• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN STIGMA TERHADAP HANSEN S DISEASE PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN STIGMA TERHADAP HANSEN S DISEASE PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SKRIPSI"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN STIGMA TERHADAP HANSEN’S DISEASE PADA

MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh :

ANGELINE RUFINA 150100104

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN STIGMA TERHADAP HANSEN’S DISEASE PADA

MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

ANGELINE RUFINA 150100104

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

i

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian :Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Stigma terhadap Hansen’s Disease pada Mahasiswa FK USU

Nama Mahasiswa :Angeline Rufina Nomor Induk :150100104

Program Studi :Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Laporan Penelitian ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada ujian Seminar Hasil Penelitian

Medan, 10 Desember 2018 Menyetujui,

Pembimbing

dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK, M.Ked(KK), FINSDV NIP. 19721004 200501 2 001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat untuk mencapai kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan.

Penelitian yang dilaksankan ini berjudul “Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Stigma terhadap Hansen’s Disease pada Mahasiswa FK USU”.

Penulis menyadari bahwa sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu dr. Ramona Dumasari Lubis, Sp.KK, M.Ked(KK), FINSDV, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan banyak arahan dan masukan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Ibu dr. Haflin Soraya Hutagalung, M.Ked(Neu), Sp.S, selaku Ketua Penguji yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Bapak dr. Husnul Fuad Albar, Sp.OT, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Ibu dr. Beby Syofiani Hasibuan, M.Ked(Ped), Sp.A, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing selama menempuh pendidikan.

(5)

iii

7. Seluruh pihak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis saat melalukan penelitian.

8. Orang tua dan saudari penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dan pendidikan.

9. Senior-senior penulis yaitu Winnie Carey, S.Ked dan Willy Sunjaya, S.Ked, serta teman-teman penulis dari De Po dan KAM Bersatu yang telah membantu dan memberikan dukungan selama pembuatan skripsi ini.

10. Semua pihak yang telah membantu baik dalam bentuk moril maupun materil yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis.

Penulis memahami sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi yang disampaikan maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, segala saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangatlah diharapkan guna menyempurnakan hasil penelitian skripsi ini.

Medan, 10 Desember 2018

Angeline Rufina 150100104

(6)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi... iv

Daftar Tabel ... vi

Daftar Gambar ... vii

Daftar Singkatan... viii

Abstrak ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1. Bagi Pendidikan ... 4

1.4.2. Bagi Mahasiswa ... 4

1.4.3. Bagi Peneliti ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Hansen’s Disease ... 5

2.1.1. Definisi dan Etiologi ... 5

2.1.2. Epidemiologi ... 6

2.1.3. Faktor Risiko ... 6

2.1.4. Patogenesis ... 6

2.1.5. Manifestasi Klinis dan Klasifikasi ... 7

2.1.6. Diagnosis ... 10

2.1.7. Komplikasi ... 11

2.1.8. Penatalaksanaan ... 11

Pengetahuan Hansen’s Disease ... 12

Stigma ... 13

Kerangka Teori ... 14

Kerangka Konsep ... 14

Hipotesis ... 14

BAB III METODE PENELITIAN ... 15

Rancangan Penelitian ... 15

Lokasi Penelitian ... 15

Populasi dan Sampel Penelitian ... 15

3.3.1. Populasi ... 15

3.3.2. Sampel ... 15

3.3.3. Besar Sampel ... 16

3.3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 16

Metode Pengumpulan Data ... 17

3.4.1. Jenis Data ... 17

3.4.2. Cara Pengumpulan Data ... 17

(7)

v

3.4.3. Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 17

Definisi Operasional ... 18

3.5.1. Pengetahuan Hansen’s Disease... 18

3.5.2. Stigma Hansen’s Disease ... 19

Metode Analisis Data ... 19

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 20

Hasil Penelitian ... 20

4.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 20

4.1.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 20

4.1.3. Analisis Data ... 23

Pembahasan ... 25

4.2.1. Tingkat pengetahuan ... 25

4.2.2. Stigma ... 26

4.2.3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Stigma... 27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

Kesimpulan ... 29

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 33

LAMPIRAN ... 34

(8)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1. Zona spektrum Hansen’s disease menurut berbagai macam klasifikasi ... 8

2.2. Pengobatan 6 bulan untuk Hansen’s disease tipe pausibasilar ... 12

2.3. Pengobatan 12 bulan untuk Hansen’s disease tipe multibasilar ... 12

2.4. Pengobatan Single Lesion Paucibacillary (SLPB) pada Hansen’s disease .... 12

3.1. Hasil uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner tingkat pengetahuan ... 17

4.1. Distribusi jenis kelamin ... 20

4.2. Distribusi tingkat semester responden ... 21

4.3. Distribusi nilai tingkat pengetahuan responden ... 21

4.4. Distribusi nilai tingkat stigma responden ... 21

4.5. Nilai rata-rata tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin responden ... 22

4.6. Nilai rata-rata tingkat pengetahuan berdasarkan tingkat semester responden 22 4.7. Nilai rata-rata berdasarkan jenis kelamin responden ... 23

4.8. Nilai rata-rata berdasarkan tingkat semester responden ... 23

4.9. Hasil uji normalitas data parametrik ... 24

4.10. Hasil uji normalitas pada data yang sudah ditransformasi ... 24

4.11. Kategori data tingkat pengetahuan ... 24

4.12. Distribusi tingkat pengetahuan responden ... 25

4.13. Hasil uji korelasi Spearman ... 25

(9)

vii

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Kerangka teori penelitian ... 14 2.2. Kerangka konsep penelitian ... 14

(10)

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome

BB : Mid Borderline

BT : Borderline Tuberkuloid BL : Borderline Lepromatossa

CDC : Centers for Disease Control and Prevention CMI : Cell-Mediated Immunity

DMS : Dermatology and Musculoskeletal System ENL : Erythema Nodosum Leprosum

FK USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara HIV : Human Immunodeficiency Virus

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia LAM : Lymphangioleiomyomatosis LL : Lepromatosa Polar

MB : Multibasilar PB : Pausibasilar

PGL-1 : Phenolic Glycolipid – 1

SARI : Stigma Assessment and Reduction of Impact SKDI : Standar Kompetensi Dokter Indonesia SLPB : Single Lesion Paucibacillary

SPSS : Statistic Package for Social Science SQRT : Square Root

TT : Tuberkuloid Polar

WHO : World Health Organization

(11)

ix

ABSTRAK

Latar Belakang. Jumlah kasus Hansen’s disease telah menurun di sebagian besar negara, tetapi tidak pada negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini disebabkan stigma masyarakat yang tergolong masih tinggi. Disamping itu, pengetahuan tentang Hansen’s disease tergolong masih kurang. Pengetahuan yang kurang merupakan salah satu faktor penyebab tingginya stigma. Pada mahasiswa kedokteran juga masih ada faktor kelupaan tentang penyakit tersebut. Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma terhadap pasien Hansen’s disease pada mahasiswa FK USU. Metode. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain potong lintang. Data penelitian berasal dari data yang diberikan oleh pihak universitas dan data yang diperoleh langsung dari mahasiswa, meliputi 80 mahasiswa tahun ajaran 2018/2019 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk menilai tingkat pengetahuan dan stigma Hansen’s disease. Hasil. Nilai rata-rata tingkat pengetahuan mahasiswa semester 1, 3, 5, dan 7 secara berturut sebesar 3,15; 5,05; 8,70; dan 6,18. Nilai rata- rata tingkat stigma mahasiswa semester 1, 3, 5, dan 7 secara berturut sebesar 14,80; 13,80; 13,45;

dan 16,40. Analisis korelatif menunjukan hubungan negatif lemah (r = -0,067) antara tingkat pengetahuan dengan stigma. Kesimpulan Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma terhadap Hansen’s disease pada mahasiswa FK USU sangat rendah.

Kata kunci : Hansen’s disease, kusta, tingkat pengetahuan, stigma, mahasiswa FK USU

(12)

ABSTRACT

Background.The cases of Hansen's disease have declined in most of countries, but not in Southeast Asian countries. This is due to people's stigma still high. Beside that, the knowledge about Hansen's disease is classified still insufficient. Lack of knowledge is one of the factors that contribute to high stigma. In addition, there are also forgetting factor about Hansen’s disease in medical student. Objective.To analyze the relationship between knowledge and stigma toward Hansen's disease among FK USU students. Methods.This was an analytic study with cross- sectional design. The datas were given by university and directly taken from medical students which comprised of 80 medical students in 2018/2019 year that met the inclusion and exclusion criteria. Study was done using questionnaires to assess knowledge level and stigma. Results.The mean of knowledge, students in semesters 1, 3, 5, and 7 succesively is 3.15; 5.05; 8.70; and 6.18.

The mean of stigma, students in semesters 1, 3, 5, and 7 succesively is 14.80; 13.80; 13.45; and 16.40. Correlation analysis showed weak negative correlation (r = -0.067) between knowledge's level and stigma. Conclusion.The relationship between knowledge and stigma towards Hansen’s disease among FK USU students is low.

Key Words: Hansen’s disease, leprosy, knowledge, stigma, medical student

(13)

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Dalam beberapa tahun terakhir ini, jumlah kasus Hansen’s disease atau yang lebih sering dikenal dengan penyakit kusta, telah menurun di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Hal ini dapat dilihat dari penurunan tingkat prevalensi dari >5 juta kasus pada pertengahan 1980-an hingga <200.000 kasus pada akhir tahun 2016 dan pengurangan prevalensi menjadi <1 kasus per 10.000 penduduk di tingkat global pada tahun 2000 (WHO, 2017).

Menurut WHO, penurunan kasus baru Hansen’s disease juga terjadi di kawasan Asia Tenggara, dari 171.576 kasus baru pada tahun 2007 menjadi 161.263 pada tahun 2016. Di Indonesia juga terjadi penurunan kasus baru dari 17.723 pada tahun 2007 menjadi 16.826 pada tahun 2016 (WHO, 2017).

Di Sumatera Utara, prevalensi kasus Hansen’s disease pada tahun 2016 tinggal 0,15 per 10.000 penduduk, dengan 14 kasus tipe pausibasiler dan 196 kasus tipe multibasiler (Kementrian Kesehatan Indonesia, 2016). Meskipun terjadi penurunan kasus baru, tetapi penurunan tersebut masih tergolong relatif stabil (WHO, 2017).

Menurut Sermrittirong dan Wim H, kasus yang masih relatif stabil disebabkan oleh stigma yang masih tinggi. Stigma merupakan hambatan untuk penemuan kasus dan efektivitas pengobatan Hansen’s disease (Sermrittirong dan Wim H, 2014). Penelitian di Thailand menyimpulkan masih tingginya stigma terlihat dari penolakan untuk membeli makanan dari orang yang menderita Hansen’s disease dan kesulitan yang dirasakan penderita Hansen’s disease dalam mencari pekerjaan (Kaehler et al., 2015).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lesmana, penerimaan sosial pada mantan penderita Hansen’s disease di Desa Sidomukti tergolong rendah. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat memiliki pemahaman yang salah tentang Hansen’s disease, sehingga berdampak terhadap penerimaan sosial pada mantan

(14)

penderita Hansen’s disease. Masyarakat menganggap bahwa mantan penderita Hansen’s disease masih mengidap penyakit tersebut, anggapan ini didasarkan atas pemahaman sebagian besar masyarakat yang mengatakan bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan (Lesmana, 2014).

Disamping itu, pengetahuan tentang Hansen’s disease masih kurang. Menurut penelitian yang dilakukan di Nigeria (Uche, 2015), diamati bahwa pengetahuan tentang penyebab, tanda awal dan gejala, tempat pengobatan, dan cara pengobatan masih cukup rendah. Hanya 19,5% dari responden yang menganggap obat sebagai strategi manajemen terbaik untuk pengobatan Hansen’s disease. Sedangkan 80,5% lainnya menganggap pembersihan ritual, obat tradisional dan rumah doa sebagai pilihan untuk pengobatan.

Penelitian di Indonesia, Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Utara, menemukan tingkat pengetahuan masyarakat tentang Hansen’s disease sebagian besar masih rendah yang diindikasikan dengan ketidaktahuan masyarakat tentang penyebab, gejala, penularan, dan pengobatan Hansen’s disease (Sulidah, 2016).

Hasil penelitian di Desa Sidomukti mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara derajat pengetahuan tentang Hansen’s disease terhadap penerimaan sosial atau stigma pada mantan penderita penyakit Hansen’s disease dengan angka koefisien korelasi sebesar 0,697 pada taraf kepercayaan 99%. Hubungan di antara kedua variabel tersebut dikatakan kuat dan memiliki arah hubungan yang positif, artinya semakin tinggi derajat pengetahuan masyarakat tentang Hansen’s disease, maka semakin tinggi pula penerimaan sosial pada mantan penderita Hansen’s disease (Lesmana, 2014).

Penelitian lain juga mengatakan bahwa kurangnya pengetahuan dan persepsi yang salah tentang Hansen’s disease adalah faktor signifikan yang berkontribusi pada tingginya stigma (Adhikari et al., 2014).

Tetapi menurut penelitian yang dilakukan oleh Caroline (Caroline et al., 2011), pengetahuan memiliki korelasi yang lemah dengan stigma terhadap pasien Hansen’s disease. Memiliki pengetahuan yang memadai tidak selalu mengarah pada sikap yang baik terhadap pasien Hansen’s disease. Peneliti mengemukakan stigma memiliki kaitan yang erat dengan manifestasi yang terlihat.

(15)

3

Penelitian juga dilakukan pada mahasiswa kedokteran di Saint James School of Medicine, Bonaire, Dutch Caribbean. Pada penelitian tersebut, tingkat pengetahuan mengenai Hansen’s disease pada mahasiswa semester satu, dua, dan tiga lebih tinggi daripada mahasiswa semester empat. Hal ini diperkirakan karena faktor kelupaan terhadap apa yang telah mereka pelajari tentang penyakit tersebut di semester tiga (Multinovic et al., 2015).

Sedangkan penelitian pada mahasiswa fakultas kedokteran di Sumatera Utara belum pernah dilakukan. Peneliti bermaksud melakukan penelitian pada mahasiswa fakutas kedokteran karena mahasiswa fakultas kedokteran merupakan calon dokter yang nantinya akan mengahadapi berbagai pasien termasuk pasien Hansen’s disease. Hansen’s disease dalam SKDI termasuk dalam kompetensi 4A, sebagaimana lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik serta melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Dan juga kompetensi sudah harus dicapai pada saat lulus dokter (SKDI, 2012).

Oleh karena berbagai latar belakang masalah yang telah diungkap diatas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma terhadap Hansen’s disease pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut; “Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma terhadap Hansen’s disease pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara?”

TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. TUJUAN UMUM

Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma terhadap Hansen’s disease pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(16)

1.3.2. TUJUAN KHUSUS

Yang menjadi tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut, antara lain:

1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tentang Hansen’s disease.

2. Untuk mengetahui stigma mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Utara terhadap Hansen’s disease.

MANFAAT PENELITIAN 1.4.1. BAGI PENDIDIKAN

1. Sebagai masukan untuk bahan ajar atau ilmu pengetahuan.

2. Memberikan informasi kepada pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara mengenai hasil pengajaran pengetahuan dan stigma Hansen’s disease.

1.4.2. BAGI MAHASISWA

1. Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan dan stigma terhadap Hansen’s disease di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan mahasiswa tentang Hansen’s disease.

1.4.3. BAGI PENELITI

1. Sebagai proses pembelajaran dalam melakukan penelitian.

2. Dapat memberikan informasi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

HANSEN’S DISEASE

2.1.1. DEFINISI DAN ETIOLOGI

Hansen’s disease atau yang lebih sering dikenal sebagai kusta atau lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Pada Hansen’s disease, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Wisnu et al., 2015).

Mycobacterium leprae merupakan bakteri basil tahan asam khas-tunggal, dengan ukuran 3-8 x 0,5 mikro, ikatan pararel, atau dalam massa globular biasa ditemukan pada kerokan kulit atau membran mukosa (terutama septum nasi) pada Hansen’s disease tipe lepromatosa. Basil tersebut sering ditemukan di dalam sel endotel pembuluh darah atau di dalam sel mononuklear. Pada saat basil dari lepra manusia (dari kerokan jaringan hidung) diinokulasikan ke telapak kaki tikus, muncul lesi granulomatosa lokal dengan pembelahan hasil yang terbatas.

Mycobacterium leprae dari armadillo atau jaringan manusia mengandung o- diphenoloxidase yang unik, mungkin adalah suatu enzim khas basil lepra (Brooks et al., 2010).

M. leprae merupakan salah satu dari beberapa spesies bakteri yang masih belum dapat dikultur pada media bakteriologis tidak hidup. M. leprae tumbuh paling baik di jaringan yang lebih dingin (kulit, saraf perifer, bilik anterior mata, saluran pernapasan bagian atas, dan testis), dan menyisakan area kulit yang lebih hangat (aksila, selangkangan, kulit kepala, dan garis tengah punggung) (Fauci et al., 2008).

(18)

2.1.2. EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 2010, sebanyak 228.474 kasus baru Hansen’s disease dilaporkan ke WHO, dari 130 negara; sebagian besar terjadi di Asia Selatan dan Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika. Negara yang melaporkan paling banyak kasus baru adalah: India, Brasil, Indonesia, Republik Demokratik Kongo, Etiopia dan Nigeria.

Tingkat kejadian yang tercatat berdasarkan kasus yang dirawat telah menurun tajam sejak 1985, dengan lebih dari 14 juta orang telah sembuh dari Hansen’s disease. Meskipun demikian, kecacatan yang disebabkan kerusakan saraf penyakit ini masih terus berlanjut. Diperkirakan 3 juta orang hidup dengan kecacatan dan stigma yang terkait (Walker et al., 2014).

2.1.3. FAKTOR RISIKO

Umumnya, risiko terkena Hansen’s disease pada orang dewasa di seluruh dunia sangat rendah. Hal ini dikarenakan lebih dari 95% orang memiliki kekebalan alami terhadap penyakit tersebut. Faktor risiko yang umum yaitu jika berada dalam kontak dekat dalam waktu yang lama dengan penderita Hansen’s disease yang belum terobati. Hal tersebut dikarenakan bakteri penyebab Hansen’s disease dapat menyebar. Namun bila pasien sudah memulai pengobatan, mereka tidak mampu lagi menyebarkan penyakit (CDC, 2017).

Pada penelitian Oktaria di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, menunjukan bahwa orang-orang yang berisiko terkena Hansen’s disease memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang kurang stabil untuk menyediakan beragam jenis makanan, dan memiliki gejala anemia. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa defisiensi makanan merupakan faktor risiko penting, namun mekanisme yang mendasari hubungan antara diet dan Hansen’s disease selain defisiensi gizi masih perlu diidentifikasi (Oktaria, 2018).

2.1.4. PATOGENESIS

M. leprae adalah parasit intraseluler obligat yang harus berkembang biak dalam sel inang untuk bertahan. Pada manusia, sel yang lebih disukai oleh bakteri

(19)

7

ini adalah makrofag dan sel Schwann. Bakteri ini memiliki PGL-1 dan LAM yang berperan dalam bertahan hidup dan berkembang biak. Organisme ini dapat menyerang saraf sensorik perifer. Hanya sedikit M. leprae yang terlihat di lesi tuberkuloid, lesi ini memiliki gambaran granulomatosa dengan sel epiteloid yang luas, sel raksasa, dan infiltrasi limfositik. Pada lepra multibasiler lepromatosa, saat pertumbuhan M.leprae, kadar CMI rendah, sehingga pertumbuhan organisme ini relatif tidak ada hambatan. Secara histologis, lesi ini menunjukkan infiltrasi padat basil lepra, dan pada jumlah yang besar, organisme ini dapat mencapai aliran darah (Plorde, 2004).

Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman yang lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.

Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggungah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh, yang dapat sembuh sendiri atau progresif.

Gejala klinis Hansen’s disease lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Oleh karena itu Hansen’s disease dapat disebut sebagai penyakit imunologik (Wisnu, 2015).

2.1.5. MANIFESTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI

Hansen’s disease paling sering melibatkan manifestasi klinis di kulit dan saraf perifer yang ditentukan oleh polaritas penyakit: paucibacillary (tuberculoid) atau multibacillary (lepromatous). Awitan Hansen’s disease biasanya tersembunyi, tergantung pada bentuknya, kemungkinan keluhan awal merupakan mati rasa.

Lesi kulit dapat terlihat setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian.

Klasifikasi Hansen’s disease sebagai tuberculoid atau lepromatous dibedakan berdasarkan salah satu pemeriksaan klinis, yaitu bentuk dan batas lesi, jumlah bakteri yang terlihat pada noda kulit atau spesimen biopsi kulit, dan tampilan histologis. Karena sifat dari potensi untuk berkomplikasi dan kemoterapi spesifik ditentukan oleh bentuk kusta, diagnosis dan klasifikasi yang akurat merupakan hal yang sangat penting (Ernst, 2007).

(20)

Tabel 2.1 Zona spektrum Hansen’s disease menurut macam klasifikasi.

Klasifikasi Zona spektrum Hansen’s disease

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

Sumber : Wisnu, I. M., Sjamsoe-Daili, E. S., & Menaldi, S. L. (2015). Kusta. In FKUI, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (p. 87). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Manifestasi klinis dari Hansen’s disease berdasarkan klasifikasinya adalah sebagai berikut (Fischer, 2017):

1. Tuberkuloid (TT) atau Paucibacillary Leprosy (PB)

Tipe tuberkuloid mucul ketika imunitas dari pejamu dalam keadaan baik, lesi dari tipe ini ditandai dengan plak eritematosa yang berbatas tegas atau paucibacillary. Penurunan fungsi dari sensitivitas termal, sentuhan dan nyeri mungkin sudah terjadi.

2. Lepromatosa atau Multibacillary Leprosy (LL)

Tipe Lepromatosa sering terjadi pada individu dengan gangguan imunitas. Gambaran klinis ditandai dengan beberapa infiltrat nodular merah kecoklatan (lepromas). Situs predileksi lesi ini terletak pada wajah dan aurik. Distribusi sentrofasial simetris dari lesi yang seperti bantal disebut sebagai "fasies leonine". Massa bakteri yang terdeteksi dalam tubuh manusia diperkirakan mencapai beberapa kilogram.

3. Intermediate stage: borderline leprosy or dimorphic leprosy a. Borderline Tuberculoid (BT)

Dibandingkan dengan tipe tuberkuloid, lesi kulit tipe ini lebih banyak. Lesi berupa infiltrat eritematosa, batas tegas, asimetris, dan kadang-kadang terbentuk lesi satelit. Secara histologis, bentuk ini juga ditandai dengan infiltrat granulomatosa yang dapat meluas sampai ke subkutis. Pada Hansen’s disease tipe borderline tuberkuloid, keterlibatan saraf masih tampak kurang jelas, hanya sedikit mycobacteria yang dapat dideteksi.

b. Borderline Borderline (BB)

(21)

9

Pada bentuk ini, terdapat peningkatan jumlah lesi. Lesi terdistribusi hampir simetris dan lesi tersebut menunjukkan gambaran klinis dari tipe tuberkuloid dan lepromatosa. Sebagian besar pertumbuhan rambut dan sekresi keringat tidak terpengaruh.

Pada Hansen’s disease tipe ini, beberapa atau banyak bakteri dapat terdeteksi. Karakteristik granulomatosa pada gambaran histologis semakin berkurang.

c. Borderline Lepromatosa (BL)

Ciri khas pada Hansen’s disease tipe ini ditandai dengan makula yang banyak, lesi dengan batas tidak tegas, hipopigmentasi, nodul, dan infiltrasi plak. Lesi sebagian besar terdistribusi simetris, sedangkan kulit yang tidak berubah masih bisa dikenali.

Pertumbuhan rambut dan sekresi keringat hampir tidak terpengaruh.

Selain itu, pada tipe ini juga terdapat keterlibatan saraf perifer yang luas. Gambaran histologis ditandai dengan tidak adanya granuloma, tetapi ditemukan sel epiteloid dan sel giant.

Reaksi Hansen’s disease

Reaksi Hansen’ disease terdiri dari beberapa keadaan inflamasi yang dimediasi imunologi umum. Reaksi ini dapat dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu ( Fauci et al., 2008):

a. Reaksi Lepra Tipe 1 (Reaksi Penurunan dan Pembalikan)

Reaksi lepra tipe 1 terjadi pada hampir separuh pasien Hansen’s disease tipe borderline tetapi tidak terjadi pada pasien tipe lepromatosa murni. Manifestasinya berupa tanda-tanda klasik peradangan pada makula, papula, plak, kadang-kadang muncul lesi kulit yang baru, neuritis, dan demam pada kasus tertentu.

b. Reaksi Lepra Tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum)

Erythema Nodosum Leprosum (ENL) terjadi hampir 50% pada pasien Hansen’s disease tipe Borderline lepromatosa (BL) dan lepromatosa (LL).

Karakteristik umum dari ENL adalah papula eritematosa yang

(22)

menyakitkan. Lesi ini dapat menghilang secara spontan dalam beberapa hari hingga seminggu, dan dapat kambuh lagi dengan rasa yang tidak nyaman disertai demam. Selain itu, pasien juga dapat mengalami gejala neuritis, limfadenitis, uveitis, orkitis, glomerulonefritis, anemia, leukositosis, dan fungsi hati yang abnormal (terutama peningkatan kadar aminotransferase).

c. Fenomena Lucio

Fenomena Lucio adalah reaksi yang jarang terlihat, tetapi tampak pada pasien tipe lepromatosa yang tidak diobati di Karibia dan Meksiko. Pasien dengan reaksi ini tampak lesi ulseratif yang besar, berbatas tajam, terutama di ekstremitas bawah. Lesi ini sering fatal sebagai akibat dari infeksi sekunder dan sepsis bakteremia. Secara histologis, lesi ditandai oleh nekrosis iskemik pada epidermis dan dermis superfisial.

2.1.6. DIAGNOSIS

Menurut WHO, diagnosis Hansen’s disease paling sering didasarkan pada tanda-tanda dan gejala klinis (WHO, 2018). Di negara atau daerah endemik, seseorang didiagnosis Hansen’s disease jika dia menunjukkan salah satu dari tanda-tanda kardinal berikut:

1. Lesi kulit konsisten, hilangnya fungsi sensorik dengan atau tanpa penebalan saraf.

2. Apusan kulit yang positif.

Apusan dibuat dengan cara kerokan menggunakan pisau bedah pada kulit/

mukosa hidung/ biopsi kulit daun telinga dan diwarnai dengan teknik Ziehl- Neelsen (Brooks et al., 2010).

Beberapa tes serologis telah dikembangkan oleh beberapa peneliti, tetapi tes ini tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup. Oleh karena itu, tes ini tidak digunakan sebagai diagnosis standar (CDC, 2017).

Tes Lepromin

Tes lepromin tidak digunakan sebagai diagnosis utama Hansen’s disease. Tes ini digunakan untuk melihat respon imun pasien. Tes ini dilakukan dengan cara

(23)

11

menginjeksikan secara intradermal 0,1 ml suspensi standar dari M. leprae yang telah dibunuh. Reaksi hipersensitivitas berkembang lebih dari 3–4 minggu dalam bentuk papula violeryous-eritematosa (reaksi Mitsuda). Bentuk reaksi ini menunjukkan adanya respon imun terhadap M. leprae dan biasanya terdapat pada Hansen’s disease bentuk tuberkuloid. Namun reaksi ini tidak terjadi pada tipe borderline dan lepromatosa (Fischer, 2017).

2.1.7. KOMPLIKASI i. Keterlibatan saraf

Keterlibatan saraf pada Hansen’s disease mempengaruhi fungsi sensorik, motorik dan otonom saraf perifer. Bagian yang paling sering terkena yaitu, saraf tibialis posterior, diikuti saraf ulnar, median, lateral popliteal dan saraf wajah.

Efek penyakit pada saraf dapat menyebabkan kecacatan dan kelainan bentuk. Hal ini terjadi melalui gangguan sensasi yang menyebabkan trauma dan infeksi sekunder (termasuk osteomyelitis), sehingga menyebabkan kerusakan jaringan (Walker, 2006).

ii. Keterlibatan okular

Komplikasi okular lebih sering terjadi pada tipe LL daripada tuberkuloid dan terus terlihat pada pasien yang telah diterapi. Uveitis merupakan komplikasi yang paling umum dari Hansen’s disease tipe lepromatosa. Pada tipe ini, kelenjar lakrimal juga dapat terinfeksi. Pada tipe tuberkuloid, perubahan sekunder terlihat pada keterlibatan bagian wajah dan mata dari saraf trigeminal yang menyebabkan lagophthalmos dan hypoesthesia pada kornea. Pada tipe ini juga menyebabkan denervasi kelenjar lakrimal yang dapat menyebabkan mata kering dan keratinisasi konjungtiva (Gupta et al., 2014).

2.1.8. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama program pengendalian Hansen’s disease adalah (1) deteksi dini pasien; (2) pengobatan yang tepat; dan (3) perawatan yang memadai untuk pencegahan kecacatan dan rehabilitasi. Oleh karena Hansen’s disease adalah

(24)

penyakit menular, antibiotik memainkan peran penting dalam penatalaksanaan pasien yang baru terdiagnosis (Ishii, 2003).

Tabel 2.2 Pengobatan 6 bulan untuk Hansen’s disease tipe pausibasilar.

Dapson Rifampisin

Dewasa (50-70 kg) 100 mg per hari 600 mg sebulan sekali Anak-anak (10-14 tahun) 50 mg per hari 450 mg sebulan sekali

Sumber : WHO. (1998). WHO Treatment Guide. WHO Treatment Guide, 28.

Tabel 2.3 Pengobatan 12 bulan untuk Hansen’s disease tipe multibasilar.

Dapson Rifampisin Klofazimin

Dewasa (50-70 kg) 100 mg per hari 600 mg sebulan sekali

50 mg per hari dan 300 mg per bulan

Anak-anak (10-14 tahun)

50 mg per hari 450 mg sebulan sekali

50 mg per hari dan 150 mg per bulan

Sumber : WHO. (1998). WHO TreatmentGuide. WHO Treatment Guide, 28.

Tabel 2.4 Pengobatan Single Lesion Paucibacillary (SLPB) pada Hansen’s disease (satu kali pemberian diberi 3 obat sekaligus).

Rifampisin Ofloksasin Minosiklin

Dewasa (50-70 kg) 600 mg 400 mg 100 mg

Anak-anak (10-14 tahun) 300 mg 200 mg 50 mg

Sumber : WHO. (1998). WHO Treatment Guide. WHO Treatment Guide, 28.

PENGETAHUAN HANSEN’S DISEASE

Pengetahuan tentang Hansen’s disease dapat berupa definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan sebagainya, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Menurut Notoatmodjo (Notoatmodjo, 2005), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara atau angket tentang isi materi yang ingin diukur dari subjekpenelitian atau responden. Cara mengukur tingkat pengetahuan menurut Khomsan (Khomsan, 2000) yaitu dengan memberikan pertanyaan- pertanyaan, kemudian dilakukan penilaian, nilai 1 untuk jawaban benar dan nilai 0

(25)

13

untuk jawaban yang salah. Kemudian hasilnya digolongkan menjadi 3 kategori yaitu; baik, sedang, dan kurang. Dikatakan baik (>80%), cukup (60-80%), dan kurang (<60%) (Diyahwidya, 2005).

STIGMA

Menurut KBBI, Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma merupakan hambatan untuk penemuan kasus dan efektivitas pengobatan Hansen’s disease. Banyak upaya telah dilakukan untuk mengurangi stigma yang melekat pada Hansen’s disease.

Misalnya, layanan Hansen’s disease telah diintegrasikan ke dalam sistem perawatan kesehatan umum untuk mengurangi perbedaan antara orang yang terkena Hansen’s disease dengan mereka yang menderita kondisi kesehatan lainnya (Sermrittirong dan Wim H, 2014).

(26)

KERANGKA TEORI

Gambar 2.1 Kerangka teori penelitian.

KERANGKA KONSEP

Gambar 2.2 Kerangka konsep penelitian.

HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma terhadap Hansen’s disease pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Definisi dan Etiologi Epidemiologi Faktor Risiko Patogenesis Manifestasi dan

Klasifikasi Diagnosis

Tatalaksana Komplikasi

Pengetahuan

Stigma

Hansen’s disease

Pengetahuan

Hansen’s disease Stigma

Hansen’s disease

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

RANCANGAN PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian analitik, dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional), yaitu dengan melakukan pengambilan data menggunakan kuesioner pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU).

LOKASI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1. POPULASI

Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun ajaran 2018/2019. Jumlah mahasiswa FK USU yaitu; stambuk 2015 sebesar 208 orang, stambuk 2016 sebesar 237 orang, stambuk 2017 sebesar 258 orang, dan stambuk 2018 diperkirakan sebesar 264 orang. Total jumlah mahasiswa FK USU diperkirakan sebesar 967 orang.

3.3.2. SAMPEL

Sampel penelitian yang digunakan adalah seluruh populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel acak stratifikasi adalah suatu metode pengambilan sampel di mana populasi yang bersifat heterogen dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan (strata) yang saling pisah tuntas, dan dari setiap strata dapat diambil sampel secara acak (Sugiyono, 2011). Populasi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara terbagi berdasarkan tingkat semester.

(28)

Oleh karena itu pada penelitian ini menggunakan teknik sampel acak stratifikasi (Stratified Random Sampling).

3.3.3. BESAR SAMPEL

Besar sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2011):

𝑛 = [ 𝑍𝛼 + 𝑍𝛽 0,5 ln [ 1 + 𝑟

1 − 𝑟 ] ]

2

+ 3

Keterangan:

n : ukuran sampel

Zɑ : kesalahan tipe I, ditetapkan sebesar 5% dengan hipotesis satu arah, sehingga Zɑ = 1,64 (Sugiyono, 2011)

Z𝛽 : kesalahan tipe II, ditetapkan sebesar 10% dengan hipotesis satu arah, sehingga Z𝛽 = 1,28 (Sugiyono, 2011)

r : koefisien korelasi penelitian sebelumnya, sehingga r = 0,697 (Lesmana, 2014)

𝑛 = [ 1,64 + 1,28 0,5 ln [ 1 + 0,697

1 − 0,697 ] ]

2

+ 3 = 14.4898242786. . ≈ 20 orang

Penelitian ini menggunakan teknik Stratified Random Sampling (Random acak terstratifikasi). Populasi penelitian terbagi atas 4 tingkat semester. Setiap tingkat semester akan diambil 20 orang sebagai sampel. Jadi total sampel pada penelitian ini adalah 80 orang.

3.3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.3.4.1. Kriteria Inklusi

1. Seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara semester satu, tiga, lima, dan tujuh.

(29)

17

2. Seluruh mahasiswa yang bersedia mengikuti penelitian setelah mendapat penjelasan tentang penelitian.

3.3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Mahasiswa yang tidak mengisi dengan lengkap kusioner.

2. Mahasiswa yang tidak pernah mendengar tentang Hansen’s disease.

METODE PENGUMPULAN DATA 3.4.1. JENIS DATA

Jenis data yang dipakai pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder.

Data primer adalah sumber informasi yang diperoleh langsung dari mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara berupa tingkat pengetahuan dan stigma mahasiswa, sedangkan data sekunder adalah data mahasiswa yang didapat dari pihak universitas.

3.4.2. CARA PENGUMPULAN DATA

Peneliti akan membagikan kuesioner kepada sampel untuk memperoleh data.

Isi dari kuesioner yang akan dibagikan berupa persetujuan keikutsertaan penelitian, identitas diri, pertanyaan-pertanyaan seputar Hansen’s disease untuk memperoleh data tingkat pengetahuan serta pertanyaan-pertanyaan berupa sikap dan tindakan untuk memperoleh data tingkat stigma.

Peneliti menggunakan pertanyaan yang dibuat sendiri oleh peneliti untuk menilai tingkat pengetahuan. Sedangkan untuk memperoleh data tingkat stigma, peneliti menggunakan Explanatory Model Interview Catalogue (EMIC) scale yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.

3.4.3. HASIL UJI VALIDITAS DAN UJI RELIABILITAS

Dalam pengujian validitas dan reliabilas kuesioner tingkat pengetahuan, teknik yang digunakan adalah korelasi “product moment” dan Cronbach Alpha dengan

(30)

bantuan program SPSS 23. Jumlah sampel dalam uji validitas dan reliabilitas ini adalah sebanyak 20 orang. Sampel yang digunakan dalam uji validitas ini memiliki karakter yang hampir sama dengan sampel dalam penelitian ini. Setelah uji validitas dilakukan, hanya pada soal-soal yang telah dinyatakan valid saja yang akan diuji reliabilitasnya. Hasil uji validitas dan reliabilitas dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner tingkat pengetahuan.

No Total pearson

correlation Status Alpha Status

1 0,516 Valid 0,616 Reliabel

2 0,459 Valid Reliabel

3 0,656 Valid Reliabel

4 0,476 Valid Reliabel

5 0,531 Valid Reliabel

6 0,627 Valid 0,726 Reliabel

7 0,638 Valid Reliabel

8 0,712 Valid Reliabel

9 0,750 Valid Reliabel

10 0,461 Valid Reliabel

Validitas dan reliabilas EMIC scale telah diuji pada penelitian SARI project team di Cirebon, Jawa Barat (Peters et al., 2012). Pada penelitian tersebut, dikatakan EMIC-CSS memiliki validitas yang memadai untuk menilai stigma sosial Hansen’s disease dalam Bahasa Indonesia.

DEFINISI OPERASIONAL

3.5.1. PENGETAHUAN HANSEN’S DISEASE

a. Definisi : Segala sesuatu yang diketahui tentang Hansen’s disease.

b. Cara ukur : Angket c. Alat ukur : Kuesioner

d. Hasil ukur : Jawaban responden pada pertanyaan nomor 1 sampai 5:

1. Benar = 1 2. Salah = 0

(31)

19

Jawaban responden pada pertanyaan nomor 6 sampai 10:

1. Benar = 1 2. Tidak tahu = 0 3. Salah = 0 e. Skala ukur : Interval

3.5.2. STIGMA HANSEN’S DISEASE

a. Definisi : Ciri negatif tentang Hansen’s disease yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.

b. Cara ukur : Angket

c. Alat ukur : Kuesioner (EMIC scale) d. Hasil ukur : Jawaban responden:

1. Iya = 2 2. Mungkin = 1 3. Tidak = 0 4. Tidak tahu = 0 e. Skala ukur : Rasio (Faatoese et al., 2016)

METODE ANALISIS DATA

Data-data yang didapat dari angket menggunakan kuesioner diolah dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dan nilai rata-rata terhadap variabel- variabel yang diteliti. Setelah data diolah, data dianalisis menggunakan program Statistic Package for Social Science (SPSS).

Sebelum dilakukan uji statistik, dilakukan uji normalitas untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak. Uji hipotesis yang digunakan pada distribusi data normal adalah uji korelasi Pearson. Apabila sebaran data tidak normal, maka dilakukan proses transformasi data. Uji alternatif yang digunakan jika data berdistribusi tidak normal adalah uji korelasi Spearman (Sugiyono, 2011).

(32)

HASIL PENELITIAN

4.1.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Dr. T. Mansur No. 9, Kampus Padang Bulan, Medan, 20155, Sumatera Utara. Jumlah mahasiswa FK USU yaitu; stambuk 2015 sebesar 208 orang, stambuk 2016 sebesar 237 orang, stambuk 2017 sebesar 258 orang, dan stambuk 2018 sebesar 264 orang. Total jumlah mahasiswa FK USU sebesar 967 orang.

4.1.2. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer berupa identitas, tingkat pengetahuan, dan tingkat stigma responden. Jumlah seluruh responden yang terkumpul dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebanyak 80 orang.

4.1.2.1. DISTRIBUSI FREKUENSI 4.1.2.1.1. DATA NON PARAMETRIK

Sebaran jenis kelamin responden adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 Distribusi jenis kelamin responden

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 33 41,25

Perempuan 47 58,75

Total 80 100,00

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, jumlah responden yang berjenis kelamin laki- laki sebanyak 33 orang (41,25%) dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 47 orang (58,75%).

(33)

21

Sebaran tingkat semester responden adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2 Distribusi tingkat semester responden

Semester Frekuensi Persentase

1 20 25,00

3 20 25,00

5 20 25,00

7 20 25,00

Total 80 100,00

Berdasarkan tabel 4.2 di atas, jumlah responden tiap semester sama, yaitu sebanyak 20 orang (25,00%).

4.1.2.1.2. DATA PARAMETRIK

Sebaran nilai tingkat pengetahuan responden adalah sebagai berikut:

Tabel 4.3 Distribusi nilai tingkat pengetahuan responden

Nilai tingkat pengetahuan

Frekuensi Persentase

1 1 1,30

2 4 5,00

3 13 16,30

4 9 11,30

5 10 12,50

6 9 11,30

7 13 16,30

8 7 8,80

9 10 12,50

10 4 5,00

Total 80 100,00

Berdasarkan tabel 4.3 di atas, jumlah respoden paling banyak mendapat nilai 3 dan 7, yaitu sebanyak 13 orang (16,30%).

Sebaran nilai tingkat stigma responden adalah sebagai berikut:

Tabel 4.4 Distribusi nilai tingkat stigma responden

Nilai tingkat stigma Frekuensi Persentase

3 1 1,30

7 2 2,50

8 3 3,80

9 2 2,50

10 2 2,50

11 10 12,50

12 2 2,50

(34)

13 13 16,30

14 8 10,00

15 5 6,30

16 6 7,50

17 5 6,30

18 4 5,00

19 6 7,50

20 5 6,30

21 2 2,50

22 2 2,50

23 1 1,30

24 1 1,30

Total 80 100,00

Berdasarkan tabel 4.4 di atas, jumlah responden paling banyak mendapat nilai 13, yaitu sebanyak 13 orang (16,3%).

4.1.2.2. DESKRIPSI NILAI RATA-RATA 4.1.2.2.1. TINGKAT PENGETAHUAN

Nilai rata-rata tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.5 Nilai rata-rata tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin responden

Jenis Kelamin Rata-rata

Laki-laki 5,73

Perempuan 5,87

Total 5,81

Berdasarkan tabel 4.5 diatas, responden perempuan memperoleh nilai rata-rata tingkat pengetahuan lebih tinggi daripada laki-laki (5,87 > 5,73).

Nilai rata-rata tingkat pengetahuan berdasarkan semester dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.6 Nilai rata-rata tingkat pengetahuan berdasarkan tingkat semester responden

Semester Rata-rata

1 3,15

3 5,05

5 8,70

7 6,18

Total 5,81

(35)

23

Berdasarkan tabel 4.6 diatas, responden semester 5 memperoleh nilai rata-rata tingkat pengetahuan tertinggi (8,70), sedangkan responden semester 1 memperoleh nilai rata-rata tingkat pengetahuan terendah (3,15).

4.1.2.2.2. STIGMA

Nilai rata-rata tingkat stigma berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.7 Nilai rata-rata berdasarkan jenis kelamin responden

Jenis Kelamin Rata-rata

Laki-laki 14,76

Perempuan 14,51

Total 14,61

Berdasarkan tabel 4.7 diatas, responden laki-laki memperoleh nilai rata-rata tingkat stigma lebih tinggi daripada perempuan (14,76 > 14,51).

Nilai rata-rata tingkat stigma berdasarkan semester dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.8 Nilai rata-rata berdasarkan tingkat semester responden

Semester Rata-rata

1 14,80

3 13,80

5 13,45

7 16,40

Total 14,61

Berdasarkan tabel 4.8 diatas, responden semester 7 memperoleh nilai rata-rata tingkat stigma tertinggi (16,40), sedangkan responden semester 5 memperoleh nilai rata-rata tingkat stigma terendah (13,45).

4.1.3. ANALISIS DATA 4.1.3.1. UJI NORMALITAS

Uji normalitas dilakukan pada data parametrik, yaitu data tingkat pengetahuan dan tingkat stigma. Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan teknik Kolmogorov Smirnov. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 4.9.

(36)

Tabel 4.9 Hasil uji normalitas data parametrik

Data Nilai Signifikan Status

Tingkat Pengetahuan 0,009 Tidak Normal

Tingkat Stigma 0,065 Normal

Berdasarkan tabel 4.9, nilai signifikan pada data tingkat pengetahuan lebih kecil daripada 0,05 (0,009 < 0,05), maka data dinyatakan tidak berdistribusi normal, sedangkan nilai signifikan pada data tingkat stigma lebih besar daripada 0,05 (0,065 > 0,05), maka data dinyatakan berdistribusi normal.

Dikarenakan data tingkat pengetahuan tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan proses transformasi data. Bentuk grafik data tingkat pengetahuan yaitu Moderate Negative Skewness, sehingga bentuk transformasi yang digunakan adalah SQRT (k-x) (Ghozali, 2013). Hasil uji normalitas pada data yang sudah ditransformasi dapat dilihat pada tabel 4.10.

Tabel 4.10 Hasil uji normalitas pada data yang sudah ditransformasi

Data Nilai Signifikan Status

Tingkat Pengetahuan 0,0001 Tidak Normal

Berdasarkan tabel 4.10, nilai signifikan pada data yang sudah ditransformasi masih lebih kecil daripada 0,05 (0,0001 < 0,05), artinya data masih belum terdistribusi normal. Oleh karena itu, uji alternatif yang digunakan pada penelitian ini adalah uji korelasi Spearman.

4.1.3.2. TRANSFORMASI DATA TINGKAT PENGETAHUAN

Pada uji korelasi Spearman, data yang digunakan adalah data nonparametrik.

Sehingga perlu dilakukan transformasi data parametrik ke data nonparametrik.

Transformasi data dilakukan dengan cara mengubah data menjadi 3 kategori.

Kategori data dapat dilihat pada tabel 4.11.

Tabel 4.11 Kategori data tingkat pengetahuan

Batas nilai Keterangan

<6 Kurang

6-8 Cukup

>8 Baik

(37)

25

Sumber : Diyahwidya. (2005). Tingkat pengetahuan terhadap inisiasi menyusui dini. Unimus

Berikut adalah tabel distribusi frekuensi hasil transformasi data tingkat pengetahuan :

Tabel 4.12 Distribusi tingkat pengetahuan responden

Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase

Kurang 37 46,25

Cukup 29 36,25

Baik 14 17,50

Total 80 100,00

4.1.3.3. UJI HIPOTESIS

Untuk melihat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma, penelitian ini menggunakan analisis Statistik Nonparametrik, yaitu dengan uji korelasi Spearman. Hasil uji korelasi tersebut dapat dilihat pada tabel 4.13.

Tabel 4.13 Hasil uji korelasi Spearman

Keterangan Nilai

Koefisien korelasi -0,050

Signifikansi 0,330

Pada uji korelasi, diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar -0,050, artinya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma sangat rendah (Sugiyono, 2011). Nilai negatif menunjukan hubungan tersebut berbanding terbalik, yaitu semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka semakin rendah stigma dan sebaliknya.

PEMBAHASAN

4.2.1. TINGKAT PENGETAHUAN

Pada penelitian ini, didapati bahwa mahasiswa berjenis kelamin perempuan memiliki rata-rata nilai tingkat pengetahuan yang lebih tinggi daripada laki-laki (tabel 4.5). Pada penelitian di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, didapati juga tingkat pengetahuan perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

Meskipun demikian, pada penelitian ini didapati jumlah reponden perempuan (58,75%) lebih banyak daripada laki-laki (41,25%), sehingga memungkinkan pengetahuan responden perempuan lebih baik dibandingkan responden laki-laki

(38)

(Maulina dan Nanda, 2017). Selain itu, perbedaan rata-rata antara responden perempuan dengan laki-laki hanya 0,14 (2,41% dari rata-rata total).

Berdasarkan tingkat semester (tabel 4.6), penetian ini mendapati nilai rata-rata tingkat pengetahuan tertinggi diperoleh mahasiswa semester 5, disusul mahasiswa semester 7, 3, dan 1. Hal tersebut juga didapati pada penelitian Saint James School of Medicine, Bonaire, Dutch Caribbean (Multinovic et al., 2015).

Tingginya nilai rata-rata mahasiswa semester 5 mungkin dikarenakan mereka baru saja mendapatkan pengajaran tentang Hansen’s disease pada Blok DMS, yang dipelajari pada semester 4, yakni 1 semester lalu. Berbeda dengan mahasiswa semester 7, mereka mempelajari tentang Hansen’s disease sekitar 3 semester lalu. Hal ini sesuai dengan teori pemudaran, yaitu informasi yang disimpan akan semakin melemah, sehingga informasi itu akan sulit diambil kembali dari tempat penyimpanan (Pudjono, 2008).

Nilai rata-rata mahasiswa semester 7 lebih tinggi daripada mahasiswa semester 3 dan 1 disebabkan karena sudah terpaparnya pengajaran tentang Hansen’s disease pada semester 4 lalu. Penelitian ini juga mendapati nilai rata-rata mahasiswa semester 3 lebih tinggi daripada semester 1. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Gumiarti, dimana tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat penerimaan dan pemahaman terhadap suatu objek atau materi yang dimanifestasikan dalam bentuk pengetahuan (Wicaksono, 2013).

4.2.2. STIGMA

Pada penelitian ini, didapati stigma terhadap Hansen’s disease pada mahasiswa berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (tabel 4.7) dengan selisih rata-rata 0,25. Hal tersebut mungkin dikarenakan mahasiswa laki-laki memiliki rasa empati yang lebih rendah dibandingkan dengan perempuan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perempuan lebih berempati terhadap pasien Hansen’s disease, sehingga stigma terhadap pasien Hansen’s disease pun lebih rendah (Viorensika dan Suleeman, 2013).

(39)

27

Berdasarkan tingkat semester, nilai rata-rata tingkat stigma tertinggi didapati oleh mahasiswa semester 7, disusul oleh mahasiswa semester 1, 3, dan 5 (tabel 4.8).

Stigma mahasiswa pada penelitian ini menurun seiring dengan penigkatan tingkat semester, hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Garamina. Stigma yang berkembang pada penderita Hansen’s disease terjadi karena rendahnya tingkat pengetahuan sehingga menyebabkan minimnya informasi mengenai Hansen’s disease (Garamina, 2015).

Tetapi hal tersebut berbeda pada mahasiswa semester 7. Mahasiswa semester 7 memiliki tingkat stigma yang paling tinggi mungkin dikarenakan mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa tingkat akhir, sehingga beban stress yang dialami lebih tinggi, yang pada akhirnya sering menyebabkan kelelahan. Kelelahan yang dialami pun menyebabkan motivasi untuk mengisi kuesioner lebih rendah.

Sehingga mungkin ada faktor ‘sembarangan’ dalam pengisian kuesioner (Viorensika dan Suleeman, 2013).

4.2.3. HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN STIGMA

Pada penelitian ini, didapati nilai koefisien korelasi sebesar -0,050 (tabel 4.13), artinya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma terhadap penderita Hansen’s disease sangat rendah. Hal tersebut juga didapati oleh penelitian di Universitas Indonesia. Pada penelitian tersebut, Caroline dan tim mengungkapkan bahwa penyebab stigma bukan karena pengetahuan yang kurang, melainkan karena manifestasi klinis yang tampak pada penderita Hansen’s disease (Caroline et al., 2011). Penelitian Adhikari juga mengatakan bahwa timbulnya stigma dikarenakan kecacatan dan disabilitas yang tampak pada penderita Hansen’s disease (Adhikari et al., 2013).

Selain itu, stigma juga dapat disebabkan oleh penilaian terhadap status sosial, tingkat pendidikan, dan status ekonomi (Adhikari et al., 2013). Marahatta juga mengungkapkan bahwa stigma pada Hansen’s disease lebih terkait dengan fakta

(40)

bahwa Hansen’s disease adalah salah satu penyakit ketidaksempurnaan fisik yang menyebabkan kecacatan (Marehatta et al., 2015).

Jadi, peningkatan tingkat pengetahuan tentang Hansen’s disease tidak cukup untuk menurunkan stigma masyarakat tentang Hansen’s disease. Stigma masyarakat tentang Hansen’s disease lebih disebabkan oleh kecacatan yang tampak, sehingga lebih diperlukan peningkatan rasa empati masyarakat terhadap kecacatan tersebut.

(41)

29

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN

1. Dari hasil penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, didapatkan nilai rata-rata tingkat pengetahuan mahasiswa perempuan (5,87, termasuk kategori kurang) lebih tinggi daripada laki- laki (5,73, termasuk kategori kurang). Selain itu, mahasiswa semester 5 memiliki nilai rata-rata tingkat pengetahuan tertinggi (8,70, yaitu kategori baik), disusul oleh semester 7 (6,18, termasuk kategori cukup), semester 3 (5,05, yaitu kategori kurang), dan semester 1 (3,15, yaitu kategori kurang).

2. Stigma mahasiswa berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi (14,76) daripada mahasiswa berjenis kelamin perempuan (14,51). Selain itu, stigma tertinggi diperoleh mahasiswa semester 7 (16,40), disusul oleh mahasiswa semester 1 (14,80), mahasiswa semester 3 (13,80), dan yang terakhir mahasiswa semester 5 (13,45).

SARAN

1. Pada penelitian ini terlihat penurunan tingkat pengetahuan pada mahasiswa semsester 7, sehingga disarankan agar mahasiswa semester 7 dipacu untuk mengulang kembali pelajaran yang telah dipelajari, misalnya dengan cara mengadakan ujian komprehensif sebelum menempuh tingkat pendidikan profesi kedokteran.

2. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian tentang penyebab stigma lainnya disamping menggunakan data penelitian ini sebagai acuan penelitian berikutnya.

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Adhikari, Kaehler, Chapman, S, Raut, & Roche, 2014, 'Factors Affecting Perceived Stigma in Leprosy Affected Persons in Western Nepal', PLoS Neglected Tropical Diseases, pp. 2-9.

Adhikari, B, Kaehler, N, Raut, S, Marahatta, SB, Ggyanwali, K & Chapmann, RS 2013, 'Risk Factors of Stigma Related to Leprosy', Original Article, vol 1, no. 2, pp. JMMIHS-9.

Brooks, GF, Carroll, KC, Butel, JS, Morse, SA & Mietzner, TA 2010, 'Mikobakteri', in Jawetz, Melnick,& Adelberg Mikrobiologi Kedokteran, EGC.

Caroline, Puspita, Widjaja, Sopandi, & Menaldi, 2011, 'Stigma Towards Leprosy Among Medical Students', Journal of the Indonesian Medical Association, pp. 20-24.

CDC 2017, Hansen's Disease (Leprosy), viewed 10 Febuari 2017,

<https://www.cdc.gov/leprosy/health-care-workers/laboratory- diagnostics.html>.

Diyahwidya 2005, 'Tingkat pengetahuan terhadap inisiasi menyusui dini', Unimus.

Ernst, 2007, 'Leprosy', in Cecil Medicine 23rd edition, Elseivier Saunders, Philadelphia.

Faatoese, A, Sikaleti, S, Priest, P & Chambers, S 2016, 'Knowledge and attitudes to leprosy of Pacific People living in New Zealand', Lepr Rev, pp. 368-377.

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, L, Jameson & Loscalzo 2008, Harrison's Principles of Internal Medicine, The McGraw-Hill Companies, United States of America.

Fischer, M 2017, 'Leprosy - an overview of clinical features, diagnosis, and treatment', JDDG: Journal der Deutschen Dermatologischen Gesellschaft, pp. 801-827.

Garamina, HJ 2015, 'Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap Stigma Penyakit', Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

(43)

31

Ghozali, I 2013, Aplikasi Analisis Multivariete dengan Program IBM SPSS 23, 8th edn, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Gupta, Bansal, & Gupta, 2014, 'Tuberculosis, Leprosy, and Brucellosis', in Opthalmology fourth edition, Elseiver Saunders.

Ishii, N 2003, 'Recent advances in the treatment of leprosy', Dermatology Online Journal 9, pp. (2): 5.

Kaehler, Adhikar, Raut, Marahatta, S & Chapman, R 2015, 'Perceived stigma towards leprosy among community members living close to Nonsomboon leprosy colony in Thailand', PLoS ONE, pp. 1-11.

Kementrian Kesehatan Indonesia 2016, Profil Kesehatan Indonesia, 396, Jakarta.

Konsil Kedokteran Indonesia 2012, Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta.

Leorosy Transmission 2017, viewed 10 Febuari 2017,

<https://www.cdc.gov/leprosy/transmission/index.html>.

Leprosy Eliminaton 2018, viewed 2018, <http://www.who.int/lep/diagnosis/en/>.

Lesmana, C 2014, 'Hubungan derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta', Program Studi Sosiologi, Departemen Sosiologi, Universitas Airlangga, pp.

1-19.

Marahatta, S, Ghimire, A, Jha, N, Pokhrel, S, Rayamajhi, S & Jirel, S 2015, 'Social Stigma in Leprosy', Journal of Chitwan Medical College.

Maulina & Nanda, SD 2017, 'Perbedaan Pengetahuan Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan', Idea Nursing Journal, vol 8, p. 53.

Multinovic, M, Dusic, A, Gugnani, HC, Heckburn, R & Marcelin, D 2015, 'Awareness of Leprosy in Students of Basic Science in Saint James School of Medicine, Bonaire (Dutch Caribbean)', Indian Journal of Communicable Disease, p. 15.

Oktaria, Hurif, NS, Naim, W, Hok, BT, Nijsten, TEC & Richardus, JH 2018, 'Dietary diversity and poverty as risk factors for leprosy in Indonesia: A case-control study', PLOS.

(44)

Peters, RMH, Dadun, Brakel, HV, Zweekhorst, MBM, Damayanti, R, Bunders, JFG & Irwanto 2014, 'The Cultural Validation of Two Scales to Assess Social Stigma in Leprosy', PLOS.

Plorde, JJ 2004, 'Mycobacteria', in Sherris Medical Microbiology, The McGraw- Hill Companies, United States of America.

Pudjono, 2008, 'Teori-Teori Kelupaan', in Buletin Psikologi, Fakultas Psikokogi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sermrittirong, S & Wim H, VB 2014, 'Stigma in leprosy: concepts, causes and determinants', Leprosy review, pp. 36-47.

Sugiyono 2011, Statistika Penelitian, Alfabeta, Bandung.

Sulidah 2016, 'Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat', Jurnal Medika Respati, p. 62.

Uche, I 2015, 'Assessment of Level of Public Knowledge about Leprosy and its Effects on Leprosy Control Programmes in Anambra and Ebonyi States of Southeast Nigeria', Uche, Ignatius, pp. 2313-7401.

Viorensika, S & Suleeman, J 2013, 'Gambaran Empati pada Mahasiswa Psikologi Jenjang Sarjana', Program Studi Sarjana Reguler Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Walker, SL 2006, 'The clinical and immunological features of leprosy', British Medical Bulletin, pp. 103-121.

Walker, SL, Withington, SG & Lockwood, DNJ 2014, 'Leprosy', in Manson's Tropical Disease twenty-third edition, Elseivier Saunders.

WHO 1998, 'WHO Treatment Guide', WHO Treatment Guide, p. 28.

WHO 2017, 'Global leprosy update, 2016: accelerating reduction of disease burden', Weekly epidemiological record, p. 504.

Wicaksono, 2013, 'Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengetahuan Ibu Rumah Tangga tentang Pap Smear', Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Wisnu, IM, Sjamsoe-Daili, ES & Menaldi, SL 2015, 'Kusta', in Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

(45)

33

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Angeline Rufina

Tempat/ Tanggal lahir : Medan/ 1 Juli 1997

Agama : Katolik

Alamat : Jalan Malaka Gang Saudara No.28, Medan No. Telp/ Email : 082126912423/ [email protected]

Riwayat Pendidikan :

1. SD Sutomo 1 Medan : 2003-2009

2. SMP Sutomo 1 Medan : 2009-2012

3. SMA Sutomo 1 Medan : 2012-2015

4. Fakultas Kedokteran USU : 2015-sekarang

Riwayat Pelatihan :

1. Peserta MMB FK USU 2015

Riwayat Organisasi :

1. Anggota KMB USU tahun 2015-sekarang

Riwayat Kepanitiaan : -

(46)

LAMPIRAN Lampiran A. Surat Izin Survei Awal

(47)

35

Lampiran B. Ethical Clearance

(48)

Lampiran C. Surat Izin Penelitian

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka teori penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas peneliti ingin meneliti mengenai hubungan tingkat pengetahuan dengan motivasi untuk memeriksakan diri pasien hipertensi

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti akan meneliti tentang hubungan antara pengetahuan tentang diet DM terhadap asupan serat pasien DM rawat jalan di RSUD

Bagi peneliti lain dan bidang pendidian, penelitian ini diharapkan dapat mendorong peneliti lain untuk meneliti lebih dalam lagi tentang gambaran tingkat

Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang cairan tubuh dengan status hidrasi pada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas

Berdasar latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah sebagai berikut ” Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu hamil dengan persepsi tentang

Sesuai dengan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara tingkat stres dengan kualitas tidur pada mahasiswa semester

Berdasarkan dari masalah yang diuraikan diatas peneliti tertarik untuk mengetahui dengan meneliti tentang “ Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku Mobilisasi Dini Post

Sesuai dengan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan motivasi ibu primigravida dengan