 494-495. Selanjutnya ditulis Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia.

56 Depag, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam 1981), 15. Lihat juga Maskufa, Ilmu Falak, 149

57 Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005), 69.

Selanjutnya ditulis Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak.

(22)

observasi (rukyat) secara langsung di lapangan, dan keberhasilan rukyat sendiri bergantung pada kondisi ufuk di sebelah barat tempat peninjau dan posisi hilal serta kejelian mata. Sekalipun menggunakan alat teknologi modern ketiganya menjadi bagian yang sangat penting.58

Ada beberapa aliran dalam metode rukyat yang digunakan, paling tidak ada dua aliran sebagai barikut:

1) Rukyat bil fi’li

Rukyat bil fi’li atau sebagian mengatakan rukyatul hilal adalah usaha melihat atau mengamati hilal di tempat terbuka dengan menggunakan mata telanjang atau dibantu dengan menggunakan alat yang mendukung pada saat matahari terbenam di ufuk barat pada saat menjelang bulan baru Qamariyah (tanggal 29 bulan Qamariyah). Apabila hilal berhasil dilihat maka mulai malamnya dan keesokan hari sudah memasuki tanggal baru bulan Qamariah berikutnya.

Dan sebaliknya jika hilal tidak berhasil dilihat maka esok hari masih bulan yang berlaku yaitu tanggal 30 (di-istikmal-kan).

59

Kelompok ini berangkat dari penafsiran hadits secara harfiyah, bahwa hilal harus dilihat secara langsung.

Sementara itu, inipun masih menimbulkan pertanyaan, apakah harus dengan mata telanjang? Maka kemudian ada dua pendapat dalam masalah ini. Pertama, yang mengatakan bahwa hilal harus dilihat secara langsung dengan mata telanjang dan tidak boleh menggunakan alat yang dapat memantulkan cahaya. Kedua, yang mengatakan boleh dengan

58 Maskufa, Ilmu Falak, 149

59 Lutfi Adnan Muzamil, Studi Falak dan Trigonometri, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015), 24. Selanjutnya ditulis Lutfi Adnan Muzamil, Studi Falak dan Trigonometri.

(23)

menggunakan peralatan sebagai alat bantu seperti teropong atau teleskop.60

2) Rukyat bil ‘ilmi

Rukyat bil ‘ilmi adalah cara mengamati hilal dengan menggunakan ilmu sebagai alat untuk melihat hilal. Tidak peduli apakan langit sedang badai atau mendung, selama perhitungan rumus mengatakan sudah terjadi hilal yaitu bulan sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam (wujudul hilal) tanpa dengan melakukan observasi sekalipun, maka pergantian bulan tetap terjadi.61

b. Hisab

Hisab secara bahasa (etimologi) adalah hitungan atau perhitungan.62 Ilmu hisab juga dikatakan ilmu hitung atau ilmu arithmetic, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan. Di kalangan umat Islam sendiri ilmu hisab dikenal dengan ilmu falak dan ilmu faraid, karena kegiatan yang paling banyak dalam kedua ilmu ini adalah perhitungan- perhitungan. Sementara itu di Indonesia ilmu hisab sering dikatakan ilmu falak.63

Secara istilah (terminologi) yang dimaksud hisab adalah perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan. Apabila hisab ini dalam penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab awal bulan maka yang dimaksud hisab di sini adalah menentukan atau memperhitungkan kedudukan matahari atau bulan sehingga diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut pada bola langit

60 Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, (Jakarta: Kencana, 2015), 40.

Selanjutnya ditulis Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak.

61 Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, 40

62 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, 282

63 Maskufa, Ilmu Falak, 147. Lihat juga Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, 30

(24)

pada saat-saat tertentu. Dengan begitu setelah diketahui pesisinya maka akan diketahui pula kapan pergantian waktu seharusnya terjadi.64

Sistem hisab yaitu usaha menentukan awal bulan Qamariyah yang menjadikan perhitungan peredaran bulan mengelilingi matahari sebagai dasarnya. Pengertian lain mengatakan bahwa hisab ini adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan, sehingga dapat diketahui kapan masuknya bulan Qamariyah masuk tangal satu.

Metode ini pula tidak menggantungkan pada terlihat atau tidaknya hilal saat matahari terbenam, sehingga dapat dilakukan perhitungan jauh sebelumnya. Metode ini pula secara mutlak diperlukan dalam menentukan awal-awal bulan untuk kepentingan penyusunan kalender, baik kalender Qamariyah maupun Syamsiyyah.65

Dalam hisab sendiri setidaknya ada dua aliran juga, sebagai berikut:

1) Hisab ‘Urfi

Hisab ‘urfi yaitu sistem hisab yang dalam perhitungan penanggalannya didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi yang ditetapkan secara konvensional, kerena itu dapat ditetapkan rata-rata umur bulan. Hisab ini hanya digunakan untuk penanggalan muamalah secara internasional bukan untuk pelaksanaan ibadah secara syar’i.66

Hisab semacam ini juga tidak bisa mencerminkan fase bulan yang sebenarnya, ia merupakan metode pendekatan.

Diketahui bahwa siklus fase bulan yang lamanya 29.53 hari didekati dengan 29 hari. Maka dari itu untuk keperluan ibadah –selain muamalah– rukyat di lapangan secara

64 Maskufa, Ilmu Falak, 148

65 Lutfi Adnan Muzamil, Studi Falak dan Trigonometri., 25

66 Lutfi Adnan Muzamil, Studi Falak dan Trigonometri., 25

(25)

langsung di awal bulan tetap sebaiknya dilakukan (seperti bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah) untuk mencari data matahari dan bulan yang sebenarnya karena tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh naṣ.67

2) Hisab Haqiqi

Hisab Haqiqi adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya.68 Pada sistem ini umur bulan setiap bulannya tidaklah tetap kadang berturut-turut 29 hari atau 30 hari, bahkan tidak tetap seperti dalam hisab ‘urfi. Sistem ini lebih mendekati pada apa yang dimaksudkan oleh naṣ karena memperhitungkan kapan hilal akan wujud, sehingga banyak juga digunakan oleh umat Islam karena jika dibandingkan dengan hisab ‘urfi yang bersifat konvensional, hisab haqiqi ini lebih akurat, seperti kelompok Muhammadiyah yang menggunakan sistem ini yang berpedoman kepada ufuk haqiqi.69 Sistem ini juga dianggap lebih sempurna dan lebih akurat dari hisab ‘urfi karena telah menggunakan data-data astronomis dan rumus- rumus yang akurat serta didukung dengan alat bantu sehingga dipandangnya lebih akurat.70

Dalam pembagiannya sistem hisab ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian, sebagai berikut:71

Hisab Haqiqi Taqribi

Adalah sistem hisab yang dalam observasinya menggunakan asumsi yang meyakini bumi adalah pusat peredaran benda-benda langit. Kelebihan dari sistem ini

67 Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, 37-38

68 Muhammad Wardan, Hisab Urfi dan Hakiki, (Jogjakarta: Siaran, 1957), 32.

Selanjutnya ditulis Muhammad Wardan, Hisab Urfi dan Hakiki.

69 Maskufa, Ilmu Falak, 166

70 Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, 38

71 Jaenal Arifin, “Fiqih Hisab Rukyah di Indonesia (Telaah Sistem Penentuan Awal Bulan Qomariyah)” Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 05 : 2 (Desember 2014): 411-413

(26)

adalah data-data dan table-tabelnya tidak pernah berubah sehingga dapat digunakan secara terus menerus. Sistem ini berdasarkan data-data yang disusun oleh Ulugh Beik Al-Samarqhandi (Zeij Ulugh Beyk). Beberapa sumber yang menggunakan sistem ini siantaranya: Sulam al- Nayirain, Tadzkirah al-Ikhwan, Risalah al-Qamarain dan Qawaid al-Falakiyah.

Hisab Haqiqi Tahqiqi

Adalah sistem hisab yang dalam pengamatannya didasarkan pada teori Nicolas Copernicus yakni teori heliosentris yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat peredaran benda-benda langit. Kemudian data-data ini berhasil disusun oleh Syeikh Husein Zaid Alauddin Ibnu Syatir. Rumus yang digunakan adalah Spherical Trigonometri dengan koreksi data gerakan bulan maupun matahari yang dilakukan secara teliti dan dibantu oleh alat hitung. Diantara sumber yang menggunakan sistem ini di antaranya: al-Khulashah al-Wafiyah, dan Hisab Haqiqi Nur Anwar.

Hisab Haqiqi Tahqiqi (Kontemporer)

Data yang digunakan adalah astronomi modern yang merupakan pengembangan dari sistem hisab haqiqi tahqiqi dan merupakan penggabungan dari beberapa sistem ilmu astronomi modern, yaitu dengan cara menggunakan, mengembangkan dan memperluas serta menambahkan koreksi gerak bulan dan matahari dengan Spherical Trigonometri, sehingga akan diperoleh data yang lebih akurat dan teliti. Beberapa sumber yang menggunakan sistem ini di antaranya: Newcomb, Jean Meuus, Almanak Neutika, dan The American Ephemeris.

Dari kedua metode di atas (Hisab dan Rukyat) masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli rukyat. Sebagian pendapat

(27)

menyatakan bahwa suatu maṭa’ (lokasi) rukyat dapat berlaku untuk seluruh tempat, sedangkan yang lain berpendapat bahwa lokasi tempat dilakukan rukyat berlaku hanya bagi daerah di mana dilakukan rukyat tersebut. Terlebih jika dilihat dari pelaku rukyat ada keraguan dalam masalah kejujuran apakah dia benar-benar melihat atau tidak atau bahkan salah penglihatan padahal bukan hilal yang terrukyat. Karena sering ditemukan data hasil rukyat berbeda dengan data hasil hisab yang dianggap akurat.72

Sementara itu ahli hisab menghasilkan beberapa kesimpulan dari berbagai metode yang digunakan, sebagai berikut:

1. Ijtima’ sebagai titik batas antara bulan yang satu dengan bulan berikutnya, di mana hal ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah yang menyatakan “ijtima’u an-nayraini isbatu bayna as-syahraini”.

Dan oleh karena itu setiap ijtima’ yang terjadi sebelum terbenam matahari (qabla gurub) dianggap awal bulan baru, bahkan dikatakan pula bahwa ijtima’ sebelum fajar (qabla fajr) pun menjadi batas awal bulan baru sebagaimana pelaksanaan ibadah bulan Ramadhan di mulai setelah fajar sampai terbenamnya matahari.

2. Berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk73 pada waktu magrib, adapun ahli hisab yang lain menggunakan koreksi tertentu agar ketinggian hilal berada di atas ufuk mar’i, bahkan ada yang mensyaratkan minimal Imkan Rukyat.

3. Berpedoman pada hisab ‘urfi yang dicetuskan oleh khalifah Umar bin Khattab. Ada juga yang berpedoman pada hisab ‘urfi ciptaan Sultan Agung dengan istilah Amis won, Aboge atau Asoponnya.

72 Sofwan Jannah, Penentuan Awal Bulan Qomariyah: Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, 62

73 Ufuk yang dimaksud adalah ufuk hakiki yaitu sudut yang dibentuk 90° oleh titik zenit (titik khayal di langit yang tegak lurus di atas bumi terhadap cakrawala, atau disebut juga titik puncak). Lihat KBBI

(28)

Hal ini dapat dibuktikan bahwa ibadah puasa Ramadhan baru akan terasa sempurna jika genap 30 hari, sebagai konsekuensi dari jumlah hari dalam bulan qamariyah yang dalam perhitungan ‘urfi jumlah hari berseling-seling antara 30 dan 29 hari.

Perbedaan hasil perhitungan dari berbagai sistem, memerlukan perhatian khusus bagaimana upaya penyempurnaannya supaya selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebab hilal sebagai objek yang diobservasi hanya satu dan setiap awal bulan akan muncul di ufuk barat, hanya saja kadang-kadang ada yang menutupinya seperti awan, atau kerena terlalu berdekatan dengan matahari. Perhatian tersebut bisa berupa kajian-kajian yang lebih dalam dalam pembahasan masalah ini atau pengadaan alah canggih yang bisa mendeteksi keberadaan hilal di atas ufuk. Yang pada gilirannya akan memberikan pemahaman kepada masyarakat sehingga meredalah setiap keresahan masarakat atas ketetapan waktu ibadah tertentu. Jika pun terjadi pertentangan antara hasil hisab dengan hasil rukyat maka cara mengantisipasinya adalah dengan mengembalikan pada cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW, yaitu iṣbat (penetapan) untuk menetapkan kapan jatuhnya tanggal satu bulan baru. Di Indonesia sendiri yang mewadahi masalah ini adalah Kementrian Agama melalui Badan Hisab dan Rukyat (BHR) yang dapat menghimpun data-data yang ditemukan di seluruh Indonesia, kemudian dimusyawarahkan dengan rujukan hisab yang akurat dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat Islam. Penetapannya sendiri dalam hal ini adalah Hakim Agung melalui Kementrian Agama. Sehingga dengan langkah seperti ini dapat meminimalisir kemungkinan-kemungkinan pertentangan yang berlaku.74

74 Sofwan Jannah, Penentuan Awal Bulan Qomariyah: Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, 62-64

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Muzamil Lutfi, Studi Falak dan Trigonometri, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015

Anwar Syamsul, Hisab Bulan Kamariyah Tinjauan Syar’i tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012

Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rev. VI, Jakarta: Rineka Cipta, 2006

Azhari Susiknan, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Cet. Ke-II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007

Aziz Dahlan Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jil. I, Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Houve, 1997

Depag, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam 1981

Departemen Agama RI, Al-Qur,an dan Terjemahannya

Djamaludin T., Fikih Astronomi, Cet. 1, Bandung: Kaki Langit, 2005

Gunawan Imam, Metode Penelitian Kualitatif, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta: Bumi Aksara, 2015

Izzudin Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007 Izzudin Ahmad, Ilmu Falak Prektis, Semarang: Pustaka Al-Hilal, 2012 Khazin Muhyiddin, Kamus Ilmu Falak, Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005 Marpaung Watni, Pengantar Ilmu Falak, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2015 Maskufa, Ilmu Falak, Cet. I, Jakarta: GP Press, 2009

Muhammad Jalaluddin bin Ahmad Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi, Tafsir Jalalein.

Mustafa Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 1 (diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dari “Tafsir Al-Maraghi), Semarang: PT Toha Putra

(30)

Nawawi Imam, Majmu’, jilid VI, Mesir: Beirut, t.t.

Quraish M. Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Volume V, Cet. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2009

Ridha Rasyid, Tafsir Al-Manar, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, II 2005 Salam Nawawi Abd., Ilmu Falak Praktis, Cet. 1 Surabaya: Imtiyaz, 2016

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R7D, Bandung: Alfabeta, 2013

Surakhmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Penerbit Tarsito, 1998

Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuardi, 200 Zed Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2004

Jannah Sofwan, Penentuan Awal Bulan Qamariyah: Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Al-Mawardi, Ed.I September-Desember 1993

Arifin Jaenal, “Fiqih Hisab Rukyah di Indonesia (Telaah Sistem Penentuan Awal Bulan Qamariyah)” Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 05 : 2 (Desember 2014)

Junizar Muadz, Kajian Tentang Penentuan Awal Bulan Qamariyah Menurut Persis, (Skripsi, Jurusan Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta), 2001

Maela Evi Shofa, Penentuan Awal Bulan Dalam Kalender Hijriyah Menggunakan Kriteria 29 (Studi Analisis Pemikiran Hendro Setyantu), (Skripsi, Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syari’ah, Universitas Walisongo, Semarang, 2015)

Rohmat, “Penentuan Awal Bulan Qamariyah Menurut Muhammadiyahh”, Ijtimaiyya 7 : 1 (Februari 2014)

Siti Wasilah Ai, Dinamika Kriteria Penentuan Awal Bulan Kamariyah (Studi terhadap Organisasi Kemasyarakatan Persatuan Islam), (Skripsi, Program

(31)

Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta), 2008

Sudarmono, Analisis Terhadap Penentuan Awal Bulan Qamariyah Menurut Persatuan Islam, (Skripsi, Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang), 2008

Widiana Wahyu, “Penentuan Awal Bulan Qamariyah dan Permasalahannya Di Indonesia” Jurnal Al-Ulum 10 : 2 (Desember 2010)

Zaman Qomaruz, “Memahami maknahilal menurut tafsir Al-Qur’an dan sains”, Universum, 9 : 1 (Januari 2015)

(http://id.m.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat, diakses hari rabu, tanggal 22/03/2017)

(http://mutiary.wordpress.com/2010/12/01/metode-hisab-dan-metode-rukyat/, diakses hari selasa, tanggal 18/04/2017)

(http://www.google.com/amp/s/abusabda.wordpress.com/2015/06/29/kapankah-1- syawal-1436-h-jumat-atau-sabtu/amp/ diakses hari rabu, tanggal 22/03/2017)

(file:///D:/SKRIPSI/Reverensi/Ustdz-abu-sabda/Hisab-Imkanur-Rukyat-Kriteria- Awal-Bulan-Hijriyyah-Persatuan-Islam.htm diakses pada tgl. 17/06/2017) (http://alfandromeda79.wordpress.com/2015/04/13/tafsir-ahkam-penentuan-awal-

bulan-qamariyah/) (diakses pada tanggal 03/03/2018)

(http://alfandromeda79.wordpress.com/2015/04/13/tafsir-ahkam-penentuan-awal- bulan-qamariyah/) (diakses pada tanggal 03/03/2018)

(http://alfandromeda79.wordpress.com/2015/04/13/tafsir-ahkam-penentuan-awal- bulan-qamariyah/)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penentuan awal bulan Qamariyah pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Agama menggunakan metode rukyatul hilal dengan kreteria yang telah disepakati

Pemerintah (dalam hal ini adalah departemen agama) berusaha menjadi penengah dengan mengguanakan Imka > n al- Ru‟yat , yaitu awal bulan Qamari > yah dimulai pada

Pada dasarnya, para pegiat ilmu falak FPI yang terkumpul dalam Lajnah Falakiyah FPI sudah mengenal berbagai metode hisab rukyat penentuan awal bulan Kamariah,

1. Hisab awal bulan Kamariah 2. Hisab waktu shalat dan imsakiyah 3. Hisab gerhana Matahari dan Bulan. Adapun hisab yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah

Skripsi yang berjudul Otoritas Pemerintah Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah Perspektif Fiqh Siyâsah Yusuf Qardhawi, disusun dalam rangka memenuhi salah satu

putusan tarjihnya. Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa pada awalnya Muhammadiyah lebih menggunakan rukyah sebagai metode dalam penentuan awal bulan hijriyah, sekalipun

Untuk Penentuan awal bulan kamariyah di Makassar hisab digunakan sebagai pedoman teknis dengan muatan beberapa data mengenai posisi bulan, matahari dan bumi, hal ini diperlukan

Beberapa kalangan menyebut model hisab ini dengan sebutan hisab istilahi, karena metode perhitungan juga didasarkan kepada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi.