• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usulan mengolah materi pendidikan iman anak dalam kursus persiapan perkawinan dengan katekese model pengalaman hidup.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Usulan mengolah materi pendidikan iman anak dalam kursus persiapan perkawinan dengan katekese model pengalaman hidup."

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

USULAN MENGOLAH MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN

DENGAN KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Rosita Dangin NIM: 061124048

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

Ayahku tercinta (Aloysius Savang Ingan), ibu tercinta (Fransiska Husun Liah), Ayah angkatku tercinta (Andim)

kedua saudaraku terkasih (Rominus Romiyanus), (Rosa Ayu Riska Manin), dan teman-teman seperjuanganku angkatan 2006

Kekasihku (Wibisono), Omku (Oktavianus Bang Liah), tanteku (Emiliana Hanya) dan Dinas Pendidikan Kutai Barat

serta

(5)

v MOTTO

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Usulan Mengolah Materi Pendidikan Iman Anak Dalam Kursus Persiapan Perkawinan Dengan Katekese Model Pengalaman Hidup”. Penulis memilih judul ini berdasarkan keprihatinan penulis tentang pendidikan iman anak. Banyak orang tua lebih mempercayakan dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan iman anak kepada guru di sekolah. Orang tua kurang memahami dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman yang utama dan pertama. Dalam kursus persiapan perkawinan materi pendidikan iman anak belum mendapatkan porsi yang khusus. Suami-istri tidak hanya perlu mendapatkan pembekalan mengenai bagaimana membangun keluarga kristiani yang baik tetapi juga tentang pendidikan iman anak, sehingga mereka semakin siap untuk menanggapi panggilannya sebagai orang tua kristiani. Oleh karena itu persoalan skripsi ini bagaimana materi PIA bisa diolah secara khusus dalam KPP, sehingga menjadi bekal yang membantu calon suami-istri dalam mempersiapkan dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik utama dan pertama.

Keluarga sebagai komunitas iman tidak terbentuk dengan sendirinya. Keluarga perlu dipersiapkan melalui KPP yang terlaksana dengan baik. Materi-materi dalam kursus persiapan perkawinan hendaknya membantu calon suami-istri dalam memahami dasar-dasar keluarga kristiani, serta hal-hal yang bisa dilakukan untuk membangun keluarga kristiani. Materi PIA perlu diberikan secara khusus dengan tekanan tentang pada pentingnya pendidikan iman anak dalam keluarga, panggilan orang tua dan upaya-upaya mendidik iman anak dalam keluarga.

(9)

ix ABSTRACT

This writing entitled “A Proposal To Include The Children Faith Formation in Courses Of Preparing Matrimony With Catechesis Of Life Experience Model”. Writer choose this title due to the concern of children’s faith education. Many parents tend to entrust all their children faith formations to the school just take a bit of role. The parent do not understand their duties as the first and main faith educator to their children. The course of marriage preparation the children’s faith education has not enough portion. The couple need courage not only on education do that are ready to become christian parents how the children faith formation teaching can be include in marriage preparation courses so that it can be sources that can help future parent to prepare and do their job as a main and first educator.

Family as faith community is formed by itself. Family need ought to be prepared through marriage preparation Courses in the marriage preparation help future parent to understand the foundation of christian family. Children faith formation lesson need to be given especially with stresses on the importance of faith education, and how parent can make efforts to educate children faith.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya yang berlimpah pada penulis. Atas rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul USULAN MENGOLAH MATERI

PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN

PERKAWINAN DENGAN KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP. Penulisan skripsi ini bertolak dari keprihatinan penulis akan kurangnya kesadaran dan penghayatan orang tua dalam pendidikan iman anak. Pasangan suami-istri yang akan menikah perlu dibekali pemahaman tentang pendidikan iman anak. Penulis berharap dengan penulisan skripsi ini dapat membantu pendamping KKP dalam membantu calon suami-istri yang akan menikah untuk membangun sebuah keluarga yang beriman terutama dalam segi pendidikan iman anak, sehingga semakin siap sedia dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada demi mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam sebuah keluarga dan dapat membangun keluarga sebagai komunitas iman.

(11)

xi

1. Drs. F.X. Heryatno W. W., SJ. M.Ed selaku Kaprodi, Pembimbing akademik sekaligus dosen penguji II dengan setulus hatinya memberi perhatian, memberikan dukungan kepada penulis dan selalu menjadi inspirasi buat penulis. 2. Y.H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum, selaku dosen pembimbing utama

penulis yang telah dengan sabar, setia, penuh perhatian, penuh semangat dan selalu berusaha menyediakan waktu dalam membimbing penulis. Beliau juga dengan sepenuh hati senantiasa memotivasi, mencintai dan menumbuhkan kepercayaan diri pada penulis. Semangat beliau menjadi inspirasi bagi penulis agar mau berusaha untuk maju dan berkembang menjadi lebih baik. Banyak saran dan kritikan yang menjadikan penulis berkembang baik segi pengetahuan maupun kematangan pribadi sebagai calon katekis.

3. P. Banyu Dewa HS, S. Ag. M.Si, selaku penguji III yang juga senantiasa memberi motivasi, dukungan, saran dan kritikan yang membangun bagi penulis baik dalam proses penulisan skripsi ini maupun selama menjalani kuliah di IPPAK.

4. Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis selama kuliah di IPPAK dan selama proses menyelesaikan skripsi ini.

5. Dinas Pendidikan Kutai Barat yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk kuliah di IPPAK.

(12)
(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan... 5

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penulisan ... 6

F. Sistematika Penulisan... 7

BAB II. MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN ... 9

A. Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman ... 9

1. Pengertian Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman... 9

(14)

xiv

3. Ciri-ciri Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman ... 17

4. Persiapan-persiapan Untuk Membangun Keluarga Kristiani... 22

B. Kursus Persiapan Perkawinan Sebagai Usaha Untuk Membangun Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman... 24

1. Pengertian Kursus Persiapan Perkawinan... 24

2. Tujuan Kursus Persiapan Perkawinan ... 25

3. Materi Kursus Persiapan Perkawinan ... 27

C. Pengolahan Materi Pendidikan Iman Anak (PIA) Dalam KPP... 40

1. Pentingnya Materi Pendidikan Iman Anak Diolah Dalam KPP ... 40

2. Tujuan Materi Pendidikan Iman Anak Diolah Dalam KPP ... 45

3. Materi-materi PIA Yang Perlu Diolah Dalam KPP ... 47

a. Panggilan Orang Tua Sebagai Pendidik Iman Anak ... 47

b. Upaya-upaya Untuk Mendidik Iman Anak Dalam Keluarga... 52

BAB III. KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP UNTUK MENGOLAH MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN ... 58

A. Katekese Model Pengalaman Hidup ... 58

1. Pengertian Katekese Model Pengalaman Hidup ... 58

2. Keunggulan Katekese Model Pengalaman Hidup Untuk Mengolah Materi PIA Dalam KPP... 59

a. Pengalaman Hidup Peserta Sebagai Titik Tolak... 59

b. Katekese Yang Kontekstual... ... 60

c. Peran Pendamping KPP Sebagai Fasilitator Dan Peserta Sebagai Subyek Yang Aktif ... 61

B. Unsur-unsur Katekese Model Pengalaman Hidup ... 62

1. Pengalaman Hidup ... 63

2. Pengalaman Iman Dalam Kitab Suci Dan Tradisi Kristiani ... 63

3. Komunikasi Iman ... 64

4. Arah Keterlibatan Baru ... 65

(15)

xv

1. Mengungkapkan Pengalaman Hidup Peserta ... 66

2. Pendalaman Pengalaman Hidup... 66

3. Menggali Pengalaman Iman Kristiani ... 67

4. Penerapan Iman Kristiani Dalam Situasi Konkrit ... 67

5. Mengusahakan Suatu Aksi Konkrit... 67

BAB IV. CONTOH SATUAN PERTEMUAN KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP UNTUK MENGOLAH MATERI PIA DALAM KPP ... 69

A. Usulan Tema-tema Tentang Materi Pendidikan Iman Anak Dalam KPP ... 69

1. Panggilan Dan Perutusan Orang Tua Katolik ... 69

2. Pendidikan Iman Anak Dalam Keluarga... 70

3. Upaya-upaya Dalam Mendidik Iman Anak ... 72

B. Contoh Satuan Pertemuan ... 73

BAB V. PENUTUP... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 87

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci KS : Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.

B. Singkatan Dokumen Gereja

DV :Dei Verbum(Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi) FC :Familiaris Consortio

GS :Gaudium et Spes(Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia)

KHK : Kitab Hukum Kanonik(Codex Iuris Canonici)

LG :Lumen Gentium(Konstitusi Dogmatis tentang Gereja) GE :Gravissimum Educationis

AA :Apostolicam Actuositatem

C. Singkatan lainnya

Art : Artikel

(17)

xvii PIA : Pendidikan Iman Anak Pasutri : Pasangan Suami-Istri

SP : Satuan Persiapan

Kan : Kanon

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia KOMKAT : Komisi Kateketik

Ay : Ayat

Pasutri : Pasangan suami-istri

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Keluarga adalah basis terkecil dalam Gereja dan masyarakat. Keluarga

yang baik dan harmonis akan sangat membantu terciptanya suatu tatanan hidup

yang baik di dalam masyarakat maupun dalam hidup menggereja. Dalam

keluarga Kristiani orang tua menjadi teladan untuk menerapkan nilai-nilai

Kristiani dalam diri setiap anggota keluarganya baik hidup di tengah masyarakat

maupun dalam hidup Gerejani.

Kebahagiaan suami-istri menjadi tujuan utama dalam hidup berkeluarga.

Selain kebahagiaan suami-istri, pendidikan iman anak juga menjadi tujuan

perkawinan. Dalam sebuah keluarga, pasangan suami-istri tentunya yang sangat

berperan untuk terciptanya kebahagian keluarga dan keberlangsungan

pendidikan iman anak-anaknya. Tugas orang tua dalam mendidik anak berakar

dari panggilan suami-istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah.

Untuk mencapai kebahagiaan suami-istri dan keberhasilan pendidikan

iman anak, pentinglah persiapan perkawinan seperti ditegaskan oleh Paus

Yohanes Paulus II melalui anjuran apostolik yang berjudul Familiaris Consortio,

(1993:66).

(19)

Perkawinan perlu direncanakan oleh suami-istri sejak lama sebelum

menikah. Apabila tidak direncanakan secara matang maka keluarga yang akan

dibangun bisa saja akan menjadi rapuh, sehingga kebahagiaan keluarga tidak

terpenuhi dan pendidikan anak-anak juga terabaikan. Oleh sebab itu sangatlah

penting pemahaman dan penghayatan perkawinan dengan rencana yang

sedemikian matang untuk pasangan calon suami-istri yang akan membangun

sebuah bahtera rumah tangga.

Mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum menjalani hidup berkeluarga

amat sangat penting untuk pasangan-pasangan yang akan menikah. Dalam hidup

berumah tangga akan timbul berbagai macam permasalahan atau tantangan yang

akan dihadapi. Salah satu permasalahan dan tantangan tersebut adalah pendidikan

iman anak, karena pasangan suami-istri mempunyai peranan penting dalam

membina iman anaknya. Pasangan suami-istri berperanan dalam pendidikan iman

anak untuk pendidikan iman dalam keluarga dapat memampukan anak dengan

penuh tanggung jawab mengikuti panggilannya dan menentukan status hidupnya

(GS, art 52). Untuk dapat melaksanakan perannya pasangan suami-istri perlu

dipersiapkan secara matang dalam hal pendidikan iman anak. Mereka perlu

dibekali pemahaman tentang tugas suami-istri sebagai orang tua untuk selalu

memperhatikan dan mendampingi anak, agar melalui semua cara pendidikan anak

dapat berkembang menjadi manusia cerdas dan penuh inisiatif guna membangun

(20)

Orang tua menjadi pengayom dan pegangan serta pedoman bagi

anak-anaknya terutama dalam hal pendidikan iman anak. Pasangan suami-istri sebagai

orang tua hendaknya penuh kepercayaan dan keberanian membina anak-anaknya

mengamalkan nilai-nilai manusiawi dan iman. Nilai-nilai ini akan mengantar

anak pada minat dan perhatian yang tulus serta mengabdi tampa pamrih terhadap

sesama sehingga anak dapat mempertanggungjawabkan imannya dan berdaya

guna dalam lingkungan masyarakat luas (FC, art. 37).

Tujuan akhir dari pembekalan yang diikuti pasangan suami-istri yang

akan menikah, supaya mereka bisa menghayati peran mereka sebagai orang tua,

karena harus diakui bahwa dalam tugas mereka sebagai orang tua adalah pelaku

pertama dan utama. Sebagai orang tua, suami-istri berkewajiban menciptakan

lingkup keluarga yang diliputi oleh semangat bakti kepada Allah dan sesama,

serta mengembangkan keluarga sebagai komunitas iman untuk melayani Gereja

dan masyarakat. Keluarga merupakan suatu komunitas iman yang menjadi

tempat Kristus membaharui hubungan-hubungan dengan iman dan

sakramen-sakramen. Partisipasi keluarga dalam pengutusan Gereja harus mengikuti pola

persekutuan suami-istri sebagai pasangan hidup harus mengikuti pola

persekutuan Gereja serta persekutuan orang tua dan anak-anak. Mereka harus

menghayati pelayanan mereka pada Gereja dan masyarakat. Mereka harus sehati

sejiwa (Kis 4:32).

Di dalam kursus persiapan perkawinan materi tentang pendidikan iman

(21)

yang akan menikah dalam membekali diri mereka masing-masing dalam hal

pendidikan iman anak. Orang tua diingatkan untuk menyalurkan kehidupan

kepada anak-anaknya dan ini merupakan tugas berat. Keluarga menjadi

lingkungan pendidikan pertama dalam menanamkan keutaman-keutaman sosial

yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat (FC, art. 36).

Realitas yang terjadi materi pendidikan iman anak kurang diolah secara

khusus dalam KPP. Gambaran ini penulis lihat di Paroki tempat tinggal penulis

sendiri yaitu Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur, materi

yang diolah dalam KPP tentang pendidikan anak secar umum belum pendidikan

iman padahal materi pendidikan dalam keluarga sangat penting karena

merupakan hal yang pokok di dalam keluarga untuk bekal bagi suami-istri dalam

mempersiapkan diri menjadi orang tua khususnya sebagai pendidik iman

pertama yang utama.

. Berkaitan dengan pendidikan iman anak dan kenyataan pendidikan

iman anak maka pendidikan iman anak perlu diolah dalam KPP. Pengolahan

materi pendidikan iman anak dalam KPP akan membantu pasangan calon

suami-istri untuk lebih menghayati tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua

dalam menjalankan perannya mendidik iman anak agar semakin terlibat di

Gereja dan masyarakat. Sebagai calon orang tua, tugas pasangan suami-istri

tidak hanya mengajarkan tentang iman pada anak-anaknya saja melainkan

(22)

melaksanakannya dalam keluarga. Mereka dapat menjadi teladan dan saksi iman

bagi anak-anaknya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk

mendalami judul skripsi “Usulan Mengolah Materi Pendidikan Iman Anak

Dalam Kursus Persiapan Perkawinan dengan Katekese Model Pengalaman

Hidup”

B. Rumusan Permasalahan

Permasalahan dalam skiripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Gereja mengenai pentingnya kursus persiapan

perkawinan bagi calon pasangan suami-istri untuk membangun keluarga

Kristiani?

2. Mengapa materi PIA perlu diolah dalam KPP?

3. Metode apa yang cocok untuk diterapkan dalam mengolah materi

pendidikan iman anak dalam KPP untuk membantu calon pasangan

suami-istri mempersiapkan dalam melaksanakan tugas sebagai orang tua?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pandangan Gereja mengenai kepentingan kursus persiapan

perkawinan yang ada dalam rangka mempersiapkan calon pasangan

(23)

2. Menguraikan alasan pokok perlunya materi pendidikan iman untuk diolah

dalam Kursus persiapan perkawinan.

3. Mengurauikan usaha apa yang cocok untuk mengolah materi pendidikan

iman anak dalam membantu calon pasangan suami-istri dalam

melaksanakan tugasnya sebagai orang tua.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi ini, adalah:

1. Dapat mengetahui pentingnya pendidikan iman anak dalam membangun

keluarga sebagai komunitas iman.

2. Calon pasangan suami-istri dapat memahami, menghayati dan mewujudkan

tugasnnya sebagai orang tua dalam mendidik iman anak.

3. Memberi sumbangan pemikiran melalui katekese model pengalaman hidup

untuk mengolah materi PIA dalam KPP dalam membangun keluarga

sebagai komunitas iman.

E. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskripsi

analitis. Metode analitis adalah suatu metode yang bertujuan untuk

mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang dianalis melalui

(24)

skripsi ini penulis mendeskripsikan tentang keluarga kristiani sebagai komunitas

iman, pemahaman mendalam mengenai kursus persiapan perkawinan dan secara

khusus upaya-upaya untuk mengolah materi PIA dalam KPP melalui katekese

model pengalaman hidup.

F. Sistimatika Penulisan

Pada Bab pertama merupakan pendahuluan. Pada bagian ini, penulis

memaparkan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan,

tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistimatika penulisan.

Bab kedua, penulis menguraikan materi kursus persiapan perkawinan dan

pendidikan iman anak dalam kursus persiapan perkawinan yang meliputi:

pengertian kursus persiapan perkawinan dan tujuan kursus persiapan perkawinan

Materi kursus persiapan perkawinan, Pentingnya pendidikan iman dan

materi-materi pendidikan iman anak yang perlu diolah di dalam kursus persiapan

perkawinan.

Bab ketiga, penulis menguraikan tentang katekese model pengalaman

hidup untuk mengolah materi pendidikan iman dalam kursus persiapan

perkawinan, keunggulan katekese model pengalaman hidup, unsur-unsur katekese

model pengalaman hidup dan pengembangan langkah-langkah katekese model

(25)

Bab empat, tema-tema materi pendidikan iman anak yang perlu diolah

dalam kursus persiapan perkawinan dan contoh persiapan mengolah materi

pendidikan iman anak dalam kursus persiapan perkawinan.

Bab lima merupakan penutup seluruh skripsi ini, pada bab ini penulis

(26)

BAB II

MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN

A. Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman

1. Pengertian keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman

Keluarga secara umum terdiri dari suami-istri dan anak-anak mereka yang

hidup secara terpisah dari orang lain dan terikat secara khusus. Keluarga menjadi

kesatuan sosial terkecil. Keluarga sebagai kesatuan sosial artinya ada hubungan

yang terjalin erat antara suami-istri, orangtua dan anak-anak. Begitu eratnya

hubungan ini sehingga antara suami-istri tidak dapat dipisahkan. Mereka tidak

dapat hidup sendiri, setiap anggota keluarga membutuhkan orang lain. Keluarga

sebagai kesatuan sosial sekaligus juga kesatuan pribadi. Dalam keluarga ikatan

perkawinan antara pria dan wanita yang menyatukan mereka sebagai pasangan

telah menjadi tanda kesatuan Kristus dengan Gereja. Tanda ini tampak dalam

relasi timbal balik antara suami dan istri yang menunjukkan hubungan timbal

balik antara Kristus dengan GerejaNya.

Konferensi Waligereja Indonesia (1996:54), juga menekankan pandangan

keluarga sebagai komunitas iman. Keluarga diartikan sebagai kesatuan hidup

setiap anggotanya. Keluarga betanggung jawab atas dirinya sendiri, orang tua

terhadap anaknya dan anak-anak terhadap orangtuanya. Dengan rasa tanggung

jawab ini, setiap pribadi belajar untuk saling mencintai, mengampuni, dan

memahami orang lain. Dengan melaksanakan tugas tersebut, keluarga disebut

(27)

Katekismus Gereja Katolik (1995:563) menyatakan bahwa Keluarga Kristiani merupakan satu penampilan dan pelaksanaan khusus dari persekutuan

Gereja. Dalam keluarga kristiani ditampilkan persekutuan pribadi-pribadi, satu

tanda, citra dan persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Keluarga

dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban kristus. Keluarga

kristiani mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil. Injil

yang menjadi sumber kekuatan dalam keutuhan keluarga. Dimana Injil menjadi

sebuah saksi dalam kehidupan berkeluarga. Keluarga kristiani diharapkan mampu

menjadi pengikut Yesus Kristus yang sejati dengan mewartakan dan

menyebarluaskan Injil dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan

bermasyarakat.

Keluarga sebagai Komunitas iman mengemban tugas-tugas Gereja.

Menurut Konsili Vatikan II,

Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila melalui iman timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama Allah, keluarga membawa diri bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah; bila segenap keluarga ikut serta dalam ibadat liturgi Gereja, akhirnya bila keluarga ikut serta dalam ibadat liturgis Gereja, akhirnya bila keluarga secara nyata menunjukkan kerelaannya untuk menjamu, dan memajukan dan amal-perbuatan baik lainnya untuk melayani semua saudara yang sedang menderita kekurangan (AA,art 11).

Keluarga turut ambil bagian dalam sakramen suci ekaristi, melaksanakan doa-doa

keluarga dan lingkungan, membina dan mengajarkan anak-anak tentang cinta

kasih dan terutama memperhatikan saudara-saudara yang miskin dan menderita.

(28)

keluarga belajar dengan tekun, gembira dengan pekerjaan, mengalami cinta

persaudaraan dan memperoleh rahmat pertobatan melalui doa dan ibadat.

Menurut Paus Yohanes Paulus II, sebuah keluarga kristiani hanya layak

disebut sebagai komunitas iman bila hidup anggotanya dijiwai oleh iman.

Keluarga sebagai komunitas iman memiliki kekhasan sebagai Gereja mini.

keluarga kristiani merupakan unsur pembentukan Gereja, yang pertama ditandai

oleh sikap hormat dan kasih kepada Kristus dan Gereja-Nya. Sebagai komunitas

iman diharapkan, keluarga turut serta dalam tugas perutusan Gereja mewartakan

Kerajaan Allah. Iman keluarga hendaknya diyakini, dipahami, diungkapkan,

dirayakan, diwartakan, dan diamalkan secara terus-menerus, baik di dalam

maupun di luar rumah. Konsili Vatikan II mengatakan bahwa:

Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan ketaatan iman. Demikian manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagian kebenaran, wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya”. (DV art. 5).

Dari pemaparan di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa keluarga

sebagai komunitas iman adalah keluarga yang dijiwai oleh iman dan senantiasa

mengembangkan hidup beriman kristiani. Dalam keluarga kritiani, seluruh

anggotanya melaksanakan hidup kesehariannya dengan pola hidup seperti Yesus.

Pola hidup Yesus itu terwujud dalam perjuangan berani memanggul salib yakni

dengan: mau menderita, berkorban, siap berjuang dalam kesulitan, tidak egois,

tidak mudah tergoda dan akhirnya siap melawan arus yang berlawan dengan

(29)

2. Dasar-dasar Membangun Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman a.Cinta suami-istri

Suami-istri dipertemukan untuk saling mencintai dan hidup bersatu dalam

jiwa dan badan, guna saling membahagiakan satu sama lain, itulah dasar

membangun keluarga sebagai komunitas iman. Keluarga hendaknya dibangun

dengan cinta dan penyerahan secara total seluruh hidup suami-istri pada kehendak

Allah. Sejarah keselamatan dipenuhi dengan tema perjanjian nikah yang

merupakan satu ungkapan penting bagi kesatuan cinta kasih antara Allah dan

manusia, serentak sebagai satu pengertian kunci untuk memahami dalam

simbolisme tahap-tahap perjanjian besar yang diadakan Allah dengan umat-Nya.

Perkawinan berlandaskan cinta merupakan gambaran perjanjian kasih Allah

antara Kristus dan Gereja-Nya. Dikatakan suami-istri yang diberkati melalui

perkawinan menjadi gambaran dan tanda pernjanjian Allah dengan umatNya.

Maka pria dan wanita yang telah menikah saling terikat dan terpisahkan.

Suami-istri sebagai mahluk pribadi dan bermartabat pada hakikatnya

adalah sama. Pernyataan tersebut dijelaskan dalam Kitab Kejadian: “maka Allah

menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakan

laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27). Hendaknya suami-istri saling mencintai,

karena dengan saling mencintai suami-istri karena seturut dengan Allah.

menciptakan manusia pria dan wanita untuk hidup saling melengkapi, sehingga

antara pria dan wanita memiliki posisi yang sama di mata Allah yakni mahluk

pribadi yang bermartabat. Inilah hak setiap orang yang tak dapat dihapus di

(30)

citra Allah hendaknya suami-istri saling mencintai, bahwa cinta yang melandasi

dasar keluarga itu maka harus dirasakan lewat komunikasi, karena komunikasi

yang baik adalah ekpresi cinta sehingga keluarga bisa membangun keluarga

sebagai komunitas iman.

Dengan menyadari tugas dan perannya masing-masing (suami-istri) dan

dilandaskan cinta untuk membangun keluarga, situasi keluarga yang damai,

tentram dan bahagia dapat terwujud. Untuk mewujudkan suasana damai, tentram

dan bahagia diperlukan komunikasi yang baik. Komunikasi ini dapat dilakukan

bila suami-istri bersedia mendengarkan pasangannya dengan rendah hati dan

terbuka, sehingga permasalahan yang terjadi dalam keluarga dapat dibicarakan

dalam suasana yang damai.

b. Sakramen Perkawinan

Perkawinan katolik bukanlah merupakan perkawinan biasa. Perkawinan

memiliki sifat penting lebih mendalam yakni bersifat sakramen. Sakramen

Perkawinan menjadi dasar dari keluarga kristiani. Kitab Hukum Kanonik kanon

1055 $ 1 menyatakan:

Perjanjian (foedus) perkawinan, denganya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut cirri kodratinya terarah pada kesejahteran suami-istri (bonum coniugum)serta kelahiran dan pendidikan anak antara orang-orang yang baptis oleh kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

berdasarkan sifat sakramental, perkawinan katolik bersifat tak terceraikan dan

(31)

1) Tak terceraikan

Penceraian dalam gereja katolik merupakan pengingkaran janji.

Perkawinan antara suami-istri bersumber dari cinta Ilahi. Cinta kasih suami-istri

akan terpancar melalui kesetiaan mereka dalam perkawinan. Suami-istri

mengusahakan kesetiaan untuk mempertahan hubungan dalam perkawinan.

Dengan kesetiaan suami-istri akan semakin saling memahami dan menciptakan

perkawinan yang bahagia (GS art 48).

Perkawinan katolik bukanlah suatu kontrak hidup bersama antara pria dan

wanita, bila tidak sesuai dengan ketentuan kontrak dapat diputuskan

sewaktu-waktu. Namun perkawinan katolik telah mendapatkan keteguhan dalam

masyarakat dan dikukuhkan oleh hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Hukum-hukum ini menjamin setiap orang yang menikah terhindar dari

pihak-pihakyangmencari keuntungan sendiri.

2) Monogami

Ciri perkawinan katolik selain tak terceraikan adalah monogam yaitu

perkawinan katolik di tuntut untuk menikah dengan satu orang saja. Kitab Hukum

Kanonik kanon 1056 menyatakan:

Ciri-ciri Hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolusbilitas (sifat tidak dapat diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.

dalam perkawinan Kristus yang mempersatukan suami-istri, maka perkawinan

(32)

Kristus. Kristus yang mengikat suami-istri dalam perjanjian yang sifatnya

monogam, seperti perjanjian antara Kristus dengan Gereja.

c. Kebisaan Hidup Beriman

Kebiasaan hidup beriman menjadi dasar keluarga Kristiani. Kebiasaan doa

pribadi dan bersama tetapi juga kebiasaan juga membaca Kitab Suci keluarga

secara otomatis dapat berkomunikasi dengan Tuhan, tidak hanya melalui doa

keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam perayaan

Ekaristi, membaca dan menemukan dasar iman. Pembinan iman tidak hanya

didapatkan dari orang tua saja tetapi bisa di dapatkan melalui pembinaan iman

yang meliputi:

1. Kebiasan hidup doa

Menyadari keluhuran panggilan hidup berkeluarga untuk membangun

hidup suci, kita tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan yang dialami

suami-istri dalam membangun keluarganya. Banyak keluarga mengalami berbagai

kesulitan dalam hal materi, relasi atau yang lain. Lebih tragis lagi situasi tersebut

membawa keluarga kristiani masuk dalam sebuah tragedi yang sulit untuk

diselamatkan.

Sebagai umat beriman sangat penting membawa berbagai persoalan hidup

dalam doa. Pelaksanaan doa ini bisa secara pribadi atau bersama dalam keluarga.

(33)

mendoakan satu dengan yang lain sehingga doa mempunyai daya kekuatan yang

lebih di hadapan Tuhan (Mat 18:19).

Perkawinan sebagai sakramen akan semakin terwujud dalam kegiatan doa

keluarga. Sebagai keluarga beriman kristiani, harus percaya bahwa kekuatan doa

mampu memberi daya bagi seluruh anggota keluarga dalam mengahadapi sebuah

“tragedi”. Melalui hidup doa, keluarga mampu mempersatukan hidup mereka

sehari-hari sebagai kurban rohani yang berkenan kepada Allah (FC art 59).

2. Ikut pembinaan iman

Sebagai anggota Gereja keluarga ikut terlibat dalam pembinaan iman dan

memberikan pendidikan iman serta menumbuhkan sikap menggereja dalam diri

kelurga Kristiani yang baru dibangun. Dengan iman yang kuat keluarga katolik

diharapkan bisa saling memperkembangkan iman dalam keluarga sehingga

terciptanya kedamaian, kerjasama dan kerukunan dalam keluarga, dengan

demikian Tuhan pun turut hadir di tengah-tengah keluarga untuk membawa

keselamatan dan rahmat-Nya (Gilarso :1996:-11).

3. Ikut ambil bagian dalam Rekoleksi, Retret, Ziarah

Rekoleksi, Retret, Ziarah sudah dikembangkan cukup lama dalam Gereja

dan menghasilkan buah-buah yang baik. Maka, keluarga Kristiani hendaknya

mendorong dan mendukung seluruh anggota keluarganya untuk mengambil

bagian dalam kegiatan-kegiatan tersebut demi pengembangan hidup beriman

(34)

4. Mengikuti Perayaan Liturgi

Keluarga Kristiani sudah terbiasa mengambil bagian aktif dalam perayaan

liturgi, terutama ekaristi. Dengan demikian iman mereka akan Tuhan Yesus

Kristus semakin besar. Keluarga Kristiani sejak dini diharapkan mengajak

anak-anaknya mengambil bagian dalam setiap perayaan Ekaristi, karena perayaan

Ekaristi membantu mereka untuk terlibat didalamnya, bila mereka sudah mampu

memahami, orang tua sebaiknya menjelaskan makna perayaan Ekaristi, yaitu

perjamuan kasih Tuhan. Dalam perjamuan itu Tuhan memberikan diri-Nya, maka

menyambut Tubuh Kristus dalam komuni berarti bersatu dengan Tuhan dan

Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus.

3. Ciri-ciri keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman a. Keluarga sebagai sakramen

Keluarga kristiani sebagai komunitas iman menjadi tanda dan sarana

kehadiran Allah bagi anggota keluarga maupun bagi masyarakat atau keluarga

yang lain (Gilarso, 1996: 154-158). Tanda dan sarana kehadiran Allah yang

mencintai manusia melalui perkawinan terwujud dalam keluarga dan janji

pernikahan mereka sekali mereka dipersatukan Allah dengan saling menerima

sakramen perkawinan, mereka telah dipersatukan oleh Tuhan untuk menjadi tanda

dan sarana cintaNya. Tanda dan saluran rahmat dalam sakramen perkawinan itu

tidak hanya untuk suami-istri yang bersangkutan, melainkan berlaku bagi seluruh

(35)

merupakan tanda kasih setia dan rahmat Allah bagi seluruh umatNya (Gilarso,

1996:158)

b. Keluarga sebagai persekutuan hidup

keluarga menjadi tempat berkumpulnya suami-istri, anak dan saudara.

Keluarga sebagai komunitas iman hidup sebagai persekutuan ada relasi yang

dalam seluruh keluarga dalam persekutuan iman. Iman menjadi dasar dalam

membina keluarga yang merupakan tempat berkumpulnya pribadi suami-istri,

orang tua dan anak-anak serta sanak saudara. Melihat bahwa keluarga sangat

penting sebagai pusat iman yang hidup dan menjadi saksi di tengah dunia yang

sering berada jauh dari iman dan bahkan justru bermusuhan dengan-Nya. Seluruh

anggota keluarga dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman bagi

anggota yang lain. Dalam keluargalah, pelaksanaan imamat katolik yang diterima

melalui pembaptisan dapat diwujudkan oleh keluarga melalui hidup doa dan

syukur.

Keluarga adalah tempat pribadi belajar iman. Dengan beriman

pasangannya dan anak-anak setiap pribadi melepaskan diri dari rasa ego dan harga

diri, bersedia untuk mengampuni dan mau melaksanakan tugas-tugas harian dalam

rumah tangganya.

Iman yang mempersatukan suami-istri untuk saling mencintai dan saling

setia. Iman yang menuntut kesetiaan, hal ini bertujuan demi kesejahteraan dan

(36)

manusia ingkar janji. Karena Allah itu setia maka suami-istri harus setia pada

pasangannya dan juga keluarga, baik dalam suka maupun duka.

Sebagai komunitas iman, masing-masing memiliki peranannya didalam

keluarga. Pria dan wanita memiliki derajat yang sama. Kederajatan ini sudah dan

selalu diwahyukan dalam sejarah keselamatan (Kej 1:27), dalam panggilan Maria

sebagai ibu Yesus, dan hormat Yesus kepada kaum perempuan berarti juga

pengakuan bahwa mereka punya hak ikut berperan dalam masyarakat (FC art 23).

Namun perannya sebagai istri dan ibu harus tetap diakui dan dihargai sehingga

kerja mereka dirumahpun dihargai (FC art 23).

Laki-laki terutama berperan sebagai suami dan ayah. Ia harus mencitai

istrinya sama seperti Kristus mencintai Gereja (FC art 25). Kehadiran seorang

ayah diperlukan dalam keluarga terutama bagi anak-anak. Sejak masa pembuahan,

anak harus dilindungi, dihargai dan dicintai. Martabat pribadinya diakui, dijadikan

pusat perhatian orangtua (FC art 26).

Sebagai komunitas iman, keluarga memiliki perhatian dan kepedulian

kepada mereka yang lanjut usia, sakit dan menderita. Mereka adalah orang-orang

yang membutuhkan pertolongan orang-orang terdekatnya dan arena mereka

memiliki perannya dalam keluarga (FC art 27).

3. Keluarga yang ikut serta dalam tugas perutusan Gereja

Keluarga merupakan unsur pembentukan Gereja. Melalui keluarga, Gereja

hadir dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan perkawinan dan keluarga setiap

(37)

pendidikan, anak dihantar masuk kedalam komunitas iman. Melalui pembaptisan,

anak masuk dalam keluarga Allah, yakni Gereja.

Keluarga sebagai unsur pembentuk Gereja, menjadikan rumah mereka

sebagai gereja mini ( Ecclesia Domestika ), yang ikut serta dalam tugas perutusan

Gereja. Keluarga ditengah situasi dunia yang tidak menentu diharapkan dapat

membawa setitik harapan demi terciptanya kedamaian dan terwujudanya Kerajaan

Allah.

4. Keluarga Sebagai Gereja Mini

Konsili Vatikan II mengartikan keluarga kristiani sebagai persekutuan

hidup sebagai “Gereja Mini” (AA 11:4). Keluarga diharapkan bisa

memperkembangkan Iman akan Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan

sehari-hari, dengan demikian keluarga kristiani akan tumbuh dengan sendirinya.

Keluarga kristiani satu penampilan dan pelaksanaan khusus dari persekutuan

Gereja. Dalam keluarga kristiani ditampilkan persekutuan pribadi-pribadi, satu

tanda, citra dan persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Keluarga

dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban kristus. Keluarga

kristiani mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil . Injil

yang menjadi sumber kekuatan dalam keutuhan keluarga.

Keluarga kristiani diharapkan mampu menjadi pengikut Yesus Kristus

yang sejati dengan mewartakan dan menyebarluaskan Injil dalam kehidupan

berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat. Keluarga kristiani adalah keluarga

(38)

Yesus. Dalam keluarga kristiani ditampakkan kasih suami dan istri melalui

kesediaan untuk berkorban, kesetiaan dan kerjasama yang penuh kasih antara

semua anggotanya. Dengan demikian keluarga tersebut menampilkan cinta kasih

Allah kepada Gereja-Nya.

Awal dari perkembangan sebuah gereja adalah keluarga, maka keluarga

yang sungguh-sungguh berkembang dengan baik akan menjadi kehidupan

menggereja juga akan berkembang dengan baik. Disinilah titik tolak yang

membutuhkan perhatian dari setiap keluarga juga gereja untuk saling bekerjasama

dalam memperkembangkan Gereja dalam keluarga.

Dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (FC), Art. 17 Sri Paus

Yohanes Paulus II mengatakan:

Dalam rancangan Allah, Sang pencipta dan penebus, keluarga bukan hanyamenemukan jatidirinya, keluarga itu apakah sebenarnya, melainkan juga Perutusannya, yakni: apa yang dapat dan harus dijalankannya. Peranan, yang seturut panggilan Allah harus dijalankan oleh keluarga disepanjang sejarah, dijabarkan dari jatidiri keluarga. Peranan itu merupakan pengembangan dinamis dan eksistensial jatidirinya. Setiap keluarga menemukan dalam dirinya suatu undangan, yang tidak dapat diabaikan, dan yang kongkritkan martabatnya maupun tanggung jawabnya: keluarga, jadilah sebagaimana seharusnya. (FC art 17).

Keluarga sebagai komunitas iman dapat memaksimalkan fungsinya

sebagai keluarga kristiani yang berpatokan pada keluarga Nazaret. Jati diri sebagai

keluarga kristiani menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari, lewat interaksi

dengan lingkungan sekitar juga dengan masyarakat baik yang seiman maupun

yang berbeda iman. Disinilah peranan keluarga sebagai komunitas iman dapat

diungkapkan dan interaksinya dengan lingkungan masyarakat juga iteraksinya

(39)

Semangat kristiani yang tumbuh dalam keluarga diharapkan semakin

dikembangkan oleh masing-masing keluarga baik itu melalui ajaran orang tua

terhadap anaknya, maupun tingkah laku sehari-hari dalam keluarga itu sendiri.

Dengan kebijaksanaan kedua pasangan sebagai penggerak berkembangnya

sebuah keluarga yang seimbang yaitu hubungan dalam keluarga harmonis begitu

pula hubungan keluarga masyarakat disekitarnya. Titik tolak perjalanan sebuah

keluarga terletak pada pasangan suami-istri yang menjadi kepala keluarga. Oleh

karena itu bukan hanya dalam kursus persiapan perkawinan hal tersebut

dijabarkan melainkan dalam pendampingan-pendampingan keluarga. Motivasi

dan dukungan dari Gereja menjadi pemicu yang positif bagi sebuah keluarga

karena mereka akan merasa dipahami dan dihargai serta diperhatikan. Akhirnya

keluarga bukan hanya sebagai tujuan pewartaan, melainkan juga dapat mengambil

peran sebagai pewarta.

4. Persiapan-persiapan untuk Membangun Keluarga Kristiani a. Persiapan perkawinan jangka jauh

Persiapan ini diadakan jauh sebelum perkawinan yaitu dimulai sejak

kanak-kanak. Persiapan tercipta melalui keluarga untuk menciptakan situasi

keluarga yang sehat, serasi, pendidikan, kegiatan sosial dan mengajarkan

keterampilan yang berguna bagi mereka.

Oleh karena itu, materi persiapan perkawinan ini tidak langsung

berhubungan dengan masalah perkawinan, melainkan menanamkan sifat-sifat dan

(40)

Penanggungjawab persiapan perkawinan jangka jauh adalah orang tua

masing-masing.

b. Persiapan perkawinan jangka dekat

Persiapan ini sering disebut juga persiapan perkawinan dalam arti khusus

atau sempit. Persiapan perkawinan jangka dekat, terutama diberikan kepada

remaja yang masih duduk dibangku sekolah tingkat atas. Dalam persiapan ini,

remaja diberi penjelasan tentang hal-hal yang bermanfaat untuk hidup

berkeluarga. Tekanan utama dalam persiapan perkawinan ini adalah pembinaan

kepribadian remaja dan muda-mudi supaya mengetahui hal-hal yang berkaitan

dengan hidup perkawinan.

c. Persiapan akhir menjelang perayaan sakramen

Persiapan akhir tersebut persiapan perkawinan dalam arti teknis. Yang

dimaksud dengan persiapan perkawinan dalam arti teknis adalah persiapan yang

diadakan selama satu pekan. Persiapan perkawinan diberikan oleh tim kursus

persiapan perkawinan dengan menggunakan program dan jadwal yang telah diatur

dan dipersiapkan oleh Gereja. Persiapan akhirnya ini dilakukan untuk

meneguhkan dan membantu pasutri dalam membangun sebuah keluarga karena

sebuah perkawinan perlu dihayati bukan sebagai kewajiban atau syarat semata

tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang sederhana untuk

mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki jenjang

(41)

B. Kursus Persiapan Perkawinan sebagai Usaha untuk Membangun Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman

1. Pengertian Kursus Persiapan Perkawinan

Kursus persiapan perkawinan adalah bentuk persiapan jangka pendek bagi

calon pasangan suami-istri katolik yang akan menikah untuk mempersiapkan dan

membekali diri dalam membangun hidup berkeluarga guna membangun keluarga

yang harmonis dan berhasil. Persiapan ini sangat dianjurkan Paus Yohanes II

melalui anjuran apostoliknya yang berjudul Familiaris Consortio, (1993:66).

Gereja harus mengembangkan program-program persiapan pernikahan yang lebih baik dan lebih intensif, untuk sedapat mungkin menyingkirkan kesulitan-kesulitan, yang dialami oleh cukup banyak pasangan suami istri; malahan lebih lagi: untuk secara positif mendukung terwujudanya pernikahan-pernikan yang makin mantab dan berhasil.

Kursus persiapan perkawinan ini perlu dihayati bukan sebagai kewajiban

atau syarat semata, tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang

sederhana untuk mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki

jenjang perkawinan. Kursus persiapan perkawinan perlu disadari sebagai

kebutuhan bukan hanya sebagai formalitas belaka demi memenuhi syarat

pernikahan. Diharapkan melalui kegiatan kursus ini pasangan calon suami-istri

sungguh-sungguh sadar akan manfaatnya.

Dalam KPP, semua hal yang berhubungan dengan hidup keluarga akan

diberikan kepada calon pasangan suami-istri. Seperti yang dinyatakan dalam

Konsili Vatikan II yang secara khusus memberikan perhatian terhadap keutuhan

keluarga. Para uskup mencemaskan keutuhan keluarga-keluarga terutama

(42)

Akan tetapi tidak dimana-mana martabat lembaga itu sama-sama berseri semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka penceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat cendera lainnya. Selain itu cinta perkawinan sering disematkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tidak ringan terhadap keluarga. Akhirnya diwilayah-wilayah tertentu didunia ini dengan cukup prihatin disaksikan munculnya masalah akibat pertambahan penduduk. Itu semua serba menggelisahkan suara hati” (Art 47).

2. Tujuan Kursus Persiapan Perkawinan

Keluarga yang baik perlu dipersiapkan dengan baik dan persiapan itu

sering kali memerlukan waktu yang lama (Adi Hardana 2010: 6). Tujuan

persiapan menjelang perkawinan itu sangat penting karena keadaan keluarga yang

baik adalah faktor mutlak untuk tercapainya kesejahteraan (keselamatan) bagi

orang perorangan, masyarakat umum maupun Gereja (GS, 47). Persiapan itu

diberikan dalam bentuk kursus persiapan perkawinan sebagai langkah persiapan

bagi muda-mudi untuk membangun hidup berkeluarga yang baik dan suatu usaha

memberi bekal dalam membangun keluarga Kristiani. Adapun tujuan kursus

persiapan perkawinan yaitu:

1. Mempersiapkan muda-mudi yang akan menikah atau hidup berkeluarga

Menurut Adi Hardana (2010: 2) persiapan calon pasutri diberikan dalam

bentuk kursus perkawinan sebagai langkah persiapan dan sebagai usaha untuk

memberikan bekal bagi muda-mudi untuk membangun hidup berkeluarga yang

(43)

seksualitas, kesehatan, ekonomi, dll, yang berkaitan erat dengan hidup

berkeluarga sehingga mereka siap untuk membangun keluarga. Selain itu

memberikan pegangan bagi mereka untuk mengambil tindakan dan mengatur

hidupnya sendiri menurut azas dan moral Kristiani.

2. Memberikan penerangan bagi mereka tentang hal-hal yang berhubungan

dengan masalah perkawinan dan kehidupan keluarga

Dalam kursus perkawinan tidak hanya bekal mengenai membangun hidup

berkeluarga tetapi memberikan informasi mendalam mengenai berbagai macam

hal yang berkaitan dengan masalah hidup berkeluarga informasi ini menjadi

penerangan menjadi penerangan menjadi bekal pasutri dalam hidup keluarga (Adi

Hardana, 2010:5). Karena itu, kursus persiapan perkawinan hendaknya

diselenggarakan oleh tim yang terdiri dari beberapa orang dengan keahlian yang

berbeda sehingga informasi yang disampaikan akan menjadi luas.

3. Menanamkan kesadaran akan hidup perkawinan sebagai panggilan

Kursus persiapan perkawinan juga mempersiapkan para calon pasutri

untuk membangun keluarga kristiani dalam arti luas, yaitu membangun Kerajaan

Allah (Adi Hardana, 2010:4). Penting untuk membuka wawasan baru dan luas

bagi calon pasutri untuk membuka wawasan baru dan luas bagi calon pasutri

untuk mampu melihat adanya panggilan hidup lain (hidup sebagai imam, suster,

bruder) selain panggilan untuk hidup berkeluarga dan bahwa setiap orang katolik

(44)

Keluarga-keluarga ikut berperan serta dalam menumbuhkan panggilan hidup sebagai imam,

suster, bruder, melalui kegiatan-kegiatan kerohanian mulai dari usia dini.

3. Materi Kursus Persiapan Perkawinan

Dalam upaya menjawab harapan serta tujuan diadakannya kursus

persiapan perkawinan, maka materi kursus persiapan perkawinan meliputi:

hakikat perkawinan Kristiani, tujuan Perkawinan Kristiani, sakramen perkawinan,

moral perkawinan, mengenal pribadi pasangan, psikologi Pria dan Wanita,

komunikasi suami-istri, pendidikan anak, seksualitas manusiawi, biologi

pembiakan manusia, keluarga berencana alamiah, pengaturan ekonomi keluarga,

prosedur perkawinan (Tukan, 1988: 17). Sejalan membantu pasangan suami-istri

dalam membekali mereka dalam membangun sebuah keluarga, maka materi

kursus persiapan perkawinan meliputi:

a. Hakikat Perkawinan

Dalam kursus persiapan perkawian materi ini diberikan agar pasangan

suami-istri yang akan menikah perlu mendapatkan pemahamana mengenai

perkawinan sebagai persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita, atas dasar

ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya untuk tidak

dapat ditarik kembali, dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi

dan kesejahteraan. Perkawinan dapat di pandang dari empat sudut pandang yaitu

perkawinan merupakan hidup dan cinta, perwkawinan merupakan lembaga hukum

(45)

1. Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta

Perkawinan merupakan persekutuan hidup yang menytukan seorang pria

dan wanita dasar persetujuan bebas (Gilarso, 2011: 9). Mereka bersekutu

membentuk suatu keluarga atas dasar cinta kasih yang tulus dalam kesatuan

lahir-batin yang mencakup seluruh hidupnya. Persetujuan bebas merupakan syarat

mutlak untuk terjadinya dan sahnya perkawinan. Cinta mensyaratkan kebebasan

serta tanggung jawab, tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa dan ini harus

dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang sah. Unsur pokok dalam cinta

perkawinan adalah kesetian kepada pasangannya dalam untun dan malang dan

bertanggung jawab dalam segala hal

2. Perkawinan merupakan lembaga sosial

Dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang satu-satunya lembaga

yang mengizinkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan keturunan

(Gilarso 2011: 10). Maka dari itu perkawinan dilindungi dan diatur oleh hukum

adat dan hukum negara, perkawinan juga melibatkan masyarakat luas, baik

sanak-saudara maupun tetangga dan kenalan. Keluarga adalah sel masyarakat, sebab

masyarakat ikut ambil bagian dalam urusan perkawinan karena mereka ikut

berperan dalam keutuhan kehidupan keluarga.

3. Perkawinan merupakan lembaga hukum negara

Perkawinan adalah ikatan resmi dan harus di sahkan (Gilarso 2011: 10).

(46)

masyarakat, soal sosial, soal keluarga, dan masa depan bangsa. Maka dari itu

negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Negara

mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi.

4. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen

Menurut Gilarso (2011: 10) dengan dibaptis berarti ia telah bersatu secara

pribadi dengan Kristus. Maka perkawinan antara dua pribadi yang dibaptis

merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan rahmat bagi kedua

mempelai. Ikatan cinta setia yang mempersatukan mereka menjadi lambing, tanda

perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja dan satuan rahmat bagi mereka.

Sakramen Pekawinan tidak hanya sebatas upacara di Gereja saja tetapi

berlangsung terus-menerus selama hidup mereka berdua. Maka Tuhan sendiri

berkenan hadir di dalam keluarga mereka. Rahmat yang mereka terima adalah

rahmat yang menguduskan mereka berdua, rahmat yang menyempurnakan cinta

dan mempersatukan mereka, dan rahmat yang membantu dan membimbing

mereka dalam hidup berkeluarga hingga semakin dekat dengan Tuhan.

b. Tujuan Perkawinan

Perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda (Gilarso

2011: 11-12). Tujuan materi ini diberikan agar suami-istri dapat memahami

pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri, kelahiran dan pendidikan

(47)

1. Pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri

Kasih yang ada masih harus dikembangkan dan dimurnika, sehingga

sungguh-sungguh dapat membahagiakan (Gilarso 2011: 11). Cinta adalah

keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebagian

pasangannya, bukan semata-mata dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau

asmara. Suami-istri bukan sekedar pasangan melainkan belahan jiwa serta teman

seperjalanan.

2. Kelahiran dan pendidikan anak

Perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk pemenuhan

keinginan mempunyai anak (Gilarso 2011: 11). Suami-istri yang normal

mempunyai kerinduan untuk memiliki keturunan. Perlu disadari bahwa anak

adalah anugerah Tuhan. Bila Tuhan belum memberikan anak, perkawinan tidak

kehilangan artinyaa. Menurut Adi Hardana (2010 : 14) cinta kasih suami-istri

tidak hanya tertuju pada mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain dalam hal

ini tertuju pada kelahiran anak, karena itulah dengan bantuan rahmat Allah,

suami-istri dipanggil oleh Allah untuk bekerja sama dalam penerusan generasi

baru dengan sikap keterbukaan untuk menerima karunia (hidup baru) yang

diberikan Tuhan.

3. Pemenuhan kebutuhan seksual

Pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual

(48)

suami-istri dalam lembaga perkawinan yang sah. Gereja menolak dengan tegas

setiap hubungan seks di luar lembaga perkawinan yang resmi, itu berarti bahwa

persetubuhan diadakan dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh, sehingga

kebutuhan itu terpenuhi dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan untuk

menerima hidup bru sebagai hasil perpaduan cinta kasih mereka.

4. Lain-lain

Perkawinan juga mempunyai maksud tujuan antara lain, misalnya:

kesejahteraan keluarga, jaminan perlindungan dan keamanan demi ketenangan

nama baik, kerukunan keluarga; jaminan nafkah atau ekonomi, sah dan sehatnya

keturunan dsb (Gilarso 2011: 12).

d. Sakramen Perkawinan

Menurut Konseng & Tukan (1991: 36) materi ini diberikan yaitu untuk

membantu pasangan suami-istri memahami inti pokok perkawinan katolik adalah

sebagai bahasa perkawinan. Katolik bersifat sakramental. Berdasarkan sakramen

ini, mereka melambangkan dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan

cinta yang subur antara Kristus dan Gereja. Perkawinan adalah tanda keselamatan.

Dengan sakramen perkawinan maka suami-istri bersedia menghayati perkawinan

kristiani. Dalam perkawinan katolik terdapat tiga pribadi yang terlihat: suami-istri

dan Tuhan. Oleh karena itu suami-istri Kristiani dikuatkan dan bagaikan

dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan

(49)

e. Moral Perkawinan

Dalam memberikan materi ini ada dua dasar yang menjadi sumber dan

titik pijak pertimbangan moral yaitu Kitab Suci dan ajaran sosial Gereja, serta

pengalaman, penalaran akal budi manusia, dan ilmu pengetahuan. Moral

perkawinan tidak hanya berisikan larangan-larangan, tetapi mencoba memberikan

pedoman positif (Adi Hardana 2010: 32). Menurut Gilarso (1990: 45) ada

beberapa pokok ajaran Kitab Suci dan Gereja Katolik seperti Allah menciptakan

manusia menurut citra-Nya sendiri, Allah menciptakan pria dan wanita dan

memanggil mereka untuk bersatu dalam keluarga. Maka tujuan pokok dari

perkawinan adalah agar Pria dan wanita menjadi satu. Kesatuan antara suami-istri

harus dibangun setiap hari, dengan saling memperhatikan, keterbukaan, dan

kerelaan berkomunikasi dan saling menerima apa adanya, dengan kasih sayang,

kelembutan dan kesabaran, dengan kerelaan berkorban dan saling membantu,

maaf-memaafkan, doa bersama, dan saling menanggung beban. Segala sesuatu

yang mendukung, menunjang mewujudkan, atau memperkuat kesatuan

suami-istri, adalah baik. Segala sesuatu yang merusak, melanggar, mengancam, atau

meretakkan kesatuan itu, adalah tindakan tidak baik.

f. Psikologi Pria dan Wanita

Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita dengan perbedaan

masing-masing yang melekat pada diri mereka. Tuhan menciptakan manusia

sebagai makhluk yang berkelamin, maksudnya supaya pria dan wanita saling

(50)

berlangsung terus di dunia ini (segi biologis) (Adi Hardana 2010: 63). Panggilan

hidup kaum pria terarah menjadi seorang ayah/bapak, sedangkan wanita menjadi

seorang ibu. Sejak semula Allah memberikan perlengkapan yang berbeda pada

kodrat pria dan wanita, baik perlengkapan jasmaniah/biologis maupun

rohaniah/psikologis. Perbedaan adalah anugrah Tuhan dengan maksud agar pria

dan wanita saling melengkapi dalam hidup berkeluarga. Perbedaan pria dan

wanita harus disyukuri sebagai anugerah Ilahi. Dengan perbedaan itu mereka

dapat saling mengisi dan melengkapi satu sama lain, sehingga menjadi satu

kesatuan yang tak terpisahkan sebagai pasangan suami-istri yang dicita-citakan

oleh Gereja dan masyarakat.

g. Komunikasi suami-istri

Dalam kursus komunikasi suami-istri diberikan agar mereka memahami

pentingnya komunikasi merupakan kunci dalam membangun relasi. Apabila

suami-istri semula berusaha untuk tetap berkomunikasi, segala persoalan akan

dapat dihadapi bersama. Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat

Minulyo” (2007: 30) komunikasi adalah suatu proses antara dua orang yang

memberikan informasi/isyarat dan yang lain menerima informasi tersebut

sehingga terjadi kesatuan pemahaman. Agar komunikasi biasa berlangsung, yang

pertama-tama perlu diusahakan adalah suasana yang mendukung, yaitu relasi

dengan istri/suami dinomorsatukan di atas segalanya. Cinta itu lebih dari sekedar

perasaan tetapi suatu keputusan untuk tetap setia. Dalam keluarga kristiani sangat

(51)

kepentingan keluarga mesti dirundingkan bersama sampai tercapai mufakat, atau

paling tidak saling pen gertian. Hendaknya kedua belah pihak, minimal sehari

sekali, saling mengucapkan sepatah kata manis atau kata pujian. Komunikasi

dalam keluarga menjadi mutlak dan harus selalu terus-menerus dibangun.

h. Keluarga Berencana Alamiah

Keluarga yang baik perlu direncanakan melalui KB, dalam kursus Kb

diberikan salah satu perkawinan itu adanya tentang anak. sangat di anjurkan

dalam keluarga katolik untuk memanfaatkan kb alamiah, secara khusus Paus

Yohanes II menegaskan:

Tanggung jawab bersama yang harus diemban suami-istri dalam menggunakan metode KB-alamiah. Dengan menggunakan KB alamiah tanggung jawab itu dibebankan di atas pundak kedua belah pihak.

secara psikologis, hubungan seks merupakan ungkapan cinta dan penyerahan diri

antara suami-istri, tetapi secara biologis, dimaksudkan untuk mendapatkan

keturunan. Jika tidak menginginkan anak, suami-istri jangan mengadakan

hubungan seks tepat pada waktu istri dalam masa subur. Di luar waktu itu,

hubungan seks tetap dilakukan sebagai ungkapan cinta satu sama lain.

apabila suami-istri menginginkan anak maka perhatikan hari-hari ketika

tampak atau terasa adanya lendir yang basah, licin, dan mulur apabila

direntangkan di antara dua jari. Jika hari-hari digunakan untuk senggama,

kemungkinan besar kehamilan akan terjadi (Brayat Minulyo 2007: 65). Untuk

mempertinggikan kesuburan sebaiknya suami mengadakan tentang sanggama

(52)

Jika suami-istri tidak menginginkan anak maka jangan mengadakan

senggama waktu haid karena lendir kesuburan tidak akan kelihatan meskipun ada

(Brayat Minulyo 2007: 65). Jangan mengadakan sanggama apabila ada

tanda-tanda lendir keluar, sekurang-kurangnya 3 hari sesudahnya. Jangan mengadakan

sanggama apabila ada pengeluaran darah dua siklus (bukan haid) sampai dengan 3

hari 3 malam sesudahnya. Cara ini dapat dipakai pada siklus menstruasi yang

tidak teratur, masa haidanya (menopause). Ada banyak keuntungan metode

ovulasi Billings yaitu memungkinkan setiap kelahiran direncanakan, termasuk

jenis kelamin anak. Aman karena tidak ada efek samping. Alamiah karena tidak

memakai alat kontrasepsi atau obat-obat kimia. Ekonomis dan mandiri penuh

serta dapat diandalkan keberhasilannya. Selain itu dapat digunakan oleh setiap

perempuan dalam setiap fase hidup.

i. Pengaturan Ekonomi Keluarga

Hal yang penting ini perlu di bahasa dalam kursus yaitu tentang

pengaturan ekonomi rumah tangga. Orang yang bijak mengatur rumah tangganya

sedemikian rupa sehingga dari penghasilan yang tertentu dan terbatas semua

kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Dapat makan setiap hari, dapat berpakaian

pantas, punya rumah kediaman yang layak, mendapatkan pendidikan secukupnya,

dan bila ada anggota keluarga yang sakit mendapatkan pengobatan dan perawatan

sepenuhnya. Menurut Gilarso (2011: 138) keluarga harus mampu mengatur

ekonomi keluarga. Dengan cara mampu mengatur pengeluaran sesuai dengan

(53)

pilihan atau seleksi atas kebutuhan-kebutuhan, mana yang betul-betul dibutuhkan

saat maupun saat mendatang, mana yang tidak atau kurang perlu. Mampu

mengadakan tabungan untuk merealisasikan keinginan serta kebutuhan-kebutuhan

masa mendatang yang sudah direncanakan. Mampu mengatur keungan

sedemikian rupa sehingga tidak terjebak hutang maupun membeli secara kredit.

j. Persiapan Perkawinan

Persiapan perkawinan menurut Gereja Katolik mencakup empat persiapan

yaitu persiapan awal (tiga bulan sebelum perkawinan), persiapan pertengahan

(dua bulan sebelum perkawinan), persiapan tahap akhir (paling lambat satu bulan

sebelum perkawinan), dan persiapan untuk pelaksanaan pada saat perkawinan.

Persiapan ini penting untuk mereka yang memang akan menjalani hidup

berkeluarga (Brayat Minulyo 2007: 77).

1. Persiapan Awal

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77)

minimal tiga bulan sebelum perkawinan, calon pasangan suami-istri perlu

bersama-sama menghadapi pastor paroki pihak calon mempelai putri. Jika salah

seorang bukan katolik, hendaknya menghadap pastor paroki pihak calon yang

Katolik. Yang perlu dibicarakan ialah rencana hari, tanggal perkawinan, waktu

dan tempat perkawinan akan dilaksanakan, kapan diadakan penyelidikan kanonik,

(54)

2. Persiapan Pertengahan (Kursus Persiapan Perkawinan)

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77)

calon mempelai hendaknya menghubungi sekretariat Paroki untuk menanyakan

persyaratan administrasi yang perlu dipenuhi, baik perkawinan gerejawi maupun

catatan sipil, untuk mencatatkan tanggal perkawinan dan imam yang akan

meneguhkan perkawinan, untuk meminta informasi dan mendaftarkan kursus

persiapan perkawinan. Sekretariat paroki akan memberikan catatan yang perlu

disiapkan dan memberikan beberapa blangko persyaratan yang perlu diisi dan

dikembalikan ke sekretariat paroki. Melalui persiapan ini akan memudahkan para

calon pasangan suami-istri merencanakan pernikahannya.

3. Persiapan Tahap Akhir

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78)

persiapan tahap terakhir yaitu calon suami-istri menghadap pastor paroki untuk

penyelidikan kanonik. Pastor akan memeriksa, apakah ada halangan dalam

perkawinan yang dapat dihilangkan dengan dispensasi dari Gereja, dan apakah

mereka sungguh-sungguh bebas tanpa unsur paksaan dalam menentukan

perkawinan mereka. Selanjutnya, diadakan pengumuman tiga kali di Gereja.

Apabila kurang dari tiga kali, perlu adanya dispensasi. Agar upacara perkawinan

di Gereja biasa mengenai liturgi perkawinan dengan pastor Paroki dalam rangka

menyusun buku upacara liturgi perkawinan. Selanjutnya, disiapkan paduan suara

untuk memeriahkan pernikahannya di Gereja, disiapkan putra/I altar, dan lektor

(55)

4. Persiapan untuk pelaksanaan pada saat perkawinan

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78)

agar upaca pernikahan di Gereja dapat terlasana dengan baik teratur, dan lancar

calon mempelai perlu memikirkan adanya panitia pelaksana upacara pernikahan di

Gereja. Untuk keperluan ini, calon memperlai perlu melibatkan kaum

keluarganya, atau ketua dan umat lingkungan. Mereka diharapkan biasa

membantu menyiapkan beberapa hal, seperti buku panduan liturgi perkawinan,

lektor yang membaca bacaan 1 dan doa umat, menyiapkan putra/i altar,

menyiapkan wakil orang tua, mempersiapkan paduan suara, mengingatkan

perlunya disediakan dua cincin perkawinan, dll.

k. Pendidikan Anak

Menurut Budiyono Hadi (2012: 7) pendidikan dalam keluarga dapat

dibedakan menjadi tiga macam yaitu pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di

sekolah dan pendidikan nonformal. Perlu disadari oleh Keluarga Katolik bahwa

pendidkan yang paling dasar ialah pendidikan dalam keluarga. Orang tua sedapat

mungkin menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik tempat suasana

pengembangan iman terjamin. Bila anak sudah agak besar, baiklah disadarkan

agar mengikuti kegiatan pramuka, putra-putri altar, koor,legio maria,dll.

Suami-istri adalah sepasang pria dan wanita yang disatukan oleh Allah,

sehingga mereka “tidak lagi dua melainkan satu” (Mat: 19). Maka mereka berdua

(56)

masyarakat. Kepada pasangan suami-istri Allah menyerahkan anak, sebagai

sebuah “titipan” dari-Nya. Sebagai titipan Allah, dan sekaligus juga sebagai citra

Allah, setiap anak haruslah sepenuh-penuhnya mereka hargai, mereka cintai,

mereka asuh, dan mereka didik, sehingga kelak dikemudian hari anak mampu dan

berhasil mengasihi Allah dan sesamanya. Allah menghendaki bahwa keluarga

menjadi tempat utama bagi lahir dan tumbuh kembang setiap anak, beliau juga

menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat pertama untuk pendidikan anak,

sebelum ia dididik lebih lanjut di sekolah dan di tempat-tempat lain.

Kedua orang tua diharap mau dan mampu memberi teladan dan ajaran

tentang kebaikan dan kebenaran. Pendidikan anak adalah usaha usaha orang-orang

dewasa membantu anak muda dalam memperkembangkan kepribadian mereka.

Usaha tersebut menyangkut berbagai dimensi, yakni: dimensi fisik, dimensi

mental, dimensi moral, dimensi sosial, dan dimensi spiritual.

Karena kompleksnya kepribadian setiap anak, maka pendidikan anak

merupakan proses yang panjang dan menuntut perhatian orang tua dalam berbagai

hal yakni:

1. Pemberian Teladan Hidup

Melahirkan anak-anak itu tidaklah terlalu sulit. Yang lebih sulit adalah

membuat mereka menjadi orang-orang yang baik. Untuk itu, orang tua harus

memberikan teladan hidup yang baik. Kalau orang tua ingin bahwa anak-anak

mereka menjadi orang-orang yang rajin, ramah, dan saleh, mereka harus

(57)

2. Perhatian dan Kasih Sayang

Setiap orang membutuhkan perhatian dan kasih sayang demi orang lain.

Anak-anak pun membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Tetapi, tentang hal ini,

haruslah disadari betul bahwa perhatian dan mengasihi tidaklah berarti

memanjakan. Orang tua yang memanjakan anak-anak justru mereka menjadi

orang-orang yang “lemah”, orang-orang yang tidak memiliki “semangat juang”

mereka tidak tahan banting.

3. Simpati dan Empati

Mendidik anak-anak tidaklah berarti hanya memberikan informasi

mengenai hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang dilarang, melainkan juga

ber-simpati dan ber-ber-simpati pada anak-anak itu. Ber-empati bearti menunjukan

perhatian dan penghargaan. Sedangkan ber-empati berarti berusaha merasakan apa <

Gambar

gambar porno, menepatkan doa dalam kehidupan keluarga, menyediakan dan

Referensi

Dokumen terkait