• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Wearesocial pada tahun 2018 pengguna internet di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Wearesocial pada tahun 2018 pengguna internet di"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan laporan Wearesocial pada tahun 2018 pengguna internet di dunia saat ini telah mencapai 4,021 miliar orang. Di Indonesia pengguna internet telah mencapai 132 juta orang, yang berarti lebih dari 50% penduduk Indonesia memiliki akses melalui internet1. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemajuan teknologi informasi tidak dapat dihalangi bahkan dihentikan oleh apa pun. Salah satu bentuk kemajuan teknologi masa kini adalah hadirnya smartphone. Alat ini memiliki berbagai aplikasi dan terkoneksi dengan internet yang dapat menghubungkan setiap individu untuk berkomunikasi melalui aplikasi sosial media.

Kehadiran smartphone mempengaruhi pola pikir dan perilaku setiap individu untuk berinteraksi sosial khususnya remaja. Hal ini terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Muflih yang menunjukkan bahwa remaja pada umumnya lebih senang berinteraksi dengan smartphone daripada berinteraksi langsung dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Hal ini tampak dari perilaku pelajar SMAN 1 Klasan Sleman ketika jam istirahat tiba, mereka lebih memilih untuk menggunakan smartphone dengan tujuan berkomunikasi melalui aplikasi sosial media, bermain game dan membuka aplikasi lain seperti mendengar musik

1 Ascharisa Mettasatya Afrilia, Jurnal Komunikasi: Personal Branding Remaja di Era Digital, Volume 11 No 1, 2018, 20-30.

(2)

2 dan menonton youtube2. Sejalan dengan hal tersebut penelitian yang dilakukan oleh Jumailah tentang motif siswa dalam penggunaan smartphone memperlihatkan bahwa penggunaan smartphone dapat meningkatkan kecerdasan siswa melalui penjelajahan internet untuk mencari materi-materi terkait dengan pembelajaran sekolah. Dalam hal ini, smartphone dijadikan sebagai media untuk bertukar informasi antara satu individu dengan individu yang lain3. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kehadiran dan penggunaan smartphone mempengaruhi kehidupan remaja khususnya dalam proses perkembangan remaja.

Remaja berasal dari istilah adolescence atau berasal dari kata Latin (adolescence) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”4. Masa adolescence disebut juga sebagai masa “physiological learning” dan masa “social learning”, hal ini berarti bahwa pada masa ini remaja sedang mengalami secara

serentak proses pematangan fisik dan pematangan sosial. Kondisi ini mengakibatkan remaja merasa kesulitan dalam menyelesaikan tugas perkembangannya khususnya dalam pematangan sosial. Yang dimaksud dengan pematangan sosial adalah kehidupan untuk berinteraksi secara aktif dengan lingkungan sosial yang ada disekitarnya5. Menurut Hurlock tugas perkembangan yang paling sulit dihadapi oleh remaja adalah penyesuaian sosial. Dalam hal ini remaja harus mampu menyesuaikan diri dengan lawan jenis, kelompok teman sebaya, dan lingkungan masyarakat sosial. Selain itu dalam tugas

2 Muflih, Hamzah dan Wayan, Idea Nursing Journal: Penggunaan Smartphone dan Interaksi Sosial pada Remaja di SMA Negeri 1 Kalasan Sleman Yogyakarta, Volume VIII No 1, 2017, 12-18.

3 Jumilah Aini Nasution, Neviyarni dan Alizamar, Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia (JPPI): Motif Siswa Memiliki Smartphone dan Penggunaannya, Volume 3 No 2, 2017, 15-29.

4 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: “Suatu Pendekatan Sepanjang Rentan Kehidupan” (Jakarta: Erlangga, 1980), 206.

5 Melly Sri Sulastri Kifai, Psikologi Perkembangan Remaja Dari Segi Kehidupan Sosial, (Bandung: Bina Aksara, 1984), 1-2.

(3)

3 perkembangannya, remaja tidak terlepas dari minat remaja untuk menunjukkan siapa dirinya ditengah-tengah masyarakat seperti minat rekreasi, minat sosial, minat pribadi termasuk penampilan diri, pakaian, prestasi, dan kemandirian, minat pendidikan, minat pekerjaan, minat terhadap agama dan minat terhadap simbol atau pun status6.

Minat-minat remaja yang telah dikemukakan di atas, merupakan bagian dari diri remaja yang sangat penting untuk dipenuhi dan dilalui pada masa perkembangannya. Dari tugas perkembangan dan minat yang ditunjukkan remaja menunjukkan bahwa remaja ingin menampilkan dirinya di tengah-tengah keluarga dan lingkungan sosialnya. Menampilkan diri atau identitasnya dalam konteks tersebut, secara langsung akan mempengaruhi self-esteem/harga diri mereka.

Tinggi rendahnya self-esteem remaja dipengaruhi oleh tiga komponen penting yang terlibat dalam dirinya, yakni umpan balik dari significant others yaitu pengetahuan tentang siapa dirinya dan perasaan terhadap identitas dirinya, value yang dimiliki, keyakinan akan value pribadi serta kesadaran akan tingkat kompetensi dan mengapresiasi prestasinya7.

Dalam perspektif psikososial, Erick Erikson mengemukakan ada delapan tahap perkembangan. Empat tahap yang pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan tiga tahap yang terakhir pada tahun-tahun dewasa dan usia tua8. Yang menarik dari tahap perkembangan ini

6 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, 217.

7 Dilla Tria Febrina dkk, Jurnal Psikologi Insight: Self Esteem Remaja Awal: Temuan Baseline Dari Rencana Program Self – Instructional Training Kompetensi Diri, Volume 2 No1, 2018, 43-56.

8 Calvin S. Hall & Gardner Lindzay, ed: A. Supratiknya, Psikologi Kepribadian 1, Teori- Teori Psikodinamik (Klinis), ( Yogyakarta: Kanasius, 1993), 141.

(4)

4 adalah pada tahap ke empat dan kelima yaitu menjadi salah satu puncak penurunanan atau peningkatan self-esteem remaja. Pada tahap empat disebut sebagai kemantapan hati versus rendah diri. Pada tahap ini pertanyaan yang muncul dalam diri individu adalah “bisakah aku menguasai keahlian yang kuperlukan untuk beradaptasi?” Jika kondisi sekelilingnya mendukung pengembangan keahlian individu tersebut, seperti adanya pendidikan dan pelatihan-pelatihan tertentu yang sesuai dengan minat individu, maka individu akan cenderung mantap hati yang mengarah pada rasa puas. Sebaliknya, rasa rendah diri akan meningkat ketika tidak ada dukungan sosial dari lingkungan sekitar9.

Tahap kelima adalah identitas versus kekacauan identitas. Pada tahap ini, remaja akan bersiap-siap untuk memegang posisi yang dipilihnya. Jika empat tahap sebelumnya telah dilalui dengan baik dan nyaman disertai dengan dukungan lingkungan sekitarnya, maka individu akan lebih mantap hati dan otonom untuk menemukan jati dirinya. Tetapi jika empat tahap sebelumnya tidak dilalui dengan baik dan lingkungan sekitar juga tidak mendukung maka individu tersebut akan mengalami kekacauan identitas10. Kekacauan identitas ini dapat menyebabkan remaja merasa terisolasi, hampa, cemas dan bimbang bahkan mereka sangat peka terhadap cara orang lain memandang mereka, dan menjadi mudah tersinggung, merasa malu dan self-esteem nya berkurang11. Ciri-ciri dari proses perkembangan serta minat-minat yang dimiliki remaja tersebut dieksplor melalui segala cara

9 Neil J. Salkind, Teori-Teori Perkembangan Manusia, Pengantar Menuju Pemahaman Holistik (Bandung: Nusa Media, 2010), 197-198.

10 Neil J. Salkind, Teori-Teori Perkembangan Manusi, Pengantar Menuju Pemahaman Holistik, 199-200.

11 Calvin S. Hall & Gardner Lindzay, ed: A. Supratikya, Psikologi kepribadian, 149-150.

(5)

5 untuk menampilkan siapa dirinya di tengah-tengah masyarakat sehingga memiliki perasaan berharga. Salah satu contoh yang dekat pada saat ini adalah penggunaan smartphone sebagai simbol untuk mengekpresikan diri dan status sosialnya.

Penelitian terdahulu telah banyak mengkaji hubungan self-esteem dengan media sosial yang mana hasil penelitian menunjukkan seseorang yang memiliki self-esteem rendah cenderung lebih sering menggunakan smartphone. Penelitian tersebut dilakukan oleh Nurulsani, Latief dan Endah Retnowati tentang Loneliness and Self-Esteem as Predictions of Internet Addiction in Adolescent menunjukkan bahwa remaja yang kesepian dan memiliki self-esteem rendah cenderung mengalami kecanduan untuk menggunakan internet12. Hal yang serupa diteliti oleh Sri Mulyana dan Afriani tentang hubungan antara self-esteem dengan smartphone addiction pada remaja SMA di Kota Banda Aceh menunjukkan bahwa remaja yang memiliki self-esteem tinggi lebih nyaman berinteraksi secara face to face, dan menggunakan smartphone hanya untuk mencapai tujuan tertentu seperti chating seperlunya, sedangkan remaja yang memiliki self-esteem rendah menunjukkan sikap yang pasif dalam dunia nyata, sehingga dengan hadirnya smartphone menjadi salah satu ruang untuk kepuasan diri yang tidak tereksplor dalam interaksi di dunia nyata13. Selain mempengaruhi self-esteem, sosial media juga mempengaruhi perilaku remaja khususnya dalam pola komunikasi. Kondisi ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Munzaimah dan Mazddalifah yang menunjukkan bahwa remaja cenderung melakukan komunikasi online melalui smartphone yang telah terkoneksi dengan internet daripada komunikasi

12 Nurulsani S. Abd, Latief, Endah Retnowati, Jurnal Escopy: Loneliness And Self-Esteem As Prediction Of Internet Addiction In Adolescent, Volume 5 No 2, 2018, 130-136.

13 Sri Mulyana & Afriani, Jurnal Psikogenesis: Hubungan Antara Self-esteem dengan Smartphone Addiction pada Remaja SMA di Kota Banda Aceh, Volume 5 No 2, 2017, 102-114.

(6)

6 secara langsung atau nyata (offline/luar jaringan). Dalam penelitian tersebut, salah satu alasan remaja melakukan komunikasi online adalah karena lebih nyaman dan lebih praktis dibandingkan komunikasi yang dilakukan secara langsung14.

Berdasarkan pengamatan penulis terhadap remaja di HKBP Ambarawa yang dilakukan sejak bulan November 2018 hingga bulan April 2019; menunjukkan perilaku kurangnya interaksi sosial remaja dalam dunia nyata. Situasi ini tampak dari kebiasaan remaja sebelum masuk jam ibadah, remaja berkumpul bersama dan asyik dengan smartphone masing-masing. Ketika ibadah minggu berlangsung, awalnya remaja menyimpan smartphonenya, namun mulai dari pembacaan warta jemaat dan mendengarkan khotbah, beberapa remaja asyik dengan smartphone mereka. Hal yang dilakukan adalah membuka aplikasi facebook, instagram, whatsApp bahkan ada yang bermain game. Sepanjang pengamatan penulis, situasi ini berlangsung hampir setiap minggu. Seiring dengan berjalannya waktu, penulis melakukan wanwacara singkat terhadap beberapa remaja yang ada di HKBP Ambarawa.

Alasan remaja yang mendasar untuk memiliki dan menggunakan smartphone adalah karena kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah memperoleh informasi tentang tugas-tugas yang disampaikan dan dipelajari di sekolah masing-masing dan mengetahui informasi penting yang berhubungan dengan tugas yang disampaikan oleh guru di sekolah15. Dari percakapan tersebut, kegunaan smartphone tampaknya positif dan secara tidak langsung menambah

14 Munzaimah Masril dan Masdalifah, Jurnal Simbolika Research and Learning Communication Study: Pola Komunikasi Remaja di Era Digital, Volume 4 No 2, 2018, 188-199.

15 Wawancara dengan r12 siswa SMA/remaja di HKBP Ambarawa. salah satu remaja pengguna smartphone terjadwal (mulai pulang sekolah pukul 14.00 sampai dengan jam 21.00 wib).

(7)

7 pengetahuan remaja. Berbagai aplikasi yang disediakan oleh smartphone berupa aplikasi game, facebook, instagram, whatsApp, Twitter menjadi sebuah ruang untuk mengekspresikan perasaan baik berupa kata-kata, foto, atau simbol tertentu menunjukkan status sebagai remaja yang dapat mengikuti perkembangan zaman, tetapi di lain sisi smartphone secara tidak langsung membuat remaja sering menunda pekerjaan yang seharusnya diselesaikan16. Alasan lain adalah karena jika tidak memiliki dan tidak menggunakan smartphone merasa ketinggalan zaman dan tidak dapat mengikuti tren zaman sekarang17. Menurut pemahaman penulis, situasi yang dialami remaja HKBP Ambarawa mengarah kepada pencapaian self- esteem/harga diri dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar khususnya dalam penggunaan smartphone sebagaimana yang dikemukakan kajian literatur dan hasil temuan penelitian-penelitian terdahulu. Menurut pemahaman penulis self-esteem merupakan kebutuhan terpenting yang harus dipenuhi dalam siklus perkembangan identitas remaja. Pencarian identitas yang dimaksud bukan hanya sebatas simbol atau status akan tetapi mencari kebermaknaan tersendiri dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar. Untuk mencapai kehidupan yang bermakna, seseorang tidak terlepas dari keberadaan manusia secara utuh yang meliputi aspek fisik, mental, sosial dan spiritual. Pada kajian ini, penulis akan memperdalam hubungan self-esteem remaja dengan media sosial dari aspek spiritualitas.

Kata spiritualitas memiliki pengertian yang luas dan beragam sebagaimana pemahaman dari tradisi Barat dan Timur. Tradisi Barat mengartikan spiritualitas seseorang tidak selalu terkait dengan penghayatan agama atau bahkan dengan

16 Wawancara dengan r12 dan r4.

17 Wawancara dengan r8.

(8)

8 Tuhan. Tetapi spiritualitas seseorang lebih mengarah terhadap pengalaman psikis yang meninggalkan kesan dan makna yang mendalam, sedangkan spiritualitas budaya Timur identik dengan religiusitas berupa penghayatan dan kedekatan manusia dengan Tuhan melalui ajaran-ajaran agama18. Pemahaman lain tentang spiritualitas adalah bahwa spiritualitas ada hubungannya dengan kata spirit atau roh, yaitu daya kekuatan yang menghidupkan atau menggerakkan19. Pada sisi lain, Howard menyebutkan spiritualitas memiliki dua kompetensi yaitu vertikal dan horizontal. Kompetensi vertikal spiritualitas adalah hasrat untuk melampaui ego, yang berkaitan dengan Tuhan, jiwa dan lebih mengarah kepada perwujudan yang tidak dapat diindera, sedangkan kompetensi horizontal dalam spiritualitas adalah hasrat untuk melayani dan berinteraksi dengan orang lain, bumi dan lingkungan yang lebih mengarah kepada usaha seseorang untuk memberikan kontribusi melalui tindakannya20.

Dalam penguatan spiritualitas di era teknologi yang kian maju, Zainul menyebutkan bahwa teknologi secara tidak langsung mengikis kondisi spiritulitas manusia. Hal ini disebabkan kecanggihan teknologi mampu menjawab kebutuhan manusia dan oleh karenanya manusia merasa nyaman dan terlena tanpa melihat spirit yang sudah dimiliki sejak lahir21. Di sisi lain, Kevin dalam penelitiannya tentang influence of technology on adolescent development and spiritual formation menunjukkan bahwa remaja yang dipengaruhi oleh teknologi telah

18 Alfathri Adlin, Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta:

Jalasutra, 2007), 5.

19J.B Banawiratma, SJ, Spiritualitas Sosial, Spiritualitas Transformatif; Suatu Permulaan Eku menis, (Yogyakarta:Kanasius,1990), 57.

20 Zainul Muhubbin dan Choirul Mahfud, Journal of Proceedings Series, “Strategi Pembangunan Nasional Menghadapi Revolusi Industri 4.0”: Penguatan Spiritualitas untuk Menghadapi Dehumanisasi Akibat Teknologi Maju dan Industrialisasi, Volume 5, 2018 266-271.

21 Zainul Muhubbin dan Choirul Mahfud, Penguatan Spiritualitas untuk Menghadapi Dehumanisasi……….,266-271

(9)

9 mengaburkan spiritualitas mereka. Situasi ini tampak dari terkikisnya hubungan sosial dengan teman sebaya dan lingkungan sekitar dalam secara offline.

Selanjutnya keterlibatan dan minat dalam kegiatan keagamaan seperti ibadah dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan rohaniah hanya sebatas identitas yang ditentukan oleh orangtua sementara pemahaman akan agama atau pun spiritualitas tidak terlihat dalam interaksi dengan sesama22.

Secara psikologis dan teologis Harold Darling menyusun perkembangan spiritualitas individu yang disesuaikan dengan tahap pertumbuhan manusia yang meliputi masa lahir, masa kanak-kanak, masa remaja dan masa dewasa. Tahap pertama disebut sebagai tahap “kelahiran” yaitu pengalaman yang fokus terhadap rasa sakit dan kesedihan yang menghantarkannya terhadap sebuah pengakuan dosa dan memulai hidup dalam Kristus yang disebut dengan lahir baru. Tahap kedua adalah tahap kanak-kanak. Pada tahap ini individu mulai memasuki kehidupan awal Kristen. Dalam hal ini otoritas pengajaran dan bimbingan dari orangtua mau pun gereja berperan penting, karena individu berada dalam tahap

“kekaguman” sehingga membutuhkan model untuk memulai hubungan dengan Tuhan dan berusaha mengikuti jalannya. Selanjutnya, individu akan memasuki tahap ketiga yang disebut dengan masa spiritualitas remaja. Pada tahap ini, individu mulai meninggalkan spiritualitas masa kanak-kanak dan mulai mengarah untuk mencapai tahap terakhir yaitu kedewasaan spiritual yaitu seseorang yang mampu untuk mengaktualisasikan dirinya dan bertindak secara spontan dengan

22 Darling, M. Man in Triumph. Grand Rapids, MI. Zondervan Publishing House dalam Thesis Kevin Daniel Monahan, Doctor of Ministry: “Influence of Tecnology on Adolescent Development and Spiritual Formation” (West Palm Beach: Liberty Baptist Teological Seminary, 2009), 105-107.

(10)

10 lingkungan sekitar. Itu berarti bahwa ada hubungan yang intim dengan Tuhan dinyatakan melalui tindakan dengan sesama dan lingkungan sekitar23.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa remaja tidak terlepas dari penggunaan sosial media dan mempengaruhi perkembangannya. Studi literatur yang penulis lakukan menunjukkan bahwa remaja yang kurang mampu berinteraksi sosial secara langsung memiliki self-esteem rendah dan dengan hadirnya sosial media menjadi sebuah wadah bagi mereka untuk mengekspresikan identitasnya. Dalam kajian ini penulis tidak hanya melihat hubungan sosial media dengan self-esteem remaja akan tetapi mencoba memperdalam dimensi spiritualitas remaja. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan sebuah penelitian yang difokuskan pada tema sosial media dan self-esteem remaja yang akan dikaji dari perspektif spiritualitas. Penelitian ini dilakukan terhadap remaja di Gereja HKBP Ambarawa.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kajian spiritualitas menyorot hubungan antara self-esteem remaja dengan penggunaan sosial media pada remaja di HKBP Ambarawa.

23 Kevin Ddaniel Monahan, Doctor of Ministry: “Influence of Tecnological on……….., 73- 76.

(11)

11 I.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan self-esteem remaja dan penggunaan sosial media pada remaja di HKBP Ambarawa berdasarkan kajian spiritualitas.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah bermanfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih informasi tentang self-esteem dan media sosial dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk penelitian berikutnya yang terkait tentang hubungan self-esteem remaja dengan penggunaan sosial media yang dikaji berdasarkan kajian spiritualitas. Secara praktis, hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi pihak- pihak terkait khususnya pelayan gereja HKBP Ambarawa agar dapat melakukan pelayanan yang tepat sesuai dengan kondisi remaja masa kini terutama yang terkait dengan penggunaan sosial media.

1.5. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif-kuantitatif atau disebut dengan campuran (mixed method).

Metode campuran merupakan strategi yang bermanfaat untuk mendapatkan pemahaman akan rumusan masalah yang lebih lengkap bertujuan untuk mengembangkan instrumen pengukuran yang lebih baik dengan cara terlebih dahulu mengumpulkan dan menganalisis data kualitatif kemudian menerapkan

(12)

12 instrumen ke sampel24. Metode campuran yang akan digunakan adalah dengan jenis pendekatan campuran pararel konvergen yaitu pengombinasian dari data kualitatif dan kuantitatif25.

Teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data26. Dalam rangka mengumpulkan data penelitian khususnya yang menyangkut hubungan self-esteem dan media sosial yang dikaji berdasarkan spiritualitas remaja di HKBP Ambarawa, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi pustaka. Dalam hal ini digunakan beberapa sumber literatur, baik dari buku dan jurnal penelitian.

Berikutnya, penulis melakukan wawancara terhadap remaja di HKBP Ambarawa.

Wawancara yang dilakukan adalah terbuka yang di dalamnya individu memiliki kebebasan untuk menjawab setiap pertanyaan tidak sekadar satu atau dua kata tetapi menjelaskan apa yang dimaksudkannya27. Responden yang akan diwawancarai dalam pengumpulan data ini adalah remaja di HKBP Ambarawa yang berusia antara 12-20 tahun dan aktif menggunakan sosial media. Sementara intrumen kunci dalam pengumpulan data ini adalah peneliti sendiri. Selanjutnya, peneliti akan memberikan kuesioner terhadap remaja yang berjumlah 30 orang.

Pemberian kuesioner ini bertujuan untuk mengukur tingkat self-esteem remaja dan memperkuat pengumpulan data secara kualitatif dan akan ditujukan kepada

24 John. W. Creswell, Research Design; pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2016), 292

25 John. W. Creswell, Research Design; pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitaif dan Campuran….., 296

26Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: ALFABETA, 2012), 224

27 Koentjaraningrat (ed), Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: ALFABETA, 1985), 140.

(13)

13 responden yang sama sehingga perbandingan antara data kualitatif dan kuantitatif semakin mirip dan hasilnya semakin valid dan reliabel. Alat ukur yang digunakan adalah menggunakan alat ukur yang sudah ada yang disebut dengan Self Eteem Inventory.

Langkah selanjutnya adalah analisis data. Ada beberapa cara untuk menggabungkan dua data yang dikumpulkan secara kualitatif dan kuantitaif yaitu pertama adalah perbandingan berdampingan (side by side comparison) yaitu peneliti terlebih dahulu akan melaporkan hasil statistik kuantitaif dan kemudian membahas temuan kualitatif yang mengonfirmasi atau tidak mengonfirmasi hasil statistik. Kedua adalah memulai dengan temuan kualitatif dan membandingkannya dengan hasil kuantitatif atau disebut juga dengan pendekatan side-by-side28. Dalam analisis ini peneliti akan menggunakan pendekatan yang kedua yaitu menguraikan terlebih dahulu data secara kualitatif dan menghubungkannya atau membandingkannya dengan hasil kuantitatif, hingga pada akhirnya membuat interpretasi yang akan dilanjutkan dalam bagian pembahasan.

1.6. Sistematika Penulisan

BAB I Pada bab ini berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Pada bab ini menguraikan tentang teori yang berkaitan dengan self-esteem remaja yang terlihat

28 John. W. Creswell, Research Design; pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitaif dan Campuran….., 297.

(14)

14 dalam perkembangan psikososial manusia yang dikemukakan oleh Erik Erikson, teori perkembangan spiritualitas atau kepercayaan manusia yang dikemukakan oleh James Fowler &

Shelton dan teori terkait dengan sosial media yang dimuat dalam jurnal atau penelitian-penelitian terdahulu.

BAB III Pada bab ini menguraikan hasil penelitian yang diperoleh dari data lapangan yaitu tingkat self- esteem remaja HKBP Ambarawa dan tanggapan atau pun respon mereka terhadap hadirnya sosial media selanjutnya menguraikan pemahaman remaja akan spiritualitas ataupun kepercayaannya yang terlihat dari relasi dengan sesama dan bentuk kepedulian terhadap alam semesta.

BAB IV Pada bab ini merupakan pembahasan analisa tentang hubungan self-esteem remaja dengan sosial media yang dikaji berdasarkan kajian spiritualitas.

BAB V Pada bab ini merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dari seluruh tulisan dan saran kepada pembaca untuk meneliti lebih lanjut dan kepada pihak yang terkait dalam melakukan pelayanan di jemaat khususnya remaja.

Referensi

Dokumen terkait

• Jadi pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia... PENGERTIAN HARTA

Sie tik: Antara lain juga karena pendapatan negara hanya dari hasil produksi kebutuhan masyarakat dalam negerinya , idan dalam batas2 tertentu memproduksi barang2

biologi di dalam tanah misalnya proses dekomposisi bahan organik, transformasi. unsur hara, mengatasi polusi, digunakan sebagai pupuk

Prinsip pemeriksaan yang dilakukan adalah penentua lakukan adalah penentuan ko n ko ndisi ndisi kadar kandungan dalam urin saat normal ataupun tidak normal kadar

Untuk memenuhi kebutuhan air pada suatu pabrik yang umumnya memanfaatkan air dari sumur, sungai, laut, danau, pegunungan sebagai sumber airnya. Pemilihan jenis air

Bagi mengesan perubahan tren guna tanah, jangka masa perubahan 20 tahun dianalisis melibatkan tahun 1992, 2002 dan 2012 berdasarkan peta digital guna tanah Parit Raja yang

menunjukkan bahwa hubungan atau pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kinerja adalah positif yang berarti semakin baik Komitmen Organisasional pegawai PDAM Tirta

menunjukan bahwa cukup menolak hipotesis nol (Ho) dan menerima hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa hasil pengaruh kandungan buah nanas (ananas comosus)