• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. MATERI PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KURSUS

B. Kursus Persiapan Perkawinan Sebagai Usaha Untuk Membangun

3. Materi Kursus Persiapan Perkawinan

Dalam upaya menjawab harapan serta tujuan diadakannya kursus persiapan perkawinan, maka materi kursus persiapan perkawinan meliputi: hakikat perkawinan Kristiani, tujuan Perkawinan Kristiani, sakramen perkawinan, moral perkawinan, mengenal pribadi pasangan, psikologi Pria dan Wanita, komunikasi suami-istri, pendidikan anak, seksualitas manusiawi, biologi pembiakan manusia, keluarga berencana alamiah, pengaturan ekonomi keluarga, prosedur perkawinan (Tukan, 1988: 17). Sejalan membantu pasangan suami-istri dalam membekali mereka dalam membangun sebuah keluarga, maka materi kursus persiapan perkawinan meliputi:

a. Hakikat Perkawinan

Dalam kursus persiapan perkawian materi ini diberikan agar pasangan suami-istri yang akan menikah perlu mendapatkan pemahamana mengenai perkawinan sebagai persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita, atas dasar ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya untuk tidak dapat ditarik kembali, dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan. Perkawinan dapat di pandang dari empat sudut pandang yaitu perkawinan merupakan hidup dan cinta, perwkawinan merupakan lembaga hukum negara, dan perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen.

1. Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta

Perkawinan merupakan persekutuan hidup yang menytukan seorang pria dan wanita dasar persetujuan bebas (Gilarso, 2011: 9). Mereka bersekutu membentuk suatu keluarga atas dasar cinta kasih yang tulus dalam kesatuan lahir- batin yang mencakup seluruh hidupnya. Persetujuan bebas merupakan syarat mutlak untuk terjadinya dan sahnya perkawinan. Cinta mensyaratkan kebebasan serta tanggung jawab, tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa dan ini harus dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang sah. Unsur pokok dalam cinta perkawinan adalah kesetian kepada pasangannya dalam untun dan malang dan bertanggung jawab dalam segala hal

2. Perkawinan merupakan lembaga sosial

Dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang satu-satunya lembaga yang mengizinkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan keturunan (Gilarso 2011: 10). Maka dari itu perkawinan dilindungi dan diatur oleh hukum adat dan hukum negara, perkawinan juga melibatkan masyarakat luas, baik sanak- saudara maupun tetangga dan kenalan. Keluarga adalah sel masyarakat, sebab masyarakat ikut ambil bagian dalam urusan perkawinan karena mereka ikut berperan dalam keutuhan kehidupan keluarga.

3. Perkawinan merupakan lembaga hukum negara

Perkawinan adalah ikatan resmi dan harus di sahkan (Gilarso 2011: 10). Perkawinan bukan ikatan bebas menurut selera sendiri melainkan soal

masyarakat, soal sosial, soal keluarga, dan masa depan bangsa. Maka dari itu negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Negara mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi.

4. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen

Menurut Gilarso (2011: 10) dengan dibaptis berarti ia telah bersatu secara pribadi dengan Kristus. Maka perkawinan antara dua pribadi yang dibaptis merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan rahmat bagi kedua mempelai. Ikatan cinta setia yang mempersatukan mereka menjadi lambing, tanda perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja dan satuan rahmat bagi mereka. Sakramen Pekawinan tidak hanya sebatas upacara di Gereja saja tetapi berlangsung terus-menerus selama hidup mereka berdua. Maka Tuhan sendiri berkenan hadir di dalam keluarga mereka. Rahmat yang mereka terima adalah rahmat yang menguduskan mereka berdua, rahmat yang menyempurnakan cinta dan mempersatukan mereka, dan rahmat yang membantu dan membimbing mereka dalam hidup berkeluarga hingga semakin dekat dengan Tuhan.

b. Tujuan Perkawinan

Perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda (Gilarso 2011: 11-12). Tujuan materi ini diberikan agar suami-istri dapat memahami pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak, pemenuhan kebutuhan seksual, dan lain-lain.

1. Pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri

Kasih yang ada masih harus dikembangkan dan dimurnika, sehingga sungguh-sungguh dapat membahagiakan (Gilarso 2011: 11). Cinta adalah keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebagian pasangannya, bukan semata-mata dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau asmara. Suami-istri bukan sekedar pasangan melainkan belahan jiwa serta teman seperjalanan.

2. Kelahiran dan pendidikan anak

Perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk pemenuhan keinginan mempunyai anak (Gilarso 2011: 11). Suami-istri yang normal mempunyai kerinduan untuk memiliki keturunan. Perlu disadari bahwa anak adalah anugerah Tuhan. Bila Tuhan belum memberikan anak, perkawinan tidak kehilangan artinyaa. Menurut Adi Hardana (2010 : 14) cinta kasih suami-istri tidak hanya tertuju pada mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain dalam hal ini tertuju pada kelahiran anak, karena itulah dengan bantuan rahmat Allah, suami-istri dipanggil oleh Allah untuk bekerja sama dalam penerusan generasi baru dengan sikap keterbukaan untuk menerima karunia (hidup baru) yang diberikan Tuhan.

3. Pemenuhan kebutuhan seksual

Pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual (Gilarso 2011: 12). Kebutuhan itu layak dipenuhi melalui hubungan seks antara

suami-istri dalam lembaga perkawinan yang sah. Gereja menolak dengan tegas setiap hubungan seks di luar lembaga perkawinan yang resmi, itu berarti bahwa persetubuhan diadakan dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh, sehingga kebutuhan itu terpenuhi dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan untuk menerima hidup bru sebagai hasil perpaduan cinta kasih mereka.

4. Lain-lain

Perkawinan juga mempunyai maksud tujuan antara lain, misalnya: kesejahteraan keluarga, jaminan perlindungan dan keamanan demi ketenangan nama baik, kerukunan keluarga; jaminan nafkah atau ekonomi, sah dan sehatnya keturunan dsb (Gilarso 2011: 12).

d. Sakramen Perkawinan

Menurut Konseng & Tukan (1991: 36) materi ini diberikan yaitu untuk membantu pasangan suami-istri memahami inti pokok perkawinan katolik adalah sebagai bahasa perkawinan. Katolik bersifat sakramental. Berdasarkan sakramen ini, mereka melambangkan dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cinta yang subur antara Kristus dan Gereja. Perkawinan adalah tanda keselamatan. Dengan sakramen perkawinan maka suami-istri bersedia menghayati perkawinan kristiani. Dalam perkawinan katolik terdapat tiga pribadi yang terlihat: suami-istri dan Tuhan. Oleh karena itu suami-istri Kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen khas.

e. Moral Perkawinan

Dalam memberikan materi ini ada dua dasar yang menjadi sumber dan titik pijak pertimbangan moral yaitu Kitab Suci dan ajaran sosial Gereja, serta pengalaman, penalaran akal budi manusia, dan ilmu pengetahuan. Moral perkawinan tidak hanya berisikan larangan-larangan, tetapi mencoba memberikan pedoman positif (Adi Hardana 2010: 32). Menurut Gilarso (1990: 45) ada beberapa pokok ajaran Kitab Suci dan Gereja Katolik seperti Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya sendiri, Allah menciptakan pria dan wanita dan memanggil mereka untuk bersatu dalam keluarga. Maka tujuan pokok dari perkawinan adalah agar Pria dan wanita menjadi satu. Kesatuan antara suami-istri harus dibangun setiap hari, dengan saling memperhatikan, keterbukaan, dan kerelaan berkomunikasi dan saling menerima apa adanya, dengan kasih sayang, kelembutan dan kesabaran, dengan kerelaan berkorban dan saling membantu, maaf-memaafkan, doa bersama, dan saling menanggung beban. Segala sesuatu yang mendukung, menunjang mewujudkan, atau memperkuat kesatuan suami- istri, adalah baik. Segala sesuatu yang merusak, melanggar, mengancam, atau meretakkan kesatuan itu, adalah tindakan tidak baik.

f. Psikologi Pria dan Wanita

Tuhan menciptakan manusia sebagai pria dan wanita dengan perbedaan masing-masing yang melekat pada diri mereka. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang berkelamin, maksudnya supaya pria dan wanita saling melengkapi dan membahagiakan (segi psikologis) dan upaya umat manusia

berlangsung terus di dunia ini (segi biologis) (Adi Hardana 2010: 63). Panggilan hidup kaum pria terarah menjadi seorang ayah/bapak, sedangkan wanita menjadi seorang ibu. Sejak semula Allah memberikan perlengkapan yang berbeda pada kodrat pria dan wanita, baik perlengkapan jasmaniah/biologis maupun rohaniah/psikologis. Perbedaan adalah anugrah Tuhan dengan maksud agar pria dan wanita saling melengkapi dalam hidup berkeluarga. Perbedaan pria dan wanita harus disyukuri sebagai anugerah Ilahi. Dengan perbedaan itu mereka dapat saling mengisi dan melengkapi satu sama lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagai pasangan suami-istri yang dicita-citakan oleh Gereja dan masyarakat.

g. Komunikasi suami-istri

Dalam kursus komunikasi suami-istri diberikan agar mereka memahami pentingnya komunikasi merupakan kunci dalam membangun relasi. Apabila suami-istri semula berusaha untuk tetap berkomunikasi, segala persoalan akan dapat dihadapi bersama. Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 30) komunikasi adalah suatu proses antara dua orang yang memberikan informasi/isyarat dan yang lain menerima informasi tersebut sehingga terjadi kesatuan pemahaman. Agar komunikasi biasa berlangsung, yang pertama-tama perlu diusahakan adalah suasana yang mendukung, yaitu relasi dengan istri/suami dinomorsatukan di atas segalanya. Cinta itu lebih dari sekedar perasaan tetapi suatu keputusan untuk tetap setia. Dalam keluarga kristiani sangat penting diadakan doa malam bersama. Masalah-masalah yang menyangkut

kepentingan keluarga mesti dirundingkan bersama sampai tercapai mufakat, atau paling tidak saling pen gertian. Hendaknya kedua belah pihak, minimal sehari sekali, saling mengucapkan sepatah kata manis atau kata pujian. Komunikasi dalam keluarga menjadi mutlak dan harus selalu terus-menerus dibangun.

h. Keluarga Berencana Alamiah

Keluarga yang baik perlu direncanakan melalui KB, dalam kursus Kb diberikan salah satu perkawinan itu adanya tentang anak. sangat di anjurkan dalam keluarga katolik untuk memanfaatkan kb alamiah, secara khusus Paus Yohanes II menegaskan:

Tanggung jawab bersama yang harus diemban suami-istri dalam menggunakan metode KB-alamiah. Dengan menggunakan KB alamiah tanggung jawab itu dibebankan di atas pundak kedua belah pihak.

secara psikologis, hubungan seks merupakan ungkapan cinta dan penyerahan diri antara suami-istri, tetapi secara biologis, dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan. Jika tidak menginginkan anak, suami-istri jangan mengadakan hubungan seks tepat pada waktu istri dalam masa subur. Di luar waktu itu, hubungan seks tetap dilakukan sebagai ungkapan cinta satu sama lain.

apabila suami-istri menginginkan anak maka perhatikan hari-hari ketika tampak atau terasa adanya lendir yang basah, licin, dan mulur apabila direntangkan di antara dua jari. Jika hari-hari digunakan untuk senggama, kemungkinan besar kehamilan akan terjadi (Brayat Minulyo 2007: 65). Untuk mempertinggikan kesuburan sebaiknya suami mengadakan tentang sanggama selama beberapa hari.

Jika suami-istri tidak menginginkan anak maka jangan mengadakan senggama waktu haid karena lendir kesuburan tidak akan kelihatan meskipun ada (Brayat Minulyo 2007: 65). Jangan mengadakan sanggama apabila ada tanda- tanda lendir keluar, sekurang-kurangnya 3 hari sesudahnya. Jangan mengadakan sanggama apabila ada pengeluaran darah dua siklus (bukan haid) sampai dengan 3 hari 3 malam sesudahnya. Cara ini dapat dipakai pada siklus menstruasi yang tidak teratur, masa haidanya (menopause). Ada banyak keuntungan metode ovulasi Billings yaitu memungkinkan setiap kelahiran direncanakan, termasuk jenis kelamin anak. Aman karena tidak ada efek samping. Alamiah karena tidak memakai alat kontrasepsi atau obat-obat kimia. Ekonomis dan mandiri penuh serta dapat diandalkan keberhasilannya. Selain itu dapat digunakan oleh setiap perempuan dalam setiap fase hidup.

i. Pengaturan Ekonomi Keluarga

Hal yang penting ini perlu di bahasa dalam kursus yaitu tentang pengaturan ekonomi rumah tangga. Orang yang bijak mengatur rumah tangganya sedemikian rupa sehingga dari penghasilan yang tertentu dan terbatas semua kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Dapat makan setiap hari, dapat berpakaian pantas, punya rumah kediaman yang layak, mendapatkan pendidikan secukupnya, dan bila ada anggota keluarga yang sakit mendapatkan pengobatan dan perawatan sepenuhnya. Menurut Gilarso (2011: 138) keluarga harus mampu mengatur ekonomi keluarga. Dengan cara mampu mengatur pengeluaran sesuai dengan keadaan keuangan yang ada dan rencana yang telah disusun. Mampu mengadakan

pilihan atau seleksi atas kebutuhan-kebutuhan, mana yang betul-betul dibutuhkan saat maupun saat mendatang, mana yang tidak atau kurang perlu. Mampu mengadakan tabungan untuk merealisasikan keinginan serta kebutuhan-kebutuhan masa mendatang yang sudah direncanakan. Mampu mengatur keungan sedemikian rupa sehingga tidak terjebak hutang maupun membeli secara kredit.

j. Persiapan Perkawinan

Persiapan perkawinan menurut Gereja Katolik mencakup empat persiapan yaitu persiapan awal (tiga bulan sebelum perkawinan), persiapan pertengahan (dua bulan sebelum perkawinan), persiapan tahap akhir (paling lambat satu bulan sebelum perkawinan), dan persiapan untuk pelaksanaan pada saat perkawinan. Persiapan ini penting untuk mereka yang memang akan menjalani hidup berkeluarga (Brayat Minulyo 2007: 77).

1. Persiapan Awal

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77) minimal tiga bulan sebelum perkawinan, calon pasangan suami-istri perlu bersama-sama menghadapi pastor paroki pihak calon mempelai putri. Jika salah seorang bukan katolik, hendaknya menghadap pastor paroki pihak calon yang Katolik. Yang perlu dibicarakan ialah rencana hari, tanggal perkawinan, waktu dan tempat perkawinan akan dilaksanakan, kapan diadakan penyelidikan kanonik, dan bagaimana liturgi perkawinannya.

2. Persiapan Pertengahan (Kursus Persiapan Perkawinan)

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 77) calon mempelai hendaknya menghubungi sekretariat Paroki untuk menanyakan persyaratan administrasi yang perlu dipenuhi, baik perkawinan gerejawi maupun catatan sipil, untuk mencatatkan tanggal perkawinan dan imam yang akan meneguhkan perkawinan, untuk meminta informasi dan mendaftarkan kursus persiapan perkawinan. Sekretariat paroki akan memberikan catatan yang perlu disiapkan dan memberikan beberapa blangko persyaratan yang perlu diisi dan dikembalikan ke sekretariat paroki. Melalui persiapan ini akan memudahkan para calon pasangan suami-istri merencanakan pernikahannya.

3. Persiapan Tahap Akhir

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78) persiapan tahap terakhir yaitu calon suami-istri menghadap pastor paroki untuk penyelidikan kanonik. Pastor akan memeriksa, apakah ada halangan dalam perkawinan yang dapat dihilangkan dengan dispensasi dari Gereja, dan apakah mereka sungguh-sungguh bebas tanpa unsur paksaan dalam menentukan perkawinan mereka. Selanjutnya, diadakan pengumuman tiga kali di Gereja. Apabila kurang dari tiga kali, perlu adanya dispensasi. Agar upacara perkawinan di Gereja biasa mengenai liturgi perkawinan dengan pastor Paroki dalam rangka menyusun buku upacara liturgi perkawinan. Selanjutnya, disiapkan paduan suara untuk memeriahkan pernikahannya di Gereja, disiapkan putra/I altar, dan lektor untuk membaca bacaan dan doa umat.

4. Persiapan untuk pelaksanaan pada saat perkawinan

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 78) agar upaca pernikahan di Gereja dapat terlasana dengan baik teratur, dan lancar calon mempelai perlu memikirkan adanya panitia pelaksana upacara pernikahan di Gereja. Untuk keperluan ini, calon memperlai perlu melibatkan kaum keluarganya, atau ketua dan umat lingkungan. Mereka diharapkan biasa membantu menyiapkan beberapa hal, seperti buku panduan liturgi perkawinan, lektor yang membaca bacaan 1 dan doa umat, menyiapkan putra/i altar, menyiapkan wakil orang tua, mempersiapkan paduan suara, mengingatkan perlunya disediakan dua cincin perkawinan, dll.

k. Pendidikan Anak

Menurut Budiyono Hadi (2012: 7) pendidikan dalam keluarga dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan pendidikan nonformal. Perlu disadari oleh Keluarga Katolik bahwa pendidkan yang paling dasar ialah pendidikan dalam keluarga. Orang tua sedapat mungkin menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik tempat suasana pengembangan iman terjamin. Bila anak sudah agak besar, baiklah disadarkan agar mengikuti kegiatan pramuka, putra-putri altar, koor,legio maria,dll.

Suami-istri adalah sepasang pria dan wanita yang disatukan oleh Allah, sehingga mereka “tidak lagi dua melainkan satu” (Mat: 19). Maka mereka berdua merupakan satu pasangan yang berkenan pada Allah dan terhormat di mata

masyarakat. Kepada pasangan suami-istri Allah menyerahkan anak, sebagai sebuah “titipan” dari-Nya. Sebagai titipan Allah, dan sekaligus juga sebagai citra Allah, setiap anak haruslah sepenuh-penuhnya mereka hargai, mereka cintai, mereka asuh, dan mereka didik, sehingga kelak dikemudian hari anak mampu dan berhasil mengasihi Allah dan sesamanya. Allah menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat utama bagi lahir dan tumbuh kembang setiap anak, beliau juga menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat pertama untuk pendidikan anak, sebelum ia dididik lebih lanjut di sekolah dan di tempat-tempat lain.

Kedua orang tua diharap mau dan mampu memberi teladan dan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran. Pendidikan anak adalah usaha usaha orang-orang dewasa membantu anak muda dalam memperkembangkan kepribadian mereka. Usaha tersebut menyangkut berbagai dimensi, yakni: dimensi fisik, dimensi mental, dimensi moral, dimensi sosial, dan dimensi spiritual.

Karena kompleksnya kepribadian setiap anak, maka pendidikan anak merupakan proses yang panjang dan menuntut perhatian orang tua dalam berbagai hal yakni:

1. Pemberian Teladan Hidup

Melahirkan anak-anak itu tidaklah terlalu sulit. Yang lebih sulit adalah membuat mereka menjadi orang-orang yang baik. Untuk itu, orang tua harus memberikan teladan hidup yang baik. Kalau orang tua ingin bahwa anak-anak mereka menjadi orang-orang yang rajin, ramah, dan saleh, mereka harus memberikan teladanan kerajinan, keramahan dan kesalehan.

2. Perhatian dan Kasih Sayang

Setiap orang membutuhkan perhatian dan kasih sayang demi orang lain. Anak-anak pun membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Tetapi, tentang hal ini, haruslah disadari betul bahwa perhatian dan mengasihi tidaklah berarti memanjakan. Orang tua yang memanjakan anak-anak justru mereka menjadi orang-orang yang “lemah”, orang-orang yang tidak memiliki “semangat juang” mereka tidak tahan banting.

3. Simpati dan Empati

Mendidik anak-anak tidaklah berarti hanya memberikan informasi mengenai hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang dilarang, melainkan juga ber- simpati dan ber-simpati pada anak-anak itu. Ber-empati bearti menunjukan perhatian dan penghargaan. Sedangkan ber-empati berarti berusaha merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak-anak. orang tua yang bisa ber-simpati dan ber- empati pada anak-anak tidaklah hanya mengasihi mereka, melainkan juga mengenal dan memehami mereka.

C. Pengolahan Materi Pendidikan Iman Anak (PIA) dalam KPP

Dokumen terkait