• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Awal Bulan Qamariyah Menurut Muhammadiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penentuan Awal Bulan Qamariyah Menurut Muhammadiyah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH MENURUT MUHAMMADIYAH

Oleh:

H. Rohmat

Abstrak

Traditionally, the first day of each month is the day (beginning at sunset) of the first sighting of

the hilal (crescent moon) shortly after sunset. Beside

that, the astronomical new moon times and dates are already computed exactly for thousands of years backward and forward. Some nations have used the lunar phase cycle as the basis for their calendars. In a majority of Nadlatul Ulama (NU), oppose the use of calculations, on the grounds that the latter would not conform with Muhammad's recommendation to observe the new moon of Ramadan and Shawwal in order to determine the beginning of these months. This Indonesia‟s largest Muslim organization, prefers to utilize the method called imkanur rukyat, which requires a clear, visible sighting of the moon. In the other side, Muhammadiyah organization sets the first Ramdhan based on mathematical and astronomical calculations known as hisab wujudul hilal. This article focuses to discuss further about how Muhammadiyah sets the first day of Hijrah calendar.

Kata kunci: Penentuan, Bulan Qamariyah, dan

Muhammadiyah A. Pendahuluan

Salah satu kebutuhan manusia dalah hidup bermasyarakat adalah metode penanggalan. Penanggalan merupakan metode

(2)

satuan-satuan ukuran waktu yang digunakan untuk mencatat berbagai peristiwa penting, metode-metode waktu itu antara lain hari, minggu, bulan, tahun, dan sebagainya.

Pada garis besarnya ada dua macam metode penanggalan yaitu yang didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari yang dikenal dengan metode Syamsiyah/Solar metode, dan yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi, yang dikenal dengan metode Qomariyah/Lunar Metode1

Penanggalan (kalender) qamariyah sering disebut juga dengan kalender Islam, karena kalender ini secara resmi bagi ummat Islam digunakan bukan hanya untuk mencatat peristiwa penting saja, tapi punya hubungan erat dengan pelaksanaan ibadah, seperti pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh, pelaksanaan haji, peringatan hari-hari besar Islam , dan yang lainnya. Kalender qamariyah atau kalender Islam juga sering disebut dengan kalender hijriyah, karena epoch yang digunakan dalam perhitungan kalender ini adalah saat hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari kota Makkah ke Madinah.

Sistem kalender hijriyah atau kalender Islam atau kalender qamariyah ini didasarkan pada siklus penampakan hilal atau peredaran bulan mengelilingi bumi, sebagai pelaksanaan hadits Nabi yang berbunyi:

نٌلثلاث نابعس ةدع اولمكاف مكٌلع ىمغا ناف هتٌؤرل اورطفاو هتٌؤرل اوموص ( هاور يراخبلا ) 2 Artinya:

“Berpuasalah karena melihat hilal dan berhari rayalah karena melihat hilal. Jika hilal terhalang mega maka sempurnakanlah bulan Sya‟ban 30 hari.” (HR. Bukhari).

Dengan melihat hadits tersebut, pada masa Rasulullah rukyatlah satu-satunya pedoman untuk menentukan awal bulan. Dengan kata lain umur bulan sya‟ban dan Ramadhan itu 29 hari atau 30 hari ditentukan dengan rukyat. Apabila rukyat berhasil

1Pembinaan Administrasi Hukum dan PA, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah, (Jakarta: 1983), h.1.

2Imam Bukhori, Saheh Bukhari, (Beirut: Darul Fikri, 1981), Juz.II, h.

(3)

maka umur bulan 29 hari, dan apabila rukyat tidak berhasil maka umur bulan disempurnakan menjadi 30 hari.3

Ketika pemahaman terhadap nash agama sudah berkembang dan para ulama pun sudah membuka diri untuk mempedomani hisab selain rukyat dalam penentuan awal bulan qamariyah maka penntuan awal bulan qamariyah tidak hanya dengan rukyat saja tetapi juga dengan hisab. Metode hisab ini dari waktu ke waktu terus berkembang sehingga banyak metode-metode hisab bermunculan seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, termasuk di Indonesia.

Hisab yang berkembang di Indonesia terbagi pada tiga kelompok yaitu; hisab hakiki takribi, hisab hakiki tahkiki, dan hisab

hakiki tadqiqi (kontemporer). Perbedaan ketiganya selain ditandai

dengan up to date atau out of date data yang dipakai juga ditandai dengan system perhitungan dan koreksinya. Perbedaan-perbedaan ini yang menyebabkan peerbedan hasil dalam penentapan awal bulan qamariyah.

Di Indonesia selain banyak metode yang berkembang juga banyaknya ormas-ormas Islam yang eksis dan berkembang, masing-masing ormas Islam memiliki masa atau warga dan kebijakan tersendiri. Dan ini juga ikut mewarnai terhadap perbedaan penetapan awal bulan qamariyah. Sehingga sering terjadi perbedaan mengawali puasa Ramadhan dan berhari raya idul fithri dikalangan umat Islam Indonesia. Dapat dilihat dua tahun terakhir ini yaitu pada hari raya idul fitri tahun 1427 H dan 1428 H. hari raya idul fitri selalu berbeda.

Salah satu ormas kegamaan di Indonesia yang memiliki banyak masa pendukungnya adalah Muhammadiyah. Pada akhir-akhir ini Muhammadiyah menjadi sorotan ketika dalam penentuan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal sering berbeda dengan pemerintah dan ormas-ormas keagamaan lainnya.

Dalam sejarah pemikiran bahwa tidak ada suatu pemikiran yang lahir dalam posisi "Telanjang" tanpa pengaruh ruang, waktu, maupun pemikiran seseorang. Pemikiran hisab Muhammadiyah

3Wahyu Widiana, Kreterisa Imkan rukyat” Dalam Peruan Hisab Ru‟yat,

(4)

lahir atas gagas K.H. Ahmad Dahlan sebagai respon terhadap system Aboge yang biasa berlaku saat itu

Perhitungan hari yang didasarkan atas system Aboge bersifat spekulatif karena hanya didasarkan atas kepercayaan, padahal untuk menentukan hari raya perhitungannya didasarkan atas perjalanan bulan, karena menurut pandangan Ahmad Dahlan system Aboge dianggap tidak relevan dan kurang akurat.

Melihat kenyataan tersebut, Ahmad Dahlan "berijtihad" dan melakukan terobosan dengan menawarkan model hisab dalam menetapkan awal ramadhan dan syawal. Gagasan Ahmad Dahlan ini kemudian dijadikan dasar bagi Muhammadiyah dalam menetapkan awal ramadhan dan Syawal. dan selanjutnya Muhammad Wardan melakukan terobosan baru dengan menawarkan model baru dalam menetapkan awal bulan qamariyah, yang diistilahkan dengan hisab hakiki dengan sistem wujudul hilal.

Dari latar belakang yang telah dipaparkan tersebut di atas, maka dapat disusun suatu rumusan masalah sebagai berikut; bagaimana Muhammadiyah menetukan awal bulan qamariyah? Dan apa yang menjadi dasar Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan qamariyah?

B. Pembahasan

1. Sejarah Singkat Muhammadiyah

Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad Darwis atau KH Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M di Yogyakarta. Ahmad Dahlan adalah anak dari KH Abu Bakar bin K. Sulaiman seorang katib di kesultanan Yogyakarta. Ia dilahirkan pada tahun 1869 dengan nama M. Darwis. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahwu, fiqh dan tafsir di Yogyakarta dan sekitarnya, Pada tahun 1890 ia pergi ke Mekkah selama setahun untuk belajar di sana. Pada tahun 1903 ia kembali lagi ke tanah suci untuk menetap selama 2 tahun. Salah satu gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib4.

Muhammadiyah didirikan atas saran dari murid-muridnya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang permanen

4 Lihat selengkapnya dalam Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1996), Cet VIII, h. 85.

(5)

dengan maksud dan tujuan yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.5

Secara umum faktor pendorong kelahiran Muhammadiyah bermula dari beberapa kegelisahan dan keprihatinan sosial religius dan moral. Kegelisahan sosial ini terjadi disebabkan oleh suasana kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat. Kegelisahan religius muncul karena melihat praktik keagamaan yang mekanistik tanpa terlihat kaitannya dengan perilaku sosial dan positif disamping syarat dengan tahayul, bid‟ah, dan khufarat, Sedangkan kegelisahan moral di sebabkan oleh kaburnya batas antara baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas.6

Muhammadiyah berdiri untuk mengadakan tajdid atau perubahan yang bermakna mengembalikan wajah beku dari sistem Islam yang ditampilkan pemeluknya ketika itu utuk dikembalikan kepada dasar-dasar yang asli dari al- Qur‟an dan Al-Sunnah. Seluruh sistem ajaran dan struktur sosial serta kerangka berpikir tradisional dirombak menjadi yang sesuai dengan ajaran Islam.7

Pada tahun-tahun pertama organisasi Muhammadiyah ingin menggembirakan orang dalam mengamalkan ajaran agama Islam, Mengamalkan ajaran agama haruslah membuah-kan kesejukan dan kegembiraan bukannya kegelisahan, untuk merealisasikan tujuan itu maka Muhammadiyah mendirikan sekolah untuk mencerdaskan umat, membentuk mubalig dan mubalighat untuk kemudian diterjunkan ke tengah masya-rakat luas untuk menyiarkan ajaran Islam dan menyiarkan agama Islam melalui media cetak yang pada waktu itu bentuknya sangat sederhana dan dibagikan secara cuma-cuma, serta melancarkan usaha untuk menolong kesenjangan

5Syamsul Hidayat dkk, Studi Ke-Muhammadiyahan (Kajian Historis, Ideologi dan Organisasi), (Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar (LPID), h. 243

6 M. Yunan Yusuf dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2005), h. 251

7Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi, Dan Pendidikan (Kritik Dan Terapinya), (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), Cet I, h. 472

(6)

umum yang menjadi cikal bakal Pelayanan Kesehatan Umat (PKU), rumahrumah yatim dan miskin.8

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, sebagai organisasi kemasyarakatan, Muhammadiyah tidak hanya menangani masalah-masalah pendidikan saja, tetapi juga melayani berbagai usaha pelayanan masyarakat seperti kesehatan, pemberian hukum (fatwa), panti asuhan, penyuluhan dan lain-lain. Ini terbukti dengan banyaknya majelis, lembaga serta organisasi otonom yang menangani masalah-masalah sosial kemasyarakatan.9

Saat ini Muhammadiyah memiliki 9 majelis yaitu: Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Majelis Pustaka, Majelis Pendidikan Tinggi, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, Majelis Pembina Kesehatan, Majelis Kesejahteraan Sosial, Majelis Ekonomi, serta Majelis Waqaf dan Kehartabendaan.10

2. Pemikiran Hisab Muhammadiyah

Di Indonesia ilmu hisab juga berkembang pesat. Dalam

Ensiklopedi Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang pertama

terkenal sebagai bapak hisab Indonesia adalah Syeh Taher Jalaluddin al-Azhari. Namun, sebenarnya selain Syeh Taher Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh hisab yang sangat berpengaruh, seperti Syeh Ahmad Khatib Minangkabau, Syeh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ahmad Rifa'i, dan K.H. Sholeh Darat.

Selanjutnya perkembangan ilmu hisab di Indonesia di pelopori oleh K.H.Ahmad Dahlan dan Jamil Djambek (1330-1398 H/ 1911-1977 M). Diantara murid Saado'eddin yang menjadi tokoh hisab adalah H. Abdur Rachim. Beliau adalah ketua Bagian Hisab dan Pengembangan Tafsir Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karya-karyanya yang berkaitan dengan bidang hisab diantaranya: Mengapa Bilangan Ramadhan 1389 H ditetapkan 30 hari?, Menghitung Permulaan Tahun Hijrah,

8M. Yunan Yusuf dkk, op.cit, h. 252

9Asmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2004), h. 4

(7)

Ufuk Mar'i sebagai Lingkaran Pemisah antara Terbit dan Terbenamnya Benda-benda Langit, Ilmu Falak, dan Kalender Internasional.

Dalam sejarah pemikiran telah nyata bahwa tidak ada suatu pemikiran yang lahair dalam posisi "Telanjang" tanpa pengaruh ruang, waktu, maupun pemikiran seseorang. Pemikiran hisab Muhammadiyah juga mengalami proses seperti ini. Pemikiran ini lahir karena ada pihak-pihak tertentu yang mempengaruhinya. M.T. Arifin dalam bukunya "Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah" menyebutkan bahwa penggunaan hisab untuk menentukan awal ramadhan dan syawal yang digagas K.H. Ahmad Dahlan merupakan respons terhadap system Aboge yang biasa berlaku saat itu.11

Ahmad dahlan tidak puas dengan pernyataan dan pujian al-Qur'an yang jelas menyebutkan "Kuntum khaira ummatin" tetapi dalam ralitas empirisnya masyarakat Islam Yogyakarta terkungkung oleh "rutinitas" dalam menetapkan awal ramadhan dan syawal. Pada saat itu, menurut keyakinan dan tradisi kesultanan untuk menentukan hari raya menggunakan system Aboge.

Perhitungan hari yang didasarkan atas system Aboge bersifat spekulatif karena hanya didasarkan atas kepercayaan, padahal untuk menentukan hari raya perhitungannya didasarkan atas perjalanan bulan, karena menurut pandangan Ahmad Dahlan system Aboge dianggap tidak relevan dan kurang akurat.

Mengingat perbedaan antara system Aboge dengan system hisab akan membawa akibat tentang keabsahan ibadah; Ahmad dahlan berusaha memberi penjelasan kepada Sultan Hamengkubuwono VII bahwa system Aboge untuk menentukan jatuhnya hari raya tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah keilmuan dan ajaran Al-Qur'an, karena menurut perhitungan ilmu hisab hari raya akan jatuh tepat pada tanggal 1 Syawal dengan ditandai munculnya hilal di ufuk sebelah barat. Dengan demikian tidak tergantung pada ketentuan hari, bila pada saat akhir ramadhan hilal telah "kelihatan" maka keesokan harinya kaum muslimin diwajibkan berlebaran.

Berdasarkan pemahaman keilmuan tersebut; Ahmad Dahlan berusaha menyampaikan gagasannya kepada Sultan

(8)

Hamengkubuwono VII. Menurut tata cara yang berlaku, maka ia mengajukan pendapatnya kepada pimpinan Dewan Agama Islam Hukum Kraton yang dipegang Kanjeng Penghulu Khalil Kamaludiningrat, dan setelah Sultan berkenan maka Ahmad Dahlan menghadap Sultan dan diantar oleh Kanjeng Penghulu yang mempunyai kewajiban untuk hal tersebut karena jabatannya

(ex officio). Sesuai mendengar penjelasan Ahmad Dahlan, Sri Sultan,

Sosok yang dihormati masyarakat, takzim mengucapkan, berlebaranlah kamu menurut hisab dan rukyat, sedangkan grebegan tetap bertradisi menurut system Aboge.

Melihat kenyataan tersebut, Ahmad Dahlan "berijtihaf" dan melakukan terobosan dengan menawarkan model hisab dalam menetapkan awal ramadhan dan syawal. Gagasan Ahmad Dahlan ini kemudian dijadikan dasar bagi Muhammadiyah dalam menetapkan awal ramadhan dan Syawal. Dengan kata lain Ahmad Dahlan merupakan peletak dasar pemikiran hisab Muhammadiyah.

Fakta sejarah ini membuktikan bahwa kehadiran hisab didalam Muhammadiyah bukan semata-mata antitesa terhadap rukyat. Namun, lebih didorong semangat keilmuan daripada "mitos". Dalam dokumen resmi Muhammadiyah dinyatakan bahwa untuk menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Djulhijah tidak semata-mata dengan hisab, tapi juga digunakan rukyat, istiqmal, dan persaksian.12

Patut diketahui berdasarkan hasil pembacaan penulis menunjukkan bahwa model hisab yang digunakan Muhammadiyah tidak tunggal sebagaimana yang dipahami selama ini. Mula pertama hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab Hakiki dengan kriteria imkan rukyat. Selanjutnya Muhammadiyah menggunakan hisab Hakiki dengan kriteria ijtima' qobla al-ghurub. Artinya bila ijtima terjadi sebelum ghurub (sunset) maka malam itu dan ke esokan harinya dianggap tanggal satu bulan baru hijriyah. Namun bila ijtima terjadi setelah ghurub maka malam itu dan keesokan harinya belum dianggap bulan baru hijriyah. Dengan kata lain konsep ijtima' qobla al-ghurub tidak mempertim-bangkan posisi hilal diatas ufuk pada saat matahari terbenam. Teori ini digunakan Muhammadiyah sampai tahun 1937 M/ 1356 H.

(9)

Pada tahun 1938 M/ 1357 H Muhammadiyah mulai menggunakan teori wujudul hilal. Langkah ini ditempuh sebagai "jalan tengah" antara system hisab, ijtima (qobla al-ghurub), dan system imkan rukyat atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni. Karenanya bagi system wujudul hilal metodologi yang dibangun dalam memulai tanggal satu bulan baru pada kalender Hijriyah tidak semata-mata proses terjadinya ijtima' tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat terbenam matahari. Setelah bertahun-tahun teori wujudul Hilal digunakan, Muhammadiyah melakukan kajian ulang agar teori yang digunakan sesuai dengan al-Qur'an, as-Sunnah dan tuntutan zaman melalui seminar dan Munas, seperti Seminar Falak Hisab Muhammadiyah Tahun 1970 M/ 1390 H di Yogyakarta, Munas Tarjih ke-25 pada tahun 2000 M/ 1421 H di Jakarta, Workshop Nasional Metodologi Penetapan awal Bulan Qomariyah Model Muhammadiyah 2002 M/ 1423 H di Yogyakarta, dan Munas Tarjih ke-26 pada Tahun 2003 M/ 1424 di Padang.

3. Wujudul Hilal

Muhammadiyah tidak menyatakan bahwa sistem Ru‟yat

al-Hilal itu tidak boleh digunakan, hal ini bisa di lihat dari beberapa

putusan tarjihnya. Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah tahun 1932 Bab Puasa disebutkan sebuah kaidah; "al-shaumu wa'l fitru bil rukyah, wa lâ mâni'a bil hisâb" (Puasa dan berbuka dengan cara rukyah, akan tetapi tidak masalah jika menggunakan hisab). Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa pada awalnya Muhammadiyah lebih menggunakan rukyah sebagai metode dalam penentuan awal bulan hijriyah, sekalipun saat itu hisab tidaklah diharamkan.

Namun seiring dengan perkembangan waktu yang dibarengi dengan perkembangan teknologi, Muhammadiyah pun merubah konsep tersebut. Pada Munas Tarjih tahun 2000 di Jakarta muncul kecendrungan yang lebih mengakomodir hisab secara lebih jauh sehingga lahirlah keputusan tarjih yang meletakkan hisab sejajar dengan rukyah.

Kemudian Muhammadiyah salah satu ormas besar di Indonesia mengembangkan sistem wujudu al-hilal ini, dengan beberapa alasan, diantanya:

(10)

a) Belum adanya consensus dalam masalah kriteria Imkan rukyat, karena meskipun metode hisab sama; namun bila kriteria Imkan rukyatnya berbeda hasilnya bisa berbeda 1 hari.

b) Sistem wujudul hilal merupakan sikap tengah dari dua konsep penentuan awal bulan Qamariyah, yaitu antara sistem ijtima‟

qablal ghurub (sudah menganggap bulan baru ketika terjadi

ijtimak sebelum terbenam matahari meski hilal belum wujud pada saat matahari terbenam) dan sistem imkan rukyah (menganggap bulan baru jika kemungkinan hilal bisa dilihat). Karena Wujudul Hilal menetapkan kriteria ijtimak sudah terjadi dan hilal harus sudah wujud, ketika matahari tenggelam, meski tidak bisa terlihat karena keterbatasan mata manusia.

c) Wujudul hilal menempati posisi tengah-tengah antara sistem hisab murni (tidak mempedulikan terjadinya hilal) dan sistem rukyah murni (sangat mempeduliakn terlihatnya hilal). Wujudul

hilal berada di tengah-tengah dua sistem di atas yang

mempedulikan hilal meski tidak terlihat.

Secara harpiah berarti hilal telah wujud sementara itu menurut ilmu falak adalah matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan (meskipun selisih satu menit atau kurang) yang di ukur dari titik aries yaitu Haml hingga benda langit di maksud,dengan pengukuran berlawanan jarum jam.13

Jadi Secara harpiah berarti hilal telah wujud sementara itu menurut ilmu falak adalah matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan(meskipun selisih satu menit atau kurang) yang di ukur dari titik aries yaitu Haml hingga benda langit di maksud, dengan pengukuran berlawanan jarum jam.

Dalam hisab hakiki wujudul hilal, bulan baru kamariah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut:

a) telah terjadi ijtimak (konjungsi),

b) ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan c) pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di

atas ufuk (bulan baru telah wujud). 14

13Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Jakarta: Pustaka Pelajar,

2008), cet. II, h. 240.

(11)

Hisab hakiki wujudul al-hilal ini untuk pertama kalinya ditawarkan oleh Muhammad Wardan dalam bukunya yang berjudul “Hisab Urfi dan Hakiki” yang di cetak pada tahun 1957 M. Di dalam bukunya dijelaskan, bahwa ada tiga cara menetapkan tanggal satu bulan baru, yaitu: bila saat terbenam matahari (sunset) pada akhir bulan, hilal telah tampak, artinya benar-benar terlihat (rukyah) atau kemungkinan dapat dilihat meskipun tidak terlihat (imkan rukyah), atau hilal sudah wujud (meskipun tidak bisa terlihat oleh mata).15

Menurut Muhamad Wardan wujudul hilal adalah matahari terbenam terlebih dahulu daripada terbenamnya bulan ( hilal ) walaupun hanya satu menit atau kurang . Dimana dalam menentukan tanggal satu bulan bulan baru berdasarkan hisab dengan tiada batasan tertentu, pokoknya asal hilal sudah wujud, maka menurut kalangan ahli hisab sudah berdasarkan hisab wujudul

hilal , maka dapat di tentukan hari esok nya sudah awal bulan

qamariah.16

Muhammadiyah menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan menggunakan hisab. Hisab yang dimaksud dan digunakan untuk penentuan awal bulan baru kamariah di lingkungan Muhammadiyah adalah hisab hakiki wujudul hilal.

4. Dasar Pemikiran Hisab Muhammadiyah

Dalam penentuan awal bulan kamariah, hisab sama kedudukannya dengan rukyat (Putusan Tarjih XXVI, 2003). Oleh karena itu penggunaan hisab dalam penentuan awal bulan kamariah adalah sah dan sesuai dengan Sunnah Nabi SAW. Dasar syar„i penggunaan hisab adalah,17

1. Al-Quran surat ar-Rahman ayat 5:

15Susiknan Azhari, Hisab & Rukyat (Wacana untukMembangun Kebersamaan di Tengan Perbedaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. I, h. 9.

16Muhammad Wardan ,Hisab Urfi dan Hakiki, (Jakarta: Tinta Mas,

1978), h. 34.

17Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Penentuan Awal Bulan, (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 2009), cet. II, h. 73.

(12)

 



Artinya:

“Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan.” (ar-Rahman: 5)

2. Al-Quran surat Yunus ayat 5

                         Artinya:

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (Yunus/10 : 185).

3. Hadis al-Bukhari dan Muslim,

لاق الله لوسر نا امهنع الله ًضر رنع نبا الله دبع نع : ركذ صلى الله عليه وسلم الله لوسر لاق لاقف ناضنر : مكٌلع مغ ناف هورت ىتح اورطفت لاو للاهلا اورت ىتح اوموصتلا هل اوردقاف ( يراخبلا هاور ) Artinya:

Dari Abdullah Ibnu Umar RA berkata bahwa Rasulullah pernah berkata perihal ramadhan. , beliau bersabda: "Janganlah kamu berpuasa sampai kamu mrlihat hilal dan jangnlah kamu berbuka sehingga kamu sekalian melihat hilal. Maka jika hilal tertutup awan di atasmu , maka kira-kirakan bilangannya. (hadits riwayat Bukhari)18

18Imam Bukhari, Terjamah Shaheh Bukhari, Ahmad Sunarto, (Semarang:

(13)

4. Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabda Nabi SAW,

َرَمُع َنْبا َعِمَس ُهَّنَأ و ٍرْمَع ُنْب ُدٌِعَس اَنَثَّدَح ٍسٌَْق ُنْب ُد َوْسَ ْلْا اَنَثَّدَح ُةَبْعُش اَنَثَّدَح ُمَدآ اَنَثَّدَح َلا َو ُبُتْكَن َلا ٌةٌَِّّمُأ ٌةَّمُأ اَّنِإ َلاَق ُهَّنَأ َمَّلَس َو ِهٌَْلَع ُ َّللَّا ىَّلَص ًِِّبَّنلا ْنَع اَمُهْنَع ُ َّللَّا ًَ ِض َر َنٌِث َلاَث ةًة َّرَم َو َنٌ ِرْشِع َو ةًةَعْسِت ةًة َّرَم ًِنْعٌَ اَذَكَ َو اَذَكَ ُرْهَّشلا ُبُسْحَن Artinya:

Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari19 (HR

al-Bukhari).

Wajh al-istidlal-nya adalah bahwa pada surat ar-Rahman ayat

5 dan surat Yunus ayat 5, Allah swt menegaskan bahwa benda-benda langit berupa matahari dan Bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu peredaran bendabenda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. 20

Penegasan kedua ayat ini tidak sekedar pernyataan informatif belaka, karena dapat dihitung dan diprediksinya peredaran bendabenda langit itu, khususnya matahari dan Bulan, bisa diketahui manusia sekalipun tanpa informasi samawi. Penegasan itu justru merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran bendabenda langit itu yang akan membawa banyak kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Penciptanya, dan untuk kegunaan praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk dapat menyusun suatu sistem pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan tegas dinyatakan oleh ayat 5 surat Yunus (... agar

kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu).

Pada zamannya, Nabi SAW dan para Sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru kamariah, melainkan menggunakan rukyat seperti terlihat dalam hadis pertama di atas dan beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah Nabi SAW agar melakukan

19Imam Bukhari, No. hadits 1780

(14)

rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai „illat (kausa hukum). „Illatnya dapat dipahami dalam hadis pada butir d di atas, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi.21

Keadaan ummi artinya adalah belum menguasai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki oleh al-Quran dalam surat ar-Rahman dan Yunus di atas. Cara yang mungkin dan dapat dilakukan pada masa itu adalah dengan melihat hilal (Bulan) secara langsung: bila hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.22 Sesuai dengan

kaidah fikih (al-qawa„id al-fiqhiyyah) yang berbunyi:

امدعو ادوجو ةلع عم رودٌ مكحلا Artinya:

Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya „illat dan sebabnya,23

Maka ketika „illat sudah tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan ummi itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab astronomi sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini kita kembali kepada semangat umum dari al-Quran, yaitu melakukan perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan baru kamariah. 24

Atas dasar itu, maka Muhammadiyah menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan menggunakan hisab. Hisab yang dimaksud dan digunakan untuk penentuan awal bulan baru kamariah di lingkungan Muhammadiyah adalah hisab hakiki wujudul hilal.

Hisab Hakiki Wujudul al-Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan prinsip:

21Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,

1426/2005), Juz II 152.

22Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Op. cit., h. 75 23Ibn al-Qayyim, I„lam al-Muwaqqi„in „an Rabb al-„alamin, (Beirut: Dar

al-Jil, 1973), Jilid IV, h. 105.

(15)

Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima‟ qablal ghurub), saat matahari terbenam bulan sudah berada di garis ufuk dengan tanpa melihat derajat ketinggiannya (irtifa‟), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah.

Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai. Kriteria ini difahami dari isyarat dalam firman Allah swt pada surat Yasin ayat 39 dan 40 yang berbunyi;

                        Artinya:

“Dan telah Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Ya Sin: 39-40)

Penyimpulan tiga kriteria di atas dilakukan secara komprehensif dan interkonektif, artinya difahami tidak semata dari ayat 39 dan 40 surat Yasin an sich, melainkan dihubungkan dengan ayat, hadis dan konsep fikih lainnya serta dibantu ilmu astronomi.

5. Analisis

Mula pertama hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab Hakiki dengan kriteria imkan rukyat. Selanjutnya Muhammadiyah menggunakan hisab Hakiki dengan criteria ijtima' qobla al-ghurub. Artinya bila ijtima‟ terjadi sebelum ghurub (sunset) maka malam itu dan keesokan harinya dianggap tanggal satu bulan baru hijriyah. Setelah bertahun-tahun kemudian Muhammadiyah teori menggunakan wujudul hilal, setelah melakukan kajian ulang

(16)

agar teori yang digunakan sesuai dengan al-Qur'an, as-Sunnah dan tuntutan zaman.

Hisab Hakiki Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal

bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima‟ qablal

ghurub), saat matahari terbenam bulan sudah berada di garis ufuk

dengan tanpa melihat derajat ketinggiannya (irtifa‟), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah. Dengan wujudul hilal maka menentukan awal bulan lebih dapat memberikan kepastian serta praktis.

Dalam al-Qur‟an surat ar- Rahman ayat 5 dan surat yunus ayat 185 terdapat isyarat mengenai tiga hal penting, yaitu (1) peristiwa ijtimak, (2) peristiwa pergantian siang ke malam (terbenamnya matahari), dan dari balik pergantian siang ke malam itu terkait (3) ufuk, karena terbenamnya matahari artinya berada di bawah ufuk. Dan pada al-Qur‟an surat Yasin ayat 40 menegaskan bahwa matahari tidak mungkin mendahului bulan dan ini yang dijadikan landasan teori wujudul hilal.

Dasar yang kedua adalah hadits yang mennegaskan bahwa

illat rukyat hilal adalah karena kondisi ummi, maka ketika

kondisinya umat sudah cerdas maka „illat itu hilang sehingga rukyatul hilal bukan satu-satunya metode dalam penentuan awal bulan qamariyah, dan Muhammadiyah memakai wujudul hilal sebagai penentuan awal bulan qamariyah sebagai jalan tengah antara ijtima‟ qablal ghurub dan Imkanu rukyat.

Namun demikian wujudul hilal masih menyisakan persoalan karena dengan wujudul hilal seolah-olah ilmu hisab sekarang ini sudah final, karena wujudul hilal hanya ada dalam tataran teoritis saja dan tidak didukung data empiris. Dari sisi dalil wujudul hilal tidak didukung dalil qath‟i (tegas), selain interpretasi yang janggal secara astronomi. Dari segi syar‟i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan. Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Jamaludin.

beberapa hadits Rasul tentang rukyat dan hisab disebutkan dengan jelas yang artinya keduanya sama kedudukannya, dan bukan yang satu membatalkan yang lainnya. Jika memang hadits-hadits

(17)

tersebut dipandang kontradikif, maka jalan yang harus ditempuh adalah al-jam‟u wa al-taufiq yakni mengkompromikannya terlebih dahulu, bukan memakai yang satu mengabaikan yang lainnya. C. Kesimpulan

Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal. Hisab

Hakiki Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan

(kalender) Hijriyah dengan menggunakan prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima‟ qablal

ghurub), saat matahari terbenam bulan sudah berada di garis ufuk

dengan tanpa melihat derajat ketinggiannya (irtifa‟), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah. Muhammadiyah memakai wujudul hilal sebagai penentuan awal bulan qamariyah sebagai jalan tengah antara ijtimak qablal

ghurub dan Imkanu rukyat. Dengan wujudul hilal maka menentukan

awal bulan lebih dapat memberikan kepastian serta praktis. Dasar

wujudul hilal adalah surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat

185 terdapat isyarat mengenai tiga hal penting, yaitu (1) peristiwa ijtimak, (2) peristiwa pergantian siang ke malam (terbenamnya matahari), dan dari balik pergantian siang ke malam itu terkait (3) ufuk, karena terbenamnya matahari artinya berada di bawah ufuk. Dan pada al-Qur‟an surat Yasin ayat 40 menegaskan bahwa matahari tidak mungkin mendahului bulan dan ini yang dijadikan landasan teori wujudul hilal. Dasar yang kedua adalah hadits yang mennegaskan bahwa illat rukyat hilal adalah karena kondisi ummi, maka ketika kondisinya umat sudah cerdas maka illat itu hilang sehingga rukyatul hilal bukan satu-satunya metode dalam penentuan awal bulan qamariyah.

Daftar Pustaka

A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Yogyakarta,1984. Abdul Rozak, Ilmu Falak Praktis dan Kalkulator, Pengadilan Tinggi

(18)

Abu Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wal a‟lam, Darul Masyrik Bairut, 1986.

Ahmad Zain An Najah, Majelis Tarjih Muhammadiyah (Pengenalan

Penyempurnaan dan Pengembangan), makalah disampaikan

dalam FORMAT (Forum Kader Ummat)

Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh :

Suatu studi perbandingan, PT Bulan Bintang, Jakarta, 1993.

Asmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Basrawi Arbi, Kemungkinan Penyeragaman Kalender Islam, makalah disampaikan pada "Seminar Sehari Tentang Penyatuan Kalender Hijriah Menuju Kerukunan Umat", rangkaian kegiatan dalam rangka Dies Natalies ke 38 di selenggarakan oleh Fakultas Syari'ah IAIN Raden Intan, pada hari Senin tanggal 4 Desember 2006, 13 Dzulkaedah 1427 H.

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, PT Pustaka LP3ES, Cet VIII, Jakarta, 1996.

Departemen Agama RI, Badan Hisab dan Rukyat, Almanak Hisab

Rukyat, Penerbit Proyek Pembinaan Badan Peradilan

Agama Islam, Jakarta, 1981.

Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah

dengan Ilmu Uku Bola, Proyek Pembinaan Badan PA,

Jakarta, 1983.

Departemen Agama RI, Pedoman Teknik Rukyah, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Dirjen Binbaga Islam,Jakarta,1983.

Departemen Agama RI, Pedoman Teknik Rukyah, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Dirjen Binbaga Islam,Jakarta,1983.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar bahasa

Indonesia, Balai Pustaka, cet II, Jakarta, 1989.

Djoni N. Darwanas, Kemungkinan penampakan Hilal untuk penentuan

awal Ramadhan dan Syawal 1414.H, Metermasa, Jakarta,

1994.

Ibn al-Qayyim, I„lam al-Muwaqqi„in „an Rabb al-„alamin, Jilid IV, Dar al-Jil, Beirut 1973.

Imam Bukhari, Terjamah Shaheh Bukhari, Ahmad Sunarto, Juz III, cet I, Al-Syifa' Semarangn 1992.

(19)

Imam Bukhori, Saheh Bukhari, Juj.II, Darul Fikri Bairut, 1981 Khadim Al-Harmain al-Syarifain, Al-Qur‟an Dan Terjemahnya,. M. Yunan Yusuf dkk, Ensiklopedi Muhammadiyah, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2005.

Majlis Tarjih Muhammadiyah, Penggunaan hisab dalam penetapan bulan

Qomariyah, dalam hisab rukyah dan perbedaannya, Depag

RI, 2004

Muhammad Wardan, Hisab Urfi dan Hakiki, Tinta Mas Jakarta 1978.

Muhammad Wardan, Kitab falak dan hisab, cet.I, Yogyakarta, 1955. Muji RahartoMoedji Raharto, Pergantian Awal Bulan Qamariyah

Dalam Perspektif Astronomi, Makalah Seminar Sehari

Tentang Penyatuan Kalender Hijriah Menuju Kerukunan Umat", di selenggarakan oleh Fakultas Syari'ah , pada hari Senin tanggal 4 Desember 2006, 13 Dzulkaedah 1427 H, bertempat di kampus Sukarame IAIN Raden Intan,Bandar Lampung.

Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar,: Juz II Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, Beirut, 1426/2005.

Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet. II, Pustaka Pelajar Jakarta, 2008.

Susiknan Azhari, Hisab & Rukyat (Wacana untuk Membangun

Kebersamaan di Tengan Perbedaan, cet. I, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2007.

Susiknan Azhari, Hisab rukyat Dan Perbedaannya, Ed. Chaerul Fuad, Depag RI,2004.

Syamsul Hidayat dkk, Studi Ke-Muhammadiyahan (Kajian Historis,

Ideologi dan Organisasi), Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu

Dasar (LPID), Surakarta,.

Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Penentuan Awal

Bulan, cet. II, Majelis Tarjih dan Tajdid PP

Muhammadiyah, Yogyakarta, 2009.

Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah,

Kaderisasi, Dan Pendidikan (Kritik Dan Terapinya), PT Bina

Ilmu, Cet I, Surabaya 1990.

Wahyu Widiana, Hisab rukyat Dan Perbedaannya, Ed. Chaerul Fuad, Depag RI,2004.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menghitung gan,sguan kilat pada- seperempat dan setengah djarak dari menara dipakai metod.e AIEE, djr.di dengart mernbandingkan kekuatan isolasi dari djarak antara

Penegakan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual di Propinsi Sumatera Utara Secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan

assalamualaikum wr.wb mas edi, mohon ijin mengamalkan, kalo gak salah ilmu rombak jasad itu dari mas risky muhammad, saya pernah buka forum kaskus katanya bisa download ilmunya

Pasien dengan ARDS, yang sering terlihat pada COVID-19 yang berat kadang- kadang berkembang menjadi kerusakan paru permanen atau fibrosis/scar. Pada CT scans, NORMAL = paru

Dari sudut fatwa, terdapat tiga pandangan berkaitan bidangkuasa iaitu sama ada Hakim Syarie wanita boleh membicarakan kesemua kes selain hudud dan qisas atau terhad bagi

STEL batas paparan jangka pendek: 2) batas paparan jangka pendek: nilai batas yang di atasnya paparan hendaknya tidak terjadi dan yang terkait dengan jangka 15-menit (kecuali

Hasil dari sampling 4 jenis tanaman, selanjutnya dilakukan proses isolasi untuk mendapatkan bakteri yang diinginkan dan berikut ini adalah sumber akar tanaman dan