• Tidak ada hasil yang ditemukan

Part of the Administrative Law Commons, Civil Law Commons, Constitutional Law Commons, Criminal Law Commons, and the International Law Commons

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Part of the Administrative Law Commons, Civil Law Commons, Constitutional Law Commons, Criminal Law Commons, and the International Law Commons"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Dharmasisya Dharmasisya

Volume 1 NOMOR 3 SEPTEMBER 2021 Article 33

November 2021

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG TELAH DIHOMOLOGASI KARENA

PERDAMAIAN YANG TELAH DIHOMOLOGASI KARENA

BERTENTANGAN DENGAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG BERTENTANGAN DENGAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

Tjokorda Agung Candra Aditya [email protected]

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya

Part of the Administrative Law Commons, Civil Law Commons, Constitutional Law Commons, Criminal Law Commons, and the International Law Commons

Recommended Citation Recommended Citation

Aditya, Tjokorda Agung Candra (2021) "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG TELAH DIHOMOLOGASI KARENA BERTENTANGAN DENGAN KETENTUAN UNDANG- UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)," Dharmasisya: Vol. 1 , Article 33.

Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss3/33

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Dharmasisya by an authorized editor of UI Scholars Hub.

(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG TELAH DIHOMOLOGASI KARENA BERTENTANGAN DENGAN KETENTUAN YANG TELAH DIHOMOLOGASI KARENA BERTENTANGAN DENGAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

Cover Page Footnote Cover Page Footnote

Bemard F Cotaldo, et al., Introduction to Law and the Legal Process, (New York-Chichester-Brisbane- Toronto-Singapore: John Wiley & Sons, 1980), hlm. 476. M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2008), hlm. 34 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang,Edisi Pertama, (Jakarta:Kencana Gramedia Group, 2013), hlm.181 David G Epstein, et al., Bankruptcy, (St. Paul, Minn: West Publishing Co, 1995), hlm. 2. Sutan Remy Sjahdeini (I), Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2010), hlm. 2 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 23 Ridwan Khairandy, “Beberapa Kelemahan Mendasar Undang-Undang Kepailitan Indonesia” dalam Jurnal Magister Hukum Vol.2 No.1 (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2000), hlm. 72 Sri Redjeki Hartono, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 23. Pengertian yang terkandung di dalam kedua pasal tersebut adalah: pertama, pemberian jaminan kepastian kepada kreditor bahwa kewajiban debitor akan tetap dipenuhi dengan jaminan harta kekayaan debitor, baik yang ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari. Kedua, perwujudan adanya asa jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah dilakukan oleh debitor dengan para kreditornya, dengan kedudukan yang proporsional, yaitu setiap kreditor dengan kedudukan sama, akan memperoleh prestasi sama. Made Wahyu Arthaluhur, Proses PKPU Sementara dan PKPU Tetap, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ade9a469d120/

proses-pkpu-sementara-dan-pkpu-tetap, pada tanggal 23 September 2019, pada pukul 14.04 WIB. Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Prakek, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 198 Ibid Lihat pada ketentuan Pasal 229 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Munir Fuady, hlm. 197 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Prakek, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 175 Ibid, hlm. 379 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 200 Ibid, hal 407 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,

(Bandung: Citra Aditya, 2010), hlm. 19 Ibid., hlm. 20 Salim HS, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik

Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal 203 Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 10 Bemard F Cotaldo, et al., Introduction to Law and the Legal Process, (New York-Chichester-Brisbane-Toronto-Singapore: John Wiley

& Sons, 1980), hlm. 476 Polak-Polak, Failissement en Surseance van Betaling, deel l, tweede gedeelte, zesdedruk, (Groningen: Wolters-Noordhoff N.V., 1969) dalam Lee A Weng, hlm. 15 Lihat Mahkamah Agung RI, Putusan Perkara Nomor: 718 K/Pdt.Sus-Pailit/2019, pada hal 5-6 Lihat penjelasan umum Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

This article is available in Dharmasisya: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss3/33

(3)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG TELAH DIHOMOLOGASI KARENA BERTENTANGAN DENGAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(PKPU)

(Studi Kasus Putusan Perkara Nomor: 04/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst juncto Nomor:23/Pdt.Sus-

PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. juncto Putusan Nomor: 718 K/Pdt-Sus-Pailit/2019).

Tjokorda Agung Candra Aditya

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Korespodensi: [email protected]

Abstrak

Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan (homologasi) dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah salah satu upaya yang ditempuh oleh debitur untuk menjaga keberlangsungan usahanya dengan mengajukan suatu proses rekstrukturisasi pembayaran utang yang diatur dalam rencana perdamaian. Namun walaupun telah terjadi kesepakatan restrukturisasi pembayaran utang yang wajib dipenuhi oleh debitur kepada para krediturnya, masih terdapat klausula tertentu yang sengaja dimasukkan dalam Perjanjian Perdamaian oleh debitur yang berpotensi menciptakan celah hukum apabila debitur suatu saat lalai melaksanakan kewajiban pembayaran sesuai dengan Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan (homologasi) untuk menghindari kewajibannya tersebut, sehingga tidak menjamin adanya kepastian pembayaran bagi para krediturnya.

Kata kunci: PKPU, perjanjian perdamaian, homologasi, lalai, perubahan.

Abstract

Composition Plan Which Has Been Homologated in the case of Suspension of Obligation For Payment is one of the efforts taken by the debtor to maintain the continuity of its business by proposing a debt payment restructuring process regulated in the composition plan.

However, despite the debt composition plan that must be fulfilled by the debtor to its creditors, there are certain clauses that are intentionally included in the Compositon Plan by the debtor which have the potential to create legal loopholes if the debtor may fail to carry out payment obligations in accordance with the Compositon Plan that has been ratified ( homologation) to avoid these obligations, so as not to guarantee payment certainty for creditors.

Key words: Suspension of Obligation for Payment, composition plan, homologation, neglectful, addendum

I. PENDAHULUAN

Kepailitan adalah suatu penyitaan yang dilaksanakan oleh Pengadilan atas semua harta kekayaan debitor demi untuk kepentingan para kreditor dalam pelunasan piutang mereka.1 Dalam hukum kepailitan konsep utang sangat menentukan, karena tanpa utang tidak mungkin perkara kepailitan diperiksa. Tanpa utang maka esensi kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan merupakan pranata hukum dalam melaksanakan likuidasi aset debitor untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor.2 Kepailitan merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan utang piutang, tidak hanya menyangkut kepentingan seorang kreditor melainkan untuk sejumlah kreditor, dengan dijatuhkannya putusan pailit maka kreditor lainnya dapat mengajukan tagihan utangnya.3 Tujuan semua undang-undang kepailitan (bankruptcy law) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih

1 Bemard F Cotaldo, et al., Introduction to Law and the Legal Process, (New York-Chichester-Brisbane- Toronto-Singapore: John Wiley & Sons, 1980), hlm. 476.

2 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2008), hlm. 34

3 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang,Edisi Pertama, (Jakarta:Kencana Gramedia Group, 2013), hlm.181

(4)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

terhadap aset seorang debitor yang tidak cukup nilainya,4 guna menghindari dahulu-mendahului dalam memperoleh pelunasan piutang.

Pada suatu perjanjian utang piutang, pihak yang memperoleh pinjaman disebut debitor sedangkan pihak yang memberikan pinjaman disebut kreditor.5 Dengan adanya perikatan maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Salah satu kewajiban debitor adalah melakukan prestasi dengan membayar utang. Namun apabila debitor mengingkari isi perjanjian salah satunya dengan berhenti membayar utang, maka ia telah melakukan wanprestasi. Utang yang tidak dilunasi maupun tidak dikelola dengan baik oleh pelaku usaha dapat berakibat kerugian yang fatal bahkan berujung pada kepailitan.

Apabila lembaga kepailitan merupakan penjelmaan dari asas yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata,6 semestinya penafsiran utang dalam peraturan kepailitan mengacu pada KUH Perdata.7 Jaminan kepastian pembayaran utang debitor dan kepastian kedudukan kreditor diberikan oleh Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata terhadap hubungan-hubungan hukum yang diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata tentang perikatan.8

Menurut Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU. Tujuan pengajuan PKPU adalah agar debitor dapat mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kreditor, baik kreditor preferen maupun konkuren.9 Dalam proses permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) baik yang dimohonkan oleh Debitor maupun Kreditor, khususnya dalam hal Debitor mengajukan proposal rencana perdamaian kepada para Kreditornya seringkali hal-hal yang menjadi perhatian dari Kreditor adalah hanya mengacu kepada jangka waktu pembayaran dan jumlah cicilan yang ditawarkan oleh Debitor, padahal seringkali dalam proposal rencana perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor tersebut terdapat ketentuan-ketentuan tertentu yang cenderung akan merugikan pihak kreditor.

Sebagai salah satu contohnya adalah adanya ketentuan dalam rencana perdamaian yang mengesampingkan lalainya pihak Debitor dalam melaksanakan kewajiban pembayarannya sebagaimana diatur dalam composition plan. Namun dengan demikian lalainya pihak Debitor dalam melaksanakan kewajiban pembayaran utangnya kepada Para Kreditor tidak serta merta menjadi suatu akibat gagal bayar dan memberikan alasan bagi Kreditor untuk mengajukan Permohonan Pembatalan Perdamaian yang telah disahkan (Homologasi) melalui Pengadilan Niaga, sehingga hal

4 David G Epstein, et al., Bankruptcy, (St. Paul, Minn: West Publishing Co, 1995), hlm. 2.

5 Sutan Remy Sjahdeini (I), Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2010), hlm. 2

6 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm.

23

7 Ridwan Khairandy, “Beberapa Kelemahan Mendasar Undang-Undang Kepailitan Indonesia” dalam Jurnal Magister Hukum Vol.2 No.1 (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2000), hlm. 72

8 Sri Redjeki Hartono, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 23. Pengertian yang terkandung di dalam kedua pasal tersebut adalah: pertama, pemberian jaminan kepastian kepada kreditor bahwa kewajiban debitor akan tetap dipenuhi dengan jaminan harta kekayaan debitor, baik yang ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari. Kedua, perwujudan adanya asa jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah dilakukan oleh debitor dengan para kreditornya, dengan kedudukan yang proporsional, yaitu setiap kreditor dengan kedudukan sama, akan memperoleh prestasi sama.

9Made Wahyu Arthaluhur, Proses PKPU Sementara dan PKPU Tetap, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ade9a469d120/proses-pkpu-sementara-dan-pkpu-tetap, pada tanggal 23 September 2019, pada pukul 14.04 WIB.

(5)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

tersebut menyebabkan tidak adanya kepastian hukum bagi pelunasan utang-utang dari Para Kreditor.

Padahal perdamaian menjadi elemen yang paling esensial sekaligus merupakan tujuan dalam suatu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), sehingga tidak ada gunanya dilakukan penundaan kewajiban pembayaran utang jika para pihak tidak sungguh-sungguh untuk melaksanakan perdamaian, yang dimulai oleh Debitor dengan mengajukan rencana perdamaian (composition plan).10 Para Pihak dalam pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah pihak Debitor bersama-sama dengan pihak Kreditor.11

Salah satu perkara pembatalan perdamaian yang telah disahkan yang dimohonkan oleh Kreditor dapat dilihat pada Putusan Perkara Nomor: 04/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo Nomor:23/Pdt.Sus-PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo Putusan Perkara Nomor:718 K/ Pdt.Sus-Pailit/2019. dimana dalam Perjanjian Perdamaian tersebut terdapat suatu klausula yang memperbolehkan Debitor setiap saat dengan persetujuan dari Kreditor Mayoritas untuk dapat mengubah atau dikesampingkan rencana perdamaian yang mana hal tersebut juga akan mengikat kepada seluruh kreditor, sehingga pihak Debitor telah berulang kali menggunakan celah hukum tersebut untuk mengajukan draft perubahan Perjanjian Perdamaian, dengan tujuan untuk mengesampingkan lalainya Debitor dalam melaksanakan kewajiban pembayaran utangnya kepada Para Kreditornya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, artikel ini akan memfokuskan tinjauan yuridis

terhadap Putusan Perkara Nomor: 04/Pdt.Sus-Pembatalan

Perdamaian/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo Nomor:23/Pdt.Sus-PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo Putusan Perkara Nomor:718 K/ Pdt.Sus-Pailit/2019 antara PT. CIMB Niaga, Tbk melawan PT.

Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk, guna membahas pengaturan perjanjian perdamaian dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU, dapat atau tidaknya dalam perjanjian perdamaian yang telah disahkan (homologasi) dilakukan perubahan.

II. PEMBAHASAN

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”

Rencana perdamaian yang telah disahkan (homologasi) oleh pengadilan niaga maka perdamaian tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak, adapun akibat hukum dari suatu perdamaian yang telah disahkan (homologasi) oleh pengadilan terhadap para pihak yaitu: rencana perdamaian yang disepakati oleh debitor dan para kreditor baik dengan atau tanpa adanya perubahan dan setelah kesepakatan itu disahkan oleh pengadilan niaga maka perjanjian perdamaian tersebut mengikat baik debitor maupun semua kreditor; Perdamaian yang disahkan secara tidak langsung juga mengikat para pemegang saham debitor yang merupakan salah satu organ perusahaan. Sehingga dimana Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bersifat lex spesialis, maka guna menjamin kepastian hukum khususnya kepastian pembayaran bagi para kreditur dari debitur berdasarkan Perjanjian perdamaian yang telah disahkan (homologasi) maka

10 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Prakek, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.

198

11 Ibid

(6)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

tidaklah dapat dilakukan perubahan terhadap ketentuan perjanjian perdamaian yang telah disahkan (homologasi) tersebut.

Tujuan pengajuan PKPU adalah agar debitor dapat mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kreditor, baik kreditor preferen maupun konkuren. Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu. Permohonan PKPU yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit, harus diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.12 Selama PKPU berlangsung, terhadap debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit. Perdamaian merupakan salah satu mata rantai dalam proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Khususnya dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak ada gunanya dilakukan penundaan kewajiban pembayaran utang jika para pihak tidak sungguh-sungguh melaksanakan perdamaian.13 Perdamaian berdasarkan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lembaga PKPU dalam ilmu hukum dagang dikenal dengan nama surseance van betaling atau suspension of payment adalah suatu masa yang yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut para pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarakan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.14

1. Perdamaian dalam PKPU

Pengertian perdamaian menurut Pasal 1851 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang. Perdamaian dalam PKPU diatur dalam Bab III, Bagian Kedua, Pasal 265 sampai dengan Pasal 294 UUK PKPU. Pasal 265 UUK PKPU menjelaskan bahwa setelah debitor mengajukan PKPU debitor berhak menawarkan suatu rencana perdamaian kepada kreditor.Rencana perdamaian yang diajukan, harus disusun sedemikian rupa oleh debitor sehingga para kreditornya akan bersedia menerima rencana perdamaian itu. Hanya rencana perdamaian yang dinilai oleh para kreditor layak dan menguntungkan bagi para kreditor yang akan diterima para kreditor.15 Munir Fuady16 menyatakan bahwa biasanya program-program restrukturisasi utang antara lain: 1. Moratorium, yakni merupakan penundaan pembayaran yang sudah jatuh tempo;2. Haircut,merupakan pemotongan pokok pinjaman dan bunga;3.Pengurangan tingkat suku bunga; 4. Perpanjangan jangka waktu pelunasan; 5. Konversi utang kepada saham; 6. Debt forgiveness(pembebasan utang); 6.

Bailout, yakni pengambilaalihan utang-utang, misalnya pengambilalihan utang-utang swasta oleh pemerintah; 7. Write-off, yakni penghapusbukuan utang-utang.

2. Homologasi Dalam PKPU

Rencana perdamaian dalam PKPU diterima oleh pengadilan niaga apabila rencana perdamaian disetujui oleh lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui serta mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang kreditor konkuren yang diakui dalam rapat tersebut. Rencan perdamaian tersebut

12 Lihat pada ketentuan Pasal 229 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

13 Munir Fuady, hlm. 197

14 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Prakek, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 175

15 Ibid, hlm. 379

16 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 200

(7)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

harus juga mendapatkan pengesahan (homologasi) oleh pengadilan niaga agar berkekuatan hukum tetap (inkracht).

3. Akibat Hukum Homologasi bagi Para Pihak

Perjanjian perdamaian yang telah disahkan (homologasi) oleh pengadilan maka perdamaian tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak, adapun akibat hukum dari suatu perdamaian yang telah disahkan (homologasi) oleh pengadilan terhadap para pihak yaitu: rencana perdamaian yang disepakati oleh debitor dan para kreditor baik dengan atau tanpa adanya perubahan dan setelah kesepakatan itu disahkan oleh pengadilan niaga maka perjanjian perdamaian tersebut mengikat baik debitor maupun semua kreditor; Perdamaian yang disahkan secara tidak langsung juga mengikat para pemegang saham debitor yang merupakan salah satu organ perusahaan. UUK PKPU tidak menentukan secara eksplisit bahwa rencana perdamaian harus memperoleh persetujuan dalam rapat umum pemegang saham, akan tetapi tercapainya perdamaian tersebut atau konsekuensi dari ditolaknya perdamaian akan mempengaruhi para pemegang saham. Rencana perdamaian yang ditok oleh pengadilan mengakibatkan debitor langsung dinyatakan pailit dan segala aset yang dimiliki akan segera dilikuidasi. Selain itu, perubahan terhadap kinerja perusahaan akibat dari ditolak atau diterimanya perdamaian juga akan mempengaruhi pemegang saham.17 Pembatalan Perdamaian Akibat Lalainya Debitor dan Adanya Klausula Dalam Perjanjian Perdamaian (Homologasi) Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Pengertian Perjanjian Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Dalam suatu pelaksanaan perjanjian dikenal adanya istilah Prestasi, Wanprestasi dan Akibat Hukum Dalam Perjanjian. Dalam istilah hukum perdata melaksanakan isi perikatan disebut dengan melakukan prestasi.18 Sedangkan tidak melaksanakan isi perikatan disebut dengan melakukan wanprestasi.19

Prestasi adalah suatu yang harus dipenuhi oleh debitor dalam perjanjian, apabila debitor tidak memenuhi prestasi karena kesalahannya sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia baru dapat dikatakan wanprestasi. Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan.Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu: karena kesalahan debitur baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian dan karena keadaan memaksa (overmacht atau force majeure), jadi di luar kemampuan debitur.20 Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut, yaitu:

Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata).

Utang adalah yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor. Bila tidak dipenuhi, hal ini memberikan hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Untuk itu kreditor dapat meminta debitor dinyatakan pailit, sehingga harta kekayaannya disita.21 Bahwa kepailitan adalah suatu penyitaan yang dilaksanakan oleh Pengadilan atas semua harta kekayaan debitor demi untuk

17 Ibid, hal 407

18 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya, 2010), hlm. 19

19 Ibid., hlm. 20

20 Salim HS, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal 203

21 Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 10

(8)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

kepentingan para kreditor dalam pelunasan piutang mereka.22 Dengan demikian kepailitan adalah sita atas harta kekayaan (vermögen)23 dan tidak mengenai oknum debitor (pribadi debitor).

Bahwa dalam Putusan Perkara Nomor: 04/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo Nomor:23/Pdt.Sus-PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst.

antara PT. Bank CIMB Niaga, Tbk selaku Pemohon melawan PT. Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk selaku Termohon, dimana pada pokok permohonan pembatalan perdamaian yang diajukan oleh PT. Bank CIMB Niaga, Tbk mendalilkan jika PT. Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk telah Lalai dan atau tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur di dalam Perjanjian Perdamaian tertanggal 1 November 2011 yang telah disahkan (Homologasi) sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 170 junto Pasal 291 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), PT. Bank CIMB Niaga, Tbk meminta kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan PT.

Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk pailit dengan segala akibat hukumnya, dimana selain mendalilkan hal tersebut, PT. Bank CIMB Niaga Tbk juga mendalilkan jika dalam Perjanjian Perdamaian tertanggal 1 November 2011 yang telah disahkan (homologasi) tersebut juga terdapat klausula yang sangat merugikan bagi para kreditur khusunya kreditur minoritas dikarenakan tidak menjamin adanya kepastian pembayaran.

Klausula yang dimaksud dalam Perjanjian Perdamaian tertanggal 1 November 2011 tersebut adalah Pasal 2.6 berbunyi sebagai berikut:

“Setiap ketentuan Rencana Perdamaian dapat diubah atau dikesampingkan berdasarkan usulan dari Perseroan dan Persetujuan Perseroan dengan Kreditor Mayoritas dan setiap perubahan atau pelepasan hak tersebut akan mengikat Perseroan dan seluruh Kreditor.”

Menurut PT. Bank CIMB Niaga, Tbk adanya klausula tersebut yang memperbolehkan setiap waktu Debitor in casu Termohon Kasasi untuk mengesampingkan kelalaiannya atau gagal bayarnya dengan melakukan perubahan Perjanjian Perdamaian dengan persetujuan kreditor mayoritas sebagai causa yang tidak halal dan tidak boleh diatur dalam Perjanjian Perdamaian.

Adanya klausula tersebut bertentangan dengan Pasal 285 ayat 2 huruf b UU Nomor 37 Tahun 2004 yang pada pokoknya tidak menjamin terlaksananya perdamaian. Dimana menurut PT.

Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk selaku Termohon, menyatakan dalam dalil-dalil jawabannya pada pokoknya jika klausula tersebut tidak bertentangan dengan hukum, mengingat telah disahkan (homologasi) oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan terlebih lagi setiap kali akan melakukan perubahan perjanjian perdamaian PT. Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk mengklaim telah mendapatkan persetujuan dari kreditur mayoritas, sehingga telah memenuhi ketentuan dari Pasal 2.6 Perjanjian Perdamaian tertanggal 1 November 2011.

Bahwa berdasarkan Putusan Perkara Nomor: 04/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo Nomor:23/Pdt.Sus-PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst., majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pokok pertimbangan hukumnya telah menolak seluruh dalil-dalil dari PT. Bank CIMB Niaga Tbk, dimana majelis hakim sependapat dengan dalil-dalil jawaban yang dikemukakan oleh PT. Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk, yang diperkuat dengan keterangan ahli yang dihadirkan serta bukti- bukti di persidangan, yang pada pokoknya dalam pertimbagnannya majelis mengemukakan jika PT. Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk, dalam melakukan perubahan terhadap perjanjian

22 Bemard F Cotaldo, et al., Introduction to Law and the Legal Process, (New York-Chichester-Brisbane- Toronto-Singapore: John Wiley & Sons, 1980), hlm. 476

23 Polak-Polak, Failissement en Surseance van Betaling, deel l, tweede gedeelte, zesdedruk, (Groningen: Wolters- Noordhoff N.V., 1969) dalam Lee A Weng, hlm. 15

(9)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

perdamaian tertanggal 1 November 2011 yang telah disahkan (homologasi) telah memenuhi persetujuan dari Kreditur Mayoritas sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 2.6, sehingga dengan demikian perubahan perjanjian perdamaian tertanggal 7 Februari 2019 adalah sah dan mengikat bagi seluruh pihak baik debitur maupun kreditur.

Selanjutnya atas putusan Perkara Nomor: 04/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo Nomor:23/Pdt.Sus-PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst tersebut, PT. Bank CIMB Niaga, Tbk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI yang telah diputus berdasarkan Putusan Perkara Nomor:718 K/ Pdt.Sus-Pailit/2019 yang telah berkekuatan hukum tetap. Dimana yang menjadi pokok pertimbangan dari Majelis Hakim kasasi Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:24

1. Bahwa dalam perkara a quo Judex Factie menyatakan sah perubahan atas perjanjian perdamaian tertanggal 1 November 2011 yang dihomologasi Pengadilan Niaga tanggal 10 November 2011 yang dilakukan oleh Termohon/Debitor bersama Kreditor Mayoritas dengan perjanjian perdamaian yang dibuat dihadapan Notaris tanggal 7 Februari 2019;

2. Bahwa Perjanjian perdamaian tanggal 1 November 2011 yang dihomologasi Pengadilan adalah putusan yang sifatnya final dan berkekuatan hukum tetap (BHT) sehingga tidak dapat diubah dengan alasan apapun, apalagi perubahan dilakukan di luar Pengadilan. Bagi para pihak tidak ada pilihan lain, kecuali melaksanakan bunyi perdamaian yang telah dihomologasi.

3. Alasan judex Factie bahwa penambahan perjanjian perdamaian di depan notaris atas putusan pengadilan didasarkan klausula Pasal 2.6 Perjanjian Perdamaian tanggal 1 November 2011 tidak dapat dibenarkan, oleh karena klausula tersebut bertentangan dengan asas keseimbangan yang dianut dalam hukum kepailitan dan klausula tersebut menjadikan perdamaian tidak cukup terjamin untuk dilaksanakan.

4. Bahwa sudah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung bahwa bila terjadi pertentangan antara perjanjian perdamaian yang dilakukan diluar pengadilan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (BHT), maka yang berlaku adalah putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (BHT).

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI dalam Perkara Nomor:718 K/ Pdt.Sus- Pailit/2019 jelas ditentukan point penting apabila dalam Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan (homologasi) dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), tidaklah diatur hal-hal atau klausula yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) khusunya Pasal 285 ayat (2) huruf b, dimana seharusnya “Pengadilan Wajib menolak untuk mengesahkan Perdamaian apabila pelaksanaan Perdamaian tidak cukup terjamin.

Selain itu pertimbangan penting dari majelis hakim agung pada Mahkamah Agung RI, juga tegas menyebutkan apabila dalam suatu Perjanjian Perdamaian telah disahkan (Homologasi) oleh Pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap (BHT) maka tidak dimungkinkan dilakukan perubahan terhadap perjanjian perdamaian tersebut, dan apabila tetap dilakukan perubahan terhadap perjanjian perdamaian, maka yang berlaku adalah tetap perjanjian perdamaian yang telah disahkan (homologasi) oleh Pengadilan dan berkekuatan hukum tetap tersebut.

Penerapan terhadap Asas Keseimbangan yang diatur didalam Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan. Di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur. di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah

24 Lihat Mahkamah Agung RI, Putusan Perkara Nomor: 718 K/Pdt.Sus-Pailit/2019, pada hal 5-6

(10)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.25

Berkaitan dengan perkara tersebut, maka adanya klausula Pasal 2.6 dalam perjanjian perdamaian yang telah disahkan (homologasi) menurut penulis jelas merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan dari pranata dan Lembaga kepailitan oleh debitor dalam hal ini PT.

Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk, dimana ketentuan dari klausula tersebut seakan-akan dapat mengesampingkan setiap lalainya atau wanprestasinya debitur dalam memenuhi kewajiban pembayaran yang diperjanjikan seseuai dengan rencana perdamaian (composition plan), sehingga menyebabkan sejak tahun 2011 di mana Perjanjian Perdamaian tersebut disahkan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga, telah beberapa kali, PT. Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk dalam setiap kali lalai membayar kewajibannya kepada Para Krediturnya, mencoba untuk melakukan perubahan terhadap perjanjian perdamaian dengan menggunakan klausula tersebut, hal ini juga dapat dilihat pada saat PT. Asuransi Central Asia selaku salah satu Kreditor PT.

Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk di tahun 2015 mengajukan permohonan pembatalan Perjanjian Perdamaian di Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada perkara Nomor: 07/Pdt.Sus/Pembatalan Perdamaian/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. Nomor:

23/PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst, dimana Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya

pada halaman 91 Putusan Nomor: 07/Pdt.Sus/Pembatalan

Perdamaian/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. Nomor: 23/PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst menyatakan “Terbukti bahwa Termohon telah melakukan korespondensi dengan Termohon untuk melangkah memenuhi Pasal 2.6 Perjanjian Perdamaian tersebut sejak 27 November 2014 (Vide P-24, P-25, P-26) terkait dengan Restruktirisasi hutang Termohon …..”.

III. KESIMPULAN

Pengertian perdamaian menurut Pasal 1851 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang.

Perdamaian dalam PKPU diatur dalam Bab III, Bagian Kedua, Pasal 265 sampai dengan Pasal 294 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pasal 265 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menjelaskan bahwa setelah debitor mengajukan PKPU debitor berhak menawarkan suatu rencana perdamaian kepada kreditor.Rencana perdamaian yang diajukan, harus disusun sedemikian rupa oleh debitor sehingga para kreditornya akan bersedia menerima rencana perdamaian itu. Hanya rencana perdamaian yang dinilai oleh para kreditor layak dan menguntungkan bagi para kreditor yang akan diterima para kreditor.

Dalam suatu Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan (homologasi) oleh Pengadilan Niaga, tidaklah dapat diperkenankan diatur suatu klausula yang memperbolehkan debitur untuk melakukan perubahan terhadap perjanjian perdamaian atas persetujuan kreditur mayoritas, karena hal tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) khususnya Pasal 285 ayat (2) huruf b dan asas Keseimbangan yang dianut oleh Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), karena tujuan dari Perjanjian Perdamaian adalah untuk menjaga keberlangsungan usaha dari debitor dan juga menjamin kepastian pembayaran bagi para kreditur.

Sebaiknya dalam revisi Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang nantinya dibuat secara lebih jelas mengenai hal-hal apa saja yang dapat diatur

25 Lihat penjelasan umum Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

(11)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

dan hal-hal apa saja yang tidak dapat diatur di dalam rencana perdamaian yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Perdamaian yang diajukan oleh debitor kepada para krediturnya.

Diharapkan putusan Mahkamah Agung RI Perkara Nomor: 718 K/Pdt.Sus-Pailit/2019 dapat menjadi Yurisprudensi Tetap, untuk menjadi rujukan maupun pedoman bagi Para Penegak Hukum khususnya Hakim Pengadilan Niaga untuk dapat memutus perkara-perkara sejenis dan juga menjadi agar Majelis Hakim niaga sebelum mengesahkan Perjanjian Perdamaian untuk memperhatikan ketentuan pasal 285 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Daftar Pustaka Artikel

Bemard F Cotaldo, et al., Introduction to Law and the Legal Process, New York-Chichester-Brisbane- Toronto-Singapore: John Wiley & Sons, 1980.

David G Epstein, et al., Bankruptcy, St. Paul, Minn: West Publishing Co, 1995.

Polak-Polak, Failissement en Surseance van Betaling, deel l, tweede gedeelte, zesdedruk, Groningen:

Wolters-Noordhoff N.V., 1969 dalam Lee A Weng.

Ridwan Khairandy, “Beberapa Kelemahan Mendasar Undang-Undang Kepailitan Indonesia”

dalam Jurnal Magister Hukum Vol.2 No.1 Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2000.

Sri Redjeki Hartono, Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press, 2008.

Buku

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1990.

Fuady, Munir. Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Prakek, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1999.

___________.Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

___________.Hukum Pailit dalam Teori dan Prakek, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2014.

HS, Salim. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:Bayumedia, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana, 2010.

Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya, 2010.

Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Prenadamedia Group, Jakarta, 2008.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed. 1, cet.

6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Sjahdeini, Sutan Remy (I), Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2010.

Sumardjono, Maria s.w.. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta:Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, 1989.

Supramono, Gatot. Perjanjian Utang Piutang,Edisi Pertama, Kencana Gramedia Group, Jakarta, 2013.

Yuhassarie, Emmy. Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (akarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.

Internet

(12)

DHARMASISYA

Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Volume 1 Nomor 3 (September 2021) 1549-1558

e-ISSN: xxxx-xxxx; p-ISSN: xxxx-xxxx

Made Wahyu Arthaluhur, Proses PKPU Sementara dan PKPU Tetap, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ade9a469d120/proses- pkpu-sementara-dan-pkpu-tetap, pada tanggal 23 September 2019, pada pukul 14.04 WIB.

Putusan

Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor: Nomor:23/Pdt.Sus- PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Nomor:

07/Pdt.Sus/Pembatalan Perdamaian/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo Nomor:23/Pdt.Sus-PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. antara PT. Asuransi Central Asia sebagai Pemohon melawan PT. Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk sebagai Termohon.

Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara Nomor: 04/Pdt.Sus- Pembatalan Perdamaian/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo Nomor:23/Pdt.Sus- PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst. antara PT. Bank CIMB Niaga, Tbk sebagai Pemohon melawan PT. Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk sebagai Termohon.

Mahkamah Agung, Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor:718 K/ Pdt.Sus-Pailit/2019 antara PT. Bank CIMB Niaga, Tbk sebagai Pemohon Kasasi melawan PT. Arpeni Pratama Ocean Line, Tbk sebagai Termohon Kasasi.

Peraturan

Indonesia, Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443.

Kitab undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Diterjemahkan oleh Subekti. Jakarta:

Pradnya Paramita, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya setiap kegiatan pemeliharaaan yang dilakukan tidak terlepas dari besaran dana yang diperlukan didalammya, oleh karena itu maka pengendalian beban mutlak

Air Limbah adalah air buangan yang dihasilkan dari suatu proses pruduksi industri maupun domestik (rumah tangga), yang terkadang kehadirannya pada suatu saat dan

Informasi adalah hasil pemrosesan data yang diperoleh dari setiap elemen sistem tersebut menjadi bentuk yang mudah dipahami yang merupakan pengetahuan yang relevan

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa

(4) Penyelenggaraan reklame permanen menggunakan tiang atau tidak menempel dengan ketinggian kurang 12 (dua belas) meter, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana

(6) Pola seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru SLTP menggunakan Sistim Skoring Terpadu (SST) berdasarkan peringkat calon siswa yang ditentukan dari komulatif

Terdapat hubungan antara adult attachment style dengan tipe jealousy pada peserta bina pranikah klasis “X” Bandung. Ada dua dimensi dalam setiap working model yang

Lama waktu fermentasi yang paling optimum untuk menghasilkan etanol dari sampah buah jeruk adalah 6