HIPERREALITAS DALAM FOTO SELFIE (Kajian Filosofis Melalui Teori Simulacra Jean
Baudrillard)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Oleh:
Moh. Junaidi NIM: 13510074
Pembimbing
Novian Widiadharma, S.Fil., M.Hum.
NIP: 19741114 200801 1 009
PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
ii
iii
iv
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya tulis untuk diri saya sendiri, dan untuk orang-orang yang mau belajar!
vi MOTTO
“Aku pergi menuju Tuhanku; Ia pasti menunjukkan jalanku...”
(Al Quran, Surah Ash-Shaffat)
“Dunia itu seperti naik perahu, kita menyangka diam, padahal waktu terus berlalu.”
(Almarhum KH. Ahmad Basyir AS)
“Jika kamu sedang berdoa kepada Tuhan, jangan minta kepandaian, apalagi kekayaan. Tetapi, mintalah keberkahan dan kesadaran.”
(Almarhumah Hj. Munira, ibu saya)
“Seseorang tidak dapat berpikir dengan baik, mencintai dengan baik, tidur dengan baik, jika tidak makan dengan baik.”
(Virginia Woolf, novelis Inggris)
“Lebih baik merasa bodoh dan terus belajar daripada merasa pintar dan tahu segalanya.”
(Dian Sastrowardoyo)
“Hormat saya pada ranting kecil...”
(MAF, alias saya sendiri)
vii ABSTRAK
Selfie di media sosial merupakan sebuah fenomena budaya, di mana orang-orang melakukannya dengan maksud tertentu, baik sebagai epkresi diri dalam memperlihatkan gaya hidup (life style), hingga pembentukan citra dan eksistensi.
Dalam wacana budaya populer, perkara selfie di media sosial merupakan hal yang sangat kompleks. Ia tidak hanya dilihat sebagai gaya hidup, bahkan, ia juga turut menciptakan narasi dalam konteks kehidupan sosial masyarakat, yang — dalam pemikiran Jean Baurillard disebut sebagai reproduksi tanda, di mana gejala sosial dalam “ruang dan waktu telah dimediakan”. Berdasar fenomena di atas, dalam penelitian ini akan dianalisis bagaimana eksistensi dan identitas subjek diperlakukan dalam aktivitas selfie serta bagaimana subjek menghadapi keterbukaan, dan seterusnya?
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), pendekatan kualitatif, dengan metode pengumpulan data dengan cara penelusuran pada sumber-sumber pustaka yang relevan. Sementara analisis yang digunakan, yakni metode deskriptif yang dilanjutkan dengan metode interpretasi. Penelitian ini menggunakan sumber primer karya Jean Baurdillard sebagai acuan utama dan buku-buku yang berkaitan dengan teori simulacra sebagai tambahan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, foto selfie tidak hanya memiliki makna sebagai tanda belaka, memori atau sejarah, jauh dari itu telah masuk ke dalam ruang publik yang bergerak menuju masyarakat konsumsi dengan melakukan proyeksi dari simulacra satu ke simulacra yang lain. Seseorang yang berupaya melakukan selfie akan membuat pseudo peristiwa, di mana peristiwa yang cukup mentah akan dijadikan sebagai pertukaran, peristiwa hanya bisa dibagikan, diolah dan kemudian dieksplorasi sedemikian rupa melalui serangkaian produksi industri, yaitu dengan bantuan media sosial yang sangat halus, rapi, melalui unsur teknis dan kode yang sangat dipaksakan; yaitu kode estetis atau keindahan, sehingga bisa dengan sangat mudah untuk memutar balikkan dan memalsukan makna yang otentik dari peristiwa tersebut. Selain itu, selfie menjadi fenomena cyberspace, sebuah dunia baru bagi pengguna jejaringnya, di mana ia mampu menghubungkan antara masyarakat untuk saling mengeksplorasi dan membagikan berbagai macam aktivitas kesehariannya yang sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukannya sehari-hari, manusia hanyut di dalamnya dan terinterupsi dari ruang realitasnya. Dan fenomena ini menurut peneliti sangat problematik, mengingat hiperealitas bisa menjauhkan manusia dari kehidupan nyata yang berujung pada matinya realitas.
Kata kunci: selfie, media sosial, hiperrealitas, simulasi, cyberculture, budaya populer.
viii
KATA PENGANTAR
Hanya pada Allah semata penulis mengucap syukur atas nikmat hidup yang tak berhingga, yang diberikan kepada manusia (lemah) seperti hamba. Kepada Nabi Muhammad, penulis menaruh hormat sekaligus harapan, karena menjadi penyebab bagi dibukakannya pintu kebenaran. Rasa syukur ini segalanya (mungkin) tidak bisa terwakili oleh keterbatasan Bahasa.
Waktu tujuh setengah tahun dalam menyelesaikan studi, tentu bukanlah waktu yang sebentar bagi manusia (generasi instan) yang diburu ketergesaan dan kecepatan. Akan tetapi (disadari atau tidak), tujuh setengah tahun hanya sebutir waktu bagi manusia yang mau mencari semacam kebijaksanaan, sebagaimana para filsuf melakukan dan mencapainya.
Sebagaimana saya (manusia) yang lemah dan tidak sempurna, skripsi ini pun masih belum bisa dikatakan (sudah) paripurna. Tugas akhir yang saya tulis ini bukanlah tanda berakhirnya tugas saya dari kampus, melainkan hanya sebagai tongkat untuk menempuh semesta yang sesungguhnya, dan mungkin lebih dalam lagi dari apa yang saya pelajari di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Untuk itu, sudah seharusnya saya mengucap terima kasih bagi orang- orang baik, yang terlibat langsung dalam menyelesaikan studi saya, yang berbagi ilmu melalui diskusi untuk keperluan skripsi ini, dan mereka yang membantu saya dengan doa dan supportnya. Maka dari itu, saya akan menyebut beberapa nama di bawah ini:
ix
1. Ibu Dr. Inayah Rohmaniyah, S.Ag., M.Hum., MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.
2. Bapak Muh. Fatkhan, S.Ag., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.
3. Bapak Novian Widiadharma, S.Fil. M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan ikhlas, sabar, dan penuh kebijaksanaan memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis yang datang secara mendadak dan tiba-tiba.
4. Bapak Dr. H. Robby Habiba Abror, S.Ag., M.Hum., mantan Kaprodi yang sabar dan perhatian kepada mahasiswa untuk segera menyelesaikan tugas akhirnya. Skripsi yang saya tulis ini tidak lain merupakan respons dari mata kuliah yang diampunya, Culture Studies. Di samping penulis sendiri memang menyukai kajian yang berkaitan dengan isu-isi kebudayaan kontemporer.
5. Bapak Dr. Imam Iqbal, S.Fil, M.S.I., pembimbimbing akademik yang tenang, tapi serius. Terutama di masa-masa akhir studi penulis. Terima kasih yang mendalam.
6. Kepada seluruh dosen di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam yang tak mungkin saya sebutkan namanya satu-persatu. Terima kasih atas kuliahnya yang mungkin materinya sudah saya lupa, tetapi, tidak mungkin saya lupa bahwa kuliah-kuliah itu ada dan pernah diberikan kepada saya.
x
7. Bapak Sukandri, S.H., selaku staf Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, terima kasih telah membantu penulis dalam mengurus administrasi. Semoga beliau selalu diberi kesehatan.
8. Kedua almarhum orang tua saya: H. Ahmad Fauzi, nelayan
enerjik, tapi bijaksana dalam mengarungi lautan. Hj. Munira, juru
masak di rumah kami sendiri. Mereka sudah tiada, memang, tapi di hati kami (anak- anaknya) mengalir cinta dan kasih sayangnya.
Meski tidak belajar filsafat, mereka merupakan filsuf pertama saya sebelum tahu Aristoteles, Al- Ghazali dan Jean Baudrillard.
9. Saudara saya: Moh. Kholik dan Siti Junainah, yang rendah hati dan berlapang dada menggantikan ayah dan ibu saya.
Keduanyalah alasan kuat, mengapa skripsi ini harus diselesaikan.
Juga kepada Rahma, yang merawat saya sejak kecil. Kedua adik saya, Nurul Faridah dan Alfin Fahmi. Ipar saya: Moh. Samin dan Rudi Cahyono. Serta dua keponakan saya yang masih kecil:
Inayah Wulan Suci, yang suka mengganggu tidur saya, tapi kadang menjadi penghibur kebosanan ketika tidak ada aktivitas apapun di rumah. Muhammad Agung Cahyono, yang baru memberikan senyumnya pada dunia, tepat sehari sebelum neneknnya pulang ke rumah abadi-Nya.
10. Kawan-kawan di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, terima kasih yang hangat untuk persaudaraannya.
xi
11. Kawan-kawan di lingkungan sastra: Dirga, Rusydi, Ridho, Syaifuddin Ayyami, Lubet dan lainnya. Kalian keren. Negara ini harus bersyukur punya penduduk seperti kalian. Selendang Sulaiman, yang mempercayakan Arsip Puisi Penyair Madura, sehingga menjadi penyebab luasnya relasi dengan orang-orang di luar sana.
12. Kawan-kawan saya di organisasi PMII: Ilyas, Kholil, Afif, Gus Amin, Imel dan Vita, juga yang lainnya, yang tak mungkin disebut satu-satu. Terima kasih sudah minum kopi dan merokok bersama.
13. Kepada Gus Faza, Musyfiqqurrahman dan Munawwir: terima kasih sudah minum kopi, es teh jumbo dan berbagi dohesologi.
14. Dan yang terakhir, puncak terima kasih adalah kepada saya sendiri. Terima kasih, saya.
Kepada merekalah penulis berterima kasih dan hormat. Semoga kita semua selalu mendapat nikmat dan keberkahan dari-Nya. Amin!
Yogyakarta, 31 Desember 2020 Moh. Junaidi
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
NOTA DINAS ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN MOTTO ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Kegunaan ... 7
1. Tujuan Penelitian ... 7
2. Kegunaan Penelitian ... 8
D. Tinjauan Pustaka ... 9
E. Kerangka Teoritik ... 14
F. Metode Penelitian ... 19
1. Jenis peneltian ... 19
2. Sumber data ... 19
3. Validitas data ... 20
4. Metode pengolahan data ... 21
G. Sistematika Pembahasan ... 21
BAB II BIOGRAFI JEAN BAUDRILLARD DAN DEFINISI SIMULACRA ... 23
A. Biografi Jean Baudrillard ... 23
B. Konsep Simulacra Jean Baudrillard ... 25
1. Hiperrealitas ... 27
2. Simulasi... 32
BAB III MEDIA SOSIAL, SELFIE, TANDA DAN MITOS YANG MELINGKUPINYA ... 34
A. Media Sosial ... 34
1. Media Sosial sebagai Proyek Modernitas ... 34
2. Media Sosial: Sebuah Pandangan Ontologi Virtual ... 35
B. Selfie sebagai Sebuah Fenomena ... 37
xiii
1. Sejarah Selfie ... 37
2. Fenomena Cyberculture ... 41
3. Selfie; Bagaimana Tanda dan Mitos Bekerja? ... 43
BAB IV SELFIE; DARI KOMODIFIKASI, PROYEK IDENTITAS HINGGA HIPERREALITAS ... 53
A. Mengurai Selfie, Mengurai Jebakan Ideologi ... 53
1. Selfie dan Masyarakat Narcosis Elektronik ... 53
2. Smartphone, Selfie dan Pseudo Masyarakat Konsumerisme ... 58
3. Selfie dalam Perspektif Politik Ekonomi Tanda ... 64
B. Selfie dan Masyarakat Dandy: Sebuah Cara Merekayasa Realitas .... 67
BAB V PENUTUP ... 74
A. Kesimpulan ... 74
B. Saran... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 76
GLOSARIUM ... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mengafirmasi bagaimana kebudayaan kontemporer berjalan sedemikian cepat. Di mana pada era ini, komunikasi digital menemukan momentumnya, baik sebagai fenomena sosial, lebih-lebih sebagai budaya (culture).
Culture berasal dari bahasa latin colore yang berarti mengolah, mengerjakan, dan merawat. Dalam pengertian tersebut, aspek kebijaksanaan (wisdom) dan keutamaan (virtue) mendapatkan tempat khusus.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi, hasil dan juga kebiasaan. Di sini budaya dibedakan dengan kebudayaan.
Kebudayaan merupakan hasil kegiatan penciptaan batin (akal budi) manusia.
Seperti kepercayaan, kesenian, tradisi dan atau adat-istiadat. Lebih dari itu, secara kompleks, budaya berkaitan dengan intelektual, tetapi mencakup seluruh pola kehidupan tatanan masyarakat. Seperti cara berbicara, cara makan, atau kebiasaan berpikir dan lainnya.
David Kaplan dan Roberts A. Manners dalam The Theory of Culture mendefinisikan budaya sebagai suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari manusia, karena kebudayaan selalu dipengaruhi oleh dinamisasi manusia dari cipta, rasa, dan karsa.
2
Lebih lanjut David dan Roberts melihat bahwa “budaya adalah suatu golongan fenomen yang diberi muatan makna tertentu oleh antropolog dalam rangka menghadapi soal-soal yang mereka coba untuk memecahkannya.”1
Sementara Fiske (1990), memandang bahwa budaya juga bisa diartikan sebagai sistem citra dan simbol yang dipakai oleh suatu kelompok; suatu pola simbol, interpretasi, premis, dan aturan yang dikontruksi secara sosial dan ditransmisikan secara historis; atau jaringan makna bersama yang kompleks.
Hari ini, di mana dunia digital menjadikan segala sesuatau lebih terbuka, termasuk bagaimana kebudayaan menemukan kemungkinannya yang lebih instan dan luas. Salah satu yang memediasi hal tersebut adalah hadirnya media sosial di tengah kehidupan masyarakat.
Media sosial hadir di tengah-tengah kerja keseharian kita dengan tawaran yang sangat memanjakan. Ia memudahkan manusia (subjek) untuk berkomunikasi dengan manusia lain di bentangan jarak yang berbeda, atau menciptakan sesuatu, seperti video atau foto dan membagikannya kepada khalayak ramai di dunia maya.
Manusia, untuk menegaskan keberadaannnya (eksis) akan berekspresi, dengan menampakkan dirinya, menyampaikan maksud, gagasan, emosi dan sebagainya —sesuai dengan perkembangan psikis atau level kesadarannya. Itu semua dilakukan tidak lain untuk mengekpresikan dirinya sesuai dengan kehendak dan hasrat yang dimilikinya.
1 David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.13.
3
Manusia modern atau masyarakat industri akan terus berusaha dengan sekuat tenaga untuk menggapai keinginannya, termasuk melakukan sesuatu yang dianggapnya bernilai dan mampu memuaskan hasrat kemanusiaannya (psikologisnya) —di samping dia menuntut dirinya akan sebuah kesataraan dengan manusia lainnya— mulai dari konsumsi, ekspresi bahkan ideologi yang diyakininya untuk kemudian diperlihatkan dengan harapan mendapatkan pengakuan atau penegasan dengan capaian tertentu. Seperti misalnya membagikan sebuah foto selfie ke khalayak.
Disadari atau tidak, hari ini, manusia telah mengalami apa yang disebut oleh Yasraf Amir Pilliang dalam buku Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (Jalasutra, 2004) petualangan jagat raya yang melampaui realitas yang tidak terbungkus oleh sekat-sekat geografis, ideologis, dan batasan- batasan normatif-etis dalam berselancar di dunia realitas.2
Era digital adalah sebuah masa di mana puncak kemajuan teknologi dan komunikasi; yang mempermudah manusia mengakses dan melakukan sesuatu yang tak mampu dilakukan zaman dahulu, segala informasi dari berbagai belahan dunia dapat diakses tanpa menunggu waktu esok ataupun lusa. Akan tetapi pada saat yang bersamaan informasi itu akan bisa diketahui, hanya dengan membuka smartphone.
Masyarakat postmodern pun diuntungkan dengan adanya kemajuan pesat teknologi.
Mereka tak perlu lagi berbelanja jauh ke mall, atau di pasar tradisional dengan kenyamanan yang cukup bisa diperhitungkan dengan segala situasi dan kondisinya.
2 Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme, (Jakarta: Mizan, 1998), hlm.37.
4
Media sosial sebagai penghubung antar manusia tanpa mengenal jarak, para pengguna akan sangat mudah berkomunikasi dengan kerabat, sahabat tanpa harus bertatap muka. Kecanggihan manusia modern, menjadikan semua bagai tanpa hambatan untuk melakukan aktivitas mayanya. Manusia dimanjakan dengan adanya kecanggihan yang terus diproduksi.
Kekaguman pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berakhir pada peniscayaan terhadap ratio membuat manusia melihat dan menghadirkan dunia dengan semua persoalannya sebagai realitas yang sederhana.
Yasraf Amir Pilliang, lebih lanjut mengistilahkan dunia seperti itu sebagai dunia yang telah dilipat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.3
Di jejaring media sosial, semua objek yang disajikan dengan berbagai makna akan memunculkan semacam kemelekatan, baik makna, pun juga tanda di dalamnya. Makna dan tanda tersebut kemudian dikonsumsi dan membawa subjek pada situasi tentang adanya strata seseorang –yang kemudian akan kita kenal dengan sebutan “ada”—dalam istilah Heidegger disebut subjek yang “me-ng- ada”.
3 Yasraf Amir, Sebuah…,hlm.45.
5
Heidegger mendefinisikan “Ada” atau “Dasein” adalah suatu “proses menjadi” karena terus-menerus mengada —belum ada secara penuh, karena eksistensi mendiami, tetapi tidak menetap terus menerus.4
Heidegger membedakan “ada, dasein” dan “ada, being/sein”. Untuk mengatakan yang sesungguhnya manusia itu, ialah sebagai Yang Ada (dasein), human being, yakni orang (man) itu sendiri yang berada di antara ada (being) yang mencari ada.5 Seperti halnya seorang seniman akan membuat suatu karya dan dilabeli dengan dirinya, tetapi seniman itu tidak akan selamanya menggunakan label tersebut, untuk diakui eksistensi dan identitasnya, ia akan terus berproses dan akan menciptakan karya dengan label yang lainnya, hingga semua orang berlomba- lomba agar tetap ada dan dianggap ada oleh yang lainnya. Dengan nada yang senada, Sartre berpendapat “manusia itu tidak lain dari apa yang dia ciptakan sendiri”6
Keberadaan media sosial sebagai perangkat teknologi baru juga merupakan entitas yang memberikan kontribusi dalam kemunculan budaya siber (cyber culture) di antarannya meme, demokrasi digital, fan culture, dan selfie.
Budaya siber itu sendiri merupakan praktik sosial maupun nilai-nilai dari komunikasi dan interaksi antar pengguna yang muncul di ruang siber dari hubungan antara manusia dan teknologi maupun manusia dengan perantara, budaya itu
4 F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistis Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, (Jakarta: KPG, 2003), hlm.49
5 Eric Lemay dan Jennifer A. Pitts, Heidegger untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.97.
6 Nasaiy Aziz, Manusia Sebagai Sabyek dan Obyek Dalam Filsafat Existentialism Martin Heidegger (Kajian dari Segi Karakteristik dan Pola Pikir yang Dikembangkan), Jurnal Substantia Vol. 15, No.
2, Oktober 2013.
6
diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi melalui internet dan jaringan yang terbentuk di antara pengguna. Kehadiran fenomena selfie sebagai budaya siber (cyber culture) tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi yang pesat, seperti gadget atau smartphone berteknologi tinggi yang dapat mempermudah pengguna untuk memotret diri dan terkadang hasil yang mereka lakukan lebih bagus dari pada orang lain yang memotret, bahkan hasil dari potretnya pun kadangkala lebih estetis dari bentuk semula.
Fotografi mempunyai makna yang bermacam-macam, tentu dengan manfaat dan tujuan yang ideologis, seperti misalnya mengenai style dan estetika.
Estetika fotografi meliputi dua tataran, estetika pada tataran ideational dan estetika pada tataran technical.7
Secara fungsional foto memiliki dua manfaat, pertama sebagai media untuk merekam kenyataan dan kedua sebagai medium ekspresi artistik. Secara kodratnya sebagai media perekam, fotografi erat hubungannya dengan keseharian dan perkembangan kehidupan sosial budaya dalam masyarakat. Ia memperlihatkan kehidupan urban atau pedesaan, kehidupan secara alami, modernitas, wajah orang- orang, landscape, kultur, fashion, kegembiraan, keindahan lingkungan, kesedihan, kehancuran, perang dan perubahan dalam masyarakat.
Bahkan, editor foto Majalah Life dari 1937-1950, Wilson Hicks, mendefinisikan foto jurnalistik sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang
7 Soedjono. S, Pot Pourri Fotografi, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti: 2006), hlm.21.
7
menghasilkan suatu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya (Alwi, 2004).
Oleh karena itu, penelitian ini akan berupaya melihat selfie sebagai proyek aktivitas subjek, di mana di dalamnya melebur antara eksistensi, kesadaran dan realitas yang akan dibangun oleh subjek melalui teori yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard, simulacra. Selanjutnya, peneliti akan mencoba menelaah secara filososfis tentang bagaimana eksistensi dan identitas subjek diperlakukan dalam aktivitas selfie. Seperti, bagaimana subjek menghadapi keterbukaan, dan lain-lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang sudah penulis deskripsikan di atas, maka dalam penelitian ini akan dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana relasi antara subjek dengan realitas sosial-kultural dalam foto selfie?
2. Bagaimana subjek melakukan pembentukan eksistensi dan identitasnya dalam foto selfie?
C. Tujuan dan Kegunaan
Berdasarkan rumusan masalah yang penulis tawarkan, maka ada beberapa poin tujuan dan kegunaan penelitian ini yang akan dicapai sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
a. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa fenomenea selfie dalam wacana budaya populer merupakan perkara yang kompleks, tidak
8
hanya sebagai gaya hidup, selfie juga membuat narasi dalam konteks kehidupan sosial masyarakat, yang—dalam pemikiran Jean Baurillard disebut sebagai reproduksi tanda, di mana gejala sosial dalam “ruang dan waktu telah dimediakan”.
b. Pada akhirnya, fenomena selfie memperlihatkan suatu gejala yang tidak hanya perkara style saja, lebih dari itu, ia merupakan fenomena yang merepresentasikan suatu dimensi yang lebih fundamental.
Sebuah mitos muncul dalam wacana ini: eksistensi dan identitas bisa dilihat dari benda dan atribut (artistic).
2. Kegunaan Penelitian
a. Memperluas wacana kebudayaan baru dengan hadirnya benda sakti bernama “camera” merupakan ragam dari salah satu fenomena kebudayaan kontemporer masyarakat Indonesia hari ini, yang lebih jauh melalui jagat budaya populer. Sebab selama ini, seringkali budaya populer dipandang dari sisi negatifnya saja, diabaikan dan dicemooh, alih-alih memimpikan suatu kemapanan —yang mudah diterima dengan gamang. Penelitian ini akan menjadi sumbangan kecil (yang mungkin penting) dalam diskursus kebudayaan kita hari ini, khususnya dalam konteks akademik adalah mata kuliah cultural studies.
b. Memantik kesadaran kita bahwa saat kita memproduksi suatu peristiwa, berupa tontonan (foto selfie) di ruang publik (public space), pada saat yang sama kita telah mereduksi suatu realitas, di
9
mana antara yang nyata dan maya terjadi kekaburan batasnya, bahkan mungkin sudah melebur jadi satu entitas.
D. Tinjauan Pustaka
Sebetulnya, ada banyak peneliti yang risetnya mengenai selfie, telebih kaitannya dengan budaya dari berbagai pendekatannya masing-masing. Meski begitu, penulis masih belum menemukan bahasan mengenai selfie dalam satu buku utuh tersendiri. Penulis hanya menemukan tulisan-tulisan pendek yang tersiar di media massa, terutama online, dan beberapa makalah yang tersebar di jurnal-jurnal akademik dan kumpulan tulisan yang terpublikasikan dalam satu buku bertema budaya populer, tapi fokus kajian dan objek penelitian yang berbeda. Selain itu, penulis juga menemukan tema-tema tersebut dalam karya akhir mahasiswa yang berupa skripsi dan tesis. Dalam tinjauan pustaka ini penulis akan mencoba memulai dari tulisan yang terbit di jurnal dan dilanjutkan dengan karya-karya akademik.
Tulisan pertama dari Idealita Ismanto dengan judul Budaya Selfie Masyarakat Urban, Kajian Estetika Fotografi, Cyber Culture, dan Semiotika.8 Dalam tulisannya, Ismanto mengatakan bahwa fenomenea selfie tidak berpotensi membuat klaim tertentu. Baginya, selfie memiliki arah yang berbeda atau tanpa arah sekalipun…lanjut, Ismanto, selfie merupakan bahasa kita kepada dunia.
Idealita Ismanto mendefinisikan selfie hanya pada batasan ekspresi subyek. Dia tidak melihat lebih jauh kepada hal-hal yang lebih fundamental.
8 Idealita Ismanto, Budaya Selfie Masyarakat Urban, Kajian Estetika Fotografi, Cyber Culture, dan Semiotika, Jurnal Rekam, Vol. 14 No. 1 - April 2018, hlm.67-75.
10
Padahal, si subyek (pelaku selfie) akan dengan bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, foto, gambar, video, grafis, dan berbagai model content lainnya. Pada akhirnya, Ismanto menyimpulkan bahwa selfie merupakan suatu narsisme digital dan bentuk pertunjukan di depan panggung untuk menarik kesan pengakses atau pengguna lain dalam jaringan pertemanan di media sosial.
Kedua tulisan Aslaug Veum yang berkolaborasi dengan Linda Victoria Moland Undrum dari University College of Southeast Norway dengan judul The Selfie as a Global Discourse.9 Dalam penelitiannya, Aslaug dan Linda menyajikan analisis wacana multimodal kritis tentang bagaimana praktik dalam dunia selfie.
Dengan menjadikan semiotika sebagai jembatan, mereka fokus pada teks (caption) yang menyertai foto selfie yang diunggah pelaku ke media sosial. Mereka secara umum melihat bahwa selfie merupakann representasi yang khas sebagai upaua dekontekstualisasi terhadap budaya global.
Ketiga adalah tulisan Evina Krisnawati dan Christiana Hari Soetjiningsih berujudul Hubungan antara Kesepian dengan Selfie-Liking pada Mahasiswa.10 Dalam tulisannya, mereka menemukan bahwa individu yang gemar mengambil foto selfie kemudian membagikannya di situs jejaring media sosial diketahui memiiki tingkat kesepian yang tinggi. Sebab, individu mereka memiliki harapan (hasrat) mendapat kesan dari orang lain. Selain itu, Evina dan Christiana mencari faktor
9 Aslaug Veum & Linda Victoria Moland, The Selfie as a Global Discourse,jurnal Discorse &
Society, Vol.21(1). 2018.86-103
10 Evina Krisnawati & Christiana Hari Soetjiningsih, Hubungan antara Kesepian dengan Selfie- Liking pada Mahasiswa, Jurnal Psikologi. Vol.16 No.2. Oktober, 2017. Hlm.122-127.
11
yang menyebabkan individu subjek) melakukan selfie. Adanya faktor lain yang berpengaruh terhadap selfie liking ternyata adalah gelaja narsisme.
Apa yang dilihat oleh Evina dan Christiana ini, sama dengan yang dilakukan Idealita Ismanto, di mana selfie hanya dilihat sebagai panggung untuk mencari citra diri dengan satu klaim narsistik.
Keempat adalah penelitian Regina C. M. Chita, Lydia David, Cicilia Pali dengan judul Hubungan antara Self-Control dengan Perilaku Konsumtif Online Shopping Produk Fashion pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Angkatan 2011.11 Di sini ketiga peneliti itu menitik-beratkan self-control pada remaja, yang merupakan kapasitas dalam diri —dan dapat digunakan untuk mengontrol variabel-variabel luar yang menentukan tingkah laku. Kondisi emosi remaja yang labil membuat remaja menjadikan mereka berperilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif remaja pada produk fashion adalah untuk mendukung presentasi mereka. Perilaku konsumtif dimudahkan dengan adanya Online Shopping.
Kelima adalah penelitian yang ditulis oleh Sartika Rahmawati, Cleoputri Al Yusainy dan Ratri Nurwanti dengan judul Selfie: Peranan Jenis Komentar Terhadap Hubungan antara Kecemasan Sosial dan Perilaku Agresif Perilaku Selfie.12 Dalam penelitian ini, diungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara kecemasan sosial dengan perilaku agresif. Hubungan antara kecemasan sosial
11 Regina C. M. Chita, Lydia David & Cicilia Pali, Hubungan antara Self-Control dengan Perilaku Konsumtif Online Shopping Produk Fashion pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Angkatan 2011, Jurnal eBiomedik (eBm), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015, hlm.297-302.
12 Sartika Rahmawati, Cleoputri Al Yusainy & Ratri Nurwanti, Selfie: Peranan Jenis Komentar Terhadap Hubungan antara Kecemasan Sosial dan Perilaku Agresif Perilaku Selfie, jurnal Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang: 2017, hlm.1-16.
12
dengan perilaku agresif tidak dimoderasi oleh jenis komentar. Meski begitu, dianalisis akhirnya dia mengungkapkan adanya pengaruh yang signifikan dari jenis komentar terhadap perilaku selfie seiring dengan semakin negatifnya jenis komentar yang ia terima.
Selanjutnya karya akademik yang berupa skripsi, baik yang membahas foto selfie secara umum, maupun yang spesifik. Skripsi pertama ditulis oleh Diamella Cindy Kurnia Dewi dengan judul Karakteristik Narsisme pada Perilaku Selfie Remaja Perempuan.13 Di sana, Diamella mengkritisi tentang bagaimana perilaku remaja perempuan yang gemar berfoto selfie. Dia melihat, selfie dapat dikatakan sebagai gangguan narsisme, karena dibalik perilaku selfie ada empat gejala gangguan narsisme, yaitu; merasa diri spesial, ingin dikagumi, merasa diri cantik, merasa layak diperlakukan istimewa dan menunjukkan perilaku yang sombong.
Selanjutnya skripsi yang kedua, ditulis oleh Muhamad Irfan, berjudul Budaya Selfie Antara Absurditas dan Komsumsi Masyarakat.14 Dalam tulisannya, Irfan menyimpulkan bahwa selfie menjadi budaya kelimpah-ruahan yang ditandai dengan pembelian simbol dan tanda, bukan lagi karena kebutuhan atau pun kegunaan. Absurditas merupakan konfrontasi yang lahir dari dunia nyata dan dunia.
Lanjut Irfan, selfie merupakan ladang di mana narsisme tumbuh berkembang begitu mengagungkan citra diri dari sebuah kaca ataupun kamera. Sikap mengagungkan
13 Diamella Cindy, Karakteristik Narsisme pada Perilaku Selfie Remaja Perempuan, Semarang:
skripsi pada Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, 2016.
14 Muhamad Irfan, Budaya Selfie antara Absurditas dan Konsumsi Masyarakat, Skripsi pada jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang: 2018.
13
diri dalam Islam dinamakan ‘ujub, riya’, sum’ah. Sifat tersebut yang lekat dengan seorang narsisis akan menjadikannya ingin tampak paling unggul dari yang lainnya, sehingga tidak tampak kepekaan dirinya pada masyarakat dan mengesampingkan religiusitas.
Skripsi ketiga milik Khijjah Rakhmana Ayuma dengan judul, Budaya Narsisme dan Selfie (Studi Fenomena Selfie di Kalangan Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).15 Dalam skripsi ini, penulis mengangkat perubahan gaya hidup Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran UIN Sunan Kalijaga melalui pose-pose selfie yang diunggah melalui media sosial dalam kontrsuksi narsisme berbasis agama dari pelaku selfie. Dalam penemuan akhirnya, penelti mengungkapkan bahwa dalam setiap penampilan berpose dan gaya selfie, sebagian mahasiswi tampil dengan tetap memakai jilbab.
Skripsi keempat ditulis oleh Nur Arifah, berjudul Pop Culture: Proyeksi Identitas Diri Melalui Foto Selfie dalam Akun Instagram.16 Dalam skripsi ini, Nur Arifah menjelaskan bahwa fenomena selfie yang terjadi di kalangan kaum muda, terutama mahasiswa yang disebabkan bagian life style dari perkembangan modernitas berupa media sosial sebagai bentuk budaya populer untuk memproyeksikan diri sebagai proyek reflektif yang selau berubah dan dibentuk
15 Khijjah Rahma Ayuma, Budaya Narsisme dan Selfie (Studi Fenomena Selfie di Kalangan Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga), Skripsi pada jurusan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta:
2016.
16 Nur Arifah, Culture: Proyeksi Identitas Diri Melalui Foto Selfie dalam Akun Instagram, skripsi Program Studi Sosiologi, Fakultas Sosiologi dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2017.
14
sesuai harapan dan cita-cita yang diinginkan. Lebih dari itu, Nur Arifah juga memperlihatkan bagaimana foto selfie menjadi bentuk refleksi diri, terutama sebagai kesenangan terhadap momen yang dialami. Foto selfie yang diunggah ke media sosial dapat menimbukan aksi karena terdapat simbol-simbol yang bermakna berwujud interaksi antar sesama penggunanya.
Berdasar uraian pustaka yang bekenaan dengan selfie di atas, penulis masih belum menemukan kajian yang lebih bersifat filosofis, terutama ke dalam aspek yang lebih fundamental di dalam wacana kebudayaan kita hari ini —lebih- lebih kaitannya dengan simulasi antara sosio-kultural dari gelombang modernisme dan implikasinya pada identitas subyek yang memungkinkan terbukanya wacana- wacana kebudayaan kontemporer ke depan yang lebih fundamental dan relevan tentunya.
Untuk itulah, melalui peneltian dengan judul Hiperrealitas dalam Foto Selfie penulis ingin menghadirkan kajian tersebut dengan wacana kebudayaan populer hari ini dengan menggunakan pisau analisis simulacra yang digaungkan oleh filsuf kontemporer asal Prancis, bernama Jean Baudrillard.
E. Kerangka Teoritik
Sebagaimana sudah penulis singgung sebelumnya, bahwa penelitian ini akan menggunakan teori ‘simulacra’, dan selanjutnya menelaah bagaimana realitas subyek terbangun dalam foto selfie, baik realitas sosial-kulturalnya, lebih-lebih realitas yang dibentuk secara fantasi dan melebur tanpa ada batasan ketika selfie itu tercipta.
15
Teori simulacra dikembangkan oleh Baudrillard dan dipengaruhi oleh pemikiran filsuf lain yang memiliki pemikiran tentang objectivity and linguistic- sociological interface (Mauss), Surrealism and Eroticism (Bataille), Psychoanalysis dan Freud, dan terutama Marxisme. Lalu dia berubah menjadi orang yang dikagumi sebagai seorang yang mengerti akan keadaan yang datang pada kondisi posmodernisme.17
Filosofi Baudrillard sebenarnya bertumpu pada dua konsep
“hyperreality” dan “simulation“. Terminologi itu mengacu pada alam yang tidak nyata dan khayal dalam kebudayaan kontemporer pada zaman komunikasi.
Baudrillard mencoba untuk mengembangkan teori yang berusaha memahami sifat dan pengaruh dari komunikasi massa. Ia menyampaikan bahwa media massa menyimbolkan zaman baru, bentuk produksi dan konsumsi lama sudah memberikan jalan bagi semesta komunikasi yang baru, dunia yang dikonstruksi dari model atau simulacra.18
Sejak jaman Renaissance hingga sekarang, terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu counterfeit, production dan simulation, yang merupakan nama berbeda untuk arti yang sama yaitu, imitasi atau reproduksi dari image atau obyek.
Pertama, image adalah representasi dari realitas. Kedua, image menutupi realitas.
Ketiga, image menggantikan realitas yang sirna, menjadi simulacrum murni. Pada sign as sign, simbolika muncul dalam bentuk irruption. Baudrillard kemudian
17 I Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm.51.
18 Umberto Eco, Tamassya dalam Hiperrealitas, (Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2004), hlm.21.
16
menambahkan tahapan keempat yang disebut fractal atau viral. Kini kita berada pada tahapan fractal, suatu tahapan transeverything yang mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap dunia.
Di jaman ini konsumsi telah menjadi basis pokok dalam tatanan sosial.
Obyek konsumen menata perilaku melalui suatu sign function (fungsi tanda) secara linguistik. Iklan (advertising) telah mengambil alih tanggung jawab moral atau moralitas puritan masyarakat dan menggantikannya dengan moralitas hedonistik yang mengacu pada kesenangan. Dan hedonistik itu dijadikan sebagai barometer dari hyper-civilization (peradaban hiper).
Menurut Baudrillard, membeli komoditas adalah tindakan yang sudah direkayasa sebelumnya dan terjadi pada persilangan dua sistem. Pertama, relasi individual yang bersifat cair, tidak saling berhubungan dengan individu lainnya, kedua relasi produksi, yang dikodifikasi, berkelanjutan dan merupakan sebuah kesatuan.19
Tentu saja ini adalah suatu sistem klasifikasi dan bukan suatu bahasa.
Kebutuhan (needs) semacam ini diciptakan oleh obyek konsumsi: obyek bertindak sebagai kategori obyek dengan caranya yang sangat sewenang-wenang, menentukan kategori manusia. Pada masyarakat (konsumen) obyek menandai status sosial dan menggantikan segala macam perbedaan hirarki sosial yang ada.
Pengenalan suatu kode universal memberitahukan kepada kita bahwa orang yang memakai jam Rolex berada pada status sosial yang tinggi dan pemakai ponsel
19 Umberto Eco, Tamasya...., hlm.35.
17
buatan China sebagai orang biasa-biasa saja.20 Everything began with objects, yet there is no longer a system of objects” (segalanya dimulai dengan obyek-obyek hingga tidak ada lagi sistem obyek-obyek).21
Dalam sistem kapitalis hubungan manusia ditransformasi pada hubungan objek yang dikontrol oleh kode atau tanda tertentu. Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari banyaknya tanda yang dikonsumsi. Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu. Demikianlah kode telah mengambil fungsi kontrol pada subjek.
Menurut pandangan Baudrillard, proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua aspek mendasar yaitu: pertama, sebagai proses signifikansi dan komunikasi yang didasarkan pada peraturan (kode) di mana praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini konsumsi merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa, kedua, sebagai proses klasifiaksi dan diferensiasi sosial di mana objek-objek/tanda-tanda ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hirarki.22
Bagi Baudrillard, dunia dewasa ini tidak ada lagi adegan cermin, yang ada hanyalah layar dan jaringan. Periode produksi dan konsumsi membanjiri
20 Jean Baudrillard, Masyarakat Konsumsi, penerjemah Wahyunto, (Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana, 2006), hlm.72.
21 Jean Baudrillard, Masyarakat..., hm.51.
22 Jean Baudrillard, Masyarakat..., hm.94. Untuk melihat keterkaiatan antara konsep skizofrenia dengan wacana posmoderniseme, khususnya dengan fenomena Bahasa dan komunikasi.
18
jalanan. Manusia abad kontemporer hidup dalam ekstasi komunikasi carut-marut, seiring dengan lenyapnya ruang privat. Ruang publik pun tidak disorot, dan ruang privat tidak lagi menjadi rahasia. Hilangnya perbedaan antara bagian dalam dan bagian luar, seiring dengan rancunya batas antara ruang publik dan ruang privat.
Kehidupan yang paling intim, sekarang menjadi penopang hidup virtual media.23 Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan- akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.24
Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya di mana ia memberi kesempatan bagi berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnyaa kode bisa mem- bypass sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality.25
Dramatisasi yang dilakukan melalui alur yang penuh aksi dramatis, secara umum dikendalikan oleh rumah produksi yang membuatnya bukan lagi oleh
23 Jean Baudrillard, Ecstasy of Communiaction, Semiotex(e), New York, 1987, hlmn.27.
24 M. Imam Aziz (ed.), Galaki Simulacra Jean Baudrillard (Yogyakarta : LKIS, 200), hlm.19.
25 Muhammad Azwar, Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan Upaya Pustakawan Mengidentifiksasi Informasi Realitas, Jurnal Ilmu Perpustakaan & Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, Volume 2, Nomor 1 (Mei - Agustus 2014), 39-40.
19
pelaku utama yang mempunyai narasi. Akhirnya menjadi mustahil membedakan yang nyata dari yang sekadar tontonan.
Jika menggunakan kerangka teori di atas, maka subjek (pelaku selfie) akan selalu menampilkan citra dirinya di ruang publik yang tercipta dalam realitas maya (media massa), karena subjek sudah masuk dalam perangkap hedonisme.
Sehingga subjek akan berhadapan dengan situasi di mana dia akan menampakkan berbagai macam ekspresi, dan bahkan hal-hal yang berisafat pribadi sekalipun (berhubungan dengan identitas). Sebab subjek akan menghadapi relasi-relasi yang ada pada realitas media sosial (realitas ciptaan subjek) itu sendiri.
F. Metode Penelitian
1. Jenis peneltian
Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan metode dan jenis penelitian kajian pustaka (library research) dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Tahap pertama sebagai tahap persiapan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan berbagai macam literatur yang erat kaiatnnya dengan obyek penelitian untuk dijadikan bahan refrensi dan sumber data. Dalam penelitian ini, sumber data yang dimaksud adalah sumber data tertulis (dokumentasi) dan tidak tertulis, seperti halnya diskusi dan makalah-makalah.
2. Sumber data
Dalam proses pencarian sumber data, penulis akan mengumpulkan berbagai sumber data yang diambil dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, baik yang sudah dipublikasikan maupun yang belum disiarkan.
20
Sumber data tersebut bisa berupa majalah, koran, jurnal, esai di media sosial dan intrnet. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan dua jenis sumber data, yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data primer
Sumber data primer merupakan suumber proporsional yang digunakan dalam penelitian ini. Akan tetapi, mengingat penulis tidak menemukan satu buku utuh yang membahas secara spesifik tema yang penulis kaji, maka sumber data yang penulis pakai merupakan tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai buku kumpulan tulisan dan jurnal.
b. Data sekunder
Sumber data skunder adalah sumber informasi pendukung dari data primer, sumber data tersebut bisa berupa buku, artikel, jurnal, skripsi, tesis dann tulisan-tulisan lepas mengenai selfie dan teori simulacra Jean Baudrillard.
3. Validitas data
Dalam langkah pemeriksaan keabsahan data, penulis akan menggunakan kriteria derajat kepercyaan (credibility), yaitu dengan melaksanakan proses inkuiri seketat mungkin, sehingga mencapai kepercayaan terhadap hasil temuan dengan sempurna, kemungkinan menunjukkan derajat kepercyaan terhadap hasil temuan dengan membuktikan kenyataan ganda penelitian. Sementara teknik pemeriksaan data, penulis menggunakan teknik triangulasi, penulis dapat me- receck temuannya dengan membandingkannya pada berbagai sumber.
21
4. Metode pengolahan data
Setelah data-data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah pengolahan data. Dalam teknik pengolahan data ini, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan filosofis. Adapun metode pengolahan sebagai berikut:
a. Melakukan analisis dan klarifikasi data yang terkumpul secara sistematis dan metodis.
b. Melakukan interpretasi atau menangkap makna data-data yang telah dianalisis oleh peneliti sebelumnya.
c. Menuangkan hasil pembahasan ke dalam bentuk berupa laporan
penelitian secara sistematis dan metodis.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan merupakan bagian dari syarat suatu karya ilmiah yang terdiri dari berbagai bagian yang salig berhubungan satu sama lain.
Adapun hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam lima bab sebagai berikut:
Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua menjabarkan definisi simulacra yang dikembangkan oleh Jean Baurillad.
Bab ketiga membahas hal-hal yang berkaitan dengan media sosial, modernisme, sejarah dan fenomena selfie.
22
Bab keempat menganalisis bagaimana subjek membentuk eksistensi dan identitasnya dalam foto selfie, dan bagaimana realitas subjek dalam foto selfie dengan menggunakan konsep-konsep kunci teori simulacra Jean Baudrillard.
Bab kelima adalah penutup, di mana dari bab-bab sebelumnya ditarik kesimpulan dari hasil penelitian ini dan saran bagi kemungkinan penelitian selanjutnya. Adapun bagian terakhir adalah daftar pustaka glosarium, serta lampiran-lampiran yang berkaitan dengan penyusunan skripsi.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar uraian pada bab-bab sebelumnya, maka bisa ditulis kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, foto dalam selfie itu tidak hanya bermakna sebagai tanda belaka, memori atau sejarah, akan tetapi, lebih jauh telah masuk ke dalam ruang publik yang bergerak menuju masyarakat konsumsi dengan melakukan proyeksi dari simulacra satu ke simulacra yang lain.
Kedua, orang yang tengah melakukan selfie akan membuat pseudo peristiwa, di mana peristiwa yang cukup mentah akan dijadikan sebagai pertukaran, peristiwa hanya bisa dibagikan, diolah dan kemudian dieksplorasi sedemikian rupa melalui serangkaian produksi industri, yaitu dengan bantuan media massa yang sangat halus, rapi, melaui unsur teknis dan kode yang sangat dipaksakan; yaitu kode estetis atau keindahan, sehingga bisa dengan sangat mudah untuk memutar balikkan dan memalsukan makna yang otentik dari peristiwa tersebut.
Ketiga, modernitas media sosial tidak lagi menjadi wilayah refleksi, di mana manusia bisa mengambil jarak kritis dengan dunia. Akan tetapi, ia telah menarik dunia menjadi dirinya. Keberadaan manusia diatur, bahkan dikontrol menurut cara kerja teknologi mekanistis dalam sebuah mesin yang dipandang cerdas bernama gawai. Jika filsuf Rene Descartes mengungkapkan, aku berpikir maka aku ada sebagai ukuran eksistensi rasionalitas manusia modern, maka media
75
sosial mampu mengubah prinsip rasional ini dengan prinsip lain, aku merasa (kan), aku mengakrabi, bahkan aku menjadi dunia digital, maka aku ada.
Keempat, ketika seseorang mengambil foto selfie kemudian mengunggahnya ke berbagai media sosial, baik Instagram, Path, Facebook, Twitter, Blackberry Massanger, WhatsApp, dan sebagainya, di sanalah seseorang tersebut tengah berupaya membujuk dirinya sendiri —sementara orang lain yang memandang foto (selfie) tersebut secara tidak langsung melakukan bujuk rayu, bahkan diberahikan oleh laporan terbaru dari dirinya sendiri— dan menjadi sebuah norma yang terpasang dalam jaringan atau sistem media sosial.
B. Saran
Sebagai fenomena budaya, selfie dan media sosial memang cukup menarik untuk dikaji dari berbagai persepktif, terutama filsafat dan culture studies.
Mislanya, dilihat dari fenomena kenyataan masyarakat dunia ketiga atau yang lebih kita kenal sebagai sebutan poskolonial. Apabila dilihat lebih jauh lagi, selfie, sebagai fenomena budaya dan sosial yang tengah berlangsung di masyarakat yang gamang dengan kebudayaan dan identitasnya. Untuk itulah, penulis, hanya bisa berharap lebih jauh bahwa selanjutnya akan ada kajian mengenai tema ini dengan sudut pandang yang peneliti tawarkan, yang tentunya dimungkinkan lebih bernas lagi.
76
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Repruduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Alfathir Adlin (ed). Spiritulitas dan realitas Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: Jalaustra, 2007
Badcock, R, Christhoper. Levi-Strauss Strukturalisme dan Teori Sosiologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Bambang, I Sugiharto. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2006
Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009
Barthes, Roland. Elemen-Elemen Semiologi. Yogyakarta: Penerbit Basabasi, 2017
______________. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol dan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2006
Baudrillard, Jean, America. London: Verso, 1998
______________. Berahi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000
______________. Ecstasy of Communiaction, Semiotex(e), New York, 1987
______________. (pen. Wahyunto). Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana, 2006
77
______________. The Procession of Simulacra. Simulacra dan Simulation. Trans.
Sheila Faria Glaser. United States of America: The Univercity of Michigan Press, 1994
Bell, Daniel. An Introduction to Cybercultures. New York: Routledge, 2001
Bennet, Audy. Cultural and Everyday Life. London: SAGE Publishing, 2005
Blossom, John. Content Nation: Surviving and Thriving as Social Media Changes Our Work, Our Lives and Our Future. USA: Wiley Publishing, 2009
Budi, F. Hardiman. Heidegger dan Mistis Keseharian Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit. Jakarta: KPG, 2003
________________. Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia, 2001
Burton, Graeme. Pengantar untuk Memahami Media dann Budaya Populer.
Yogyakarta: Jalasutra, 2008
Dyah, Shiefti Alyusi. Media Sosial Interaksi, Identitas dan Modal Sosial. Jakarta:
Pena Media Group, 2018
Eco, Umberto. Tamassya dalam Hiperrealitas. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2004
Featherstone, Mike. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Gesick, Lorraine. Pusat Simbol dan Hirarki Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Obor, 1981
78
Haryatmoko. Membongkar Rezi Kepastian: Pemikiran Kiritis Post-Strukturalis.
Yogyakarta: Kanisius, 2016
Imam, M. Aziz (ed.). Galaki Simulacra Jean Baudrillard. Yogyakarta: LKIS, 2000
Kaplan, David dan Robert A. Manners. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Kristianto, Thomas. Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan: Pengantar Memahami Subjektifitas Modern Menururt Perspektif Salvoj Zizek. Yogyakarta:
Jalasutra, 2007.
Lecthte, John. 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai Postmodernisme.
Yogyakarta: Kanisus, 2001
Lemay, Eric dan Jennifer A. Pitts. Heidegger untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius, 2001
Margaretha, Selu. Hiperrealitas dan Ruang Publik. Jakarta: Penaku, 2001
Olson, H. dkk. Pengantar Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2013
Piliang, Yasraf Amir. Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Jakarta, Mizan: 1998
______________ Semiotoka dan Hipersemiotika: Kode, Gaya & Matinya Makna.
cet. 4. Bandung: Matahari, 2012
Rumthe, Theoresia. Seseorang di Kaca. Jakarta: Gramedia: 2016
Sarup, Madan. Panduan untuk Memahami Poststrukturalisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: Yogyakarta: 2008
79
S, Soedjono, Pot Pourri. Fotografi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti: 2006
Subandy, Idi (ed). Lifestyle Ecstasy. Yogyakarta: Jalasutra, 2015
Suyanto, Bagong. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2010
Jurnal
Aziz, Nasaiy. Manusia sebagai Sunyek dan Obyek dalam Filsafat Existentialisme Martin Heidegger: Kajian dari Segi Karakteristik dan Pola Pikir yang Dikembangkan), Jurnal Substantia Vol. 15, No. 2, Oktober 2013.
Azwar, Muhammad. Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan Upaya Pustakawan Mengidentifiksasi Informasi Realitas. Jurnal Ilmu Perpustakaan &
Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, Vol. 2, Nomor 1, Mei - Agustus 2014
Fensi, Fabianus. Menganalisis Patologi Media Sosial dari Perspektif Filsafat Postmodernisme. Jurnal Komunikasi dan Media. Vol. 4. No. 2. Februari, 2020
Habiba, Robby Abror. Relasi Pendidikan dan Moralitas dalam Konsumsi Media;
Perspektif Filsafat Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, Nomor 2, Desember 2013
Ismanto, Idealita. Budaya Selfie Masyarakat Urban, Kajian Estetika Fotografi, Cyber Culture, dan Semiotika. Jurnal Rekam, Vol. 14 No. 1, April 2018
Juliswara, Vibriza. Pendekatan Terhadap Kekerasan dalam Film Kartun Tom &
Jerry. Jurnal Komunikasi. Vol. 12, No. 2: Mei-Agustus 2019.
Krisnawati, Evina & Christiana Hari Soetjiningsih. Hubungan antara Kesepian dengan Selfie-Liking pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi. Vol.16 No.2.
Oktober, 2017
80
Veum, Aslaug & Linda Victoria Molan. The Selfie as a Global Discourse. Jurnal Discorse & Society, Vol.21(1). 2018
Regina C. M. Chita, Lydia David & Cicilia Pali. Hubungan antara Self-Control dengan Perilaku Konsumtif Online Shopping Produk Fashion pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Angkatan 2011. Jurnal eBiomedik (eBm), Vol.3. No.1. Januari-April 2015
Rahmawati, Sartika.dkk. Selfie: Peranan Jenis Komentar Terhadap Hubungan antara Kecemasan Sosial dan Perilaku Agresif Perilaku Selfie. Jurnal Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang, 2017
Skripsi
Arifah, Nur. Culture: Proyeksi Identitas Diri Melalui Foto Selfie dalam Akun Instagram. Yogyakarta: skripsi pada program Studi Sosiologi, Fakultas Sosiologi dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2017.
Cindy, Diamella. Karakteristik Narsisme pada Perilaku Selfie Remaja Perempuan.
Semarang: skripsi pada Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, 2016
Irfan Muhamad Irfan. Budaya Selfie antara Absurditas dan Konsumsi Masyarakat.
Semarang: skripsi pada jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo, 2018
Rahma, Khijjah. Budaya Narsisme dan Selfie (Studi Fenomena Selfie di Kalangan Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga). Yogyakarta: skripsi pada jurusan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, 2016.
81
GLOSARIUM
Budaya massa (mass culture): Sebuah kategori kebudayaan yang diciptakan untuk massa yang luas, sehingga cenderung dilihat sebagai kebudayaan yang menghasilkan selera massal atau rendah.
Budaya populer (popular culture): sebuah kategori kebudayaan yang dicirikan oleh sifat-sifat permukaan, selera umum, dan motif publisitas.
Citra: sesuatu yang tampak oleh indera, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.
Cultural studies: mengacu pada kajian kebudayaan dengan berbagai pendekatan dan metode analisis seperti seni, antropoli, semiotika, psikoanalisis, politik, ekonomi dan lain-lain.
Fantasi: sebuah strategi yang dilakukan oleh seseorang untuk menghindari serba kekurangannya
Fetisisme (fetishism): sikap yang menganggap adanya kekuatan, ruh atau daya pesona tertentu yang bersemayam pada objek tertentu.
Hasrat: sebuah mekanisme psikis berupa gejolak rangsangan terhadap objek atau pengalaman yang menjanjikan kepuasan, yang selalu berupa sesuatu yang berbeda, sesuatu yang telah hilang selamanya dalam diri setiap manusia dewasa, yaitu kepuasan.
Hiperrealitas (hiperreality): digunakan di dalam semiotika dan filsafat pascamodern untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi. Hiperealitas adalah makna untuk mempersifatkan bagaimana kesadaran mendefinisikan "kenyataan" sejati di dunia, di mana keanekaragaman media dapat -secara mengakar- membentuk dan menyaring kejadian atau pengalaman sesungguhnya. Beberapa tokoh terkemukan dalam teori hiperealitas termasuk di antaranya Jean Baudrillard, Albert Borgmann, Daniel Joseph Boorstin, dan Umberto Eco.
Ideologi: sistem kepercayaan dan sistem nilai serta representasinya dalam pelbagai media dan tindakan sosial
Masyarakat konsumerisme: Masyarakat konsumeris adalah masyarakat yang menciptakan nilai-nilai yang berlimpah ruah melalui barang- barang konsumeris, serta menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan.
Media sosial: sebuah media daring yang digunakan satu sama lain dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berinteraksi, berbagi, dan menciptakan isi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Blog, jejaring sosial, dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
82
Penanda: citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan atau benda.
Petanda: konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda.
Selfie: swafoto atau foto narsisis merupakan jenis foto dengan cara potret diri yang diambil sendiri dengan menggunakan kamera digital atau ponsel cerdas.
Simulasi: Simulasi adalah suatu proses peniruan dari sesuatu yang nyata beserta keadaan sekelilingnya.
Subjek: manusia sebagai individu yang dibentuk secara sosial lewat bahasa, pengetahuan dan ideologi yang telah ada.