• Tidak ada hasil yang ditemukan

Judul : Peran Perempuan dalam Penerapan Sistem hukum Waris Adat Pada Masyarakat Lampung di Kepaksian Buay Pernong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Judul : Peran Perempuan dalam Penerapan Sistem hukum Waris Adat Pada Masyarakat Lampung di Kepaksian Buay Pernong"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Judul : Peran Perempuan dalam Penerapan Sistem hukum Waris Adat Pada Masyarakat Lampung di Kepaksian Buay Pernong

Nama Penulis : Aregina Nareswari Firuzzaurahma Abstrak :

Masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong adalah masyarakat adat yang terletak di Lampung Barat dan menganut sistem waris adat mayorat, dimana utamanya warisan secara keseluruhan diberikan kepada laki-laki. Akan tetapi di dalam hal suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki untuk menjadi ahli waris, maka diperbolehkanlah anak perempuan menggantikan posisinya sebagai ahli waris. Skripsi ini membahas mengenai bagaimana kedudukan perempuan bila dilihat dalam hukum waris adat Syaibatin Buay Pernong dimana ia berkedudukan sebagai ahli waris dan menggantikan posisi laki-laki dalam keluarga.

Penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan normatif dan pendekatan empiris Pendekatan normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas, pengertian dan ketentuanketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Pendekatan empiris dilakukan untuk memperoleh fakta mengenai perilaku subyek hukum yang berhubungan dengan permasalahan.

Kata Kunci : Lampung, Waris, Adat, Pernong

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pluralisme sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dari hukum yang berlaku pada masyarakat, sebut saja Hukum Perdata Barat, Hukum Islam, dan Hukum adat.

Masing- masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda satu dengan lainnya.

Dalam hukum adat pluralisme ini lebih terlihat lagi, ini diakibatkan karena masyarakat Indonesia yang memiliki kultur dan budaya yang berbeda-beda disetiap tempat tinggalnya. Letak geografis, karakteristik masyarakat, dan kultur adat yang bervariasi membuat hukum adat yang ada disetiap lokasi di Indonesia bermacam- macam.

Masyarakat adalah merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok atau kumpulan manusia tersebut.1 Semua masyarakat di dunia memiliki karakteristik tersebut, begitu pula dengan masyarakat di daerah yang ada di Indonesia.

Masyarakat di Indonesia memiliki adat istiadat budaya dan tempat kediaman masing- masing, mereka juga memiliki peraturan sendiri-sendiri yang mengatur mengenai tingkah laku moral manusia yang hidup dalam masyarakatnya di wilayah kekuasaan masyarakat itu sendiri.

Di Indonesia dikenal pula masyarakat yang terikat kepada hukum adat, disebut pula sebagai masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah merupakan suatu kesatuan manusia yang saling berhubungan dengan pola berulang tetap, yaitu

                                                                                                                         

1 Paul B. Horton & C. Hunt, Sociology, (New York : McGraw-Hill Book Co, 1964), hlm. 582.

(3)

suatu masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah, keturunan, serta wilayah keturunan.2 Masyarakat adat ini terikat dengan hukum adat daerah masing-masing.

Dalam hukum adat terdapat peraturan-peraturan yang meregulasi masyarakat yang terikat kepada hukum tersebut. Hukum adat mengatur mengenai tata cara kehidupan dan tingkah laku dalam masyarakat dan juga mengenai bagaimana cara mewaris secara adat masing-masing. Hukum waris adat adalah suatu elemen penting yang juga diregulasi oleh hukum adat karena hal ini berperan penting dalam regenerasi suatu masyarakat. Arti dari hukum waris adat sendiri adalah adalah suatu hukum yang meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun immateril yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya.3

Mengingat masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan memiliki adat istiadat dan hukum adat yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya, tidak anehlah bila banyak sekali karakteristik unik yang berbeda satu sama lainnya antara hukum waris adat yang ada di penjuru daerah-daerah Indonesia. Hal ini menarik untuk ditelaah selanjutnya. Salah satu dari banyaknya hukum waris adat yang memiliki karakteristik dan adatnya sendiri adalah Hukum Waris Adat Syaibatin Buay Pernong yang bertepat di Lampung.

Kerajaan Adat Syaibatin Buay Pernong terletak di kecamatan Batu Brak, Lampung Barat. Walaupun sistem kerajaan telah punah dan seluruh masyarakat yang ada di teritorial Republik Indonesia menundukan diri menjadi satu padu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi kerajaan ini masih dihormati dan diakui oleh masyarakat yang ada di Lampung Barat. Hal ini terlihat dari banyaknya animo dan antusiasme yang diberikan masyarakat daerah tersebut terhadap keberlangsungan kerajaan ini. Salah satu yang dapat dilihat adalah partisipasi mereka dalam segala rangkaian kegiatan adat yang ada, misalnya Cakak Buah yang diadakan di depan Lamban Gedung—pusat kerajaan Syaibatin Buay Pernong—saat perayaan hari kemerdekaan atau hari Lebaran, serta Bedua’ yang diadakan untuk mendoakan kesejahteraan kerajaan tersebut yang juga diadakan di Lamban Gedung.

                                                                                                                         

2 Mr.B.Ter Haar Bzn, Asas – asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita : 1981), hlm.

70. 3 Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta : Haji Masagung : 1990) hlm. 165.

(4)

Pengimplementasian dari adat dan tradisi yang rutin dilakukan menunjukan bahwa rasa hormat dan antusiasme masyarakat yang merasa memiliki adat Syaibatin Buay Pernong ini masih kental, dan merekapun masih memakai hukum adat sebagai pembimbing perilaku mereka dalam melakukan aktifitas di masyarakat.

Secara umum, Syaibatin Buay Pernong memakai sistem hukum kewarisan adat Mayorat laki-laki, dimana anak tertua laki-laki adalah ahli waris yang akan dilimpahkan seluruh harta warisan untuk setelahnya ia pelihara demi kesejahteraan seluruh keluarga.4 Walaupun seluruh harta akan jatuh kepada anak laki-laki tertua atau sulung tersebut, seluruh kewajiban untuk mesejahterakan keluarga dan sanak saudarapun ditanggung olehnya. Menggunakan harta yang diwariskan kepadanya, ia harus memelihara saudaranya sampai mapan dan dapat berdiri di kaki sendiri.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa harta warisan dibagikan hanya kepada anak sulung laki-laki dari pewaris dan otomatis harta tersebut hanya dikuasai anak tertua. Hal ini sama juga berarti bahwa yang memiliki hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai oleh anak tertua laki-laki atau anak sulung laki-laki, tentu saja dengan tidak melupakan kewajibannya untuk mengurus dan memelihara keluarga besarnya

Dilihat dari atas, dapat dikatakan bahwa anak laki-laki tertua adalah merupakan ahli waris satu-satunya dalam hukum waris adat Syaibatin Pernong.

Dalam sistem hukum waris adat Syaibatin Buay Pernong cara perkawinan yang dilakukan oleh ahli waris bukan merupakan masalah bilamana cara perkawinannya adalah semanda atau jujur, yang terpenting adalah harta ahli waris secara turun temurun menjadi tanggung jawab anak laki-laki tertua. Walaupun sebenarnya anak perempuan dapat menggantikan kedudukan anak laki-laki sebagai ahli waris bila dalam keluarga yang ada di Syaibatin Buay Pernong itu tidak memiliki anak laki-laki, tetapi seakan-akan fakta ini dikesampingkan, dan banyak masyarakat Syaibatin Buay Pernong yang tetap lebih memilih untuk memiliki anak laki-laki daripada perempuan.

Hal ini tidak hanya terlihat dalam masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong yang mengutamakan anak laki-laki untuk mengemban hak dan kewajiban sebagai ahli waris, tetapi pemikiran ini secara general masih dipakai oleh masyarakat di Lampung                                                                                                                          

4 P.N.H. Simanjuntak, S.H.. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2005. hlm.

67.

(5)

pada umumnya. Mereka masih menganut suatu kepercayaan dimana semua tanggung jawab keluarga harus diemban oleh laki-laki. Sehingga posisi perempuan untuk mendapatkan waris atau bertindak sebagai ahli waris seringkali luput dari pembahasan dan pemikiran orang-orang Lampung kebanyakan—termasuk pada masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong ini.

Akan tetapi di dalam perjalanan hidup ini tentunya seseorang tidak dapat memperkirakan anugerah yang berupa keturunan atau anak dengan jenis kelamin apakah yang akan diberikan oleh Tuhan kepadanya. Manusia bisa saja berencana dengan teknologi yang mutakhir untuk mendapatkan jenis kelamin anak sebagai pewaris keturunan yang ia mau, tetapi semua tentunya masih tentatif, dan pada akhirnya anak seperti apakah yang akan diberikan kepada sebuah keluarga adalah kembali kepada kehendak Tuhan. Sehingga, sangat mungkin terjadi suatu keadaan dimana sebuah keluarga dalam Syaibatin Buay Pernong tidak mendapatkan keturunan laki-laki.

Sebuah pertanyaan pun timbul, apakah kewarisan secara adat tidak dapat dilakukan? Pada masyarakat Syaibatin Buay Pernong yang masih umumnya mengutamakan suatu kewarisan diserahkan kepada laki-laki ternyata dapat juga dapat diserahkan kepada perempuan. Di hukum adat Syaibatin Buay Pernong, dalam hal dimana suatu keluarga tidak memiliki garis keturunan laki-laki, tidak berarti garis keluarga tersebut berhenti dan harta waris tidak dapat diberikan kepada keturunannya.

Bila ia masih memiliki anak perempuan maka hak tersebut dapat dialihkan kepada anak perempuannya itu. Tetapi hak perempuan dalam hukum waris adat, walaupun ada dan nyata, tidak terlalu mendapat perhatian di daerah yang masih mengakui laki- laki sebagai satu-satunya sumber kekuatan untuk mengurus masalah keluarga.

Di Indonesia, kemajuan perempuan menjadi agenda penting dan utama.

Sekarang adalah era emansipasi wanita, dimana hak wanita sama dengan pria.

Diketahui peranan perempuan secara hukum wanita Indonesia berpeluang sama dengan laki-laki. Dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditegaskan mengenai kesamaan dan kewajiban bagi penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan baik di bidang kesehatan, hak perseorangan, politik dan pekerjaan. Bahkan wanita sudah memegang peranan penting dalam struktur masyarakat, dimana wanita sekarang dapat aktif berpartisipasi dalam kegiatan

(6)

di lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan organisasi masyarakat.5 Hal ini menunjukan bahwa emansipasi telah berhasil dilakukan dan kesetaraan gender di Indonesia antara laki-laki dan wanita memanglah ada. Sehingga, jelaslah bahwa peranan wanita dan pria memang dianggap setara dalam berbagai aspek, dimana hak dan kewajiban yang dipegang laki-laki dan wanita sebagai bagian dari masyarakat sudah seharusnya dianggap setara.

Akan tetapi walaupun emansipasi sudah dijalankan, stereotype masyarakat dimana laki-laki masih harus memegang kendali masih sangat kental. Apalagi bila dilihat dari budaya adat masyarakat Indonesia sendiri yang memang lebih condong kearah patrilineal, dimana masyarakatnya lebih memberikan posisi yang berkuasa terhadap laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut membuat posisi wanita dan pria tidak lagi seimbang, bahkan kadangkala, rancu. Terjadi pula suatu keadaan dimana pada masyarakat yang sistem adatnya memberikan posisi seimbang antara pria dan wanita tetaplah kedudukan pria lebih diutamakan, padahal seharusnya kedudukan tersebut setara. Sehingga bagaimana seharusnya kedudukan wanita dalam adat yang ada di Indonesia dibuat seakan-akan kurang penting dan tidak relevan. Tradisi dan adat dimana masyarakat kurang memperhatikan wanita ini sudah berlangsung cukup lama dan sudah seharusnya diperbaiki.

Salah satu dari cara memperbaiki stereotype ini adalah dengan menyorot kedudukan wanita dalam sistem masyarakat, bagaimana sesungguhnya peran yang ia dapat ambil sebagai salah satu elemen masyarakat. Hal ini termasuk juga untuk menyorot kedudukan wanita dalam hukum waris adat. Perlu sorotan terhadap hak-hak wanita atas harta waris yang sesungguhnya dapat diwariskan kepadanya akan tetapi malah diberikan kepada orang yang tidak berhak. Hal-hal seperti ini yang masih luput dari perhatian kita terutama khususnya pada masyarakat adat yang sistem waris adatnya lebih condong keterpihakannya kepada laki-laki. Keadaan ini juga terdapat di daerah Lampung secara keseluruhan, termasuk di Syaibatin Buay Pernong. Luputnya perhatian ini tentunya perlu menjadi sorotan dan untuk senantiasa diindahkan. Untuk menghetahui bagaimana seharusnya pengaturan hak dan kewajiban wanita dalam hukum waris adat sebenarnya, maka tentunya perlu diadakan penelitian mengenai hal                                                                                                                          

5 Mariati Zendato, S.H, M.Hum., Perkembangan Kedudukan Wanita dalam Sistem Patrilineal terhadap Hak-Hak Pewarisan Tanah di Daerah Kabupaten Nias, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1528/1/fh-mariati.pdf

(7)

yang bersangkutan. Hal diatas inilah yang melatarbelakangi keinginan penulis untuk membuat tulisan dengan judul:

”Peran Perempuan dalam Penerapan Sistem Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Lampung di Kepaksian Buay Pernong.”

1.2 Pokok Permasalahan

Yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini antara lain adalah:

1. Bagaimanakah kedudukan perempuan dalam sistem kewarisan adat Syaibatin Buay Pernong?

1.3 Tujuan Penulisan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tata cara sistem Hukum Waris Adat Syaibatin Buay Pernong dan keadaan seperti apakah yang dapat membuat perempuan menjadi ahli waris dalam Hukum Waris Adat Syaibatin Buay Pernong.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan pengaturan mengenai tata cara sistem Hukum Waris Adat Syaibatin Buay Pernong secara keseluruhan.

2. Menjelaskan bagaimana proses penentuan pewaris, ahli waris, harta apa saja yang dapat dijadikan harta waris, dan kedudukan perempuan dalam sistem kewarisan adat Syaibatin Buay Pernong

1.4 Definisi Operasional

1. Sekala Brak adalah sebuah kerajaan yang dahulu bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu yang setelah kedatangan empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak, terletak di kaki Gunung Pesagi yang menjadi cikal-bakal suku bangsa etnis Lampung saat ini.6

                                                                                                                         

6 http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/18/name/lampung/detail/1804/lampung- barat diakses pada tanggal 29 Oktober 2012, 19:20 WIB.

(8)

6. Umpu adalah pemimpin dan penyebar agama yang memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat adat Syaibatin. Kata ini berasal dari kata Ampu dan merupakan sebutan bagi anak-anak raja.7

7. Paksi Pak adalah golongan yang memeluk agama Hindu dan Islam pada saat empat Umpu dari Pagaruyung menyebarkan agama Islam di Sekala Brak. Saat ini Paksi Pak juga merepresentasikan empat Umpu bersaudara yang membagi kekuasaannya di kerajaan Sekala Brak, yang terdiri dari Umpu Bejalan Diway; Umpu Belunguh;

Umpu Nyekhupa, dan Umpu Pernong. 8

8. Kepaksian adalah satu bagian otonomi dari empat keseluruhan kerajaan yang ada di Sekala Brak.9

9. Syaibatin adalah sebutan untuk seorang raja berpangkat adat dan berkedudukan tertinggi dalam lingkungan daerah kekuasaannya.10

10. Paksi Buay Pernong adalah salah satu dari kerajaan Sekala Brak yang dipimpin oleh keturunan Umpu Pernong sebagai Syaibatin-nya.11

11. Pengkhagoh adalah harta yang diberikan oleh ahli waris kepada saudaranya sebagai tanda sayang.

1.5. Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam rangka memperoleh informasi yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah metode yang sistematis dan konsisten. Dalam skripsi ini dipergunakan metode penelitian hukum normatif-empiris (applied law research), yaitu penelitian yang menggunakan studi kasus hukum normatif-empiris berupa produk perilaku hukum. 12 Pokok kajiannya adalah pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang                                                                                                                          

7 Ibid.

8 Ibid.

9 Tambo Adat Paksi Pak Sekala Brak.

10 Ibid.

11 Ibid.

12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 52.

(9)

ditentukan. Dalam penelitian hukum normatif empiris selalu terdapat gabungan dua tahap kajian, yaitu:

a. Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku

b. Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in concreto guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Penerapan tersebut dapat diwujudkan melalui perbuatan nyata dan penelitian dokumen hukum. Hasil penerapan akan menciptakan pemahaman realisasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum normatif yang dikaji telah dijalankan patut atau tidak.

Karena penggunaan kedua tahapan tersebut, maka penelitian hukum normatif- empiris membutuhkan data sekunder dan data primer. Dalam penelitian ini, terdapat dua jenis data yang dipergunakan yaitu data primer dan sekunder.

1.6 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi menjadi 3 (tiga) bab yaitu : Pendahuluan, pembahasan, dan penutup.

(10)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sistem Kewarisan Adat Syaibatin Buay Pernong

Dalam suatu sistem kewarisan dalam hukum adat perlulah kita mengetahui apa-apa saja yang menjadi elemen penting di dalamnya. Termasuk kedalam elemen penting itu adalah mengenai subjek dan objek di hukum waris adat Syaibatin Buay Pernong. Elemen penting inilah yang akan menjadi fokus pada bab ini.

2.1.1 Subjek Hukum Waris Adat Syaibatin Buay Pernong

Dalam Hukum Waris Adat Syaibatin Buay Pernong subjek hukum adat adalah pewaris dan ahli waris. Hal ini dikarenakan keduanya adalah suatu elemen yang sudah pasti selalu ada dalam suatu proses peristiwa pewarisan.

a. Pewaris

Seperti yang telah seringkali disinggung, dalam masyarakat Adat Lampung susunan kekerabatannya cenderung mempertahankan garis keturunan laki-laki (patrilinial), maka pada umumnya yang berkedudukan sebagai pewaris adalah kaum laki-laki, yaitu ayah atau pihak ayah (saudara – saudara pihak ayah), sedangkan kaum wanita bukan sebagai pewaris. Sehingga pada umumnya, ibu atau pihak ibu, saudara–

saudara ibu laki-laki dan wanita bukan pewaris dilihat dari jenis harta warisannya, maka pewaris laki-laki itu dapat dibedakan antar pewaris pusaka tinggi dan pewaris pusaka rendah.13

Pewaris pusaka tinggi adalah pewaris pewaris laki-laki, seperti : ayah, paman, dan saudara laki-laki, yang ketika wafatnya meninggalkan hak–hak penguasaan atas harta pusaka tingggi, yaitu harta peninggalan dari beberapa generasi ke atas, yang juga disebut harta nenek moyang. Sedangkan pewaris pusaka rendah, adalah pewaris laki-laki yang ketika ia meninggal dunia pewaris meninggalkan penguasaan atas harta bersama yang dapat dibagi-bagi oleh para ahli waris Di Indonesia jenis pewaris laki- laki (dari pihak ayah) ini dapat dibedakan antara pewaris mayorat laki-laki dan pewaris kolektif laki-laki. Pewaris mayorat laki-laki adalah dimana saat ia meninggal,                                                                                                                          

13 Hilman Hadikusuma, op.cit.1991; 27.

(11)

ia meninggalkan penguasaan tunggal terhadap atas hartanya kepada ahli warisnya.

Sedangkan pewaris kolektif laki-laki adalah dimana pewaris meninggalkan harta untuk dapat dimiliki bersama-sama atau dengan penguasaan bersama (lebih dari satu orang) atas semua harta pusaka tinggi yang dimiliki pewaris tersebut. Adat Syaibatin Buay Pernong menganut jenis pewaris laki-laki yang pertama yaitu mayorat laki-laki, dimana pewaris akan meninggalkan seluruh harta warisannya kepada anak laki-laki tertuanya. Tidak menuntup kemungkinan pewaris adalah wanita, apabila ia merupakan ahli waris dari suatu keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, dan ia melakukan perkawinan semanda. Dalam hal ini ada kemungkinan pewaris adalah perempuan, iapun akan meninggalkan hartanya secara keseluruhan kepada anaknya dengan sistem mayorat.

Bagi hukum waris adat yang berlaku pada adat Syaibatin Buay Pernong khususnya di Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat menggunakan sistem pewaris tunggal dalam bahasa daerah ini disebut Nuhakon Bajas. Sistem waris yang dianut masyarakat Syaibatin Buay Pernong adalah mayorat laki-laki. Dalam masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong anak tertua berkedudukan sebagai penguasa atas harta peninggalan dengan hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan adik- adiknya atas dasar musyawarah dan mufakat para anggota kelompok waris yang lain.

Jadi, anak yang akan menjadi ahli waris dalam keluarga adalah anak yang akan berkedudukan menggantikan ayahnya. Hal ini dikarenakan, masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong merupakan masyarakat adat yang susunan kekerabatannya merujuk kepada kebapakan (Patrilinial), yaitu kekerabatannya mengutamakan keturunan menurut garis laki-laki. Sehingga anak laki-laki tertua yang menjadi pewaris

“Jalur Lurus” atau “Garis Lurus”, kecuali jika tidak memiliki anak laki-laki, anak perempuannya yang menjadi pewaris, dan dinikahkan dengan perkawinan semanda sehingga suami dan anak perempuannya menjadi pewaris, yang keturunannya kemudian nantinya diteruskan oleh anak laki-lakinya. Anak perempuan dalam hal ini hanya dapat memiliki hak penguasaan atas hartanya saja.

b. Ahli waris

Dikalangan masyarakat Adat Lampung anak sulung laki-laki adalah ahli waris utama yang menguasai seluruh harta peninggalan ayahnya yang tidak terbagi–bagi dengan kewajiban mengganti kedudukan ayahnya yang sudah tua atau sudah wafat sebagai kepala keluarga serumah ayahnya, yang bertanggung jawab mengurus dan

(12)

memelihara adik–adiknya yang belum dewasa dan dapat hidup mandiri baik laki-laki maupun wanita.14

Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan tokoh adat setempat yaitu Edward Syah Pernong bahwa ahli waris adalah anak laki – laki tertua.15 Ahli Waris yang utama pada masyarakat hukum adat Syaibatin Buay Pernong adalah anak sulung laki- laki. Bilamana anak sulung bukan laki-laki, maka anak laki-laki yang ada dalam keluarga tersebutlah yang dapat menjadi ahli waris. Perempuan dapat menjadi ahli waris bilamana terjadi suatu situasi dimana tidak ada anak laki-laki didalam keluarganya, sehingga anak perempuan tertua yang ada di keluarga itulah yang dapat menjadi ahli waris dan memiliki kedudukan tertinggi.

Dapat dilihat sebenarnya pewaris tidak boleh menunjuk siapa ahli warisnya walaupun bisa saja ahli waris yang seharusnya bertentangan dengan keinginan pewaris. Misalnya ia memiliki anak laki-laki tertua yang dirasa tidak pantas untuk menjadi ahli waris dan anak perempuan yang dirasa lebih pantas. Walaupun ia ingin memilik anak perempuan ini, adat Syaibatin Buay Pernong melarang hal ini dilakukan, karena ia masih memiliki anak laki-laki ia harus mengikuti hukum waris adat. Dalam hal ini harta warisan harus diberikan seluruhnya kepada anak tertua laki- lakinya walaupun ia dianggap tidak kompeten.

2.1.2 Objek Hukum Waris Adat Syaibatin Buay Pernong

Menurut Raja Kesultanan Sekala Beghak dan Paksi Buay Pernong Paksi Pak Batu Brak yang bernama Edward Syah Pernong yang bergelar Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi, objek hukum waris adat Syaibatin Buay Pernong adalah harta yang akan diwariskan dari Pewaris kepada Ahli Waris. Harta warisan dalam masyarakat Adat Lampung adalah harta pusaka turun–temurun dari generasi ke generasi yang diwarisi dan dikuasai oleh para penyeimbang menurut tingkatannya masing–masing. Terdapat juga harta yang juga diwariskan oleh pewaris kepada ahli waris dalam bentuk tidak berwujud yaitu hak–hak atas gelar–gelar adat, kedudukan adat, hak–hak atas pakaian perlengakapan adat, hak mengatur dan

                                                                                                                         

14 Hilman Hadikusuma, op.cit, hlm.64.

15 Berdasarkan wawancara dengan Edward Syah Pernong, Tokoh Adat Masyarakat Adat Syaibatin Buay Pernong, Gelar Adat : Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi, Ketua Adat dari Paksi Buay Pernong. Wawancara dilakukan di Jl. Pinang Kalijati No.9, Pondok Labu, Jakarta Selatan, pada 18 Juli 2012.

(13)

mengadili anggota–anggota kerabat. Sedangkan hak–hak yang berwujud yaitu pakaian perlengkapan adat, tanah pekarangan, dan bangunan rumah.

Sistem pembagian warisan yang menggunakan sistem mayorat laki-laki pada masyarakat adat Lampung dengan menuakan laki–laki bermaksud agar anak tertua laki–laki yang memperoleh hak waris tunggal dari orang tuanya khusus untuk harta tua yaitu harta yang turun–temurun dari kakek dan neneknya ke atas. Secara jelas, harta orang tua atau harta yang dikuasai orang tua ada dua macam yaitu :

1. Harta tua yaitu harta dari kakek nenek ke atas. Harta tua ini adalah termasuk harta pusaka, contohnya keris dan benda-benda pusaka turun temurun.

2. Harta pencaharian yaitu harta pencaharian yang diperoleh selama perkawinan orang tua.

Di masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong, bentuk perkawinan menentukan status harta. Jika sistem perkawinannya jujur, isteri membawa harta bawaan maka harta bawaan itu akan bercampur dengan harta suami dan dianggap sebagai harta pencaharian bersama, demikian juga dalam perkawinan semenda. Dalam perkawinan semenda, kalau suami membawa harta bawaan maka harta tersebut juga akan bercampur dengan harta isteri ditempatnya semenda.

Perlu diingat bahwa harta kekayaan ini hanya akan diberikan kepada 1 (satu) orang yang akan dipilih menjadi ahli waris sesuai dengan situasi. Dimana bisa saja anak laki-laki sulung yang mendapatkannya, anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, atau anak perempuan tertua. Dalam kasus anak perempuan tertua yang mendapatkan harta tua seperti keris senibang diatas, ia yang biasanya tidak bisa menggunakan keris senibang secara adat dapat menggunakannya karena pusaka ini sudah menjadi miliknya.

Kesimpulannya, wanita dapat mewarisi seluruh harta kekayaan apabila ia tidak memiliki saudara laki-laki lainnya untuk menjadi ahli waris dan pengemban tanggung jawab untuk mengurus keluarga besar. Akan tetapi bila masih ada laki-laki, kepemilikan harta warisan tidak dapat ada di posession anak perempuan tersebut.

Sistem pembagian ini dapat terlihat tidak adil karena semua harta kekayaan akan dijatuhkan kepada satu orang saja sebagai ahli waris, akan tetapi sesungguhnya kita harus mengingat bahwa anak yang menjadi ahli waris akan menanggung beban untuk mensejahterakan keluarganya dengan harta warisan yang ia punya. Dengan menerima harta waris ini sebagai ahli waris, ia berarti sudah memposisikan dirinya untuk menerima pula hak dan kewajiban yang akan dia lakukan, termasuk

(14)

memelihara semua keluarganya sampai dapat berdiri mandiri di kaki sendiri.

Kewajiban–kewajiban tersebutlah yang sesungguhnya dapat dikategorikan cukup berat. Contoh dari kewajiban tersebut adalah begitu anak laki–laki tersebut menikah maka seluruh tanggung jawab ayahnya baik keluar ataupun kedalam beralih kepada si anak laki–laki tertua tersebut. Kegiatan yang harus ia urus contohnya adalah kegiatan keluar adalah pajak, gawi adat, menghadiri undangan, pernikahan, kematian, iuran adat, membantu mendirikan rumah, menanam padi, menuai padi dan lain- lain. Pada intinya anak laki–laki tertua tersebut akan menjadi wakil dari rumahnya untuk segala kegiatan yang bersifat keluar baik mengenai tenaga ataupun biaya. Apabila ia tidak menikah maka harus dilihat apakah pewaris sudah meninggal atau belum. Dalam sistem Syaibatin Buay Pernong bilamana pewaris belum meninggal dan ahli waris belum menikah, maka proses waris mewaris tidak akan dijalankan. Akan tetapi bila pewaris sudah meninggal dan ahli waris sudah dewasa, maka ia akan diminta untuk menggantikan kedudukan adat pewaris tersebut walaupun ia belum menikah. Tentu saja dalam hal ahli waris tidak menikah sepanjang hidupnya maka garis keturunan keluarga tersebut berhenti sampai sana. Hal ini berlaku sama persis bila perempuan yang menjadi ahli warisnya.

Contoh lainnya yang harus dilakukan ahli waris secara internal adalah ahli waris memiliki tanggung jawab memberi makan seisi rumah, mengurus orang tuanya bila masih hidup, mengurus dan membiayai segala keperluan adik–adiknya mulai dari baju, makan, sekolah sampai adiknya tersebut dewasa dan pada akhirnya membiayai perkawinan adik–adiknya. Selain itu juga ahli waris yang mendapatkan warisan harus membantu mendapatkan mata pencaharian. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bila dilihat dari keseluruhan kewajiban yang ia pada hakekatnya harus menggantikan posisi seorang ayah dengan hak waris tunggal yang dimilikinya itu.

2.2 Hubungan Perkawinan dan Kedudukan Perempuan dalam Sistem Hukum Waris Adat Syaibatin Buay Pernong

Hubungan perkawinan dan kedudukan perempuan dalam sistem hukum waris adat Syaibatin Buay pernong ada dalam syarat yang ditetapkan adat untuk menjadi ahli waris. Dalam masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong, untuk seorang perempuan agar dapat menjadi ahli waris, apabila anak perempuan ini ingin kawin, maka ia haruslah mengikuti cara perkawinan yang telah ditentukan adat. Adat Syaibatin Buay Pernong menentukan bahwa dalam hal ahli waris adalah perempuan,

(15)

maka bila ahli waris tersebut akan menikah, ia haruslah menikah dengan cara semanda. Laki-laki yang menikahi anak perempuan dari masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong harus meninggalkan sistem kekerabatan asalnya dan masuk kedalam keluarga perempuan yang menjadi ahli waris ini. Hasil keturunan dari perkawinan ini nantinya akan mengambil garis dari pihak anak perempuan tersebut (dalam hal ini ibunya) dan mengemban serta memiliki tanggung jawab di komunitas keluarga ibu.

Anak tersebut akan memakai adat Syaibatin Buay Pernong dan bukan adat dari bapaknya.

Alasan mengapa kawin semanda yang harus dilakukan dalam hal ahli waris adalah seorang wanita karena dalam melakukan perkawinan ini terkandung maksud untuk menyelamatkan keutuhan daripada harta warisan yang dimiliki oleh pihak anak perempuan dari masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong. Agar harta ini tetap dimiliki oleh keluarga perempuanlah perkawinan ini dijalankan. Harta kewarisan yang dimaksud dalam konteks ini adalah harta pusaka atau harta tua yang diberikan pewaris kepada ahli waris. Harta ini tidak boleh dimiliki oleh keluarga lain. Sebab itulah yang menjadikan anak perempuan harus tetap dalam sistem kekerabatannya dan tidak boleh keluar berganti sistem kekerabatan dengan suaminya. Sehingga perkawinan semanda inilah yang harus dilakukan.

Mengenai harta pusaka, Edward Syah Pernong menambahkan, bahwa harta pusaka yang diwariskan ini tidak boleh berkurang jumlahnya, akan tetapi dapat ditambah. Maksudnya adalah, apabila harta pusaka ini jumlahnya ingin ditambah, maka hal tersebut tidak apa-apa untuk dilakukan. Contohnya adalah dimana anak perempuan yang menjadi ahli waris dan suaminya menikah dengan semanda. Lalu keduanya telah resmi menikah dan dalam melangsungkan perkawinan mereka ingin menambahkan harta pusaka berupa sawah yang luas untuk keturunan mereka kelak.

Hal ini diperbolehkan secara adat. Tambahan harta pusaka yang diberikan ini harus dijelaskan kepada keturunannya, bahwa ini adalah harta pusaka yang tidak boleh dijual atau diperdagangkan. Penambahan harta pusaka ini biasanya didapatkan dari hasil perkawinan suami istri tersebut. Perlu diingat, walaupun suami dari anak perempuan yang menjadi ahli waris juga berkontribusi dalam memberikan hartanya dalam bentuk sawah tersebut, pada saat sawah ini menjadi harta pusaka, ia tetap tidak lagi memiliki hak milik atas sawah tersebut. Sawah tersebut akan menjadi hak milik istrinya dan akan diperuntukan untuk keturunan mereka dan harus digunakan

(16)

sebagaimana harta pusaka seharusnya digunakan--untuk mengurus keluarga dan tidak boleh diperjualbelikan.

Dalam kasus diatas, terdapat suatu hal yang dapat disoroti, yaitu mengapa harta hasil dari perkawinan dapat menjadi harta pusaka. Menurut Edward Syah Pernong, hal tersebut bisa dilakukan bilamana pewaris ingin membuat harta pusaka yang turun temurun harus dijaga menjadi lebih banyak.16 Ini boleh dilakukan karena apabila harta pusaka semakin banyak, maka harta yang dimiliki untuk mengurus keluarga juga semakin banyak. Hal ini tentu akan mempermudah ahli waris dalam melaksanakan dan mengemban tugasnya untuk mengurus keluarga.

Setelah perkawinan semanda ini dilakukan dan suami masuk ke kekerabatan adat Syaibatin Buay Pernong, suami dari anak perempuan yang menjadi ahli waris di adat Syaibatin Buay Pernong dianggap sebagai masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong, dan bertugas membantu isterinya tersebut dalam menggunakan kewarisan yang telah diberikan kepadanya guna mensejahterakan keluarga. Setelah perkawinan dilakukan maka suami yang sudah dianggap sebagai masyarakat adat Syaibatin dan memiliki kekerabatan yang sama akan menjadi figur laki-laki dalam keluarga tersebut.

Masyarakat adat akan melihat dia sebagai simbol ‘anak laki-laki’ yang tadinya tidak ada di keluarga tersebut. Setelah pernikahan ini dilangsungkan maka yang menjadi

‘sosok’ yang tampil dalam kehidupan adat adalah suaminya. Hal ini adalah kewajiban yang suaminya emban.

Walaupun yang melakukan kegiatan adat adalah suami, tetapi istri (anak perempuan yang menjadi ahli waris di adat Syaibatin Buay Pernong) lah yang tetap memiliki kekuasaan akan harta warisan yang dia miliki. Harta tersebut dikelola secara bersama-sama oleh suaminya, akan tetapi yang secara tegas memiliki adalah istri, bukan suami. Walaupun suami sudah ‘disimbolkan’ sebagai anak laki-laki dari keluarga, tetapi ia tidak memiliki hak untuk harta warisan sebagaimana halnya dengan hak anak laki-laki disistem kekeluargaan adat Syaibatin Buay Pernong tersebut.

Dalam bahasa singkatnya, suaminya hanyalah simbol anak laki-laki dalam keluarga, sedangkan hartanya sendiri masih dimiliki oleh istrinya.

Dalam kapasitas sebagai ahli waris, anak perempuan yang mewaris di adat Syaibatin Buay Pernong ini juga memiliki suatu kewajiban untuk menjadi ‘bapak’

                                                                                                                         

16 Berdasarkan wawancara dengan Edward Syah Pernong, Tokoh Adat Masyarakat Adat Syaibatin Buay Pernong, Gelar Adat : Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi, Ketua Adat dari Paksi Buay Pernong. Wawancara dilakukan di Jl. Pinang Kalijati No.9, Pondok Labu, Jakarta Selatan, pada 12 Januari 2013.

(17)

bagi keluarganya, dimana ia adalah orang yang dapat dimintai nasehat dan menjadi tempat berlindung. Setelah perkawinan semanda, yang akan bertindak sebagai ‘bapak’

setelah perkawinan semanda adalah suami. Ia akan berperan sebagai simbol bapak dalam keluarga ini. Perannya sebagai bapak adalah salah satu wujud dari bantuan yang ia berikan dalam mengurus keluarga istri, dimana hal ini adalah kewajibannya.

Hal ini bukan berarti peralihan kewajiban sebagai ‘bapak’ atau tanggung jawab untuk mengurus keluarga dilimpahkan kepada laki-laki, tetapi disini baik suami ataupun istri memiliki tugas yang sama untuk mengurus keluarga. Kewajiban suami yang membantu istri mengurus keluarga membuat ia juga harus berlaku sebagai sosok

‘bapak’, dan kedudukan istri sebagai ahli waris juga membuat ia harus bisa menjadi figur yang dapat menopang keluarga sehingga ia harus bisa menjadi sosok yang mengayomi seperti ‘bapak’. Sehingga bila dilihat, karena laki-laki yang menjadi kepala keluarga, maka sosok ‘bapak’ itu akan lebih ditemui di diri sang suami, akan tetapi istri sendiri juga dapat memberikan nasehat dan menjadi tempat bertumpu keluarganya. Secara simbolis suaminyalah yang akan menjadi ‘bapak’ dari keluarga tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan bapak dalam implementasinya akan dijalani secara bersamaan oleh istri yang merupakan ahli waris dan laki-laki atau suaminya ini.

Apabila perempuan yang ingin menjadi ahli waris menikah jujur dengan suaminya, maka ia kehilangan haknya untuk menjadi ahli waris dalam keluarga tersebut. Sehingga dalam hal anak perempuan yang menjadi ahli waris, ia tidak boleh menikah Jujur dengan suaminya. Hal ini karena anak perempuan tertua yang menjadi ahli waris harus tetap berpegang kepada sistem adat Syaibatin Buay Pernong, dan hal ini tidak bisa dilakukan bila ia harus pindah kepada sistem kekerabatan suaminya.

Dalam perkawinan jujur, maka keseluruhan istri, baik kedudukan hukum dan harta yang ia miliki, akan menjadi milik suami. Hal ini tidak dapat dilakukan bila perempuan adat Syaibatin Buay Pernong ingin menjadi ahli waris keluarganya, karena ia tidak boleh dimiliki oleh sistem kekerabatan lain, perempuan inilah yang justru harus menarik laki-laki kedalam keluarganya.

Hal ini dilakukan agar penarikan garis keturunan dapat dilakukan dari garis ibu, sehingga laki-lakilah yang harus tunduk pada sistem kekerabatan adat Syaibatin Buay Pernong. Apabila dilakukan perkawinan jujur, maka perempuan ini akan mengikuti seluruh sistem kekerabatan suami dan penarikan garis keturunan akan dilihat dari pihak suami, dimana ini tidak diperbolehkan. Ditambah lagi harta milik perempuan

(18)

yang akan menjadi ahli waris ini haruslah dipakai untuk mensejahterakan keluarganya, laki-laki tersebut tidak bisa menguasainya.

Apabila dilakukan kawin jujur, maka harta yang seharusnya untuk mengurus keluarga perempuan yang ahli waris ini akan menjadi milik suaminya, dan harta tersebut bisa saja tidak dipakai untuk mengurus keluarga lagi dan dapat dilihat sebagai ‘milik orang lain’ (karena laki-laki tersebut adalah orang dari luar keluarga ahli waris perempuan) dan bukan keluarga sendiri. Hal-hal inilah yang membuat anak perempuan yang menjadi ahli waris harus melakukan pernikahan secara semanda, dimana laki-laki atau laki-laki yang akan menjadi suaminyalah yang meleburkan diri kepada adat Syaibatin Buay Pernong. Disini suami dari ahli waris yang merupakan anak perempuan tertua akan mengikuti sistem kekerabatan dan sistem adat Syaibatin Buay Pernong dan membantu istrinya untuk mensejahterakan keluarga.

Bila anak perempuan yang seharusnya menjadi ahli waris menikah secara jujur dan melepas kekerabatan adat Syaibatin Buay Pernong, maka ia tidaklah sah sebagai ahli waris dan menjadi tidak eligible untuk itu karenanya. Dalam kasus seperti ini, maka ahli waris akan diberikan kepada anak perempuan selanjutnya dengan catatan ia tidak melakukan kawin jujur dengan suaminya. Sehingga dalam hal perempuan yang menjadi ahli waris, ia harus mencari suami yang mau meleburkan diri dengan sistem adat Syaibatin Buay Pernong.

Melihat uraian diatas, kita dapat simpulkan bahwa anak perempuan yang menjadi ahli waris ini

harus melakukan perkawinan semanda bila ingin menjadi ahli waris.

Setelah melihat bagaimana perkawinan memiliki andil yang penting dalam sistem kewarisan adat di Syaibatin Buay Pernong, terdapat suatu pertanyaan yang muncul.

Apakah perempuan yang tidak kawin dapat menjadi ahli waris?

Misalnya, sebuah keluarga yang menganut adat Syaibatin Buay Pernong mempunyai 3 (tiga) orang anak perempuan. Dalam hal tersebut, maka anak perempuan pertama (sulung) akan menjadi ahli waris. Suatu saat dikala pewaris sudah berusia tua dan tidak mampu lagi melakukan aktifitas dalam adat, ia ingin melakukan proses waris mewaris kepada anaknya. Ia ingin mengalihkan apa yang ia miliki terhadap anaknya. Akan tetapi anak sulungnya tersebut ternyata belum menikah.

Apakah proses pewarisan dapat diberikan kepada anak tersebut?

Jawaban dari pertanyaan itu adalah : ya, hal tersebut dapat dilakukan. Di sistem adat Syaibatin Buay Pernong, dalam hal ahli waris belum menikah, ahli waris dapat

(19)

mewarisi harta dari pewaris apabila pewaris sudah memberikan kepercayaan terhadap anak perempuan tersebut. Edward Syah Pernong menegaskan bahwa dalam sistem waris mewaris, hal yang paling penting adalah mengikuti adat serta melihat keinginan dari pewaris.17 Dalam masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong, pewarisan dapat dilakukan apabila orang yang menjadi ahli waris sudah dianggap mampu mengurusi keluarganya.

Dalam sistem masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong, perkawinan bukanlah syarat seorang perempuan untuk menjadi pewaris. Hal yang disoroti adalah apakah ia sudah dianggap mampu atau belum mengurus keluarga oleh pewaris. Kemampuan mengurus keluarga ini dapat dilihat sendiri oleh pewaris dengan melihat tingkah polah anak perempuannya, sehingga apabila pewaris memang ingin mewariskan hartanya kepada ahli waris perempuan yang belum menikah, ia dapat melakukannya. Lalu bagaimana pengaruhnya adalah kepada sosok laki-laki yang seharusnya ada di keluarga tersebut? Ternyata hukum adat Syaibatin Buay Pernong tidak mempermasalahkan apakah sosok ini ada atau tidak, karena apabila sosok laki-laki tidak ada, maka dapat digantikan oleh perempuan.

Sistem yang ada pada masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong ini berbeda dengan sistem yang ada di masyarakat Bali, dimana anak perempuan yang akan menjadi ahli waris dirubah status hukumnya menjadi laki-laki (sentana rajeg).

Sehingga didalam hukum adat ia dipandang sebagai laki-laki dan memiliki hak serta kewajiban yang sama pula dengan laki-laki--hanya secara biologisnya saja ia perempuan. Dalam sistem hukum adat Syaibatin Buay Pernong, perempuan secara hukum adat tetap dikenal sebagai perempuan dan ia memiliki status yang sejajar dengan laki-laki. Di adat Syaibatin Buay Pernong ia tetap dipandang sebagai perempuan dalam hukum adat. Dalam kasus dimana perempuan yang belum menikah menjadi pewaris dia akan memiliki tanggung jawab yang sama seperti apabila laki- laki yang mendapat kewarisan. Dalam adat tidaklah masalah gender apa yang dimiliki oleh ahli waris ini, asalkan ia dapat mengemban tanggung jawab sebagai ahli waris dengan baik.

                                                                                                                         

17 Berdasarkan wawancara dengan Edward Syah Pernong, Tokoh Adat Masyarakat Adat Syaibatin Buay Pernong, Gelar Adat : Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi, Ketua Adat dari Paksi Buay Pernong. Wawancara dilakukan di Jl. Pinang Kalijati No.9, Pondok Labu, Jakarta Selatan, pada 12 Januari 2013.

(20)

Akan tetapi apabila anak perempuan ini pada akhirnya memutuskan untuk menikah, maka ia barulah harus menikah dengan cara semanda sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum adat.

(21)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

• Sistem pembagian warisan menurut Hukum Adat Syaibatin Buay Pernong di Kecamatan Batu Brak Lampung Barat adalah dengan menggunakan sistem mayorat. Disini seluruh harta dialihkan oleh pewaris kepada satu ahli waris.

Ahli waris tersebut diutamakan adalah anak laki-laki tertua (sulung), bilamana tidak ada anak laki-laki tertua di keluarga tersebut maka anak laki-laki yang ada di keluarga tersebutlah yang akan menggantikannya. Dalam situasi dimana tidak ada anak laki-laki sama sekali didalam keluarga yang menganut sistem waris adat yang dipakai Syaibatin Buay Pernong, maka perempuan dapat menjadi ahli warisnya. Anak perempuan yang menjadi ahli waris haruslah anak perempuan yang paling tua. Ahli waris yang mendapatkan harta warisan memiliki tanggung jawab untuk mengurus keluarga dengan harta warisan tersebut. Ia mengemban tanggung jawab sebagai pengganti ‘bapak’

dalam keluarga,

• Proses penentuan pewaris ditentukan dengan suatu keutamaan, dimana anak laki-laki lebih diutamakan untuk menjadi ahli waris. Seperti yang diuraikan diatas, keutamaan sebagai ahli waris diurutkan dengan 3 (tiga) jenjang yaitu : anak laki-laki tertua, anak laki-laki bukan tertua yang ada di keluarga, dan anak perempuan. Dimana yang satu menggantikan yang lainnya.

• Harta yang diwariskan oleh pewaris kepada ahli waris adalah:

1. Harta tua yaitu harta dari kakek nenek ke atas. Harta tua ini adalah termasuk harta pusaka, contohnya keris dan benda-benda pusaka turun temurun.

(22)

2. Harta pencaharian yaitu harta pencaharian yang diperoleh selama perkawinan orang tua (pewaris). Di masyarakat adat Syaibatin Buay Pernong, bentuk perkawinan menentukan status harta.

Harta ini akan dipakai oleh ahli waris untuk mengurus keluarganya, dimana hal ini merupakan suatu kewajiban yang dia emban sebagai ahli waris. Ia harus bertindak pula sebagai ‘bapak’ atau tempat tumpuan keluarga, bukan hanya dalam segi materi tetapi juga dari segi moril, dimana ia harus bisa bersikap sebagai seorang yang dewasa, dapat menyelesaikan masalah, dan dapat memberikan nasehat kepada keluarga.

• Dalam hal dimana ahli waris adalah anak perempuan, kewajiban tersebut juga tetap ada. Kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat Syaibatin Buay Pernong sama dengan kedudukan apabila laki-laki yang mewaris. Ia harus bisa menjadi sosok yang diandalkan oleh keluarganya dan juga seseorang yang dapat mengurus harta keluarga demi kemaslahatan keluarga secara keseluruhan. Ia harus bisa berperan sebagai ‘bapak’ dan menjadi tumpuan keluarga. Perempuan yang menjadi ahli waris secara hukum adat Syaibatin Buay Pernong juga harus menikah dengan suaminya melalui cara semanda, dimana laki-laki yang menikahinya harus mau masuk kedalam kekerabatan adat Syaibatin Buay Pernong dan meninggalkan kekerabatan asalnya. Ia mengemban tugas untuk membantu istrinya dalam mengurus keluarga. Dikarenakan suami dari anak perempuan ini sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, maka ia sudah dianggap melebur dengan keluarga istri (anak perempuan), sehingga dia dapat melakukan tugas keadatan yang ada, misalnya datang di perkawinan, nangguh kepada Syaibatin, dan lainnya. Suami dari anak perempuan ini menjadi simbol anak laki-laki yang tadinya tidak dimiliki keluarga.

5.2 Saran

Saran yang penulis dapat berikan adalah agar pandangan masyarakat tidak terlalu timpang terhadap peran laki-laki dalam suatu sistem waris adat yang ada di Syaibatin Buay Pernong. Dalam kenyataan seringkali orang berpikir bahwa bila ahli warisnya perempuan maka ia akan menyerahkan seluruh hartanya untuk suami dan tidak mengurusi keluarga. Miskonsepsi ini tentunya harus dihilangkan dan perempuan

(23)

harus dipandang dapat dan mampu mengurusi keluarga dan harta yang diberikan kepadanya.

Selain itu diharapkan juga bahwa ahli waris yang mendapatkan harta waris benar benar menjadi seorang figur yang dapat diandalkan oleh keluarga. Janganlah sampai terjadi bahwa yang mendapatkan harta warisan malah membuang keluarga dan menikmati hartanya sendiri. Harta tersebut, termasuk benda pusaka dan adat Syaibatin Buay Pernong, harus tetap dijaga dan dipakai untuk kegunaannya yang benar.

Anak perempuan yang menjadi ahli waris di Syaibatin Buay Pernong juga perlu untuk mengadopsi perannya sebagai bapak dan menjadi pribadi yang dapat memimpin keluarga. Dalam perkawinan semanda yang dilakukan anak perempuan yang menjadi ahli waris di Syaibatin Buay Pernong diharapkan agar suaminya juga diberitahu dengan jelas fungsi dan tugas yang akan dia lakukan saat masuk ke kekerabatan istri, sehingga ia dapat melakukan tugas adatnya dengan baik.

(24)

 

DAFTAR PUSTAKA  

Buku    

Bzn, Ter Har, Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta, Pradnya Paramita : 1981.

Fu’ad, Zulfikar. Simfoni Kehidupan Seorang Bupati dari Panggung Artis ke Arena Politik. Bandar Lampung, Cendekia, 2004.

Hamkimy, H. Idrus. Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2004.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1983.

__________.  Hukum Kekerabatan Adat.  Jakarta,  Fajar  Agung,  1987.  

__________.  Masyarakat Dan Adat Budaya Lampung. Bandung,  Mandar  Maju,  1989.  

__________.  Hukum Adat Perkawinan.  Bandung,  Citra  Aditya  Bakti,  1990.  

__________. Hukum Perkawinan Adat. Bandung,  PT  Citra  Aditya  Bakti,  1995.  

__________. Kamus Bahasa Lampung. Bandung,  PT  Citra  Aditya  Bakti,  2003.  

Horton,  Paul  B.  dan  C.  Hunt,  Sociology. New  York,  McGraw-­‐Hill  Book  Co,     1964.  

Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi I, Jakarta : Rineka Cipta, 1996.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat (Suatu Pengantar). Jakarta, Pradnya Paramita, 2006), hlm.88.

__________. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta, Pradnya Paramita, 2006.

__________. Susunan Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta, Pradnya Paramita, 1987.

(25)

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Warisan di Indonesia. Jakarta, Sumur Bandung, 1980.

Siddik, Abdullah. Hukum Adat Rejang. Jakarta, Balai Pustaka, 1980.

Simanjuntak, P.N.H. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta, Djambatan, 2005.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, Universitas Indonesia, 1984.

_______________. Kamus Hukum Adat. Bandung, Alumni, 1978.

_______________. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta, Ind-Hill-Co, 2001.

_______________. Hukum Adat Indonesia. Jakarta, Rajawali, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Yusuf Usman. Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat. Bogor, Ghalia Indonesia, 1986.

Soepomo, R. Hukum Adat. Jakarta, Pradnya Paramita, 1996.

Sudiyat, Imam. Hukum Adat Setsa Azas. Yogyakarta, Liberty, 1982.

Sugangga, I.G.N. Hukum Waris Adat. Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995.

Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW.

Bandung: Refika Aditama, 2005.

Warman, Kurnia. Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta, Huma, 2010.

Wignyodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta, Haji Masagung, 1990.

Peraturan Perundangan

Undang-Undang No.` Tahun 1974 tentang Perkawinan

Wawancara

Edward Syah Pernong, dilakukan tanggal 12 Januari 2013 di Jl.Pinang Kalijati, No.9, Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Referensi

Dokumen terkait

100K/Sip/1967, tanggal 14 Juni 1968, yang memutuskan bahwa anak perempuan dan janda sebagai ahli waris bertentangan dengan hukum waris adat Batak Karo yang menganut sistem pewarisan

Fanoto Laia: Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Nias, 2005 USU Repository © 2006... Fanoto Laia: Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Waris Adat

Haris Fakhri : Kedudukan Ahli Waris Terhadap Harta Tunggu Tubang Ditinjau Dari Hukum Adat Dan Hukum…, 2001 USU Repository © 2008... Haris Fakhri : Kedudukan Ahli Waris Terhadap

Pembagian waris di Kampung Pulo juga m enggunakan asas “ sepikul segendong ” sesuai dengan hukum adat Jawa Barat dengan memberikan bagian waris anak laki-laki dua bagian

T : Dilihat dari kuantitas, lebih banyak mana keluarga ahli waris yang memakai sistem kewarisan Islam atau adat. J : Sepanjang saya ketahui masyarakat condong dominan

Perbedaan ahli waris pengganti menurut Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata salah satunya adalah hak yang diperoleh ahli waris pengganti itu belum

(2) Anak perempuan sebagai anak tunggal dalam hukum waris adat Bali mewaris dari harta orang tuanya yaitu harta gunakaya orang tuanya yang mana menurut hukum adat Bali

KEDUDUKAN AHLI WARIS PEREMPUAN DAN WASIAT DALAM HUKUM KEWARISAN