• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. manula). Pengaruh anemia tidak hanya pada keluhan fisik seperti lemah, letih dan lesu,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. manula). Pengaruh anemia tidak hanya pada keluhan fisik seperti lemah, letih dan lesu,"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Anemia

Anemia lebih dikenal masyarakat sebagai penyakit kurang darah. Penyakit ini rentan dialami pada semua siklus kehidupan (balita, remaja, dewasa, bumil, busui, dan manula). Pengaruh anemia tidak hanya pada keluhan fisik seperti lemah, letih dan lesu, tetapi juga dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi, keterlambatan pertumbuhan fisik anak, keterbelakangan pertumbuhan mental dan motorik dan gangguan perilaku sosial serta emosi pada anak (Citrakesumasari, 2012).

2.1.1 Pengertian Anemia

Anemia merupakan penurunan kuantitas eritrosit dalam sirkulasi abnormalitas kandungan hemoglobin eritrosit atau keduanya (Corwin, 2009). Sedangkan menurut Prawiharjo (2006) anemia adalah jika hemoglobin dalam darah kurang dari 12gr/100 ml. Anemia dapat juga didefinisikan sebagai penyakit yang terjadi karena konsumsi zat besi (Fe) tidak seimbang atau kurang dari kebutuhan tubuh (Notoatmodjo, 1997).

Menurut Yatim (2003) anemia dikenal sebagai kekurangan darah yang disebabkan berkurangnya konsentrasi hemoglobin, turunnya hematokrit juga karena berkurangnya jumlah eritrosit. Dengan demikian, anemia adalah penurunan jumlah eritrosit atau kadar hemoglobin di dalam eritrosit kurang yang dikarenakan adanya kelainan dalam pembentukan sel, pendarahan atau gabungan antara keduanya.

Untuk menjabarkan definisi anemia maka perlu ditetapkan batasan Hb, batasan ini disebut cut of point yang dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, dan lain-lain. Sumber yang menjadi acuan adalah WHO,

(2)

berikut kriteria WHO yang diambil dari buku Hematologi klinis (2006) dijelaskan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kriteria anemia menurut WHO

Kelompok Kriteria Anemia

Laki-laki dewasa Hb < 13 g/dl

Perempuan dewasa tak hamil Hb < 12 g/dl

Perempuan hamil Hb < 11 g/dl

Anak usia 6-14 tahun Hb < 12 g/dl

Anak usia 6 bulan – 6 tahun Hb < 11 g/dl Sumber : Bakta, 2006

2.1.2 Jenis-jenis Anemia

Klasifikasi anemia juga dapat terbagi lagi berdasarkan karakteristik bentuk sel darah merah yang diproduksi, Ada pula yang membagi jenis anemia mengikuti penyebab mendasarnya. Menurut Afifah dkk (2019) jenis-jenis anemia yang paling umum terjadi antara lain:

1) Anemia gizi besi

Kekurangan pasokan zat gizi besi (Fe) yang merupakan inti molekul hemoglobin sebagai unsur utama sel darah merah. Akibat anemia gizi besi terjadi pengecilan ukuran hemoglobin, kandungan hemoglobin rendah, serta pengurangan jumlah sel darah merah.

Anemia zat besi biasanya ditandai dengan menurunnya kadar Hb total di bawah nilai normal (hipokromia) dan ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal (mikrositosis).

Tanda-tanda ini biasanya akan menggangu metabolisme energi yang dapat menurunkan produktivitas.

Serum ferritin merupakan petunjuk kadar cadangan besi dalam tubuh.

Pemeriksaan kadar serum ferritin sudah rutin dikerjakan untuk menentukan diagnosis defisiensi besi, karena terbukti bahwa kadar serum ferritin sebagai indikator paling dini menurun pada keadaan bila cadangan besi menurun. Dalam keadaan infeksi kadarnya dipengaruhi, sehingga dapat mengganggu interpretasi keadaan sesungguhnya.

(3)

Pemeriksaan kadar serum feritin terbukti sebagai indikator paling dini, yaitu menurun pada keadaan cadangan besi tubuh menurun. Pemeriksaannya dapat dilakukan dengan metode immunoradiometric assay (IRMA) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Ambang batas atau cut off kadar feritin sangat bervariasi bergantung metode cara memeriksa yang digunakan atau ketentuan hasil penelitian di suatu wilayah tertentu.

2) Anemia gizi vitamin E

Anemia defisiensi vitamin E dapat mengakibatkan integritas dinding sel darah merah menjadi lemah dan tidak normal sehingga sangat sensitif terhadap hemolisis (pecahnya sel darah merah). Karena vitamin E adalah faktor esensial bagi integritas sel darah merah.

3) Anemia gizi asam folat

Anemia gizi asam folat disebut juga anemia megaloblastik atau makrositik;

dalam hal ini keadaan sel darah merah penderita tidak normal dengan ciri-ciri bentuknya lebih besar, jumlahnya sedikit dan belum matang. Penyebabnya adalah kekurangan asam folat dan vitamin B12. Padahal kedua zat itu diperlukan dalam pembentukan nukleoprotein untuk proses pematangan sel darah merah dalam sumsum tulang.

4) Anemia gizi vitamin B12

Anemia ini disebut juga pernicious, keadaan dan gejalanya mirip dengan anemia gizi asam folat. Namun, anemia jenis ini disertai gangguan pada sistem alat pencernaan bagian dalam. Pada jenis yang kronis bisa merusak sel-sel otak dan asam lemak menjadi tidak normal serta posisinya pada dinding sel jaringan saraf berubah. Dikhawatirkan, penderita akan mengalami gangguan kejiwaan.

Vitamin ini dikenal sebagai penjaga nafsu makan dan mencegah terjadinya anemia (kurang darah) dengan membentuk sel darah merah. Karena peranannya dalam

(4)

pembentukan sel, defisiensi kobalamin bisa mengganggu pembentukan sel darah merah, sehingga menimbulkan berkurangnya jumlah sel darah merah. Akibatnya, terjadi anemia. Gejalanya meliputi kelelahan, kehilangan nafsu makan, diare, dan murung.

Defisiensi berat B12 potensial menyebabkan bentuk anemia fatal yang disebut Pernicious anemia.

Kebutuhan tubuh terhadap vitamin B12 sama pentingnya dengan mineral besi.

Vitamin B12 ini bersama-sama besi berfungsi sebagai bahan pembentukan darah merah.

Bahkan kekurangan vitamin ini tidak hanya memicu anemia, melainkan dapat mengganggu sistem saraf. Kekurangan vitamin B12 dapat terjadi karena gangguan dari dalam tubuh kita sendiri atau sebab luar. Saluran cerna akan menyerap semua unsur gizi dalam makanan, termasuk vitamin B12. Kekurangan vitamin B12 seseorang kurang darah (anemia). ditandai dengan diare, lidah yang licin. Asam folat dapat diperoleh dari daging, sayuran berwarna hijau, dan susu. Gizi buruk (malnutrisi) merupakan penyebab utamanya. Anemia jenis ini juga berkaitan dengan pengerutan hati (sirosis). Sirosis hati menyebabkan cadangan asam folat di dalamnya menjadi sedikit sekali. Kekurangan asam folat juga dapat menyebabkan gangguan kepribadian dan hilangnya daya ingat.

Gejala-gejalanya hampir sama dengan gejala kekurangan vitamin B12. Gejala-gejala neurologis lainnya juga dapat timbul jika sudah parah. Anemia jenis ini erat kaitannya dengan gizi seseorang. Karenanya, penanganan anemia pun berkaitan dengan masalah gizi. Konsumsi daging, sayuran hijau, dan susu yang memadai akan sangat membantu.

5) Anemia gizi vitamin B6

Anemia ini disebut juga siderotic. Keadaannya mirip dengan anemia gizi besi, namun bila darahnya diuji secara laboratoris, serum besinya normal. Kekurangan vitamin B6 akan mengganggu sintesis (pembentukan) hemoglobin13.

(5)

2.1.3 Anemia Defisiensi Zat Besi

Anemia defisiensi zat besi adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya atau pengurangan sel darah karena kurangnya zat besi (Wijaya, 2007). Dengan demikian terjadi penurunan jumlah masa eritrosit (red cell mas) dan atau masa hemoglobin sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (oxigen carrying capacity). Menurut Wijaya (2007), penyebab anemia defisiensi zat besi antara lain:

1. Peningkatan penggunaan zat besi, terjadi ketika percepatan pertumbuhan pascanatal, dan percepatan pertumbuhan saat remaja.

2. Kehilangan darah fisiologik ketika menstruasi atau dalam masa kehamilan

3. Kehilangan darah patologis, terjadi ketika perdarahan saluran makan, perdarahan genitourinarus, homosiderosis paru, homolisis intravaskular.

4. Penurunan pengambilan zat besi, kekurangan pasokan zat gizi besi yang merupakan inti molekul hemoglobin sebagai unsur utama eritrosit.

Akibat anemia gizi besi terjadi pengecilan ukuran hemoglobin, kandungan hemoglobin rendah, serta pengurangan jumlah eritrosit. Menurut Corwin (2009) anemia zat besi biasanya ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin total di bawah nilai normal (hipokromia) dan ukuran eritrosit lebih kecil dari normal (mikrositosis). Tanda- tanda ini biasanya akan menggangu metabolisme energi yang dapat menurunkan produktivitas.

Serum ferritin merupakan petunjuk kadar cadangan besi dalam tubuh.

Pemeriksaan kadar serum ferritin sudah rutin dikerjakan untuk menentukan diagnosis defisiensi besi, karena terbukti bahwa kadar serum ferritin sebagai indikator paling dini

(6)

menurun pada keadaan bila cadangan besi menurun. Dalam keadaan infeksi kadarnya dipengaruhi, sehingga dapat mengganggu interpretasi keadaan sesungguhnya. Menurut Corwin (2009, anemia gizi besi terjadi melalui beberapa tingkatan:

1. Tingkatan pertama disebut “Anemia Kurang Besi Laten” merupakan keadaan dimana banyaknya cadangan zat besi berkurang dibawah normal, namun besi di dalam sel darah dan jaringan masih tetap normal.

2. Tingkatan kedua disebut “Anemia Kurang Besi Dini” merupakan keadaan dimana penurunan besi cadangan terus berlangsung sampai habis atau hampir habis, tetapi besi dalam eritrosit dan jaringan masih tetap normal.

3. Tingkatan ketiga disebut “Anemia Kurang Besi Lanjut” merupakan perkembangan lebih lanjut dari anemia kurang besi dini, dimana besi di dalam eritrosit sudah mengalami penurunan, tetapi besi di dalam jaringan tetap normal.

4. Tingkatan keempat disebut “Kurang Besi dalam Jaringan” yang terjadi setelah besi dalam jaringan yang berkurang.

Menurut Baron (1990), anemia defisiensi besi terjadi ketika pasokan zat besi tidak mencukupi bagi pembentukan eritrosit yang optimal sehingga terbentuk sel-sel yang berukuran lebih kecil (mikrositik) dengan warna lebih muda (hipokromik) ketika dilakukan pewarnaan. Simpanan besi didalam tubuh yang mencakup besi plasma akan habis terpakai dan konsentrasi transferin serum yang mengikat besi untuk transportrasinya akan menurun. Simpanan besi yang berkurang. Simpanan besi yang berkurang akan menimbulkan deplesi massa eritrosit disertai konsentrasi hemoglobin dibawah normal, dan selanjutnya kapasitas darah untuk mengangkut oksigen juga berada dibawah kondisi normal (subnormal).

(7)

Menurut Corwin (2009), seorang yang mula-mula berada di dalam keseimbangan besi kemudian menuju ke keadaan anemia defisiensi besi akan melalui 3 stadium yaitu:

1. Stadium I

Stadium ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency yang ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam tubuh. Pada stadium I baik kadar besi di dalam serum, fungsi protein maupun kadar hemoglobin masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal. Kadar besi di dalam depot dapat ditentukan dengan pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang. Disamping itu kadar feritin/saturasi transferin di dalam serumpun dapat mencerminkan kadar besi di dalam depot.

2. Stadium II

Pada stadium ini dikenal dengan istilah iron deficient erythroprotein dan iron limited erythropoiesis. Mulai timbul ketika suplai besi tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat. Kadar hemoglobin di dalam darah masih normal. Keadaan ini disebut stadium defisiensi besi.

3. Stadium III

Disebut dengan iron deficiency anemia, keadaan ini terjadi apabila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar hemoglobin (Permono, 2005).

(8)

2.2 Eritrosit dan Hemoglobin

2.2.1 Pengertian Eritrosit dan Hemoglobin

Sel darah merah berfungsi mengangkut hemoglobin selanjutnya mengangkur oksigen dari paru – paru ke jaringan. Sel darah merah berbentuk lempeng bikonkaf, masa hidup sel darah merah 120 hari. Konsentrasi dalam darah pria normal 5,2 juta per meter kubik, sedangkan pada wanita 4,7 juta permeter kubik. Eritrosit tidak memiliki inti, disusun oleh protein pembawa O2 yaitu hemoglobin (Guyton and Hall, 2007).

Eritrosit berbentuk piringan yang dibagian tengahnya di kedua sisinya mencekung (lihat gambar 2.2), seperti sebuah donat dengan bagian tengah menggepeng bukan berlubang.

Gambar 2.1 Eritrosit Sumber: Lestari & Kristinah (2009)

Eritrosit memiliki fungsi lain disamping mengirim hemoglobin, misalnya mengandung karbon anhidase yang mengkatalis reaksi antara CO2 dan air, sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak balik ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali CO2 dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru–paru dalam bentuk ion bikarbonat (Guyton, 1997).

Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah.

Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Kandungan hemoglobin yang rendah mengindikasikan anemia (Supariasa, 2001). Hemoglobin juga bertugas

(9)

menyerap CO2 dan ion hidrogen serta membawanya ke paru – paru tempat zat tersebut dilepaskan ke udara (Corwin, 2009).

Apabila hematokrit (persentase sel darah merah) normal, yaitu 40-50% dan hemoglobin dalam masing-masing sel bernilai normal, maka hemoglobin seorang pria rata-rata 16g/dl, rata-rata wanita 14g/dl. Sel darah merah mampu mengkonsentrasi hemoglobin dalam cairan sampai sekitar 32 gram per mililiter sel (Guyton and Hall, 2007).

2.2.2 Pembentukan Eritrosit dan Hemoglobin

Minggu-minggu pertama kehidupan embrio, sel darah merah (eritrosit) primitif yang berinti diproduksi yolk sac, pertengahan trimester masa kehamilan diproduksi di hati, limpa, dan kelenjar limfa. Kemudian diakhir-akhir kehamilan dan sesudah lahir, eritrosit hanya diproduksi di sumsum tulang sampai umur 5 tahun, kecuali sumsum tulang panjang humerus dan tibia bagian proksimal. Setelah berusia kurang lebih 20 tahun, kebanyakan eritrosit dibentuk di sumsum tulang membranosa seperti vertebrata, sternum, dan ilium (Guyton and Hall, 2007).

Hemoglobin merupakan unsur terpenting dalam plasma eritrosit. Molekul hemoglobin terdiri dari globin, protoporfirin, dan besi (Fe). Globin merupakan protein yang dibentuk di sekitar ribosom, sedangkan protoporfirin dibentuk disekitar mitokondria. Besi diperoleh dari transferrin. Besi ditangkap oleh reseptor, dan beserta protoporfirin membentuk heme. Gangguan dalam pengikatan besi akan mengganggu pembentukan heme, bisa juga mengakibatkan terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang mengandung hemoglobin di dalamnya (hipokrom) (Reksadiputra, 2004).

Proses sintesis hemoglobin membutuhkan bahan baku seperti asam amino (protein) dan zat besi. Zat besi yang berada dalam bentuk Fe+2 yang terdapat dalam

(10)

transferrin yang hanya dapat digunakan dalam eritropoiesis, karena sel eritroblas dalam sumsum tulang hanya memiliki reseptor untuk ferritin. Kelebihan besi yang tidak digunakan disimpan di dalam stroma sumsum tulang sebagai ferritin. Besi yang terikat pada B-glubolin (ferritin) selain berasal dari mukosa usus juga berasal dari limpa, tempat eritrosit yang sudah tua (berumur 120 hari) dihancurkan sehingga besinya masuk ke dalam jaringan limpa untuk kemudian terikat pada B-glubolin (menjadi transferrin) dan kemudian ikut aliran darah ke sumsum tulang untuk digunakan eritroblas membentuk hemoglobin (Reksadiputra, 2004).

Heme disintesis di dalam mitokondria, bahan awalnya adalah succynil-CoA yang berasal dari siklus asam sitrat di mitokondria dan asam amino Glycin. Tahap akhir pada sistesis heme meliputi proses penyatuan besi ferro dengan protoporfirin di dalam sebuah reaksi yang dikatalisis oleh enzim heme sintase. Biosintesis heme terjadi pada prekursor eritroid di dalam sumsum tulang (Murray, 2003).

2.2.3 Peran Eritrosit dan Hemoglobin dalam Anemia

Eritrosit merupakan sel yang paling sederhana yang ada di dalam tubuh.

Eritrosit tidak memiliki nukleus dan merupakan sel terbanyak dalam darah. Eritrosit mengandung hemoglobin, yaitu protein yang mengandung besi, berperan dalam transpor oksigen dan karbondioksida di dalam tubuh. Oleh karena itu eritrosit sangat diperlukan dalam proses oksigenasi organ tubuh. Dengan mengetahui keadaan eritrosit, secara tidak langsung dapat diketahui juga keadaan organ tubuh seseorang (Perkins, 2003).

Beberapa pemeriksaan yang dapat menggambarkan parameter penting dari fungsi dan struktur eritrosit di dalam tubuh antara lain hitung eritrosit, hemoglobin dan hematokrit. Hitung eritrosit adalah menghitung jumlah total eritrosit dalam darah. Nilai rujukan normal eritrosit adalah 4-5 juta/mm3. Hemoglobin adalah protein dalam

(11)

eritrosit yang bertugas mengangkut oksigen. Hematokrit (Ht) adalah jumlah eritrosit dalam 100 ml darah (Perkins, 2003). Ketiga parameter di atas biasa digunakan untuk menegakkan adanya anemia (Glader, 2003).

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan massa eritrosit dengan akibat oksigenasi jaringan tidak dapat terpenuhi (Perkins, 2003). Secara praktis ada 3 parameter untuk menegakkan adanya anemia yaitu: kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit. Dari perhitungan ketiga parameter tersebut dapat diperoleh nilai rata-rata eritrosit. Nilai rata-rata eritrosit terdiri dari Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) (Rachmawati dkk., 2003).

2.3 Manfaat Tanaman Berkadar Vitamin C dan Zat Besi terhadap Pencegahan Anemia

Vitamin C dan zat besi banyak dijumpai dalam tanaman yang terdapat di sekitar masyarakat, baik dalam buah maupun sayuran. Menurut Hoffbrand et al (2005), untuk pembentukan eritrosit dan hemoglobin, sumsum tulang memerlukan zat besi, vitamin C, vitamin B12, dan hormon. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa tanaman berkadar vitamin C dan zat besi berkadar vitamin C dan zat besi mampu meningkatkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai alternatif pencegahan anemia.

Penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli dkk (2014) tentang pengaruh pemberian seduhan kelopak rosela merah terhadap jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin tikus putih membuktikan bahwa kandungan 8,98 mg zat besi dan 244,4 mg vitamin C dalam kelopak rosela merah berhasil meningkatkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin.

Selain itu, terdapat beberapa penelitian lainnya yang membuktikan manfaat tanaman berkadar vitamin C dan zat besi terhadap pencegahan anemia, salah satunya penelitian

(12)

oleh Susanti (2012). Penelitian yang dilakukan mendapatkan kesimpulan bahwa daun jambu mete dapat meningkatkan Jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Daun jambu mete yang masih muda mempunyai komposisi kandungan seperti vitamin A sebesar 2.689 SI per 100 gram, vitamin C sebesar 65 gram per 100 gram, kalori 73 gram per 100 gram, protein 4,6 gram per 100 gram, lemak 0,5 gram per 100 gram, hidrat arang sebesar 16,3 gram per 100 gram, kalsium 33 miligram per 100 gram, fosfor 64 miligram per 100 gram, besi 8,9 gram per 100 gram, dan air 78 gram per 100 gram (Yuniarti, 2008).

Penelitian mengenai pengaruh pemberian kacang hijau terhadap peningkatan kadar hemoglobin tikus putih jantan galur wistar yang dilakukan oleh Maulina & Sitepu (2014) memperoleh hasil penelitian pemberian kacang hijau dengan dosis 18 gr/kgBB/hari dan dosis 36 gr/kgBB/hari berpengaruh terhadap peningkatan kadar Hb tikus putih. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa kacang hijau berpotensi sebagai alternatif pencegahan anemia.

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria anemia menurut WHO
Gambar 2.1 Eritrosit  Sumber: Lestari &amp; Kristinah (2009)

Referensi

Dokumen terkait

 Skor 1 jika peserta didik mampu menyebutkan alasan tetapi tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan. Keterangan: Total skor

Penghargaan publik merupakan penghargaan terhadap profesi tertentu, maka publik akan memberikan imbalan yang pantas terhadap layanan profesional yang diterimanya. Bagi guru,

Atas dasar harga berlaku, sektor ekonomi yang menunjukkan nilai tambah bruto yang terbesar pada Triwulan I-2010 adalah Sektor Industri Pengolahan sebesar Rp380,9

Dari hasil regresi yang telah disajikan pada tabel 2 diatas nampak bahwa nilai hitung untuk Variabel Terikat (Harga Barang Sembako) sebesar 8,632 dengan tingkat signifikan yaitu

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar

Untuk identifikasi masalah 2 dianalisis dengan menggunakan model regresi berganda untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor (pendidikan ibu rumah tangga, pekerjaan, pendapatan

Bab ini berisi uraian konsep berteologi tiga tokoh yang tergolong sebagai teolog agama-agama trinitarian dan merupakan acuan Joas Adiprasetya dalam membangun model

Risiko infeksi di Unit Hemodialisa Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping adalah resiko rendah (low risk).. Instrumen ICRA untuk HD dari CDC dapat diterapkan untuk menilai