11 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Tindak Pidana secara umum
Dalam penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system) menempati kedudukan yang sentral dikarenakan dalam hal pengambilan keputusan suatu pemidanaan akan mempunyai konsekuensi dan memiliki dampak yang luas serta berimbas langsung kepada pelaku maupun masyarakat secara luas.1
Istilah pidana sendiri sering diartikan sama halnya dengan hukuman, akan tetapi istilah tersebut merupakan istilah yang konvensional dan bersifat umum.2 Oleh karena itu, diperlukannya suatu batasan untuk menunjukkan suatu kekhususan pengertian atau makna sentral dari pidana itu sendiri. Roslan Saleh seorang sarjana hukum memberi definisi pidana yaitu suatu reaksi atas tindak pidana (strafbaar feit/delik) yang secara sengaja diberikan oleh negara kepada pelaku tindak pidana sebagai kenestapaan.3 Dijelaskan juga oleh Alf ross yang mengartikan pidana sebagai sebuah bentuk respon sosial berupa hukuman/penderitaan ketika
1 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni, Bandung, 2010, hlm.
52
2 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 11.
3 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 5.
12 terjadi penyimpangan norma.4 Lalu di tambahkan oleh Simons yang mendefiniskan pidana sebagai bentuk kenestapaan yang diberikan oleh Undang-undang pidana melalui putusan hakim karena pelaku telah melanggar norma yang berlaku.5 Kemudian diperkuat oleh pendapat dari Mahrus Ali yang mendefiniskan pidana sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang diberikan kepada seseorang karena telah melanggar hukum pidana, harapannya dengan diberinya sanksi pidana orang tersebut tidak mengulangi tindak pidana lagi.6 Jadi berdasarkan pengertian para sarjana hukum tersebut dapat kita ketahui bahwa pidana ialah suatu bentuk kenestapaan atau rasa penderitaan yang diberikan/diputuskan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana karena telah melanggar hukum pidana dengan harapan pelaku tersebut tidak mengulangi tindak pidana.
Tindak Pidana menurut Wirjono Prodjodikoro mengartikan tindak pidana sebagai suatu tindakan yang mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.7 Sejalan dengan Roeslan Saleh yang mendefinikan tindak pidana sebagai perbuatan yang melanggar tata tertib yang dikehendaki oleh hukum.8 Tindak pidana akan selalu memiliki keterikatan dengan tempat,
4 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni, Bandung, 2010, hlm.
4
5 Simons dalam PAF Lamintang, Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 34
6 Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.194.
7 Wirjono prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hlm. 55
8 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1981, hlm. Ix.
13 waktu, dan keadaan yang mana tindakan tersebut di atur dan dilarang di dalam Undang-undang sehingga orang yang melakukan tindakan tersebut dapat melawan hukum serta dengan tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut harus dipertanggungjawabkan.9 Adapun unsur-unsur dari tindak pidana menurut M. Sudrajat Bassar ialah:
1. Melawan hukum, 2. Merugikan masyarakat,
3. Diatur dalam hukum pidana, dan 4. Diancam pidana.10
Hukum pidana menurut Prof. Sudarto, S.H., ialah sekumpulan aturan yang mengikat perbuatan atau tindakan yang memenuhi syarat tertentu sehingga berakibat pidana.11 Hukum pidana dapat dipandang melalui 2 (dua) sudut arti, yaitu:
1. Hukum Pidana dalam arti objektif, yakni sekumpulan aturan yang mengandung unsur larangan dan keharusan serta memiliki sanksi/hukuman jika melakukan larangannya.
9 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, 2012, h. 18-19.
10 M.Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Remadja Karya, bandung, 1984, hlm.2
11 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 2015, hlm. 3.
14 2. Hukum pidana dalam arti subjektif, yakni sekumpulan aturan yang mengatur tentang hak negara untuk memberikan hukuman kepada orang yang melakukan larangan pidana.12
Dalam penerapan suatu perundang-undangan tidak akan terlepas dengan lingkup berlakunya hukum atau dari waktu dan tempat terjadinya perkara. Hal ini selaras dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” yang berarti “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan pidana yang mendahuluinya.” Asas ini diyakini memiliki manfaat karena asas ini memiliki kekuatan sebagai pencegahan kesewenang-wenangan hakim dalam memutus suatu perkara serta diyakini memiliki nilai untuk menjamin kepastian hukum.13
Teori pemidanaan yang lazim dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental ada 3 (tiga), yaitu: teori absolut, teori relatif dan teori gabungan.
Namun jika kita rangkum kembali teori pemidanaan secara umum, pemidanaan dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) teori, yaitu:
1. Teori absolut atau teori pembalasan
Menurut teori ini pemidanaan digunakan ketika pelaku melakukan suatu tindak pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan. Suatu tindakan yang melanggar hukum
12 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian Satu, (t.t.: Balai Lektur Mahasiswa, T.th.), hlm. 1-2
13 H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 137
15 harus memiliki akibat mutlak sebagai bentuk pembalasan. Jadi teori ini bertujuan untuk memuaskan rasa kesal korban terhadap pelaku tindak pidana dengan dasar/barometer adanya tindakan pidana dari pelaku terhadap korban.
Menurut Johannes Andenaes tujuan utama dari pidana berdasarkan teori absolut ialah to satisfy the claims of justice (guna memuaskan tuntutan keadilan). Hegel seorang tokoh penganut teori absolut yang termasyhur menjelaskan bahwa pidana merupakan konsekuensi logis dari tindak pidana kejahatan karena kejahatan merupakan suatu pengingkaran dari norma-norma ketertiban.
Pembalasan yang dimaksud dalam teori absolut ini bukanlah sebagai tujuan akhir melainkan sebagai batasan guna memperoleh keseimbangan antara tindakan yang dilakukan pelaku dengan pidana itu sendiri, atau dengan kata lain seorang hakim dalam memutus suatu perkara pidana maka pidana yang ditetapkan haruslah sesuai dengan perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh pelaku.
Seiring dengan berkembangnya zaman, teori absolut mengalami perkembangan yang didasari dengan filsafat kant.
Teori absolut modern memodifikasi dirinya dengan menggunakan konsep “balasan yang adil” (just desert). Menurut
16 teori ini pelaku kejahatan telah memperoleh suatu keuntungan yang tidak fair dari korban sehingga yang bisa mengambil kembali / membatalkan perolehan keuntungan yang tidak fair tersebut ialah pengadilan dengan cara melakukan perintah penyitaan, restitusi atau kompensasi. Teori absolut modern ini menekankan bahwa pelaku pidana boleh dan harus dihukum sesuai / selaras dengan perbuatan pidana yang ia lakukan.
2. Teori relatif atau teori tujuan
Menurut teori relative, memidana bukan berarti dilakukan dalam rangka untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan karena adanya rasa ingin membalaskan dendam. Hal tersebut menurut teori relative dipandang tidak memiliki nilai melainkan dipergunakan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Teori ini secara prinsip mengajarkan bahwa pemidanaan / penjatuhan pidana harus berorientasi kepada nilai-nilai preventif atau upaya pencegahan kejahatan (special prevention) dari kemungkinan pelaku akan mengulangi kejahatan lagi di masa yang akan datang, serta sebagai suatu upaya melindungi masyarakat dari terjadinya kejahatan secara berulang (general prevention).
17 Selaras dengan pendapat Nigel Walker, seorang penganut teori relative menyebutkan bahwa teori ini sama halnya dengan teori / aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran melakukan pidana berdasarkan teori ini ialah untuk mengurangi kuantitas atau frekuensi kejahatan.14
Selain teori pemidanaan, hal yang tidak kalah pentingnya untuk di bahas ialah tujuan pemidanaan. Hukum positif di Indonesia belum mempunyai rumusan yang baku mengenai tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tujuan pemidanaan hanya berkutat pada kajian teoritis semata.
Namun saat ini tujuan pemidanaan masih dalam tahap pengkajian oleh para ahli untuk ditetapkan.15
B. Teori Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting)
Tindakan main hakim sendiri atau lazimnya mahasiswa hukum mengenalnya dengan sebutan atau istilah eigenrichting menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Edisi Keempat (2008) memiliki arti sebagai “tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh massa tanpa mengindahkan hukum yang berlaku. Seperti ketika masyarakat menemukan pelaku tindak pidana pencurian, perampokan/pencopetan maka
14 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni, Bandung, 2010, hlm. 10-16
15makalah disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 29 Juli 2004, hlm. 6-11.
18 masyarakat akan melakukan pemukulan, penyiksaan, pengeroyokan,dsb)”.
Menurut Sudikno Mertokusumo seorang sarjana hukum menjelaskan bahwa tindakan main hakim sendiri adalah tindakan sepihak guna memenuhi haknya menurut kehendaknya sendiri dan bersifat sewenang-wenang tanpa adanya suatu persetujuan dari pihak lain yang memiliki kepentingan, sehingga dari tindakan tersebut akan menimbulkan kerugian.16
Tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) merupakan suatu bentuk atau realisasi konkrit dari rasa marah dan kecewa yang dirasakan langsung oleh masyarakat atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana serta merupakan bentuk perwujudan dari minimnya rasa kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Athalia Sunaryo, M.Psi. seorang psikolog dari Lifespring Counseling & Care Center menjelaskan bahwa tindakan main hakim sendiri dipengaruhi oleh alam bawah sadar yang membentuk jati diri seseorang tersebut sehingga bentuk pengaruh yang besar akan cenderung membentuk jati dirinya.17
Tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) sudah menjadi tidak asing lagi bagi masyarakat dikarenakan banyaknya kasus main hakim sendiri yang terjadi di tingkat kota, kabupaten, kecamatan bahkan tingkat desa. Tidak jarang tindakan main hakim sendiri (eigenrichting)
16 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Pidana Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 3.
17 Main Hakim Sendiri, Begini Penjelasan Psikologisnya, https://www.sabigaju.com/main-hakim- sendiri-begini-penjelasan-psikologisnya diakses pada tanggal 3 Maret 2021
19 mengakibatkan kematian / hilangnya nyawa seseorang meskipun terkadang orang yang menjadi sasaran bukan pelaku tindak pidana sesungguhnya. Hal tersebut bukanlah persoalan yang sederhana sehingga perlu di tegakkan keadilan bagi para pelaku.
Berbagai faktor penyebab terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) banyak ditemukan, seperti adanya anggapan dari masyarakat jika lembaga hukum (polisi, jaksa, hakim) lelet dalam menjalankan tugasnya dan lebih buruknya lembaga tersebut dinilai gagal dalam menanggulangi masalah sehingga muncullah rasa ketidakpuasan dari masyarakat dalam penegakan hukum.18 Faktor lain yang dipandang mempengaruhi terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) ialah ketidakmampuan sistem peradilan pidana (criminal justice system) untuk menurunkan atau menekan kasus kejahatan, ketidakefektifan lembaga peradilan dalam membuktikan tindakan pelaku dsb.
Hukum positif yang berlaku di Indonesia tidak mengatur secara khusus tindakan main hakim sendiri namun bukan berarti perbuatan tersebut tidak dapat ditindak lebih lanjut dengan proses hukum. Berdasarkan unsur- unsur yang ada tindakan main hakim sendiri tersebut dapat merujuk pada beberapa pasal yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal yang mengatur mengenai tindakan main hakim sendiri
18 Chandro Panjaitan & Firman Wijaya, Penyebab Terjadinya Tindakan Main Hakim Sendiri Atau Eigenrichting Yang Mengakibatkan Kematian (Contoh Kasus Pembakaran Pelaku Pencurian Motor Dengan Kekerasan Di Pondok Aren Tangerang), Jurnal Hukum Adigama, hlm.4.
20 dalam KUHP yaitu, Pasal 170 tentang Pengeroyokan, Pasal 338 tentang pembunuhan, Pasal 351 tentang Penganiayaan dan Pasal 354 tentang Penganiayaan Berat.
Pasal 170 (1) KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan terang- terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”19 Adapun unsur yang dapat kita ambil dari pasal 170 (1) KUHP tersebut ialah:
1. Barang siapa
Subjek tindak pidana atau pelaku tindak pidana yang dimaksud oleh pasal ini ialah siapa saja yang dapat menjadi subjek dari tindak pidana tersebut, adapun subjek yang dimaksud ialah harus manusia (natuurlijk persoon) karena subjek berupa badan hukum (rechtspersoon) belum dapat diakui atau dapat diterima sebagai subjek dari tindak pidana ini.20
2. Dengan terang-terangan/secara terbuka;
Sebagaimana dikemukakan oleh J.M. van Bemmelen maksud dari unsur kedua yaitu terang-teragan/secara terbuka ialah perbuatan pengeroyokan tersebut harus diketahui/dilihat/disaksikan
19 Lihat pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
20 Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, cet.2, Jakarta, 2012, hlm. 111.
21 oleh khalayak umum.21 Hal ini menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku merupakan tindakan yang disengaja (delik dolus) atau sudah direncanakan dengan tujuan yang pasti.
3. Dengan tenaga bersama/secara bersama sama
Maksud dari unsur tenaga bersama/secara bersama-sama ialah tindakan/perbuatan pengeroyokan harus dilakukan oleh lebih dari satu pelaku. Hal itu selaras dengan pendapat dari JM. Van Bemmelen yang mengatakan bahwa dapat disebut menggunakan tenaga bersama jika 2 orang turut melakukan perbuatan.22
4. Menggunakan/melakukan kekerasan
Menggunakan / melakukan kekerasan ialah melakukan tindakan yang berakibat menimbulkan bekas atau rasa sakit kepada tubuh orang lain. Selaras dengan pendapat Soesilo yang mengatakan bahwa “Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah.”23
5. Terhadap orang/manusia atau barang
Kekerasan/pengeroyokan tersebut ditujukan kepada manusia yang dituju sebagai korban kekerasan. Atau kepada benda sehingga mengakibatkan timbulnya kerusakan pada benda. Dalam hal ini
21 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 3. Bagian Khusus Delik-delik Khusus, terjemahan Hasnan, Binacipta, Jakarta, 1986, hlm. 124.
22 J.M. van Bemmelen, Op.cit., hlm. 125.
23 Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1996, hlm 98.
22 digunakan sebagai antisipasi adanya tindakan anarkis yang dilakukan oleh massa terhadap orang ataupun benda/barang.24 Pasal 338 KUHP berbunyi:“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”. Adapun unsur dari pasal 338 KUHP yakni:
1. Dengan sengaja
Pelaku pidana dalam melakukan perbuatan tersebut dilakukan secara sadar dan memiliki tujuan untuk membunuh korban.
2. Menghilangkan nyawa orang lain
Unsur ini mensyaratkan perbuatan pelaku menimbulkan adanya orang mati. Dimana yang mati adalah orang lain dan bukan dirinya sendiri si pembuat tersebut.
Pasal 351 KUHP berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
24 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.3 cet.2, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 44
23 (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.25
Jika kita pahami pasal 351 KUHP maka dapat kita ketahui bahwa ada 3 (tiga) macam atau jenis penganiayaan yakni:
1) Penganiayaan yang tidak menyebabkan luka berat / matinya orang;
2) Penganiayaan yang menyebabkan luka berat;
3) Penganiayaan yang menyebabkan matinya orang.26 Adapun unsur dari pasal 351 ayat 1 KUHP ialah
1. Barang siapa
Unsur barang siapa mengacu pada subjek hukum yang melakukan tindakan sehingga ia bisa dimintai pertanggung jawaban.
2. Melakukan Penganiayaan
25 Lihat pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
26 Leden marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (pemberantasan dan Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 52.
24 Unsur penganiayaan ialah suatu tindakan yang dapat menimbulkan rasa sakit terhadap orang lain, melukai fisik/tubuh orang lain dan merugikan kesehatan orang lain.27
Menurut yurisprudensi, penganiayaan ialah tindakan yang disengaja dan menimbulkan perasaan tidak enak (mendorong orang lain ke sungai), rasa sakit (menendang, memukul, mencubit), atau luka (menusuk dengan pisau) serta sengaja merusak kesehatan orang lain (orang sedang tidur karena kelelahan kemudian jendela kamarnya dibuka sehingga menyebabkan orang tersebut masuk angin)28
Pasal 354 KUHP berbunyi
1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian. yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.29
Hoge Raad berpendapat sebagai berikut: “untuk membuktikan seseorang telah melakukan suatu percobaan penganiayaan berat, maka
27 P.A.F. lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986 hlm. 131-132.
28 Ismu Gunadi dan Jonaedi Effendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Cet. I, PT. Fajar Interpratama Mandiri, Jakarta, 2014, hlm. 97.
29 Lihat pasal 354 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
25 orang tersebut harus memiliki niat untuk melakukan atau membuat luka berat terhadap tubuh orang lain. Dari niat tersebut harus terealisasikan / diwujudkan pada suatu rentetan tindakan dari perencanaan tindakan sehingga mendatangkan suatu tindakan yang mengakibatkan luka berat”30
Van Bemmelen menyatakan jika hukum pidana pada masa sekarang ini sangat memerlukan suatu bentuk pencegahan terhadap tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) karena hal tersebut hal yang penting dalam penerapan hukum pidana dikarenakan tindakan tersebut banyak dilakukan untuk melakukan “pembalasan”untuk memenuhi keinginan massa (tegemoetkoming aan dc vergeldingsbehoefte).31
C. Teori Penyebab Kejahatan
Kejahatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan suatu perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis.32 Sue Titus Reid mengejawantahkan bahwa Kejahatan ialah perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja / kealpaan yang dilakukan oleh seorang dimana perbuatannya bertentangan dengan hukum tertulis / putusan hakim sehingga orang tersebut diancam
30 P.A.F. lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 173.
31 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, P.T. Alumni, Bandung, 2010, hlm. 15
32 Lihat pengertian Kejahatan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
26 dengan sanksi oleh Negara. Adapun ciri-ciri kejahatan menurut Sue Titus Reid antara lain:33
1. Kejahatan dilakukan secara sengaja
Kejahatan bisa ditindaklanjuti ketika ia melakukan tindakan kejahatan atau kealpaan dalam bertindak sehingga kejahatan tidak dapat ditindaklanjuti selama pelaku belum bertindak.
Jadi tolak ukur kesengajaan dapat diukur melalui tindakan pelaku dalam melakukan kejahatan.
2. Kejahatan yang dilakukan merupakan pelanggaran hukum pidana
3. Kejahatan yang dilakukan tidak memiliki pembenaran / pembelaan yang diakui oleh hukum positif
4. Kejahatan yang dilakukan tersebut dikenakan sanksi kejahatan.
Pada dasarnya kejahatan dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud ialah tindakan yang bersumber dari diri individu itu sendiri seperti keadaan psikologis sedangkan faktor eksternal ialah tindakan yang mempengaruhi individu seperti lingkungan pertemanan.34 Penyebab suatu perbuatan kejahatan tersebut ada karena adanya interaksi antara faktor yang ada dalam diri
33 M.Ali Zaidan, “Kebijakan Kriminal”, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, 11-12
34 Made Darma Weda, Kriminologi, rajawali Press, Jakarta, 1996, hal 12
27 seseorang dengan faktor yang ada di luar dirinya. Untuk mengetahui faktor pendorong atau penyebab seseorang melakukan kejahatan, ditinjau dari hal- hal yang terdapat dalam kriminologi.35
Seseorang yang memiliki tekanan mental (block mental) dan selalu berada dibawah tekanan ia akan memiliki kecenderungan melakukan hal yang menyimpang jika ia tidak memiliki kemampuan intelegensi yang bagus dan sebaliknya jika ia memiliki kemampuan intelegensi yang bagus maka ia akan mengerahkan tenaganya untuk kegiatan-kegiatan positif.
Faktor lain yang mempengaruhi kondisi internal individu ialah rendahnya pendidikan. Seseorang yang memiliki pendidikan rendah maka ia cenderung kurang memiliki wawasan, sehingga ia menghalalkan berbagai cara untuk memuaskan dirinya.
Sedangkan faktor yang bersumber dari eksternal / luar individu terdapat teori-teori yang menyatakan bahwa kejahatan dipengaruhi oleh faktor lingkungan manusia. Teori tersebut dibawakan oleh A. Lacassagne, G. Tarde, F. Turatti, N.N. Colajani, Von Myr, Bonger dan Sutherland yang memiliki semboyan “Die welt ist shuld an mir als ich” (Dunia lebih bertanggung jawab atas jadinya saya daripada saya sendiri). Teori ini berpendapat bahwa seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan apabila:
35 Sulstyanta dan Maya Hehanusa, Kriminologi dalam Teori dan Solusi Penanganan Kejahatan, Absolute Media, Yogyakarta, 2016, hal. 5.
28 1. Lingkungan yang memberi kesempatan akan timbulnya
kejahatan
2. lingkungan pergaulan yang memberi contoh atau tauladan 3. lingkungan ekonomi (kemiskinan, kesengsaraan)
4. lingkungan pergaulan yang berbeda-beda (differential association)36
Seiring dengan perkembangan zaman maka kejahatan juga terus meningkat sehingga banyak pula factor-faktor yang muncul sebagai penyebab dari kejahatan. Dalam kriminologi terdapat 3 (tiga) teori yang mengulas mengenai penyebab terjadinya kejahatan, yaitu:
1) Criminal Biology
Teori ini mencari penyebab kejahatan melalui keadaan fisik.
Cesare Lombroso seorang tokoh (dokter ahli kedokteran kehakiman) yang memiliki pengaruh dan sekaligus menjadi tokoh yang penting dalam mencari sebab-sebab terjadinya kejahatan melalui ciri fisik penjahat membagi penjahat dalam 4 kategori yaitu:
1. Born Criminal (seseorang terlahir sebagai penjahat dikarenakan doktrin dari atasan)
2. Insane Criminal (seseorang menjadi penjahat dikarenakan adanya perubhan-perubahan fungsi otak
36 Made Darma Weda, Kriminologi, rajawali Press, Jakarta, 1996, hal 29.
29 sehingga tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah)
3. Occasional Criminal / Criminaloid (seseorang menjadi penjahat dikarenakan adanya pengalaman yang dilakukan secara terus menerus sehingga pengalaman tersebut membentuk dirinya untuk melakukan kejahatan)
4. Criminal of Passion (seseorang melakukan kejahatan dikarenakan adanya hal yang mengganggu dirinya seperti rasa marah, kecewa, cinta atau melecehkan kehormatannya sebagai manusia).37
2) Criminal Psikologi
Teori ini menjelaskan bahwa terjadinya suatu kejahatan dikarenakan adanya faktor psikologis. Kinberg dalam penjelasannya ia membedakan kejahatan criminal-psikologi antara lain:
1. Objektif
Menitikberatkan kepada tingkat kecerdasan, kepribadian individu.
2. Subjektif
37 A.S. Alam dan Amir Ilyas, Kriminologi Suatu Pengantar, Kencana, Jakarta,2018, hal. 52.
30 Menitikberatkan kepada pengalaman individu, proses individu dalam melakukan kejahatan, kondisi psikologis individu hingga reaksi individu tersebut dalam melakukan kejahatan.
3. Sosial
Mempelajari dampak faktor sosial psikologis seseorang semasa hidupnya sehingga hal tersebut membawa individu tersebut menjadi pribadi yang sekarang.38
3) Criminal Sociology
Teori ini mencari tentang sebab terjadinya kejahatan dari faktor sosiologi kultural. Menurut I.S. Susanto teori kejahatan jika dibahas melalui aspek sosiologis sebagai berikut:
1. Teori yang berorientasi pada Kelas Sosial
Mencari kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial serta konflik antar kelas yang ada. Maka faktor ekonomi menjadi hal yang fundamental dalam menjalani hidup sehingga jika ada individu yang kurang dalam
38 Ibid, hal. 119.
31 memenuhi kebutuhannya ia akan cenderung melakukan kejahatan.
2. Teori yang tidak berorientasi pada Kelas Sosial a. Factor ekonomi
Pada dasarnya setiap individu memerlukan ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
Kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya merupakan hal yang fundamental dalam menjalani kehidupan sehingga jika individu tersebut kekurangan dalam memenuhi kebutuhannya maka ia akan cenderung untuk melakukan kejahatan.39 b. Social disorganization theory
Fokus pada perkembangan kejahatan yang terjadi pada wilayah individu yang berkaitan dengan disintegrasi / tidak menyatunya nilai- nilai konvensional dikarenakan adanya percepatan dan perkembangan industrial, imigrasi serta urbanisasi.
39 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hal. 61.
32 c. Differential association
Teori ini memfokuskan kepada proses belajar seorang individu. Teori ini menjelaskan bahwa perbuatan kejahatan dilakukan karena individu tersebut telah mempelajari perilaku kejahatan karena pada dasarnya perilaku kejahatan dapat dipelajari.40
Kejahatan dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh sosiolog Inggris yaitu Steven Box menjelaskan bahwa kejahatan di Inggris dilakukan oleh orang yang memiliki ciri seperti miskin, pengangguran atau orang yang frustasi. Dalam kriminologi juga dijelaskan bahwa keadaan seperti tersebut sangat penting untuk diperhatikan karena hal-hal tersebut terlebih lagi kemiskinan merupakan bentuk kekerasan struktural yang mempunyai banyak korban.
Di Indonesia salah satu yang mendorong angka kejahatan terus meningkat ialah krisis ekonomi, ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan ekonomi.41
40 I.S. Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal. 93
41 Anang Priyanto, Kriminologi, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012, hlm 19
33 D. Teori Penanggulangan kejahatan
Kejahatan secara bahasa berarti perbuatan atau tindakan yang jahat yang dilakukan oleh manusia seperti pembunuhan, pencurian, penipuan dan lain-lain.42 Tindakan main hakim sendiri (Eigenrichting) merupakan sebuah tindakan yang bisa dikategorikan sebagai sebuah kejahatan / tindakan kriminal yang memerlukan upaya penanggulangan.
Tindakan kriminal merupakan gejala patologik.43 Patologik berasal dari kata patologi yang diambil dari istilah cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit dengan melakukan analisa perubahan fungsi dan keadaan tubuh.44 Oleh karena itu, tindakan kriminal harus ditangani secara serius guna menekan angka kriminalitas yang terjadi di masyarakat yang diakibatkan oleh gejala-gejala sosial budaya guna membentuk/menciptakan pembangunan sosial yang lebih baik.
Sudarto mendefinisikan kebijakan kriminal sebagai suatu usaha atau upaya rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan atau bisa dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.45 Namun G. Peter Hoefnagels
42 Soedjono, Penanggulangan Kejahatan (crime prevention), Bandung, Penerbit Alumni, 1983, hlm.16
43 N. Djaelani, Pathologi Sosial; Suatu Tujuan Sosiologis, Laporan Seminar Kriminologi III, FH Undip, Semarang, 1977, hlm. 84
44 Departemen Pendidikan, Pusat Bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, 2008, hlm. 1031.
45 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 1.
34 mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”.46 Criminal Policy yang dipergunakan oleh Hoefnagels memiliki arti “kebijakan pidana adalah organisasi rasional akan reaksi sosial terhadap kejahatan” jika kita kaji lebih mendalam definisi tersebut memiliki maksud sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan.
Penanggulangan kejahatan termasuk dalam ranah kebijakan criminal (criminal policy) yang mana kebijakan tersebut tidak akan terlepas dari kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial memuat tentang kebijakan / upaya-upaya penanggulangan kejahatan guna melindungi masyarakat (social defence policy) serta untuk mencapai kesejahteraan sosial (social welfare social).
Upaya penanggulangan pada hakikatnya merupakan bentuk integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) untuk mencapai kesejahteraan sosial (social welfare). Oleh karena itu tindakan pencegahan kriminal sangat perlu dilakukan mengingat tujuan dari upaya tersebut diperuntukkan demi kesejahteraan masyarakat. Penanggulangan kejahatan merupakan segala kegiatan proaktif dan reaktif yang diarahkan untuk menindaklanjuti pelaku, korban serta pada lingkungan sosial.47
46 Ibid, hlm.2
47 Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, “Perpolisian Masyarakat”, Jakarta, 2005, hlm 2
35 Menurut Barda Nawawi Arief dalam melakukan upaya penanggulangan kejahatan bisa ditempuh dengan:
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).48
Sehingga dari 3 (tiga) upaya penanggulangan kejahatan menurut Barda Nawawi Arief tersebut maka secara garis besar hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan membagi menjadi 2 (dua) pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan penal (Penal Law Enforcement Policy)
Penanggulangan kejahatan menurut pendekatan penal ialah dalam melakukan penerapan hukum pidana menggunakan prosedur penanganan sesuai dengan prosedur hukum.
Pendekatan penal ini lebih menitikberatkan sifat represif dimana pendekatan ini dilakukan setelah terjadinya kejahatan.
2. Pendekatan non-penal
Penanggulangan non penal yang dimaksud ialah upaya penanggulangan lebih menitikberatkan dalam bentuk pembinaan seperti melakukan pencegahan, pengendalian, penangkalan
48 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Fajar Interpratama, Semarang, 2011, hal. 45.
36 sebelum terjadinya kejahatan. Berbeda dengan pendekatan penal yang menitikberatkan pada pemberantasan dan penumpasan setelah terjadinya kejahatan, pendekatan non-penal lebih bersifat preventif. Usaha non penal dapat dilakukan dengan usaha seperti:
1) Penyantunan dan pendidikan sosial guna meningkatkan rasa tanggung jawab sosial masyarakat.
2) Edukasi kesehatan mental/jiwa seperti pendidikan moral dan pendidikan agama.
Adapun tujuan utama dari usaha-usaha non penal ialah untuk memperbaiki kondisi sosial tertentu dan secara tidak langsung usaha nonpenal ini dapat mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.49
3. Pendekatan integrated (terpadu)
Pendekatan ini merupakan gabungan dari 2 (pendekatan) yang telah disebutkan diatas. Pendekatan integrated atau terpadu merupakan pendekatan yang rasional dikarenakan ia melihat berbagai faktor perkembangan jiwa/psikologi, faktor lingkungan /sosiologis yang membentuk dirinya. Pendekatan integrated ini
49 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 77.
37 memiliki kesesuaian dengan asas legalitas, kemanfaatan atau utilitas.50
Selain itu dalam melakukan penegakan hukum harus membahas pelbagai hal secara komprehensif dalam suatu sistem hukum. Lawrence M.
Friedman menuturkan bahwasannya sistem hukum memiliki cakupan yang sangat luas. Hukum sering dikerucutkan pada aturan dan peraturan sedangkan dalam pembahasan sistem hukum antara aturan dan peraturan itu dibedakan serta membahas pula mengenai struktur, lembaga dan proses yang mengisinya. Singkatnya, dalam melakukan penegakan hukum terdapat 3 (tiga) unsur yang harus dibahas, yakni:
1. Stuktur hukum (Legal Structure) 2. Substansi hukum (Legal Substance) 3. Budaya hukum (Legal Culture)
Ketiga unsur sistem hukum ini mempunyai hubungan dan peranan yang tidak dapat dipisahkan karena 3 (tiga) unsur tersebut saling menggerakan satu sama lain sehingga dapat berjalan dengan lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu. Substansi hukum dapat diibaratkan sebagai sesuatu yang dihasilkan oleh mesin tersebut.
Sedangkan budaya hukum dapat diibaratkan sebagai orang/masyarakat yang memutuskan untuk menghidupkan, mematikan maupun membatasi kinerja mesin tersebut. Jadi apabila salah satu dari ketiga unsur sistem hukum di
50 Jacob Hattu, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Anak, Jurnal Sasi Vol 20. No 2. Bulan Juli - Desember 2014, hlm 2-3
38 atas ini tidak berfungsi maka akan menyebabkan subsistem lainnya terganggu.51
Menurut Hoefnagels kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment (mass media)).52
51 Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011.
52 ibid