USULAN MENGOLAH MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN
DENGAN KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Rosita Dangin NIM: 061124048
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Ayahku tercinta (Aloysius Savang Ingan), ibu tercinta (Fransiska Husun Liah), Ayah angkatku tercinta (Andim)
kedua saudaraku terkasih (Rominus Romiyanus), (Rosa Ayu Riska Manin), dan teman-teman seperjuanganku angkatan 2006
Kekasihku (Wibisono), Omku (Oktavianus Bang Liah), tanteku (Emiliana Hanya) dan Dinas Pendidikan Kutai Barat
serta
v MOTTO
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Usulan Mengolah Materi Pendidikan Iman Anak Dalam Kursus Persiapan Perkawinan Dengan Katekese Model Pengalaman Hidup”. Penulis memilih judul ini berdasarkan keprihatinan penulis tentang pendidikan iman anak. Banyak orang tua lebih mempercayakan dan menyerahkan sepenuhnya pendidikan iman anak kepada guru di sekolah. Orang tua kurang memahami dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman yang utama dan pertama. Dalam kursus persiapan perkawinan materi pendidikan iman anak belum mendapatkan porsi yang khusus. Suami-istri tidak hanya perlu mendapatkan pembekalan mengenai bagaimana membangun keluarga kristiani yang baik tetapi juga tentang pendidikan iman anak, sehingga mereka semakin siap untuk menanggapi panggilannya sebagai orang tua kristiani. Oleh karena itu persoalan skripsi ini bagaimana materi PIA bisa diolah secara khusus dalam KPP, sehingga menjadi bekal yang membantu calon suami-istri dalam mempersiapkan dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik utama dan pertama.
Keluarga sebagai komunitas iman tidak terbentuk dengan sendirinya. Keluarga perlu dipersiapkan melalui KPP yang terlaksana dengan baik. Materi-materi dalam kursus persiapan perkawinan hendaknya membantu calon suami-istri dalam memahami dasar-dasar keluarga kristiani, serta hal-hal yang bisa dilakukan untuk membangun keluarga kristiani. Materi PIA perlu diberikan secara khusus dengan tekanan tentang pada pentingnya pendidikan iman anak dalam keluarga, panggilan orang tua dan upaya-upaya mendidik iman anak dalam keluarga.
ix ABSTRACT
This writing entitled “A Proposal To Include The Children Faith Formation in Courses Of Preparing Matrimony With Catechesis Of Life Experience Model”. Writer choose this title due to the concern of children’s faith education. Many parents tend to entrust all their children faith formations to the school just take a bit of role. The parent do not understand their duties as the first and main faith educator to their children. The course of marriage preparation the children’s faith education has not enough portion. The couple need courage not only on education do that are ready to become christian parents how the children faith formation teaching can be include in marriage preparation courses so that it can be sources that can help future parent to prepare and do their job as a main and first educator.
Family as faith community is formed by itself. Family need ought to be prepared through marriage preparation Courses in the marriage preparation help future parent to understand the foundation of christian family. Children faith formation lesson need to be given especially with stresses on the importance of faith education, and how parent can make efforts to educate children faith.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya yang berlimpah pada penulis. Atas rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul USULAN MENGOLAH MATERI
PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN
PERKAWINAN DENGAN KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP. Penulisan skripsi ini bertolak dari keprihatinan penulis akan kurangnya kesadaran dan penghayatan orang tua dalam pendidikan iman anak. Pasangan suami-istri yang akan menikah perlu dibekali pemahaman tentang pendidikan iman anak. Penulis berharap dengan penulisan skripsi ini dapat membantu pendamping KKP dalam membantu calon suami-istri yang akan menikah untuk membangun sebuah keluarga yang beriman terutama dalam segi pendidikan iman anak, sehingga semakin siap sedia dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada demi mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam sebuah keluarga dan dapat membangun keluarga sebagai komunitas iman.
xi
1. Drs. F.X. Heryatno W. W., SJ. M.Ed selaku Kaprodi, Pembimbing akademik sekaligus dosen penguji II dengan setulus hatinya memberi perhatian, memberikan dukungan kepada penulis dan selalu menjadi inspirasi buat penulis. 2. Y.H. Bintang Nusantara, SFK., M.Hum, selaku dosen pembimbing utama
penulis yang telah dengan sabar, setia, penuh perhatian, penuh semangat dan selalu berusaha menyediakan waktu dalam membimbing penulis. Beliau juga dengan sepenuh hati senantiasa memotivasi, mencintai dan menumbuhkan kepercayaan diri pada penulis. Semangat beliau menjadi inspirasi bagi penulis agar mau berusaha untuk maju dan berkembang menjadi lebih baik. Banyak saran dan kritikan yang menjadikan penulis berkembang baik segi pengetahuan maupun kematangan pribadi sebagai calon katekis.
3. P. Banyu Dewa HS, S. Ag. M.Si, selaku penguji III yang juga senantiasa memberi motivasi, dukungan, saran dan kritikan yang membangun bagi penulis baik dalam proses penulisan skripsi ini maupun selama menjalani kuliah di IPPAK.
4. Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis selama kuliah di IPPAK dan selama proses menyelesaikan skripsi ini.
5. Dinas Pendidikan Kutai Barat yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk kuliah di IPPAK.
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penulisan... 5
D. Manfaat Penulisan ... 6
E. Metode Penulisan ... 6
F. Sistematika Penulisan... 7
BAB II. MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN ... 9
A. Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman ... 9
1. Pengertian Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman... 9
xiv
3. Ciri-ciri Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman ... 17
4. Persiapan-persiapan Untuk Membangun Keluarga Kristiani... 22
B. Kursus Persiapan Perkawinan Sebagai Usaha Untuk Membangun Keluarga Kristiani Sebagai Komunitas Iman... 24
1. Pengertian Kursus Persiapan Perkawinan... 24
2. Tujuan Kursus Persiapan Perkawinan ... 25
3. Materi Kursus Persiapan Perkawinan ... 27
C. Pengolahan Materi Pendidikan Iman Anak (PIA) Dalam KPP... 40
1. Pentingnya Materi Pendidikan Iman Anak Diolah Dalam KPP ... 40
2. Tujuan Materi Pendidikan Iman Anak Diolah Dalam KPP ... 45
3. Materi-materi PIA Yang Perlu Diolah Dalam KPP ... 47
a. Panggilan Orang Tua Sebagai Pendidik Iman Anak ... 47
b. Upaya-upaya Untuk Mendidik Iman Anak Dalam Keluarga... 52
BAB III. KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP UNTUK MENGOLAH MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN ... 58
A. Katekese Model Pengalaman Hidup ... 58
1. Pengertian Katekese Model Pengalaman Hidup ... 58
2. Keunggulan Katekese Model Pengalaman Hidup Untuk Mengolah Materi PIA Dalam KPP... 59
a. Pengalaman Hidup Peserta Sebagai Titik Tolak... 59
b. Katekese Yang Kontekstual... ... 60
c. Peran Pendamping KPP Sebagai Fasilitator Dan Peserta Sebagai Subyek Yang Aktif ... 61
B. Unsur-unsur Katekese Model Pengalaman Hidup ... 62
1. Pengalaman Hidup ... 63
2. Pengalaman Iman Dalam Kitab Suci Dan Tradisi Kristiani ... 63
3. Komunikasi Iman ... 64
4. Arah Keterlibatan Baru ... 65
xv
1. Mengungkapkan Pengalaman Hidup Peserta ... 66
2. Pendalaman Pengalaman Hidup... 66
3. Menggali Pengalaman Iman Kristiani ... 67
4. Penerapan Iman Kristiani Dalam Situasi Konkrit ... 67
5. Mengusahakan Suatu Aksi Konkrit... 67
BAB IV. CONTOH SATUAN PERTEMUAN KATEKESE MODEL PENGALAMAN HIDUP UNTUK MENGOLAH MATERI PIA DALAM KPP ... 69
A. Usulan Tema-tema Tentang Materi Pendidikan Iman Anak Dalam KPP ... 69
1. Panggilan Dan Perutusan Orang Tua Katolik ... 69
2. Pendidikan Iman Anak Dalam Keluarga... 70
3. Upaya-upaya Dalam Mendidik Iman Anak ... 72
B. Contoh Satuan Pertemuan ... 73
BAB V. PENUTUP... 85
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 87
xvi
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci KS : Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan yang terdapat dalam daftar singkatan Alkitab Deuterokanonika (1995) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.
B. Singkatan Dokumen Gereja
DV :Dei Verbum(Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi) FC :Familiaris Consortio
GS :Gaudium et Spes(Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia)
KHK : Kitab Hukum Kanonik(Codex Iuris Canonici)
LG :Lumen Gentium(Konstitusi Dogmatis tentang Gereja) GE :Gravissimum Educationis
AA :Apostolicam Actuositatem
C. Singkatan lainnya
Art : Artikel
xvii PIA : Pendidikan Iman Anak Pasutri : Pasangan Suami-Istri
SP : Satuan Persiapan
Kan : Kanon
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia KOMKAT : Komisi Kateketik
Ay : Ayat
Pasutri : Pasangan suami-istri
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Keluarga adalah basis terkecil dalam Gereja dan masyarakat. Keluarga
yang baik dan harmonis akan sangat membantu terciptanya suatu tatanan hidup
yang baik di dalam masyarakat maupun dalam hidup menggereja. Dalam
keluarga Kristiani orang tua menjadi teladan untuk menerapkan nilai-nilai
Kristiani dalam diri setiap anggota keluarganya baik hidup di tengah masyarakat
maupun dalam hidup Gerejani.
Kebahagiaan suami-istri menjadi tujuan utama dalam hidup berkeluarga.
Selain kebahagiaan suami-istri, pendidikan iman anak juga menjadi tujuan
perkawinan. Dalam sebuah keluarga, pasangan suami-istri tentunya yang sangat
berperan untuk terciptanya kebahagian keluarga dan keberlangsungan
pendidikan iman anak-anaknya. Tugas orang tua dalam mendidik anak berakar
dari panggilan suami-istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah.
Untuk mencapai kebahagiaan suami-istri dan keberhasilan pendidikan
iman anak, pentinglah persiapan perkawinan seperti ditegaskan oleh Paus
Yohanes Paulus II melalui anjuran apostolik yang berjudul Familiaris Consortio,
(1993:66).
Perkawinan perlu direncanakan oleh suami-istri sejak lama sebelum
menikah. Apabila tidak direncanakan secara matang maka keluarga yang akan
dibangun bisa saja akan menjadi rapuh, sehingga kebahagiaan keluarga tidak
terpenuhi dan pendidikan anak-anak juga terabaikan. Oleh sebab itu sangatlah
penting pemahaman dan penghayatan perkawinan dengan rencana yang
sedemikian matang untuk pasangan calon suami-istri yang akan membangun
sebuah bahtera rumah tangga.
Mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum menjalani hidup berkeluarga
amat sangat penting untuk pasangan-pasangan yang akan menikah. Dalam hidup
berumah tangga akan timbul berbagai macam permasalahan atau tantangan yang
akan dihadapi. Salah satu permasalahan dan tantangan tersebut adalah pendidikan
iman anak, karena pasangan suami-istri mempunyai peranan penting dalam
membina iman anaknya. Pasangan suami-istri berperanan dalam pendidikan iman
anak untuk pendidikan iman dalam keluarga dapat memampukan anak dengan
penuh tanggung jawab mengikuti panggilannya dan menentukan status hidupnya
(GS, art 52). Untuk dapat melaksanakan perannya pasangan suami-istri perlu
dipersiapkan secara matang dalam hal pendidikan iman anak. Mereka perlu
dibekali pemahaman tentang tugas suami-istri sebagai orang tua untuk selalu
memperhatikan dan mendampingi anak, agar melalui semua cara pendidikan anak
dapat berkembang menjadi manusia cerdas dan penuh inisiatif guna membangun
Orang tua menjadi pengayom dan pegangan serta pedoman bagi
anak-anaknya terutama dalam hal pendidikan iman anak. Pasangan suami-istri sebagai
orang tua hendaknya penuh kepercayaan dan keberanian membina anak-anaknya
mengamalkan nilai-nilai manusiawi dan iman. Nilai-nilai ini akan mengantar
anak pada minat dan perhatian yang tulus serta mengabdi tampa pamrih terhadap
sesama sehingga anak dapat mempertanggungjawabkan imannya dan berdaya
guna dalam lingkungan masyarakat luas (FC, art. 37).
Tujuan akhir dari pembekalan yang diikuti pasangan suami-istri yang
akan menikah, supaya mereka bisa menghayati peran mereka sebagai orang tua,
karena harus diakui bahwa dalam tugas mereka sebagai orang tua adalah pelaku
pertama dan utama. Sebagai orang tua, suami-istri berkewajiban menciptakan
lingkup keluarga yang diliputi oleh semangat bakti kepada Allah dan sesama,
serta mengembangkan keluarga sebagai komunitas iman untuk melayani Gereja
dan masyarakat. Keluarga merupakan suatu komunitas iman yang menjadi
tempat Kristus membaharui hubungan-hubungan dengan iman dan
sakramen-sakramen. Partisipasi keluarga dalam pengutusan Gereja harus mengikuti pola
persekutuan suami-istri sebagai pasangan hidup harus mengikuti pola
persekutuan Gereja serta persekutuan orang tua dan anak-anak. Mereka harus
menghayati pelayanan mereka pada Gereja dan masyarakat. Mereka harus sehati
sejiwa (Kis 4:32).
Di dalam kursus persiapan perkawinan materi tentang pendidikan iman
yang akan menikah dalam membekali diri mereka masing-masing dalam hal
pendidikan iman anak. Orang tua diingatkan untuk menyalurkan kehidupan
kepada anak-anaknya dan ini merupakan tugas berat. Keluarga menjadi
lingkungan pendidikan pertama dalam menanamkan keutaman-keutaman sosial
yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat (FC, art. 36).
Realitas yang terjadi materi pendidikan iman anak kurang diolah secara
khusus dalam KPP. Gambaran ini penulis lihat di Paroki tempat tinggal penulis
sendiri yaitu Paroki Keluarga Suci Tering Kutai Barat Kalimantan Timur, materi
yang diolah dalam KPP tentang pendidikan anak secar umum belum pendidikan
iman padahal materi pendidikan dalam keluarga sangat penting karena
merupakan hal yang pokok di dalam keluarga untuk bekal bagi suami-istri dalam
mempersiapkan diri menjadi orang tua khususnya sebagai pendidik iman
pertama yang utama.
. Berkaitan dengan pendidikan iman anak dan kenyataan pendidikan
iman anak maka pendidikan iman anak perlu diolah dalam KPP. Pengolahan
materi pendidikan iman anak dalam KPP akan membantu pasangan calon
suami-istri untuk lebih menghayati tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua
dalam menjalankan perannya mendidik iman anak agar semakin terlibat di
Gereja dan masyarakat. Sebagai calon orang tua, tugas pasangan suami-istri
tidak hanya mengajarkan tentang iman pada anak-anaknya saja melainkan
melaksanakannya dalam keluarga. Mereka dapat menjadi teladan dan saksi iman
bagi anak-anaknya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
mendalami judul skripsi “Usulan Mengolah Materi Pendidikan Iman Anak
Dalam Kursus Persiapan Perkawinan dengan Katekese Model Pengalaman
Hidup”
B. Rumusan Permasalahan
Permasalahan dalam skiripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Gereja mengenai pentingnya kursus persiapan
perkawinan bagi calon pasangan suami-istri untuk membangun keluarga
Kristiani?
2. Mengapa materi PIA perlu diolah dalam KPP?
3. Metode apa yang cocok untuk diterapkan dalam mengolah materi
pendidikan iman anak dalam KPP untuk membantu calon pasangan
suami-istri mempersiapkan dalam melaksanakan tugas sebagai orang tua?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pandangan Gereja mengenai kepentingan kursus persiapan
perkawinan yang ada dalam rangka mempersiapkan calon pasangan
2. Menguraikan alasan pokok perlunya materi pendidikan iman untuk diolah
dalam Kursus persiapan perkawinan.
3. Mengurauikan usaha apa yang cocok untuk mengolah materi pendidikan
iman anak dalam membantu calon pasangan suami-istri dalam
melaksanakan tugasnya sebagai orang tua.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan skripsi ini, adalah:
1. Dapat mengetahui pentingnya pendidikan iman anak dalam membangun
keluarga sebagai komunitas iman.
2. Calon pasangan suami-istri dapat memahami, menghayati dan mewujudkan
tugasnnya sebagai orang tua dalam mendidik iman anak.
3. Memberi sumbangan pemikiran melalui katekese model pengalaman hidup
untuk mengolah materi PIA dalam KPP dalam membangun keluarga
sebagai komunitas iman.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskripsi
analitis. Metode analitis adalah suatu metode yang bertujuan untuk
mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang dianalis melalui
skripsi ini penulis mendeskripsikan tentang keluarga kristiani sebagai komunitas
iman, pemahaman mendalam mengenai kursus persiapan perkawinan dan secara
khusus upaya-upaya untuk mengolah materi PIA dalam KPP melalui katekese
model pengalaman hidup.
F. Sistimatika Penulisan
Pada Bab pertama merupakan pendahuluan. Pada bagian ini, penulis
memaparkan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan,
tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistimatika penulisan.
Bab kedua, penulis menguraikan materi kursus persiapan perkawinan dan
pendidikan iman anak dalam kursus persiapan perkawinan yang meliputi:
pengertian kursus persiapan perkawinan dan tujuan kursus persiapan perkawinan
Materi kursus persiapan perkawinan, Pentingnya pendidikan iman dan
materi-materi pendidikan iman anak yang perlu diolah di dalam kursus persiapan
perkawinan.
Bab ketiga, penulis menguraikan tentang katekese model pengalaman
hidup untuk mengolah materi pendidikan iman dalam kursus persiapan
perkawinan, keunggulan katekese model pengalaman hidup, unsur-unsur katekese
model pengalaman hidup dan pengembangan langkah-langkah katekese model
Bab empat, tema-tema materi pendidikan iman anak yang perlu diolah
dalam kursus persiapan perkawinan dan contoh persiapan mengolah materi
pendidikan iman anak dalam kursus persiapan perkawinan.
Bab lima merupakan penutup seluruh skripsi ini, pada bab ini penulis
BAB II
MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN
A. Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman
1. Pengertian keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman
Keluarga secara umum terdiri dari suami-istri dan anak-anak mereka yang
hidup secara terpisah dari orang lain dan terikat secara khusus. Keluarga menjadi
kesatuan sosial terkecil. Keluarga sebagai kesatuan sosial artinya ada hubungan
yang terjalin erat antara suami-istri, orangtua dan anak-anak. Begitu eratnya
hubungan ini sehingga antara suami-istri tidak dapat dipisahkan. Mereka tidak
dapat hidup sendiri, setiap anggota keluarga membutuhkan orang lain. Keluarga
sebagai kesatuan sosial sekaligus juga kesatuan pribadi. Dalam keluarga ikatan
perkawinan antara pria dan wanita yang menyatukan mereka sebagai pasangan
telah menjadi tanda kesatuan Kristus dengan Gereja. Tanda ini tampak dalam
relasi timbal balik antara suami dan istri yang menunjukkan hubungan timbal
balik antara Kristus dengan GerejaNya.
Konferensi Waligereja Indonesia (1996:54), juga menekankan pandangan
keluarga sebagai komunitas iman. Keluarga diartikan sebagai kesatuan hidup
setiap anggotanya. Keluarga betanggung jawab atas dirinya sendiri, orang tua
terhadap anaknya dan anak-anak terhadap orangtuanya. Dengan rasa tanggung
jawab ini, setiap pribadi belajar untuk saling mencintai, mengampuni, dan
memahami orang lain. Dengan melaksanakan tugas tersebut, keluarga disebut
Katekismus Gereja Katolik (1995:563) menyatakan bahwa Keluarga Kristiani merupakan satu penampilan dan pelaksanaan khusus dari persekutuan
Gereja. Dalam keluarga kristiani ditampilkan persekutuan pribadi-pribadi, satu
tanda, citra dan persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Keluarga
dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban kristus. Keluarga
kristiani mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil. Injil
yang menjadi sumber kekuatan dalam keutuhan keluarga. Dimana Injil menjadi
sebuah saksi dalam kehidupan berkeluarga. Keluarga kristiani diharapkan mampu
menjadi pengikut Yesus Kristus yang sejati dengan mewartakan dan
menyebarluaskan Injil dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan
bermasyarakat.
Keluarga sebagai Komunitas iman mengemban tugas-tugas Gereja.
Menurut Konsili Vatikan II,
Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila melalui iman timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama Allah, keluarga membawa diri bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah; bila segenap keluarga ikut serta dalam ibadat liturgi Gereja, akhirnya bila keluarga ikut serta dalam ibadat liturgis Gereja, akhirnya bila keluarga secara nyata menunjukkan kerelaannya untuk menjamu, dan memajukan dan amal-perbuatan baik lainnya untuk melayani semua saudara yang sedang menderita kekurangan (AA,art 11).
Keluarga turut ambil bagian dalam sakramen suci ekaristi, melaksanakan doa-doa
keluarga dan lingkungan, membina dan mengajarkan anak-anak tentang cinta
kasih dan terutama memperhatikan saudara-saudara yang miskin dan menderita.
keluarga belajar dengan tekun, gembira dengan pekerjaan, mengalami cinta
persaudaraan dan memperoleh rahmat pertobatan melalui doa dan ibadat.
Menurut Paus Yohanes Paulus II, sebuah keluarga kristiani hanya layak
disebut sebagai komunitas iman bila hidup anggotanya dijiwai oleh iman.
Keluarga sebagai komunitas iman memiliki kekhasan sebagai Gereja mini.
keluarga kristiani merupakan unsur pembentukan Gereja, yang pertama ditandai
oleh sikap hormat dan kasih kepada Kristus dan Gereja-Nya. Sebagai komunitas
iman diharapkan, keluarga turut serta dalam tugas perutusan Gereja mewartakan
Kerajaan Allah. Iman keluarga hendaknya diyakini, dipahami, diungkapkan,
dirayakan, diwartakan, dan diamalkan secara terus-menerus, baik di dalam
maupun di luar rumah. Konsili Vatikan II mengatakan bahwa:
Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan ketaatan iman. Demikian manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagian kebenaran, wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya”. (DV art. 5).
Dari pemaparan di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa keluarga
sebagai komunitas iman adalah keluarga yang dijiwai oleh iman dan senantiasa
mengembangkan hidup beriman kristiani. Dalam keluarga kritiani, seluruh
anggotanya melaksanakan hidup kesehariannya dengan pola hidup seperti Yesus.
Pola hidup Yesus itu terwujud dalam perjuangan berani memanggul salib yakni
dengan: mau menderita, berkorban, siap berjuang dalam kesulitan, tidak egois,
tidak mudah tergoda dan akhirnya siap melawan arus yang berlawan dengan
2. Dasar-dasar Membangun Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman a.Cinta suami-istri
Suami-istri dipertemukan untuk saling mencintai dan hidup bersatu dalam
jiwa dan badan, guna saling membahagiakan satu sama lain, itulah dasar
membangun keluarga sebagai komunitas iman. Keluarga hendaknya dibangun
dengan cinta dan penyerahan secara total seluruh hidup suami-istri pada kehendak
Allah. Sejarah keselamatan dipenuhi dengan tema perjanjian nikah yang
merupakan satu ungkapan penting bagi kesatuan cinta kasih antara Allah dan
manusia, serentak sebagai satu pengertian kunci untuk memahami dalam
simbolisme tahap-tahap perjanjian besar yang diadakan Allah dengan umat-Nya.
Perkawinan berlandaskan cinta merupakan gambaran perjanjian kasih Allah
antara Kristus dan Gereja-Nya. Dikatakan suami-istri yang diberkati melalui
perkawinan menjadi gambaran dan tanda pernjanjian Allah dengan umatNya.
Maka pria dan wanita yang telah menikah saling terikat dan terpisahkan.
Suami-istri sebagai mahluk pribadi dan bermartabat pada hakikatnya
adalah sama. Pernyataan tersebut dijelaskan dalam Kitab Kejadian: “maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakan
laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27). Hendaknya suami-istri saling mencintai,
karena dengan saling mencintai suami-istri karena seturut dengan Allah.
menciptakan manusia pria dan wanita untuk hidup saling melengkapi, sehingga
antara pria dan wanita memiliki posisi yang sama di mata Allah yakni mahluk
pribadi yang bermartabat. Inilah hak setiap orang yang tak dapat dihapus di
citra Allah hendaknya suami-istri saling mencintai, bahwa cinta yang melandasi
dasar keluarga itu maka harus dirasakan lewat komunikasi, karena komunikasi
yang baik adalah ekpresi cinta sehingga keluarga bisa membangun keluarga
sebagai komunitas iman.
Dengan menyadari tugas dan perannya masing-masing (suami-istri) dan
dilandaskan cinta untuk membangun keluarga, situasi keluarga yang damai,
tentram dan bahagia dapat terwujud. Untuk mewujudkan suasana damai, tentram
dan bahagia diperlukan komunikasi yang baik. Komunikasi ini dapat dilakukan
bila suami-istri bersedia mendengarkan pasangannya dengan rendah hati dan
terbuka, sehingga permasalahan yang terjadi dalam keluarga dapat dibicarakan
dalam suasana yang damai.
b. Sakramen Perkawinan
Perkawinan katolik bukanlah merupakan perkawinan biasa. Perkawinan
memiliki sifat penting lebih mendalam yakni bersifat sakramen. Sakramen
Perkawinan menjadi dasar dari keluarga kristiani. Kitab Hukum Kanonik kanon
1055 $ 1 menyatakan:
Perjanjian (foedus) perkawinan, denganya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut cirri kodratinya terarah pada kesejahteran suami-istri (bonum coniugum)serta kelahiran dan pendidikan anak antara orang-orang yang baptis oleh kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
berdasarkan sifat sakramental, perkawinan katolik bersifat tak terceraikan dan
1) Tak terceraikan
Penceraian dalam gereja katolik merupakan pengingkaran janji.
Perkawinan antara suami-istri bersumber dari cinta Ilahi. Cinta kasih suami-istri
akan terpancar melalui kesetiaan mereka dalam perkawinan. Suami-istri
mengusahakan kesetiaan untuk mempertahan hubungan dalam perkawinan.
Dengan kesetiaan suami-istri akan semakin saling memahami dan menciptakan
perkawinan yang bahagia (GS art 48).
Perkawinan katolik bukanlah suatu kontrak hidup bersama antara pria dan
wanita, bila tidak sesuai dengan ketentuan kontrak dapat diputuskan
sewaktu-waktu. Namun perkawinan katolik telah mendapatkan keteguhan dalam
masyarakat dan dikukuhkan oleh hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum-hukum ini menjamin setiap orang yang menikah terhindar dari
pihak-pihakyangmencari keuntungan sendiri.
2) Monogami
Ciri perkawinan katolik selain tak terceraikan adalah monogam yaitu
perkawinan katolik di tuntut untuk menikah dengan satu orang saja. Kitab Hukum
Kanonik kanon 1056 menyatakan:
Ciri-ciri Hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolusbilitas (sifat tidak dapat diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
dalam perkawinan Kristus yang mempersatukan suami-istri, maka perkawinan
Kristus. Kristus yang mengikat suami-istri dalam perjanjian yang sifatnya
monogam, seperti perjanjian antara Kristus dengan Gereja.
c. Kebisaan Hidup Beriman
Kebiasaan hidup beriman menjadi dasar keluarga Kristiani. Kebiasaan doa
pribadi dan bersama tetapi juga kebiasaan juga membaca Kitab Suci keluarga
secara otomatis dapat berkomunikasi dengan Tuhan, tidak hanya melalui doa
keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam perayaan
Ekaristi, membaca dan menemukan dasar iman. Pembinan iman tidak hanya
didapatkan dari orang tua saja tetapi bisa di dapatkan melalui pembinaan iman
yang meliputi:
1. Kebiasan hidup doa
Menyadari keluhuran panggilan hidup berkeluarga untuk membangun
hidup suci, kita tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan yang dialami
suami-istri dalam membangun keluarganya. Banyak keluarga mengalami berbagai
kesulitan dalam hal materi, relasi atau yang lain. Lebih tragis lagi situasi tersebut
membawa keluarga kristiani masuk dalam sebuah tragedi yang sulit untuk
diselamatkan.
Sebagai umat beriman sangat penting membawa berbagai persoalan hidup
dalam doa. Pelaksanaan doa ini bisa secara pribadi atau bersama dalam keluarga.
mendoakan satu dengan yang lain sehingga doa mempunyai daya kekuatan yang
lebih di hadapan Tuhan (Mat 18:19).
Perkawinan sebagai sakramen akan semakin terwujud dalam kegiatan doa
keluarga. Sebagai keluarga beriman kristiani, harus percaya bahwa kekuatan doa
mampu memberi daya bagi seluruh anggota keluarga dalam mengahadapi sebuah
“tragedi”. Melalui hidup doa, keluarga mampu mempersatukan hidup mereka
sehari-hari sebagai kurban rohani yang berkenan kepada Allah (FC art 59).
2. Ikut pembinaan iman
Sebagai anggota Gereja keluarga ikut terlibat dalam pembinaan iman dan
memberikan pendidikan iman serta menumbuhkan sikap menggereja dalam diri
kelurga Kristiani yang baru dibangun. Dengan iman yang kuat keluarga katolik
diharapkan bisa saling memperkembangkan iman dalam keluarga sehingga
terciptanya kedamaian, kerjasama dan kerukunan dalam keluarga, dengan
demikian Tuhan pun turut hadir di tengah-tengah keluarga untuk membawa
keselamatan dan rahmat-Nya (Gilarso :1996:-11).
3. Ikut ambil bagian dalam Rekoleksi, Retret, Ziarah
Rekoleksi, Retret, Ziarah sudah dikembangkan cukup lama dalam Gereja
dan menghasilkan buah-buah yang baik. Maka, keluarga Kristiani hendaknya
mendorong dan mendukung seluruh anggota keluarganya untuk mengambil
bagian dalam kegiatan-kegiatan tersebut demi pengembangan hidup beriman
4. Mengikuti Perayaan Liturgi
Keluarga Kristiani sudah terbiasa mengambil bagian aktif dalam perayaan
liturgi, terutama ekaristi. Dengan demikian iman mereka akan Tuhan Yesus
Kristus semakin besar. Keluarga Kristiani sejak dini diharapkan mengajak
anak-anaknya mengambil bagian dalam setiap perayaan Ekaristi, karena perayaan
Ekaristi membantu mereka untuk terlibat didalamnya, bila mereka sudah mampu
memahami, orang tua sebaiknya menjelaskan makna perayaan Ekaristi, yaitu
perjamuan kasih Tuhan. Dalam perjamuan itu Tuhan memberikan diri-Nya, maka
menyambut Tubuh Kristus dalam komuni berarti bersatu dengan Tuhan dan
Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus.
3. Ciri-ciri keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman a. Keluarga sebagai sakramen
Keluarga kristiani sebagai komunitas iman menjadi tanda dan sarana
kehadiran Allah bagi anggota keluarga maupun bagi masyarakat atau keluarga
yang lain (Gilarso, 1996: 154-158). Tanda dan sarana kehadiran Allah yang
mencintai manusia melalui perkawinan terwujud dalam keluarga dan janji
pernikahan mereka sekali mereka dipersatukan Allah dengan saling menerima
sakramen perkawinan, mereka telah dipersatukan oleh Tuhan untuk menjadi tanda
dan sarana cintaNya. Tanda dan saluran rahmat dalam sakramen perkawinan itu
tidak hanya untuk suami-istri yang bersangkutan, melainkan berlaku bagi seluruh
merupakan tanda kasih setia dan rahmat Allah bagi seluruh umatNya (Gilarso,
1996:158)
b. Keluarga sebagai persekutuan hidup
keluarga menjadi tempat berkumpulnya suami-istri, anak dan saudara.
Keluarga sebagai komunitas iman hidup sebagai persekutuan ada relasi yang
dalam seluruh keluarga dalam persekutuan iman. Iman menjadi dasar dalam
membina keluarga yang merupakan tempat berkumpulnya pribadi suami-istri,
orang tua dan anak-anak serta sanak saudara. Melihat bahwa keluarga sangat
penting sebagai pusat iman yang hidup dan menjadi saksi di tengah dunia yang
sering berada jauh dari iman dan bahkan justru bermusuhan dengan-Nya. Seluruh
anggota keluarga dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman bagi
anggota yang lain. Dalam keluargalah, pelaksanaan imamat katolik yang diterima
melalui pembaptisan dapat diwujudkan oleh keluarga melalui hidup doa dan
syukur.
Keluarga adalah tempat pribadi belajar iman. Dengan beriman
pasangannya dan anak-anak setiap pribadi melepaskan diri dari rasa ego dan harga
diri, bersedia untuk mengampuni dan mau melaksanakan tugas-tugas harian dalam
rumah tangganya.
Iman yang mempersatukan suami-istri untuk saling mencintai dan saling
setia. Iman yang menuntut kesetiaan, hal ini bertujuan demi kesejahteraan dan
manusia ingkar janji. Karena Allah itu setia maka suami-istri harus setia pada
pasangannya dan juga keluarga, baik dalam suka maupun duka.
Sebagai komunitas iman, masing-masing memiliki peranannya didalam
keluarga. Pria dan wanita memiliki derajat yang sama. Kederajatan ini sudah dan
selalu diwahyukan dalam sejarah keselamatan (Kej 1:27), dalam panggilan Maria
sebagai ibu Yesus, dan hormat Yesus kepada kaum perempuan berarti juga
pengakuan bahwa mereka punya hak ikut berperan dalam masyarakat (FC art 23).
Namun perannya sebagai istri dan ibu harus tetap diakui dan dihargai sehingga
kerja mereka dirumahpun dihargai (FC art 23).
Laki-laki terutama berperan sebagai suami dan ayah. Ia harus mencitai
istrinya sama seperti Kristus mencintai Gereja (FC art 25). Kehadiran seorang
ayah diperlukan dalam keluarga terutama bagi anak-anak. Sejak masa pembuahan,
anak harus dilindungi, dihargai dan dicintai. Martabat pribadinya diakui, dijadikan
pusat perhatian orangtua (FC art 26).
Sebagai komunitas iman, keluarga memiliki perhatian dan kepedulian
kepada mereka yang lanjut usia, sakit dan menderita. Mereka adalah orang-orang
yang membutuhkan pertolongan orang-orang terdekatnya dan arena mereka
memiliki perannya dalam keluarga (FC art 27).
3. Keluarga yang ikut serta dalam tugas perutusan Gereja
Keluarga merupakan unsur pembentukan Gereja. Melalui keluarga, Gereja
hadir dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan perkawinan dan keluarga setiap
pendidikan, anak dihantar masuk kedalam komunitas iman. Melalui pembaptisan,
anak masuk dalam keluarga Allah, yakni Gereja.
Keluarga sebagai unsur pembentuk Gereja, menjadikan rumah mereka
sebagai gereja mini ( Ecclesia Domestika ), yang ikut serta dalam tugas perutusan
Gereja. Keluarga ditengah situasi dunia yang tidak menentu diharapkan dapat
membawa setitik harapan demi terciptanya kedamaian dan terwujudanya Kerajaan
Allah.
4. Keluarga Sebagai Gereja Mini
Konsili Vatikan II mengartikan keluarga kristiani sebagai persekutuan
hidup sebagai “Gereja Mini” (AA 11:4). Keluarga diharapkan bisa
memperkembangkan Iman akan Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan
sehari-hari, dengan demikian keluarga kristiani akan tumbuh dengan sendirinya.
Keluarga kristiani satu penampilan dan pelaksanaan khusus dari persekutuan
Gereja. Dalam keluarga kristiani ditampilkan persekutuan pribadi-pribadi, satu
tanda, citra dan persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Keluarga
dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban kristus. Keluarga
kristiani mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil . Injil
yang menjadi sumber kekuatan dalam keutuhan keluarga.
Keluarga kristiani diharapkan mampu menjadi pengikut Yesus Kristus
yang sejati dengan mewartakan dan menyebarluaskan Injil dalam kehidupan
berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat. Keluarga kristiani adalah keluarga
Yesus. Dalam keluarga kristiani ditampakkan kasih suami dan istri melalui
kesediaan untuk berkorban, kesetiaan dan kerjasama yang penuh kasih antara
semua anggotanya. Dengan demikian keluarga tersebut menampilkan cinta kasih
Allah kepada Gereja-Nya.
Awal dari perkembangan sebuah gereja adalah keluarga, maka keluarga
yang sungguh-sungguh berkembang dengan baik akan menjadi kehidupan
menggereja juga akan berkembang dengan baik. Disinilah titik tolak yang
membutuhkan perhatian dari setiap keluarga juga gereja untuk saling bekerjasama
dalam memperkembangkan Gereja dalam keluarga.
Dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio (FC), Art. 17 Sri Paus
Yohanes Paulus II mengatakan:
Dalam rancangan Allah, Sang pencipta dan penebus, keluarga bukan hanyamenemukan jatidirinya, keluarga itu apakah sebenarnya, melainkan juga Perutusannya, yakni: apa yang dapat dan harus dijalankannya. Peranan, yang seturut panggilan Allah harus dijalankan oleh keluarga disepanjang sejarah, dijabarkan dari jatidiri keluarga. Peranan itu merupakan pengembangan dinamis dan eksistensial jatidirinya. Setiap keluarga menemukan dalam dirinya suatu undangan, yang tidak dapat diabaikan, dan yang kongkritkan martabatnya maupun tanggung jawabnya: keluarga, jadilah sebagaimana seharusnya. (FC art 17).
Keluarga sebagai komunitas iman dapat memaksimalkan fungsinya
sebagai keluarga kristiani yang berpatokan pada keluarga Nazaret. Jati diri sebagai
keluarga kristiani menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari, lewat interaksi
dengan lingkungan sekitar juga dengan masyarakat baik yang seiman maupun
yang berbeda iman. Disinilah peranan keluarga sebagai komunitas iman dapat
diungkapkan dan interaksinya dengan lingkungan masyarakat juga iteraksinya
Semangat kristiani yang tumbuh dalam keluarga diharapkan semakin
dikembangkan oleh masing-masing keluarga baik itu melalui ajaran orang tua
terhadap anaknya, maupun tingkah laku sehari-hari dalam keluarga itu sendiri.
Dengan kebijaksanaan kedua pasangan sebagai penggerak berkembangnya
sebuah keluarga yang seimbang yaitu hubungan dalam keluarga harmonis begitu
pula hubungan keluarga masyarakat disekitarnya. Titik tolak perjalanan sebuah
keluarga terletak pada pasangan suami-istri yang menjadi kepala keluarga. Oleh
karena itu bukan hanya dalam kursus persiapan perkawinan hal tersebut
dijabarkan melainkan dalam pendampingan-pendampingan keluarga. Motivasi
dan dukungan dari Gereja menjadi pemicu yang positif bagi sebuah keluarga
karena mereka akan merasa dipahami dan dihargai serta diperhatikan. Akhirnya
keluarga bukan hanya sebagai tujuan pewartaan, melainkan juga dapat mengambil
peran sebagai pewarta.
4. Persiapan-persiapan untuk Membangun Keluarga Kristiani a. Persiapan perkawinan jangka jauh
Persiapan ini diadakan jauh sebelum perkawinan yaitu dimulai sejak
kanak-kanak. Persiapan tercipta melalui keluarga untuk menciptakan situasi
keluarga yang sehat, serasi, pendidikan, kegiatan sosial dan mengajarkan
keterampilan yang berguna bagi mereka.
Oleh karena itu, materi persiapan perkawinan ini tidak langsung
berhubungan dengan masalah perkawinan, melainkan menanamkan sifat-sifat dan
Penanggungjawab persiapan perkawinan jangka jauh adalah orang tua
masing-masing.
b. Persiapan perkawinan jangka dekat
Persiapan ini sering disebut juga persiapan perkawinan dalam arti khusus
atau sempit. Persiapan perkawinan jangka dekat, terutama diberikan kepada
remaja yang masih duduk dibangku sekolah tingkat atas. Dalam persiapan ini,
remaja diberi penjelasan tentang hal-hal yang bermanfaat untuk hidup
berkeluarga. Tekanan utama dalam persiapan perkawinan ini adalah pembinaan
kepribadian remaja dan muda-mudi supaya mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan hidup perkawinan.
c. Persiapan akhir menjelang perayaan sakramen
Persiapan akhir tersebut persiapan perkawinan dalam arti teknis. Yang
dimaksud dengan persiapan perkawinan dalam arti teknis adalah persiapan yang
diadakan selama satu pekan. Persiapan perkawinan diberikan oleh tim kursus
persiapan perkawinan dengan menggunakan program dan jadwal yang telah diatur
dan dipersiapkan oleh Gereja. Persiapan akhirnya ini dilakukan untuk
meneguhkan dan membantu pasutri dalam membangun sebuah keluarga karena
sebuah perkawinan perlu dihayati bukan sebagai kewajiban atau syarat semata
tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang sederhana untuk
mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki jenjang
B. Kursus Persiapan Perkawinan sebagai Usaha untuk Membangun Keluarga Kristiani sebagai Komunitas Iman
1. Pengertian Kursus Persiapan Perkawinan
Kursus persiapan perkawinan adalah bentuk persiapan jangka pendek bagi
calon pasangan suami-istri katolik yang akan menikah untuk mempersiapkan dan
membekali diri dalam membangun hidup berkeluarga guna membangun keluarga
yang harmonis dan berhasil. Persiapan ini sangat dianjurkan Paus Yohanes II
melalui anjuran apostoliknya yang berjudul Familiaris Consortio, (1993:66).
Gereja harus mengembangkan program-program persiapan pernikahan yang lebih baik dan lebih intensif, untuk sedapat mungkin menyingkirkan kesulitan-kesulitan, yang dialami oleh cukup banyak pasangan suami istri; malahan lebih lagi: untuk secara positif mendukung terwujudanya pernikahan-pernikan yang makin mantab dan berhasil.
Kursus persiapan perkawinan ini perlu dihayati bukan sebagai kewajiban
atau syarat semata, tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang
sederhana untuk mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki
jenjang perkawinan. Kursus persiapan perkawinan perlu disadari sebagai
kebutuhan bukan hanya sebagai formalitas belaka demi memenuhi syarat
pernikahan. Diharapkan melalui kegiatan kursus ini pasangan calon suami-istri
sungguh-sungguh sadar akan manfaatnya.
Dalam KPP, semua hal yang berhubungan dengan hidup keluarga akan
diberikan kepada calon pasangan suami-istri. Seperti yang dinyatakan dalam
Konsili Vatikan II yang secara khusus memberikan perhatian terhadap keutuhan
keluarga. Para uskup mencemaskan keutuhan keluarga-keluarga terutama
Akan tetapi tidak dimana-mana martabat lembaga itu sama-sama berseri semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka penceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat cendera lainnya. Selain itu cinta perkawinan sering disematkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tidak ringan terhadap keluarga. Akhirnya diwilayah-wilayah tertentu didunia ini dengan cukup prihatin disaksikan munculnya masalah akibat pertambahan penduduk. Itu semua serba menggelisahkan suara hati” (Art 47).
2. Tujuan Kursus Persiapan Perkawinan
Keluarga yang baik perlu dipersiapkan dengan baik dan persiapan itu
sering kali memerlukan waktu yang lama (Adi Hardana 2010: 6). Tujuan
persiapan menjelang perkawinan itu sangat penting karena keadaan keluarga yang
baik adalah faktor mutlak untuk tercapainya kesejahteraan (keselamatan) bagi
orang perorangan, masyarakat umum maupun Gereja (GS, 47). Persiapan itu
diberikan dalam bentuk kursus persiapan perkawinan sebagai langkah persiapan
bagi muda-mudi untuk membangun hidup berkeluarga yang baik dan suatu usaha
memberi bekal dalam membangun keluarga Kristiani. Adapun tujuan kursus
persiapan perkawinan yaitu:
1. Mempersiapkan muda-mudi yang akan menikah atau hidup berkeluarga
Menurut Adi Hardana (2010: 2) persiapan calon pasutri diberikan dalam
bentuk kursus perkawinan sebagai langkah persiapan dan sebagai usaha untuk
memberikan bekal bagi muda-mudi untuk membangun hidup berkeluarga yang
seksualitas, kesehatan, ekonomi, dll, yang berkaitan erat dengan hidup
berkeluarga sehingga mereka siap untuk membangun keluarga. Selain itu
memberikan pegangan bagi mereka untuk mengambil tindakan dan mengatur
hidupnya sendiri menurut azas dan moral Kristiani.
2. Memberikan penerangan bagi mereka tentang hal-hal yang berhubungan
dengan masalah perkawinan dan kehidupan keluarga
Dalam kursus perkawinan tidak hanya bekal mengenai membangun hidup
berkeluarga tetapi memberikan informasi mendalam mengenai berbagai macam
hal yang berkaitan dengan masalah hidup berkeluarga informasi ini menjadi
penerangan menjadi penerangan menjadi bekal pasutri dalam hidup keluarga (Adi
Hardana, 2010:5). Karena itu, kursus persiapan perkawinan hendaknya
diselenggarakan oleh tim yang terdiri dari beberapa orang dengan keahlian yang
berbeda sehingga informasi yang disampaikan akan menjadi luas.
3. Menanamkan kesadaran akan hidup perkawinan sebagai panggilan
Kursus persiapan perkawinan juga mempersiapkan para calon pasutri
untuk membangun keluarga kristiani dalam arti luas, yaitu membangun Kerajaan
Allah (Adi Hardana, 2010:4). Penting untuk membuka wawasan baru dan luas
bagi calon pasutri untuk membuka wawasan baru dan luas bagi calon pasutri
untuk mampu melihat adanya panggilan hidup lain (hidup sebagai imam, suster,
bruder) selain panggilan untuk hidup berkeluarga dan bahwa setiap orang katolik
Keluarga-keluarga ikut berperan serta dalam menumbuhkan panggilan hidup sebagai imam,
suster, bruder, melalui kegiatan-kegiatan kerohanian mulai dari usia dini.
3. Materi Kursus Persiapan Perkawinan
Dalam upaya menjawab harapan serta tujuan diadakannya kursus
persiapan perkawinan, maka materi kursus persiapan perkawinan meliputi:
hakikat perkawinan Kristiani, tujuan Perkawinan Kristiani, sakramen perkawinan,
moral perkawinan, mengenal pribadi pasangan, psikologi Pria dan Wanita,
komunikasi suami-istri, pendidikan anak, seksualitas manusiawi, biologi
pembiakan manusia, keluarga berencana alamiah, pengaturan ekonomi keluarga,
prosedur perkawinan (Tukan, 1988: 17). Sejalan membantu pasangan suami-istri
dalam membekali mereka dalam membangun sebuah keluarga, maka materi
kursus persiapan perkawinan meliputi:
a. Hakikat Perkawinan
Dalam kursus persiapan perkawian materi ini diberikan agar pasangan
suami-istri yang akan menikah perlu mendapatkan pemahamana mengenai
perkawinan sebagai persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita, atas dasar
ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya untuk tidak
dapat ditarik kembali, dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi
dan kesejahteraan. Perkawinan dapat di pandang dari empat sudut pandang yaitu
perkawinan merupakan hidup dan cinta, perwkawinan merupakan lembaga hukum
1. Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta
Perkawinan merupakan persekutuan hidup yang menytukan seorang pria
dan wanita dasar persetujuan bebas (Gilarso, 2011: 9). Mereka bersekutu
membentuk suatu keluarga atas dasar cinta kasih yang tulus dalam kesatuan
lahir-batin yang mencakup seluruh hidupnya. Persetujuan bebas merupakan syarat
mutlak untuk terjadinya dan sahnya perkawinan. Cinta mensyaratkan kebebasan
serta tanggung jawab, tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa dan ini harus
dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang sah. Unsur pokok dalam cinta
perkawinan adalah kesetian kepada pasangannya dalam untun dan malang dan
bertanggung jawab dalam segala hal
2. Perkawinan merupakan lembaga sosial
Dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang satu-satunya lembaga
yang mengizinkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan keturunan
(Gilarso 2011: 10). Maka dari itu perkawinan dilindungi dan diatur oleh hukum
adat dan hukum negara, perkawinan juga melibatkan masyarakat luas, baik
sanak-saudara maupun tetangga dan kenalan. Keluarga adalah sel masyarakat, sebab
masyarakat ikut ambil bagian dalam urusan perkawinan karena mereka ikut
berperan dalam keutuhan kehidupan keluarga.
3. Perkawinan merupakan lembaga hukum negara
Perkawinan adalah ikatan resmi dan harus di sahkan (Gilarso 2011: 10).
masyarakat, soal sosial, soal keluarga, dan masa depan bangsa. Maka dari itu
negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Negara
mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi.
4. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen
Menurut Gilarso (2011: 10) dengan dibaptis berarti ia telah bersatu secara
pribadi dengan Kristus. Maka perkawinan antara dua pribadi yang dibaptis
merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan rahmat bagi kedua
mempelai. Ikatan cinta setia yang mempersatukan mereka menjadi lambing, tanda
perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja dan satuan rahmat bagi mereka.
Sakramen Pekawinan tidak hanya sebatas upacara di Gereja saja tetapi
berlangsung terus-menerus selama hidup mereka berdua. Maka Tuhan sendiri
berkenan hadir di dalam keluarga mereka. Rahmat yang mereka terima adalah
rahmat yang menguduskan mereka berdua, rahmat yang menyempurnakan cinta
dan mempersatukan mereka, dan rahmat yang membantu dan membimbing
mereka dalam hidup berkeluarga hingga semakin dekat dengan Tuhan.
b. Tujuan Perkawinan
Perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda (Gilarso
2011: 11-12). Tujuan materi ini diberikan agar suami-istri dapat memahami
pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri, kelahiran dan pendidikan
1. Pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri
Kasih yang ada masih harus dikembangkan dan dimurnika, sehingga
sungguh-sungguh dapat membahagiakan (Gilarso 2011: 11). Cinta adalah
keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebagian
pasangannya, bukan semata-mata dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau
asmara. Suami-istri bukan sekedar pasangan melainkan belahan jiwa serta teman
seperjalanan.
2. Kelahiran dan pendidikan anak
Perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk pemenuhan
keinginan mempunyai anak (Gilarso 2011: 11). Suami-istri yang normal
mempunyai kerinduan untuk memiliki keturunan. Perlu disadari bahwa anak
adalah anugerah Tuhan. Bila Tuhan belum memberikan anak, perkawinan tidak
kehilangan artinyaa. Menurut Adi Hardana (2010 : 14) cinta kasih suami-istri
tidak hanya tertuju pada mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain dalam hal
ini tertuju pada kelahiran anak, karena itulah dengan bantuan rahmat Allah,
suami-istri dipanggil oleh Allah untuk bekerja sama dalam penerusan generasi
baru dengan sikap keterbukaan untuk menerima karunia (hidup baru) yang
diberikan Tuhan.
3. Pemenuhan kebutuhan seksual
Pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual
suami-istri dalam lembaga perkawinan yang sah. Gereja menolak dengan tegas
setiap hubungan seks di luar lembaga perkawinan yang resmi, itu berarti bahwa
persetubuhan diadakan dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh, sehingga
kebutuhan itu terpenuhi dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan untuk
menerima hidup bru sebagai hasil perpaduan cinta kasih mereka.
4. Lain-lain
Perkawinan juga mempunyai maksud tujuan antara lain, misalnya:
kesejahteraan keluarga, jaminan perlindungan dan keamanan demi ketenangan
nama baik, kerukunan keluarga; jaminan nafkah atau ekonomi, sah dan sehatnya
keturunan dsb (Gilarso 2011: 12).
d. Sakramen Perkawinan
Menurut Konseng & Tukan (1991: 36) materi ini diberikan yaitu untuk
membantu pasangan suami-istri memahami inti pokok perkawinan katolik adalah
sebagai bahasa perkawinan. Katolik bersifat sakramental. Berdasarkan sakramen
ini, mereka melambangkan dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan
cinta yang subur antara Kristus dan Gereja. Perkawinan adalah tanda keselamatan.
Dengan sakramen perkawinan maka suami-istri bersedia menghayati perkawinan
kristiani. Dalam perkawinan katolik terdapat tiga pribadi yang terlihat: suami-istri
dan Tuhan. Oleh karena itu suami-istri Kristiani dikuatkan dan bagaikan
dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan
e. Moral Perkawinan
Dalam memberikan materi ini ada dua dasar yang menjadi sumber dan
titik pijak pertimbangan moral yaitu Kitab Suci dan ajaran sosial Gereja, serta
pengalaman, penalaran akal budi manusia, dan ilmu pengetahuan. Moral
perkawinan tidak hanya berisikan larangan-larangan, tetapi mencoba memberikan
pedoman positif (Adi Hardana 2010: 32). Menurut Gilarso (1990: 45) ada
beberapa pokok ajaran Kitab Suci dan Gereja Katolik seperti Allah menciptakan
manusia menurut citra-Nya sendiri, Allah menciptakan pria dan wanita dan
memanggil mereka untuk bersatu dalam keluarga. Maka tujuan pokok dari
perkawinan adalah agar Pria dan wanita menjadi satu. Kesatuan antara suami-istri
harus dibangun setiap hari, dengan saling memperhatikan, keterbukaan, dan
kerelaan berkomunikasi dan saling menerima apa adanya, dengan kasih sayang,
kelembutan dan kesabaran, dengan kerelaan berkorban dan saling membantu,
maaf-memaafkan, doa bersama, dan saling menanggung beban. Segala sesuatu
yang mendukung, menunjang mewujudkan, atau memperkuat kesatuan
suami-istri, adalah baik. Segala sesuatu yang merusak, melanggar, mengancam, atau
meretakkan kesatuan itu, adalah tindakan tidak baik.
f. Psikologi Pria dan Wanita
Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita dengan perbedaan
masing-masing yang melekat pada diri mereka. Tuhan menciptakan manusia
sebagai makhluk yang berkelamin, maksudnya supaya pria dan wanita saling
berlangsung terus di dunia ini (segi biologis) (Adi Hardana 2010: 63). Panggilan
hidup kaum pria terarah menjadi seorang ayah/bapak, sedangkan wanita menjadi
seorang ibu. Sejak semula Allah memberikan perlengkapan yang berbeda pada
kodrat pria dan wanita, baik perlengkapan jasmaniah/biologis maupun
rohaniah/psikologis. Perbedaan adalah anugrah Tuhan dengan maksud agar pria
dan wanita saling melengkapi dalam hidup berkeluarga. Perbedaan pria dan
wanita harus disyukuri sebagai anugerah Ilahi. Dengan perbedaan itu mereka
dapat saling mengisi dan melengkapi satu sama lain, sehingga menjadi satu
kesatuan yang tak terpisahkan sebagai pasangan suami-istri yang dicita-citakan
oleh Gereja dan masyarakat.
g. Komunikasi suami-istri
Dalam kursus komunikasi suami-istri diberikan agar mereka memahami
pentingnya komunikasi merupakan kunci dalam membangun relasi. Apabila
suami-istri semula berusaha untuk tetap berkomunikasi, segala persoalan akan
dapat dihadapi bersama. Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat
Minulyo” (2007: 30) komunikasi adalah suatu proses antara dua orang yang
memberikan informasi/isyarat dan yang lain menerima informasi tersebut
sehingga terjadi kesatuan pemahaman. Agar komunikasi biasa berlangsung, yang
pertama-tama perlu diusahakan adalah suasana yang mendukung, yaitu relasi
dengan istri/suami dinomorsatukan di atas segalanya. Cinta itu lebih dari sekedar
perasaan tetapi suatu keputusan untuk tetap setia. Dalam keluarga kristiani sangat
kepentingan keluarga mesti dirundingkan bersama sampai tercapai mufakat, atau
paling tidak saling pen gertian. Hendaknya kedua belah pihak, minimal sehari
sekali, saling mengucapkan sepatah kata manis atau kata pujian. Komunikasi
dalam keluarga menjadi mutlak dan harus selalu terus-menerus dibangun.
h. Keluarga Berencana Alamiah
Keluarga yang baik perlu direncanakan melalui KB, dalam kursus Kb
diberikan salah satu perkawinan itu adanya tentang anak. sangat di anjurkan
dalam keluarga katolik untuk memanfaatkan kb alamiah, secara khusus Paus
Yohanes II menegaskan:
Tanggung jawab bersama yang harus diemban suami-istri dalam menggunakan metode KB-alamiah. Dengan menggunakan KB alamiah tanggung jawab itu dibebankan di atas pundak kedua belah pihak.
secara psikologis, hubungan seks merupakan ungkapan cinta dan penyerahan diri
antara suami-istri, tetapi secara biologis, dimaksudkan untuk mendapatkan
keturunan. Jika tidak menginginkan anak, suami-istri jangan mengadakan
hubungan seks tepat pada waktu istri dalam masa subur. Di luar waktu itu,
hubungan seks tetap dilakukan sebagai ungkapan cinta satu sama lain.
apabila suami-istri menginginkan anak maka perhatikan hari-hari ketika
tampak atau terasa adanya lendir yang basah, licin, dan mulur apabila
direntangkan di antara dua jari. Jika hari-hari digunakan untuk senggama,
kemungkinan besar kehamilan akan terjadi (Brayat Minulyo 2007: 65). Untuk
mempertinggikan kesuburan sebaiknya suami mengadakan tentang sanggama
Jika suami-istri tidak menginginkan anak maka jangan mengadakan
senggama waktu haid karena lendir kesuburan tidak akan kelihatan meskipun ada
(Brayat Minulyo 2007: 65). Jangan mengadakan sanggama apabila ada
tanda-tanda lendir keluar, sekurang-kurangnya 3 hari sesudahnya. Jangan mengadakan
sanggama apabila ada pengeluaran darah dua siklus (bukan haid) sampai dengan 3
hari 3 malam sesudahnya. Cara ini dapat dipakai pada siklus menstruasi yang
tidak teratur, masa haidanya (menopause). Ada banyak keuntungan metode
ovulasi Billings yaitu memungkinkan setiap kelahiran direncanakan, termasuk
jenis kelamin anak. Aman karena tidak ada efek samping. Alamiah karena tidak
memakai alat kontrasepsi atau obat-obat kimia. Ekonomis dan mandiri penuh
serta dapat diandalkan keberhasilannya. Selain itu dapat digunakan oleh setiap
perempuan dalam setiap fase hidup.
i. Pengaturan Ekonomi Keluarga
Hal yang penting ini perlu di bahasa dalam kursus yaitu tentang
pengaturan ekonomi rumah tangga. Orang yang bijak mengatur rumah tangganya
sedemikian rupa sehingga dari penghasilan yang tertentu dan terbatas semua
kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Dapat makan setiap hari, dapat berpakaian
pantas, punya rumah kediaman yang layak, mendapatkan pendidikan secukupnya,
dan bila ada anggota keluarga yang sakit mendapatkan pengobatan dan perawatan
sepenuhnya. Menurut Gilarso (2011: 138) keluarga harus mampu mengatur
ekonomi keluarga. Dengan cara mampu mengatur pengeluaran sesuai dengan
pilihan atau seleksi atas kebutuhan-kebutuhan, mana yang betul-betul dibutuhkan
saat maupun saat mendatang, mana yang tidak atau kurang perlu. Mampu
mengadakan tabungan untuk merealisasikan keinginan serta kebutuhan-kebutuhan
masa mendatang yang sudah direncanakan. Mampu mengatur keungan
sedemikian rupa sehingga tidak terjebak hutang maupun membeli secara kredit.
j. Persiapan Perkawinan
Persiapan perkawinan menurut Gereja Katolik mencakup empat persiapan
yaitu persiapan awal (tiga bulan sebelum perkawinan), persiapan pertengahan
(dua bulan sebelum perkawinan), persiapan tahap akhir (paling lambat satu bulan
sebelum perkawinan), dan persiapan untuk pelaksanaan pada saat perkawinan.
Persiapan ini penting untuk mereka yang memang akan menjalani hidup
berkeluarga (Brayat Minulyo 2007: 77).
1. Persiapan Awal
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77)
minimal tiga bulan sebelum perkawinan, calon pasangan suami-istri perlu
bersama-sama menghadapi pastor paroki pihak calon mempelai putri. Jika salah
seorang bukan katolik, hendaknya menghadap pastor paroki pihak calon yang
Katolik. Yang perlu dibicarakan ialah rencana hari, tanggal perkawinan, waktu
dan tempat perkawinan akan dilaksanakan, kapan diadakan penyelidikan kanonik,
2. Persiapan Pertengahan (Kursus Persiapan Perkawinan)
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77)
calon mempelai hendaknya menghubungi sekretariat Paroki untuk menanyakan
persyaratan administrasi yang perlu dipenuhi, baik perkawinan gerejawi maupun
catatan sipil, untuk mencatatkan tanggal perkawinan dan imam yang akan
meneguhkan perkawinan, untuk meminta informasi dan mendaftarkan kursus
persiapan perkawinan. Sekretariat paroki akan memberikan catatan yang perlu
disiapkan dan memberikan beberapa blangko persyaratan yang perlu diisi dan
dikembalikan ke sekretariat paroki. Melalui persiapan ini akan memudahkan para
calon pasangan suami-istri merencanakan pernikahannya.
3. Persiapan Tahap Akhir
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78)
persiapan tahap terakhir yaitu calon suami-istri menghadap pastor paroki untuk
penyelidikan kanonik. Pastor akan memeriksa, apakah ada halangan dalam
perkawinan yang dapat dihilangkan dengan dispensasi dari Gereja, dan apakah
mereka sungguh-sungguh bebas tanpa unsur paksaan dalam menentukan
perkawinan mereka. Selanjutnya, diadakan pengumuman tiga kali di Gereja.
Apabila kurang dari tiga kali, perlu adanya dispensasi. Agar upacara perkawinan
di Gereja biasa mengenai liturgi perkawinan dengan pastor Paroki dalam rangka
menyusun buku upacara liturgi perkawinan. Selanjutnya, disiapkan paduan suara
untuk memeriahkan pernikahannya di Gereja, disiapkan putra/I altar, dan lektor
4. Persiapan untuk pelaksanaan pada saat perkawinan
Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78)
agar upaca pernikahan di Gereja dapat terlasana dengan baik teratur, dan lancar
calon mempelai perlu memikirkan adanya panitia pelaksana upacara pernikahan di
Gereja. Untuk keperluan ini, calon memperlai perlu melibatkan kaum
keluarganya, atau ketua dan umat lingkungan. Mereka diharapkan biasa
membantu menyiapkan beberapa hal, seperti buku panduan liturgi perkawinan,
lektor yang membaca bacaan 1 dan doa umat, menyiapkan putra/i altar,
menyiapkan wakil orang tua, mempersiapkan paduan suara, mengingatkan
perlunya disediakan dua cincin perkawinan, dll.
k. Pendidikan Anak
Menurut Budiyono Hadi (2012: 7) pendidikan dalam keluarga dapat
dibedakan menjadi tiga macam yaitu pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di
sekolah dan pendidikan nonformal. Perlu disadari oleh Keluarga Katolik bahwa
pendidkan yang paling dasar ialah pendidikan dalam keluarga. Orang tua sedapat
mungkin menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik tempat suasana
pengembangan iman terjamin. Bila anak sudah agak besar, baiklah disadarkan
agar mengikuti kegiatan pramuka, putra-putri altar, koor,legio maria,dll.
Suami-istri adalah sepasang pria dan wanita yang disatukan oleh Allah,
sehingga mereka “tidak lagi dua melainkan satu” (Mat: 19). Maka mereka berdua
masyarakat. Kepada pasangan suami-istri Allah menyerahkan anak, sebagai
sebuah “titipan” dari-Nya. Sebagai titipan Allah, dan sekaligus juga sebagai citra
Allah, setiap anak haruslah sepenuh-penuhnya mereka hargai, mereka cintai,
mereka asuh, dan mereka didik, sehingga kelak dikemudian hari anak mampu dan
berhasil mengasihi Allah dan sesamanya. Allah menghendaki bahwa keluarga
menjadi tempat utama bagi lahir dan tumbuh kembang setiap anak, beliau juga
menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat pertama untuk pendidikan anak,
sebelum ia dididik lebih lanjut di sekolah dan di tempat-tempat lain.
Kedua orang tua diharap mau dan mampu memberi teladan dan ajaran
tentang kebaikan dan kebenaran. Pendidikan anak adalah usaha usaha orang-orang
dewasa membantu anak muda dalam memperkembangkan kepribadian mereka.
Usaha tersebut menyangkut berbagai dimensi, yakni: dimensi fisik, dimensi
mental, dimensi moral, dimensi sosial, dan dimensi spiritual.
Karena kompleksnya kepribadian setiap anak, maka pendidikan anak
merupakan proses yang panjang dan menuntut perhatian orang tua dalam berbagai
hal yakni:
1. Pemberian Teladan Hidup
Melahirkan anak-anak itu tidaklah terlalu sulit. Yang lebih sulit adalah
membuat mereka menjadi orang-orang yang baik. Untuk itu, orang tua harus
memberikan teladan hidup yang baik. Kalau orang tua ingin bahwa anak-anak
mereka menjadi orang-orang yang rajin, ramah, dan saleh, mereka harus
2. Perhatian dan Kasih Sayang
Setiap orang membutuhkan perhatian dan kasih sayang demi orang lain.
Anak-anak pun membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Tetapi, tentang hal ini,
haruslah disadari betul bahwa perhatian dan mengasihi tidaklah berarti
memanjakan. Orang tua yang memanjakan anak-anak justru mereka menjadi
orang-orang yang “lemah”, orang-orang yang tidak memiliki “semangat juang”
mereka tidak tahan banting.
3. Simpati dan Empati
Mendidik anak-anak tidaklah berarti hanya memberikan informasi
mengenai hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang dilarang, melainkan juga
ber-simpati dan ber-ber-simpati pada anak-anak itu. Ber-empati bearti menunjukan
perhatian dan penghargaan. Sedangkan ber-empati berarti berusaha merasakan apa <