• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ini dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya, maka peneliti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. ini dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya, maka peneliti"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Penelitian Terdahulu

Sebagai upaya menunjukkan adanya kebaruan (novelty) antara penelitian ini dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya, maka peneliti berusaha untuk membandingkan ragam variabel, metode penelitian, dan hasil penelitian yang sudah dilakukan berdasarkan tema pembelajaran Al-Qur’an bagi mahasiswa baru di Universitas Muhammadiyah Malang.

Pertama, penelitian Khosim.1 Penelitian ini menjelaskan tentang pola pembelajaran secara umum, serta ragam kendala yang terjadi dalam penyelenggaraan SLQ dengan tanpa membedakan spesifikasi pembelajaran secara terpisah antar jenjang. Berbeda sama sekali dengan penelitian ini, peneliti menjadikan pelaksanaan pembelajaran sebagai pola sekaligus strategi pembelajaran pada mahasiswa baru dengan fokus jenjang mubtadi’īn sebagai variabel serta bagaimana interaksi pembelajaran terjadi sejak sebelum hingga semasa pandemi Covid-19 terjadi.2

Penelitian yang dilaksanakan dengan jenis pendekatan kualitatif- deskriptif ini menyimpulkan bahwa pola pembelajaran Al-Qur’an yang diselenggarakan melalui program SLQ antara tutor dan peserta didik sebagian besar telah tersistematisasi dengan bantuan media pembelajaran. Pada aspek

1 Khosim, Skripsi mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang yang berjudul “Pola Pembelajaran Al-Qur’an melalui Program Semarak Literasi Qur’an (SLQ) pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang”

2 Ibid. 24-28.

(2)

kendala, Nanang menyebutkan bahwa mahasiswa peserta didik SLQ masih merasa belum cukup terakomodir kebutuhan akan pembelajarannya, sebab pertemuan yang 14 kali tatap muka dalam satu semester dirasa kurang.

Kedua penelitian ini, kendati sama-sama berjenis penelitian kualitatif, namun peneliti lebih memfokuskan penelitian ini dalam jenis studi kasus (case study). Artinya peneliti sekedar mendeskripsikan kejadian, namun juga melihat

bagaimana perkembangan objek dari masa ke masa. Sehingga hasilnya pun akan berbeda sama sekali dengan penelitian Nanang.

Kedua, penelitian yang disusun Aminuddin.3 Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif ini, menjadikan program SLQ sebagai variabel independen yang berperan sebagai antaseden dan kemampuan baca Al-Qur’an sebagai variabel dependen yang berperan sebagai konsekuen. Hasilnya menunjukkan bahwa program SLQ efektif dalam meningkatkan kemampuan baca Al-Qur’an.

Berbeda sama sekali dengan Lusiana, peneliti lebih menspesifikkan variabel penelitian pada program SLQ yang diselenggarakan terhadap mahasiswa baru jenjang mubtadi’īn – dalam ini mahasiswa baru Jurusan Elektro angkatan 2019 dan 2020. Jenis pendekatannya pun bukan kuantitatif, namun kualitatif. Walhasil, pada aspek hasil pun nantinya akan memiliki perbedaan yang signifikan. Hasil penelitian peneliti nantinya tidak akan mengedepankan

3 Acnesyah Putri Aminuddin, “Efektivitas Program Semarak Literasi Al-Qur’an Terhadap Kemampuan Baca Al-Qur’an Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.” 20-29.

(3)

informasi yang positivistik, namun post-positivistik, yakni mengedepankan makna di balik realitas..

Ketiga, penelitian yang disusun oleh Kusuma.4 Tesis ini memfokuskan pada pembahasan pembelajaran ilmu tajwid, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya pada program SLQ di MDKM-FAI UMM dengan pendekatan kualitatif-deskriptif. Hasilnya menunjukkan bahwa program SLQ dilaksanakan dalam empat tahap, yakni apersepsi, kegiatan awal, kegiatan inti, dan penutupan. Penelitian ini secara subtantif akan menjadi pembanding pembelajaran Al-Qur’an pada program SLQ sebelum masa pandemi Covid-19 dan sesudahnya.

Penelitian ini meski secara spesifik menjadikan ilmu tajwid – ilmu yang mempelajari bagaimana cara menyuarakan huruf-huruf dalam Al-Qur’an5 - sebagai variabel independen, namun pada hakekatnya makna tajwid diperluas hingga maksud bagaimana cara membaca Al-Qur’an dari pengenalan huruf Hijaiyah. Sehingga penelitian ini pun juga menyimpulkan bahwa ada dua klasifikasi perencanaan pembelajaran ilmu tajwid pada program SLQ, yakni kelas biasa (mubtadi’īn) dan kelas tahsin (mutawashithīn dan mutaqaddimīn).

Secara signifikan, penelitian yang diajukan peneliti memiliki perbedaan pada aspek pendekatannya yang fenomenologis. Peneliti dibandingkan dengan

4 Marga Kusuma, “Implementasi Pembelajaran Ilmu Tajwid Dan Implikasinya Terhadap Kemampuan Baca Al-Qur’an Mahasiswa Dalam Program Semarak Literasi Al-Qur’an (Studi Kasus Di Markaz Dakwah Wa Khidmatul Mujtama’ Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang),” Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2020). 211.

5 Vadlya Maarif, Hidayat Muhammad Nur, and Wati Rahayu, “Aplikasi Pembelajaran Ilmu Tajwid Berbasis Android,” Evolusi : Jurnal Sains Dan Manajemen 6, no. 1 (2018): 91–100, https://doi.org/10.31294/evolusi.v6i1.3586.

(4)

penelitian Marga, lebih memandang pembelajaran Al-Qur’an pada program SLQ ini sebagai fenomena yang terus berkembang dari masa ke masa – terutama masa pendemi Covid-19. Selain itu, peneliti juga hanya memfokuskan secara spesifik pada jenjang mubtadi’īn.

Kajian Teoretis

Pembelajaran Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber pokok agama yang dipedomani oleh seluruh umat muslim di dunia. Sebagai mayoritas pemeluk agama Islam – yakni sebesar 87,2 persen,6 tentu materi pembelajaran Al-Qur’an menjadi suatu keniscayaan. Bahkan Pancasila sebagai ideologi bangsa pun turut mengakui dan mendorong pembelajaran agama sekaligus sumbernya pada sila pertama

“ketuhanan Yang Maha Esa”.

Secara yuridis, materi pembelajaran seputar Al-Qur’an dijamin pelaksanaannya. Selain jaminan atas kemerdekaan memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing – sebagaimana termaktub pada Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

Pasal 31 ayat (3) juga mewajibkan negara untuk memfasilitasi pendidikan agama yang tentunya agama Islam haruslah berlandaskan pada Al-Qur’an. Belum lagi beberapa peraturan perundang-undangan di

6 Dian Erika Nugraheny, “Menag Sebut Mayoritas Muslim Indonesia Setuju Dengan Pancasila,” Menag Sebut Mayoritas Muslim Indonesia Setuju dengan Pancasila, 2021, https://nasional.kompas.com/read/2021/03/13/11584391/menag-sebut-mayoritas-muslim-

indonesia-setuju-dengan-pancasila#:~:text=Jumlah ini lebih besar daripada,setara dengan 227 juta jiwa.

(5)

bawahnya, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan lain sebagainya.

Adapun secara sosiologis, pendidikan Al-Qur’an sudah banyak digandrungi bahkan sejak zaman sebelum kemerdekaan. Sebagaimana terbukti pada banyaknya sekolah diniyah maupun pesantren yang menjamur di seluruh pelosok negeri. Dikutip dari databoks, Kementerian Agama mengidentifikasi jumlah pondok pesantren yang tersebar di penjuru Indonesia sebanyak 26.973.7 ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an sebagai materi pembelajaran adalah keniscayaan sosiologis yang amat sulit diabaikan.

Pengertian Pembelajaran Al-Qur’an

Pembelajaran adalah proses manajemen ekosistem kisaran peserta didik yang agar dengannya mampu untuk belajar.8 Disematkannya kata

‘Al-Qur’an setelah kata pembelajaran, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah objek pembelajaran itu sendiri. Sehingga secara terminologis dapat dipahami pembelajaran Al-Qur’an adalah proses mengatur lingkungan peserta didik agar dengannya dapat belajar tentang Al-Qur’an.

7 Andrea Lidwina, “Databoks.Katadata.Co.Id,” Persebaran Pondok Pesantren di 34 Provinsi, 2020, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/10/01/persebaran-pondok- pesantren-di-34-provinsi#:~:text=Kementerian Agama mencatat ada 26.973,3-4 ribu pondok pesantren.

8 Aprida Pane and Muhammad Darwis Dasopang, “Belajar Dan Pembelajaran,”

FITRAH:Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman 3, no. 2 (2017): 333, https://doi.org/10.24952/fitrah.v3i2.945.

(6)

Semangat pembelajaran Al-Qur’an pada dasarnya sudah diuraikan dalam hadis yang diuraikan oleh Hajjaj bin Minbahwa Nabi Muhammad SAW telah berkata:9

لع و نآرقلا ملعت نم مكريخ هم

“Sebaik-baiknya kalian adalah mereka yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarinya”

Menjadikan Al-Qur’an sebagai objek pembelajaran akan rentan memunculkan multi-interpretasi. Khusus pada penelitian ini, maksud pembelajaran Al-Qur’an adalah pembelajaran membaca Al-Qur’an. Istilah pembelajaran Al-Qur’an merupakan bagian daripada pembelajaran baca tulis Al-Qur’an yang selama ini sudah diselenggarakan sedari awal Islam masuk di Indonesia.10

Sebagaimana diutarakan Mahmud Yunus dalam Ma’mun, substansi pembelajaran membaca Al-Qur’an akan mengantarkan peserta didik pada pelafalan yang fasih sesuai dengan kaidah ilmu tajwid, menyematkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-harinya, dan menambah kosakata yang baik.11

Karakteristik Al-Qur’an Sebagai Materi Pembelajaran

Sebagai firman Allah SWT yang meliputi lafaz sekaligus substansinya, Al-Qur’an tentu memiliki karakteristik yang

9 Mubarak, “Kebijakan Pembelajaran Alquran Bagi Mahasiswa PTKI: Deskripsi Pengelolaan Mata Kuliah BTQ Di FAI Unikarta,” Azkiya 1, no. 1 (2018): 25–43.

10 Yuanda Kusuma, “Model-Model Perkembangan Pembelajaran Btq Di Tpq/Tpa Di Indonesia,” J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam 5, no. 1 (2018): 46–58, https://doi.org/10.18860/jpai.v5i1.6520.

11 Muhammad Aman Ma’mun, “Kajian Pembelajaran Baca Tulis Al-Qur’an,” Jurnal Pendidikan Islam 4, no. 1 (2018): 52–62.

(7)

membedakannya dengan tulisan maupun ucapan manapun di dunia ini.

Secara nyata, Allah SWT melalui ayat 23 Surat Al-Baqarah bahkan menantang siapapun untuk membuat – jangankan sebanyak Al-Qur’an – sebuah surat saja yang seperti Al-Qur’an. Niscaya tiada satupun makhluk di dunia ini yang mampu melakukannya:

ٍة َر ْوُسِب ا ْوُتْأَف اَنِدْبَع ىَلَع اَنْل َّزَن اَّمِم ٍبْي َر ْيِف ْمُتْنُك ْنِإ َو ِهِلْث ِ م ن ِم

ْن ِم ْمُكَءاَدَهُش ا ْوُعْدا َو ۖ

َنْيِقِداَص ْمُتْنُك ْنِإ ِالله ِن ْوُد

“Dan jika kamu masih ragu apa yang Kami wahyukan ini kepada hamba Kami, buatlah olehmu sebuah surat saja semacam ini dan panggillah saksi-saksimu selain Allah jika kamu termasuk orang-orang yang benar”.

Metode Pembelajaran Al-Qur’an

Mengajarkan cara agar peserta didik mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, tentu menjadi tugas yang berat. Seorang pendidik harus menganalisis terlebih dahulu antara peserta didik dengan kecocokan pendekatan yang akan digunakan. Layaknya kata mutiara Arab menyebutkan "likulli maqāmin maqālun wa likulli maqālin maqāmun”

(setiap tempat itu ada pembicaraannya dan setiap pembicaraan itu ada tempatnya).12

Berangkat dari pemahaman bahwa metode adalah cara teratur yang digunakan dalam rangka menggapai tujuan, maka pemilihan metode yang tepat dalam melaksanakan pembelajaran membaca Al-Qur’an akan turut

12 Putra Kapuas, “Mahfudzot Kelas 1 KMI Gontor Lengkap Beserta Artinya,”

putrakapuas.com, 2017, https://www.putrakapuas.com/2017/11/mahfudzot-kelas-1-kmi-gontor- lengkap.html.

(8)

menambah kemudahan peserta didik memahami cara membaca Al-Qur’an yang baik dan benar.13

Apabila diidentifikasikan dari Sabang sampai Merauke, metode membaca Al-Qur’an amatlah banyak. Metode membaca Al-Qur’an tumbuh dan berkembang serendengan perkembangan zaman, beda karakteristik peserta didik maka beda pula metode pembelajaran membaca Al-Qur’an yang digunakan. Namun demikian, Agus menjelaskan bahwa dari keseluruhan metode pembelajaran membaca Al-Qur’an secara garis besar dapat digolongkan pada dua klasifikasi, yakni metode klasikal dan metode individual.14

Metode klasikal dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an biasanya dilaksanakan dengan diiringi permainan, cerita, bernyanyi, demonstrasi, dan kuis. Sedangkan metode individual lebih menekankan pada penugasan, latihan, dan asistensi, meski terkadang juga masih melaksanakan demonstrasi dan kuis.15 Beberapa contoh metode membaca Al-Qur’an yang populer dan familiar di Indonesia, yakni al-Baghdadi, Iqro`, Yanbu’a, Ummi, Al-Barqy, dan Qiro’ati.

Interaksi Pembelajaran

Interaksi pembelajaran adalah diksi yang terdiri dari dua kata, yakni interaksi dan pembelajaran. Interaksi secara kebahasaan merupakan

13 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):

Kamus Versi Online/Daring (Dalam Jaringan),” kbbi.web.id, 2016, https://kbbi.web.id/metode.

14 Agus Kurnia, “Implementasi Metode Al-Hidayah Dalam Pembelajaran Baca Tulis Al- Qur’an,” Jurnal Tatsqif 15, no. 1 (2017): 69–96, https://doi.org/10.20414/j-tatsqif.v15i1.1309.

15 Ibid. 75-76 .

(9)

hubungan reciprocal, yakni saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya.16 Interaksi antar individu dinaungi oleh suatu istilah yang disebut dengan komunikasi, yakni hubungan interdependensi antar subjek berdasarkan suatu kepentingan baik disengaja maupun tidak.17

Kontekstualisasi pada istilah interaksi pembelajaran akan menimbulkan satu persepsi bahwa terdapat hubungan timbal balik antar satu individu dengan individu lainnya dalam lingkungan yang memungkinkan peserta didik belajar.18 Sekurang-kurangnya dalam ini dapat diprediksikan akan muncul pola hubungan timbal balik yang terdiri dari:

a. Hubungan antara pendidik dengan peserta didik (top down);

b. Hubungan antara peserta didik dengan pendidik (bottom up); dan c. Hubungan antar peserta didik.

Keseluruhan pola hubungan tersebut pada akhirnya harus mampu mengantarkan peserta didik menuju tujuan pembelajaran, baik per target pertemuan, maupun secara menyeluruh dalam suatu masa pembelajaran.

dalam ini materi pembelajaran jadi substansi yang berusaha diberikan atau dipahami dari pendidik kepada peserta didik tergantung paradigma model pembelajarannya.

Kajian ilmu komunikasi menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya saat interaksi melalui komunikasi terjadi terdapat enam komponen di dalamnya: komunikator, komunikan, pesan, media, umpan balik, dan

16 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):

Kamus Versi Online/ Daring (Dalam Jaringan),” kbbi.web.id, 2016, https://kbbi.web.id/interaksi.

17 Zikri Fachrul Nurhadi, Teori Komunikasi Kontemporer (Depok: 2017), 23.

18 Pane and Darwis Dasopang, “Belajar Dan Pembelajaran.”

(10)

dampak.19 Interaksi pembelajaran akan dipahami bahwa komponennya juga terdiri dari pendidik sebagai komunikator, peserta didik sebagai komunikan, materi pembelajaran sebagai pesan, strategi pembelajaran sebagai media, proses tanya-jawab dalam pembelajaran sebagai umpan balik, dan perubahan pada diri peserta didik sebagai dampak.

Interaksi pembelajaran kadang kala juga disebut sebagai interaksi edukatif yang oleh Lili Ardayani didefinisikan sebagai kegiatan pada proses belajar-mengajar yang melibatkan pendidik dan peserta didik sebagai subjek.20 Namun demikian, tidak semua kegiatan dalam proses belajar- mengajar merupakan interaksi edukatif. Bahkan mungkin sudah sering terdengar bahwa banyak juga suatu interaksi selama proses belajar mengajar yang kadang kala disalahgunakan baik oleh pendidik maupun peserta didik.

Memfokuskan pada definisi interaksi edukatif, Harizal Anhar membatasi suatu interaksi dalam proses belajar mengajar hanya pada tujuh unsur, yakni:

a. Tujuan pembelajaran;

b. Pesan interaksi yang merupakan materi pembelajaran;

c. Cara yang bertanggungjawab dan berkesesuaian dengan tujuan pembelajaran;

d. Perbuatan pendidik;

e. Keterlibatan peserta didik dalam bertindak;

19 Haris Budiman, “Penggunaan Media Visual Dalam Proses Pembelajaran, Al- Tadzkiyyah: , Vol. 7, (2016), h. 177,” Jurnal Pendidikan Agama Islam 7, no. 45 (2016): 177.

20 Lili Ardayani, “Proses Pembelajaran Dalam Interaksi Edukatif,” Itqan 8, no. 2 (2017):

187–200.

(11)

f. Kondisi konstruktif yang mendukung proses belajar-mengajar; dan g. Penilaian terhadap serangkaian interaksi pembelajaran.

Paradigma awal interaksi edukatif atau interaksi pembelajaran akan mempengaruhi pola interaksinya, menurut Nana Sudjana dalam Dianasari pola interaksi edukatif dibagi menjadi tiga, yakni komunikasi aksi, komunikasi interaksi, dan komunikasi transaksi.21

Pola interaksi yang pertama menunjukkan bahwa pendidik adalah pelaku aksi dan peserta didik adalah penerima aksi. Pendidik dianggap satu- satunya sumber belajar atau orang yang paling mampu melakukan transfer of knowledge sehingga pendidik memberikan dan peserta didik menerima begitu

saja.

Pola interaksi yang kedua, antara pihak pendidik dapat saling memberi dan saling menerima. Pola komunikasi antara pendidik dan peserta didik terjalin secara resiprokal yang membuat pembelajaran terasa lebih interaktif. Sedangkan pola yang terakhir, komunikasi resiprokal hanya terjadi antara pendidik dan peserta didik, namun juga dapat terjadi antar peserta didik. Pada kondisi yang terakhir inilah peserta didik bahkan bisa jadi sumber belajar bagi peserta didik yang lainnya.

Media Pembelajaran

Hakikat dari interaksi pembelajaran yang di dalamnya terdapat media pembelajaran perlu dibahas secara signifikan. Arsyad menyebutkan media

21 Gita Devy Dianasari, “Interaksi Edukatif Guru Dan Murid Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah 1 Malang” (Universitas Muhammadiyah Malang, 2017).

(12)

pembelajaran pada gilirannya akan menjadi sarana dalam proses penyampaian materi. Media pembelajaran akan berperan sebagai penengah yang menjembatani pendidik sebagai komunikator dan peserta didik komunikan.22

Kata media dalam media pembelajaran adalah penerus pesan atau muatan informasi dari pendidik kepada peserta didik sehingga dapat merangsang perhatian, pikiran, minat, dan perasaan, hingga akhirnya proses belajar-mengajar terjadi.23 Brunner dalam Arsyad juga menjelaskan bahwa pembelajaran akan meliputi beragam modus yang terdiri dari enactive, iconic, dan symbolic.24

Enactive adalah rangsangan pembelajaran yang diberikan secara

langsung dari pendidik kepada peserta didik. Aktualisasinya mengisyaratkan peserta didik agar secara aktif menggunakan semua panca indera saat melakasanakan proses belajar mengajar. Kedua, modus iconic. Pendidik secara praktis memberikan abstraksi visual terhadap suatu materi pembelajaran. Tahapan modus ini akan banyak menjadikan indera penglihatan sebagai indera yang paling sering digunakan. Pendidik menampilkan gambar tertentu untuk menjelaskan materi pembelajaran.

Modus ketiga, yakni symbolic. Peserta didik diabstraksikan materi pembelajaran melalui penjelasan sepihak dari pendidik. Prakteknya,indera pendengar semata-mata akan menjadi media yang digunakan secara monoton.

22 Azhar Arsyad, Media Pembelajaran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997). 23

23 Muhammad Noor, Media Pembelajaran Berbasis Teknologi, ed. Mei Aulia (Jakarta Barat: PT Multi Kreasi Satudelapan, 2010).

24 Arsyad, Op.Cit. 25.

(13)

Dale dalam Sari, efektivitas penyerapan informasi ditinjau dari pengideraanya dapat digambarkan melalui teori kerucut pengalaman (cone of experience theory). Semakin ke atas suatu media pembelajaran, maka media

tersebut akan semakin abstrak dan sulit dimengerti oleh peserta didik.

Sedangkan jika dalam teori kerucut pengalaman semakin ke bawah, maka media pembelajaran semakin memperjelas dan memperkonkret informasi yang diberikan oleh pendidik.

Teori kerucut pengalaman Dale di atas, diketahui pula ragam media pembelajaran yang sudah tersistematisasi secara hierarkis dari yang paling abstrak – ujung kerucut – hingga yang paling konkret. Pada media pembelajaran yang hanya mengandalkan simbol-simbol verbal atau simbol- simbol visual, oleh Dale dianggap terlalu abstrak. Dua media pembelajaran dengan gaya yang seperti ini masuk pada kategori modus symbolic.

Media pembelajaran yang berbentuk rekaman, radio, gambar tidak bergerak, gambar bergerak, dan televisi termasuk pada golongan media pembelajaran iconic dengan ciri khasnya yang lebih konkret dari pada golongan modus symbolic. Pada bentuk-bentuk media pembelajaran yang lain, seperti pertunjukan, karyawisata, demonstrasi, pengalaman berbasis dramatisasi, rekayasa pengalaman, dan pengalaman langsung yang terarah masuk dalam golongan modus enactive dimana peserta didik akan lebih mampu memahami secara konkret materi pembelajaran.

Definisi yang lain, Shoffan Shoffa dkk (2021) mengklasifikasikan enam kategori dasar media, yakni teks, audio, visual, video, manipulatif, serta

(14)

orang.25 ini pun tatkala diklasifikasikan dalam teori kerucut pengalaman Dale akan menunjukkan bahwa teks, visual dan audio termasuk modus symbolic, lalu video termasuk iconic, dan orang adalah enactive.

Pembelajaran Daring Semasa Pandemi Covid-19

Sejak akhir 2019 hingga saat penelitian ini ditulis, istilah Corona Virus Disease (Covid-19), tampak begitu akrab di telinga siapapun yang

mendengarnya. Sebab, diketahui Covid 19 inilah yang menjadi penyebab banyaknya keresahan secara ekonomi, sosial, dan politik. berlebihan jika World Health Organization (WHO) menyematkan Covid-19 sebagai wabah atau pandemi.

Kondisi tersebut mengisyaratkan agar pembelajaran dilaksanakan secara daring. Namun demikian, pembelajaran secara daring hanya sebagian kecil daripada strategi pembelajaran. Jika diidentifikasikan, maka pembelajaran daring merupakan media dalam strategi pembelajaran yang boleh luput dari kebutuhan dan kondisi peserta didik.26 Sedangkan metode yang melandasinya dapat berupa ceramah, diskusi dan lain sebagainya.

Identifikasi lebih lanjut tentang kegiatan belajar-mengajar secara daring merupakan teknik pembelajaran yang telah diatur pada Pasal 31 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang a quo, menyebutkan bahwa kegiatan belajar-

25 Shoffan Shoffa et al., Perkembangan Media Pembelajaran Di Perguruan Tinggi, ed. M Ivan Ariful Fathoni (Bojonegoro: 2021). 2.

26 Imanuel, Op.cit. 19.

(15)

mengajar merupakan teknik pembelajaran yang dinamakan Pendidikan Jarak Jauh.27

Hakikat penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh – merujuk pada delegasinya dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 119 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikbud PJJ) – adalah sarana meningkatkan perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu, dan relevansi pendidikan dasar dan menengah.28

Pendidikan Jarak Jauh memiliki dua lingkup, yakni program dan satuan pendidikan. Pada lingkup program, sebuah Pendidikan Jarak Jauh hanya diselenggarakan pada mata pelajaran atau bidang keahlian tertentu.

Sedangkan pada pada lingkup satuan pendidikan, Pendidikan Jarak Jauh diselenggarakan untuk seluruh mata pelajaran pada jenjang dan jenis pendidikan.

Pendidikan Jarak Jauh ditinjau dari segi penyelenggaraannya menurut Pasal 7 Permendikbud PJJ dilaksanakan dalam tiga bentuk, yakni pertama modus tunggal, yakni sebuah pembelajaran yang hanya

menerapkan pendidikan jarak jauh menggunakan media tertentu berbasis teknolog, Kedua, Modus Ganda. Pembelajaran yang dalam satu waktu menggunakan pembelajaran secara reguler dan diwaktu yang lainnya menggunakan pembelajaran secara jarak jauh. Serta ketiga, yakni modus

27 BPK RI, “Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional”

(2003).

28 JDIH, “Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 119 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah” (n.d.).

(16)

konsorsium. Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh dengan jejaring kerja sama lintas satuan pendidikan baik secara nasional maupun internasional.

Pelaksanaan Pendidikan Jarak Jauh terkadang di satu sisi tidak memiliki keseragaman, ini diketahui sebagai konsekuensi bahwa kebijakannya adalah kewenangan Pemerintah Daerah. Efektivitas penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh (pembelajaran secara daring) dewasa ini harus dilandasi paradigma bahwa pembelajaran secara daring merupakan kebutuhan yang terelakan. Pasalnya, jika pendidik maupun peserta didik tidak bersiap-siap atas kebutuhan zaman, maka akibatnya pembelajaran bisa dikontekstualisasikan dengan kebutuhan dan kemajuan zaman.

Dikutip dari harian kompas.id, bahwa penelitian yang dilaksanakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukan dari 602 responden – terdiri dari guru dari berbagai jenjang pendidikan dan status kepegawaian – hanya 19,1 persen responden mengaku telah terbiasa menggunakan aplikasi edukasi tatkala melaknakan proses pembelajaran.29

29 Sania Mashabi and Kristian Erdianto, “KPAI: Angka Putus Sekolah Pada Masa Pandemi

Covid-19 Cukup Tinggi,” kompas.com, 2021,

https://nasional.kompas.com/read/2021/03/06/12561341/kpai-angka-putus-sekolah-pada-masa- pandemi-covid-19-cukup-tinggi.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

(c) Biaya retribusi adalah biaya yang dikeluarkan oleh pedagang perantara yang biasanya dikeluarkan secara resmi dihitung dalam satuan rupiah per botol. 8)

Hasil multivariat menunjukkan ada pengaruh antara pengetahuan dengan kepatuhan diet hipertensi dengan nilai P value 0,011 dan responden dengan pengetahuan rendah

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Semakin jauh jarak pelanggan dari sentral, maka akan semakin kecil nilai SNR (Signal to Noise Ratio) yang dihasilkan. Hal ini membuktikan bahwa jarak berbanding

Menurut Ibnu Hajar mimpi juga merupakan permisalan- permisalan yang di buat oleh Allah untuk hamba sesuai dengan kesiapan (hamba tersebut), melalui perantara malaikat

tuturan memuji penutur atau kagum dengan yang dikatakan penutur tentang anaknya. e) Strategi bertutur di Dalam Hati Tindak tutur memuji atau menyanjung juga

Draf makalah setiap mahasiswa yang sebelumnya sudah dikoreksi sehingga sudah dibenahi aspek logika, ejaan, fonologi, morfologi, kalimat, dan paragraf, ditukar

Tokoh dan juga perwatakan memiliki peranan penting dalam sebuah karya sastra sebab watak atau karakter tokoh menghasilkan pergeseran, perbedaan kepentingan dan