1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
Sepanjang peradaban manusia, kemiskinan merupakan realitas dan
sekaligus menjadi masalah sosial yang selalu hadir di tengah-tengah masyarakat.
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersifat global. Kemiskinan telah
menggugah perhatian banyak orang di dunia ini. Meskipun dalam tingkatan yang
beragam, tidak ada satupun negara di dunia ini yang kebal dari kemiskinan.
Masalah kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang,
namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya
terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kemiskinan yang terjadi serta
tingkat kesulitan mengatasinya. Semua Negara di dunia ini sepakat bahwa
kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan
dan peradaban.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga menghadapi
problematika kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan telah
menimbulkan terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal
munculnya masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan
yang ditandai dengan pengangguran, keterbelakangan, dan keterpurukan.
Kemiskinan ditandai dengan munculnya masyarakat miskin lemah yang tidak
2
kepada kegiatan sosial ekonomi (Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang
Propenas).
Setiap pergantian rezim Pemerintahan di Indonesia, salah satu agenda
utama yang diusung adalah pengurangan angka kemiskinan mengingat jumlah
penduduk miskin yang besar. Hal tersebut kemudian mengharuskan pemerintah
untuk membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) tercatat pada Tahun 2009, angka kemiskinan 14,15% (dari
jumlah penduduk) atau 32,53 juta orang, tahun 2010 sebesar 13,33% atau 31,02
juta orang, tahun 2011 sebesar 12,49% atau 30,12 juta orang, tahun 2012 sebesar
11,96% atau 29,25 juta orang. Tahun 2013 sebesar 11,36% atau 28,17 juta orang
dan tahun 2014 angka kemiskinan sebesar 11,25% atau 28,28 juta orang1.
Jika menilik ke masa lampau, sebenarnya kebijakan dan program
pengentasan kemiskinan telah berulang kali dilakukan oleh pemerintah. Menurut
Remi dan Tjiptoherijanto (2002:1) upaya menurunkan tingkat kemiskinan telah
dimulai awal tahun 1970-an diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat
(Bimas) dan Bantuan Desa (Bandes), tetapi upaya tersebut mengalami tahapan
jenuh pada pertengahan tahun 1980-an, yang juga berarti upaya penurunan
kemiskinan di tahun 1970-an tidak maksimal, sehingga jumlah orang miskin pada
awal 1990-an kembali naik. Disamping itu kecenderungan ketidakmerataan
pendapatan semakin melebar yang mencakup antar sektor, antar kelompok, dan
antar wilayah. Pada dekade 1990-an pemerintah memunculkan kembali program
pengentasan kemiskinan, diantaranya Program Inpres Desa Tertinggal (IDT),
1
3
Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Tabungan
Kesejahteraan Keluarga (Takesra) dan Kredit Keluarga Sejahtera (Kukesra) (Remi
dan Tjiptoherijanto, 2002:1).
Adanya program-program tersebut dan program pembangunan lainnya
secara perlahan-lahan mampu menurunkan angka kemiskinan. Akan tetapi dengan
timbulnya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997, telah
menyebabkan bertambahnya penduduk miskin. Akibat krisis ekonomi yang terus
berkelanjutan, sampai dengan akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin telah
menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 % dari jumlah penduduk Indonesia. Perlu
dicatat bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin tersebut tidak sepenuhnya
terjadi akibat krisis ekonomi, tetapi juga dikarenakan perubahan standar yang
digunakan (BPS, 2003:575). Jumlah penduduk yang meningkat tersebut terutama
disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk yang berada sedikit di atas garis
kemiskinan. Dalam kondisi krisis, kenaikan harga-harga yang tidak diikuti oleh
kenaikan pendapatan nominal menyebabkan garis kemiskinan bergeser ke atas
sehingga penduduk yang semula tidak termasuk miskin menjadi miskin (UU No.
25 Tahun 2000 tentang Propenas).
Timbulnya krisis ekonomi tersebut, disikapi oleh pemerintah dengan
melaksanakan program Jaring Pengaman Sosial (JPS), program tersebut bertujuan
untuk menutupi penurunan daya beli mayoritas penduduk. Aktivitas JPS meliputi:
1) Program keamanan pangan dalam bentuk penyediaan beras murah untuk
keluarga miskin; 2) Program pendidikan dan perlindungan sosial; 3) Program
4
miskin; 4) Program padat karya untuk mempertahankan daya beli rumah tangga
miskin (Remi dan Tjiptoherijanto,2002:29-30)
Upaya tersebut dilanjutkan dengan meluncurkan program Pemberdayaan
Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM/DKE) pada akhir tahun
1998 berupa pemberian dana langsung kepada masyarakat melalui pemerintah
daerah. Berikutnya pemerintah juga melaksanakan Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) dengan sasaran perdesaan dan Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dengan sasaran perkotaan. Sebagai kelanjutan
Program JPS, pemerintah melaksanakan Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) yang dilaksanakan diantaranya pada
bidang pangan, kesehatan, pendidikan, prasarana dan sebagainya.
Upaya pengentasan kemiskinan terus dilakukan pemerintah, salah satunya
dengan membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) pada tahun 2002
dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No. 124/2001 jo Keppres RI No-
8/2A02 io Keppres RI No. 34/2002. Komite ini melibatkan berbagai aktor, yaitu:
akademisi, LSM, pelaku usaha, birokrasi daerah, onnas/ orsospol, dan lembaga
keuangan bank dan non bank. KPK dibentuk untuk menanggulangi kemiskinan
yang didasarkan atas pemberdayaan masyarakat.
Menurut Purwanto (2007), pertanyaan yang layak untuk diajukan adalah
seberapa besar dampak dari berbagai kebijakan dan program kemiskinan yang
telah banyak dilakukan tersebut terhadap keberhasilan pengentasan kemiskinan?
Mengapa upaya pengentasan kemiskinan belum berhasil?. Salah satu iawabannya
5
kemandirian masyarakat miskin. Hal ini karena pada umumnya program-program
tersebut diberikan kepada masyarakat miskin yang tidak memahami bagaimana
mereka harus mengelola bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Pendekatan
yang demikian tentu berdampak negatif karena bantuan yang mereka terima tidak
dimanfaatkan untuk kegiatan produktif yang dapat memberikan dampak
keberlanjutan melainkan untuk kebutuhan-kebutuhan yang sering bersifat
konsumtif.
Disamping itu, menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:32), program
pengentasan kemiskinan yang dijalankan mendapatkan kritik antara lain tentang
transparansi program, dana yang kebanyakan tidak diterima oleh kelompok yang
ditargetkan. Program tersebut masih merupakan kebijakan yang terpusat dan
seragam dan memposisikan masyarakat sebagai obyek dalam keseluruhan proses.
Sementara Saptana dan Darwis (2004), menyatakan bahwa upaya kebijakan dan
program penanggulangan kemiskinan di masa yang lalu masih perlu dilakukan
beberapa koreksi mendasar, antara lain : (1) Masih berorientasi pada pertumbuhan
dan stabilitas ekonomi makro; (2) Kebijakan besifat sentralistis dan cenderung
homogen; (3) Cenderung bersifat sektoral dan diskontinyu; (4) Memposisikan
masyarakat sebagai objek bukan sebagai subjek; (5) Memandang kemiskinan
cenderung dari sudut pandang ekonomi; (6) Kurang memperhatikan sistem
kelembagaan local dan keragaman budaya; (7) Pendekatan bersifat topdown
planning sehingga tidak menumbuhkan partisipasi dari kelompok masyarakat
miskin; (8) Terjadinya tumpang tindih antar program penanggulangan
6
Kurang melibatkan kelembagaan ekonomi setempat dan kelembagaan komunitas
lokal; (10) Kebijakan yang bersifat sektoral dan kurang dikoordinasikan dalam
keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan.
Pemerintah terus berupaya keras dengan melakukan penyempurnaan
berbagai kebijakan dan program untuk menurunkan jumlah penduduk miskin di
Indonesia. Salah satu kebijakan pemerintah tersebut adalah terbitnya Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang percepatan
penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan Peraturan tersebut, Pemerintah
membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)
yang merupakan lembaga yang dibentuk sebagai wadah koordinasi lintas sektor
dan lintas pemangku kepentingan di tingkat pusat untuk melakukan percepatan
penanggulangan kemiskinan. TNP2K menjelaskan bahwa pemerintah saat ini
memiliki program penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi mulai dari
program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial, program
penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta
program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil.
Pengelompokan tersebut lebih dikenal dengan pembagian kelompok menjadi 3
kluster2.
Program penanggulangan kemiskinan dengan basis bantuan sosial yang
merupakan hal baru di Indonesia adalah program pemberian bantuan dana
bersyarat atau lebih dikenal dengan Conditional Cash Transfer (CCT) yang juga
banyak diadopsi di berbagai Negara sebagai strategi program bantuan sosial.
2
7
Karakteristik utama program CCT adalah mensyaratkan perilaku yang harus
dilakukan oleh penerima program. Perilaku tersebut umumnya terkait dengan
upaya investasi sumber daya manusia (SDM), seperti pendidikan, kesehatan, dan
perbaikan gizi anak anak. Program CCT pada skala besar di sejumlah Negara
berpenghasilan menengah terbukti memenuhi tujuan dasar yaitu : (i) mengurangi
kemiskinan, (ii) meningkatkan prestasi pendidikan, (iii) meningkatkan kesehatan
ibu dan anak, (iv) mengurangi kekurangan gizi. ( Rawlings dan Rubio, 2005).
Kebijakan penangulangan kemiskinan dengan basis pemberian bantuan
sosial yang ada setelah BLT adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yang
memberikan bantuan dana bersyarat. PKH merupakan Conditional Cash Transfer
(CCT) yang masuk kedalam kluster 1, dimana program bantuan sosial dan
perlindungan ditujukan untuk pemenuhan hak dasar seperti pendidikan dan
kesehatan, yang berdampingan dengan program Jamkesmas, Raskin, dan juga
BSM (Bantuan Siswa Miskin). Secara konseptual Program Keluarga Harapan
(PKH) adalah program yang memberikan bantuan tunai bersyarat kepada Rumah
Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang telah ditetapkan sebagai peserta PKH3.
Agar memperoleh bantuan, peserta PKH diwajibkan memenuhi
persyaratan dan komitmen yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan. Peningkatan bidang
pendidikan mewajibkan RTSM harus menyekolahkan anaknya yang masih
mempunyai usia sekolah minimal sampai tingkat sekolah menengah. Sedangkan
3
8
untuk bidang kesehatan, bagi RTSM yang mempunyai ibu hamil harus
memeriksakan kandungannya secara rutin ke puskesmas4.
Dari petunjuk operasional PKH, tujuan utama PKH adalah untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
terutama pada kelompok masyarakat miskin. Tujuan tersebut sekaligus sebagai
upaya mempercepat pencapaian target MDGs. Sedangkan tujuan secara khusus,
terdiri atas beberapa bagian: (a) meningkatkan kondisi sosial ekonomi RTSM; (b)
meningkatkan taraf pendidikan anak-anak RTSM; (c) meningkatkan status
kesehatan dan gizi ibu hamil, ibu nifas, dan anak di bawah 6 tahun dari RTSM;
dan (d) meningkatklan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan
kesehatan,khususnya bagi RTSM.5
Terkait dengan sumber pendanaan PKH, dinas sosial menginfokan bahwa
sumber dana PKH berasal dari APBN dan APBD, namun tidak dapat dipungkiri
juga bahwa negara juga meninjam uang dari luar negeri. Menurut pengamat
ekonomi, tercatat bahwa anggaran untuk kebijakan PKH berasal dari hutang luar
negeri yang bunganya akan dibayarkan lebih besar.6 Total anggaran PKH pada
tahun 2009 dan 2010 saja mencapai Rp. 1,1 Triliun, sedangkan untuk tahun 2011
naik hingga Rp. 1,3 Triliun, bertambah lagi pada tahun 2012 yang mencapai Rp.
1,6 Triliun, tahun 2013 menjadi 2,6 Triliun.7 Hal ini tentu saja akan semakin
4
http://pkh.depsos.go.id/index.php/2012-09-13-09-47-44/apa-itu-pkh, diunduh pada tanggal 25/5/2015
5
Tim Penyusun Pedoman Umum PKH. 2007. Pedoman Umum PKH 2007. Jakarta 6
http://www.beritasatu.com/makro/28615-program-keluarga-harapan-didanai-utang-luar-negeri.html,
diunduh pada tanggal 11 Oktober 2015
7 http://www.harianterbit.com/m/welcome/read/2014/07/15/208/0/29/PKH-Dituduh-Bermasalah,
9
membebankan anggaran negara yang hanya untuk sejumlah bantuan dana
langsung kepada masyarakat, disamping menjadi persoalan pula ketika
pelaksanaan program tersebut dirasa kurang efektif.
1.1.2. Kemiskinan dan Program Keluarga Harapan (PKH) di DIY
Di Indonesia Program Keluarga Harapan pertama kali di implementasikan
pada tahun 2007 dengan uji coba di tujuh provinsi (Sumatra Barat, DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Utara,dan Gorontalo). Sedangkan untuk
DIY, termasuk Kabupaten Bantul, PKH mulai dilaksanakan pada tahun 2008
berbarengan dengan Aceh, Sumatera Utara, Banten, Kalimantan Selatan, dan
Nusa Tenggara Barat (Nainggolan, 2012).
Meskipun berbagai program pengentasan kemiskinan, termasuk PKH yang
merupakan Conditional Cash Transfer (CCT) telah diterapkan sejak tahun 2008,
hingga Tahun 2013 angka kemiskinan di DIY masih sangat tinggi, seperti tertera
10
Tabel 1.1.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
di 10 Provinsi dengan Persentase Penduduk Miskin Tertinggi , September 2013
Propinsi Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin
(%)
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
Papua 45.41 1012.57 1057.98 5.22 40.72 31.53
Papua Barat 12.85 221.38 234.23 4.89 36.89 27.14 Nusa Tenggara Timur 98.05 911.10 1009.15 10.10 22.69 20.24
Maluku 51.11 271.40 322.51 7.96 26.30 19.27
Gorontalo 22.84 178.13 200.97 6.00 24.22 18.01
Bengkulu 97.66 222.75 320.41 17.29 17.97 17.75
Aceh 156.80 698.92 855.71 11.55 20.14 17.72
Nusa Tenggara Barat 364.08 438.37 802.45 18.69 16.22 17.25
DI Yogyakarta 325.53 209.66 535.18 13.73 17.62 15.03
Jawa Tengah 1870.73 2834.14 4704.87 12.53 16.05 14.44
Sumber : http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1488, diakses 28/5/2015 pukul 10.46.
Dari Tabel 1.1. dapat diketahui bahwa angka kemiskinan di DIY mencapai
15,03 persen atau turun sebesar 0,85 persen dari tahun sebelumnya sebesar 15,88
persen . Namun angka ini masih tetap diatas rata-rata angka kemiskinan nasional
yaitu 11,47 persen. DIY menempati ranking ke 9 dalam hal besaran prosentase
angka kemiskinan di Indonesia. Tingkat kemiskinan di DIY tetap menjadi
yang terbesar di antara seluruh Provinsi yang ada di Pulau Jawa. Sebenarnya
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengalokasikan dana Rp 327 miliar
untuk mengurangi angka kemiskinan penduduknya pada 2013. Meski demikian,
dengan dana sebesar itu, target pengurangan kemiskinan sebesar 2 persen hanya
11
Rakyat) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, dana itu mungkin saja salah
sasaran.8
Sedangkan Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan menurut
Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel. 1.2.
Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2011-2012
Kabupaten
/Kota September 2011 September 2012
Regency/City Garis Kemiskinan Penduduk Miskin Garis Kemiskinan Penduduk Miskin
Poverty Line Poor People Poverty Line Poor People
(Rp/kap/bulan -Rp/cap/month) Jumlah % (Rp/kap/bulan -Rp/cap/month) Jumlah % Total Total (000) (000) 1. Kulonprogo 240,301 92.8 23.62 256,575 92.4 23.32 2. Bantul 264,546 159.4 17.28 284,923 158.8 16.97 3. Gunungkidul 220,479 157.1 23.03 238,438 156.5 22.72 4. Sleman 267,107 117.3 10.61 288,048 116.8 10.44 5. Yogyakarta 314,311 37.7 9.62 340,324 37.6 9.38 DIY 257,909 564.3 16.14 270,110 562.1 15.88
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta, http://yogyakarta.bps.go.id
Dari Tabel 1.2. tersebut diketahui bahwa pada tahun 2012 jumlah
penduduk miskin terbanyak berada di Kabupaten Bantul sebesar 158.800 jiwa
dengan angka kemiskinan 16.97 persen dan masih diatas rata-rata angka
kemiskinan di DIY yaitu sebesar 15.88 persen. Sedangkan angka kemiskinan di
Kabupaten Gunung Kidul sebesar 22,72 persen dengan jumlah penduduk miskin
8
12
sebesar 156.500 jiwa. Angka kemiskinan terendah berada di Kota Yogyakarta
sebesar 9.38 persen dengan jumlah penduduk miskin 37.600 jiwa.
Tabel 1.3.
Kondisi Kemiskinan di Kab/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2008 s/d 2012
Tahun
Kulonprogro Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta
Jumlah (1000) % Jumlah (1000) % Jumlah (1000) % Jumlah (1000) % Jumlah (1000) % 2008 97920 26.85 164330 18.54 173620 25.96 125050 12.34 48110 10.81 2009 89910 24.55 158520 17.64 163670 24.44 117530 11.45 45290 10.05 2010 90060 23.15 146890 16.09 148730 22.05 117020 10.70 37830 9.75 2011 92760 23.62 159380 17.28 157090 23.03 117320 10.61 37340 9.62 2012 92400 23.32 158800 16.97 156500 22.72 116800 10.44 37600 9.38 Rata-rata penurunan - 0.71 - 0.31 - 0.65 - 0.38 - 0.29
Sumber : Bidang Perencanaan dan Statistik Bappeda DIY, 2014.
Dari Tabel 1.3. dapat diketahui bahwa disamping Kabupaten Bantul
merupakakan wilayah yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di DIY,
tingkat rata-rata penurunan angka kemiskinan di wilayah tersebut juga relatif kecil
jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Dari data diatas didapatkan
informasi bahwa rata-rata penurunan angka kemiskinan pertahun di Kabupaten
Bantul hanya sebesar 0.31%. Angka ini tentunya lebih kecil dibandingkan dengan
rata-rata penurunan kemiskinan di Kabupaten Kulonprogo, Gunung Kidul dan
Sleman.
Program Keluarga Karapan di Kabupaten Bantul baru bisa berjalan di
tahun 2008, program ini mencakup 5 Kecamatan yaitu: Sewon, Kasihan, Sanden,
13
yaitu Banguntapan dan Pandak. Kemudian pada tahun 2011 program ini sudah
mencakup semua kecamatan yang ada di Kabupaten Bantul.9
PKH dialokasikan pada daerah-daerah yang telah memenuhi syarat yang
sudah ditentukan. Di Kabupaten Bantul jumlah penerima bantuan PKH pada tahun
2012 sebanyak 3.166 RTSM, pada tahun 2013 sebanyak 2.913 RTSM dan pada
awal tahun 2014 sebanyak 13.598 RTSM yang tersebar di 17 Kecamatan.
Tabel 1.4.
Jumlah RTSM Per Kecamatan di Kabupaten Bantul Tahun 2012-2014 NO KECAMATAN JUMLAH RTSM TH 2012 TH 2013 TH 2014 1 BAMBANG LIPURO 263 224 1.103 2 BANGUNTAPAN 339 328 1.270 3 BANTUL 231 217 752 4 DLINGO 96 95 95 5 IMOGIRI 159 150 150 6 JETIS 142 139 970 7 KASIHAN 169 161 161 8 KRETEK 48 48 476 9 PAJANGAN 152 133 1.676 10 PANDAK 421 398 1.887 11 PIYUNGAN 146 142 1.055 12 PLERET 136 118 1.045 13 PUNDONG 235 209 914 14 SANDEN 142 130 130 15 SEDAYU 136 107 1.112 16 SEWON 139 130 130 17 SRANDAKAN 212 184 672 JUMLAH 3.166 2.913 13.598
Sumber : UPPKH Kabupaten Bantul Tahun 2014
Dari Tabel 1.4. diketahui bahwa Kecamatan Pandak memiliki jumlah
RTSM terbanyak dengan jumlah 421 RTSM pada tahun 2012, 398 RTSM pada
9
14
tahun 2013 dan pada awal tahun 2014 dengan jumlah 1.887 RTSM. Dari data
tersebut dapat diketahui bahwa Kecamatan Pandak merupakan wilayah yang
menjadi target sasaran terbesar dari Program Keluarga Harapan baik di Kabupaten
Bantul maupun di DIY. Hal ini tidaklah mengherankan karena Kecamatan Pandak
merupakan salah satu titik kantong kemiskinan yang ada di Bantul maupun di
DIY, seperti tertera pada gambar 1.1.
Gambar 1.1.
Titik-Titik Kantong Kemiskinan di DIY
Sumber : Bidang Perencanaan dan Statistik, Bappeda DIY 2014
Disamping masalah kemiskinan masih menjadi persoalan serius di DIY,
dalam implementasi PKH masih ditemukan berbagai permasalahan. BPK RI
masih menemukan permasalahan dalam pelaksanaan PKH Tahun 2012, antara
lain komitmen Pemerintah Daerah dalam mendukung PKH masih kurang, proses
validasi tidak sesuai ketentuan sehingga hasil validasi tidak akurat, proses
verivikasi atas komitmen peserta PKH terhadap kesehatan dan pendidikan belum
15
sehingga pembayaran bantuan menjadi kurang efektif dan monitoring
rutin/berkala dan evaluasi belum dilaksanakan sesuai dengan pedoman umum10.
Pelaksanaan PKH yang telah berjalan di Kabupaten Bantul Daerah
Istimewa Yogyakarta sejak tahun 2008, dijumpai adanya permasalahan antara
lain, masih adanya warga masyarakat penerima PKH dan non penerima PKH yang
belum memahami apa PKH, masih adanya anak peserta PKH bidang pendidikan
yang melanggar komitmen kehadiran minimal 85 % hari efektif sekolah11.
Untuk mengetahui bagimana program penanggulangan kemiskinan
berbasis CCT tersebut dilaksanakan, penulisan ini akan secara jelas menjelaskan
bagaimana implementasi program PKH tersebut berjalan dengan lokus penelitian
di Kecamatan Pandak Kabupaten Bantul. Untuk melihat implementasi ini penulis
menggunakan instrumen kebijakan sebagai pisau ukur untuk mengetahui
bagaimana PKH telah diterapkan. Lokasi Kecamatan Pandak merupakan daerah
yang paling banyak jumlah penduduk miskinnya, memiliki angka rata-rata
penurunan kemiskinan pertahun yang kecil serta merupakan wilayah dengan
target sasaran terbesar PKH di Kabupaten Bantul maupun di DIY.
Untuk mengetahui bagaimanakah implementasi kebijakan tersebut, maka
perlu adanya analisis terhadap implementasi kebijakan PKH. Misalkan saja adalah
bagaimana program tersebut mencapai target populasi yang tepat, bagaimana
koordinasi pelaksanaannya : mulai dari pendataan hingga pembayaran bantuan,
dan apakah kebijakan tersebut sudah sesuai yang diharapkan atau justru tidak
terutama pada implementasinya di Kecamatan Pandak.
10 http://www.bpk.go.id/news/efektivitas-program-keluarga-harapan
11
16 1.2. Rumusan Masalah
Program Keluarga harapan (PKH) merupakan salah satu program
penanggulangan kemiskinan berbasis CCT yang mempunyai tujuan untuk
meringankan beban pengeluaran keluarga miskin dan juga untuk meningkatkan
kemampuan keluarga miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan dan
pendidikan. Meskipun di Kabupaten Bantul maupun di DIY, PKH sudah mulai
dilaksanakan pada tahun 2008, namun hingga tahun 2013 angka kemiskinan di
DIY masih mencapai 15,03 persen. Angka ini masih tetap diatas rata-rata angka
kemiskinan nasional yaitu 11,47 persen. DIY menempati ranking ke 9 dalam hal
besaran prosentase angka kemiskinan di Indonesia. Tingkat kemiskinan di DIY
tetap menjadi yang terbesar di antara seluruh Provinsi yang ada di Pulau Jawa.
Sedangkan di Kabupaten Bantul yang merupakan salah satu Kabupaten di
Provinsi DIY dengan jumlah penduduk miskin terbanyak, angka kemiskinan juga
masih tinggi, yaitu : 16.97 persen dan masih diatas rata-rata angka kemiskinan di
DIY dan dengan rata-rata penurunan angka kemiskinan pertahun yang relatif
kecil.
Disaping itu, dalam implementasi PKH masih ditemukan berbagai
permasalahan. BPK RI masih menemukan permasalahan dalam pelaksanaan PKH
Tahun 2012, antara lain komitmen Pemerintah Daerah dalam mendukung PKH
masih kurang, proses validasi tidak sesuai ketentuan sehingga hasil validasi tidak
akurat, proses verivikasi atas komitmen peserta PKH terhadap kesehatan dan
17
Kemensos sehingga pembayaran bantuan menjadi kurang efektif dan monitoring
rutin/berkala dan evaluasi belum dilaksanakan sesuai dengan pedoman umum12.
Pelaksanaan PKH yang telah berjalan di Kabupaten Bantul sejak tahun
2008, dijumpai adanya permasalahan antara lain, masih adanya warga masyarakat
penerima PKH dan non penerima PKH yang belum memahami apa PKH, masih
adanya anak peserta PKH bidang pendidikan yang melanggar komitmen
kehadiran minimal 85 % hari efektif sekolah13.
Kecamatan Pandak merupakan salah satu titik kantong kemiskinan di
Kabupaten Bantul. Disamping itu, kecamatan Pandak memiliki jumlah peserta
PKH yang paling tinggi dibandingkan Kecamatan lainnya. Sehingga
permaslahan-permasalahan terkait ketepatan target populasi, koordinasi
pelaksanaan, dan keseusaian tujuan kebijakan tentunya lebih komplek dan sangat
menarik untuk diteliti.
Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas maka penelitian ini
menarik sebuah rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan
Pandak?
2. Bagaimanakah kinerja implementasi Program Keluarga Harapan (PKH) di
Kecamatan Pandak?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pelaksanaan Program
Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan Pandak?
12 http://www.bpk.go.id/news/efektivitas-program-keluarga-harapan
13
18 1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk melihat bagaimana proses pelaksanaan Program Keluarga Harapan
(PKH) di Kecamatan Pandak.
2. Untuk mengetahui kinerja implementasi Program Keluarga Harapan
(PKH) di Kecamatan Pandak.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap
pelaksanaan Program Keluarga Harapan di Kecamatan Pandak.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dan pembaca.
2. Dapat dijadikan sumber kajian ilmu pengetahuan yang ada dalam
penelitian.
3. Sebagai input yang berguna untuk serta bisa dijadikan sebagai bahan
evaluasi oleh Pemerintah Kecamatan Pandak dan Pemeritah Kabupaten
Bantul.
1.5. Penelitian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian mengenai Analisis program
penanggulangan kemiskinan berbasis Conditional Cash Transfer (CCT) (Studi
Kasus Implementasi Program Keluarga Harapan di Kecamatan Pandak), peneliti
sebelumnya telah melakukan tinjauan pustaka untuk mengetahui topik-topik
19
dijadikan referensi didalam mengembangkan penelitian yang akan dilakukan.
Sepanjang penelusuran peneliti ada beberapa penelitian yang mengkaji tentang
pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH), diantaranya seperti tertera dalam
Tabel 1.5. sebagai berikut:
Tabel 1.5. Penelitian terdahulu
mengenai pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH)
No Peneliti Uraian Lokasi
Penelitian
1. Ahmad
Nur Bakhtiar (2015)
Melakukan penelitian tentang implementasi dan faktor-faktor yang berperan dalam program
penanggulangan kemiskinan (PKH).
Implementasi dilihat dari aspek aturan, komitmen pelaksana dan kepatuhan pelaksana sudah berjalan dengan baik. Sedangkan faktor yang berperan dalam implementasi mendukung pelaksanaan PKH : Sumberdaya, Komunikasi sesama pendamping, Sikap Pelaksana, dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman 2. Mega Hendra Waty (2014)
Melakukan penelitian tentang kinerja pelaksanaan Program Keluarga Harapan ditinjau dari indikator kebijakan yaitu: bias, service delivery, frekuensi, cakupan, akses dan akuntabilitas dan tentang peran street level
bureaucrats dalam implementasi PKH.
Desa Caturharjo, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman 3. Lusan Solekhati (2014)
Melakukan penelitian tentang evaluasi implementasi PKH dalam memproteksi masyarakat miskin. Instrumen yang digunakan adalah sebagai mana yang dikatakan oleh Christopher Hood, yaitu: nodality (isi
20
kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan respon dari sasaran kebijakan), authority (kepatuhan dan daya tanggap dari pelaksana), treasure (pemanfaatan jasa pendamping), dan organization (karakteristik dari lembaga pelaksana). Gunung Kidul 4. Tri Ramadhan (2013)
Melakukan penelitian tentang jalannya implementasi PKH dengan kriteria penilaian implementasi : tepat waktu, tepat guna dan tepat sasaran, serta tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi program diambil dari teori Van Meter dan Van Horn (1975) yaitu factor organisasi dan factor lingkungan implementasi program.
Kecamatan Kelapa Gading, Kotamadya Jakarta Utara 5. Ika Ernawati (2013)
Melakukan penelitian tentang implementasi PKH dan faktor-faktor pendukung pelaksanaan PKH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan PKH sudah berjalan baik. Faktor-faktor yang mendukung pelaksanaan PKH meliputi : sumberdaya, dukungan publik, karakter badan pelaksana, serta kondisi sosial ekonomi dan politik
Kecamatan Sambungm acan, Kabupaten Sragen
Sumber : peneliti dari kajian literatur
Setelah membaca dan mempelajari hasil penelitian–penelitian tersebut,
peneliti mencoba untuk mengisi kekosongan analisa (gap analysis) terkait dengan
implemetasi sebuah program sekaligus sebagai positioning untuk mempertegas
keaslian sebuah penelitian. Penelitian ini menitik beratkan pada proses
pelaksanaan Program Keluarga Harapan, kemudian melihat bagaimana kinerja
21
program, yang diukur dengan indikator policy output, dengan pendekatan teori
Randal B. Ripley, dan juga sekaligus untuk melihat faktor-faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap kinerja implementasi Program Keluarga Harapan (PKH)
dengan objek penelitian pelaksanaan PKH di Kecamatan Pandak, Kabupaten
Bantul Tahun 2014. Sehingga penelitian ini diharapkan mampu memberikan
gambaran dan jawaban tentang apa dan bagaimana Program Keluarga Harapan