HUKUM
ASURANSI
OLEH: H. DWI CONDRO TRIONO, Ph.D
• Asuransi (menurut Undang-Undang No. 2 Th 1992 tentang
usaha perasuransian) adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan
diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
ASURANSI
• Secara umum, asuransi terbagi menjadi 2 jenis:
1. Asuransi tanpa tabungan (non saving).
Seluruh premi yang dibayarkan peserta asuransi akan masuk kepada pihak perusahaan asuransi dan tidak dikembalikan. Peserta asuransi hanya akan mendapatkan dana ganti rugi, apabila peserta asuransi mengalami kerugian sebagaimana yang tercantum dalam akad penjaminan.
2. Asuransi dengan tabungan (saving).
Premi yang dibayarkan peserta asuransi akan dikembalikan kepada peserta asuransi, jika peserta asuransi tidak mengalami kerugian, kemudian ditambah dengan kompensasi bunga. Apabila peserta asuransi mengalami kerugian, maka akan mendapatkan dana ganti rugi.
JENIS ASURANSI
• Mayoritas para ‘ulama Islam kontemporer telah sepakat bahwa hukum asuransi konvensional adalah haram.
• Keharaman asuransi konvensional itu berlaku untuk
berbagai jenis asuransi, baik asuransi jiwa, asuransi barang, asuransi dagang, asuransi mobil, asuransi kecelakaan dan sebagainya.
• Alasan keharaman asuransi konvensional, disebabkan paling tidak mengandung 3 unsur keharaman, yaitu:
terdapat unsur riba, qimar (maysir atau judi) dan ghoror (ketidakjelasan atau spekulasi).
HUKUM ASURANSI KONVENSIONAL
• Untuk asuransi non saving, jika peserta asuransi
mendapatkan ganti rugi yang lebih besar dari dana yang dibayarkan, maka para ‘ulama kontemporer
mengkategorikan itu sebagai pembayaran yang
mengandung unsur riba fadhal (kelebihan yang muncul karena transaksi barang riba).
• Untuk asuransi saving, jika peserta asuransi tidak mengalami kerugian, sehingga premi yang sudah
dibayarkan akan dikembalikan semua, ditambah dengan kompensasi bunga, maka itu mengandung unsur riba nasi’ah (riba karena penundaan waktu).
1. ADANYA UNSUR RIBA
أ ِهْيِف ُط َرَتْشُي ٍبْعَل ُّلُك َوُه ُراَمِقلا • ُبلاَغلا َذَخْئُي ْن
ُلْغَمْلا َنِم ائْيَش ِب
• “Judi adalah setiap permainan yang mensyaratkan pemenang mengambil sesuatu (harta) dari yang kalah”
• Dari definisi judi di atas, ada empat unsur pokok yang harus ada dalam perjudian:
1. Ada pihak-pihak yang terlibat dalam perjudian.
2. Adanya harta yang disetorkan oleh para peserta.
3. Adanya suatu permainan yang dipertaruhkan.
4. Ada pihak yang menang dan ada yang kalah.
2. ADANYA UNSUR JUDI (QIMAR ATAU MAYSIR)
• Dalam asuransi, empat unsur pokok dalam perjudian sudah terpenuhi:
1. Ada pihak-pihak yang terlibat dalam perjudian. Dalam asuransi adalah para peserta asuransi.
2. Adanya harta yang disetorkan oleh para peserta. Dalam asuransi adalah berupa premi yang dibayarkan oleh para peserta asuransi.
3. Adanya suatu permainan yang dipertaruhkan. Dalam asuransi
adalah tertimpanya musibah atau tidak bagi para peserta asuransi.
4. Ada pihak yang menang dan ada yang kalah. Dalam asuransi, bagi mereka yang tertimpa musibah, maka akan mendapatkan uang
ganti rugi yang diambil dari peserta asuransi lainnya. Sedangkan yang tidak tertimpa musibah, akan kehilangan dananya.
2. ADANYA UNSUR JUDI DALAM ASURANSI
• Ada dua unsur gharar (ketidakpastian) yang terdapat dalam asuransi:
1. Gharar dari segi waktu. Dalam asuransi, tidak setiap peserta bisa mendapatkan klaim. Hanya peserta yang mendapatkan musibah, baru bisa meminta klaim.
Padahal musibah bersifat tidak pasti. Boleh jadi seseorang mendapatkan musibah setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan musibah.
2. Gharar dari segi kuantitas. Besaran klaim yang akan diperoleh bersifat tidak pasti, tergantung berapa lama ia telah membayar premi dan pada saat kapan ia tertimpa musibah.
Rasul SAW melarang transaksi gharar, sebagaimana dalam hadits:
ِ هاللَّ ُلوُس َر ىَهَن -
ملسو هيلع الله ىلص َع َو ِةاَصَحْلا ِعْيَب ْنَع -
ِر َرَغْلا ِعْيَب ْن
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror” (HR.
Muslim).
3. ADANYA UNSUR GHARAR
TINJAUAN HUKUM WADH’I
همُث • َيِتُأ
،ِةَثِلاهثلاِب اوُلاَقَف
ِ لَص : َلَع
،اَهْي َلاَق
: ْلَه «
َك َرَت
؟ا ئْيَش
»
، اوُلاَق :
،َلا اوُّلَص « : َلاَق ، َريِناَنَد ُةَثَلاَث : اوُلاَق ، » ؟ٌنْيَد ِهْيَلَع ْلَهَف « : َلاَق ىَلَع
ْمُكِب ِحاَص
» َلاَق ،
وُبَأ َةَداَتَق
ِ لَص ْيَلَع
اَي ِه َلوُس َر ِهاللَّ
هيَلَع َو َد
،ُهُنْي ىهلَصَف
ِهْيَلَع
• “Lalu didatangkan kembali jenazah yang ketiga dan mereka berkata, ‘Ya Rasûlullâh! Shalatkanlah mayat ini. Nabi SAW bertanya, ‘Adakah dia
meninggalkan harta?’ Mereka menjawab, ‘Tidak’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab,
‘Ya, hutang 3 dinar.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shalatkanlah teman kalian itu.” Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu berkata, “Shalatilah dia!
Wahai Rasûlullâh! Saya yang menanggung utangnya!’ Kemudian Nabi SAW menyalatinya”. [HR. Al-Bukhâri, an-Nasâ’i dan Ahmad]
RUKUN KAFALAH/DHAMAN
1. Dhamin (نماض), yaitu pihak yang menjamin.
2. Madhmuun 'anhu (هنع نومضم), yaitu pihak yang dijamin (baik dia dalam keadaan hidup atau mati.
3. Madhmun lahu (هل نومضملا), yaitu pihak yang
menerima jaminan (pihak yang berhak atas utang).
4. Madhmuun (نومضم), yaitu sesuatu yang dijamin utang (ad-dain)
5. Shighat, yaitu ucapan.
• Dalam hadis tersebut, ada pihak-pihak yang terlibat:
1. Pihak yang menjamin atau penanggung (dhamin) adalah Abu Qatadah.
2. Pihak yang dijamin/tertanggung (madhmun anhu) adalah jenazah.
3. Pihak yang mendapat jaminan atau tanggungan (madhmun lahu) adalah orang yang memberi utang kepada jenazah.
4. Madhmuun (نومضم), yaitu sesuatu yang dijamin utang (ad-dain).
Hutangnya jenazah kepada pemberi utang.
5. Shighat, yaitu ucapan Abu Qatadah, yang hanya berupa ikrar.
Tidak perlu ada qabul dari jenazah, karena dhaman tidak termasuk mu’amalah dengan aqad.
PIHAK-PIHAK YANG ADA DALAM HADITS
• Sementara dalam Asuransi, pihak-pihaknya adalah:
1. Siapakah pihak yang menjamin atau penanggung (dhamin)? Apakah pihak asuransi?
Bukan pihak asuransi, tetapi para peserta.
2. Siapakah pihak yang mendapat jaminan atau tanggungan (madhmun lahu)?
Jawabnya: para peserta.
3. Siapakah pihak yang dijamin atau tertanggung (madhmun anhu)?
Di dalam asuransi tidak ada.
AQAD DHAMAN DI DALAM ASURANSI
4. Apakah madhmuun-nya (نومضم) ada?
Di dalam asuransi tidak ada.
5. Apakah sighat-nya ada?
Di dalam asuransi tidak ada.
• Kesimpulan hukum: asuransi hukumnya bathal atau tidak sah, karena ada rukun-rukun dhaman yang tidak terpenuhi.
PIHAK-PIHAK YANG ADA DALAM ASURANSI
ASURANSI
SYARI’AH
• Asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’
(hibah) yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai
dengan syariah, yaitu akad yang tak mengandung gharar (penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/kezaliman,
suap, barang haram dan maksiat (Fatwa DSN No 21/DSN- MUI/IX/2001, hlm. 5; Al Ma’ayir Al Syar’iyah, AAOIFI,
2010, hlm. 376).
DEFINISI ASURANSI SYARI’AH
1. Asuransi syariah tanpa tabungan (non saving). Seluruh premi yang dibayarkan peserta asuransi menjadi dana tabarru’ (hibah), yang dikelola oleh perusahaan asuransi berdasar akad wakalah bil
ujrah. Peserta mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’
tersebut.
2. Asuransi syariah dengan tabungan (saving). Premi yang
dibayarkan dibagi dua: (1) dana untuk tabarru’ dan (2) dana untuk investasi. Dana tabarru’ dikelola perusahaan asuransi yang
mendapat ujrah (fee) berdasar akad wakalah bil ujrah. Peserta mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut. Dana investasi dikelola perusahaan asuransi dengan akad mudharabah atau musyarakah.
JENIS ASURANSI SYARI’AH
• Nabi SAW bersabda,’Kaum Asy’ariyin jika
mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah
menipis, mereka mengumpulkan apa yang
mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun bagian dari mereka (HR Muttafaq ‘alaih).
DALIL YANG DIGUNAKAN
• Pertama, akad hibah (tabarru’) di antara sesama pemegang polis (peserta asuransi) di mana peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah.
• Kedua, akad mudharabah/musyarakah, dimana peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis), sedang perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola).
• Akadnya mudharabah, jika perusaan asuransi tidak sharing modal. Akadnya musyarakah, jika perusahaan asuransi sharing modal.
AQAD-AQAD ASURANSI SYARI’AH
• Ketiga, akad ijarah (wakalah bil ujrah), yaitu akad wakalah (pemberian kuasa) dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan memperoleh imbalan (ujrah/fee).
• Akad wakalah bil ujrah terdapat pada asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving), maupun yang unsur tabarru’ (non saving).
• (Lihat Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, hlm.
265-266; Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001 ttg Pedoman Umum Asuransi Syariah).
AQAD-AQAD ASURANSI SYARI’AH (lanjutan)
TINJAUAN HUKUM ASURANSI
SYARI’AH
• Dalil hadis Asy’ariyin, sebagaimana yang digunakan
sebagai dalil asuransi syari’ah, maka itu dapat dianggap sebagai penggunaan dalil yang tidak tepat.
• Sebab dalam hadis tersebut, bahaya terjadi lebih dahulu, baru terjadi proses ta’awun (tolong menolong).
• Sedangkan pada asuransi syariah, ta’awun dilakukan lebih dahulu, padahal bahayanya belum terjadi sama sekali.
• Kesimpulannya, menggunakan hadis Asy’ariyin sebagai dasar asuransi syariah adalah istidlal yang tidak tepat.
TINJAUAN HADITS ASY’ARIYIN
• Dalam asuransi syari’ah telah terjadi penggabungan dua akad menjadi satu akad (multi akad).
• Pada asuransi syariah tanpa saving, terjadi penggabungan akad hibah dengan akad ijarah.
• Pada asuransi syariah dengan saving, terjadi penggabungan akad hibah, akad ijarah dan akad mudharabah.
• Dengan demikian, asuransi syari’ah hukumnya haram. Haditsnya:
َمهلَس َو ِهْيَلَع ُ هاللَّ ىهلَص ِ هاللَّ ُلوُس َر ىَهَن • ِحا َو ٍةَقْفَص يِف ِنْيَتَقْفَص ْنَع
ٍةَد
• “Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad)” (HR. Imam Ahmad).
1. ADA UNSUR MULTIAKAD
• Akad hibah (tabarru’) dalam asuransi ayariah tak sesuai dengan pengertian hibah. Sebab hibah dalam pengertian syar’i adalah
memberikan kepemilikan tanpa kompensasi (tamliik bilaa ‘iwadh).
• Peserta asuransi memberikan dana hibah, tapi mengharap mendapat kompensasi (‘iwadh/ta’widh).
• Ini sama saja dengan menarik kembali hibah yang diberikan, yang hukumnya haram, sesuai sabda Nabi SAW:
• دئاعلا يف
هتبه بلكلاك
دوعي يف
هئيق
• “Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya” (HR Bukhari Muslim).
2. ADANYA UNSUR HIBAH YANG HARAM
• Jika aqad hibah dalam Asuransi Syari’ah tidak terpenuhi (tidak sah), maka akan memunculkan unsur judi:
1. Ada pihak-pihak yang terlibat dalam perjudian. Dalam Asuransi Syari’ah adalah para nasabah.
2. Adanya harta yang disetorkan. Dalam Asuransi Syari’ah adalah berupa dana hibah yang dibayarkan oleh para nasabah.
3. Adanya suatu permainan yang dipertaruhkan. Dalam Asuransi
Syari’ah adalah tertimpanya musibah atau tidak bagi para nasabah.
4. Ada pihak yang menang dan ada yang kalah. Dalam Asuransi Syari’ah, bagi yang tertimpa musibah, maka akan mendapatkan uang ganti rugi yang diambil dari peserta asuransi lainnya.
Sedangkan yang tidak tertimpa musibah, akan kehilangan dananya.
3. ADA UNSUR JUDI DALAM ASURANSI SYARI’AH
• Ada unsur gharar (ketidaktentuan, uncertainty) dalam Asuransi Syariah.
• Sebab peserta tidak tahu dengan jelas apakah betul dalam akad investasi perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola, ataukah sebagai pengelola sekaligus sebagai pemodal ketika perusahan melempar dana ke pihak ketiga, dan seterusnya.
• Peserta juga tak tahu dengan jelas ke mana perusahaan asuransi akan menginvestasikan dana yang ada, apakah ke bank, bank konvensional atau bank syariah, ataukah melakukan re-asuransi ke perusahaan asuransi berikutnya, dan seterusnya.
• Adanya gharar ini berarti menegaskan keharaman Asuransi Syariah yang ada saat ini.