INVESTIGASI PARAMETER ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR TERHADAP MODEL CIRCLE DAN SQUARE NOZZLE PADA PERUBAHAN
NXP MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Mesin Pada Jurusan Teknik Mesin
Universitas Sanata Dharma
Disusun Oleh : FELICIANUS OCHATANI
NIM : 125214001
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2016
INVESTIGATION OF ENTRAINMENT RATIO PARAMETERS OF CIRCLE AND SQUARE NOZZLE STEAM EJECTOR MODEL WITH NXP CHANGES NOZZLE USING COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS
FINAL PROJECT
Submitted In Partial Fullfillment of
The Requirements To Achieve Undergraduate Engineering Degree Mechanical Engineering
By : FELICIANUS OCHATANI Student
Number : 125214001
DEPARTMENT OF MECHANICAL ENGINEERING FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
2016
ABSTRAK
Steam ejector adalah alat yang digunakan di berbagai industri untuk proses
pencampuran, peningkatan tekanan, proses refrigerasi dengan memanfaatkan
waste heat. Steam ejector mempunyai permasalahan kompleks dalam
pengoperasiannya. Parameter yang mempengaruhi performa ejector adalah fluida kerja, geometri, dan operating condition. Nozzle Exit Position (NXP), panjang
throttle, sudut converging section adalah salah satu parameter geometri yang
berpengaruh signifikan terhadap performa steam ejector. Primary pressure,
secondary pressure dan outlet pressure adalah parameter dari operating condition
juga menjadi penentu performa steam ejector. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai entrainment ratio optimal pada variasi yang ditentukan.
Pada penelitian ini digunakan metode Computational Fluid Dynamics (CFD). CFD digunakan untuk mengetahui pengaruh 5 variasi NXP (Nozzle Exit
Position) pada variasi model nozzle. Model nozzle yang digunakan adalah Circle
Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Selain
itu juga menggunakan 5 variasi perubahan primary pressure.
Hasil dari penelitian pada peningkatan primary pressure menyebabkan nilai entrainment ratio menurun. Pada model CNSE maupun SNSE, entrainment
ratio tertinggi terdapat pada NXP Plus. Keseluruhan nilai entrainment ratio dari
model CNSE mempunyai performa lebih tinggi dibandingkan model SNSE. Nilai optimum dari penelitian yang sudah dilakukan yaitu 0,96 pada NXP Minus 5 untuk primary pressure 140 kPa.
Keyword : steam ejector, entrainment ratio, CFD, NXP
ABSTRACT
Steam ejector is a tool applied to various industries for mixing process,
increasing pressure, refrigeration process by utilising waste heat. Steam ejector has complex problems in its operational. The significant parameter that affects the
ejector’s performance are working fluid, geometry, and operating condition.
Nozzle exit position (NXP), long of throttle, converging angle section are the parameters of geometry. Primary pressure, secondary pressure and outlet pressure are the parameters of operating condition which are also the most affected factor for the performance of steam ejector. The purpose of this research is to get an optimal entrainment ratio in determined variation.
This research uses the Computational Fluid Dynamics (CFD) method to understand influence of the 5 NXP variations on nozzle models. The nozzle model are Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) and Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). In addition, 5 variations on primary pressure bas applied.
The result show that increasing of primary pressure cause entrainment ratio decrease. The highest entrainment ratio was took place on NXP Plus in bot models. The total overall value of CNSE entrainment ratio model has higher than SNSE model. The optimum value of the research which has already been done was 0,96 on NXP Minus 10 for a primary pressure 140 kPa.
Keyword : steam ejector, entrainment ratio, CFD, NXP
Karya Ilmiah ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibuku tercinta yang telah banyak berkorban
untuk masa depanku
Adikku Agustina Rosa Iriani yang masih Semester 5
Calon Pendamping hidupku
Sahabat-sahabat di Kampus Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
Almamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma
yang telah memberikan banyak pembelajaran
Urip iku Urup
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang maha Esa, yang telah melimpahkan kasih dan berkatNya sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan Skripsi dengan judul “INVESTIGASI PARAMETER
ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR TERHADAP MODEL CIRCLE
DAN SQUARE NOZZLE PADA PERUBAHAN NXP MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS”.
Penyusunan Skripsi ini dimaksud untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan telah mendapat bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Sudi Mungkasi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma.
2. Ir. Petrus Kanisius Purwadi, M.T, selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma yang memberika arahan dan saran-saran kepada penulis.
3. Andreas Prasetyadi, S.Si., M.Si, selaku dosen Pembimbing Akademik dan selaku dosen pembimbing I skripsi yang membimbing serta mengarahkan dengan penuh kesabaran dan perhatian selama masa perkuliahan.
4. Stefan Mardikus, S.T, M.T, selaku dosen pembimbing II skripsi yang membimbing dengan penuh kesabaran dan perhatian serta bantuan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Petrus Claver Supriyanto sebagai ayah dari penulis yang penuh kasih sayang serta dukungan moral dan materi mendukung penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini sehingga dapat mencapai gelar sarjana Teknik Mesin.
HALAMAN JUDUL... i
TITLE PAGE ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iiiv
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN PERNYATAAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi
ABSTRAK ... vii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xxxv
BAB I PENDAHULUAN
2.2 Bagian-bagian Steam Ejector ... 13
2.3 Aplikasi Steam Ejector ... 15
2.4 Tipe-tipe Steam Ejector Refrigeration System ... 18
2.4.1 Conventional Ejector Refrigeration System (CERS)... 18
2.4.2 Advanced Ejector Refrigeration System ... 19
2.4.3 Combined Steam Ejector Refrigerator System ... 20
3.2 Diagram Alir Prosedur Simulasi... 54
3.3 Skematik Steam Ejector... 56
3.3.1 Steam Ejector... 57
3.3.2 Geometri Ejector ... 57
3.3.3 Model dan Geometri Nozzle ... 57
3.4 Nozzle Exit Position ... 58
3.5 Boundary Condition... 59
3.6 Meshing... 59
3.7 Spesifikasi Working Fluid ... 60
3.8 Variabel Penelitian... 61
3.9 Prosedur Simulasi ... 62
3.10 Convergence Criteria ... 63
BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI ... 64
4.1 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Variasi Nozzle Exit Position ... 64
4.1.1 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Minus 10 ... 65
4.1.2 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Minus 5 ... 66
4.1.3 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Nol ... 67
4.1.4 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Plus 5 ... 69
4.1.5 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Plus 10 ... 70
4.2 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada Variasi Primary Pressure Menggunakan Variasi Model Nozzle ... 71
4.2.1 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai
Primary dan Secondary Menggunakan Variasi Primary
Pressure pada Variasi Model Nozzle ... 74
4.3.1 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass
Flow Rate Primary Menggunakan Variasi
Primary Pressure pada Model Circle Nozzle
Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector .. 74
4.3.2 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass
Flow Rate Secondary Menggunakan Variasi
Primary Pressure pada Model Circle Nozzle
Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector .. 76 4.4 Analisis Kontur Tekanan, Temperatur dan Kecepatan
Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model
Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam
Ejectoor pada Variasi Nozzle Exit Position ... 78
4.4.1 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model Circle
4.4.3 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi
Primary Pressure Menggunakan Model Square
4.4.13 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi
pada Variasi NXP Minus 10 ... Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
113
Primary Pressure Menggunakan Model CNSE
pada Variasi NXP Minus 5 ... 115
4.4.23 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 132
5.1 Kesimpulan ... 132
5.2 Saran ... 133
DAFTAR PUSTAKA ... 134
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Skema arus distribusi energi di Indonesia tahun 2011... 3
Gambar 1.2 Sektor-sektor konsumsi energi di Indonesia.. ... 5
Gambar 2.1 Liquid ejector (kiri), steam jet liquid ejector (kanan)
(http://www.equirepsa.com). ... 12 Gambar 2.2
Gambar 2.3
Skema ejector (Chunnanond dan Aphornaratana, 2004). .... Karakteristik tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector [Chunnanond dan Aphornaratana, 2004]. ...
12
memanfaatkan panas matahari [Pollerberg, 2008]. ... Ejector pada pressure vessel di pembangkit listrik tenaga
15
panas bumi (http://www.shailvac.com/). ... 16
Gambar 2.7 Skema oil production (https://en.wikipedia.org). ... 16
Gambar 2.8 Gambar 2.9
Proses pencampuran bahan kimia dalam kondisi vakum .... (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS)
17
Skema sistem; (c) P-h Diagram [Chen dkk, 2015]. ... Combined Steam Ejector Refrigeration System [Chen dkk,
20
Gambar 2.12
2015]. ... Efek dari (a) benda padat (solid) dan (b) fluida (fluid), jika
21
Gambar 2.13
diberikan gaya geser yang konstan [Fox, 2011]. ... Flowchart klasifikasi aliran di Computaional Fluid Tipe profil kecepatan di dalam pipa (a) Aliran laminar (b)
25
Aliran turbulen [White, 2011]. ... 27
Gambar 2. 16 (a) High-viscosity, low Reynolds number, laminar flow (b) Low-viscosity, high Reynolds number, turbulent flow
Gambar 2.17
[White, 2011]. ... Kondisi batas pada permasalahan aliran internal [Jiyuan,
27
Gambar 2.18
2008]. ... Kondisi batas pada permasalahan aliran eksternal [Jiyuan,
30
Gambar 2.19
2008]. ... Skema satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera,
30
elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995]. ... Skema komponen tegangan yang terdapat pada setiap
Gambar 2.23 Pembacaan persamaan energi [Versteeg dan Malalasekera,
1995]. ... 35
Fluid Dynamic [Jiyuan, 2008]. ... 41
Gambar 2.27 Tiga elemen utama yang ada di dalam CFD (Jiyuan,
2008). ... 42
Gambar 2.28 Skema metode solusi pressure-based [ANSYS, Inc.,
2013]. ... 45
Gambar 2.29 Skema metode solver coupled (ANSYS, Inc., 2013). ... 52
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian. ... 53 Gambar 3.2 Diagram alir prosedur simulasi... 54
Gambar 3.3 Skematik penggunaan steam ejector pada sistem refrijerasi. ... 56 Gambar 3.4 Skema steam ejector. ... 57 Gambar 3.5 Ukuran geometri steam ejector... 57
Gambar 3.6 Ukuran geometri model Circle Nozzle Steam Ejector. ... 58
Gambar 3.7 Ukuran geometri model Square Nozzle Steam Ejector... 58
Gambar 3.8 Variasi penempatan NXP. ... 58
Gambar 3.9 Boundary condition pada steam ejector. ... 59
Gambar 3.10 Tampilan meshing steam ejector. ... 60
Gambar 3.11 Tampilan bentuk meshing tetrahedral. ... 60
Gambar 4.1 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Minus
Gambar 4.2
10. ... Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment
65
Gambar 4.3
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Minus 5.
Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment 67
Gambar 4.4
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP 0. ...
Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment 68
Gambar 4.5
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Plus 5. ...
Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment 69
Gambar 4.6
ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Plus 10.
Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio 71
Gambar 4.7
dengan variasi primary pressure pada model CNSE... Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio
72
Gambar 4.8
dengan variasi primary pressure pada model SNSE. ... Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary
73
Gambar 4.9
pada variasi primary pressure di model CNSE. ... Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary
75
Gambar 4.10
pada variasi primary pressure di model SNSE... Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary
76
pada variasi primary pressure di model CNSE. ... 77
Gambar 4.11 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary
Gambar 4.12
pada variasi primary pressure di model SNSE... Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
78
Minus 10 di primary pressure 140 kPa... 79
Gambar 4.13 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa... 80
Gambar 4.14 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa... 80
Gambar 4.15 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa... 80
Gambar 4.16 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa... 80
Gambar 4.17 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa... 81
Gambar 4.18 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa... 81
Gambar 4.19 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa... 81
Gambar 4.20 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa... 82
Gambar 4.21 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa... 82
Gambar 4.22 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 140 kPa... 83
Gambar 4.23 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 155 kPa... 83
Gambar 4.24 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 170 kPa... 83
Gambar 4.25 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 185 kPa... 84
Gambar 4.26 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kPa... 84
Gambar 4.27 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa... 88
Gambar 4.38 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa... 88
Gambar 4.39 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa... 88
Gambar 4.40 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa... 89
Gambar 4.41 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa... 89
Gambar 4.42 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa... 89
Gambar 4.43 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa... 90
Gambar 4.44 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa... 90
Gambar 4.45 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa... 90
Gambar 4.46 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa... 90
Gambar 4.47 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 140 kPa... 91
Gambar 4.48 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 155 kPa... 91
Gambar 4.49 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 170 kPa... 91
Gambar 4.50 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 185 kPa... 92
Gambar 4.51 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0
di primary pressure 200 kPa... 92
Gambar 4.56 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP
Gambar 4.62 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi
NXP Minus 10. ... 96
Gambar 4.63 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa... 96
Gambar 4.64 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa... 96
Gambar 4.65 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa... 96
Gambar 4.66 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa... 97
Gambar 4.67 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa... 97
Gambar 4.68 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi
NXP Minus 5. ... 97
Gambar 4.69 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa... 97
Gambar 4.70 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa... 98
Gambar 4.71 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa... 98
Gambar 4.72 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa... 98
Gambar 4.73 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa... 98
Gambar 4.74 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi
NXP Nol. ... 100
Gambar 4.75 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 140 kPa... 100
Gambar 4.76 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 155 kPa... 100
Gambar 4.77 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 170 kPa... 100
Gambar 4.78 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 185 kPa... 100
Gambar 4.79 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 200 kPa... 101
Gambar 4.80 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi
NXP Plus 5. ... 101
Gambar 4.81 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 140 kPa. ... 101
Gambar 4.82 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 155 kPa. ... 102
Gambar 4.83 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 170 kPa. ... 102
Gambar 4.84 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 185 kPa. ... 102
Gambar 4.85 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 200 kPa. ... 102
Gambar 4.86 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10. ... 103
Gambar 4.87 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. ... 103
Gambar 4.88 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. ... 103
Gambar 4.89 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. ... 104
Gambar 4.90 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. ... 104
Gambar 4.91 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. ... 104
Gambar 4.92 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi
NXP Minus 10. ... 105
Gambar 4.93 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa... 105
Gambar 4.94 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa... 105
Gambar 4.95 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa... 105
Gambar 4.96 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa... 106
Gambar 4.97 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa... 106
Gambar 4.98 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi
NXP Minus 5. ... 107
Gambar 4.99 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa... 107
Gambar 4.100 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa... 107
Gambar 4.101 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa... 107
Gambar 4.102 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa... 107
Gambar 4.103 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa... 108
Gambar 4.104 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi
NXP Nol. ... 108
Gambar 4.105 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 140 kPa... 108
Gambar 4.106 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 155 kPa... 108
Gambar 4.107 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 170 kPa... 109
Gambar 4.108 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 185 kPa... 109
Gambar 4.109 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 200 kPa... 109
Gambar 4.110 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi
NXP Plus 5. ... 110
Gambar 4.111 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 140 kPa. ... 110
Gambar 4.112 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 155 kPa. ... 110
Gambar 4.113 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 170 kPa. ... 110
Gambar 4.114 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 185 kPa. ... 111
Gambar 4.115 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 200 kPa. ... 111
Gambar 4.116 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10. ... 112
Gambar 4.117 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. ... 112
Gambar 4.118 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. ... 112
Gambar 4.119 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. ... 112
Gambar 4.120 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. ... 113
Gambar 4.121 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. ... 113
Gambar 4.122 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi
NXP Minus 10. ... 114
Gambar 4.123 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa... 114
Gambar 4.124 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa... 114
Gambar 4.125 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa... 114
Gambar 4.126 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa... 115
Gambar 4.127 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa... 115
Gambar 4.128 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi
NXP Minus 5. ... 115
Gambar 4.129 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa... 116
Gambar 4.130 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa... 116
Gambar 4.131 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa... 116
Gambar 4.132 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa... 116
Gambar 4.133 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa... 117
Gambar 4.134 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi
NXP 0. ... 117
Gambar 4.135 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 140 kPa... 117
Gambar 4.136 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 155 kPa... 117
Gambar 4.137 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 170 kPa... 118
Gambar 4.138 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 185 kPa... 118
Gambar 4.139 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 200 kPa... 118
Gambar 4.140 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi
NXP Plus 5. ... 119
Gambar 4.141 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 140 kPa. ... 119
Gambar 4.142 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 155 kPa. ... 119
Gambar 4.143 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 170 kPa. ... 119
Gambar 4.144 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 185 kPa. ... 120
Gambar 4.145 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 5 di primary pressure 200 kPa. ... 120
Gambar 4.146 Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10. ... 120
Gambar 4.147 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. ... 121
Gambar 4.148 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. ... 121
Gambar 4.149 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. ... 121
Gambar 4.150 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. ... 121
Gambar 4.151 Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. ... 122
Gambar 4.152 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi
NXP Minus 10. ... 122
Gambar 4.153 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 140 kPa... 122
Gambar 4.154 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 155 kPa... 123
Gambar 4.155 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 170 kPa... 123
Gambar 4.156 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 185 kPa... 123
Gambar 4.157 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 10 di primary pressure 200 kPa... 123
Gambar 4.158 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi
NXP Minus 5. ... 124
Gambar 4.159 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 140 kPa... 124
Gambar 4.160 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 155 kPa... 124
Gambar 4.161 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 170 kPa... 125
Gambar 4.162 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 185 kPa... 125
Gambar 4.163 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Minus 5 di primary pressure 200 kPa... 125
Gambar 4.164 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi
NXP 0. ... 126
Gambar 4.165 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 140 kPa... 126
Gambar 4.166 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 155 kPa... 126
Gambar 4.167 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 170 kPa... 126
Gambar 4.168 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 185 kPa. ... 127
Gambar 4.169 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
0 di primary pressure 200 kPa... 127
Gambar 4.170 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi
Gambar 4.176 Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10. ... 130
Gambar 4.177 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 140 kPa. ... 130
Gambar 4.178 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 155 kPa. ... 130
Gambar 4.179 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 170 kPa. ... 130
Gambar 4.180 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 185 kPa. ... 131
Gambar 4.181 Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP
Plus 10 di primary pressure 200 kPa. ... 131
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nilai input yang relevan untuk
[Versteeg dan
Malalasekera, 1995]... 39
Tabel 3.1 Properties dari primary fliuid (nist.webbook.gov/
chemistry). ... 60 Tabel 3.2 Properties dari secondary fluid. ... 61
Tabel 3.3 Tipe yang digunakan pada setiap discretization. ... 62
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
Singkatan Kepanjangan Pemakaian pertama
pada halaman
AC Air Conditioning 9
CAD Computer Aided Design 41
Conventional Ejector Refrigeration
CERS 18
System
CFD Computational Fluid Dynamics 7
CNG Compressed Natural Gas 5
CNSE Circle Nozzle Steam Ejector 10
CO Carbonmonoksida 6
COP Coefficient of Performance 7
DEN Departemen Energi Nasional 2
DES Detached Eddy Simulation 46
EDN Energi Data Nasional 5
ESDM Energi dan Sumber Daya Mineral 3
KEN Kebijakan Energi Nasional 2
LES Large Eddy Simulation 46
LNG Liquid Natural Gas 5
LPG Liquid Petroleum Gas 5
MBOE Million Barrels of Oil Equivalent 5
MFG Multi Function Generator 20
NXP Nozzle Exit Position 10
PDE Partial Differential Equation 40
PDB Pertumbuhan Domestik Bruto 3
RNG Renormalization-group 46
RSM Reynold Stress Model 46
SNSE Square Nozzle Steam Ejector 10
Lambang Arti Satuan Pemakaian
ER Entrainment Ratio Dimensionless 21
E
k Konduktifitas termal fluida W/m.K 22
L Panjang atau jarak m 28
ms Mass flow rate secondary kg/s 21
mp Mass flow rate primary kg/s 21
Ma Mach number Dimensionless 29
P Tekanan Pa 22
p Tegangan normal Pa 32
q Heat flux W/m2 36
Re Bilangan Reynolds Dimensionless 28
Lambang Arti Satuan Pemakaian pertama pada
halaman x Koordinat kartesian m 32
y Koordinat kartesian m 32
z Koordinat kartesian m 32
Tebal boundary layer m 32
Disipasi J 47
ρ Densitas kg/m3 22
µ Viskositas dinamik Pa.s 22
Tegangan viscous Pa 31
yx Tegangan geser N/m2 26
Spesific Weights m/s2 24
Ф Nilai rata-rata Dimensionless 38
θ Converging angle o 40
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia, banyak energi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga maupun untuk kebutuhan industri. Beberapa energi yang sudah dimanfaatkan yaitu energi fosil, energi panas bumi, energi surya, dan energi air (hydropower). Pada skema arus distribusi energi di Indonesia (Gambar 1.1), energi fosil yang mendominasi pemanfaatan energi saat ini. Energi fosil diklasifikasikan menjadi crude oil, coal dan natural gas. Energi fosil digunakan untuk pembangkit listrik hingga untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Energi panas bumi juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Walaupun di Indonesia mempunyai potensi energi panas bumi yang besar tetapi dalam pemanfaatannya belum dikelola secara baik. Namun dalam kurun waktu belakangan ini, mulai dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di beberapa daerah. Energi surya juga dimanfaatkan masih dalam skala kecil di Indonesia, karena membutuhkan alat yang cukup mahal dalam pemanfaatannya menjadi sumber pembangkit listrik. Hydro power dalam pemanfaatannya kurang lebih sama dengan energi panas bumi belum dimanfaatkan secara baik. Berbagai sumber energi diatas dalam pemanfaatannya perlu didukung ilmu pengetahuan.
Pemanfaatan energi dan ilmu pengetahuan harus berjalan beriringan, agar energi tersebut dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan energi juga harus ditinjau efek negatif dampak bagi lingkungan. Kebijakan energi Indonesia ke depan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (Perpres) 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) menggantikan Peraturan Presiden (Perpres) 05/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan pengelolaan energi didasarkan pada prinsip keadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional [Dewan Energi Nasional, 2014]. Penggunaan energi berprinsip pada wawasan lingkungan sehingga energi ramah lingkungan yang diperlukan. Dalam pemanfaatnya energi memerlukan sebuah alat atau sistem supaya lebih efisien.
Efisiensi energi dapat didefinisikan sebagai semua metode, teknik, dan prinsip-prinsip yang memungkinkan untuk dapat menghasilkan penggunaan energi lebih efisien dan membantu penurunan permintaan energi global [Indoenergi, 2016]. Data Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral)
menyebutkan ”Usaha untuk mencapai pemakaian energi yang efisien di Indonesia
menghadapi tantangan yang cukup berat. Data Statistik Ekonomi Energi Kementerian ESDM menunjukkan elastisitas pertumbuhan konsumsi energi terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) rata-rata dalam rentang tahun 1991-2005 mencapai 2,02. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan PDB masih bergantung pada pertumbuhan konsumsi energi yang besar (elastisitas energi yang diharapkan kurang dari 1, yang menunjukkan tingkat efisiensi tinggi). Walaupun intensitas penggunaan energi relatif tinggi, namun konsumsi energi per kapita di Indonesia relatif rendah. Indeks intensitas energi Indonesia mencapai 470, sementara konsumsi energi per kapita adalah 0,467. Bandingkan dengan Jepang, intensitas energi 92,8 sementara konsumsi energi per kapita-nya adalah 4,14. Angka tersebut memperkuat gambaran bahwa penggunaan energi di Indonesia belum produktif dan belum merata. Untuk mengembangkan efisiensi energi, selain mendorong pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga harus mengurangi pertumbuhan konsumsi energi. Pengurangan angka pemakaian energi adalah dengan melakukan langkah efisiensi, konservasi dan diversifikasi energi. Hal ini menuntut peran semua pihak secara luas, terutama sektor-sektor yang
mengkonsumsi energi dalam skala besar”. Data tersebut penulis mengambil
kesimpulan bahwa penggunaan energi perlu adanya efisiensi, karena tingkat konsumsi di Indonesia yang masih tinggi [ESDM, 2016]. Efisiensi energi dapat berjalan dengan peran serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
energi. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya riset dan penelitian supaya dapat menjawab tantangan pemanfaatan energi yang efisien.
Energi menjadi kebutuhan yang primer untuk proses produksi maupun yang menunjang proses produksi. Di Industri, energi digunakan untuk membuat pekerjaan menjadi lebih mudah, efisien waktu dan biaya. Karena adanya energi maka industri dapat beroperasi dan proses produksi dapat berlangsung. Setelah itu, produk hasil industri didistribusikan ke konsumen juga memerlukan energi yaitu energi fosil yang sudah diolah menjadi bahan bakar.
Gambar 1.1 Skema arus distribusi energi di Indonesia tahun 2011
(Compendium of The National Energy Management of Indonesia, 2012).
pemanfaatan energi fosil luas, mulai dari rumah tangga hingga industri. Pemanfaatan energi fosil di alam seperti batubara, minyak bumi, natural gas diolah menjadi energi listrik, bahan bakar, LPG, LNG, CNG, dll. Presentase terbesar penggunaan energi fosil didominasi untuk pembangkit tenaga listrik dan bahan bakar.
Pada tahun 2013 total konsumsi energi listrik domestik mencapai 188 TWh atau meningkat 40% dari tahun 2009. Konsumsi listrik diperkirakan akan terus meningkat hingga 287 TWh pada tahun 2018 dan 386 TWh pada tahun 2022, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun 8,3%. Pada Gambar 1.2, tahun 2011 di Indonesia penggunaan energi terbesar pada sektor industri yaitu 38,06% dan terbesar kedua di sektor transportasi dengan 33,45%. Energi fosil yang diolah menjadi bahan bakar digunakan di sektor transportasi dan pembangkit listrik. Bahan bakar dapat diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan. Karena keberagaman jenis bahan bakar yang digunakan untuk transportasi, maka perlu adanya pengolahan hingga menjadi produk jadi. Teknologi mampu memberikan solusi dari energi primer menjadi energi final [Purnomo, 2014]. Energi primer
adalah energi yang diberikan oleh alam dan belum mengalami proses pengolahan
lebih lanjut. Energi final adalah energi yang langsung dapat dikonsumsi oleh
pengguna akhir.
Teknologi pemanfaatan energi fosil sering dijumpai inefisiensi. Inefisiensi dapat ditemukan pada proses pembakaran. Proses pembakaran menghasilkan sebuah usaha. Pada proses pembakaran selain menghasilkan usaha juga menghasilkan panas yang cukup besar. Dalam kendaraan bermotor, panas yang dihasilkan tidak dimanfaatkan lagi untuk proses tertentu. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran dibuang begitu saja ke lingkungan. Untuk mengatasi inefisiensi tersebut, panas dapat dimanfaatkan untuk menyuplai panas (kalor) di sistem refrijerasi.
lingkungan. Refrijeran bertemperatur lebih rendah dari temperatur lingkungan terjadi proses perpindahan kalor (heat transfer). Perbedaan temperatur tersebut, refrigeran akan menguap karena menyerap panas dari lingkungan, sehingga temperatur di lingkungan menjadi dingin. Ketika refrijeran diberi tekanan yang rendah akan mudah untuk membeku. Perbedaan temperatur yang tinggi dalam proses refrigerasi dapat menaikan efisiensi sistem refrigerasi tersebut. Panas sisa (waste heat) hasil proses pembakaran dapat digunakan untuk membantu proses refrijerasi agar lebih efisien. Dengan begitu selain menghasilkan usaha, panas hasil proses pembakaran dapat dimanfaatkan dan tidak merusak lingkungan.
Gambar 1.2 Sektor-sektor konsumsi energi di Indonesia [Compendium of The National Energy Management of Indonesia, 2012].
yang dapat menghemat energi yang diperlukan industri. Steam ejector dapat menjadi solusi dalam masalah yang sedang dihadapi.
Steam ejector dapat mereduksi biaya dan dapat mengubah gas buang
tersebut menjadi kompresi [Subramanian, 2014]. Steam ejector dapat bersaing dengan peralatan konvensional lain seperti kompresor. Meskipun kompresor dapat meningkatkan kompresi yang baik dan Coefficient of Performance (COP) yang tinggi, akan tetapi kompresor membutuhkan perawatan yang rutin dan suplai tenaga listrik yang besar. Kelebihan steam ejector dibandingkan kompresor yaitu tidak memerlukan tenaga listrik dan mudah dalam perawatannya.
Pemanfaatan waste heat dari suatu sistem pada kendaraan dan industri diperlukan untuk menjaga lingkungan agar tetap baik. Selain itu, penggunaan bahan bakar yang efisien dapat menjaga kelestarian lingkungan serta mereduksi biaya produksi yang tinggi. Beberapa alat yang dapat membantu dalam proses efisiensi dan menjadi kelestarian lingkungan adalah venturi scrubber, converter, dan steam ejector. Alat-alat tersebut mempunyai kelebihan masing-masing dalam penggunaan tergantung masalah yang dihadapi. Dalam proses pemanfaatan waste
heat, steam ejector mempunyai banyak kelebihan.
Steam ejector mempunyai kelebihan yaitu tahan uji, mempunyai bentuk
yang simpel, dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama, biaya yang murah, dapat digunakan di beberapa refrigeran, perawatannya mudah, dan dapat digunakan pada refrigeran air. Air adalah refrigeran yang mudah didapat dan ramah lingkungan. Steam ejector mempunyai sebutan lain yaitu injector, jet
pump, thermo compressor. Ejector pada sistem refrijerasi terbagi menjadi 4
golongan yaitu: conventional ejector refrigeration systems, advanced ejector
refrigeration systems, combined refrigeration systems dan ejector enhanced vapor
compression systems. Masing masing golongan mempunyai fungsi dan kegunaan
masing-masing tergantung masalah yang sedang dihadapi di lapangan (Chen, 2015).
Steam ejector adalah alat yang dapat digunakan untuk memompa cairan,
digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan air di lokomotif dan armada laut serta sebagai steam jet air ejector di pengisian gas pada kondensor turbin. Selain itu, steam ejector juga digunakan di industri minyak dan gas untuk meningkatkan produksi.
Dalam kurun waktu beberapa tahun belakang ini, steam ejector menjadi pusat penelitian komputasi maupun eksperimen oleh banyak peneliti yaitu Aybar dan Beithou, 1999; Dumaz dkk, 2005; Garcia del Valle dkk, 2015, serta Yan dkk, 2005. Peneliti tersebut mencari performa dari steam ejector. Untuk kedepannya,
steam ejector dapat digunakan untuk pendinginan pada keadaan darurat dan
sistem pemasok pendinginan di reaktor nuklir.
Kebutuhan masing-masing penggunaan, steam ejector tidak terlepas dari model. Model yang baik dapat membantu proses pencampuran fluida secara menyeluruh dan mengurangi back pressure. Geometri dari mixing chamber dan panjang dari throttle, serta sudut dan tinggi dari converging section sangat mempengaruhi performa dari steam ejector (Henzler, 1983). Penelitian Varga dkk tahun 2009 adalah jarak optimum dari keluaran primary nozzle hingga masuk dalam mixing chamber untuk pencampuran dua fluida.
Pada penelitian Fahris, 2010 menyatakan kelemahan dari steam ejector pada refrigerasi adalah nilai COP dan kapasitas pendinginan yang rendah. Maka berbagai eksperimen dari steam ejector dikembangkan untuk meningkatkan nilai COP. Entrainment ratio berpengaruh langsung terhadap nilai COP pada suatu sistem. Entrainment ratio sangat dipengaruhi oleh bentuk geometri steam ejector dan operating conditions. Refrigerasi steam ejector merupakan sistem refrigerasi dengan memanfaatkan waste heat sebagai sumber energi utamanya. Pada penelitian Mohammad Subri, 2013 menyatakan steam ejector berperan sebagai pengganti kompresor pada siklus kompresi uap. Refrigerasi steam ejector memiliki COP yang rendah, sehingga perlu dilakukan penelitian karakteristik dari
steam ejector. Penelitian yang dilakukan adalah dengan membuat desain geometri
steam ejector untuk mendapatkan hasil yang paling optimal. Kinerja steam ejector
Meningkatnya nilai entrainment ratio dapat meningkatkan nilai COP sistem refrigerasi.
Penelitian ini, C.Li, Y.Z. Li, 2011, “Investigation of entrainment behavior
and characteristics of gas-liquid ejector based on CFD simulation”. Mempelajari
gas-liquid ejectors yang diaplikasikan pada natural circulation precooling of
cryogenic propellant rocket engine system. Data yang hasil eksperimen digunakan
untuk validasi pada simulasi dengan menggunakan Computational Fluid Dynamic (CFD). CFD digunakan untuk mengetahui secara detail pengaruh yang terjadi dengan memvariasikan bentuk geometri, spesifikasi fluida dan operating
condition pada 2 fase fluida. Mass flow rate secondary menurun bersamaan
dengan naiknya perbedaan tekanan pada ΔP (primary pressure dan secondary
pressure). Ketika ΔP dan secondary pressure konstan menjadikan mass flow rate
secondary secara berlahan meningkat seiring dengan meningkatnya primary
pressure. Selain itu panjang pipa pencampuran (throttle) menjadi parameter yang
penting dalam performa ejector. Maksimum panjang throttle pada gas–liquid
ejectors adalah mempunyai rasio 1-2 kali dari diameter pipa pencampuran untuk
mendapatkan entrainment ratio yang optimum. Untuk hasil optimum dari panjang
throttle dibanding diameter throttle untuk satu fasa ejector adalah antara 5-7.
Jianyong Chen, Sad Jarall dan Hans Havtun tahun 2015 dengan jurnal
yang berjudul “A review on versatile ejector aprimary pressurelications in
refrigeration system” menunjukkan performa dari sistem tergantung dari tipe dari refigeran, operating conditions dan geometri ejector tersebut. Area ratio (Ar) dan
Nozzle Exit Position (NXP) adalah bagian dari parameter geometri ejector.
Performa yang maksimum dari ejector tidak mudah didapatkan. Beberapa sistem refrigerasi ejector untuk mendapatkan hasil maksimum, yaitu: conventional
ejector refrigeration systems, advanced ejector refrigeration systems, combined
refrigeration systems dan ejector enhanced vapor compression systems. Pada
conventional ejector refrigeration performance mempunyai beberapa hal yang
istimewa, yaitu membutuhkan konsumsi listrik lebih rendah daripada vapor
compression system. Advanced ejector refrigeration system digunakan untuk
memanfaatkan panas saja. Advanced ejector refrigeration system cocok digunakan pada Air Conditioning (AC) dan pembuatan es batu yang memanfaatkan panas matahari. Untuk combined refrigeration systems, refrigeration system digunakan dengan memanfaatkan waste heat untuk proses pendinginan. Ejector enhanced
vapor compression system digunakan untuk sistem refrigerasi di supermarket,
kulkas dan pompa kalor.
Randheer L. Yadav dan Ashwin W.Patwardhan, 2008, ”Design aspects of
ejectors: effects of suction chamber geometry”. Ruang pencampur (suction
chamber) adalah tempat dua aliran yaitu primary fluid dan secondary fluid
bertemu. Suction chamber menjadi bagian yang penting dari ejector untuk mengoptimalisasikan performa ejector. Pada penelitian tersebut, peneliti menyelidiki tentang (i) perbandingan (LTN/DT), LTN jarak dari ujung nozzle ke bagian throat dan DT adalah diameter throat, (ii) Diameter dari suction chamber
(Ds), dan (iii) sudut dari converging section (θ). Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa diameter dari suction chamber lebih besar mempengaruhi kapasitas
entrained fluid yang masuk ke mixing chamber. Sudut dari converging section (θ)
yang optimum berada pada rentang 5⁰-15⁰, serta nilai optimum entrainment ratio
yang dihasilkan pada area ratio (Ar) 6,6.
Dalam simulasi steam ejector, peneliti menggunakan simulasi
Computational Fluid Dinamics (CFD) ANSYS Fluent 14. CFD digunakan untuk
mengurangi biaya dan efisiensi waktu dalam membuat prototype pada sebuah rancangan. Penggunaan CFD dapat memprediksi kontur tekanan, temperatur dan kecepatan yang terjadi pada sistem, dengan memberikan boundary condition pada
prototype [Bartosiewicz, 2005]. CFD dapat menganalisa permasalahan aliran yang
1.2 Perumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas oleh peneliti pada penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana pengaruh variasi primary pressure terhadap nilai entrainment
ratio di dalam steam ejector?
2. Bagaimana pengaruh variasi Nozzle Exit Position (NXP) terhadap nilai
entrainment ratio di dalam steam ejector?
3. Pengaruh model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle
Steam Ejector (SNSE) terhadap nilai entrainment ratio di dalam steam
ejector.
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui nilai entrainment ratio dari variasi primary pressure.
2. Mengetahui nilai entrainment ratio dari variasi Nozzle Exit Position
1. Simulasi di lakukan pada aliran steady dan 3 dimensi.
2. Menggunakan steam untuk primary fluid dan udara untuk secondary fluid. 3. Primary fluid disimulasikan pada tekanan 140 kPa, 155kPa, 170 kPa. 185
kPa dan 200 kPa.
4. Model nozzle yang digunakan Circle Nozzle dan Square Nozzle. 5. Menggunakan variasi Nozzle Exit Position (NXP).
6. Menggunakan geometri steam ejector yang sudah ditentukan.
8. Tidak terjadi perpindahan panas dengan lingkungan (adiabatic). 9. Menggunakan model turbulen realizable k- .
1.5 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang pemanfaatan gas buang terhadap efisiensi energi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Menambah kajian ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan waste heat. 3. Mengetahui nilai efisiensi penggunaan steam ejector yang baik dengan
model steam ejector yang sudah ditentukan oleh peneliti.
4. Penelitian ini dapat memperluas wawasan mengenai pemanfaatan waste
heat terhadap efisiensi penggunakan energi untuk menjaga kelestarian
lingkungan sekitar.
BAB II DASAR TEORI
2.1 Steam Ejector
Steam ejector pertama kali ditemukan oleh Le Blance dan Charles Parsons
tahun 1900. Pada tahun 1930, steam ejector mulai dikenal dan digunakan pada AC untuk gedung-gedung. Steam ejector bekerja dengan memanfaatkan waste
heat dari sistem pembangkit daya, ruang pembakaran dan pada mesin industri
untuk menghasilkan proses refrigerasi. Pada Gambar 2.2, steam jet ejector secara umum terdiri lima bagian yaitu: nozzle, suction chamber, mixing chamber, throttle dan diffuser (diverging section) [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Keuntungan menggunakan steam ejector yaitu tidak ada part yang bergerak, tidak membutuhkan pelumasan dalam proses kerjanya, relatif murah dalam pembuatannya, dalam pengoperasiannya juga simpel, tangguh dan mempunyai biaya perawatan sangat rendah dibanding kompresor.
Gambar 2.1 Liquid ejector (kiri), steam jet liquid ejector (kanan)
(http://www.equirepsa.com).
Suction chamber
Gambar 2.2 Skema ejector (Chunnanond dan Aphornaratana, 2004).
Gambar 2.3 dapat dilihat proses yang terjadi di dalam steam ejector. Uap bertekanan rendah dan bertemperatur tinggi dari boiler masuk ke primary nozzle dan keluar menuju daerah mixing chamber dengan kecepatan supersonic sehingga akan menghisap secondary fluid yang bertekanan tinggi dan temperatur lebih rendah dari suction chamber. Ketika primary fluid dan secondary fluid mengalami pencampuran pada mixing chamber, kecepatan fluida menjadi aliran subsonik. Setelah fluida melewati throttle dan menuju ke diverging section tekanan fluida meningkat karena adanya perluasan penampang pada diverging section. Peranan
steam jet ejector adalah sebagai pengganti kompresor pada siklus kompresi uap
yaitu menaikkan tekanan aliran dari evaporator melalui suction chamber (Fahris, 2010).
Gambar 2.3 Karakteristik tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector
[Chunnanond dan Aphornaratana, 2004].
2.2 Bagian-bagian Steam Ejector
a. Nozzle
Nozzle terbagi menjadi 2 bagian yaitu converging nozzle dan
diverging nozzle. Aliran fluida yang mengalir melalui nozzle disebut
primary flow. Penampang nozzle yang menyempit bertujuan agar aliran
yang masuk ke dalam nozzle mengalami peningkatan kecepatan menjadi
subsonic maupun supersonik.
b. Suction chamber
Suction chamber mempunyai penampang yang luasannya konstan
dan berbentuk tabung. Bagian ini terjadi pencampuran primary fluid dan
secondary fluid pada variasi Nozzle Exit Position (NXP) Minus. Bagian ini
didominasi oleh secondary fluid, karena secondary fluid mengalir di bagian ini sebelum bercampur dengan primary fluid.
c. Mixing chamber
Mixing chamber terdapat di daerah converging section, dimana dua
fluida bertemu secara langsung pada variasi Nozzle Exit Position (NXP)
Plus. Mixing chamber dapat disebut sebagai jantung/pusat dari ejector. Hal
tersebut dikarenakan terjadi proses termodinamika, proses hisap, proses pencampuran kedua fluida, perpindahan massa, momentum, dan transfer energi. Secondary flow mengalami perubahan kecepatannya menjadi sonic karena momentum yang dihasilkan oleh primary flow. Karena terkondensasi oleh steam primary fluid, fluida hasil akhir adalah subcooled
water mempunyai tekanan yang relatif tinggi.
d. Throttle
Bagian throttle adalah bagian yang mempunyai diameter dan luasan penampang yang konstan. Di bagian ini kedua fluida mengalami pencampuran secara terus menerus. Pada beberapa penelitian yang ada,
throttle menjadi bagian yang sangat mempengaruhi nilai entrainment
ratio.
e. Diffuser
Diffuser merupakan bagian diverging section yang berfungsi untuk
campuran dari energi kinetik diubah menjadi tekanan, sehingga membuat kecepatan dari aliran berkurang dan tekanan akan bertambah.
2.3 Aplikasi Steam Ejector
Di dalam proses refrijerasi (Gambar 2.4), steam ejector digunakan meningkatkan efisiensi untuk membuat efek pendinginan dengan memanfaatkan
waste heat dari proses di industri dan maupun otomotif.
Gambar 2.4 Siklus refrigerasi (http://globaldensoproducts.com).
Gambar 2.5 Diagram eksperimen chiller steam ejector dengan memanfaatkan
Steam ejector digunakan dalam pendinginan dan mengeringkan makanan
sebelum disajikan atau pada waktu proses pengiriman. Pengaplikasian steam
ejector juga dapat menggunakan kalor dari energi terbarukan, contohnya panas
matahari (Gambar 2.5).
Gambar 2.6 Ejector pada pressure vessel di pembangkit listrik tenaga panas
bumi (http://www.shailvac.com/).
Gambar 2.7 Skema oil production (https://en.wikipedia.org).
tenaga panas bumi (Gambar 2.6). Ejector pada pressure vessel berfungsi untuk meningkatkan tekanan sehingga aliran fluida yang masuk untuk memutar turbin/generator dapat lebih maksimal. Namun kekurangan yang dimiliki steam
ejector adalah mempunyai efisiensi yang relatif kecil dan sulit dalam menentukan
desain yang cocok. Oleh karena itu, steam ejector masih menjadi topik yang banyak diteliti untuk mengetahui karakteristik, cara kerja serta cara untuk
meningkatkan performanya.
Steam ejector digunakan dalam industri perminyakan (Gambar 2.7). Pada
proses pengambilan minyak mentah, ejector digunakan supaya kerja dari pompa penghisap tidak berat. Pada proses ini, ejector mengalirkan steam/nitrogen ke bawah permukaan bumi hingga di daerah lapisan minyak mentah. Volume steam yang dimasukan akan memenuhi lapisan minyak mentah. Tekanan di lapisan minyak mentah meningkat karena tekanan steam, maka minyak mentah akan bergerak menuju saluran oil production (Gambar 2.7). Selain itu, ejector juga digunakan pada proses farmasi, contohnya untuk mencampur senyawa/fluida.
Ejector cocok untuk proses pencampuran membutuhkan kondisi vakum (Gambar
2.8). Ejector juga digunakan dalam dunia otomotif untuk proses pencampuran bahan bakar. Dari berbagai contoh tersebut, ejector menjadi alat yang sangat diperlukan di berbagai bidang.
Gambar 2.8 Proses pencampuran bahan kimia dalam kondisi vakum
(http://www.openpr.com).
ejector. Kebutuhan uap untuk motive steam tergantung dari jumlah aliran gas yang
akan diekstraksi. Kondisi motive steam harus uap kering dan jenuh. Jika terdapat
moisture dalam steam, separator dan steam trap dapat ditambahkan untuk
meningkatkan kualitas steam. Minimum dryness steam yang dianjurkan adalah 99.5%. Kualitas uap yang buruk tidak akan membahayakan sistem, tetapi dapat menyebabkan erosi di steam nozzle dan diffuser [Chen dkk, 2015].
2.4 Tipe-tipe Steam Ejector Refrigeration System
Penggolongan tipe-tipe ejector system oleh Jianyong Chen dkk, 2015 yang menyebutkan 3 tipe dibawah ini :
2.4.1 Conventional Ejector Refrigeration System (CERS)
Gambar 2.9 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan (b) P-h
Diagram [Chen dkk, 2015].
Dalam Gambar 2.9 menunjukkan sistem refrijerasi konvensional dan diagram P-h dengan dua model ejector yang digunakan dalam teknologi refrijerasi. Dua model ejector adalah model konstan area pencampuran dan model konstan tekanan pencampuran. Secara umum sistem tersebut mempunyai
penggunaan energi yang kecil (Qg) yang disalurkan di generator untuk penguapan.
panas ke lingkungan (Qc). Fluida yang mencair akan dipompakan ke generator
dan sisa uap akan masuk ke katub ekspansi lalu disalurkan ke evaporator.
Yang mempengaruhi efek dari performa sistem adalah temperatur dari
generator (Tg), temperatur condensor (Tc), temperatur evaporator (Te), perbedaan
temperatur yang ada di primary flow (ΔTp) dan secondary flow (ΔTs), geometri
ejector, Area ratio (Ar), Nozzle Exit Position (NXP), converging angle (θ) dari
mixing chamber, dan panjang throttle. Nilai COP dan entrainment ratio yang
baik berpengaruh pada fluida kerja, kondisi pengoperasian, dimensi ejector dan semua parameter, sehingga untuk mendapatkan kondisi yang benar-benar bagus bukan hal yang mudah. Area ratio dan NXP adalah yang paling berpengaruh terhadap entrainment ratio. Untuk divergent-convergent angle dan diffuser hanya sedikit mempengaruhi entrainment ratio [Chen dkk, 2015].
Conventional ejector refrigeration system (CERS) diteliti selama kurun
waktu 100 tahun terakhir dan masih menjadi topik menarik untuk penelitian. Penelitian yang dapat menjawab fenomena aliran di ejector. Selain fenomena aliran, desain geometri sangat mempengaruhi performa ejector. Karena memang banyak faktor yang mempengaruhi performa dari ejector, yaitu fluida kerja, dimensi ejector, operating condition terutama temperatur. Meskipun CERS sangat sedikit dalam konsumsi listrik, CERS mempunyai kekurangan ketika dibandingkan dengan absorption refrigeration system. Absorption refrigeration
system mempunyai COP rendah dan sulit untuk digunakan pada operating
condition yang berbeda [Chen dkk, 2015].
2.4.2 Advanced Ejector Refrigeration System
Dalam menyikapi CERS yang mempunyai nilai COP yang rendah maka, peneliti mencoba untuk mencari Advanced Ejector Refrigeration System yang mempunyai nilai COP yang tinggi. Penelitian dilakukan dengan simulasi dan eksperimen. Cara untuk memperoleh nilai COP yang tinggi dengan mengubah konfigurasi/struktur dari ejector. Konfiguasi ejector dengan menggunakan multi-
sistem. Konfiguasi juga dapat menggunakan regenerasi dan/atau pre-cooler [Chen, 2015].
Gambar 2. 10 Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejector; (b) Skema
sistem; (c) P-h Diagram [Chen dkk, 2015].
Pengoperasian conventional refrigeration system menggunakan pompa istrik. Selain itu, masalah yang sering ditemui dalam penggunaannya adalah terdapat rongga di dalam sistem, kebocoran refrigeran, getaran dan malfunction. Untuk menyikapi hal itu diperlukan solusi dari masalah yang terjadi. Nguyen tahun 2001 menggunakan ejector yang memanfaatkan grafitasi bumi dalam pengoperasiannya. Huang tahun 2006 menggunakan Multi Function Generator (MFG) untuk memompa panas pengganti pompa mekanik.
2.4.3 Combined Steam Ejector Refrigerator System
Ejector dapat dikombinasikan dengan tipe sistem refrijerasi yang lain