• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam konteks global, istilah corporate social responsibility pertama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam konteks global, istilah corporate social responsibility pertama"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Corporate Social Responsibility

Dalam konteks global, istilah corporate social responsibility pertama sekali dikemukakan tahun 1953 oleh Howard Botton dalam bukunya yang berjudul ”The Social Responsibilities of A Businessman” yang menjelaskan tentang tanggung jawab apa yang dapat diharapkan dalam sebuah perusahaan (Garriga & Mele, 2004 dalam Simon & Fredrik, 2009) dan mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas The World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas corporate social responsibility ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people) (Edi, 2008).

Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, social accounting

(2)

(Mathews,1995) atau corporate social responsibility (Hackston dan Milne, 1996) merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), di luar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham (Gray dkk, 1987 dalam Sembiring 2005).

Definisi mengenai corporate social responsibility sekarang ini sangatlah beragam. Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), corporate social responsibility adalah sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.

Anggraini (2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai

(3)

sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi.

Faktor yang mempengaruhi implementasi dan pengungkapan corporate social responsibility adalah diantaranya political economy theory, legitimacy theory, dan stakeholder theory (Deegan 2002). Sedangkan menurut Roberts (1992), bahwa political theory dan social contexts merupakan faktor penting yang mempengaruhi keputusan untuk mengungkapkan informasi corporate social responsibility. Haigh dan Jones (2006) mengungkapkan bahwa terdapat 6 faktor yang mempengaruhi praktik corporate social responsibility oleh perusahaan.

Keenam faktor tersebut adalah internal pressures on business managers, pressures from business competitors, investors and consumers, and regulatory pressures coming from governments and non-governmental organizations. Gray dkk (1995) dalam Henny dan Murtanto (2001) menyebutkan bahwa terdapat tiga studi terkait dengan praktik dan pengungkapan corporate social responsibility, diantaranya adalah decision usefullness studies, economic theory studies, dan social and political theory studies. Economic theory studies menggunakan agency theory dan positive accounting theory, dimana teori tersebut menganalogikan manajemen sebagai agen dari suatu prinsipal. Dalam penggunaan agency theory, prinsipal diartikan sebagai pemegang saham atau traditional users lain. Namun pengertian prinsipal tersebut meluas menjadi seluruh interest group perusahaan yang bersangkutan. Sebagai agen manajemen akan berupaya mengoperasikan

(4)

perusahaan sesuai dengan keinginan publik (stakeholder). Guthrie dan Parker (1990) dalam Sayekti dan Wondabio (2007) menyatakan bahwa dalam pengungkapan informasi corporate social responsibility dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara perusahaan untuk membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan politis.

Sen dan Bhattacharya (2001) dalam Dewi (2007) menjelaskan bahwa terdapat enam hal pokok yang termasuk dalam corporate social responsibility yaitu ;

1. Community support, yaitu dukungan pada program pendidikan, kesehatan, kesenian, dan sebagainya.

2. Diversity, merupakan kebijakan perusahaan untuk tidak membedakan konsumen dan calon pekerja dalam hal gender, fisik, atau ras tertentu.

3. Employee support, berupa perlindungan kepada tenaga kerja, insentif dan penghargaan serta jaminan keselamatan kerja.

4. Environment, menciptakan lingkungan yang sehat dan aman, mengelola limbah dengan baik, menciptakan produk-produk yang ramah lingkungan.

5. Non-US operations, perusahaan bertanggung jawab untuk memberikan hak yang sama bagi masyarakat dunia untuk mendapat kesempatan bekerja, antara lain dengan membuka pabrik di luar negeri (abroad operations).

(5)

6. Product. Perusahaan berkewajiban untuk membuat produk yang aman bagi kesehatan, tidak menipu, melakukan riset dan pengembangan produk, dan menggunakan kemasan yang bisa didaur ulang (recycled).

Areal tanggung jawab sosial perusahaan dalam Januarti (2005) terdiri dalam tiga level, yaitu:

1. Basic responsibility merupakan tanggung jawab yang muncul karena keberadaan perusahaan tersebut, misalnya kewajiban membayar pajak, mematuhi hukum, memenuhi standar pekerjaan, dan memuaskan pemegang saham.

2. Organizational responsibility, menunjukkan tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi perubahan kebutuhan stakeholder seperti: pekerja, konsumen, pemegang saham, dan masyarakat di sekitarnya.

3. Societal responsibility, menjelaskan tahapan ketika interaksi antara bisnis dan kekuatan lain dalam masyarakat yang demikian kuat sehingga perusahaan dapat tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan.

Hasil penelitian Anggraini (2006) menunjukkan bahwa perusahaan yang mengungkapkan informasi sosial (1) menunjukkan keikutsertaaanya dalam kegiatan sosial, (2) memiliki risiko sistematis dan tingkat leverage yang rendah, dan (3) cenderung merupakan perusahaan yang berskala besar. Jadi pengungkapan informasi sosial berhubungan positif dengan kinerja sosial dan visibilitas politis serta berhubungan negatif dengan biaya kontrak dan pengawasan.

(6)

2.1.2. Good Corporate Governance

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan good corporate governance sebagai sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Good corporate governance dalam penelitian ini merupakan mekanisme corporate governance seperti kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, dan ukuran komite audit.

Pada tanggal 16 Agustus 2007, pemerintah telah mengesahkan peraturan yang mengatur tentang Perseroan Terbatas yaitu Undang-undang No. 40 Tahun 2007. Keberadaan Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut diharapkan mampu menjamin terselenggaranya iklim usaha yang kondusif, dimana Perseroan Terbatas sebagai suatu pilar pembangunan perekonomian perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional. Pembaharuan Undang- Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 ini salah satunya adalah untuk mendukung implementasi dari good corporate governance.

Tujuan good corporate governance pada intinya adalah menciptakaan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (Arifin, 2005). Pihak-pihak tersebut adalah pihak internal yang meliputi dewan komisaris, direksi, karyawan, dan pihak eksternal yang meliputi investor, kreditur, pemerintah, masyarakat dan pihak pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Dalam praktiknya good corporate governance ini berbeda di setiap negara dan perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi, hukum, struktur kepemilikan, sosial dan budaya. Perbedaan praktik ini menimbulkan beberapa versi yang menyangkut

(7)

prinsip-prinsip good corporate governance, namun demikian pada dasarnya adalah mempunyai banyak kesamaan.

Menurut Organization for Economic Corporation and Development (OECD), prinsip dasar good corporate governance adalah: kewajaran (fairness), akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), dan responsibilitas (responsibility). Prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk mengukur seberapa jauh good corporate governance telah diterapkan dalam perusahaan. Adapun, penjelasan untuk ke empat prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kewajaran (fairness). Prinsip kewajaran menekankan pada adanya perlakuan dan jaminan hak-hak yang sama kepada pemegang saham minoritas maupun mayoritas, termasuk hak-hak pemegang saham asing serta investor lainnya. Praktik kewajaran juga mencakup adanya sistem hukum dan peraturan serta penegakannya yang jelas dan berlaku bagi semua pihak. Prinsip kewajaran ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah yang timbul dari adanya hubungan kontrak antara pemilik dan manajer karena diantara kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda (conflict of interest) salah satu cara mengatasinya adalah dengan memberikan saham kepada manager.

2. Akuntabilitas (accountability). Prinsip akuntabilitas berhubungan dengan adanya sistem yang mengendalikan hubungan antara unit-unit pengawasan yang ada di perusahaan. Akuntabilitas dilaksanakan dengan adanya dewan komisaris dan direksi independen, dan komite audit. Akuntabilitas

(8)

diperlukan sebagai salah satu solusi mengatasi agency problem yang timbul antara pemegang saham dan direksi serta pengendaliannya oleh komisaris.

3. Transparansi (transparency). Prinsip dasar transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disajikan oleh perusahaan. Kepercayaan investor akan sangat tergantung dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator-indikator yang sama. Dengan kata lain prinsip transparansi ini menghendaki adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam penyajian (disclosure) informasi yang dimiliki perusahaan. Transparansi dilaksanakan dengan adanya kepemilikan institusi.

4. Responsibilitas (responsibility). Responsibilitas diartikan sebagai tanggung jawab perusahaan untuk mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku serta pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.

Responsibilitas menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai yaitu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan pihak-pihak lainnya. Prinsip

(9)

responsibility ini penekanannya diberikan kepada kepentingan stakeholders perusahaan.

Sebagian penelitian yang bersifat akademis telah membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara struktur dan mekanisme corporate governance dan kinerja keuangan perusahaan atau nilai perusahaan (Black dkk 2002, Garay dan Gonzales 2008, Dharmapala dan Khana 2008, Silveira dan Barros 2007).

Menurut Downes dan Goodman (1999) dalam Murwaningsari, (2009) kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan. Dalam teori keagenan dijelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham mungkin bertentangan. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah biaya perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan penurunan deviden yang akan diterima. Dengan peningkatan kepemilikan managerial yang lebih baik dapat menyelaraskan kepentingan manajer dan pemegang saham, sehingga dapat meningkatkatkan nilai perusahaan.

Kepemilikan manajerial berpengaruh pada nilai perusahaan (Nurlela dan Islahuddin, 2008).

Kepemilikan institusional dalam proporsi yang besar juga mempengaruhi nilai perusahaan. Nilai perusahaan dapat meningkat jika lembaga institusi mampu

(10)

menjadi alat pemonitoran yang efektif. Hasil penelitian Bjuggren et al. (2007) menemukan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan. Komisaris independen mempunyai akuntabilitas yang tinggi didalam melakukan pengawasan, semakin baik pengawasan sebuah perusahaan semakin baik kualitas pengungkapan informasi yang disampaikan. Penelitian Rustiarini (2010) menunjukkan bahwa komisaris independen berpengaruh positif pada nilai perusahaan.

Komite audit yang bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal dapat mengurangi sifat opportunistic manajemen dengan cara mengawasi laporan keuangan dan melakukan pengawasan pada audit eksternal. Komite audit meningkatkan integritas dan kredibilitas pelaporan keuangan melalui: (1) pengawasan atas proses pelaporan termasuk sistem pengendalian internal dan penggunaan prinsip akuntansi berterima umum, dan (2) mengawasi proses audit secara keseluruhan. Hasilnya mengindikasikan bahwa adanya komite audit memiliki konsekuensi pada laporan keuangan yaitu: (1) berkurangnya pengukuran akuntansi yang tidak tepat, (2) berkurangnya pengungkapan akuntansi yang tidak tepat dan (3) berkurangnya tindakan kecurangan manajemen dan tindakan ilegal.

(11)

Komite audit juga berpengaruh pada nilai perusahaan (Black et al. 2002; Siallagan dan Machfoedz, 2006).

2.1.3. Profitabilitas

Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial menurut Belkaoui dan Karpik (1989) paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Bucholdz (1978) dalam Belkaoui dan Karpik (1989) bahwa manajemen yang sadar dan memperhatikan masalah sosial juga akan mengajukan kemampuan yang diperlukan untuk menggerakkan kinerja keuangan perusahaan. Konsekuensinya, perusahaan yang mempunyai respon sosial dalam hubungannya dengan pengungkapan tanggung jawab sosial seharusnya menyingkirkan seseorang yang tidak merespon hubungan antara profitabilitas perusahaan dengan variabel akuntansi seperti tingkat pengembalian investasi dan variabel pasar seperti differensial return harga saham (Sembiring, 2003).

Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham (Heinze, 1976 dalam Hackston dan Milne, 1996). Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial (Bowman dan Haire, 1976 dan Preston, 1978 dalam Hackston dan Milne

(12)

1996). Hackston dan Milne (1996) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial.

Belkaoui dan Karpik (1989) mengatakan bahwa dengan kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable. (Anggraini, 2006).

Rasio profitabilitas adalah sekelompok rasio yang menunjukkan gabungan pengaruh dari likuiditas, manajemen aktiva, dan utang pada hasil operasi (Brigham & Houston, 2010). Rasio yang biasa digunakan untuk mengukur dan membandingkan kinerja profitabilitas adalah gross profit margin, operating profit margin, net profit margin, return on equity dan return on assets (Syamsudin, 1985:55, dalam Ahmar dan Kurniawan, 2007).

Gross profit margin merupakan rasio profitabilitas yang menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Gross profit margin merupakan presentase dari laba kotor dibandingkan dengan sales.

Operating profit margin adalah rasio yang menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba sebelum adanya pajak dan bunga dari penjualan yang dilakukan. Rasio ini menggambarkan apa yang biasanya disebut

"pure profit" yang diterima atas setiap rupiah dari penjualan yang dilakukan.

Operating profit disebut murni (pure) dalam pengertian bahwa jumlah tersebut yang benar-benar diperoleh dari hasil operasional perusahaan dengan mengabaikan kewajiban-kewajiban finansial berupa bunga serta kewajiban terhadap pemerintah berupa pembayaran pajak. Net profit margin adalah rasio

(13)

profitabilitas yang menghitung sejauh mana perusahaan dalam menghasilkan laba setelah dipotong pajak dan bunga dari penjualan yang dilakukan. Semakin tinggi net profit margin, maka makin baik profitabilitas suatu perusahaan. Return on equity (ROE) menunjukkan kemampuan manajemen perusahaan dalam mengelola modal yang tersedia untuk mendapatkan net income yang tersedia bagi pemegang saham. Semakin tinggi return adalah semakin baik karena berarti dividen yang dibagikan atau ditanamkan kembali sebagai retained earning juga akan makin besar. Return on assets (ROA) menunjukkan kemampuan manajemen perusahaan dalam menghasilkan income dari pengelolaan aset yang dimiliki untuk menghasilkan laba. Rasio ini menunjukkan seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan asetnya. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin efektif penggunaan aktiva tersebut. Kelima rumus rasio untuk menghitung profitabilitas ini dicantumkan pada tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1

Rumus Rasio - Rasio Profitabilitas Profitabilitas

Rasio Rumus

Gross Profit Margin (GPM)

Sales

Sales – Cost Of Good Sales Operating Profit Margin (OPM)

Sales Operating Profit Net Profit Margin (NPM)

Sales

Net Profit After Tax Return On Equity (ROE)

Stockholder Equity Net Profit After Tax Return On Asset (ROA)

Total Assets Net Income

(14)

2.1.4. Nilai Perusahaan

Dalam penilaian perusahaan terkandung unsur proyeksi, asuransi, perkiraan, dan judgment. Ada beberapa konsep dasar penilaian yaitu : nilai ditentukan untuk suatu waktu atau periode tertentu; nilai harus ditentukan pada harga yang wajar; penilaian tidak dipengaruhi oleh kelompok pembeli tertentu.

Secara umum banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan dalam penilaian perusahaan, di antaranya adalah : a) pendekatan laba antara lain metode rasio tingkat laba atau price earning ratio, metode kapitalisasi proyeksi laba; b) pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas; c) pendekatan dividen antara lain metode pertumbuhan dividen; d) pendekatan aktiva antara lain metode penilaian aktiva; e) pendekatan harga saham; f) pendekatan economic value added (Suharli, 2006).

Samuel (2000) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008) menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan Wahyudi (2005) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut di jual.

Suatu perusahaan dikatakan mempunyai nilai yang baik jika kinerja perusahaan juga baik. Nilai perusahaan dapat tercermin dari harga sahamnya. Jika nilai sahamnya tinggi bisa dikatakan nilai perusahaannya juga baik. Karena tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan

(15)

kemakmuran pemilik atau para pemegang saham (Gapensi, 1996 dalam Wahidahwati, 2002).

Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen mengenai penilaian investor terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya dimasa depan. Ada beberapa rasio untuk mengukur nilai pasar perusahaan, salah satunya Tobin’s Q. Rasio ini dinilai bisa memberikan informasi paling baik, karena dalam Tobin’s Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan namun seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan seluruh asset perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan operasional perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004).

Jadi semakin besar nilai Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan maka semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut (Sukamulja, 2004).

Menurut Klepper dan Love (2002) dalam Murwaningsari (2009) nilai perusahaan (Tobin’s Q) adalah adalah perbandingan antara market value of equity ditambah debt dibagi dengan total asset.

(16)

2.2. Review Peneliti Terdahulu (Theoritical Mapping)

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk melihat hubungan antara pengaruh good corporate governance terhadap nilai perusahaan, begitu juga penelitian antara pengungkapan corporate social responsibility dan nilai perusahaan, salah satunya adalah penelitian oleh Rustiarini (2010) yang meneliti:

Pengaruh corporate governance pada hubungan corporate social responsibility dan nilai perusahaan, dimana nilai perusahaan merupakan variabel dependen diproksikan dengan Tobin’s Q dan corporate social responsibility sebagai variabel independen yang dihitung berdasarkan item pengungkapan sesuai dengan Sembiring (2005) dan corporate governance yang diproksikan dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, proporsi komisaris independen dan jumlah anggota komite audit sebagai variabel pemoderasi pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI sampai tahun 2008. Dengan menggunakan analisis regresi berganda menunjukkan hasil bahwa corporate social responsibility dan corporate governance berpengaruh terhadap nilai perusahaan dan penerapan corporate governance telah menuntun perusahaan untuk melakukan corporate social responsibility sehingga meningkatkan nilai perusahaan.

Nurlela dan Islahudin (2008) meneliti tentang pengaruh corporate social responsibility terhadap nilai perusahaan dengan kepemilikan manajemen sebagai variabel moderatingnya pada perusahaan yang terdaftar di BEJ tahun 2005,

(17)

hasilnya adalah corporate social responsibility tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan dan kepemilikan manajemen berpengaruh terhadap nilai perusahaan sedangkan kepemilikan manajemen dan interaksinya dengan corporate social responsibility juga tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

Penelitian yang dilakukan Murwaningsari (2009) tentang hubungan corporate governance, corporate social responsibility dan corporate financial performance pada perusahaan manufaktur di BEI tahun 2006, dengan analisis jalur, menujukkan corporate governance yaitu kepemilikan managerial dan institusional mempunyai pengaruh terhadap kinerja perusahaan yang dinilai dengan Tobin’s Q. Selanjutnya juga ditemukan hubungan antara corporate governance dan corporate social responsibility dengan nilai perusahaan.

Penelitian dari Andayani dkk (2008) yang meneliti tentang corporate social responsibility, corporate governance and the intellectual property:An External Strategy Of The Management to Increase The Company’s Value pada persuahaan yang terdaftar di BEJ tahun 2004-2005. Hasil dari penelitiannya adalah bahwa komisaris independen berpengaruh terhadap pengungkapan corporate social responsibility sedangkan kepemilikan institusional, market value, komite audit, dan kualitas audit tidak berpengaruh terhadap corporate social responsibility. Kepemilikan institusi dan corporate social responsibility berpengaruh terhadap kinerja perusahaan yang diproksikan dengan ROE dan Tobin’s Q.

(18)

Harjoto dan Jo (2007) meneliti tentang Corporate Governance and Firm Value The Impact of Corporate Social Responsibility dari perusahaan yang terdaftar di Kinder, Lydenberg, and Domini’s (KLD) Socrates database, the Investor Responsibility Research Center’s (IRRC) governance and director database, dan the I/B/E/S database selama periode 1993 – 2004. Mereka meneliti efek dari internal dan eksternal corporate governance dan memantau mekanisme terhadap pilihan corporate social responsibility dan keterlibatan nilai perusahaan dalam aktifitas corporate social responsibility. Menemukan bahwa pilihan corporate social responsibility terkait dengan karakteristik perusahaan seperti, ukuran perusahaan, leverage, R&D, Profitabilitas serta karakteristik corporate governance termasuk kepemimpinan komisaris, komisaris independen, kepemilikan institusional. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa corporate social responsibility, kepemilikan institusi dan komisaris independen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q.

(19)

Tabel 2.2

Review Peneliti Terdahulu

Nama Peneliti (Tahun)

Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian

Ni Wayan Rustiarini

(2010)

Pengaruh Corporate Governance pada hubungan Corporate Social Responsibility dan Nilai Perusahaan

1.Nilai perusahaan: Tobin’s Q 2.CSR: pendekatan dikotomi, setiap item CSRI yang diungkapkan diberi nilai 1, 0 untuk yang tidak.

3.CGC: Dengan proksi:

a.Kepemilikan Manajerial, b.Kepemilikan Institusioanl c.Proporsi Komisaris Independen d.Jumlah anggota

komite audit

1.CSR berpengaruh pada nilai perusahaan

2.CG berpengaruh terhadap nilai perusahaan

3.CG berpengaruh pada hubungan CSR dengan nilai perusahaan

Etty

Murwaningsari (2009)

Hubungan Corporate Governance,Corporate Social

Responsibilities dan Corporate Financial Performance dalam satu Continuum

1.Kinerja perusahaan: Tobin’s Q

2.Kepemilikan Manajerial 3.Kepemilikan Institusional 4.CSR: pendekatan dikotomi, setiap item CSRI yang diungkapkan diberi nilai 1, 0 untuk yang tidak.

1.Kepemilikan manajerial dan institusional sebagai GCG mempunyai pengaruh terhadap kinerja

perusahaan dan CSR.

2.CSR berpengaruh terhadap Kinerja perusahaan

Rika Nurlela dan Islahuddin (2008)

Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase

Kepemilikan

Manajemen sebagai Variabel Moderating

1.Nilai perusahaan: Tobin’s Q 2.CSR: pendekatan dikotomi, setiap item CSRI yang diungkapkan diberi nilai 1, 0 untuk yang tidak.

3.Kepemilikan Manajemen:

diukur dengan natural logaritma dari % saham yang dimiliki manajer,direksi dan komisaris dibagi total saham

1.CSR tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

2.Kepemilikan Manajemen berpengaruh terhadap CSR 3.Interaksi antara CSR dengan Kepemilikan Manajemen tidak berpengaruh terhadap CSR

Wuryan Andayani, Sari Atmini, Dede Sadewo dan James kamau Mwangi (2008)

Corporate Social Responsibility, Good Corporate Goverance and The Intellectual property: AN External Strategy Of The Management To Increase The Company’s Value

1.Nilai perusahaan : Tobin’s Q dan ROE

2.Kepemilikan Institusional 3.Komisaris Independen 4.Komite Audit 5.Kualitas Audit 6.Intellectual Property

CSR dan Kepemilikan Institusional memiliki hubungan dengan nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q dan ROE

Harjoto dan Jo (2007)

Corporate

Governance and Firm Value The Impact of Corporate Social Responsibility

1. Nilai perusahaan : Tobin’s Q dan ROE

2. CSR: menggunakan variabel dummy

3.ROA

4. Kepemilikan Institusional 5.Komisaris Independen

CSR, kepemilikan institusional dan komisaris

independen memiliki hubungan positif dengan nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q

Referensi

Dokumen terkait

Pradana & Sanjaya (2017) X1 = Profitabilitas X2 = Aliran Kas Bebas X3 = Kesempatan Investasi Y = Pembayaran Dividen Hasil penelitian menunjukkan:  Aliran Kas

Oleh sebab itu saya sepekat bahwa dalam negara demokrasi yang multikultural seperti Indonesia identitas kewarganegaraan bukanlah “satu identitas di antara banyak identitas” atau

Bahan Bukan Buku diletak pada rak atau tempat lain yang sesuai.. CONTOH COP PEROLEHAN

Ijtihād dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ atau ketentuan hukum yang bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data, apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila

Bagi suami isteri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu dengan yang lain kemudian bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan

Variasi capit pada Gambar 3 (b) sama dengan variasi pada Gambar 3 (a) dalam hal tidak menunjukkan adanya gigi (gape) pada dactil maupun pollex; bagian ujung dari

- Dokumen Penawaran dimasukkan ke dalam sampul dan ditulis “Dokumen Penawaran” , Serta Ditulis Nama Paket Pekerjaan, Nama dan Alamat Peserta, dan Ditujukan Kepada: "Pokja