• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Bank

Pengertian Bank menurut Lukman (2005 : 14) adalah sebagai berikut :

Bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuanga (financial intermediaries) yang menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana (idle fund surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) pada waktu yang ditentukan.

B. Prinsip Kehati-hatian Bank (Prudential Banking)

“Prinsip kehati-hatian adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan

bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya” (Mulhadi, 2005:12)

“Prinsip prudential Banking, yaitu prinsip kehatihatian bank dalam mengoperasikan usahanya agar tetap dalam kondisi kinerja yang baik dan memenuhi kriteria bank sehat” (Ahmad : 2007).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) merupakan ketentuan, asas atau prinsip yang wajib dilaksanakan bank dalam melakukan kegiatan usahanya untuk meminimalkan

(2)

risiko perbankan dalam rangka menjaga dana masyarakat yang dipercayakan dan menjaga kinerja yang baik serta memenuhi kriteria bank yang sehat.

1. Asas Kehati-hatian

Asas kehati-hatian menurut Ketut ( 2006 : 126 ) adalah :

Asas kehati-hatian agar kondisi bank tetap sehat, yang perlu dicermati meliputi antara lain faktor likuiditas, modal, kualitas asset, rentabilitas atau efisiensi dan manajemen.

a. Faktor likuiditas

Faktor likuiditas merupakan faktor pertama yang mendapat perhatian. Karena kondisi bank bisa sangat dipengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Sehingga posisi likuiditas sangat perlu dijaga dan dipelihara.

a. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)

Merupakan salah satu prinsip kehatihatian yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit baik kepada pemegang saham maupun kepada masyarakat pada umumnya.

b. Modal

Modal merupakan faktor yang penting bagi bank dalam rangka pengembangan usaha yang sehat dan dapat menampung resiko kerugian. Secara teknis, kewajiban penyediaan modal minimum diukur dengan CAR. Capital adequency Ratio (CAR) merupakan salah satu prinsip yang mengatur mengenai kecukupan modal yang harus ditaati oleh bank.

c. Kualitas Aset

Rentabilitas asset memiliki konsekuensi akan adanya kewajiban bank untuk menyediakan cadangan, sehingga tidak membahayakan eksistensinya.

d. Rentabilitas

Indikator untuk pencapaian rentabilitas atau efisiensi adalah Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE) dan Net Interest Margin (NIM).

e. Manajemen

Indikator manajemen mencakup komponen manajemen likuiditas, manajemen kualitas aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas dan manajemen permodalan.

C. Pengertian Kredit

Undang-Undang Perbankan Nomor 10 (1998) mendefinisikan kredit sebagai berikut :

(3)

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

D. Tujuan Kredit

Dahlan (2004) menyatakan bahwa tujuan utama pemberian suatu kredit bagi perbankan antara lain adalah :

1. Kredit komersil merupakan kredit yang diberikan untuk memperlancar kegiatan usaha nasabah dibidang perdagangan.

2. Kredit konsumtif merupakan kredit yang diberikan oleh bank untuk memenuhi kebutuhan debitur yang bersifat konsumtif.

3. Kredit produktif merupakan kredit yang diberikan oleh bank dalam rangka membiayai kebutuhan modal kerja debitur sehingga dapa memperlancar produksi.

E. Analisis Penyaluran Kredit

Sebelum menyalurkan kreditnya, bank terlebih dahulu melakukan analisa kredit terhadap calon debiturnya. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir rasio kredit (piutang) tak tertagih.

Analisis Kredit menurut Lukman (2005:88) adalah sebagai berikut :

Analisis kredit atau penilaian kredit adalah suatu proses yang dimaksudkan untuk menganalisis atau menilai suatu permohonan kredit sehingga dapat memberikan keyakinan kepada pihak Bank bahwa proyek yang dibiayasi dengan kredit Bank cukup layak (feasible).

Analisis kredit menurut Jopie (2010) dapat menggunakan analisis 5 C yaitu : 1) Character

Seperti telah diuraikan di muka, dasar dari suatu pemberian kredit adalah kepercayaan. Jadi yang mendasari suatu kepercayaan dari pihak bank yaitu adanya keyakinan bahwa debitur memiliki moral, watak ataupun sifat-sifat pribadi yang positif dan kooperatif dan juga mempunyai rasa tanggung jawab.

(4)

2) Capacity

Maksud dari penilaian terhadap capacity ini adalah untuk menilai sampai dimana kemampuan calon debitur memperoleh hasil usahanya dan mampukah untuk melunasi kewajibannya tepat waktu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya.

3) Capital

Yaitu jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur.

Penilaian terhadap capital ini harus dilakukan karena seorang calon debitur yang telah menanamkan dananya dalam proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan kredit yang diperolehnya dari bank maka akan melakukan usahanya dengan sebaik mungkin agar tidak mengalami kerugian.

4) Collateral

Yang dimaksud dengan collateral, yaitu barang-barang jaminan yang diserahkan oleh debitur sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya. Manfaat collateral yaitu sebagai alat pengamanan apabila usaha yang dibiayai dengan kredit tersebut gagal atau sebab-sebab lain dimana debitur tidak mampu melunasi kreditnya dari hasil usahanya yang normal.

5) Condition Of Economy

Maksud penilaian terhadap condition of economy adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana kondisi-kondisi perekonomian suatu negara atau daerah akan memberikan dampak yang bersifat positif maupun negatif terhadap perusahaan yang memperoleh kredit tersebut.

F. Peraturan Bank Indonesia Tentang Kebijakan Kredit

Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank.

Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank berasal dari dana masyarakat, maka pemberian kredit perbankan banyak dibatasi oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.

Undang-Undang Perbankan telah mengamanatkan agar bank senantiasa berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan usahanya,

(5)

termasuk dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan juga menetapkan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit oleh perbankan. Beberapa regulasi dimaksud antara lain adalah regulasi mengenai Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Kredit Bank bagi Bank Umum, Batas Maksimal Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas Aktiva, Sistem Informasi Debitur, dan pembatasan lainnya dalam pemberian kredit.

Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Kredit Bank bagi Bank Umum Sebagaimana telah dikemukakan, bank dalam melakukan kegiatan usaha terutama dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus berpegang pada azas-azas kredit yang sehat guna melindungi dan memelihara kepentingan dan kepercayaan masyarakat. Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan azas-azas kredit yang sehat, maka diperlukan suatu kebijakan kredit yang tertulis.

Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia (BI) telah menetapkan ketentuan mengenai kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan kredit bank berdasarkan pedoman penyusunan kebijakan kredit bank dalam SK Dir BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia tersebut, Bank Umum wajib memiliki kebijakan kredit bank secara tertulis yang disetujui oleh

(6)

dewan komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai berikut :

1. Prinsip Kehati-hatian dalam Kredit

Dalam setiap Kebijakan Perkreditan Bank wajib dimuat dan ditetapkan secara jelas dan tegas adanya prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, yang sekurang-kurangnya harus meliputi kebijakan pokok dalam perkreditan, tata cara penilaian kredit, profesionalisme, integritas pejabat perkreditan serta pengertian dan asas asas kehati-hatian yang meliputi : faktor likuiditas, batas maksimum pemberian kredit, modal, kualitas asset, rentabilitas dan manajemen.

2. Organisasi dan Manajemen Kredit a. Perangkat Perkreditan

Untuk lebih mendukung pemberian kredit yang sehat dan telah mengandung unsur pengendalian intern mulai tahap awal proses kegiatan perkreditan, maka disamping keterkaitan pejabat-pejabat bank dalam perkreditan seperti dewan komisaris, direksi dan pejabat perkreditan lainnya dan atau satuan-satuan kerja dalam organisasi bank, setiap bank wajib memiliki Komite Kebijaksanaan Perkreditan (KKP) dan Komite Kredit (KK).

b. Pencantuman Fungsi, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab di Bidang Perkreditan

(7)

Dalam kebijakan perkreditan bank wajib dicantumkan secara jelas dan tegas rincian fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawab dewan komisaris, direksi, satuan kerja perkreditan, Komite Kebijaksanaan Perkreditan (KKP) dan Komite Kredit (KK) dalam kaitannya dengan perkreditan.

c. Komite Kebijaksanaan Perkreditan (KKP)

Bank wajib memiliki KKP yang merupakan komite yang membantu direksi bank dalam meriumuskan kebijaksanaan, mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan, memantau perkembangan dan kondisi portofolio perkreditan serta memberikan saran-saran langkah perbaikan.

d. Komite Kredit (KK)

Bank wajib memiliki sekurang-kurangnya KK pada kantor pusat bank yang merupakan komite operasional yang membantu direksi dalam mengevaluasi dan atau memutuskan permohonan kredit untuk jumlah dan jenis kredit yang ditetapkan oleh direksi.

e. Satuan Kerja Perkreditan (SKP)

Direksi bank dapat menetapkan bentuk, cakupan tugas dan kewenangan Satuan Kerja Perkreditan (SKP) sesuai dengan kebutuhan masing-masing bank. Dalam kaitan ini, setiap pejabat dan pegawai dari SKP termaksud

(8)

sekurang-kurangnya wajib :

1) Menanti semua ketentuan yang ditetapkan dalam KPB

2) Melaksanakan tugasnya secara jujur, obyektif, cermat dan seksama

3) Menghindarkan dari dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit yang dapat merugikan bank.

3. Kebijakan Persetujuan Kredit

Kebijakan perkreditan bank juga harus memuat kebijaksanaan persetujuan kredit yang sekurang-kurangnya mencakup konsep hubungan total permohonan kredit, penetapan batas wewenang kredit, tanggung jawab pejabat pemutus kredit, proses persetujuan kredit, perjanjian kredit dan persetujuan pencairan kredit.

a. Konsep Hubungan Total Pemohon Kredit

Persetujuan pemberian kredit tidak boleh didasarkan semata-mata atas pertimbangan permohonan untuk satu transaksi atau satu rekening kredit dari pemohon, namun harus atas dasar penilaian seluruh kredit dari pemohon kredit yang telah diberikan dan atau akan diberikan secara bersamaan oleh bank atau yang dikenal dengan istilah konsep hubungan total pemohon kredit (total relationship concept). Pengertian pemohon kredit tersebut juga meliputi seluruh perusahaan maupun perseorangan yang terkait dengan

(9)

pemohon kredit yang telah mendapat fasilitas kredit atau akan diberikan kredit secara bersamaan oleh bank. Persetuijuan pemberian kredit atas dasar konsep hubungan total pemohon kredit sebagaimana dikemukakan di atas harus tercermin dalam analisis kredit.

b. Penetapan Batas Wewenang Persetujuan Kredit

Pengaturan batas wewenang Persetujuan kredit sekurang-kurangnya meliputi :

1) Dalam KPB harus dimuat mengenai dasar pertimbangan dan kriteria pengaturan batas wewenang persetujuan kredit. Penetpan batas wewenang untuk menyetujui pemberian kredit bagi setiap pejabat harus dituangkan secara tertulis dalam keputusan direksi, yang sekurang-kurangnya memuat jumlah kredit dan pejabat yang ditunjuk.

2) Setiap pemberian kredit harus memperoleh perstujuan dari pejabat yang berwenang memutus kredit dan setiap persetujuan kredit harus dilakukan secara tertulis.

c. Tanggung Jawab Pejabat Pemutus Kredit

Tanggung jawab pejabat pemutus kredit sekurang-kurangnya meliputi hal- hal, sebagai berikut :

1) Memastikan bahwa setiap kredit yang diberikan telah memenuhi ketentuan

(10)

perbankan dan sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat.

2) Memastikan bahwa pelaksanaan pemberian kredit telah sesuai dengan KPB dan pedoman Pelaksanaan Kredit (PPK).

3) Memastikan bahwa pemberian kredit telahdidasarkan pada penilaian yang jujur, obyektif, cermat dan seksama serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit.

4) Meyakini bahwa kredit yang akan diberikan dapat dilunasi kembali pada waktunya dan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah.

d. Proses Persetujuan Kredit

Proses persetujuan kredit sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu permohonan kredit, analisis Kredit, rekomendasi pesetujuan kredit, pemberian persetujuan kredit, perjanjian kredit, persetujuan pencairan kredit.

4. Dokumentasi dan Administrasi Kredit a. Dokumentasi Kredit

Mengingat dokumentasi kredit merupakan salah satu aspek penting yang dapat menjamin pengembalian kredit, maka bank wajib melaksanakan dokumentasi kredit yang baik dan tertib yang meliputi :

(11)

1) Jenis Dokumen Kredit

Bank harus menetapkan jenis-jenis dokumen yang dperlukan sesuai dengan jenis kredit yang diberikan.

2) Pengecekan keabsahan Dokumen Kredit

Bank harus memastikan keabsahan dan dipenuhinya persyaratan hukum atas setiap dokumen kredit yang akan diterbitkan oleh bank atau yang diterima dari pemohon kredit.

3) Penyimpanan dan Penggunaan Dokumen Kredit

Setiap Dokumen kredit harus disimpan dengan amandan tertib. Tata cara penggunaan atau pengambilan dokumen kreditdari tempat penyimpanannya harus mengandung unsure pengawasan ganda.

b. Administrasi Kredit

Mengingat administrasi kredit sangat diperlukan dalam rangka penilaian dan perkembangan dan kualitas kredit. Pengawasan kredit, perlindungan kepentingan bank, bahan masukan untuk penyusuanan KPB dan laporan kepada Bank Indonesia, maka bank perlu mengatur administrasi perkreditannya dengan baik dan tertib sebagai berikut :

(12)

1) Penatausahaan kredit

Seluruh kredit yang diberikan oleh bank, tanpa pengecualian harus dicatat dan dibukukan secara benar, lengkap dan akurat.

2) Tata Cara Pengadministrasian Kredit

Tata cara pengadministrasian kredit haruis mengandung unsure pengendalian intern dan mencakup sekurang-kurangnya :

a) Penetapan pejabat dan/ atau satuan kerja yang bertanggung jawab dalam pengadminitrasian kredit.

b) Jenis-jenis dokumen/berkas/warkat yang wajib ditatausahakan.

c) Tata cara penatausahaannya.

d) Tata cara penyusunan statistik perkreditan.

5. Pengawasan kredit

a. Prinsip Pengawasan Kredit

Mengingat perkreditan merupakan salah satu kegiatan usaha bank yang mengandung kerawanan yang dapat merugikan bank yang pada gilirannya dapat berakibat pada kepentingan masyarakat penyimpan dana dan pengguna jasa perbankan, maka setiap bank wajib menerapkan dan

(13)

melaksanakan fungsi pengawasan kredit yang bersifat menyeluruh, dengan prinsp-prinsip sebagai berikut :

1) Fungsi pengawasan kredit harus diawali dari upaya yang bersifat pencegahan sedini mungkin terjadinya hal-hal yang dapat merugikan bank dalam perkreditan atau terjadinya praktek pemberian kredit yang tidak sehat. Dalam kaitan ini, hal tersebut harus tercermin dalam struktur pengendalian intern bank yang terkait dengan perkreditan.

2) Pengawasan kredit juga harus meliputi pengawasan sehari-hari oleh manajemen bank atas setiap pelaksanaan pemberian kredit atau yang lazim dikenal dengan istilah pengawasan melekat.

3) Pengawasan kredit juga harus meliputi audit intern terhadap semua aspek perkreditan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Audit Internal.

b. Objek Pengawasan Kredit

Pengawasan kredit harus meliputi semua aspek perkreditan serta semua objek pengawasan tanpa melakukan pengecualian.

c. Struktur Pengendalian Intern Perkreditan

Setiap bank harus mempunyai struktur pengendalian intern yang memadai dalam perkreditan yang mampu menjamin bahwa dalam pelaksanaan perkreditan dapat dicegah terjadinya penyalahgunaan wewenang

(14)

oleh berbagai pihak yang dapat merugikan bank dan terjadinya praktek pemberian kredit yang tidak sehat.

d. Pengawasan Melekat

Bank harus menerapkan fungsi pengawasan melekat yang memadai, yaitu:

1) Direksi bank menetapkan pejabat-pejabat dan atau satuan kerja yang bertanggung jawab atas pelaksanaan fungsi pengawasan melekat, dengan memperhatikan prinsip pemisahan fungsi operasional dan pengawasan.

2) Fungsi pengawasan kredit dapat berupa pengawasan langsung maupun pengawasan tidak langsung terhadap pemberian kredit berdasarkan penetapan direksi bank.

f. Audit Intern Perkreditan

Audit intern terhadap perkreditan meruakan upaya lanjutan dalam pegawasan kredit untuk lebih memastikan bahwa pemberian kredit telah dilakukan dengan benar sesuai dengan KPB dan telah memenuhi prinsip perkreditan yang sehat serta mematahi ketentuan yang berlaku dalam perkreditan, untuk itu :

1) Bank wajib melaksanakan audit intern terhadap pelaksanaan pemberian kredit.

(15)

2) Pelaksanaan audit intern terhadap perkreditan sekurang kurangnya harus sesuai dengan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank (SPFAIB) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

6. Penyelesaian Kredit Bermasalah a. Pendekatan Kredit Bermasalah

Sekalipun bank tidak mengharapkan terjadinya kredit bermasalah dan dengan ditetapkannya kebijakan perkreditan bank secara konsekuen dan konsisten diharapkan dapat di cegah timbulnya kredit bermasalah, namun seluruh pejabat bank terutama yang terkait dengan perkreditan harus memiliki kredit bermasalah,dengan pendekatan sebagai berikut:

1) Bank tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit bermasalah.

2) Bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau di duga akan menjadi kredit bermasalah.

3) Penanganan kredit bermasalah atau di duga akan menjadi kredit bermasalah juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin.

4) Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah plafond kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau yang lazim dikenal

(16)

dengan praktek plafondering kredit.

5) Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu.

b.Kredit dalam Pengawasan Khusus

Dalam upaya untuk meningkatkan pengetahuan secara dini terhadap kredit- kredit yang akan atau di duga akan merugikan bang, maka bank wajib melakukan pengawasan secara khusus, yang sekurang-kurangnya mencangkup langkah-langkah:

1) Setiap bulan bank wajib menyusun daftar atas kredit-kredit yang kolekbilitasnya tergolong Kurang Lancar, Diragukan dan Macet dan yang kolektibilitasnya masih tergolong Lancar namun cenderung memburuk pada bulan-bulan selanjutnya. Bentuk dan format daftar tersebut dapat ditetapkan oleh masing-masing bank.

2) Penentuan kolektibilitas tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan oleh Bank Indonesia.

3) Dalam penetapan kolektilibilitas tersebut bank tidak boleh melakukan pengecualian terutama kredit kepada pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu.

(17)

4) Bank selanjutnya mengawasi secara khusus kredit-kredit yang termasuk dalam daftar dan segera melakukan penyelesaiannya.

c. Evaluasi Kredit Bermasalah

1) Bank secara berkala wajib melakuakan evaluasi terhadap daftar kredit dalalam pengawasan khusus serta hasil penyelesaiannya dengan saran untuk mengetahui secara dini apakah kredit dalam pengawasan khusus telah menjadi kredit bermasalah.

2) Bank melakukan evaluasi terhadap daftar kredit dalam pengawasan khusus tersebut di atas dan menghitung besarnya persentase kredit termaksud terhadap total kredit, terutama dengan memperhatikan kredit yang kolektibilitasnya telah tergolong Diragukan dan Macet.

3) Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam melakukan evaluasi dan pencantum dalam daftar kredit bermasalah tersebut yaitu harus termasuk pula kredit-kredit kepada pihak yang terkait dengan bank dan debitur- debitur besar tertentu.

d. Penyelesaian Kredit Bermasalah

Apabila jumlah seluruh kredit yang kolekbilitasnya tergolong Diragukan dan Macet telah mencapai 5 % (lima persen) dari jumlah kredit secara keseluruhan atau criteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia

(18)

yang menggolongkan bank sebagai bank yang menghadapi kredit bermasalah, maka direksi bank harus menetapkan dan mengambil langkah-langkah, sekurang-kurangnya sebagai berikut:

1) Laporan kredit bermasalah kepada Bank Indonesia, bank harus segera menyampaikan laporan tertulis kepada Bank Indonesia apabila jumlah kredit yang kolektibilitasnya tergolong Diragukan dan Macet telah mencapai criteria tersebut di atas.

2) Pembentukan Satuan Kerja/Kelompok Kerja/Tim Kerja Penyelesaian Kredit Bermasalah, bank wajib membentuk suatu kerja/kelompok kerja/tim kerja atau Satuan Tugas Khusus (STK) yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan kredit bermasalah. Pejabat-pejabat yang di tunjukan dalam STK ditetapkan oleh direksi bank dan dilaporkan kepada Bank Indonesia. Bank dapat menetapkan sendiri nama untuk STK tersebut.

3) Penyusunan Program Penyelesaian Kredit Bermasalah, selanjutnya bank wajib menyusun program penyelesaian kredit bermasalah dengan memperhatikan hal-hal di bawah ini dan direksi bank secara menyampaikan program tersebut kepada Bank Indonesia.

4) Pelaksanaan Program Penyelesaian Kredit Bermasalah, program penyelesaian kredit bermasalah harus segera dilaksanakan secara ber sungguh-sungguh, sekurang-kurangnya meliputi:

(19)

a) Pelaksanaan program kredit bermasalah dilakukan secara penuh oleh STK berdasarkan program yang telah di setujui oleh direksi. Dalam hal STK memerlukan bantuan atau dukungan tersebut dapat segera diperoleh.

b) STK melakukan evaluasi berkala atas perkembangan penyelesaian kredit bermasalah dan melaporkan hasilnya kepada direksi dengan tembusan kepada dewan komisaris disertai penjelasan yang diperlukan.

c) Hasil pelaksanaan program penyelesaian kredit bermasalah tersebut juga dilaporkan oleh direksi bank kepada Bank Indonesia. Dalam kaitan ini, guna memastikan bahwa langkah-langkah penyelesaian kredit bermasalah berdasarkan program tersebut telah dilakukan dengan benar dan efektif, Bank Indonesia setiap saat akan melakukan komunikasi langsung dengan STK.

5) Evaluasi Efektivitas Program Penyelesaian Kredit Bermasalah

Sekurang-kurangnya setiap enam bulan sekali setelah program penyelesaian kredit bermasalah dilaksanakan atau tenggang waktu lain yang di tetapkan oleh Bank Indonesia, bank wajib melakukan evaluasi efektivitas program penyelesaian kredit bermasalah.

6) Penyelesaian Terhadap Kredit yang Tidak dapat Ditagih

Bagi kredit bermasalah yang tidak dapat diselesaikan/ditagih kembali setelah

(20)

dilakukan upaya-upaya penyelesaiannya,maka:

a) STK mengusulkan cara-cara penyelesaian kredit yang sudah tidak dapat ditagih kepada direksi.

b) STK melaksanakan penyelesaian kredit yang tidak dapat ditagih sesuai dengan cara penyelesaian yang di setujui direksi.

c) Daftar kredit yang tidak dapat ditagih serta cara penyelesaiannya wajib segera dilaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia.

Kebijakan kredit bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan kredit bank wajib mematuhi kebijakan kredit bank yang telah disusun secara konsekuen dan konsisten.

G. Analisis Rasio Keuangan

Analisis rasio keuangan menurut Kieso dkk (2008 : 395) adalah sebagai berikut:

Analisis rasio (ratio analisys) menyatakan hubungan di antara pos-pos tertentu dari data laporan keuangan. Sebuah Rasio menyatakan hubungan matematika antara satu kuantitas dengan yang lainnya. Hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase, tingkat atau proporsi sederhana.

Analisis rasio merupakan salah satu alat analisis keuangan yang banyak digunakan. Rasio merupakan alat untuk menyediakan pandangan terhadap kondisi yang mendasari. Rasio merupakan salah satu titik awal, bukan titik akhir. Rasio yang diinterprestasikan dengan tepat mengidentifikasi area yang memerlukan

(21)

investigasi lebih lanjut. Analisa rasio dapat mengungkapkan hubungan penting dan menjadi dasar perbandingan dalam menemukan kondisi dan tren yang sulit untuk dideteksi dengan mempelajari masing-masing komponen yang membentuk rasio. Seperti alat analisis lainnya, rasio paling bermanfaat bila berorientasi ke depan. Hal ini berarti kita sering menyesuaikan faktor-faktor yang mempengaruhi rasio untuk kemungkinan tren dan ukurannya di masa depan. Kita juga harus menilai faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi rasio di masa depan.

Karenanya, kegunaan rasio tergantung pada keahlian penerapan dan interprestasinya dan inilah bagian yang paling menantang dari analisis rasio (Wild dkk : 2005).

1. Rasio Perputaran Piutang (Kieso dkk : 2008)

Untuk mengukur seberapa Likuid suatu piutang dapat digunakan tingkat perputaran piutang (receivable turnover), rasio ini mengukur berapa kali rata-rata membagi penjualan kredit bersih dengan piutang bersih rata-rata.

Bentuk umum dari rasio perputaran piutang adalah mengubahnya menjadi periode (waktu) penagihan rata-rata (average collection period) dalam satuan harian. Hal ini dilakukan dengan membagi rasio perputaran piutang ke dalam 365 hari.

Penjualan Kredit Bersih Account Receivable Turnover =

Piutang Bersih Rata - Rata

(22)

Periode penagihan rata-rata sering kali digunakan untuk menilai efektivitas kebijakan kredit dan penagihan perusahaan. Aturan umumnya adalah periode penagihan tidak boleh melebihi periode jangka waktu kredit (waktu yang diperbolehkan untuk melunasi tagihan).

Interpretasi ukuran likuiditas piutang menurut Subramanyam ( 2010 : 252 ) adalah:

Tingkat perputaran piutang dan periode penagihan akan berguna jika dibandingkan dengan rata-rata industri atau perjanjian kredit yang diberikan perusahaan. Jika periode penagihan dibandingkan dengan perjanjian penjualan yang diberikan, kita dapat menilai banyaknya pelanggan yang melunasi piutang tepat waktu.

2. Rasio Kredit Bermasalah (Non Performing Loan/(NPL)

Yang dimaksud dengan NPL adalah debitur atau kelompok debitur yangmasuk dalam golongan 3, 4, 5 dari 5 golongan kredit yaitu debitur yang kurang lancar, diragukan dan macet. Hendaknya selalu diingat bahwa perubahan pengolongan kredit dari kredit lancar menjadi NPL adalah secara bertahap melalui proses penurunan kualitas kredit (Z. Dunil, 2005).

NPL adalah rasio kredit bermasalah dengan total kredit. NPL yang baik adalah NPL yang memiliki nilai dibawah 5%. NPL mencerminkan risiko kredit, semakin kecil NPL semakin kecil pula risiko kredit yang ditanggung bank. Bank dengan NPL yang tinggi akan memperbesar biaya baik pencadangan aktiva

(Piutang Rata - Rata) X 360 Average Collection Period =

Penjualan Kredit

(23)

produktif maupun biaya lainnya, sehingga berpotensi terhadap kerugian bank (Wisnu Mawardi, 2005).

Kredit yang disalurkan memiliki risiko mengalami kegagalan sehingga Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan bahwa maksimal rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%. Rasio kredit bermasalah menurut SE Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP (2001) tentang Pedoman Perhiungan Rasio Keuangan Bank adalah sebagai berikut :

Kredit Bermasalah Non Performing Loan =

Total Kredit

Keterangan :

1. Kredit merupakan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk kepada kredit yang diberikan kepada bank lain)

2. Kredit Bermasalh adalah kredit dengan kualitas/status Kurang Lancar, Diragukan atau Macet.

3. Kredit bermasalah tidak dihitung secara gross (tidak dikurangi PPAP).

4. Angka dihitung per posisi (tidak disetahunkan).

a. Pembentukan Cadangan Non Performing Loan (NPL)

Bank perlu menyisihkan sebagian pendapatan bank untuk berjaga-jaga agar dapat menutup kerugian yang akan timbul apabila suatu saat kredit yang diberikan bank ternyata mengalami kemacetan. Pada waktunya apabila terdapat

(24)

kredit yang macet maka bank dapat menghapus kredit macet tersebut dari pembukuan atas beban pendapatan yang sudah disisihkan tersebut. Penyisihan untuk pembentukan cadangan NPL harus dilakukan sesuai aturan yang ditetapkan. Dalam Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No.31), Cadangan tersebut disebut sebagai “Penyisihan Penghapusan Kredit” atau PPK, dan penyajiannya dalam neraca adalah sebagai “offsetting account” yang muncul sebagai pengurang dari jumlah Kredit yang diberikan pada Aktiva bank. Istilah yang dipakai oleh Bank Indonesia adalah “Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif” atau PPAP (Z. Dunil, 2005).

Perbedaannya adalah PPAP termasuk pencadangan untuk surat-surat berharga yang juga menjadi Aktiva Produktif bank yang disamping menghasilkan juga mengandung risiko kemungkinan tak tertagih alias macet sedangkan PPK hanya cadangan untuk kredit saja. Pembentukan cadangan dilakukan sejak tahun pertama bank beroperasi dan memberikan kredit, dihitung dari baki debet pada akhir periode pembukuan, akhir bulan untuk posisi Neraca bulanan dan akhir tahun untuk posisi Neraca akhir tahun. Total baki debet adalah realisasi dari total komitmen kredit yang sudah ditanda tangani bank dengan para debiturnya.

Karena pada awalnya semua kredit adalah Kredit Lancar, maka PPAP dihitung sebagai persentase tertentu terhadap total baki debet. Kemudian kalau kredit berkembang sehingga ada yang Kurang Lancar, maka terhadap yang Kurang Lancar tersebut perlu disisihkan PPAP yang lebih besar, begitu seterusnya

(25)

sehingga untuk kredit yang sudah digolongkan sebagai Kredit Macet, PPAP yang disisihkan adalah sebesar 100% dari Baki debet yang macet (Z.Dunil, 2005).

b. Penanganan Non Performing Loan ( NPL)

Kredit macet yang sudah dihapus bukukan tidak lagi masuk dalam kategori NPL, karena bukan loan lagi. Penangannya hanya dalam rangka bagaimana mengupayakan agar kredit macet tersebut dapat kembali terutama dengan eksekusi jaminan yang ada. Kredit yang sudah ada tanda kearah NPL yang memerlukan perhatian agar tidak menjadi lebih buruk atau mendatangkan kerugian yang lebih besar adalah kredit yang masih dalam klasifikasi DPK (Dalam Perhatian Khusus). Untuk mencari jalan memperbaiki posisi debitur DPK tersebut harus dipelajari satu persatu permasalahan yang dihadapi oleh debitur dan dilakukan treatment yang sesuai dengan kondisi masing-masing debitur.

Terhadap kredit yang mengarah menjadi NPL bahkan kredit NPL sendiri dapat diterapkan beberapa teknik penyehatan agar debitur dapat bangkit kembali : 1) Reschedulling

Bank dapat melakukan penjadwalan ulang dalam bentuk, perpanjangan masa pelunasan, memberikan grace period yang lebih panjang, memperkecil jumlah angsuran kredit.

2) Reconditioning

Reconditioning dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi nasabah, yang semula terbebani dengan persyaratan kredit yang berat, dikurangi sehingga lebih

(26)

pas bagi kebutuhan nasabah. Mengurangi tingkat bunga, mengurangi kredit dari pihak lain yang bunganya tinggi dan menggantinya dengan kredit dari bank dengan bunga lebih rendah, menambah modal kerja kalau menurut perhitungan bank memang ternyata kurang.

3) Restructuring

Apabila kedua cara di atas diperkirakan tidak akan dapat menyehatkan kembali perusahaan dan tidak akan dapat mengembalikan kredit bank, maka dapat ditempuh cara terakhir dengan merestrukturisasi perusahaan secara lebih mendasar.

H. Akuntansi Piutang Tak Tertagih 1. Piutang

Piutang (receivables) adalah klaim uang, barang atau jasa kepada pelanggan, nasabah atau pihak-pihak lainnya. Untuk tujan pelaporan keuangan piutang diklasifikasikan menjadi piutang lancar (jangka pendek) atau tidak lancar (jangka panjang). Piutang lancar (current receivables adalah piutang yang diharapkan akan tertagih dalam satu tahun atau selama siklus operasi berjalan, mana yang lebih panjang. Semua piutang lain diklasifikasikan sebagai piutang tidak lancar (noncurrent receivables). Penilaian atas suatu piutang didasarkan pada kebijakan perusahaan ataupun pada peraturan eksternal yang mengatur bidang usaha perusahaan.

(27)

2. Pengakuan Piutang Usaha

Menurut Kieso ( 2007 : 348) pengakuan piutang usaha adalah sebagai berikut : Dalam sebagian besar transaksi piutang, jumlah yang harus diakui adalah harga pertukaran diantara kedua belah pihak. Harga pertukaran ( the exchange price) adalah jumlah yang terutang dari debitur (pelanggan atau peminjam) dan umumnya dibuktikan dengan beberapa jenis dokumen bisnis, biasanya berupa faktur (invoice).

Pengakuan piutang usaha harus dilakukan berdasarkan kondisi baik harga, kuantitas dan ketentuan lainnya yang disepakati oleh kreditur dan debitur, tiap- tiap ketentuan mengenai syarat ataupun kondisi atas piutang tersebut hendaknya tertuang dalam faktur ataupun kesepakatan hutang piutang yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Penilaian Piutang Usaha

Pelaporan piutang melibatkan klasifikasi dan penilaian dalam neraca.

Klasifikasi melibatkan penentuan lamanya waktu setiap piutang akan beredar.

Piutang yang diperkirakan akan tertagih dalam satu tahun atau satu siklus operasi (tergantung mana yang lebih panjang) diklasifikasikan sebagai lancar, sementara semua piutang lainnya diklasifikasikan sebagai jangka panjang. Piutang jangka pendek dinilai dan dilaporkan pada nilai realisasi bersih (jumlah bersih yang diperkirakan akan diterima dalam bentuk kas). Penentuan nilai realisasi bersih (net relizable value) memerlukan estimasi baik atas piutang yang tak tertagih maupun retur penjualan dan pengurangan harga yang diberikan.

(28)

a. Piutang Usaha yang Tak Tertagih

Penjualan kredit menimbulkan kegagalan untuk menagih piutang. Piutang usaha yang tak tertagih adalah kerugian pendapatan yang perlu dicatat melalui ayat jurnal yang tepat dalam akun penurunan aktiva piutang usaha serta penurunan yang berkaitan dengan laba dan ekuitas pemegang saham.

Kerugian pendapatan dan penurunan laba diakui dengan mencatat beban piutang ragu-ragu (atau beban piutang tak tertagih).

“Metode pencatatan piutang tak tertagih dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode penghapusan langsung dan metode penyisihan” (Kieso, 2007 : 351).

1) Metode Penghapusan Langsung

Metode ini mengasumsikan bahwa dari setiap penjualan akan dihasilkan piutang usaha yang baik dan kejadian selanjutnya membuktikan bahwa piutang tertentu ternyata tidak tertagih serta menjadi tidak bernilai. Metode penghapusan langsung secara teoritis memiliki kelemahan karena biasanya gagal menandingkan biaya dengan pendapatan pada periode bersangkutan atau menghasilkan piutang yang ditetapkan pada estimasi nilai yang dapat direalisasi di neraca, karenanya pemakaian metode penghapusan langsung dipandang tidak tepat, kecuali kalau jumlah piutang tidak tertagih tidak material.

(29)

2) Metode Penyisihan (allowance method)

Metode ini meyakini bahwa beban piutang tak tertagih harus dicatat pada periode yang sama seperti penjualan untuk memdapatkan penandingan yang tepat atas beban dan pendapatan serta mendapatkan nilai tercatat yang tepat atas piutang usaha. Walaupun melibatkan estimasi namun persentase piutang yang tidak akan tertagih dapat diramalkan dari pengalaman masa lalu, kondisi pasar berjalan dan analisis atas saldo yang beredar.

Dalam menentukan piutang tak tertagih dan propabilitas penagihannya maka dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu sebagai berikut :

a) Pendekatan Persentase-Penjualan (Laporan Laba-Rugi)

Pendekatan ini dilakukan jika terdapat hubungan yang cukup stabil antara penjualan kredit tahun-tahun sebelumnya dengan piutang tak tertagih, maka hubungan tersebut dapat dijabarkan dalam persentase dan digunakan untuk menentukan beban piutang tak tertagih.

Pendekatan ini menandingkan biaya dengan pendapatan karena hal itu mengaitkan beban pada periode dimana periode penjualan dicatat. Contoh perusahaan A mengestimasikan berdasarkan pengalaman masa lalu sekitar 2%

penjualan tidak dapat tertagih, diasumsikan penjualan tahun ini sebesar Rp400.000,- maka ayat jurnal untuk mencatat beban piutang tak tertagih dengan menggunakan metode persentase penjualan adalah sebagai berikut :

Beban Piutang Tak Tertagih Rp8.000,-

Penyisihan untuk Piutang Tak Tertagih Rp8.000,-

(30)

b) Pendekatan Persentase-Piutang (Neraca)

Pendekatan ini menyediakan estimasi yang cukup akurat menyangkut nilai piutang yang dapat direalisasi tetapi tidak sesuai dengan prinsip penandingan biaya dan pendapatan. Tujuan dari metode ini adalah melaporkan nilai realisasi bersih piutang dalam neraca.

Pendekatan persentase piutang dapat diaplikasikan dengan menggunakan satu tarif gabungan (composite rate) yang mencerminkan estimasi piutang tak tertagih. Pendekatan lainnya yang lebih sensitif terhadap status aktual dari piutang usaha adalah menetapkan skedul piutang (aging schedule) dan menerpakan persentase yang bebeda berdasarkan pengalaman masa lalu pada berbagai kategori umur. Skedul ini mengindikasikan akun mana yang memerlukan perhatian khusus dengan memperlihatkan umur piutang usaha seperti itu.

Tabel 2.1

Ilustrasi Skedul Umur Piutang

Nama Pelanggan Saldo 31 Des < 60 hari 61-90 hr 91-129 hr >120 hr

PT.B 98,000 80,000 18,000

PT.C 320,000 320,000

PT.D 55,000 55,000

PT.E 74,000 60,000 14,000

547,000

460,000 18,000 14,000 55,000

Umur Jumlah

< 60 hari 460,000 18,400

61-90 hr 18,000 2,700

91-129 hr 14,000 2,800

>120 hr 55,000 13,750

Saldo penyisihan piutang tak tertagih akhir tahun Rp37,650 sumber : Kieso (2007), Akuntansi Intermediate

PT.A

Skedul Umur Piutang

Persentase Estimasi

Tdk Tertagih Saldo Penyisihan Ikhtisar

25%

20%

15%

4%

(31)

Berdasarkan ilustrasi diatas jumlah sebesar Rp37.650,- akan menjadi beban piutang tak tertagih yang harus dilaporkan untuk tahun berjalan dengan mengasumsikan bahwa tidak ada saldo dalam akun penyisihan. Ayat jurnal untuk mencatat beban piutang tak tertagih dalam ilustrasi ini adalah sebagai berikut :

Beban Piutang Tak Tertagih Rp37.650,-

Penyisihan untuk Piutang Tak Tertagih Rp37.650,-

Skedul umur piutang biasanya tidak disusun untuk menentukan beban piutang tak tertagih, tetapi sebagai alat pengendalian untuk menentukan komposisi piutang dan mengidentifikasi piutang yang diragukan. Estimasi persentase kerugian yang dikembangkan untuk masing-masing kategori didasarkan pada pengalaman kerugian masa lalu.

b. Hapus Buku dan Hapus Tagih Piutang Usaha

Menurut Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (2008 : 200) piutang yang dapat dihapus buku dan hapus tagih harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1) Dalam hal penghapusbukuan kredit merupakan kelanjutan dari tindakan penyelesaian kredit dengan cara pengambilalihan agunan, maka jumlah yangdihapus buku adalah sebesar selisih kurang antara nilai wajar agunan yang diambil alih setelah memperhitungkan taksiran biaya penjualan dengan nilaitercatat kredit.

(32)

2) Kredit dapat dihapus buku apabila cadangan kerugian penurunan nilai telah dibentuk sebesar 100%.

3) Penghapusbukuan dilakukan secara keseluruhan terhadap nilai tercatat kreditdengan menjurnal balik cadangan kerugian penurunan nilai.

4) Pelaksanaan penghapus bukuan kredit dapat dilakukan bersamaan dengan penghapusan hak tagih.

c. Penagihan Piutang Usaha yang Telah Dihapus

Apabila piutang usaha tertentu dipastikan tidak akan tertagih, maka saldonya dipindahkan dari pembukuan dengan ayat jurnal sebagai berikut :

Penyisihan Piutang Tak Tertagih xxx

Piutang Usaha xxx

Jika penagihan atas piutang usaha yang sudah dihapus buku sebelumnya dilakukan, maka perusahaan terlebih dahulu harus memunculkan kembali piutang usaha itu dengan mendebet Piutang Usaha dan mengkredit Penyisihan untuk Piutang Tak Tertagih. Kemudian, perusahaan juga harus membuat ayat jurnal untuk mendebet kas dan mengkredit akun pelanggan sebesar jumlah yang diterima.

I. Pelaporan Pencadangan Piutang Tak Tertagih

Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasan dan pembinaan perbankan yang berada di Indonesia telah memiliki peraturan tentang pencadangan

(33)

penghapusan aktiva produktif bank diantaranya adalah piutang bank dalam bentuk kredit yang disalurkan guna menutupi risiko kerugian.

Aktiva produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam Rupiah maupun Valuta Asing dalam bentuk kredit, Surat Berharga, Penempatan Dana Antar Bank Penyertaan, termasuk komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administratif, contoh perhitungan : Bank A memiliki piutang (outstanding kredit) sebesar Rp500 juta per 31 Desember 2008 dan melakukan penyaluran kredit baru pada januari 2009 sebesar Rp10 juta maka total aktiva produktif Bank A dari sisi penyaluran kredit pada periode Januari 2009 sebesar Rp510 juta.

Berdasarkan surat keputusan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 tentang penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum bahwa perbankan diwajibkan untuk membuat penyisihan atas risiko piutang tidak tertagih sekurang-kurangnya sebesar :

1. 1% dari aktiva produktif yang digolongkan lancar (kolektibiltas 1).

2. 5% dari aktiva produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus (kolektibilitas 2).

3. 15% dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar (kolektibilitas 3).

4. 50% dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan (kolektibilitas 4).

5. 100% dari aktiva produktif yang digolongkan macet (kolektibilitas 5.

Umur piutang atau kredit digolongkan dalam kolektibilitas dari 1-5 dimana klasifikasi tersebut berdasarkan umur piutang dimana semakin lama umur piutang

(34)

maka semakin tinggi kolektibilitas yang diberikan, klasifikasi kolektibilitas dijelaskan sebagai berikut :

1. Apabila debitur tidak memiliki tunggakan pokok dan atau bunga ≤ 60 hari termasuk kategori kolektibilitas 1.

2. Apabila debitur memiliki tunggakan pokok dan atau bunga > 60 hari s/d 90 hari termasuk kategori kolektibilitas 2.

3. Apabila debitur memiliki tunggakan pokok dan atau bunga > 90 s/d 120 hari termasuk kategori kolektibilitas 3.

4. Apabila debitur memiliki tunggakan pokok dan atau bunga > 120 s/d 180 hari termasuk kategori kolektibilitas 4.

5. Apabila debitur memiliki tunggakan pokok dan atau bunga > 180hari termasuk kategori kolektibilitas 5.

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan lingkungan tersebut memberikan pengaruh terhadap masyarakat contohnya pada sebelumnya disekitar wilayah Desa Ciomas, semula merupakan perkebunan dan sawah namun

8 248 2-Amino-4-hydroxy- ethylaminoanisole (INCI) CAS No 83763-47-7 dan garam sulphatenya 2-Amino-4-hydroxy- ethylaminoanisole sulphate (INCI) CAS No 83763-48-8

- Kelebihan dan kekurangan teknologi transportasi tradisional (masa lalu) dan komunikasi modern (masa kini)  Guru bersama siswa merefleksi

Kata barangsiapa itu menunjukkan orang, yang apabila ia memenuhi semua unsur tindak pidana pemerasan seperti yang diatur dalam pasal 368 KUHP, maka ia akan disebut sebagai dader

Cadangan terkira adalah cadangan yang jumlah tonase dan kadarnya sebagian diperoleh dari hasil perhitungan pemercontohan dan sebagian lagi dihitung

D. Teknik Body Mekanik yang Baik dan Benar dalam Kehamilan 1. Kepala tegak dengan pandangan lurus ke depan. b Bahu santai dan ditegakkan ke belakang untuk mengurangi ketegangan

Kondisi demikian semakin memperlihatkan posisi strategis SATPOL PP Kabupaten Tabanan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya Pemerintah Kabupaten Tabanan

Berdasarkan hasil tes yang sudah dilaksanakan maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada hasil post test pada kelas kontrol dan kedua kelas