• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Penelitian dan Perumusan Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Penelitian dan Perumusan Masalah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Penelitian dan Perumusan Masalah

Teori pembangunan muncul pada abad ke 18 dari Mazhab Ekonomi Klasik yang dipelopori antara lain oleh Adam Smith, David Ricardo dan Thomas Malthus. Ekonom klasik menekankan pentingnya kekuatan pasar untuk merangsang pertumbuhan dan inovasi, tetapi mempunyai pandangan yang

I

pesimistik terhadap prospek pertumbuhan jangka panjang.

Menurut Ricardo dan Malthus, dalam jangka panjang pertum- buhan ekonomi akan mencapai keadaan stasioner atau suatu keadaan dimana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali akibat keterbatasan sumberdaya alam (Higgins, 1959; Hoselitz, 1960; Sukirno, 1985; Pearce dan Turner, 1990).

Pada tahun 1870 muncul pemikiran-pemikiran baru tentang pertumbuhan ekonomi walaupun masih berlandaskan pada pemikiran-pemikiran Mazhab Klasik, yang disebut Mazhab Neoklasik, Beberapa pemikiran baru tersebut antara lain konsep marjinal dari Gossen; konsep nilai guna dan nilai tukar, konsep harga, konsep bunga dan teori distri- busi pendapatan dari

ohm-~awerk;

teori perilaku konsumen, teori disutility tentang upah dan teori imbalan jasa bagi pemilik modal yang menunggu dari Marshall; dan teori efisiensi Pareto tentang penggunaan sumberdaya secara optimal dan hukum Pareto tentang distribusi pendapatan.

(2)

Beberapa teori Mahzab Neoklasik mutakhir antara lain:

teori pasar persaingan tidak sempurna oleh Robinson;

persaingan monopolistik dari Chamberlin dan prinsip keun- tungan komparatif dalam perdagangan internasional oleh Heckscher dan Ohlin (Herrick dan Kindleberger, 1983;

Djojohadikusumo, 1991; Irawan dan Suparmoko, 1992).

Sesudah Perang Dunia Pertama, negara-negara Eropa menghadapi masalah politik, sosial dan ekonomi yang sangat rumit, sehingga menimbulkan kedidakstabilan perekonomian yang menyebabkan timbulnya pengangguran dan alat-alat produksi tidak seluruhnya digunakan. Keadaan ini diperbu- ruk oleh adanya depresi di Amerika Serikat pada awal dasawarsa 1930-an. Mazhab Klasik maupun Neoklasik ternya- ta tidak dapat memecahkan permasalahan tersebut. Dalam situasi tersebut muncul Mazhab Keynesian yang dipelopori oleh John Maynard Keynes, Hansen, Samuelson, Kuznets dan Leontief. Intisari dari teori Keynesian antara lain adalah: konsep permintaan efektif, pendapatan nasional, kecenderungan mengkonsumsi, tingkat bunga yang berhubungan dengan preferensi likuiditas, efisiensi marjinal dan investasi modal dan campur tangan pemerintah dalam meka- nisme pasar (Sukirno, 1985; Jhingan, 1988; Pearce dan Turner, 1990; Djojohadikusumo, 1991).

.

Berbeda dengan Mahzab Klasik, Neoklasik maupun Keyne- sian, pada abad ke 19 di Jerman muncul Mazhab Historismus yang mengembangkan teori Tahapan Pertumbuhan, antara lain dipelopori oleh Karl Marx. Teori Marx didasarkan kepada

(3)

teori nilai dan upah dari David Ricardo dan teori tentang proses ekonomi dalam kehidupan masyarakat secara menyelu- ruh dari Francois Quesnay. Ada beberapa pendapat bahwa teori Marx ini tidak termasuk dalam Mazhab Historismus, tetapi termasuk dalam mazhab Marxisme. Pelopor teori tahapan pertumbuhan lainnya adalah Friedrich List menge- nai teori tahapan pertumbuhan berdasarkan pergeseran distribusi pekerjaan. Pada dasawarsa 1930-an pengembangan teori tahapan pertumbuhan dilakdkan Fisher-Clark, tentang pergeseran investasi dan tenaga kerja dari sektor primer ke sektor sekunder dan terakhir ke sektor tersier. Pada dasawarsa 1950-an, pengembangan teori tahapan pertumbuhan dikemukakan oleh Rostow tentang sektor utama (Todaro, 1985; Hayami dan Ruttan, 1985; Djojohadikusumo, 1991).

Pada awal abad ke dua puluh muncul teori dualisme ekonomi yang dikembangkan oleh Boeke. Menurut Hayami dan Ruttan (1971, 1985), teori dualisme ekonomi terdiri dari:

(1) dualisme statis yang terdiri dari dualisme sosiologis dan dualisme enclave; dan (2) dualisme dinamis. Dualisme sosiologis dikembangkan oleh Boeke dan dualisme enclave dikembangkan oleh Higgins. Sedangkan dualisme dinamis dikembangkan oleh Lewis, Ranis, Fei dan Jorgenson.

Mahzab strukturalis, yang berpendapat bahwa pembangu- nan merupakan transformasi struktur ekonomi yang sukses, muncul pada akhir dekade 1950-an. Dasar-dasar teori mahzab ini berasal dari perpaduan teori yang sudah ada seperti: (1) Mahzab Neoklasik tentang harga dan alokasi

(4)

sumberdaya, khususnya hukum Engel tentang penurunan kon- sumsi makanan sehubungan dengan peningkatan pendapatan;

( 2 ) teori tahapan pertumbuhan yang dikembangkan oleh

Fisher-Clark tentang pergeseran investasi dan tenaga kerja; ( 3 ) teori dualisme ekonomi yang dikembangkan oleh Arthur Lewis; ( 4 ) teori Balasa tentang tahapan keuntungan komparatif yang diturunkan dari Model Heckscher-Ohlin; (5) teori transisi demografi; dan (6) teori Keynesian yang dikembangkan oleh Kuznet tendang pertumbuhan ekonomi

,

distribusi pendapatan dan transformasi struktural. Pen- gembangan teori transformasi struktural terutama dicetus- kan kembali oleh antara lain oleh Chenery, Taylor dan Syrquin. Menurut mahzab ini bahwa perturnbuhan ekonomi yang terjadi disertai dengan perubahan struktur produksi, tenaga kerja, perdagangan, akumulasi modal, distribusi pendapatan dan proses sosial ekonomi lainnya (Chenery dan Taylor, 1968; Chenery dan Syrquin, 1975; Chenery, 1979;

Syrquin, 1988, Chenery, Robinson dan Syrquin, 1988).

Dari uraian di atas menunjukkan telah terjadi peru- bahan pemikiran tentang pembangunan yang tidak hanya mene- kankan kepada pertumbuhan ekonomi tetapi juga kepada distribusi pendapatan, kesempatan kerja dan kebutuhan dasar. Namun, strategi pembangunan yang dilakukan oleh sebagian besar negara-negara di dunia sampai pada dekade 1960-an belum mengalami perubahan dan masih menitikberat- kan pada pertumbuhan ekonomi. Sebelum dekade 1960-an, pembangunan identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangu-

(5)

nan ekonomi lebih diartikan kepada kapasitas dari suatu perekonomian nasional, yang kondisi awalnya lebih kurang statis dalam jangka waktu yang cukup lama, untuk berupaya menghasilkan dan mempertahankan kenaikan tahunan GNP pada tingkat 5 - 7 % atau lebih. Indeks ekonomi yang umum dipakai untuk mengetahui kemajuan perekonomian adalah pertumbuhan GNP per kapita, agar dapat memperhitungkan kemampuan suatu negara untuk mengembangkan outputnya pada

I

tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat perkembangan penduduknya. Kesejahteraan masyarakat akan terjadi bersa- maan dengan pertumbuhan GNP per kapita yang cepat. Per- tumbuhan GNP per kapita yang cepat diharapkan akan terjadi penetesan ke bawah (trickle dom) kepada masyarakat luas dalam bentuk lapangan pekerjaan dan kesempatan ekonomi lainnya. Masalah-masalah seperti kemiskinan, pengangguran dan distribusi pendapatan masih kurang mendapat perhatian jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 1985)

.

Pada awal tahun 1960-an pola pemikiran tentang pem- bangunan ekonomi yang menitikberatkan kepada pertumbuhan mulai berubah, karena walaupun sejumlah negara-negara berkembang telah mencapai sasaran pertumbuhan, tetapi ternyata taraf hidup sebagian besar masyarakatnya tidak berubah. Beberapa ekonom seperti Kuznets, Adelman-Moris dan Ahluwalia mempersoalkan pemikiran pembangunan ekonomi yang hanya menitikberatkan kepada pertumbuhan ekonomi,

PBNDAHULUAN

(6)

tetapi melupakan persoalan meluasnya kemiskinan absolut, ketidakmerataan dan meningkatnya pengangguran (Kuznets, 1960; Chenery et al., 1976; Herrick dan Kindleberger, 1983; Todaro, 1985; Sukirno, 1985)

.

Pemikiran mengenai pembangunan ekonomi berubah dari semata-mata menitikberatkan kepada pertumbuhan, kepada pemikiran yang sekurang-kurangnya mengandung tiga ha1 pokok, yaitu: (1) meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok seperti pangan, papan, kesehatan dan perlindungan; (2) meningkatkan taraf hidup, yaitu meningkatkan pendapatan, kesempatan kerja, meningkatkan pendidikan dan meningkatkan perhatian terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan; dan (3) memperluas pilihan sosial ekonomi yang tersedia bagi

setiap individu (Lisk, 1977; Todaro, 1985).

Bersamaan dengan itu, sebagai akibat meningkatnya polusi lingkungan di negara-negara maju, kesadaran ten- tang lingkungan semakin meningkat. Tetapi, berbeda dengan keadaan di negara-negara maju, kebijaksanaan lingkungan di negara-negara berkembang kurang mendapat perhatian, karena negara-negara berkembang baru dalam tahap pemenuhan kebutuhan dasar. Hal ini berlangsung sampai tahun 1972, saat dicetuskan kebijaksanaan lingkungan internasional di

.

Konferensi Stockholm.

Pada tahun 1980 terjadi reorientasi tentang pemikiran lingkungan. Istilah berkelanjutan (sustainability) timbul

(7)

(1994) , istilah sustainabili ty, telah digunakan j auh sebelum tahun tersebut. Istilah tersebut telah digunakan dalam kehutanan dan perikanan dalam menyatakan kelestarian produksi (sustainable yield), tetapi kemudian istilah tersebut digunakan dalam arti yang lebih luas. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, pembangunan berke- lanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang memaksi- mumkan keuntungan bersih dari pembangunan ekonomi dengan tetap memelihara fungsi dan kualitas sumberdaya alam.

Singkatnya, pembangunan ekonomi tidak hanya dilihat dari meningkatnya pendapatan per kapita, tetapi juga memperhat-

ikan kesejahteraan sosial (Pearce dan Turner, 1990).

Pola pembangunan di Indonesia sejak awal Orde Baru, juga tidak terlepas dari perubahan pemikiran tentang pembangunan tersebut dan pengalaman pahit terutama pada masa Pembangunan Nasional Semesta Berencana (1961-1968) pada rejim Orde Lama yang lebih didominasi politik.

Kebijaksanaan pembangunan ekonomi di Indonesia bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu: pertumbuhan ekonomi,

stabilitas nasional dan pemerataan pembangunan dan hasil- hasilnya yang merupakan satu kesatuan dimana masing-masing tidak dapat dipisahkan keterkaitannya dengan yang lainnya.

Prioritas suatu unsur Trilogi Pembangunan disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang dihadapi. Pada awal Orde Baru sampai tahun 1974, pembangunan lebih ditekankan kepada stabilitas nasional dan pertumbuhan. Pada fase

(8)

ini, karena hampir sebagian besar sarana dan prasarana ekonomi mengalami kerusakan, pemerintah mengalokasikan sebagian besar dana-dana pembangunan untuk merehabilitasi infrastruktur di berbagai daerah. Besarnya investasi untuk infrastruktur di bidang pertanian dan pengairan, perhubungan (termasuk pariwisata) dan energi listrik sebesar 45,87 persen dari total pengeluaran pembangunan.

Selain pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, pemerin- tah juga melaksanakan kebijakshaan makro ekonomi yang sangat hati-hati, kontrol inflasi, peningkatan bantuan luar negeri dan pemberlakuan rezim devisa bebas. Sebagai akibat kebijaksanaan tersebut inflasi turun dari 650 pada tahun 1966 menjadi 9,9 pada tahun 1969, walaupun meningkat lagi menjadi 33,3 pada tahun 1974. Kebijaksanaan ini menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu sebesar 7 persen pertahun. Pada periode ini, pangsa relatif sektor pertanian terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) menurun dari 49 persen pada tahun 1969 menjadi 38,66 persen pada tahun 1974. Pangsa relatif sektor industri terhadap total PDB meningkat dari 8,78 persen pada tahun 1969 menjadi 10,39 persen pada tahun 1974.

Penurunan pangsa sektor pertanian diikuti juga oleh penu- runan dalam penyerapan tenaga kerjanya, yaitu menurun dari

.

73,48 % pada tahun 1971 menjadi 61,55 % pada tahun 1976.

Demikian juga tenaga kerja yang diserap oleh sektor indus- tri meningkat, dari 5,64 % pada tahun 1971 menjadi 8,39 %

pada tahun 1976.

(9)

Pada periode 1974-1982, kebijaksanaan pembangunan lebih ditekankan kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijaksa- naan tersebut didukung dengan adanya boom minyak dan eksploitasi kayu secara besar-besaran sebagai akibat membaiknya harga minyak dan komoditi primer lainnya. Namun demikian, pada awal periode 1974-1982, yaitu tahun angga- ran 1974/1975, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan berupa bantuan Inpres Dati I ,yang berorientasi kepada pemerataan.

Selama periode tersebut penerimaan dari migas sekitar 70 sampai 80 persen dari total ekspor Indonesia. Kondisi ini memungkinkan pemerintah dapat melakukan investasi yang lebih besar lagi pada sarana dan prasarana ekonomi.

Tetapi secara relatif terjadi penurunan investasi sarana dan prasarana pertanian, pengairan, perhubungan dan energi jika dibandingkan dengan PELITA I, menjadi sebesar 42,31 persen dari total pengeluaran pembangunan. Walaupun demikian laju pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi sekitar 7 sampai 8 persen per tahun. Inflasi pada periode ini menurun dari 33,33 pada tahun 1974 menjadi 9,7 pada tahun 1982.

Dilihat dari segi produkbi, pangsa relatif sektor pertanian terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) pada periode ini menurun dari 38,66 persen pada tahun 1974 menjadi 26,58 % pada tahun 1982. Pangsa relatif sektor industri terhadap total PDB terjadi peningkatan yang kecil

(10)

dari 10,39 persen pada tahun 1974 menjadi 10,45 % pada tahun 1982. Penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertanian menurun dari 61,55 % pada tahun 1976 menjadi 53,40 % pada

tahun 1982. Penyerapan tenaga kerja oleh sektor industri meningkat dari 8/39 % pada tahun 1976 menjadi 10,lO % pada

tahun 1982.

Sebagian besar dana dari penerimaan migas yang ber- limpah pada periode 1974 - 1982 dinvestasikan pada sektor industri yang sebagian besar mefupakan industri substitusi impor. Industri substitusi impor ini bersifat padat modal, berorientasi ekspor, dan lebih banyak menggunakan input impor dan kurang menggunakan input lokal, khususnya dari sektor pertanian. Akibatnya keterkaitan antar sektor terutama antara sektor pertanian dan industri relatif kecil

.

Industri substitusi impor tersebut diproteksi dengan tarif maupun non-tarif. Akibat proteksi yang berlebihan membawa dampak spasial yang kurang menguntungkan. Salah satu konsekuensi spasialnya yaitu berkembangnya industri barang konsumsi yang mempunyai kecenderungan terkonsentra- si di Pulau Jawa, terutama pada dan/atau sekitar kota- kota besar. Adanya kongesti, terbatasnya lahan perkotaan untuk industri dan diperlukannya kenyamanan bagi penduduk

.

kota dari polusi, menyebabkan industri-industri tersebut direalokasikan di wilayah belakang (hinterland). Kemudian lambat laun terj adi aglomerasi ganda (mu1 tip1 e aglomera - tion), yaitu bersatunya antara kota induk dengan wilayah

PBNDAHULUAN

(11)

belakang. Akibat peningkatan jumlah penduduk, peningka- tan jaringan transpotasi antar kota dan peningkatan akti- vitas ekonomi di kota induk dan hinterland mengakibatkan

terjadinya konurbasi (conurbation) yaitu proses menyatunya antara kawasan-kawasan mega-urban (Anwar, 1994). Kondisi ini tentunya kurang menguntungkan dalam rangka pemerataan antar daerah dan juga menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi lainnya seperti migrasi dari daernh-daerah luar

I

Jawa, urbanisasi

,

backwash effect sumberdaya alam dan manusia, mengecilnya peluang kesempatan kerja maupun peluang peningkatan kualitas sumberdaya manusia bagi daerah-daerah lainnya. Tetapi spread effect dari daerah Jawa ke daerah luar Jawa relatif kecil jika dibandingkan backwash effect. Kalaupun terdapat investasi di luar Jawa, industri tersebut membentuk suatu enclave bagi masyarakat sekitarnya.

Periode boom minyak tidak berlangsung lama, pada awal 1983 terjadi resesi dunia dan penurunan harga migas.

Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1987, yang menyebab- kan pertumbuhan ekonomi relatif lambat. Ekspor migas Indonesia menurun dari 76,3 % pada tahun 1983 menjadi 49,9

% pada tahun 1987. Tetapi, kondisi tersebut tidak terlalu menggoncang perekonomian Indonesia, karena investasi sarana dan prasarana ekonomi yang sedemikian besar pada fase-fase sebelumnya, khususnya dalam bidang pertanian, perhubungan dan energi, membuat pertumbuhan perekonomian

(12)

Indonesia relatif stabil, yaitu sebesar 5 % per tahun.

Inflasi yang terjadi, turun dari 11,5 pada tahun 1983 dan turun menjadi 8,9 pada tahun 1987. Ekspor non-migas juga meningkat dari 23,7 % pada tahun 1983 menjadi 50,l % pada tahun 1987. Pertumbuhan industri pengolahan yang diduga akan mengalami hambatan, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Pangsa relatif industri pengolahan meningkat dari 12/74 % pada tahun 1983 menjadi 17/22 % pada tahun 1987 dengan laju pertumbuhan'l6 % per tahun. Pangsa relatif sektor pertanian menurun dari 22/78 % pada tahun 1983 menjadi 21/35 % pada tahun 1987. Tetapi, penurunan pangsa sektor pertanian tidak diikuti oleh penurunan penyerapan tenaga kerjanya, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertanian meningkat dari 53/40 % pada tahun 1983 menjadi 55/00 %

pada tahun 1987. Penyerapan tenaga kerja oleh sektor industri menurun dari 10,lO % pada tahun 1983 menjadi 8/26

% pada tahun 1987. Dalam situasi seperti ini, peranan sektor jasa, sebagai sektor penyangga yang dapat mensta- bilkan perekonomian Indonesia, sangat besar terutama dalam penyerapan tenaga kerjanya, yaitu menyerap hampir 15 %

dari total tenaga kerja.

*

Walaupun pertumbuhan ekonomi relatif lambat, namun pada periode ini pemerintah lebih menekankan pembangunan pada pemerataan. Khusus untuk pembangunan daerah, pemer- intah mencanangkan pembangunan Indonesia Bagian Timur

(IBT) atau Kawasan Timur Indonesia (KTI)

.

(13)

Menurunnya harga migas pada awal dekade 1980-an berdampak terhadap penerimaan devisa negara yang selanjut- nya akan menurunkan penerimaan dana pembangunan. Padahal untuk mencapai kondisi negara pada tahap industrialisasi diperlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di sisi lain tuntutan terhadap pemerataan h a m s dilaksanakan. Hal ini menyebabkan diperlukannya efisiensi alokasi sumberdaya finansial, sumberdaya alam dan,sumberdaya manusia secara dinamis yang lebih lanjut diharapkan dapat menjamin ting- kat sustainibilitas pembangunan. Dengan menyusutnya sumber devisa utama, yaitu migas, maka harus dicari sumber devisa lainnya, yaitu antara lain dengan cara mengekspor barang-barang non migas, khususnya industri pengolahan.

Dengan demikian pada masa mendatang perekonomian Indonesia akan menuju kepada sistem perekonomian pasar. Dalam kaitannya dengan alokasi sumberdaya alam dan finansial dalam keadaan seperti di atas maka, sistem perekonomian pasar ini diharapkan akan meningkatkan efisiensi pengalo- kasian sumberdaya tersebut.

Menurunnya dana pembangunan berdampak terhadap menu- runnya dana pembangunan daerah, karena sumber dana pemban- gunan daerah masih tergantung~kepada pemerintah pusat, yaitu berasal dari Daftar Isian Proyek (DIP). Di samping itu terdapat juga Dana Inpres yang berorientasi kepada pemerataan. Walaupun Dana Inpres (Inpres Dati I, Bantuan Pembangunan Desa, Bantuan Pembangunan Dati 11, Bantuan

PBNDAHULUAN

(14)

Penunjangan Jalan Kabupaten, Bantuan Sarana Kesehatan, Bantuan Sarana Pasar, Program Penghijauan dan Reboisasi dan Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar) relatif kecil, tetapi dana tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek menengah ke bawah yang merupakan kebutuhan daerah. Proyek-proyek ini sebagian besar merupakan proyek padat karya, sehingga proyek-proyek Inpres ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang lebih lanjut akan mendorong pertumbuhan perekondmian daerah. Disamping dana-dana pembangunan yang berasal dari pusat, terdapat juga Penerimaan Asli Daerah (PAD). Dana ini berasal dari pajak-pajak, retribusi dan keuntungan perusahaan-perusa- haan daerah. Walaupun dana yang berasal dari PAD ini relatif kecil, namun penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan dari pemerintah daerah.

Pada periode 1983-1987, terjadi semakin menguatnya blok-blok perdagangan baik di Eropa maupun Amerika.

Adanya blok-blok perdagangan ini menyebabkan negara-negara anggota blok tersebut cenderung menginvestasikan modalnya di antara sesama anggotanya. Sehingga mengilrangi peluang untuk mengivestasikan modalnya di Indonesia. Di Asia Indonesia mendapatkan tantangan terutama dari China dan Vietnam yang kondisinya dianggap lebih menarik bagi inves-

tor dibandingkan dengan Indonesia. Fenomena ini tentunya amat merugikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia selan- jutnya akan merugikan pembangunan daerah. Padahal pada saat ini agar tercapai pemerataan antar daerah, masih

(15)

banyak investasi yang diperlukan untuk pembangunan KT1 agar sejajar dengan KBI. Apalagi kondisi kualitas sum- berdaya manusia, sarana dan prasarana ekonomi di KT1 yang masih kurang, menyebabkan investor akan enggan untuk menanamkan modalnya di KTI. Demikian juga kondisi geogra-

fisnya, sumberdaya alam yang berinteraksi dengan sistem- sistem sosial ekonominya berbeda dengan KBI. KT1 terdiri dari kepulauan kecil-kecil, kecuali Pulau Sulawesi dan

I

Irian, mengandung kerawanan ekosistem, sehingga pengelo- laan sumberdaya alam tidak dapat disamakan dengan di KBI.

Demikian juga dengan lokasi KT1 yang jauh dari pasar nasional (national market), menyebabkan pola produksi barang dan jasa di KT1 berbeda dengan KBI. Sehingga keberhasilan pembangunan di Kawasan Barat Indonesia tidak begitu saja dapat diterapkan di KTI. Disamping beberapa faktor yang merugikan bagi pengembangan KT1 juga terdapat faktor yang menguntungkan antara lain dengan adanya per- geseran pusat ekonomi dunia. Pada saat ini pusat pereko- nomian dunia mulai bergeser ke Asia Pasifik. Secara geografis KT1 akan lebih dekat dengan negara-negara maju di Asia Pasifik tersebut, ha1 ini tentunya akan mengun- tungkan bagi pertumbuhan ekonomi KTI. Namun gaya tarik pertumbuhan ekonomi terhadap KT1 dari luar Indonesia, secara politis dapat menimbulkan ha1 yang kurang baik.

Untuk melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan yang digariskan oleh GB mempertahankan

(16)

tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, peningkatan kesempatan kerja, meningkatkan pemerataan antar daerah, antar sektor maupun antar golongan dalam rangka pengenta- san kemiskinan dan menjaga sustainibilitas pembangunan, maka diperlukan restrukturisasi perekonomian Indonesia.

Oleh karena itu penelitian tentang transformasi struktural ini menjadi penting untuk dapat dijadikan acuan bagi kebijaksanaan pembangunan daerah. Demikian juga dengan semakin menurunnya penerimaan'pembangunan yang berasal dari migas, maka diperlukan usaha untuk mencari sumber- sumber baru dana pembangunan dan menggali potensi daerah.

Untuk menggali potensi daerah, juga untuk menyusun kebi- jaksanaan pembangunan daerah pada masa mendatang khususnya Kawasan Indonesia Timur Indonesia (KTI), maka harus dike- tahui sifat, struktur ekonomi dan transformasi struktur ekonomi yang telah berlangsung.

Dari uraian di atas jua diketahui ada beberapa pema- salahan pembangunan daerah yang dihadapi, yaitu:

1. Sejauh mana pengaruh perubahan perekonomian selama 1969-1987 terhadap pertumbuhan ekonomi, kesenjangan dan transformasi struktural antar daerah?

2. Seberapa besar pengaruh kecilnya keterkaitan antar sektor tersebut terhadap transformasi struktural antar

.

daerah dan dampaknya terhadap distribusi pendapatan?

3. Sejauh mana pengaruh besarnya dana Inpres dan PAD terhadap transformasi struktural antar daerah?

PBNDAHULUAN

(17)

2. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mempelaj ari proses pertumbuhan ekonomi dan kesenj angan antar daerah selama kurun waktu 1969-1987 dan faktor- faktor yang mempengaruhinya.

2. Menelaah keterkaitan antar sektor, terutama antara sektor pertanian dan industri serta pengaruhnya terha- dap proses transformasi struktural antar daerah.

Menelaah pengaruh besarnya Penerimaan Asli Derah, Inpres Dati I dan Inpres Lainnya terhadap transforma- si struktural dan dampaknya terhadap distribusi penda- patan.

3. Menunjukkan alternatif strategi pembangunan daerah yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pendapatan.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah akan merupakan informasi yang baik bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dalam melaksanakan pembangunan Daerah, untuk mengatasi masalah tenaga kerja, distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi.

Referensi

Dokumen terkait

Karyawan akan melakukan segala cara (dedikasi) agar organisasi mampu mencapai kesuksesan. Dalam diri karyawan yang komitmennya tinggi terjadi proses identifikasi, adanya

Dari perangkat-perangkat tersebut tentunya dihubungkan dengan kabel yang ditarik dari pusatnya yang terletak di suatu ruang di kantor, untuk setiap handset telpon

Angkutan Wisata Seruni telah menjalankan pelaksanaan perlindungan hukum keselamatan dan kesehatan kerja dengan melindungi pekerjanya (dalam hal ini sopir

Dengan aplikasi yang menggunakan metode nearest neighbor, proses penghitungan jarak kasus lama dengan kasus baru dilakukan pada setiap kasus baru sehingga dengan menggunakan

Perintisan dan pengembangan pola-pola kemitraan antara pelaku seni kria dengan pelaku-pelaku pariwisata dalam rangka meningkatkan dan membudayakan hasil karya seni

Christoper Freeman menjelaskan bahwa istilah teknologi merupakan sebuah ungkapan yang membingungkan untuk digunakan, terkadang istilah tersebut dipakai secara eksklusif dalam

Anak dapat berpikir sistematis tapi terbatas pada obyek yang merupakan aktivitas kongkrit.. Formal operational (11 tahun

Table 7-34 Details of Best Superstructure Replacement + Substructure Rehabilitation Primary Cost Model for all Bridge