• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berbagai pengalaman pembangunan daerah beberapa negara berkembang menunjukkan baik kegagalan maupun keberhasilan pengembangan wilayah yang dapat menjadi pelajaran kita dalam mengembangkan strategi pengembangan wilayah bagi Indonesia. Kebijaksanaan pembangunan wilayah di Brazil, misalnya yang menggunakan konsep “growth poles” telah menunjukkan kegagalan konsep tersebut. Dengan adanya aglomerasi ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia yang pesat, kawasan Utara Brazil berkembang pesat sebagai pusat kegiatan eksplorasi pertambangan dan bisnis perkebunan yang memacu pertumbuhan investasi swasta dan teknologi ke wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang pesat ini berdampak pada semakin tertinggalnya pembangunan di wilayah Selatan yang kemudian berdampak pada kesenjangan ekonomi dan sosial antar dua wilayah tersebut (Haeruman, 2000)

Kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota melalui kutub- kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula diramalkan akan menciptakan trickle down effect (efek penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya malah menimbulkan pengurasan besar (massive backwash effect). Kegagalan strategi pertumbuhan yaitu tidak terjadinya trickle down effect dan spread effect karena aktifitas industri yang dikembangkan ternyata sebagian besar tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland-nya.

Salah satu alternatif pembangunan wilayah yang diharapkan dapat menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti itu adalah pengembangan wilayah dengan basis pengembangan kota-kota pertanian atau yang lebih dikenal dengan kawasan agropolitan. Konsep agropolitan sebetulnya merupakan konsep yang ditawarkan oleh Friedman dan Douglas (1975) atas pengalaman kegagalan pengembangan sektor industri di beberapa negara berkembang (khususnya di Asia) yang mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan, antara lain: (a)

(2)

terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk di kota-kota yang padat; (b) pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja, sementara daerah pinggiran relatif tertinggal; (c) tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang relatif tinggi; (d) pembagian pendapatan yang tidak merata (kemiskinan); (e) kekurangan bahan pangan, akibat perhatian pembangunan terlalu tercurah pada percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid industrialization); (f) penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (petani) dan (g) terjadinya ketergantungan pada dunia luar.

Seperti di negara-negara berkembang lainnya, dalam perspektif kewilayahan (regional) pembangunan di Indonesia mengalami ketidakadilan yang cukup menonjol antar wilayah dan ruang. Terjadinya disparitas pembangunan wilayah/ruang berupa dikotomi perdesaan (rural) dengan perkotaan (urban), Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI), Jawa dengan luar Jawa adalah bukti “ketidakseimbangan” pembangunan (Rustiadi, et. al, 2005).

Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi semakin besar karena wilayah-wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula dengan hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya juga menjadi lemah karena urbanisasi yang luar biasa.

Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangunan di kawasan perdesaan.

Meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan perdesaan malah berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1986). Implikasi dari keadaan tersebut menyebabkan tingginya laju urbanisasi dan kemiskinan di

(3)

perdesaan. Data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995) menjadi 40,5% (tahun 1998). Proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak sektor pertanian, ditandai dengan konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan, dimana di pantai utara Jawa mencapai kurang lebih 20%.

Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah menurunnya produktifitas pertanian (Djakapermana, 2003).

Kondisi ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta (Yudhohusodo, 2002). Berdasarkan kondisi tersebut, tidak berarti pembangunan perdesaan menjadi tidak penting, akan tetapi harus dicari solusi untuk mengurangi urban bias. Pengembangan kawasan agropolitan dapat dijadikan alternatif solusi dalam pengembangan kawasan perdesaan tanpa melupakan kawasan perkotaan.

Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. Melalui pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah tetap berada di kawasan agropolitan.

Di Indonesia, agropolitan menjadi salah satu program pemerintah melalui Departemen Pertanian dan menjadi pilihan bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi-nya. Konsep ini telah mulai dilaksanakan sejak tahun anggaran 2002. Pada tahap awal pengembangan kawasan agropolitan ini dilakukan di beberapa kabupaten percontohan antara lain yaitu: Kabupaten Agam (Provinsi Sumatera Barat), Kabupaten Rejanglebong (Provinsi Bengkulu), Kabupaten Cianjur (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Kulon Progo (Provinsi D.I.

Yogyakarta), Kabupaten Bangli (Provinsi Bali), Kabupaten Barru (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Boalemo (Provinsi Gorontalo).

(4)

Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi yang mengembangkan konsep agropolitan sebagai salah satu pendekatan dalam memacu pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Sebagai salah satu provinsi baru, Gorontalo berkembang pesat dan menjadi salah satu provinsi yang diperhitungkan di Kawasan Timur Indonesia. Dilihat dari potensi sumber daya alam, Gorontalo memiliki potensi yang layak dikembangkan dibidang pertanian, peternakan dan perikanan. Dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pengembangan wilayah, maka pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan 3 program unggulan yang diharapkan dapat memacu perkembangan sektor-sektor lainnya yang meliputi :

a. Pengembangan sumber daya manusia (SDM);

b. Pengembangan pertanian dengan menjadikan Gorontalo sebagai provinsi agropolitan, provinsi yang memiliki kompetensi di bidang pertanian;

c. Pengembangan ekonomi kelautan dengan sasaran peningkatan kinerja sektor perikanan dan pengembangan wilayah pesisir.

Sebagai salah satu sektor unggulan di Provinsi Gorontalo, pengembangan sektor pertanian dilaksanakan dengan pendekatan konsep pengembangan agropolitan dengan menetapkan jagung dan ternak sapi sebagai komoditas utama.

Konsep pengembangan agrobisnis jagung di Gorontalo dalam rangka mendukung program agropolitan didesain dalam dua model yakni demonstrasi plot (demplot) dan pengembangan. Demplot hanya dilaksanakan untuk jangka pendek (satu tahun) yang dimaksudkan sebagai proses penyuluhan dan pembelajaran petani serta meyakinkan investor bahwa pemerintah memiliki komitmen tinggi dalam peningkatan kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi.

Sementara untuk model pengembangan dilaksanakan dengan menggunakan aplikasi teknologi yang spesifik seperti perluasan areal tanam (PAT), peningkatan mutu intensifikasi (PMI) dan sisi off farm-nya dengan optimalisasi pengelolaan hasil, penyimpanan serta pemasarannya. Khusus untuk sektor peternakan diprioritaskan pada pengembangan sapi potong dan ayam buras yang diharapkan dengan berkembangnya ternak sapi ini akan mendorong industri pengolahan dan pasca panennya.

(5)

Sejak ditetapkan sebagai daerah pengembangan agropolitan pada tahun 2002 Gorontalo mulai berbenah diri dimulai dengan penyusunan program dan sosialisasi di Tilamuta (ibukota Kab. Boalemo), penetapan Kecamatan Randangan sebagai Kawasan Agropolitan untuk menjadi prioritas pembangunan hingga penetapan desa Motolohu sebagai desa pusat pertumbuhan. Selanjutnya pada tahun 2003 dilaksanakan Perencanaan dan Penyusunan Master Plan dan implementasinya beserta pengawasannya dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat di kawasan melalui lembaga pengelolaan agropolitan, Pemda setempat melalui tim Pokja, LSM, Akademisi dan Swasta.

Untuk mendukung usaha pertanian yang efisien yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi maka diperlukan infrastruktur pendukung. Pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan antara lain peningkatan jalan poros desa, perbaikan pasar desa, pembangunan kios pasar serta pembangunan pelataran dan prasarana pasar. Pembangunan prasarana dan sarana perdesaan melalui pengembangan agropolitan akan mendorong iklim berusaha yang kondusif antar sesama pelaku ekonomi perdesaan, terutama usaha mikro dan usaha kecil dalam mendukung pertumbuhan ekonomi desa serta penciptaan lapangan kerja.

Keberadaan prasarana dan sarana ini tidak saja akan memberdayakan potensi ekonomi yang ada di masing-masing kawasan perdesaan tersebut, tetapi juga akan menarik potensi dari luar wilayah termasuk investasi swasta dalam berbagai sektor usaha jasa maupun produksi.

Tabel 1 Investasi Kimpraswil pada Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kecamatan Randangan

No. Tahun Program Volume Biaya

1 2 3

4 5

2002 2002 2003

2003 2003

Peningkatan Jalan Poros Desa

Perbaikan Pasar Desa Peningkatan Jalan Poros Desa

Pembangunan Kios Pasar Pembangunan Pelataran dan Prasarana Pasar

3.081 m 3 Unit 5.081 m

20 Unit 1 Paket

390.690.000 299.940.000 1.616.200.000

200.000.000 170.459.000 Sumber : Dinas Kimpraswil, 2003

(6)

Pendekatan pambangunan ekonomi dan wilayah berbasis agropolitan yang diimplementasikan dengan pilar utama penggerak ekonomi yaitu sektor pertanian dan perikanan dipacu dan diharapkan dapat menarik perkembangan sektor-sektor yang lainnya. Dalam konsep agropolitan, fungsi kota lebih dititikberatkan sebagai pusat kegiatan non pertanian dan pusat administrasi, bukan sebagai pusat pertumbuhan. Sementara itu, desalah yang diarahkan sebagai pusat pertumbuhan. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang baik, kota dan desa harus berperan dan menjalankan fungsi-fungsi tersebut.

Kebijakan pembangunan perdesaan yang dilakukan selama ini belum mampu memberikan perubahan yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karenanya, pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat memberikan solusi bagi masalah perdesaan tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi kedua wilayah tersebut selama ini secara fungsional ada dalam posisi yang saling memperlemah.

Berdasarkan hasil studi Hastoto (2003), dikemukakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan di Provinsi Gorontalo masih menunjukkan adanya kesenjangan antar kabupaten/kota dalam provinsi maupun antara kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo dengan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara. Sejalan dengan hal tersebut hasil studi P4W (2002), mengemukakan bahwa secara umum wilayah provinsi Gorontalo mengalami fenomena backwash effect, dalam arti akumulasi aliran netto nilai tambah berlangsung keluar wilayah terutama ke Bitung/Manado, Makasar atau langsung ke luar negeri. Penyebab utama aliran netto nilai tambah negatif adalah karena keterbatasan akses Gorontalo ke pasar ekspor langsung, kapasitas pengolahan (industri pengolahan) setempat yang terbatas, disamping lemahnya kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan lokal.

(7)

Oleh karenanya untuk memacu pembangunan dan pengembangan wilayahnya, Pemerintah Provinsi Gorontalo menerapkan pendekatan konsep agropolitan. Pengembangan kawasan agropolitan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan wilayah berbasis komunitas lokal dijadikan acuan untuk membangun kualitas pertanian di Provinsi Gorontolo. Pengembangan agropolitan berbasis jagung merupakan salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut. Diharapkan dengan pendekatan ini partisipasi aktif masyarakat dapat terkristalisasi secara terpadu melalui pengembangan sistem agribisnis terpadu dalam rangka memperoleh nilai tambah produksi serta peningkatan jumlah produksi pertanian. Sehingga pada gilirannya akan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat petani.

Tabel 2 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan Provinsi Gorontalo Tahun 2001 dan 2005

LUAS PANEN (Ha)

PRODUKSI (Ton)

PRODUKTIVITAS (Ku/Ha) NO JENIS

KOMODITAS

2001 2005 2001 2005 2001 2005

1. Padi 35.639 39.110 158.870 167.153 44,56 42,74 2. Jagung 36.610 107.525 81.720 400.046 22,32 37,13 3. Kedelai 1.845 2.907 2.173 4.038 11,78 13,89 4. Kacang tanah 3.202 4.341 3.627 5.378 11,33 12,39 5. Kacang hijau 248 595 249 726 10,04 12,20 6. Ubi kayu 1.185 1.048 12.233 12.211 103,23 116,52 7. Ubi jalar 618 352 5.325 3.308 86,17 93,99 Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo, 2006

Sebagai komoditi unggulan yang merupakan basis ekonomi di Provinsi Gorontalo, komoditas jagung mengalami perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun baik dalam luas panen maupun jumlah produksi. Pada tahun 2005 luas panen jagung mencapai 107.525 hektar dengan produksi mencapai 400.046 ton.

Luas panen komoditi unggulan jagung mencapai 68,98 persen dari total luas panen Tanaman Pangan Di Provinsi Gorontalo. Perdagangan antar pulau dan

(8)

ekspor jagung Gorontalo tahun 2005 mencapai 127.561 ton yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah ini.

Sejak dicanangkan sebagai provinsi pengembangan agropolitan, perkembangan pembangunan Gorontalo menunjukkan peningkatan yang signifikan. Jika dilihat dari indikator makro, provinsi Gorontalo sebagai provinsi muda hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara mengalami kemajuan yang menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dimana PDRB nominal meningkat dari Rp. 1,82 trilyun tahun 2001 menjadi Rp. 2,15 trilyun tahun 2002 dan meningkat menjadi Rp. 3,39 trilyun tahun 2005 (Tabel 3).

Tabel 3 PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 - 2005 (jutaan rupiah)

Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005

1.Pertanian 2.Pertambangan dan Penggalian 3.Industri Pengolahan 4.Listrik,Gas dan Air Bersih 5.Bangunan 6.Perdagangan, Hotel & Rest 7.Pengangkutan & Komunikasi 8.Keuangan 9.Jasa-jasa

542.101,01 14 .591,80 189.457,97 10.964,53

127.022,00 272.192,33 194.147,21

122.597,97 349.749,47

660.587,16 16.074,16 186.766,05 16.927,87

171.100,04 330.452,99 198.063,65

145.357,30 423.086,86

804.664,88 18.621,26 197.690,30 21.571,03

172.349,21 348.528,02 200.320,02

213.620,95 502.354,01

853.680,92 22.668,11 232.691,45 25.546,01

184.062,42 371.749,37 236.354,80

288.805,96 585.985,29

981.125,31 33.195,64 50.029,58 27.381,55

218.937,40 410.987,30 280.828,24

364.595,77 819.785,13

Total 1.822.824,30 2.148.436,09 2.479.719,69 2.801.544,32 3.386.865,92

Sumber : BPS, 2006.

Pertumbuhan ekonomi Gorontalo meningkat dari 5,38 % pada 2001 sebelum pengembangan agropolitan menjadi 7,06 % pada tahun 2005, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar agropolitan memiliki kontribusi dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi Gorontalo tersebut?

Pertumbuhan penduduk selang 4 tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 1,83% per tahun. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, jumlah angkatan kerja di Provinsi Gorontalo tiap tahun juga mengalami kenaikan.

(9)

Tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 12,29% dari angkatan kerja menurun menjadi 9,78% pada tahun 2005.

Tabel 4 Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun keatas Provinsi Gorontalo

Jumlah Penduduk 2002 2003 2004 2005

Penduduk Usia 15+ 568.863 581.763 602.175 617.746 Angkatan Kerja 329.358 347.365 368.985 388.184

Bekerja 285.966 312.882 323.625 350.191

Pengangguran 43.392 34.483 45.360 37.993 Sumber : BPS, 2006

Pertumbuhan perekonomian Gorontalo mengalami peningkatan, namun sebaran kontribusi dari masing-masing sektor belum merata. Sektor pertanian yang masih mendominasi dalam kontribusi PDRB merupakan salah satu ciri khas dari kawasan perdesaan. Kontribusi sektor pertanian pada tahun 2003 setelah pengembangan agropolitan sebesar 32,45% dari total PDRB diharapkan dapat menjadi pendorong bagi perkembangan sektor-sektor yang lainnya.

Tabel 5 Kontribusi Sektor-sektor Ekonomi terhadap PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2005

Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005

1. Pertanian

2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik,Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel & Rest 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan 9. Jasa-jasa

29,74 0.80

10.39 0.60

6.97 14.93 10.65

6.73 19.19

30,75 0,75

8,69 0,79

7,96 15,38

9,22

6,77 19,69

32,45 0,75

7,97 0,87

6,95 14,06

8,08

8,61 20,26

30,47 0,81

8,31 0,91

6,57 13,27

8,44

10,31 20,92

28,04 0,95

7,18 0,79

6,29 11,89

8,07

10,48 26,31

Total 100 100 100 100 100

Sumber: BPS tahun 2006, diolah.

(10)

Disamping itu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak selalu diikuti dengan berkurangnya berbagai kesenjangan dalam wilayah. Kesenjangan yang ada seperti kesenjangan pendapatan, fasilitas pelayanan, pertumbuhan ekonomi, dan lainnya yang sering terjadi di perdesaan dapat menyebabkan terjadinya keterbelakangan dan kemiskinan yang dalam jangka panjang pada akhirnya dapat mengakibatkan kemandekan pertumbuhan itu sendiri.

Di kawasan pengembangan agropolitan sendiri dalam hal ini Kabupaten Pohuwato masih terdapat banyak permasalahan seperti masih tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat pengetahuan petani dan masih terbatasnya sarana–

prasarana penunjang yang ada menjadi factor penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan agropolitan basis jagung di daerah ini.

Untuk melengkapi penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap pelaksanaan agropolitan di Provinsi Gorontalo sejak pelaksanaannya tahun 2002, dengan mengakomodasi penelitian yang pernah ada sebelumnya maka penelitian ini dimaksudkan untuk melihat apakah pengembangan agropolitan berbasis jagung yang dilaksanakan di Kabuapen Pohuwato Provinsi Gorontalo mampu menggerakkan perekonomian wilayah serta meningkatkan pendapatan masyarakat petani atau belum. Hal ini penting untuk dilakukan agar dapat diperoleh gambaran kondisi karakteristik perekonomian setelah 5 tahun pelaksanaan agropolitan sehingga dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk mengembangkan perekonomian kawasan agropolitan kedepan.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di atas maka dirumuskan batasan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu :

1. Apakah pengembangan kawasan agropolitan berbasis jagung berperan dalam pertumbuhan ekonomi?

2. Apakah pengembangan kawasan agropolitan berperan terhadap peningkatan pendapatan petani jagung?

3. Sejauhmana masyarakat telah dilibatkan dalam program pengembangan kawasan agropolitan berbasis jagung ?

4. Strategi Pembangunan seperti apa yang mampu mendorong pengembangan ekonomi kawasan agropolitan ?

(11)

1.3. Tujuan Penelitian :

1. Menganalisis dampak pengembangan agropolitan basis jagung terhadap perekonomian wilayah.

2. Menganalisis dampak pengembangan agropolitan terhadap pendapatan petani jagung.

3. Mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan agropolitan basis jagung.

4. Merumuskan strategi pembangunan yang dapat mendorong pengembangan ekonomi kawasan agropolitan.

1.4. Manfaat Penelitian :

1. Dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi Pemerintah dan instansi terkait dalam rangka pengembangan pertanian berbasis agropolitan.

2. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang pembangunan wilayah .

3. Sebagai acuan dimasa datang untuk pihak-pihak yang mempunyai relevansi dengan pengembangan kawasan berbasis agropolitan.

(12)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Pengembangan Kawasan Agropolitan di Provinsi Gorontalo pada awalnya berada di Kabupaten Boalemo yaitu di Kecamatan Randangan. Namun sejak tahun 2003 Kabupaten Boalemo dimekarkan menjadi Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Pohuwato. Karena keterbatasan biaya dan waktu maka penelitian ini hanya dilakukan di Kabupaten Pohuwato. Pemilihan Kabupaten Pohuwato karena pertimbangan bahwa setelah pemekaran Kecamatan Randangan sebagai kawasan agropolitan secara administratif berada di Kabupaten Pohuwato. Sebagai kawasan agropolitan, Kecamatan Randangan memiliki kondisi infrastruktur pendukung yang relatif memadai.

Adapun sebagai pembanding di pilih kawasan yang belum tersentuh dengan program agropolitan dalam hal ini Kecamatan Taluditi. Pemilihan Kecamatan Taluditi sebagai Kawasan Non Agropolitan adalah karena Kecamatan Taluditi masih berada dalam cakupan Kabupaten Pohuwato dan berbatasan secara administratif dengan Kecamatan Randangan. Selain itu, infrastruktur pendukung agropolitan belum berkembang di Kecamatan Taluditi.

Gambar

Tabel  1   Investasi    Kimpraswil  pada  Pengembangan Kawasan Agropolitan                  di Kecamatan Randangan
Tabel  3  PDRB Gorontalo Atas Dasar Harga  Berlaku Menurut Lapangan Usaha  Tahun  2001 - 2005  (jutaan rupiah)
Tabel 5  Kontribusi Sektor-sektor Ekonomi terhadap PDRB Gorontalo Atas Dasar   Harga Berlaku Tahun 2001-2005

Referensi

Dokumen terkait

Cuplikan percakapan berikut sebagai contoh adanya penggunaan kode yang berwujud bahasa asing dalam percakapan novel Ney Dawai Cinta Biola karya Hadi S.. Arifin

kot ke pelaku pasar (Identifikasi Persoalan) Pembentukan lembaga khusus Penataan Terpadu Kawasan Arjuna sbd perwakilan stakeholder Persiapan Penilaian (Tahap Perencanaan)

1) Mengembangkan kurikulum mata pelajaran IPS. a) Menelaah prinsip-prinsip pengembangan kurikulum IPS. b) Memilih pengalaman belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran IPS.

Berdasarkan analisis data penelitian dengan bantuan program SPSS di dapat nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,675 yang menunjukkan bah- wa hubungan antara variabel

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah virus Covid-19 adalah dengan menerapkan perilaku Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di mana dalam penerapannya

Reaktivitas : Tidak ada data tes khusus yang berhubungan dengan reaktivitas tersedia untuk produk ini atau bahan bakunya... Stabilitas

Berdasarkan hasil statistik yang telah dilakukan serta hasil uraian pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu variabel pertumbuhan kredit dan

Hasil dari tahap ini, terbentuk sebuah pola perilaku jaringan pada kondisi normal sebagai model awal untuk deteksi atas anomali yang disebabkan oleh