• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ISBN 978-602-99218-6-1

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN DAS 2012

Surakarta, 5 September 2012

Terbit Tahun 2013

Tim Penyunting :

Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir. Murniati

Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan

Konservasi dan Rehabilitasi

(3)

Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012

Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), 2013

ISBN : 978-602-99218-6-1

Foto Sampul : Eko Priyanto

Farika Dian Nuralexa

Desain Sampul : Tommy Kusuma AP

© P3KR 2013

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

Diterbitkan oleh :

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR)

Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia Telp : (0251) 8633234 Fax : (0251) 8638111

E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.id Website: http://www.p3kr.com

Dicetak oleh :

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(4)

iii

Tim Penyunting

Penanggung Jawab Redaktur

: :

Ir. Bambang Sugiarto, M.P Ir. Didik Purwito, M.Sc Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc

Dr. Ir. Murniati

Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr

Sekretariat : Ir. Hariono

Retisa Mutiaradevi, S.Kom, MCA Rara Retno Kusumastuti R, S.H, M.Hum

Eko Priyanto, SP

Farika Dian Nuralexa, Shut Zamal Wildan, S.Kom Wahyu Budiarso, S.P Tommy Kusuma AP

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. Daya dukung DAS harus ditingkatkan sebagai akibat dari terjadinya penurunan daya dukung DAS yang ditandai dengan banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat. Daerah aliran sungai termasuk kategori dipertahankan atau dipulihkan daya dukungnya tergantung dari kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah.

Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Untuk itu maka pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan yang diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi Terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Dengan terbitnya PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, maka Indonesia memiliki acuan sehingga pengelolaan DAS secara terpadu dapat dilaksanakan dan daya dukung DAS dapat dipertahankan. Selain itu dukungan IPTEK di bidang pengelolaan DAS diperlukan untuk menjawab permasalahan- permasalahan tersebut.

Dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran dan dukungan dalam pengelolaan DAS, Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS (BPTKPDAS) menyelenggarakan Kegiatan Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012. Penyelenggaraan tersebut

(6)

v

Bogor, Agustus 2013 Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabiltiasi

Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002

adalah sebagai bentuk tanggung jawab BPTKPDAS sebagai lembaga litbang yang bergerak di bidang pengelolaan DAS. Penyelenggaraan Kegiatan Seminar Nasional dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain kepada pengguna. Semoga hasil-hasil tersebut dapat dicermati dan dimanfaatkan oleh parapihak terkait dan diharapkan kegiatan penelitian bidang pengelolaan DAS ke depan dapat ditingkatkan.

Dengan demikian Penyelenggaraan Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 adalah menyampaikan hasil- hasil dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain agar memperoleh umpan balik dari pengguna.

Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 ini memuat 14 judul materi yang dibahas, serta rumusan seminar yang merangkum keseluruhan dari hasil diskusi.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyaji, Panitia Penyelenggara, Penyunting Prosiding, serta pihak- pihak yang telah mendukung sampai selesainya kegiatan. Semoga Prosiding ini bermanfaat.

(7)

vi DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... v DAFTAR ISI………... vi PENGARAHAN

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan... viii RUMUSAN

Rumusan Seminar...………... xii MAKALAH-MAKALAH

1. Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai / Paimin, Ugro Hari Murtiono,

Agus Wuryanta (BPKTPDAS)... 1 2. Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung

Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang /

Pamungkas Buana Putra, Irfan Budi Pramono(BPKTPDAS)... 18 3. Revisi Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Lusi Dengan

Menggunakan Citra Satelit SPOT dan Sistem Informasi Geografis / Agus Wuryanta, Aris Budiyono, Beny Harjadi

(BPKTPDAS)... 43 4. Struktur Property Rights Sistem Pengelolaan Sumberdaya

Hutan (PHBM) Pada Hutan Tanaman Jati / Evi Irawan

(BPKTPDAS)... 56 5. Partisipasi Masyarakat Pada Kegiatan Konservasi Tanah dan

Air di Hulu Sub DAS Gandu Suwaduk, Pati - Jawa Tengah /

C. Yudilastiantoro (BPKTPDAS)... 78 6. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Hasil Air: Studi Kasus di

Daerah Aliran Sungai Bajulmati / Purwanto, Irfan Budi

Pramono (BPKTPDAS)... 92 7. Neraca Air Meteorologis di Kawasan Hutan Tanaman Jati di

Cepu / Agung Budi Supangat, Pamungkas Buana Putra

(BPKTPDAS)... 110 8. Analisis Kualitas Air pada Tanaman Kayuputih di Mikro DAS

Gubah, Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa

Yogyakarta / Ugro Hari Murtiono (BPKTPDAS)... 132

(8)

vii

9. Perubahan Tingkat Sedimen Terlarut di Sungai Keduang Periode 1994-2010 / Gunardjo Tjakrawarsa, Irfan Budi

Pramono (BPKTPDAS)... 146 10. Kajian Peran Dominasi Jenis Mangrove Dalam Penjeratan

Sedimen Terlarut Di Segara Anakan Cilacap / Ugro Hari Murtiono, Gunardjo Tjakrawarsa, Uchu Waluya Heri Pahlana

(BPKTPDAS) ... 164 11. Ujicoba Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis di Gunung Batur,

Bangli (Hasil Awal) / Gunardjo Tjakrawarsa, Budi Hadi

Narendra (BPK Mataram) ... 177 12. Komposisi Dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah

Berpotensi pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Taman Nasional Bali Barat / Arina Miardini, Agung Budi Supangat

(BPKTPDAS) ... 203 13. Penanganan Lahan Pantai Berpasir Dengan Tanaman Tanggul

Angin Cemara Laut / Beny Harjadi (BPKTPDAS)... 221 14. Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan di Sub Daerah

Aliran Sungai Tulis / S. Andy Cahyono, Purwanto (Mahasiswa

S3 UGM) ... 239 LAMPIRAN

Jadwal Acara... 268 Daftar Peserta... 272 Hasil Diskusi... 277

(9)

viii PENGARAHAN

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Dalam

Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012

Yth. Para Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten atau yang mewakili

Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai,

Kepala Pusat/Kepala Balai Besar/ Kepala Balai Lingkup Badan Litbang Kehutanan khususnya dan Kementerian kehutanan Umumnya,

Bapak/Ibu peserta seminar (peneliti, praktisi, penentu kebijakan, dll) yang berbahagia

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia kepada kita, serta atas perkenaan-Nya pulalah kita bisa hadir pada acara seminar dalam keadaan sehat wal afiat dan suasana yang penuh kebahagiaan.

Bapak Ibu peserta seminar yang kami hormati,

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia patut disyukuri, dilindungi dan diurus dengan sebaik-baiknya. DAS memiliki persoalan yang sangat komplek tetapi diantaranya juga mempunyai potensi yang besar untuk pembangunan, oleh karena itu perlu dikelola dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan sehingga masyarakat memperoleh manfaat yang optimal dan berkelanjutan pula.

(10)

ix

Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Bencana banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat adalah merupakan tanda-tanda penurunan daya dukung DAS.

Amanah UU No. 41 tahun 1999 salah satu tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah dengan meningkatkan daya dukung DAS, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolan DAS yang obyektif dan rasional untuk mengatasi permasalahan pengelolaan DAS tersebut.

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.

Sebagai landasan penyelenggaraan pengelolaan Pengelolaan DAS, telah terbit PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Untuk mengimplementasikan PP tersebut, masih diperlukan pemahaman bersama oleh parapihak terkait sehingga dapat dilaksanakan dengan selaras dan terpadu.

Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS diperlukan serangkaian IPTEK di bidang pengelolaan DAS yang adoptif sebagai dasar untuk menjawab permasalahan / dinamika sosial, politik, ekonomi, dan teknologi yang kian berkembang.

Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pengelolaan DAS 2012 dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS.

Sasaran Seminar untuk menyampaikan hasil penelitian dan menjaring masukan untuk penyempurnaan dan tindaklanjut.

(11)

x

Luaran yang ingin dicapai hasil-hasil penelitian cepat sampai kepada pengguna (praktisi, penentu kebijakan) dan dimanfaatkan.

Seminar ini juga merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepahaman antara Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Nomor NK.3/VIII-SET/2011 dan Nomor NK.2/V-SET/2011 tanggal 27 Juni 2011 Tentang IPTEK Pengelolaan DAS sebagai Landasan Kebijakan Operasional.

Untuk meningkatkan sinergitas kerjasama antara Badan Litbang Kehutanan sebagai penyedia IPTEK dengan pengguna IPTEK, terutama Ditjen BPDASPS, maka perlu Kehadiran Direktur PEPDAS Ditjen BPDASPS sebagai keynote speech untuk menyampaikan ”Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS Dalam Mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun 2012” .

Dalam melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan, telah dijalin pula kerjasama dengan Perum Perhutani.

Maksud kerjasama adalah untuk mendayagunakan dan mensinergikan sumberdaya antara Perum Perhutani dan Badan Litbang dalam rangka penelitian dan pengembangan, pemanfaatan dan penerapan hasil- hasilnya.

Ruang lingkup kerjasama meliputi litbang di bidang kehutanan, sosialisasi dan diseminasi hasil, penerapan dan pemanfaatan hasil- hasilnya.

Langkah awal telah disepakati Bersama (Memorandum of Understanding) antara Badan Litbang Kehutanan dengan Perum Perhutani Tentang Kesepakatan Bersama Melaksanakan Kerjasama Penelitian dan Pengembangan serta Penerapan dan Pemanfaatan Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Nomor NK.

1/VIII-SET/2012 dan Nomor 034/SJ/DIR/2012, tanggal 23 April 2012.

(12)

xi

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan bersama tersebut, telah diupayakan perjanjian kerjasama (PKS) litbang yang dilaksanakan di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) dan Hutan Penelitian yang berada di wilayah Perum Perhutani Unit I dan II, dan oleh karena itu pada kesempatan ini akan dilakukan penandatanganan PKS lingkup badan Litbang Kehutanan yaitu antara BPTKPDAS Solo dan PUSKONSER Bogor dengan Puslitbang Perum Perhutani Cepu.

Maksud PKS tersebut adalah untuk meningkatkan sinergitas dan efisiensi penelitian dan atau pengembangan serta pengelolaan KHDTK secara kolaboratif sehingga diperoleh peningkatan nilai hutan dan lingkungan.

Saudara-saudara hadirin yang berbahagia,

Penyelenggaraaan seminar ini sangat penting bagi kita bersama. Oleh karena itu kami mohon agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam diskusi, sehingga nantinya dapat diperoleh nilai manfaat secara maksimal.

Demikian sedikit pengantar kami tentang latar belakang pentingnya penyelenggaraan seminar ini. Semoga pada akhir acara nanti dapat dirumuskan temuan-temuan penting untuk menjadi bahan pertimbangan kebijakan pimpinan dalam menghadapi tantangan pengelolaan DAS terkini.

Akhir kata, semoga kegiatan ini bermanfaat bagi semua institusi yang terkait di bidang Pengelolaan DAS maupun para pengguna sehingga terjalin hubungan timbal balik yang bermanfaat bagi kemaslahatan negara, pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirochim, Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pengelolaan DAS 2012 kami nyatakan “dibuka” secara resmi.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc.

(13)

xii

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL

“Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012”

(5 September 2012)

Berdasarkan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; keynote speech: Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS dalam mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun 2012 oleh Direktur Perencanaan & Evaluasi Pengelolaan DAS – Ditjen BPDASPS; paparan narasumber komisi; serta hasil diskusi, maka seminar ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Hasil Rumusan Sidang Komisi I

1. Karakterisasi Lahan dan Banjir Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (Ir. Paimin MSc,dkk)

a. Berdasarkan tingkat kerentanan lahan terhadap erosi, Sub DAS Tuntang Hulu, merupakan wilayah yang harus mendapat prioritas penanganan.

b. Berdasarkan analisis untuk karaterisasi DAS, DAS Tuntang memiliki potensi pasokan air banjir yang tinggi, maka berdasarkan klasifikasi DAS menurut PP 37 Tahun 2012, DAS Tuntang termasuk pada kategori dipulihkan.

c. Sedangkan berdasarkan karakteristik/tipologi lahan dan pasokan air banjir maka urutan penangan DAS Tuntang adalah hulu, tengah kemudian hilir.

d. Hasil identifikasi ini diharapkan bias digunakan sebagai penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya khususnya di Kabupaten Demak.

- Berdasarkan tingkat kerentanannya, karakteristik lahan dan pasokan air banjir maka DAS Tuntang dikategorikan sebagai DAS yang dipulihkan, dan prioritas penanganan dilakukan di bagian hulu DAS.

(14)

xiii

- Penyusunan kriteria DAS sebaiknya menggunakan parameter yang workable. Termasuk penentuan actor perusak DAS, dan siapa dan apa yang sebaiknya ditangani.

- Buku Perencanaan Pengelolaan DAS telah memberikan arahan parameter mana yang bias digunakan untuk menganalisis kondisi DAS lingkup kabupaten, lintas kabupaten dan lintas popinsi.

2. Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang (Pamungkas BPS.Hut, dkk)

a. Mempertimbangkan luas kawasan hutan di DAS Serang yang 14,96% merupakan wilayah Unit I Jawa Tengah, dan sebesar 45% KPH (terdiri dari 9 KPH) dari Unit I Jawa Tengah. Dengan demikian KPH Unit I Jawa Tengah merupakan stakeholders utama yang mengelola DAS Serang.

b. Terkait dengan sinkronisasi system perencanaan hutan dan sistem perencanaan pengelolaan DAS, Bagian Hutan menjadi wadah dalam sinkronisasi-kolaborasi kedua system perencanaan tersebut.

c. Pada pengelolaan DAS, setiap unit pengelolaan hutan dalam melaksanakan pengelolaan hutan hendaknya mengacu pada karakteristik dari DAS yang bersangkutan (ayat 3 pasal 32 PP No. 44 tahun 2004).

d. Sinergitas antara sistem perencanaan DAS terhadap sistem perencanaan kehutanan dilakukan melalui penyusunan Rencana Pengelolaan hutan yang berdasar/mengacu pada Rencana Pengelolaan DAS. Penyusunan Rencana pengelolaan hutan (baik konservasi maupun lindung dan produksi) yang telah dilaksanakan selama ini juga telah mengaitkan antara keberadaan kawasan hutan dengan DAS. Di dalam menyusun rencana pengelolaan hutan konservasi, faktor kondisi Daerah Aliran Sungai dan sumber daya air menjadi salah satu unsur ekologi yang mendasari penyusunan rencana pengelolaan hutan (pasal 8 Permenhut No. 41/Menhut-II/2008).

e. Demikian juga perencanaan hutan untuk hutan lindung dan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani telah

(15)

xiv

mengaitkan unsur pengelolaan DAS. Unsur pengelolaan DAS menjadi salah satu unsur agenda tujuan pengelolaan hutan dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) sebagai contoh adalah RPKH (Revisi) KPH Cepu Jangka 2009-2013.

Sasaran dan strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan aktivitas kelola lingkungan di kawasan hutan berupa penataan KPS;

penerapan teknik KTA, monitoring tata air, erosi dan sedimentasi; monitoring tingkat kesuburan. (SPH IV, 2009).

f. Perencanaan makro dari Perencanaan Pengelolaan DAS diadopsi melalui RPKH lingkup Bagian Hutan (BH) untuk hutan lindung dan produksi, dan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi (baik CA, SM, TN dan Tahura).

- Sinkronisasi perencanaan kehutanan di lingkup Perhutani dalam upaya mendukung pengelolaan DAS dilakukan melalui Bagian Hutan untuk hutan lindung dan produksi, dan Rencana Pengelolaan kawasan konservasi.

- Hutan merupakan bagian dari ekosistem DAS, oleh karena itu rencana pengelolaan kehutanan hendaknya mengacu pada rencana pengelolaan DAS.

3. Revisi Peta Penggunaan Lahan di Sub DAS Lusi dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT dan SIG (Ir. AgusWuryanta, MSc) Telah terjadi perubahan luasan penutupan/penggunaan lahan di DAS Lusi, seperti Sawah Irigasi pada peta RBI seluas 11.941,65 ha, sedangkan hasil klasifikasi citra SPOT 2 menjadi seluas 1.797,85 ha atau berkurang 10.143,8 ha. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada saat perekaman citra yaitu tanggal 19 Juni 2006 (musim kemarau) sebagian areal tersebut tidak ada vegetasi (setelah musim panen) sehingga terklasifikasi pada citra sebagai lahan kosong. Jenis penutupan/penggunaan lahan Sawah Tadah Hujan pada peta RBI seluas 39.796,25 ha, sedangkan hasil klasifikasi citra pada areal tersebut terdapat berbagai jenis penutupan vegetasi seperti mahoni, jati, dan belukar/semak.

- Revisi citra SPOT bias dilakukan pada peta RBI suatu lokasi untuk mendapatkan gambaran mutakhir keadaan suatu wilayah.

(16)

xv

- Citra dengan resolusi besar akan memberikan hasil dan akurasi yang lebih baik.

4. Struktur Property Rights Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan (PHBM) Pada Hutan Tanaman Jati (Dr. Evi Irawan)

a. Sistem PHBM ternyata tidak banyak merubah karakteristik property rights Perhutani, tetapi merubah karakteristik property rights masyarakat desa hutan, khususnya LMDH, ke arah yang lebih baik meskipun belum ideal. Namun demikian, beberapa hal yang perlu disadari adalah bahwa sistem PHBM ternyata belum mampu meningkatkan derajat eksklusivitas pemegang hak atas sumber daya hutan yang ada di dalam kawasan hutan pangkuan desa, kecuali pohon jati. Pihak-pihak luar yang bukan merupakan anggota LMDH dapat dengan mudah mengakses dan sekaligus mengambil kayu bakar, hijauan makanan ternak, dan lain-lain.

b. Rendahnya derajat eksklusivitas dan fleksibilitas property rights yang dikuasai LMDH pada sistem PHBM dapat berimplikasi pada melemahnya dorongan LMDH dalam melestarikan sumberdaya hutan tanaman jati, kecuali tegakan jati, di kawasan hutan pangkuan desa. Dengan kata lain, sistem PHBM kurang dapat mendorong LMDH memanfaatkan sumberdaya hutan secara optimal sehingga dapat menjadi sumber aliran pendapatan regular bagi LMDH maupun masyarakat desa hutan.

c. PHBM tampaknya perlu dirombak sedemikian rupa sehingga dapat memberikan suatu struktur property rights yang mampu memberikan insentif bagi masyarakat desa atau LMDH untukturutsertadalam pelestarian sumberdaya hutan.

- Perombakan PHBM yang memberikan kepastian dan insentif kepada masyarakat untuk turut serta melestarikan sumberdaya hutan. Hal ini pada hakekatnya akan membawa dampak positif pada peningkatan kesehatan DAS.

- Perlu difikirkan upaya menciptakan watershed governance untuk meningkatkan tata kelola DAS melalui penelitian tentang property right.

(17)

xvi

5. Tingkat Partisipasi Pada Kegiatan Konservasi Tanah dan Air di Hulu Sub DAS Gandu Suwaduk, Pati - Jawa Tengah (Ir.

YudiLastiantoro, MP)

a. Rata-rata tingkat partisipasi responden terhadap usaha konservasi tanah dan air adalah rendah sampai sedang.

b. Kenyataan di lapangan, para petani di Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu sudah menerapkan kaidah konservasi tanah di lahannya. Terdapat dua metode konservasi tanah yang telah dilaksanakan, yaitu metode vegetative dan teknik sipil. Metode vegetative yang dilakukan petani adalah menanam tanaman keras di tebing jurang, menanam rumput di gulud dan agroforestry. Metode teknik sipil yang diterapkan dalam melaksanakan konservasi tanah berupa: pembuatan saluran pembuangan air dan pembuatan dam kecil penahan sedimen di badan sungai.

c. Karakteristik tipologi partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi tanah dan air di desa Gunungsari adalah partisipasi fungsional, yaitu masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari kegiatan, setelah ada keputusan-keputusan yang telah disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung dari pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukan kemandiriannya.

d. Tujuan partisipasi (1) Meningkatkan penghasilan masyarakat dari kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan berkaidah konservasi tanah dan air. (2) Melestarikan hutan, tanah dan alam sekitarnya termasuk mengurangi bahaya erosi (3) Melestarikan sumberdaya air, khususnya air bersih untuk keperluan seluruh warga desa.

- Partisipasi masyarakat sangat penting sebagai upaya meningkatkan kesehatan DAS. Partisipasi dilakukan masyarakat petani dalam bentuk pembuatan bangunan konservasi seperti teras, gulud, dan SPA serta perlakuan vegetatif berupa penanaman tanaman keras.

(18)

xvii Hasil Rumusan Sidang Komisi II

1. DAS dapat dipandang sebagai sistem hidrologis yang dipengaruhi oleh peubah curah hujan yang masuk ke dalam sistem. DAS merupakan suatu kesatuan pengelolaan lingkungan dengan menyatukan berbagai tipe ekosistem di daratan antara wilayah hulu sampai hilir yang terhubung melalui siklus/daur hidrologi.

Dalam hal ini, tiga aspek utama dalam pengelolaan DAS yang perlu diperhatikan meliputi jumlah/hasil air (water yield), waktu penyediaan (water regime) dan sedimen.

2. Perubahan iklim yang disebabkan oleh faktor alami dan perilaku manusia dapat menyebabkan meningkatnya rerata suhu udara maksimum pada jangka panjang yang pada akhirnya dapat meningkatkan laju evapotranspirasi dan mempengaruhi hasil air pada ekosistem DAS. Terkait dengan siklus hidrologi, perubahan iklim mempengaruhi anomali distribusi curah hujan baik secara spasial maupun temporal. Namun demikian pada skala kecil, pola curah hujan tahunan, debit sungai dan hasil air cenderung tidak terpengaruh oleh adanya perubahan iklim, meskipun ada kecenderungan menurunnya jumlah air tersedia untuk keperluan rumah tangga maupun budidaya pertanian. Untuk menyikapi kelangkaan air untuk budidaya pertanian, khususnya pada musim kemarau, masyarakat perlu menerapkan pola tanam tumpang gilir.

3. Informasi kondisi neraca air pada suatu wilayah diperlukan dalam perencanaan pengelolaan kawasan, terutama pada daerah kering, termasuk dalam pengembangan komoditas pertanian dan kehutanan beserta pola tanamnya. Pada kawasan hutan jati, potensi defisit air pada bulan-bulan kering dalam satu tahun relatif tinggi namun potensi pasokan air ke dalam tanah di bulan- bulan basah sebagai simpanan air tanah sangat kecil. Sehingga pada kawasan tersebut ada kecenderungan bahwa curah hujan yang dapat dimanfaatkan tidak mencukupi besarnya kebutuhan air oleh tanaman. Dengan demikian, perlu adanya tambahan air dari irigasi, khususnya untuk tanaman budidaya pertanian di sekitar hutan jati.

(19)

xviii

4. Kuantitas dan kualitas air merupakan permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air DAS, baik pada daerah hulu maupun hilir. Penurunan kualitas air berdampak buruk pada kesinambungan ekosistem DAS. Pada daerah hulu, penurunan kualitas air lebih disebabkan oleh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman melalui sedimentasi, penumpukan hara dan pencemaran bahan kimia pestisida. Pada kawasan hutan dengan tanaman kayu putih, permasalahan utama yang dihadapi adalah terkait dengan ketersedian air tanah maupun air permukaan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, di mana masyarakat sekitar kawasan sering mengalami kelangkaan air untuk kebutuhan domestik maupun untuk bercocok tanam. Sementara itu, berdasarkan beberapa parameter penentuan kelas kualitas air menurut peraturan yang berlaku, diperoleh informasi bahwa air pada kawasan hutan kayu putih secara umum masih dapat digunakan sebagai bahan baku air minum dan untuk pengairan tanaman.

5. Tingginya laju sedimentasi karena erosi yang disebabkan oleh perubahan penutupan lahan, terutama berkurangnya luasan penutupan hutan dan bertambahnya luasan areal pemukiman, dapat menyebabkan terganggunya fungsi waduk dalam pengaturan penampungan, penyimpanan dan pendistribusian air.

Pada jangka panjang, meningkatnya jumlah sedimen terlarut yang masuk ke dalam waduk dapat memperpendek umur teknis waduk. Upaya penurunan laju sedimentasi melalui kegiatan konservasi tanah dengan penanaman pohon dan pembuatan bangunan sipil teknis perlu dilakukan dengan melibatkan secara aktif masyarakat setempat untuk menyelaraskan antara kebutuhan masyarakat dan kelestarian lingkungan DAS, khususnya pada daerah tangkapan waduk. Pola agroforestri dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penggunaan lahan pada daerah hulu yang dapat memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat sekaligus memberikan manfaat perlindungan bagi ekosistem hulu DAS.

6. Ekosistem hutan mangrove mempunyai peran yang sangat penting, baik secara ekologis, ekonomis maupun social budaya.

Terkait dengan proses erosi dan sedimentasi, vegetasi pada

(20)

xix

hutan mangrove mempunyai kemampuan dalam menjerat sedimen terlarut sebelum masuk ke laut. Dalam hal ini, komunitas tanaman bakau (Rhizophora spp.) mempunyai kemampuan menjerat sedimen terlarut yang terendah dibandingkan dengan komunitas tanaman api-api (Avicenna spp.) dan bogem (Sonneratia spp.). Dengan demikian, jenis bakau (Rhizophora spp.) sangat cocok dikembangkan untuk rehabilitasi kawasan hutan mangrove terdegradasi yang ditujukan untuk mengurangi pendangkalan sungai pada daerah hulunya yang pada akhirnya dapat potensi banjir.

7. Perlu adanya tindak lanjut penelitian dengan menambahkan komponen-komponen yang diteliti maupun memperbaiki metode penelitian yang dipakai, sehingga pada akhirnya hasil penelitian yang dihasilkan lebih berkualitas dan bermanfaat bagi praktisi lapangan.

Seminar merupakan media komunikasi interaktif antara peneliti dan praktisi untuk menyampaikan/mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan, mendapatkan umpan balik dari pengguna hasil penelitian dan menyinergikan hasil-hasil penelitian antar lembaga penelitian yang terkait. Dengan demikian, kegiatan seminar ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan baik peneliti maupun praktisi.

Hasil Rumusan Sidang Komisi III

1. Salah satu penyebab meluasnya lahan kritis di Pulau Bali adalah akibat letusan gunung berapi. Lahan kritis tersebut berupa batu vulkanis beku dan pasir dari letusan Gunung Batur. Karena mempunyai tingkat kesuburan tanah dan curah hujan rendah maka lahan tersebut perlu segera direhabilitasi. Salah satu upaya rehabilitasi tersebut dapat dilakukan penamanan cemara pandak (Dacricarpus umbricarpus), rasamala (Altingia excelsa), dan Kepelan (Manglietia glauca) dengan perlakuan pemberian top soil, pupuk kandang dan penyiraman sistem tetes. Namun demikian hasil penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk memperoleh hasil yang signifikan.

(21)

xx

2. Tumbuhan bawah merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan. Adanya komposisi dan keanekaragaman tumbuhan bawah akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekologis hutan. Telah ditemukan 29 jenis tumbuhan bawah di Taman Nasional Bali Barat yang mempunyai potensi a) sebagai penutup lantai hutan, b) sebagai tanaman hias, c) tumbuhan obat, d) tumbuhan penghasil pakan satwa, e) penghasil sayuran, f) penghasil minyak atsiri, g) tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan, dan h) tumbuhan sakral. Nilai keanekaragaman masing masing tipe ekosistem hutan tersebut tergolong yang menandakan penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas juga sedang.

3. Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) sempadan sungai merupakan kawasan perlindungan untuk mendukung fungsi lingkungan yaitu konservasi tanah dan hidroorologi serta mempertahankan biodiversitas ekosistemnya, Permudaan KPS melalui enrichment planting yang harus mempertimbangkan toleran atau intoleran jenis tanaman yang dikembangkan. Untuk mendukung hal tersebut dilakukan penelitian intensitas cahaya pada jenis penutupan hutan jati dan johar. Hasil penelitian ini masih perlu diperluas dengan pengamatan tingkat pertumbuahn tumbuhan bawah dibawah jenis-jenis tersebut dan jenis lain yang berkaitan dengan fungsi konservasi KPS.

4. Permasalahan yang sering timbul pada lahan pantai antara lain adalah abrasi (pengurangan daratan), air pasang , kecepatan angin tinggi, uap air yang mengandung garam, iklim mikro ekstrim panas dan kering, dan unsur hara yang rendah. Untuk mengeliminir masalah tersebut dapat dilakukan antara lain dengan penambahan pupuk kandang dan mikoriza, penyediaan sumur renteng dan pemberian mulsa, sedangkan untuk kondisi iklim ekstrim dengan penghijauan cemara laut sebagai tanggul angin.

Langkah awal untuk menuju pertanian yang efisien adalah penentuan komoditas unggulan yang diusahakan sehingga diperoleh komoditas yang memiliki keunggulan komparatif sehingga

(22)

xxi

mampu meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS).

Komoditas unggulan harus layak diusahakan karena memberikan keuntungan kepada petani baik secara biofisik, sosial, dan ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak secara biofisik jika sesuai dengan agroekologi, layak secara sosial jika komoditas tersebut memberi peluang berusaha, bisa dilakukan dan diterima oleh masyarakat setempat sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Hasil penelitian di Sub DAS Tulis menunjukkan bahwa komoditas unggulan yang banyak diusahakan yaitu padi, dan jagung (tanaman pangan), kentang dan kubis (hortikultura), salak (buah- buahan), sengon (kehutanan), kambing dan sapi (ternak ruminansia) dan ayam (ternak non ruminansia). Informasi desa yang memiliki keunggulan atas suatu komoditas perlu diketahui karena mencerminkan pewilayahan komoditas. Desa yang memiliki banyak komoditas unggulan akan menjadi pemasok bagi daerah non basis dan desa dengan banyak komoditi unggulan akan lebih maju dibandingkan dengan daerah yang sedikit memiliki komoditi unggulan. Penggantian komoditas unggulan komparatif (kentang) tidak dapat serta merta dilakukan dengan tanaman kehutanan.

Rekomendasi teknik penanaman kentang dengan menerapkan teknik konservasi tanah perlu diberikan agar memberikan manfaat ekonomi dan ekologi.

Surakarta, 5 September 2012 Tim Perumus

1. Nana Haryanti, S.Sos, M.Sc 2. Nunung Pujinugroho, S.Hut, M.Sc 3. Ir. Nining Wahyuningrum, M.Sc

(23)

92

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP HASIL AIR: STUDI KASUS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BAJULMATI1

Oleh:

Purwanto2 and Irfan B. Pramono3

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: bpt.kpdas@forda-mof.org

Email: 2 purwanto_fris@yahoo.com,3 ibpramono@yahoo.com

ABSTRAK

Perubahan iklim telah menyebabkan kenaikan suhu udara yang berdampak pada kenaikan evapotranspirasi. Kenaikan evapotranspirasi akan berpengaruh terhadap perubahan besarnya hasil air dari hutan. Di sisi lain, perubahan iklim telah menyebabkan perubahan distribusi curah hujan baik spasial maupun temporal. Perubahan distribusi sapsial telah menyebabkan curah hujan tinggi di suatu tempat tetapi terjadi kekeringan di tempat lain.

Perubahan iklim juga menyebabkan curah hujan yang tinggi atau kekeringan di beberapa tempat sehingga kajian perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap jasa hutan air perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah: 1.

Mengetahui perubahan suhu udara di lokasi kajian dalam jangka minimal 30 tahun terkahir, 2. Mengetahui hasil air pada outlet DAS terpilih di lokasi kajian, 3. Mengetahui curah hujan dan intensitas hujan bulanan, 4. Mengetahui water table saat ini dan kurun waktu 10, 20, dan 30 tahun lalu, dan 5. Mengetahui adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap perubahan iklim (suhu udara dan perubahan hidrologi) di sekitarnya. Untuk mencapai tujuan 1-5 dilakukan dengan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait yakni, BMKG Stasiun Banyuwangi, Dinas PU Kabupaten Banyuwangi, Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Sampean Baru di Situbondo, dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampean. Data curah hujan, debit air sungai dan water table dianalisis dengan menggunakan trend selama 31 tahun terakhir. Data hasil air dianalisis dengan menghitung rata-rata bulanan selama 30 tahun. Data water tabel disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian data adaptasi dan mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan analisis kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan rata-rata suhu udara maksimum sebesar 3oC dalam kurun waktu 31 tahun sedangkan rata-rata suhu minimum relatif tetap. Perubahan iklim global tidak berpengaruh terhadap pola hujan dan debit sungai Bajulmati. Curah hujan bagian hulu DAS Bajulmati lebih tinggi dibanding dengan bagian tengah dan hilir sehingga perlu menjaga kawasan tersebut sebagai fungsi lindung dan fungsi budidaya tanaman permanen dalam bentuk kebun agar dapat sebagai peresap (spongy system) air hujan ke dalam tanah.

Kata kunci: perubahan iklim, cuaca ekstrim, adaptasi, dampak hidrologi

1Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS 2012 Surakarta, 5 September 2012.

(24)

93 I. PENDAHULUAN

Hutan berfungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (Departemen Kehutanan, 1999). Hamilton dan Snedaker (1984) dalam Darusman (1993) menjelaskan bahwa manfaat dan fungsi hutan antara lain: (1) Menjaga kelestarian agroekosistem, kelestarian keanekaragaman hayati, tempat perlindungan dan pemijahan fauna, (2) Penyedia jasa hutan yang dapat meningkatkan pendapatan, kesempatan kerja dan taraf hidup, pariwisata dan rekreasi, (3) Pengatur sistem tata air, pengendali banjir, menjaga persediaan air dan pola persediaan air di daerah hilir, serta tempat pengendapan zat hara dan sedimen.

Hutan merupakan sub sistem yang memiliki fungsi spongi yang dapat mempertahankan kontinuitas aliran dan kualitas air yang keluar (water yield) dari hutan lindung. Hal ini akibat komposisi dan struktur vegetasi hutan dan serasah di lantai hutan yang memudahkan air masuk ke dalam tanah sehingga memperbesar daya penyimpanan air tanah (Darusman, 1993). Kondisi tersebut menyebabkan hutan dapat mengatur tata air sehingga mengeluarkan air yang terus menerus baik dalam musim hujan maupun kemarau.

Perubahan iklim telah menyebabkan kenaikan suhu udara yang berdampak pada kenaikan evapotranspirasi. Kenaikan evapotranspirasi akan berpengaruh terhadap perubahan besarnya hasil air dari hutan. Di sisi lain, perubahan iklim telah menyebabkan perubahan distribusi curah hujan baik spasial maupun temporal.

Perubahan distribusi sapsial telah menyebabkan curah hujan tinggi di suatu tempat tetapi terjadi kekeringan di tempat lain. Perubahan distribusi curah hujan temporal telah menyebabkan perubahan musim sehingga seharusnya pada musim kemarau terjadi kekeringan tetapi sebaiknya terjadi hujan. Perubahan iklim global telah menyebabkan curah hujan di suatu wilayah menjadi ekstrim baik tebalnya maupun intensitasnya. Kondisi tersebut diduga menyebabkan perubahan terhadap hasil air dari hutan.

(25)

94 II. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian dimulai dengan cara memilih topik dan paradigma (Creswell, 1994). Paradigma membantu kita untuk mengetahui fenomena sehingga mengarahkan bagaimana ilmu pengetahuan harus diteliti (how science should be conducted), masalah apa yang dianggap logis (what constotutes legitimate problems), solusi, dan kriteria untuk membuktikannya (Firestone, 1987, Gioia and Pitre, 1990, Kuhn, 1970). Topik penelitian ini yakni perubahan iklim, dampaknya terhadap hasil air dari suatu DAS dan adaptasi masyarakat akibat perubahan iklim dan cuaca esktrim khususnya terhadap sumberdaya air. Paradigma yang berkembang bahwasannya perubahan iklim dan cuaca ekstrim telah menyebabkan terganggunya ketersediaan sumberdaya air. Penelitian ini menggunakan pendekatan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait. Flowchat dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Kenaikan suhu udara dalam jangka panjang secara gradual telah menyebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim telah menyebabkan distribusi waktu hujan. Ada kecenderungan bahwa curah hujan tinggi dengan dengan waktu yang pendek pada musim penghujan dan curah hujan yang sangat rendah pada waktu yang lama. Akibatnya akan terjadi peningkatan run off pada waktu musim hujan, kekeringan dan penurunan water table pada musim kemarau. Akibat lebih lanjut yakni terjadi banjir dan tanah longsor pada musim penghujan dan terjadi kekeringan pada musim kemarau.

Kenaikan suhu udara juga menyebabkan kenaikan evapotranspirasi pada ekosistem hutan. Kenaikan evapotranspirasi menyebabkan berkurangnya hasil air dari hutan. Kondisi kritis akan terjadi bila penurunan hasil air telah mencapai di bawah keseimbangan antara water yield dan kebutuhan air (water consumption) untuk masyarakat, sektor-sektor pembangunan, dan kelestarian ekosistem.

(26)

95

Gambar 1. Kerangka Pikir Kajian

Penurunan Hasil Air

CH tinggi:

peningkatan run off

Banjir

CH rendah:

kekeringan table

Kekeringan Mitigasi

Lesta ri Ya

Tidak Puna

h Kenaikan

evapotranspiras

Perubahan Curah hujan

Perubahan Distribusi Waktu

Hujan Perubahan

Iklim

Pemahaman Masyarakat tentang Perubahan

Iklim

Adaptasi

CH tinggi dengan waktu pendek Perubahan

Suhu

Jasa Hutan Air

(27)

96

Dalam batas-batas tertentu, masyarakat dan ekosistem biasanya memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungannya.

Demikian pula terhadap perubahan iklim, masyarakat melakukan adaptasi seperti pemanfaatan air irigasi yang lebih efisien dengan pola tanam tumpang gilir baik pola tanam maupun secara spasial (Purwanto dan Lastiantoro, 2010). Namun demikian, bagaimana masyarakat di dalam hutan dan masyarakat di sekitar hutan melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim perlu dikaji lebih lanjut.

B. Prosedur Kerja

Data yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain: data suhu udara, curah hujan bulanan, hasil air (debit), water table, luas penggunaan lahan, pemahaman masyarakat tentang perubahan iklim, adaptasi masyarakat dan mitigasi yang dilakukan masyarakat. Data suhu udara maksimum-minimum bulanan dan curah hujan bulanan dikumpulkan dari Stasiun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setempat. Data debit air dikumpulkan dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) terdekat. Data water table dikumpulkan dengan cara pengukuran di sumur-sumur masyarakat, kemudian dengan cara wawancara, bagaimanan 30, 20, 10 tahun yang lalu dengan responden masyarakat yang berusia > 50 tahun kemudian dilakukan verifikasi dengan data instansi terkait. Data suhu udara, curah hujan, debit air sungai, dan water table pada lokasi penelitian merupakan data jangka panjang yakni dalam kurun waktu + 30 tahun.

Unit pengamatan hasil air dan debit menggunakan satuan DAS atau sub DAS. Untuk itu perlu dilakukan deliniasi batas DAS dan penggunaan lahan dengan cara menganalisis peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1 : 25.000 dan dilakukan rechecking lapangan.

Besarnya evapotranspirasi didekati dengan data suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara. Untuk mendukung data ini juga dilakukan pengumpulan data evaporasi yang diukur oleh BMKG setempat.

(28)

97

Data adaptasi dan mitigasi masyarakat sekitar hutan terhadap perubahan iklim dilakukan dengan metode survey dan pendekatan kualitatif. Survey dilakukan pada satuan administrasi pemerintahan (kecamatan atau desa) di dalam DAS yang unit pengamatan.

Sedangkan metode kualitatif dilakukan dengan snowball analysis yakni untuk menjawab bagaimana masyarakat melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

C. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku pencatatan curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Banyuwangi. Debit air sungai Sub DAS Bajulmati diperoleh dari BPSDA Bondowoso dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banyuwangi untuk mengukur water table, dan peta penggunaan lahan.

Alat yang digunakan antara lain: alat pengukur tinggi untuk mengukur water table, alat tulis menulis, mesin fotokopi, kuesioner, dan lain-lain.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Sub DAS Bajulmati yang berada di bagian Selatan Taman Nasional Baluran. Lokasi kajian ini dipilih karena TN Baluran merupakan lokasi penerapan pilot proyek implementasi penanggulangan perubahan iklim. Unit analisisnya yakni Sub DAS yang hulunya di TN Baluran dan dari Sekitar TN Baluran.

Secara administrasi pemerintahan DAS Bajulmati termasuk dalam wilayah Kecamatan Wongsorejo dan sedikit Kecamatan Klabang (Kabupaten Banyuwangi), Kecamatan Banyuputih dan Kecamatan Asembagus (Kabupaten Situbondo), Propinsi Jawa Timur (Gambar 2).

DAS Bajulmati tersusun oleh 6 (enam) sub DAS yakni Bajulmati, Badulan, Maelang, Pakem, Sibujuk, dan Tekong. Luas masing-masing Sub DAS disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 3. Dari enam sungai utama hanya Sungai Bajulmati dan Maelang yang airnya mengalir sepanjang tahun sehingga masyarakat menyebut sungai sebagai curah.

(29)

98

Gambar 2. Wilayah Administrasi DAS Bajulmati Tabel 1. Nama-nama dan luas Sub DAS Bajulmati

No Nama Sub DAS Luas Sub DAS (Ha)

1 Bajulmati 8.991

2 Badulan 1.448

3 Maelang 7.721

4 Pakem 994

5 Sibujuk 37

6 Tekong 917

JUMLAH 20.109

Sumber : Dianalisis dari Peta Rupa Bumi Indonesia 1: 25.0000

(30)

99

Gambar3. Nama-nama Sub-sub DAS di Bajulmati E. Analisis Data

Data curah hujan, debit air sungai dan water table dianalisis dengan menggunakan tren selama 30 tahun terakhir, apakah terjadi perubahan yang diduga akibat perubahan iklim. Data hasil air yang diperoleh dari BPSDA dilakukan analisis rata-rata bulanan selama 30

(31)

100

tahun. Data water tabel yang dihasilkan dari pengukuran saat ini dan hasil wawancara untuk perkiraan water tabel tahun 2000, 1990, 1980, 1970 dilakukan rata-rata dan dibuat tabel frekuensi. Kemudian data adaptasi dan mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan analisis kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kecenderungan (Trend) Perubahan Suhu Udara

Berdasarkan data iklim dari Stasiun Meteorologi Banyuwangi yang diukur pada lokasi dengan koordinat 8°12'53"S 114°21'19"E, suhu maksimum udara di Banyuwangi dari tahun 1981 s/d 1993 cenderung naik, 1993 s/d 2002 fluktuatif, dan 2002 –sekarang cenderung turun (Gambar 4). Pada periode I, selama 13 tahun terjadi kenaikan suhu udara maksimum sebesar 2OC (33,5oC – 35,5 oC), pada periode II suhu udara maksimum terjadi fluktuasi dari 35,5 oC – 36,4 oC dan pada peride III perbedaan suhu udara maksimum sebesar 3 oC dari 36,4 oC ke 33,4 oC.

Sumber: Diolah dari Data Cuaca Stasiun Klimatologi Banyuwangi Tahun 1981-2011 Gambar 4. Suhu Udara Maksimum di Kota Banyuwangi Selama Kurun Waktu 1981-2011

Bulan-bulan dengan suhu maksimum terjadi pada musim penghujan yakni bulan Oktober – Maret. Tahun dan bulan-bulan terjadinya suhu maksimum disajikan pada Tabel 2. Hal ini diduga karena adanya awan yang memerangkap suhu bumi sehingga suhu udara relatif lebih tinggi dari kondisi tidak berawan.

(32)

101

Tabel 2. Bulan-bulan Terjadinya Suhu Maksimum dari Tahun 1981-2011

No. Bulan Tahun

Jumlah Tahun Terjadi Suhu

Maksimum

1. Oktober 1991, 2002, 2004, 2006 4

2. Nopember 1985, 1997, 2008, 2009 4

3. Desember 1983, 1984, 1986, 1987, 1989, 1990, 1993, 1994, 1996, 1999, 2003

11

4. Januari 1982, 1992, 2000, 2005, 2010 5

5. Pebruari 1981, 1998, 2001, 2011 4

6. Maret 1988, 1995, 2007 3

Jumlah 31

Sumber: Diolah dari Data Cuaca Stasiun Klimatologi Banyuwangi Tahun 1981-2011 Untuk suhu minimum terjadi fluktuasi dari tahun ke tahun sejak 1981 – 2011 tetapi kecenderungannya rata-rata suhu minimumnya, mengalami perubahan (Gambar 6). Suhu minimum terendah dari tahun 1981-2011 terjadi pada tahun 1999. Hal ini diduga karena pengaruh perubahan penutupan lahan di sekitar lokasi kajian yang pada waktu perubahan kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Tahun dan bulan-bulan terjadinya suhu minimum disajikan pada Tabel 3. Suhu minimum terjadi pada bulan-bulan Juli, Agustus, dan September dimana awan di atmosfer relatif sedikit sehingga suhu bumi terpendar ke atmosfer secara bebas.

(33)

102

Sumber: Diolah dari Data Cuaca Stasiun Klimatologi Banyuwangi Tahun 1981-2011

Gambar 5. Suhu Udara Minimum di Kota Banyuwangi Selama Kurun Waktu 1981-2011

Tabel 3. Bulan-bulan Terjadinya Suhu Minimum dari Tahun 1981-2011

No. Bulan Tahun

Jumlah Tahun Terjadi Suhu

Minimum

1. Februari 2010 1

2. Maret 1989 1

3. Mei 1981, 2003, 2004 3

4. Juli 1986, 1990, 1992, 1993, 1997, 2007, 2008, 2011

8 5. Agustus 1982, 1984, 1994, 1995, 1996,

1998, 1999, 2000, 2001, 2005

10 6. September 1985, 1987, 1991, 2002, 2006,

2009

6

7. Desember 1983, 1988 2

Jumlah 31

Sumber: Diolah dari Data Cuaca Stasiun Klimatologi Banyuwangi Tahun 1981-2011

(34)

103 B. Mengetahui Curah Hujan Bulanan.

1. Fluktuasi Curah Hujan Bulanan di DAS Bajulmati

Rata-rata tebal hujan yang diukur di 3 (tiga) stasiun pengamatan selama 15 tahun (1996-2010) yakni Bajulmati (32 m dpl) 1.301,5 mm/tahun, Maelang (150 m dpl) 1.494,7 mm/tahun dan Pasewaran (107 m dpl) 2.208,1 mm/tahun. Fluktuasi curah hujan bulanan relatif konstan (Gambar 6). Artinya perubahan iklim tidak berpengaruh terhadap pola hujan tahunan di DAS Bajulmati.

TAHUN

Gambar 6. Fluktuasi Curah Hujan Bulanan di DAS Bajulmati dari Tahun 1996 s/d 2010

Pasewaran yang memiliki curah hujan yang relatif tinggi merupakan daerah hulu DAS Bajulmati. Penggunaan lahan di daerah hulu seharusnya hutan lindung dan perkebunan karet (Gambar 7) namun pada saat dilakukan kajian penutupan lahan di wilayah tersebut adalah hutan lindung, kebun karet, sengon, tebu, dan tanaman semusim.

Informasi yang diperoleh dari pengelola kebun bahwa penanaman tanaman semusim hanyalah tanaman antara sebelum tanaman sengon dan tanaman karet ditanam kembali.

Pengelolaan lahan di Pasewaran merupakan kegiatan penting untuk mempertahankan hasil air Sungai Bajulmati karena wilayah tersebut meyumbang curah hujan yang paling tinggi. Untuk itu, supaya mempertahankan hutan lindung dan kawasan perkebunan mutlak diperlukan dalam rangka menjaga kelestarian pasokan air ke sungai Bajulmati.

Curah Hujan Bulan (mm)

(35)

104

Gambar 7. Penutupan Lahan di DAS Bajulmati C. Fluktuasi Debit dan Hasil Air Sungai Bajulmati

Anak-anak sungai Bajulmati bersifat intermeten. Anaka-anak sungai yang daerah tangkapannya dari TN Baluran, kawasan hutan produksi jati Resot Pemangkuan Hutan (RPH) Bajulmati, hutan lindung Pasewaran, dan kawasan perkebunan Pasewaran hanya ada airnya jika hujan barusan turun tetapi akan segera kering bila hujan berhenti

(36)

105

sehingga masyarakat menyebutnya sebagai curah. Ada dua anak sungai yang sepanjang tahun ada airnya yakni Curah Tangkup dan Curah Maelang. Namun kedua curah tersebut pun sumber airnya tidak dari bagian paling hulu dari DAS Bajulmati. Kedua sumber air berasal dari perkebunan Pasewaran.

Berdasarkan data debit Sungai Bajulmati yang diperoleh dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Sampean Baru, Stasiun Pengamatan Sungai Bajulmati, di Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi diperoleh fluktuasi debit sungai Bajulmati seperti pada Gambar 8.

Berdasarkan Gambar 8 tersebut dapat dilihat bahwa fluktuasi debit Sungai Bajulmati relatif tetap, kecuali pada tahun 1987 memiliki debit paling tinggi.

Tahun

Tidak ada data: Januari – Desember 1989 dan Agustus 1994 – Oktober 1989

Gambar 8. Fluktuasi Debit Air Sungai Bajulmati tahun 1982- 2010 (lt/dt) Rata-rata hasil air Sungai Bajulmati sebesar 49.651.307,06 m³ per tahun. Volume air tersebut digunakan untuk mengairi sawah seluas 8.973,73 ha yang didistribusikan ke dua kabupaten yaitu Situbondo 248,44 ha dan Banyuwangi 8.725,29 ha (Gambar 10).

Debit Air (m3/tahun)

(37)

106

Bulan dan Tahun dari tahun 1982 - 1993

Gambar 9. Rata-rata Hasil Air Bulanan Sungai Bajulmati Untuk perluasan sawah di Kabupaten Banyuwangi, Kementerian Pekerjaan Umum membangun kembali Waduk Bajulmati yang direncanakan akan selesai pada tahun 2015. Apabila bendungan tersebut selesai maka kemungkinan akan menjadi tempat minum satwa liar seperti banteng, kerbau, rusa serta mamalia besar lainnya dari TN Baluran. Karena letak bendungan berada di bagian barat dan bersebelahan Taman Nasional Baluran serta adanya jalan propinsi maka dikhawatirkan akan sering terjadi kecelakaan, satwa tertabrak kendaraan sehingga akan mengganggu kelestarian satwa di taman nasional tersebut. Apabila satwa nantinya betul-betul mencari sumber air minum di bendungan tersebut maka perlu dibuat koridor agar kecelakaan tidak terjadi.

D. Mengetahui Water Table Saat Ini dan Kurun Waktu 10, 20, dan 30 Tahun Lalu

Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk, untuk water table di bagian hilir tidak terpengaruh oleh cuaca karena terdapat bendung irigasi di bagian barat TN Baluran yang mengairi sawah di Desa Bajulmati sehingga tidak mempengaruhi water table. Makin ke hulu kedalaman air sumur semakin dalam tetapi sumur terdalam ditemukan di Desa Maelang dengan kedalaman 15 m (Tabel 4). Lebih hulu dari Desa Maelang masyarakat tidak lagi membuat sumur. Untuk daerah hulu, air minum masyarakat berasal dari sumber air Maelang. Dulu seluruh desa Maelang dan Watu Kebo dapat dialiri air dari sumber Maelang tetapi sekarang hanya tinggal sampai ke Desa Pringgondani atau sekitar separuh panjang saluran air Maelang – Watu Kebo ini

(38)

107

artinya makin lama air menjadi langka. Pada musim kemarau, masyarakat yang dulunya memanfaatkan air untuk air minum dari pipa, sekarang harus mengambil air di Sungai (Curah) Tangkup untuk keperluan rumah tangga.

Tabel 4. Lokasi Pengukuran, Elevasi, dan Kedalaman Air Sumur

No. Lokasi Elevasi (m dpl) Kedalaman Air

Sumur (m) 1. 07o08’55,3” LS dan

111o35’28,7”

Desa Bajulmati

37,7 8,3

2. 07o09’33,4” LS dan 114o38’8,2”

Desa Bajulmati

41 11,2

3. 07o55’58,13” LS dan 114o23’3,78” BT

Desa Watukebo

45 12,7

4. 07o56’0,079” LS dan 114o22’21,75” BT

Desa Watukebo

61 13,8

5. 0565291 dan 9209772 Maelang

107 15

E. Adaptasi yang Dilakukan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim (Suhu Udara dan Perubahan Hidrologi) di Sekitarnya

Informasi sementara tentang adaptasi masyarakat terhadap perubahan cuaca untuk lahan pertanian adalah dengan cara menanam secara bergiliran namun tidak seperti biasanya yakni penanaman tanaman baru setelah tanaman di panen. Untuk lahan tegalan pada musim pertama ditanami padi lahan kering, kemudian ditanami jagung. Apabila tanaman jagung sudah berumur 85 hari dilakukan penanaman tembakau. Menurut informan, hal tersebut dilakukan agar tembakau tidak terlambat karena kalau terlambat akan terkena curah hujan berikutnya sehingga harganya turun.

Sebanyak 14 orang dari Desa Maelang, mencari tanaman obat bila musim kemarau. Jenis tanaman yang dicari yakni kedawung, joho, dan kemukus. Waktu pengambilannya setiap hari jika memang sedang musim dengan cara menginap di dalam hutan kurang lebih 12 hari.

Penghasilan rata-rata dari pengambilan hasil hutan berupa tumbuhan

(39)

108

obat bisa mencapai Rp. 60.000,- per orang hari. Harga masing-masing komoditas sebagai berikut kemukus Rp. 4.000,- per kg dan kedawung Rp. 12.000,- per kg. Petani yakin tanaman obat di hutan tidak akan punah karena mereka hanya memilih yang sudah tua saja. Oleh karena itu, petani tidak menanam secara khusus tanaman obat di hutan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Suhu udara maksimum di Banyuwangi dalam kurun 1982-2002 cenderung naik sebesar 3oC, dari tahun 1982-2011 cenderung turun sedang suhu minimum relatif tetap.

2. Curah hujan, debit sungai, dan hasil air memiliki kecenderungan yang relatif tetap selama 23 tahun pengamatan sehingga pengaruh perubahan iklim tidak berdampak pada ketiga parameter tersebut di lokasi kajian.

3. Masyarakat tidak merasakan adanya perubahan kedalaman air sumur dan pada saat dilakukan pengukuran kedalaman sumur bervariasi dari 8,3 – 15,0 m.

4. Adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap cuaca ekstrim terutama menghadapi musim kemarau yakni menanam tanaman tumpang gilir dimana sebelum tanaman musim I dipanen sudah disusul tanaman tembakau atau singkong sehingga kedua tanaman tersebut tidak mengalami kekeringan. Untuk mata pencaharian pada saat musim kemarau dimana lahan pertanian tidak dapat menghasilkan, sebagian masyarakat mencari tanaman obat ke hutan lindung terutama masyarakat yang tinggal di Maelang dan Pasaweran sedangkan masyarakat Watukebo dan Bajulmati pada saat tidak dapat mengolah lahan akibat musim kemarau, mereka mencari pekerjaan ke kota.

B. Saran

1. Tutupan lahan di daerah hulu (kebun Pasewaran) dan hutan lindung agar dipertahankan untuk hutan lindung dan vegetasi permanen.

2. Perlu dibuat koridor satwa bila bendungan nantinya dimanfaatkan untuk tempat minum pada saat musim kemarau.

(40)

109 DAFTAR PUSTAKA

Creswell, J.W. 1994. Research Design Qualitatif & Quantitatif Approaches. Sage Publications, Inc. California.

Darusman, D. 1993. Nilai Ekonomi Air Untuk Pertanian dan Rumah Tangga Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia di Institut Teknologi Bandung. Bandung, 28-29 Juli 1993.

Departemen Kehutanan. 1999. Pedoman Penilaian Peranserta Masyarakat dalam Kegiatan Hutan Kemasyarakatan. Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial, Subdit Perhutanan Sosial.

Departemen Kehutanan. Jakarta.

Firestone, W.A. 1987. Meaning in Method: The Rhetoric of Quantitative and Qualitative Research. Education Researcher, 16 (7): 16-21.

Gioia, D.A. dan Pitre, E. 1990. Multiparadigm Perspectiveson Theory Building. Academy of Management Review, 15 (4), 584-602.

Kuhn, T. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press. Chicago.

Purwanto dan Lastiantoro, C. Y. 2010. Studi Awal Dampak Perubahan Iklim Dan Adaptasi Petani Pada Pengelolaan Tanaman Semusim.

Ekspose asil Litbang BPK Solo Tahun 2010.

Vladu, I.F. 2006. Adaptation as Part of the Development Process.

Technology Sub-Programme Adaptation, Technology and Science Programme. UNFCCC.

(41)

268 Lampiran 1. Jadwal Acara

JADWAL ACARA EKSPOSE

“Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan BPKTPDAS 2012”

Surakarta, 5 September 2012

Waktu Acara Perangkat Sidang

A. REGISTRASI

8.00 – 8.30 Pendaftaran ulang Panitia B. PLENO – PEMBUKAAN

8.30 – 8.35 Doa Panitia

8.35 – 8.40 Menyanyikan lagu Indonesia Raya Panitia

8.40 – 8.50 Laporan Panitia Penyelenggara Kepala BPTKPDAS 8.50 – 9.20 1. Keynote Speech : Arahan dan

Pembukaan

Kepala Badan Litbang Kehutanan

9.20 – 9.50 2. Keynote Speech : Kebutuhan IPTEK Pengelolaan DAS dalam

mengimplementasikan PP Nomor 37 Tahun 2012

Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, MM.

(Direktur Perencanaan

& evaluasi

Pengelolaan DAS – Ditjen BPDASPS) 9.50 – 10.00 3. Penandatanganan PKS antara

BPTKPDAS dengan Pusat Litbang Perum Perhutani Tentang Penelitian, Pengembangan, dan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Penelitian Cemoro Modang di Kabupaten Blora dan KHDTK Hutan Penelitian Gombong di Kabupaten Kebumen

Kepala BPTKPDAS, Kepala Puslitbang Perum Perhutani

10.00 – 10.15 REHAT KOPI C. SIDANG KOMISI

SIDANG KOMISI I Perencanaan

Fasilitator : Drs. C.

Kukuh Sutoto, M.Si Perumus : Nana Haryanti Notulis : Wiwin Budiarti 10.15 – 10.25 1. Karakterisasi Lahan dan Banjir

Sebagai Dasar Penilaian Daya Dukung Daerah Aliran Sungai

Pembicara: Paimin

(42)

269

Waktu Acara Perangkat Sidang

10.25 – 10.35 2. Sistem Perencanaan Kehutanan sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS: Studi Kasus di DAS Serang

Pembicara:

Pamungkas Buana Putra

10.35 – 10.45 3. Revisi Peta Penggunaan Lahan di Sub DAS Lusi dengan

Menggunakan Citra Satelit SPOT dan SIG

Pembicara: Agus Wuryanta

10.45 – 11.45 Diskusi

11.45 – 11.55 4. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

Pembicara: Evi Irawan 11.55 – 12.05 5. Tingkat Partisipasi dan

Kelembagaan Pada Kegiatan Rehabilitasi Lahan

Pembicara: Yudi Lastiantoro 12.05 – 12.45 Diskusi

SIDANG KOMISI II Hidrologi

Fasilitator : Ir.

Bambang S., MP Perumus : Nunung Puji Nugraha

Notulis : Mesri Ferdian 10.00 – 10.10 6. Pengaruh Perubahan Iklim

Terhadap Hasil Air: Studi Kasus Di Daerah Aliran Sungai Bajulmati

Pembicara: Purwanto

10.10 – 10.20 7. Neraca Air Meteorologis di Kawasan Hutan Tanaman Jati di Cepu

Pembicara: Agung Budi Supangat 10.20 – 10.30 8. Analisis Kualitas Air pada Tanaman

Kayu Putih di Mikro DAS Gubah, Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, DIY

Pembicara: Ugro Hari Murtiono

10.30 – 11.15 9. Diskusi

11.15 – 11.25 10. Perubahan Tingkat Sedimentasi di Sungai Keduang (1994-2011)

Pembicara: Irfan Budi Pramono

11.25 – 11.35 11. Kajian Peran Dominasi Jenis Mangrove Dalam Penjerapan Sedimen Terlarut di Segara Anakan Cilacap

Pembicara: Uchu Waluya Heri Pahlana

11.35 – 12.05 Diskusi

(43)

270

Waktu Acara Perangkat Sidang

SIDANG KOMISI III Konservasi Tanah, Sosek, dan

Manajemen Hutan

Fasilitator : Dr. Tyas M.Basuki

Perumus : Nining Wahyuningrum Notulis: Endah Rusnaryati 10.00 – 10.10 12. Ujicoba Teknik Rehabilitasi Lahan

Kritis Di Gunung Batur, Bangli

Pembicara: Gunardjo Tjakrawarsa

10.10 – 10.20 13. Komposisi dan Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Berpotensi pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di TN Bali Barat

Pembicara: Arina Miardini

10.20 – 10.30 14. Intensitas Cahaya dalam Kawasan Perlindungan Setempat Hutan Jati

Pembicara: Heru Dwi Riyanto

10.30 – 11.15 Diskusi

11.15 – 11.25 15. Penanganan Lahan Bermasalah Pantai Berpasir dengan Tanaman Tanggul Angin Cemara Laut

Pembicara: Beny Harjadi

11.25 – 11.35 16. Penentuan Komoditas Pertanian Unggulan di Sub DAS Tulis

Pembicara: S. Andy Cahyono

11.35 – 12.05 Diskusi

12.45 – 13.45 ISHOMA

D. PLENO – PRESENTASI SUMMARY HASIL SIDANG KOMISI

13.45 – 14.00 Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi I

Fasilitator I : Drs. C.

Kukuh Sutoto, M.Si Fasilitator II: Ir.

Bambang Sugiarto, MP

Fasilitator III: Dr. Tyas Mutiara Basuki Fasilitator pleno: Ir.

Adi Susmianto, M.Sc.

(Kepala Puslitbang Konservasi &

Rehabilitasi)

Perumus : Nining W., Nana H., Nunung P.N.

Notulis: Wahyu W.W., Wiwin B., Endah R., Mesri F.

14.00 – 14.15 Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi II

14.15 – 14.30 Presentasi Summary Hasil Sidang Komisi III

14.30 – 15.15 Diskusi Summary Hasil Sidang Komisi I, II, dan III

Referensi

Dokumen terkait

Dukungan juga diterima informan dari petugas pelayanan kesehatan yang lebih banyak memberikan konseling, edukasi dan informasi tentang penyakit MDR-TB, penularan,

Memberikan cairan oralit di puskesmas sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam dengan menentukan jumah oralit yang akan di berikan, jumlah oralit yang di perlukan (dalam ml) dapat

lingkungan dengan derajat keasaman, suhu, dan kadar garam yang sangat tinggi....  Beberapa hidup pada kedalaman laut di daerah dekat “rift vent “ dengan suhu diatas 100

c) Unit harus memiliki kemampuan untuk mengisolasi bayi: 1. Inkubator di area khusus.. d) Ruang harus dilengkapi paling sedikit enam steker listrik yang dipasangdengan tepat

“Modal kerja yaitu aktiva lancar yang mewakili bagian dari investasi yang berputar dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya dalam melaksanakan suatu usaha, atau modal

 Fungsi sosial dan struktur teks,beberapa teks naratif dengan memberi dan meminta informasi terkait cerita pendek dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya

1945, lima tahun yang lalu, yang kita selenggarakan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 2006, Bapak Taufik Kiemas juga hadir waktu itu, saya pernah menyampaikan, antara lain, sebagai

Sedangkan hasil penelitian secara parsial menunjukkan bahwa partisipasi anggaran dan asimetri informasi berpengaruh positif signifikan terhadap senjangan anggaran