• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mata

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Mata

Mata merupakan salah satu organ yang penting dalam tubuh manusia. Mata dapat dibedakan menjadi tiga lapisan. Lapisan terluar adalah kornea dan sklera yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Kornea berfungsi sebagai pelindung mata dari infeksi dan kerusakan struktural serta membiaskan cahaya ke lensa dan retina. Sklera merupakan mantel atau pelindung mata agar tetap mempertahankan bentuknya saat ada tekanan dari internal maupun eksternal. Sklera tertutup oleh selaput transparan yang disebut dengan konjungtiva. Kornea dan sklera dihubungkan oleh limbus. (Willoughby CE, 2010).

Lapisan kedua terdiri dari iris, badan siliar dan koroid. Iris berfungsi dalam pengaturan akomodasi pupil agar cahaya yang masuk dapat tersampaikan ke retina dengan baik. Badan siliar berfungsi dalam memproduksi aqueous humor dan terletak antara iris dan koroid (Borges, AS, 2013). Koroid berfungsi dalam memasok oksigen dan nutrisi ke bagian luar dan dalam retina. Fungsi lain dari koroid adalah menyerap cahaya, termoregulasi dengan menghilangkan panas dari mata, dan juga mengatur tekanan intraokuler dengan mengontrol vasomotor aliran darah (Nickla, DL, 2010).

(2)

Lapisan terdalam dari mata adalah retina. Retina merupakan bagian mata yang peka terhadap cahaya, mengandung sel-sel kerucut dan sel batang. Bila sel batang dan sel kerucut terangsang, sinyal akan dijalarkan melalui sel saraf pada retina itu sendiri, ke serabut saraf optikus dan diinterpretasikan oleh korteks serebri (Guyton,2013).

(Willoughby CE, 2010)

2.1.2 Histologi Mata

Bola mata terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah sklera yang merupakan jaringan penyangga. Bagian dalam dari sklera berdekatan dengan koroid dimana di lapisan itu terdapat berbagai jenis jaringan ikat dan jaringan penyangga antar sel termasuk adanya melanosit dan makrofag.

Pada bagian anterior terdapat lapisan tipis transparan yaitu konjungtiva yang berfungsi meneruskan cahaya masuk dalam mata. Lapisan kedua adalah lapisan vascular. Lapisan vaskular terletak lebih dalam dibawah sklera (uvea) yang memiliki tiga lapisan dengan urutan dari yang terluar adalah koroid, badan siliar dan iris. Koroid mengandung banyak pembuluh

Gambar 2.1 Bentuk Anatomi Mata

(3)
(4)

2.2 Konjungtiva Manusia 2.2.1 Anatomi

Konjungtiva adalah membran mukus yang tipis yang melapisi kelopak mata bagian dalam yaitu pada bagian tarsal atau palpebra dan pada permukaan bola mata okular kita (bulbar). Konjungtiva berfungsi sebagai proteksi dan juga membuat pergerakan mata lebih mudah atau fleksibel. Konjungtiva palpebral dimulai dari mukokutaneus pada batas kelopak mata hingga mencapai bagian tarsal. Konjungtiva ini pada bagian tepi superior dan inferiornya akan melipat kearah posterior membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris (Alena F, 2014).

Konjungtiva fornix strukturnya lebih longgar dan berlipat-lipat.

Konjungtiva ini mengandung jaringan lakrimal, duktus dari kelenjar lakrimal utama dan folikel limfoid. Sementara konjungtiva bulbar melapisi pada bagian permukaan anterior bola mata dengan struktur yang melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera dibawahnya, kecuali di limbus.

Sebuah plika semilunaris semacam daging (caruncle) yang merupakan zona transisi sebagai modifikasi jaringan yang mengandung folikel rambut, kelenjar aksesori lakrimal, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea (Alena F, 2014).

2.2.2 Histologi

Secara mikroskopis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan epitel, adenoid dan fibrous. Lapisan epitel merupakan lapisan paling luar yang membentuk konjungtiva dan terdiri dari sel-sel epitel yang tersusun rapi seperti mukus dalam tubuh. Lapisan ini kira-kira setebal

(5)

lima sel pada daerah limbus dan batas kelopak mata, sekitar tiga sel tebalnya di daerah forniks dan sklera, serta setebal dua sel pada bagian belakang kelopak mata (Alena F, 2014).

Lapisan adenoid terdiri dari trabekular meshwork yang berfungsi sebagai fagosit mengandung limfosit dan sel-sel pertahanan tubuh. Lapisan ini mulai berkembang setelah bayi berumur tiga atau empat bulan. Bagian dalamnya terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan saraf konjungtiva (Alena F, 2014).

2.2.3 Vaskularisasi dan Inervasi

Palpebra mendapatkan vaskularisasi dari arkus palpebralis superior dan inferior yang membentuk lingkaran arterial yang terletak diatas septum orbitale dan mengelili orbita. Lingkaran arterial tersebut divaskularisasi oleh banyak arteri yang berasal dari A. carotis interna (A. supraorbitalis, Aa. Palpebrales laterales, A. lacrimalis, Aa. Palpebrales medialis) dan A.

carotis eksterna (A. facialis, A. Angularis, A. infraorbita, A. temporalis superficialis, A. zygomatico-orbitalis) (Paulsen, 2010).

Persarafan yang berperan dalam fungsi konjungtiva berasal dari Nn.

Supraorbitalis dan infraorbitalis yang merupakan cabang dari nervus trigeminus (V/1) dan nervus maxillaris (V/2) serta keluar orbita melalui foramina yang bernama sama. Persepsi sensorik dari N. opthalmicus (V/1) dan N. Maxillaris (V/2) dapat diuji pada kedua titik keluarnya saraf (Paulsen, 2010).

(6)

2.3 Konjungtiva Tikus

Penelitian pada konjungtiva tikus strain Sprague-Dawley menemukan bahwa konjungtiva tikus dilapisi oleh epitel skuamus berlapis.

Pada bagian-bagian tertentu dari lapisan epitel tersebut terdapat suatu cekungan yang dibentuk oleh kumpulan sel goblet. Lapisan epitel skuamus terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan basal, intermedia yang terdiri dari wing cells, dan beberapa kumpulan sel skuamus pada permukaannya.

Tidak hanya di konjungtiva manusia yang memiliki sel-sel pertahanan tubuh, pada lapisan basal dan media di konjungtiva tikus juga terdapat sel- sel leukosit mononuclear yang berkelompok (Kurniawan,2009).

Dua perbedaan utama antara stuktur konjungtiva tikus dan manusia adalah konjungtiva tikus dilapisi epitel skuamus berlapis dan sel gobletnya berkelompok membentuk cluster. Epitel skuamus pada konjungtiva manusia hanya terdapat pada dearah perilimbal dan perbatasan konjungtiva dengan palpebra, sementara bagian yang lain dilapisi oleh epitel kuboid dan kolumnar. Jika pada konjungtiva tikus sel goblet membentuk cluster hampir pada seluruh lipatan konjungtiva, pada manusia hanya ditemukan pada lipatan semilunar dan forniks inferior yaitu kripte henle, selebihnya sel goblet tersebar secara soliter (Kurniawan, 2009).

2.4 Respon Imun pada Konjungtiva

Imunologi pada permukaan mukosa bergantung pada peran antibodi, sebagian besar berupa imunoglobulin A (IgA) yang terbentuk sebagai sel plasma. Hal ini dibuktikan pada suatu penelitian ditemukan banyak IgA sel plasma pada subepitelium konjungtiva dan komponen-

(7)

komponen sel antibodi yang disekresikan oleh epitelnya. Beberapa penelitian mencoba menstimulasi konjungtiva untuk mengetahui respon antibodinya salah satunya yaitu penelitian Pu Zhang et al (2016) dengan memberikan antigen yaitu Cholera Toxin pada duodenum dan tepat pada konjungtivanya untuk mengetahui bagaimana ekspresi antitoxin yang mengandung sel-sel plasma tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian toxin baik secara duodenum dan konjungtiva direspon baik oleh sel-sel antibodi pada konjungtiva tikus (Pu Zang et al, 2016).

(Abbas A K, et al,2015)

Alergen yang masuk dan mengkontaminasi mata akan menginisiasi APC (Antigen Precenting Cell) dan Th2 (T Helper 2) yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE (Imunoglobulin E). Molekul IgE yang dilepas akan diikat oleh FcεRI (Fc Epsilon Reseptor I) pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen akan

Gambar 2.3 Reaksi alergi

(8)

menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan mediator farmakologi aktif (amin vasoaktif). Ikatan silang alergen dengan minimal dua FcεRI akan mengaktifkan protein Fyn dan Lyn. Aktivasi kedua protein ini memfosforilasi motif ITAM (Immunoreceptor Tyrosine Activation Motif) dan FcεRIβ (Fc Epsilon Reseptor I Beta) serta FcεRIγ

(Fc Epsilon Reseptor I Gamma). Fosforilasi ini juga akan mengaktivasi protein syk dan Gab2 (Grb-2 Associated binding protein 2). Kemudian syk memicu fosforilasi NTAL (Non T Cell Activation Linker) dan LAT (Linker for Activation Of T Cells) (Abbas A K, et al,2015)..

Efek fosforilasi NTAL akan menarik Grb2 (Growth Factor Receptor Bound Protein-2). Melekatnya Grb2 dengan NTAL akan mengakibatkan Gab2

bergabung dengan NTAL dan membentuk kompleks dengan Grb2 dan PI3K (Phosphatidylinositol 3 Kinase).Kompleks tersebut akan mengaktifkan berbagai protein lain yang penting untuk degranulasi. PI3K yang membentuk komplek akan menarik BTK (Buton Tyrosin Kinase) menuju ke membran sel. BTK kemudian akan mengaktifasi PLCγ (Phospolipase Cγ)untuk memecah Phosphatidylinositol biphosphate (PIP2) menjadi IP3 (Inositol triphosphate) dan

DAG (Diacyl Glyserol). Kedua zat ini mempunyai fungsi yang berbeda. DAG mengaktifkan PKC (Protein Kinase C) sedangkan IP3 memicu peningkatan kadar kalsium intrasel (Abbas A K, et al,2015).

Ikatan antara IP3 dengan reseptornya akan memicu keluarnya ion kalsium ke dalam sitoplasma. Retikulum endoplasma yang kekurangan ion kalsium merangsang sensor kalsium STIM (Stromal Interaction Molecule) pada reticulum endoplasma. STIM kemudian bergerak kearah membran plasma untuk berikatan dengan kanal kalsium sehingga terbukalah kanal kalsium sehingga kalsium masuk ke intrasel (Abbas A K, et al,2015).

(9)

PKC yang diaktifkan oleh DAG akan mempengaruhi degranulasi sel mast dengan cara (1) memfosforilasi MARCK (Myristoylated alanine-rich protein kinase C Substrate) dari PIP2. (2) PKC mempengaruhi MTOC (Microtubule Organizing Centre). (3) PKC mempengaruhi Ras untuk aktif sehingga terjadilah reorganisasi mikrotubulus (Abbas A K, et al,2015).

Kalsium dan Ras akan mengaktifasi enzim PLA2 (Phospholipase A2) yang berfungsi dalam menginisiasi pelepasan mediator lipid yaitu PGD2 (Prostaglandin D2) dan LTC4 (Leukotriene C4) (Abbas A K, et al,2015).

Tanpa kalsium, ras merangsang faktor transkripsi untuk menstimulasi beberapa sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-9, IL-13 yang semakin merangsang sel B memproduksi IgE) serta tumor necrosis (TNF).

Tidak hanya reaksi hipersensitifitas, bagian lokal yang mengalami peradangan akan mengeluarkan neuromediator berupa neurogenic inflamasi. Neurogenic akan berinteraksi dengan saraf, imunitas dan sistem endokrin yang berkerja bersama-sama dengan innate immunity untuk mengontrol dan menjaga permukaan mata. Neuromediator tersebut terdiri atas neutransmitter, neuropeptida dan neurotropin (Sanchez MC, et al, 2011).

Neuropeptida terkandung dalam aqueous humor yang ikut berperan dalam mempertahankan imunitas intraocular. Neuropeptida sensorik seperti substansi P dan calsitonin gen related peptide (CGRP) terlibat dalam tranmisi nyeri sementara neuropeptida Y diproduksi oleh saraf simpatis dan sel-sel imun untuk mendesak kinerja natural killer sel (NK). Hubungan antara neuropeptida sensorik dan simpatik/parasimpatik

(10)

ini akan mengontrol produksi air mata dan musin (Sanchez MC, et al, 2011).

2.5 Sel Goblet

2.5.1 Struktur dan Fungsi Sel Goblet

Konjungtiva memiliki dua jenis sel utama, yaitu sel goblet dan sel pipih bertingkat. Sel goblet berperan dalam membentuk lapisan mukus tear film melalui epitel glikokaliks dan lapisan musin (glikoprotein) yang berfungsi sebagai lubrikan dan membersihkan benda-benda asing, kotoran dan sel yang masuk ke dalam mata. Fungsi ini terjadi karena sel goblet mensintesis dan mensekresikan musin dengan berat molekul yang tinggi yaitu musin 5ac (MUC5AC). MUC5AC kemudian akan disekresikan ke dalam air mata yang membentuk suatu lapisan mukosa yang menyebar pada bagian glikokaliks dan epitel yang ada dibawahnya. MUC5AC dapat menangkap alergen lalu mengeluarkannya dari mata dan mengalihkan ke sistem lakrimal (Dartt DA, 2011). Lapisan musin yang dihasilkan oleh sel goblet akan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva yang bersifat hidrofobik sehingga menjadikannya bersifat hidrofilik agar air mata dapat membasahi serta menstabilkan lapisan air mata (Asyari F, 2007).

Sementara pada penyakit inflamasi akan mengakibatkan berkurangnya aliran air mata sehingga memicu produksi musin berlebihan dari sel goblet.

Sel goblet seringkali dikendalikan oleh sistem neuroendokrin sehingga untuk sekresinya distimulasi oleh aktivasi saraf-saraf sensorik pada konjungtiva dan kornea. Sel goblet terutama teragregasi pada kripte

(11)

konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar bagian nasal menuju ke limbus (Bye LE, 2013).

(Jain D,2013)

2.5.2 Respon Sel Goblet pada Konjungtivitis

Sel goblet mensintesis dan mensekresikan musin dengan berat molekul yang tinggi yaitu MUC5AC yang berfungsi untuk menangkap alergen lalu mengeluarkannya dari mata dan mengalihkan ke sistem lakrimal (Dartt DA, 2014). Paparan berbagai alergen dan zat-zat patogen dari lingkungan akan menyebabkan hiperplasi dari sel goblet konjungtiva (Alves M, et al, 2014)

Gambar 2.4

Sel Goblet Konjungtiva ( kanan) dengan Epitel Kornea Berpigmen ( kiri )

(12)

(Alves M, et al, 2014)

Tabel 2.1 Gejala klinis yang ditemukan pada fase akut dan kronis Environmental Dry Eye Disease (EDED)

Temuan Klinis Reaksi Adaptif Akut Reaksi Adaptif Kronik

Gejala Bervariasi Menurun

Osmolaritas Tear Film Menurun Meningkat

Hiperemia Ada Ada

Meibomian Gland Dysfunction (MGD)

Ada Ada

Schirmer Test Tinggi Rendah

Tear Film Breakup Test (TFBUT)

Rendah Rendah

Pewarnaan Normal Berubah

Sel Goblet Konjungtiva Meningkat Menurun

Sumber : Alves M, et al, 2014.

Gambar 2.5

Temuan Klinis Akibat EDED (Environmental Dry Eye Disease)

(13)

2.6 Konjungtivitis 2.6.1 Definisi :

Konjungtivitis adalah tanda dari peradangan mata yang menyebabkan mata merah. Penyebab umum dari mata merah lainnya adalah blepharitis, abrasi kornea, benda asing, pendarahan subconjunctival, keratitis, iritis, glaucoma, kimia, dan scleritis (Cronau H, 2010)

(Minarni & Ariani DN, 2013).

2.6.2 Etiologi :

Konjungtivitis disebabkan karena zat-zat menular dan zat-zat yang tidak menular. Zat-zat menular diantaranya virus dan bakteri, sementara zat-zat yang tidak menular seperti alergi dan iritasi (Cronau H, 2010).

2.6.3 Klasifikasi :

Konjungtivitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 2.6.3.1 Konjungtivitis noninfeksius :

- Alergi

Konjungtiva merupakan salah satu organ tubuh yang langsung terpapar dengan lingkungan sehingga rentan terjadi reaksi alergi.

Reaksi alergi pada mata melibatkan reaksi hipersenstitifitas tipe 1 dimana terjadi ikatan silang antara antigen dan IgE yang

Gambar 2.6

Gambaran Klinis Konjungtivitis pada Mata Manusia

(14)

mengaktifkan sel mast melalui Fc€RI yang merangsang degranulasi sel mast (American Optometric Association, 2002) Jenis-jenis konjungtivitis alergi :

1. Konjungtivitis sederhana

Terjadi karena paparan alergen berulang misalnya obat mata atau pemakaian lensa mata. (American Optometric Association, 2002).

2. Konjungtivitas musiman

Konjungtivitis yang munculnya akibat pengaruh musim.

Konjungtivitis musiman ditandai dengan gejala berulang namun bersifat sementara dan self limiting disease serta disebabkan karena serbuk sari, bulu debu ataupun jamur spora (American Optometric Association, 2002).

3. Konjungtivitis vernal

Inflamasi kronis pada mata yang sebagian besar terjadi pada anak-anak laki-laki dibanding perempuan. Penyakit ini paling banyak ditemukan pada daerah Afrika sub-Sahara dan Timur Tengah sementara pada daerah-daerah yang beriklim jarang atau hampir tidak ditemukan (Vaughan &

Asbury, 2015). Konjungtivitas vernal mengakibatkan komplikasi mata seperti glaukoma, jaringan parut pada kornea dan kebutaan. (Vichyanond P, 2013).

(15)

4. Atopik keratokonjungtivitis (AKC)

Suatu keadaan kronis dari atopik dermatitis. Pada kasus yang berat bisa menyebabkan seluruh kornea tampak kabur dan mengalami vaskularisasi serta penurunan penglihatan.

(Vaughan & Asbury, 2015).

- Mekanikal/toxin/iritasi adalah konjungtivitis iatrogenik akibat pemberian obat topikal, oleh bahan kimia dan iritan serta konjungtivitis karena bulu ulat (oftalmia nodosum) (Vaughan &

Asbury, 2015)

- Immune mediated seperti keratokonjungtivitis sika pada sindrom sjogren dan pemfigoid sikatrikal (Vaughan & Asbury, 2015).

- Neoplastik

2.6.3.2 Konjungtivitis infeksius - Virus

- Bakteri

2.6.3.3 Akut, kronik dan rekuren (American Academy of Ophtalmology,2013).

2.6.4 Patofisiologi konjungtivitis alergi :

Konjungtivitis alergi adalah suatu proses peradangan yang self limiting. Peradangan disebabkan karena mekanisme kekebalan yang diperantarai oleh IgE atau reaksi hipersensitivitas yang timbul sesudah permukaan konjungtiva terpajan alergen. Reaksi tersebut akan memicu aktivasi sel mast dan pelepasan berbagai mediator kimia. Selain itu inflamasi juga melibatkan mekanisme neurogenik, molekul adhesi, dan

(16)

kekebalan sistemik lainnya yang memunculkan gejala-gejala radang.

(Sanchez MC, 2011)

Urutan reaksi hipersensitivitas tipe 1 terjadi ketika alergen yang masuk dalam tubuh akan mengaktivasi APC (Antigen Presenting Cell) dan Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif). Mediator-mediator tersebut digunakan sebagai target pengobatan untuk menekan gejala-gejala konjungtivitis (Baratawidjaja KG, 2013).

(Bratawidjaja,2013)

Gambar 2.7

Reaksi Hipersensitifitas Tipe 1

(17)

Tabel 2.2 Mediator primer utama pada hipersensitivitas tipe 1

Mediator Efek

Histamin H1 :Permeabilitas vascular meningkat, vasodilatasi, kontraksi otot polos.

H2 :Sekresi mukosa gaster H3 :SSP

H4 :Eosinofil

ECF-A Kemotaksis eosinofil

NCF-A Kemotaksis neutrofil

Protease Sekresi mucus bronchial, degradasi membrane basal pembuluh darah, pembentukan produk pemecahan komplemen

Eosinophil Chemotactic Factor Kemotaksis eusinofil Neutrophil Chemotactic Factor Kemotaksis neutrofil

Hidrolase asam Degradasi matriks ekstraseluler

PAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru

NCA Kemotaksis neutrofil

BK-A Kalikrein, kininogenase

Proteoglikan Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan, mencegah komplemen yang menimbulkan koagulasi

Enzim Kimase, triptase dan proteolisis

Sumber : Baratawidjaja KG, 2013.

(18)

Tabel 2.3 Mediator sekunder utama pada hipersensitivitas tipe 1

Mediator Efek

LTR (SRS-A) Peningkatan permeabilitas vaskuler , vasodilatasi, sekresi mucus, kontraksi otot polos paru, kemotaktik neutrofil PG Vasodilatasi, kontraksi otot polos paru, agregasi

trombosit, kemotaktik neutrofil, potensiasi mediator lainnya

Bradikinin Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos, stimulasi ujung saraf nyeri

Sitokin Alergen atau mikroba menginduksi sekresi sitokin pro- inflamasi seperti IL-1β, TNF-α dan IL-6 yang dibuktikan dalam model tikus dari LPS-konjungtivitis. Sitokin seperti IFN-γ (Th1), IL-17 (Th17) dan IL-13 (Th2) juga terlibat selama respon autoimun alergi atau mukosa Interleukin 1 (IL-1) dan TNF-α Anafilaksis, peningkatan ekspresi CAM pada sel endotel

venul

IL-4 dan IL-13 Peningkatan produksi IgE IL-3, IL-5, IL-6, IL-10, TGF-β,

dan GM-CSF

Bervariasi

IL-4, PMN, demam, TNF α Aktivasi monosit, eosinofil dan demam Fibroblast Growth Factor (FGF) Fibrosis

Inhibitor protease Mencegah kimase

Lipoksin Bronkokontriksi

Leukotrien (LTC4 LTD4 LTE4) Kontraksi otot polos (jangka lama), meningkatkan permeabilitas, kemotaksis

Leukotrien B4, 15-HETE Sekresi mucus

PAF Kemotaksis terutama eosinofil dan bronkospasme

Sumber : Baratawidjaja KG, 2013.

2.6.5 Gejala Klinis :

Gejala klinis akibat dari reaksi hipersensitivitas tipe 1 dapat bervariasi dari lokal, ringan sampai berat bahkan sampai mengancam nyawa seperti anafilaktik. Reaksi lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang melibatkan epitel tempat alergen masuk sehingga akan menimbulkan suatu gejala gatal, kemerahan, sensasi benda asing seperti tergores atau terbakar, fotofobia dan sekresi yang berlebihan dari air mata (Baratawidjaja KG, 2013).

(19)

2.6.6 Diagnosis Konjungtivitis

(Cronau H, 2010)

2.6.7 Terapi

Langkah pertama dalam menangani konjungtivitis alergi adalah dengan cara menghindari paparan alergen yang bisa menimbulkan gejala- gejala klinis dari konjungtivitis dan menggunakan tetes mata. Penggunaan antihistamin generasi kedua dan vasokontriktor juga efektif pada kasus konjungtivitis alergi yang ringan. (Cronau H, 2010).

2.7 Kunyit (Curcuma longa)

2.7.1 Sifat Fisik Kunyit (Curcuma longa)

Kunyit (Curcuma longa) adalah rempah-rempah dari India yang merupakan rimpang dari suatu tanaman (rhizoma). Kunyit (Curcuma longa) dikenal dengan sebutan “Haldi” di India sebagai suatu ramuan

Gambar 2.8

Bagan untuk Mendiagnosis Penyebab Mata Merah pada Mata

(20)

herbal yang tumbuh di daerah tropis (Krup V, 2013). Tumbuhan ini bisa tumbuh secara alami pada dataran rendah hingga ketinggian sekitar 2000 meter diatas permukaan laut, baik pada tanah liat maupun berpasir (Hartati SY,2013).

Anggota dari Zingiberaceae ini mempunyai batang semu yang dibentuk dari pelepah daunnya dan memiliki ketinggian mencapai 1-1,5 meter. Daunnya tunggal dan bertangkai, berbentuk lancet yang lebar , tepinya rata, ujung dan pangkalnya meruncing, bertulang menyirip, permukaannya licin dan berwarna hijau muda. Tumbuhan yang kaya akan manfaat ini juga memiliki bunga yang merupakan bunga majemuk berbentuk kerucut yang muncul dari batang semunya (Hartati SY, 2013)

Bagian utama dari tanaman kunyit (Curcuma longa) adalah rimpang sebagai tempat munculnya tunas. Kulitnya berwarna kecoklatan dengan bagian dalam berwarna kuning. Rimpang utama berbentuk bulat panjang seperti telur ayam yang merupakan induk rimpang. Induk rimpang membentuk cabang yang letaknya lateral seperti jari dan memiliki rasa yang pahit dan kaya akan pigmen dan resin sedangkan anak rimpang berbau aromatis dan terasa manis (Hartati SY,2013). Urutan taksonomi kunyit (Curcuma longa)adalah sebagai berikut :

Kelas : Liliopsida Subkelas : Commelinids Ordo : Zingiberates Family : Zingiberaceae Genus : Curcuma

(21)

Spesies : Curcuma longa (Bagschi, 2012)

(Hartati SY, 2013)

2.7.2 Kandungan kunyit (Curcuma longa)

Senyawa utama yang terkandung dalam kunyit (Curcuma longa) adalah curcuminoid dan minyak atsiri. Curcuminoid terdiri dari curcumin dan turunannya yaitu demetoksicurcumin dan bisdemetoksicurcumin.

Curcuminoid membentuk emulsi dan tidak larut dalam air tetapi mudah larut dalam aseton, etanol, methanol, bensen dan kloroform. Senyawa- senyawa tersebutlah yang memberikan warna kekuningan, jingga hingga kemerahan yang tidak stabil jika terkena matahari namun stabil jika dipanaskan. Kandungan minyak atsiri terdiri dari komponen artumeron, alfa dan beta tumeron, tumerol, alfa atlanton, beta kariofilen, linalol, 1,8 sineol, zingiberen, dd felandren, d-sabinen, dan borneol. Selain kedua senyawa tersebut kunyit (Curcuma longa) juga mengandung senyawa lain diantaranya karbohidrat, lemak, protein, kamfer, resin, dammar, kalsium, fosfor dan zat besi (Hartati SY, 2013).

Gambar 2.9 Bagian-bagian Tanaman Kunyit (Curcuma longa)

(22)

2.7.3 Manfaat Kunyit (Curcuma longa)

.Berdasarkan aktvitas farmakologisnya dan berbagai penelitian, curcumin dapat dijadikan sebagai anti oksidan, anti mikroba, anti inflamasi, anti kanker, dan salah satunya pada mekanisme alergi. (Choi, Hae Yon, 2009).

2.7.3.1 Sebagai Anti kanker

Curcumin menunjukkan anti proliferasi berbagai reseptor growth factor dan adhesi sel yang terlibat dalam pertumbuhan tumor, angiogenesis dan metastasis. Aktivitas anti tumor pada sel kanker mengubah regulasi siklus sel melalui cyclin dependent, p53 dependent dan jalur p53 independen. Pengaruh curcumin sudah teruji efektivitasnya pada hewan coba dalam melawan sel- sel kanker (Krup V, et al, 2013).

2.7.3.2 Sebagai Anti alergi

Curcumin yang merupakan kandungan aktif dari tumbuhan kunyit (Curcuma longa) ternyata menunjukkan potensinya sebagai antialergi dengan cara menekan degranulasi mast cell dan pelepasan histamin dari rat peritoneal mast cell (RPMC).

Curcumin juga menghambat reaksi anfilaktik sistemik in vitro dan anti dinitrophenyl immunoglobulin E (anti DNP IgE) pada in vivo.

(Krup V, et al, 2013).

Kunyit (Curcuma longa) telah dinyatakan sebagai agen antiinflamasi terbaik pada berbagai penelitian (Krup V, et al, 2013). Berdasarkan eksperimen dari Chung, et al, 2012 mengenai

(23)

efek curcumin terhadap konjungtivitis alergi menunjukkan bahwa tikus yang diinduksi Ovalbumin dan Alumunium Hidroksida (ALUM) kemudian diberikan larutan curcumin 10 atau 20 mg/kgBB mampu menekan sekresi IgE dan eosinofil pada konjungtiva tikus. Tidak hanya itu IL-4 dan IL-5 juga menurun kadarnya pada konjungtiva, limpa, hati dan kelenjar getah bening serviks dibandingkan dengan tikus tanpa pemberian curcumin (Chung, et al, 2012).

2.7.3.3 Sebagai Anti Oksidan

Curcumin memiliki efek antioksidan dengan cara menghilangkan radikal bebas dan efek anti inflamasi melalui hambatan aktivasi nuclear faktorkappa B 2 (NF-kB 2) (Shimatsu A, 2012). Curcumin merupakan suatu antioksidan poten yang mengandung vitamin C, E dan Beta karoten (Akram M, 2010).

2.7.3.4 Sebagai Anti Inflamasi

Kunyit (Curcuma longa) mampu menurunkan histamin akibat aktivasi reaksi radang. Selain itu juga menyebabkan meningkatnya dan memperpanjang anti inflammatory alami dalam tubuh seperti hormon adrenal, kortisol yang nantinya akan memperbaiki sirkulasi (Akram M, 2010).

2.7.3.5 Sebagai Anti Alzheiemer

Curcumin sebagai sitoprotektan dapat memperbaiki kerusakan sel-sel saraf otak selain itu efek kunyit sebagai inhibitor cyclooxygenase 2 (COX-2) menjadikan curcumin

(24)

sebagai obat pencegah penyakit Alzheimer. Hasil penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang rutin mengkonsumsi makanan yang menggunakan kunyit (Curcuma longa) sebagai salah satu bahan bumbu masaknya mempunyai resiko yang rendah terhadap penyakit Alzheimer. Telah dilaporkan bahwa India merupakan negara yang mempunyai jumlah terendah penyakit Alzheimer di dunia. Hal ini disebabkan karena penduduk India banyak mengonsumsi sejenis curry yang menggunakan kunyit sebagai bahan utama masakannya (Hartati SY,2013).

2.7.4 Peran Kunyit (Curcuma longa) terhadap Sel Goblet

Curcumin yang terkandung di dalam kunyit (Curcuma longa) mampu menghambat COX-2 melalui inaktivasi NF-kB. NF-kB merupakan fraktor transkripsi eukariotik yang terlibat dalam regulasi peradangan, proliferasi sel, transformasi, dan tumorigenesis. Penekanan pada NF-kB akan menurunkan produksi COX-2 dan melalui downregulation ini asam arakidonat juga turut terhambat (Jurenka JS, 2009).

Menurut penelitian Dartt (2011) yang bertujuan untuk mengetahui peran mediator-mediator inflamasi yaitu leukotrien pada sekresi sel goblet konjungtiva, menunjukkan bahwa aktivasi reseptor CysLT akibat reaksi inflamasi menstimulasi sekresi sel goblet melalui LTD 4 yang diproduksi oleh asam arakidonat.

(25)

2.7.5 Toksisitas

Sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Inano dkk menunjukkan bahwa curcumin memberikan perbaikan yang signifikan dan tidak menimbulkan efek samping tertentu pada tikus yang diinisiasi tumor pada kelenjar susunya. Konsentrasi asam lemak pada serum, asam thiobarbituric dan hormon yang disekresi ovarium serta hipofisis juga dalam kadar normal atau terkontrol. (Inano H, 2000).

Berdasarkan sejarah penggunaan kunyit (Curcuma longa) di Asia dan beberapa penilitian preklinik maupun klinik menunjukkan tidak adanya toksisitas yang berhubungan dengan pengkonsumsian kunyit (Curcuma longa) (Singletary K, 2010).

2.8 Ovalbumin (OVA)

Ovalbumin terkandung dalam putih telur sebanyak 54% dan itu merupakan kandungan protein utama pada telur. Ovalbumin memiliki tiga fraksi (A1, A2, A3) yang masing-masing dibedakan dengan jumlah gugus fosfornya. A1 memiliki 2 gugus fosfat permolekul, A2 memiliki 1 gugus fosfat, dan A3 tidak memiliki gugus fosfat (Xu Wei, 2013).

Ovalbumin adalah suatu monomer, globular fosfoglicoprotein dengan berat 44,5 kDA yang sebagian dari strukturnya adalah hidrofobik.

Ovalbumin mengandung 3,5% karbohidrat dan memiliki empat gugus sulphydrilic dan disulfide. Struktur OVA bisa rusak apabila terpapar oleh panas dan melalui agitasi. Selama penyimpanan OVA diubah menjadi s- OVA yang memiliki molekul sedikit lebih ringan dan kuantitas pada putih telurnya dapat meningkat selama penyimpanan. Konversi OVA menjadi s-

(26)

OVA adalah hasil dari perbedaan struktur ikatan kovalennya. Ketika telur ditutupi dengan minyak kemudian dilapisi dengan konsentrat air dadih protein atau disimpan di bawah pendingin maka konversi ini akan tertunda (Alleoni ACC, 2006).

2.8.1 Ovalbumin sebagai alergen

Ovalbumin (albumin pada telur) merupakan salah satu alergen utama yang terdapat pada putih telur ayam dan tak jarang dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas terhadap makanan (Vianello F, 2006).

Ovalbumin merupakan protein alergenik (antigen) yang sering digunakan untuk menginduksi reaksi alergi. Sensitivitas dengan ovalbumin baik secara inhalasi, oral maupun intraperitoneal terbukti dapat merubah kecenderungan respon imun tikus ke arah Th2. Hal tersebut telah dibuktikan pada banyak penelitian. Chung, et al (2012), membuktikan bahwa pemberian ovalbumin secara intraperitoneal (dengan dosis 1 μg untuk mencit) dan topikal (dengan dosis 250 μg untuk mencit) menyebabkan terjadinya respon antibodi IgE spesifik, Th2, sitokin produksi dan infiltrasi eosinofil ke dalam konjungtiva.

Pemberian OVA pada penelitian ini dilakukan pada hari ke 0,7,15 dan 18. Hal ini dikarenakan dalam hal alergi sensitisasi pertama bertujuan untuk menstimulasi terbentuknya limfosit pengingat yang bersirkulasi ke seluruh tubuh, yang menyebabkan sel tersebut mempunyai ingatan terhadap ovalbumin. Sensitisasi ovalbumin yang kedua bertujuan untuk membentuk IgE lebih cepat (Leasa BN, 2010). Berdasarkan penelitian Chen J, et al (2017) mengenai pemberian interleukin-28A secara topikal

(27)

pada konjungtiva tikus yang diinduksi ovalbumin menunjukkan bahwa pemberian ovalbumin pada hari ke 0 dan 7 belum mampu meningkatkan kadar IgE serum, IgE masih terikat pada membran sel mast konjungtiva pada fase awal alergen. Setelah pemberian kedua dengan jarak satu minggu dari pemberian pertama terjadi peningkatan kadar IgE serum dan eosinofil pada konjungtiva.

Pemajanan ovalbumin sebagai alergen akan memicu APC yang akan di degradasi menjadi peptida-peptida dan selanjutnya akan dipresentasikan pada sel Th2. Ovalbumin akan mengaktivasi sel mast dan sel CD4+ Th2 dimana selanjutnya akan menginduksi produksi mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien, dan sitokin (Subijanto, 2008).

2.9 Aluminium Hidroksida (ALUM) 2.9.1 Definisi

Aluminium Hidroksida adalah suatu adjuvant yang paling sering digunakan sebagai vaksin profilaksis karena kemampuannya dalam meningkatkan perlindungan respon imun humoral sehingga jarang menyebabkan nekrosis jaringan pada daerah bekas suntikan. Aluminium hidroksida merangsang respon Th2 melalui pelepasan sitokin Th2 dan antibodi Th2(Kool M et al, 2008).

2.9.2 Ovalbumin dan Aluminium Hidroksida dalam reaksi imun

Mencit yang diinjeksi secara intraperitoneal dengan ovalbumin atau ova+alum dua puluh empat jam kemudian menunjukkan gambaran Neutrofil, Eosinofil, Monosit, dan sel Dendritik. perbedaan presentasinya dapat dilihat pada gambar dibawah ini dimana menunjukkan bahwa ova+alum

(28)

menunjukkan angka yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pemberian injeksi ova sendiri (Kool M et al, 2008).

(Kool M et al, 2008) Gambar 2.10

Respon inflamasi oleh alum

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian pada level tiga tersebut akan diperoleh sejumlah angka indeks konsistensi yang banyaknya sama dengan unsur-unsur dalam level dua. Langkah selanjutnya adalah

Untuk menyebut di antara ilmuwan dimaksud adalah Fazlur Rahman dari Pakistan yang menunjukkan pentingnya hermeneutika dalam kajian Islam, Syahrur dari Syria yang

Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa ANFIS Optimal dapat menurunkan nilai error secara signifikan dibandingkan metode lainnya sehingga dapat

Namun fenomena di lapangan masih banyak guru dalam proses pembelajaran dengan model ”teacher centered” (berpusat pada guru), model pembelajaran ini akan

Berdasarkan uraian tersebut maka teknik pembelajaran make a match diharapkan dapat meningkatkan kemampuan menulis permulaan khususnya menulis nama anggota tubuh

Hasil penelitian tentang mekanisme koordinasi menunjukkan, komunikasi dalam upaya penemuan suspek TB, 4 Puskesmas (44,4%) cukup baik, 7 Puskesmas (77,7%) supervisinya kurang baik,

Selain itu media buku panduan objek wisata Kabupaten Pangandaran dinilai efektif bagi Dinas Pariwisata Kabupaten Pangandaran karena dapat membantu wisatawan dan

sebagai Peiaksana Tugas (Pit) Ketua DPD Partai GOLKAR Kabupaten Lampung Tengah dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan DPD Partai GOLKAR Provinsi