LAPORAN
HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM PENERAPAN DEPORTASI BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI
TIM PENELITI
Ketua : I Made Budi Arsika, SH, LLM (NIDN.0010068102) Anggota : Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH, MKn, LLM (NIDN.0016058202) Sagung Putri M.E. Purwani, SH, MH (NIDN.0013037106)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2015
HALAMAN PENGESAHAN b. NIP/NIDN : 19810610 200501 1 003/0010068102 c. Pangkat/Gol : Penata /IIIc
d. Jabatan Fungsional/Stuktural : Lektor/-
e. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV) f. Program Studi/Jurusan : Ilmu Hukum
g. Fakultas : Hukum
h. Alamat Rumah / HP : Jl.Tukad Pancoran I/18 Denpasar /081936281062
i. E-mail : imadebudiarsika@yahoo.com
Jumlah Tim Peneliti : 3 (tiga) orang
Pembimbing :
a. Nama lengkap dengan gelar : I Ketut Sudiarta,SH.,MH b. NIP/NIDN : 19621505 1988 03 1 004 c. Pangkat/Gol : Pembina / IV/a
d. Jabatan Fungsional/Stuktural : Lektor Kepala / Pembantu Dekan I e. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV)
f. Program Studi/Jurusan : Ilmu Hukum
g. Fakultas : Hukum
Lokasi Penelitian : Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Bali Kerjasama (jika ada)
Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH.,MH I Made Budi Arsika,SH.,LLM
NIP. 19730220 200312 1 001 NIP: 1981 20050610 01 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
DAFTAR ISI
2.1 Pengaturan mengenai Tenaga Kerja Asing di Indonesia ... 8
2.2 Deportasi dan Hak Asasi Manusia ... 10
4.5 Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum ... 18
4.6 Tehnik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ... 18
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19
5.1 Pengaturan Hukum Keimigrasian Mengenai Tindakan Deportasi Terhadap Tenaga Kerja Asing di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Pengormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia ... 19
5.1.1 Izin bagi Warga Asing untuk dapat Bekerja di Indonesia ... 19
5.1.2 Sanksi Deportasi Bagi Tenaga Kerja Asing sebagai Tindakan Keimigrasian ... 21
5.1.3 Aspek Pidana berkaitan dengan Deportasi terhadap Tenaga Kerja Asing ... 21
5.1.4 Aspek Pidana berkaitan dengan Deportasi terhadap Tenaga Kerja Asing ... 22
5.1.5 Tinjauan mengenai Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia ... 24
5.2 Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan Untuk Menjamin Tindakan Deportasi yang Dilakukan oleh Pejabat Kemigrasian Tidak Melanggar Hak Asasi Manusia Tenaga Kerja Asing di Bali ... 26
5.2.2 Aspek Prosedural ... 27
5.2.3 Aspek Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia ... 28
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 31
6.1Kesimpulan ... 31
6.2Saran ... 32
RINGKASAN
Sejumlah tindakan deportasi yang dikenakan kepada para Warga Negara Asing (WNA) yang menyalahgunakan Visa Kunjungan sebagai dalih untuk bekerja di Bali merupakan latar belakang utama dari penelitian ini. Dari informasi yang dapat ditelusuri, peneliti mengasumsikan belum petugas keimigrasian belum terlalu memperhatikan aspek terpenuhinya standar pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam tindakan deportasi yang dilakukan.
Ada dua hal yang menjadi tujuan penelitian ini. Pertama, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dalam pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia. Kedua, penelitian ini ditujukan untuk menganalisis aspek-aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar HAM yang dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali. Secara praktis, hasil penelitian ini nantinya akan sangat berguna bagi para pengambil kebijakan keimigrasian berkaitan dengan penyempurnaan dalam prosedur operasi standar (standard operational procedure/SOP) tindakan deportasi yang memuat aspek-aspek HAM.
Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian hukum normatif yang akan meneliti bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan isu dan pengaturan hukum mengenai deportasi dan tenaga kerja asing. Dalam desain ini, akan dilakukan penelitian kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Sebagai suatu tinjauan Hukum HAM, penelitian hukum normatif ini juga akan dipadukan dan diperkaya dengan metode penelitian HAM. Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara normatif, pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia telah memperhatikan pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Selanjutnya, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali, ada sejumlah aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) yang dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut, yaitu aspek substansi, aspek prosedural, dan aspek penghormatan, perlindungan,dan pemenuhan HAM.
JUDUL PENELITIAN :
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM PENERAPAN DEPORTASI BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Proses deportasi sejumlah warga negara asing (WNA) yang menyalahgunakan visa
kunjungan ke Bali untuk bekerja ternyata menjadi sorotan berbagai pihak. Menuruk pada data
yang dilansir oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Provinsi Bali, I Gusti Kompiang Adyana pada tanggal 26 Januari 2015 lalu, diungkapkan
bahwa pihaknya telah mendeportasi 408 WNA yang datang ke Bali selama kurun waktu
tahun 2014, sedangkan untuk awal tahun 2015 telah terdapat 11 orang WNA yang sedang
dalam proses deportasi.1
Menariknya, tenaga kerja asing tersebut tidak sepenuhnya bekerja di Bali Selatan
sebagai wilayah yang selama ini diasumsikan sebagai konsentrasi industri pariwisata yang
menyerap banyak tenaga kerja baik domestik maupun asing. Faktanya, Sebagaimana
dinyatakan oleh Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Singaraja Aditya, sebanyak 282 WNA yang
sebagian besar berasal dari Tiongkok jusru dideportasi Kantor Imigrasi Kelas II Singaraja
selama tahun 2014.2 Dijelaskan pula bahwa selama kurun tahun 2014 terdapat 675 orang Tenaga Kerja Asing di Buleleng yang mana sejumlah 225 orang di antaranya merupakan
pekerja asing baru.
Tenaga kerja asing yang bekerja dengan memiliki ijin di Bali sesungguhnya cukup
banyak. Pada tanggal 21 Januari 2015 lalu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Bali I Gusti Agung Sudarsana, menyebutkan ada 1800 orang tenaga kerja asing yang
bekerja di Bali.3 Keberadaan Tenaga Kerja Asing tersebut sesungguhnya berkontribusi bagi Bali melalui retribusi perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) kepada
Pemerintah Provinsi Bali sebesar US $ 100 per orang per bulan, sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali dan Peraturan Gubernur Bali.4
1 Surat Kabar Pos Bali, Artikel “408 WNA Dideportasi dari Bali”, 27 Januari 2015,
http://posbali.com/408-wna-dideportasi-dari-bali/
2
Beritabali.com, Artikel “282 WNA Dideportasi Imigrasi Singaraja Selama 2014”, 18 Desember 2014
http://beritabali.com/index.php/page/berita/bll/detail/2014/12/18/282-WNA-Dideportasi-Imigrasi-Singaraja-Selama-2014/201412180001
3 Sinar Harapan, Artikel “Ada 1800 Tenaga Kerja Asing di Bali”, 21 Januari 2015,
http://sinarharapan.co/news/read/150121031/ada-1800-tenaga-kerja-asing-di-bali
4 Pasal 25D Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Perihal tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia sesungguhnya telah memiliki
pengaturan hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kemudian, keberadaan tenaga kerja asing resmi yang bekerja di Bali juga relatif tidak
menimbulkan masalah. Problematika justru hadir sehubungan dengan maraknya tenaga kerja
asing yang dianggap terlalu leluasa menjalankan usahanya dan merebut pekerjaan-pekerjaan
yang sebenarnya bisa ditangani oleh pekerja lokal, yang ternyata telah lama dikeluhkan oleh
berbagai kalangan. Dalam suatu diskusi di Bali Tourism Board, pengurus Majelis Utama
Desa Pakraman (MUDP) Bali Gde Nurjaya mengungkapkan modus yang dilakukan banyak
orang asing yang masuk ke desa-desa dan menikahi orang lokal lalu membuka usaha atas
nama istrinya.5 Demikian pula halnya Ketut Rasna dari Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (GAHAWISRI) Bali yang menemukan perusahaan jasa selam yang seluruh pekerjanya orang
asing dari level manager sampai guide. Isu penegakan hukum terhadap para tenaga kerja
asing ilegal juga dikemukakan oleh Ketut Rasna yang menyatakan bahwa para pekerja asing
itu tidak mempedulikan razia oleh para pengusaha, namun mereka tunduk apabila berhadapan
dengan pihak Imigrasi karena takut dideportasi.6 Mengenai hal ini, Kepala Seksi Informasi dan Komunikasi Kantor Imigrasi Kelas I Denpasar, Saroha Manullang menegaskan bahwa
pihaknya sudah sering melakukan sosialisasi dan penertiban, hanya saja masalahnya orang
asing di Bali sangat banyak sementara jumlah petugas masih kurang.7
Isu tenaga kerja asing ternyata telah menjadi perhatian pemerintah dalam kaitkannya
dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Mengantisipasi isu ini,
Kantor Imigrasi di seluruh wilayah Provinsi Bali tahun ini akan lebih menekankan penegakan
hukum dalam pengawasan terhadap warga negara asing dalam kerangka MEA 2015 yang
diprediksi akan meningkatkan jumlah para pekerja yang memiliki keahlian khusus memasuki
negara-negara di kawasan Asia Tenggara, selain pergerakan pasar bebas untuk barang dan
jasa lainnya.8
Gubernur Bali Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu
Imigrasi Tekankan Penegakan Hukum WNA Terkait MEA
Dalam kaitannya dengan tindakan deportasi bagi tenaga asing tersebut, perlu kiranya
diketahui mengenai makna dari deportasi itu sendiri. Deportasi merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Inggris, yaitu deportation, yang memiliki sejumlah padanan kata yaitu
expulsion dan exile. Istilah ini seringkali didengar oleh masyarakat karena pemberitaan media
berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap para WNA yang melanggar ijin tinggal.
Istilah deportasi juga kerap diasosiasikan sebagai tindakan pengusiran terhadap orang asing
dari wilayah Indonesia. Dalam konteks hukum nasional, pengaturan mengenai deportasi
dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Keimigrasian) yang mendefinisikan deportasi
sebagai tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia.9 Selanjutnya, Pasal 75 Undang-Undang Keimigrasian Deportasi juga menentukan bahwa deportasi
merupakan salah satu bentuk Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang Asing
yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga
membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati
peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan oleh Pejabat Imigrasi berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya.
Deportasi sebagai tindakan administratif keimigrasian juga memiliki dimensi
penegakan hukum pidana. Hal ini dikenal dengan istilah „tindak pidana keimigrasian
sebagaimana dikualifikasikan berdasarkan Pasal 109 Undang-Undang Keimigrasian10 yang
merupakan tindak pidana khusus‟, sehingga hukum formal dan hukum materiilnya berbeda
dengan hukum pidana umum, yang juga dilengkapi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Keimigrasian yang menjalankan tugas dan wewenang secara khusus pula.11
Salah satu kasus yang menarik untuk dicermati adalah pendeportasian terhadap empat
orang WNA yaitu Nicholas William Thomas (Inggris), Nancy May (Inggris), Steven Thomas
(Inggris), dan Marina Naloni (Amerika Serikat) sebagaimana diberitakan oleh Surat Kabar
Pos Bali, 19 November 2014 lalu.12 Terungkap bahwa mereka menyalahgunakan Visa on
Arrival untuk bekerja di salah satu salon di jalan Oberoi Seminyak. Dalam konferensi pers
9 Pasal 1angka 36 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
10Disebutkan bahwa “Terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana keimigrasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133 huruf b, Pasal 134 huruf b, dan Pasal 135 dapat
dikenai penahanan.”
11 Lihat Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Bagian Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian
12
Uraian kasus dalam paragraf ini disarikan dari Surat Kabar Pos Bali, Artikel “Gunakan VoA untuk
terkait kasus ini, Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi
Kelas I Khusus Ngurah Rai, Mohamad Soleh yang didampingi oleh Kepala Seksi
Pengawasan Keimigrasian, Tri Hernanda Reza dan Kepala Seksi Sarana Komunikasi
Keimigrasian, Danny Ariana menjelaskan bahwa alat bukti berupa video, foto dan pengakuan
keempat WNA tersebut menunjukkan bahwa mereka telah bekerja di salon tersebut sejak
awal bulan November 2014. Menariknya, berita ini melansir bahwa Kepala Bidang
Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai justru
menyebutkan bahwa keempat WNA tersebut harus menerima sanksi yang tertuang dalam
Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, di mana
sanksinya berupa deportasi plus penangkalan (atau di-black list) untuk masuk kembali ke
Indonesia selama enam bulan ke depan terhitung setelah dideportasi.
Tampak ada sedikit kejanggalan apabila kita mencermati berita tersebut. Isi dari Pasal
122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sesungguhnya
memuat ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi setiap orang asing yang dengan sengaja
menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya. Namun berdasarkan pemberitaan tersebut,
sanksi yang diberikan bukanlah pidana penjara ataupun pidana denda, namun bentuknya
justru berupa deportasi dan penangkalan yang merupakan bentuk tindakan administratif.13 Bahkan ada pula kasus aktual pelaksanaan deportasi yang dianggap terlalu cepat
dilakukan oleh pihak imigrasi di Kalimantan Timur. Kapolres Balikpapan AKBP Andi Aziz
Nizar pada bulan November 2014 lalu sangat menyayangkan situasi ini karena deportasi
dilakukan padahal pihak kepolisian belum cukup banyak mengorek keterangan dan
mengumpulkan bukti-bukti terhadap dugaan pidana yang dilakukan WNA yang dideportasi.14 Isu deportasi sesungguhnya tidak hanya menjadi urusan aparat keimigrasian di daerah
Bali saja, sebab kebijakan strategis mengenai deportasi juga merupakan ranah pemerintah
pusat, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Direktorat
Jenderal Keimigrasian. Faktanya, berbagai kalangan telah mendesak Menteri Hukum dan
13 Lihat Pasal 234 dan 236 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
14 Balikpapan Pos, Artikel “WNA Mengarah Kejahatan Dunia Maya:
Kapolres Sayangkan Imigrasi
Hak Asasi Manusia (Menkumham) agar mendeportasi WNA bermasalah.15 Secara normatif, Menkumham telah menyampaikan komitmennya untuk melakukan deportasi terhadap WNA
pelanggar aturan.16
Fenomena di atas sesungguhnya mengandung sejumlah isu hukum. Pertama, terdapat
isu penyalahgunaan visa kunjungan yang digunakan oleh WNA untuk bekerja di Bali yang
melahirkan apa yang kerap disebut sebagai tenaga kerja asing ilegal. Kedua, dalam situasi
yang tidak terkendali dan teratur, eksistensi tenaga asing berpotensi mengancam hak tenaga
kerja lokal dalam hal kesempatan kerja. Ketiga, pemerintah menerapkan deportasi sebagai
upaya penegakan hukum terhadap WNA yang menjadi tenaga kerja asing di Bali yang
melanggar peraturan perundang-undangan.
Menjadi suatu diskursus yang menarik pula untuk mengaitkan isu deportasi ini dengan
teori kewenangan aparat keimigrasian dalam menerapkan teori kedaulatan teritorial Negara
untuk memaksakan hukum nasionalnya berlaku bagi orang asing. Dalam adagium Romawi
hal ini disebut dengan qui in territorio meo est, etiam meus subditus est, yang dalam konteks
ini dapat dimaknai sebagai individu yang mendiami suatu wilayah tertentu haruslah tunduk
dan patuh pada kekuasaan hukum dai Negara yang memiliki wilayah tersebut.17
Ada sejumlah bidang hukum yang selama ini dilekatkan dalam isu ini. Hukum
Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) tentu menjadi bidang hukum yang paling relevan
berkaitan dengan hak dan kewajiban tenaga kerja, termasuk tenaga kerja asing. Hukum
Keimigrasian juga menjadi aspek penting dalam menentukan keabsahan tindakan aparat
keimigrasian dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dalam hal pelanggaran
imigrasi oleh orang asing di Indonesia. Sayangnya, hukum hak asasi manusia nampaknya
belum terlalu mengeksplorasi isu ini.
Dalam konteks HAM, tindakan deportasi yang semena-mena sesungguhnya dapat
dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap hak sipil dan politik yang dimiliki setiap
individu. Pasal 28D (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dalam konteks Hak atas Rasa Aman, Pasal 34 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa
15
Okezone.com, Artikel, Menkumham Didesak Deportasi WNA Bermasalah, 11 September 2014
http://news.okezone.com/read/2014/09/11/339/1037694/menkumham-didesak-deportasi-wna-bermasalah
16Tribunnews, Artikel “Menkumham : Kami Akan Deportasi WNA Pelanggar Aturan”, 24 Juni 2014,
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/24/menkumham-kami-akan-deportasi-wna-pelanggar-aturan
“Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang”.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagai instrumen
hukum HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia juga memberikan pembatasan
tindakan deportasi untuk dapat diterapkan oleh Indonesia. Pasal 13 ICCPR juga
menggariskan bahwa orang asing yang berada secara sah di Indonesia dapat diusir dari
Indonesia hanya menurut keputusan yang dikeluarkan berdasarkan hukum dan, kecuali ada
alasan-alasan kuat sehubungan dengan keamanan nasional, ia harus diberi kesempatan
mengajukan keberatan terhadap pengusiran dirinya, dan meminta agar kasusnya ditinjau
kembali dan diwakili untuk keperluan ini, oleh pihak yang berwenang atau orang-orang yang
secara khusus ditunjuk oleh pihak yang berwenang.
Lebih jauh, Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) memberikan
klarifikasi makna Pasal 13 ICCPR dalam kaitannya dengan penerapan deportasi bagi orang
asing yang statusnya masih di „area abu-abu‟, sebagai berikut “if the legality of an alien’s entry or stay is in dispute, any decision on this point leading to his expulsion or deportation
ought to be taken in accordance with article 13”.18 Dapat diartikan bahwa terhadap situasi dalam hal legalitas orang asing untuk tinggal masih belum jelas, maka deportasi terhadapnya
harus memperhatikan Pasal 13 ICCPR.
Peneliti telah mencoba menelusuri karya karya ilmiah yang membahas deportasi.
Namun tinjauan karya ilmiah tersebut cenderung berfokus pada aspek administrasi.19 Ulasan yang membahas tenaga kerja asing di Indonesia juga relatif sedikit, karena kebanyakan
membahas hak-hak para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Demikian pula halnya dengan
sedikitnya pembahasan mengenai segi Hak Asasi Manusia dalam deportasi yang selama ini
cenderung dikaitkan dengan ekstradisi.20
Mengingat dalam pergaulan antar bangsa, isu deportasi orang asing dapat menjadi
masalah diplomatik, sesungguhnya penerapan tindakan deportasi yang dilandasi prinsip
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM mereka amat diharapkan Terlebih fakta
18 General comment of the Human Rights Committee No. 15: The position of aliens under the
Covenant, Twenty-seventh session
http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=INT%2fCCPR%2fGEC%2f6 625&Lang=en
19 Sebagai contoh, lihat Sunit Budhi Cahyono, Tinjauan Terhadap Deportasi Warga Negara Asing
Karena Pelanggaran Batas Ijin Tinggal Dan Akibat Hukum Oleh Kantor Imigrasi Surakarta (Studi Kasus Pendeportasian Mohamed Tarek Mohamed Mohamed El Atreiry), abstrak skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=10920
20 Sebagai contoh, lihat Smith, Rhona K, 2010, Textbook on International Human Rights, Oxford
bahwa Bali telah menjadi salah satu primadona bagi tenaga kerja asing untuk mencari
penghidupan, maka stereotip kurang baik mengenai tindakan administratif yang melanggar
HAM orang asing akan menjadi sangat kontraproduktif bagi citra Indonesia dan Bali pada
khususnya.
Dari uraian di atas, dapat tergambar betapa pentingnya memberikan analisis hukum
yang bersifat teoritik maupun bersifat praktis kepada para pemangku kepentingan di bidang
keimigrasian, ketenagakerjaan, dan Hak Asasi Manusia maupun kepada para akademisi. Hal
inilah yang sesungguhnya menimbulkan ketertarikan peneliti untuk melaksanakan dan
menyusun penelitian dengan judul “TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA
DALAM PENERAPAN DEPORTASI BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI”
1.2. Rumusan Masalah
Ada dua masalah hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu;
a. Apakah pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga
kerja asing di Indonesia telah memperhatikan pengormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia?
b. Dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali,
aspek-aspek apakah yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang
dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia yang dimiliki
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengaturan mengenai Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Telah menjadi pendapat umum bahwa negara mempunyai kewajiban mengutamakan
tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di negeri sendiri untuk dapat memakmurkan negaranya
dan dalam perekrutan tenaga kerja pada dasarnya mengutamakan tenaga kerja Indonesia dari
pada tenaga kerja asing.21 Isu ini sesungguhnya membuka ruang bagi perdebatan mengenai diskriminasi dalam ketenagakerjaan (discrimination in employment) yang telah cukup lama
tidak terselesaikan.22
Dalam Pasal 1 angka (13) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing didefinisikan sebagai warga negara asing pemegang visa
dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Lebih jauh, penggunaan tenaga kerja asing
diatur secara khusus dalam Bab VIII undang-undang tersebut. Sebagai prinsip umum, dapat
dikutip Pasal 42 yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. (3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Ketentuan lain di dalam Bab ini mengatur mengenai rencana penggunaan tenaga kerja
asing oleh pemberi kerja,23 ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku bagi tenaga kerja asing,24 kewajiban pemberi kerja tenaga kerja asing,25 pembatasan jabatan-jabatan terntu bagi tenaga kerja asing,26 pembayaran kompensasi,27 kewajiban pemulangan ke
21 Gatot Supramono, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, h.50-51.
22 Hal ini dapat dilihat dalam Chapter 8 mengenai “Discrimination in Employment” dalam buku
Duncan, Nigel, 2008, (The City Law School, City University London) “Employment Law in Practice, 8th
Edition, Oxford University Press, New York, h. 191-227
23 Pasal 43 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
24 Pasal 44 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
25
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
26 Pasal 46 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
negara asal,28 serta ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping.29
Mengingat peluang kerja bagi orang asing di Bali ada pada sektor pariwisata, ada
baiknya untuk mengutip ketentuan mengenai Tenaga Kerja Ahli Warga Negara Asing dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dalam Pasal 56 ayat (1)
disebutkan bahwa “Pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan tenaga kerja ahli warga
negara asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ayat (2) semakin
memperjelas bahwa tenaga kerja ahli warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari organisasi asosiasi pekerja profesional
kepariwisataan.
Pemerintah juga telah menetapkan pembatasan mengenai jabatan-jabatan yang hanya
boleh diisi oleh tenaga kerja asing. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang Jabatan-Jabatan Tertentu
Yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing disebutkan beberapa larangan tersebut, yaitu:
Nama Jabatan
No Indonesia Kode Inggris
1. Direktur Personalia 1210 Personnel Director
2. Manajer Hubungan Industrial 1232 Industrial Relation Manager 3. Manajer Personalia 1232 Human Resource Manager 4. Supervisor Pengembangan
Personalia
1232 Personnel Development Supervisor
5. Supervisor Perekrutan Personalia 1232 Personnel Recruitment Supervisor 6. Supervisor Penempatan Personalia 1232 Personnel Placement Supervisor 7. Supervisor Pembinaan Karir
Pegawai
1232 Employee Career Development Supervisor
8. Penata Usaha Personalia 4190 Personnel Declare Administrator 9. Kepala Eksekutif Kantor 1210 Chief Executive Officer
10. Ahli Pengembangan Personalia dan Karir
2412 Personnel and Careers Specialist
11. Spesialis Personalia 2412 Personnel Specialist 12. Penasehat Karir 2412 Career Advisor 13. Penasehat tenaga Kerja 2412 Job Advisor
14. Pembimbing dan Konseling Jabatan 2412 Job Advisor and Counseling 15. Perantara Tenaga Kerja 2412 Employee Mediator
16. Pengadministrasi Pelatihan
28 Pasal 48 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dengan demikian, menjadi semakin jelas bahwa tidak semua jenis pekerjaan dapat
dilakukan oleh tenaga kerja asing di Indonesia.
2.2. Deportasi dan Hak Asasi Manusia
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights/UDHR) secara umum dianggap sebagai sumber penting dalam Hukum HAM
Internasional karena memuat prinsip-prinsip fundamental HAM yang bersifat universal30 dan menjadi dasar bagi perlindungan dan pemajuan HAM di seluruh dunia dan didukung semua
negara termasuk Indonesia31 serta telah menjadi kewajiban moral untuk diterapkan oleh seluruh negara anggota PBB.32 Mengenai deportasi, Pasal 9 UDHR menyebutkan “No one shall be subjected to arbitrary arrest, detention or exile”. Hal ini dapat diartikan bahwa tidak
seorangpun dapat dipaksa pergi dari suatu tempat tertentu secara sewenang-wenang.
Ketentuan ini sesungguhnya dapat dikaitkan dengan Pasal 13 UDHR yang menyatakan
bahwa setiap orang bebas untuk bergerak/pergi menuju dan tinggal di dalam batas-batas
wilayah setiap negara33 serta memiliki hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya, dan kembali ke negaranya.34 Secara argumentum a contrario, ketentuan ini dapat diartikan sebagai adanya hak yang dimiliki setiap orang untuk tidak kembali ke negaranya
atas alasan apapun, termasuk karena paksaan.
Selain UDHR, ada sejumlah perjanjian internasional utama di bidang HAM (core
human rights treaties) yang juga berkaitan dengan isu deportasi. Apabila UDHR memiliki
karakter soft law, berbeda halnya dengan sejumlah perjanjian internasional berikut yang
memiliki kekuatan hukum mengikat bagi negara yang meratifikasinya.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), sesungguhnya
menegaskan substansi yang terdapat di Pasal 13 UDHR dengan menyatakan bahwa setiap
orang yang secara sah berada di dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan untuk
bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya di wilayah tersebut.35 Ketentuan
yang spesifik mendekati isu deportasi dapat dilihat dalam Pasal 13 ICCPR yang berbunyi
sebagai berikut:
30 Lihat Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peran, dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, 2011, h. 679-68.
31 Yahya Ahmad Zein, 2012, Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), Liberti, Yogyakarta, h. 16.
32 Max Boli Sabon, 2014, Hak Asasi Manusia: Bahan Pendidikan untuk Perguruan Tinggi, Universitas
atma Jaya, Jakarta, h. 17
33
Pasal 13 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights
34 Pasal 13 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights
“An alien lawfully in the territory of a State Party to the present Covenant may be
expelled therefrom only in pursuance of a decision reached in accordance with law and
shall, except where compelling reasons of national security otherwise require, be
allowed to submit the reasons against his expulsion and to have his case reviewed by,
and be represented for the purpose before, the competent authority or a person or persons especially designated by the competent authority”
(terjemahan: Orang asing yang berada secara sah di wilayah Negara Pihak pada Kovenan ini dapat diusir dari Negara tersebut hanya menurut keputusan yang dikeluarkan berdasarkan hukum dan, kecuali ada alasan-alasan kuat sehubungan dengan keamanan nasional, ia harus diberi kesempatan mengajukan keberatan
terhadap pengusiran dirinya, dan meminta agar kasusnya ditinjau kembali dan
diwakili untuk keperluan ini, oleh pihak yang berwenang atau orang-orang yang secara khusus ditunjuk oleh pihak yang berwenang)
Terlihat di dalam ketentuan di atas bahwasanya orang asing yang tinggal di suatu
negara secara sah tidak dapat diusir (dideportasi) tanpa adanya keputusan yang dikeluarkan
berdasarkan hukum. Dengan demikian, legalitas daripada suatu tindakan deportasi akan
ditentukan oleh suatu prosedur berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kepentingan politik
yang berpotensi sewenang-wenang. Penting juga untuk mengutip kesimpulan kritis yang
diambil Sarah Joseph Jenny Schultz, and Mellissa Castan dalam mengomentari Pasal 13
ICCPR tersebut yang menyatakan sebagai berikut, “Article 13 does not provide aliens with a
guarantee against expulsion. Indeed, its procedural nature may mean that is not even a
comprehensive guarantee against arbitrary expulsion”.36 Kesimpulan ini tentu mereduksi pandangan bahwa Pasal 13 ICCPR merupakan dasar hukum yang kuat untuk menjustifikasi
adanya pelanggaran HAM dalam tindakan deportasi.
Selanjutnya, ada dua konvensi hak asasi manusia internasional yang menentukan
pembatasan tindakan deportasi dengan alasan bahwa tindakan tersebut justru kemungkinan
membahayakan hidup pihak yang dideportasi. Hal ini dapat dilihat dalam Convention against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang
secara tegas melarang suatu negara pihak untuk mengusir seseorang dari wilayah negaranya
karena ada situasi yang meyakinkan bahwa orang tersebut akan disiksa di negara lain37 serta di dalam International Convention for the Protection of All Persons from Enforced
Disappearance (CPED) yang juga secara tegas melarang suatu negara pihak untuk mengusir
seseorang dari wilayah negaranya karena ada situasi yang meyakinkan bahwa orang tersebut
36 Joseph, Sarah, Jenny Schultz, and Mellissa Castan, 2004, The International Covenant on Civil and
Political Rights: Cases, Materials, and Commentary, Second Edition, Oxford University Press Inc., New York, h. 387
37 Pasal 3 ayat (1) Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
akan menghadapi situasi bahaya atau dapat dihilangkan secara paksa di negara lain.38 Dalam hukum internasional, penghilangan paksa (enforced disappearance) dianggap sebagai suatu
pelanggaran terhadap martabat manusia,39 yang mana martabat manusia merupakan prinsip fundamental dalam HAM.40
Terdapat pula pengaturan deportasi dalam kaitannya dengan HAM yang dimiliki
seorang anak. Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 9 (4) Convention on the Rights of the Child
(CRC) yang secara explisit menyebut deportasi sebagai berikut:
“Where such separation results from any action initiated by a State Party, such as the detention, imprisonment, exile, deportation or death (including death arising from any cause while the person is in the custody of the State) of one or both parents or of the child, that State Party shall, upon request, provide the parents, the child or, if appropriate, another member of the family with the essential information concerning the whereabouts of the absent member(s) of the family unless the provision of the information would be detrimental to the well-being of the child. States Parties shall further ensure that the submission of such a request shall of itself entail no adverse consequences for the person(s) concerned.”
Pengaturan hak asasi manusia internasional yang paling rinci mengenai deportasi dapat
ditemukan dalam Pasal 22 International Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW) yang menentukan hal-hal
sebagai berikut:
1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran kebijakan
pengusiran secara massal. Setiap kasus pengusiran harus diperiksa dan diputuskan
sendiri-sendiri.
2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya hanya dapat diusir dari wilayah suatu
Negara Pihak atas suatu keputusan yang diambil oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan hukum.
3. Keputusan tersebut wajib dikomunikasikan kepada mereka dalam bahasa yang mereka
pahami. Atas permintaan mereka, kecuali merupakan kewajiban, keputusan itu wajib
disampaikan secara tertulis dan, kecuali dalam keadaan terkait keamanan nasional,
beserta alasan-alasannya. Orang-orang yang bersangkutan wajib diberi tahu mengenai
hak-hak ini sebelum atau selambat-lambatnya pada saat keputusan itu diambil.
38 Pasal 16 ayat (1) International Convention for the Protection of All Persons from Enforced
Disappearance
39 Smith, Rhona. K, 2010, Text and Materials on International Human Rights, Second Edition,
Routledge, New York, h. 488.
40 Bantekas, Ilias and Lutz Oette, 2013, International Human Rights Law and Practice, Cambridge
4. Kecuali, apabila suatu keputusan akhir telah ditetapkan oleh pengadilan yang berwenang,
orang-orang yang bersangkutan harus memiliki hak untuk menyampaikan alasan-alasan
mengapa mereka tidak boleh diusir dan untuk meminta kasusnya ditinjau kembali oleh
pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan sebaliknya, dengan alasan keamanan
nasional. Selama menunggu peninjauan kembali, orang-orang yang bersangkutan harus
memiliki hak untuk meminta penundaan keputusan pengusiran tersebut.
5. Apabila keputusan pengusiran yang telah ditetapkan kemudian dibatalkan, orang yang
bersangkutan harus memiliki hak untuk menuntut ganti rugi menurut hukum, dan
keputusan yang pertama tidak boleh dipergunakan untuk mencegahnya memasuki
kembali negara yang bersangkutan.
6. Dalam hal pengusiran, orang-orang yang bersangkutan harus memiliki hak atas
kesempatan yang cukup sebelum atau sesudah keberangkatannya, untuk menyelesaikan
pembayaran gaji atau hak lain yang harus diberikan dan juga utang-utangnya.
7. Tanpa mengurangi pelaksanaan keputusan pengusiran, seorang pekerja migran atau
anggota keluarganya yang menjadi sasaran keputusan tersebut dapat memohon untuk
memasuki suatu negara yang bukan negara asalnya.
8. Dalam hal pengusiran seorang pekerja migran atau anggota keluargannya, biaya
pengusiran tidak boleh dibebankan kepadanya. Orang yang bersangkutan dapat diminta
untuk membayar biaya perjalanannya sendiri.
9. Pengusiran dari negara tempat bekerja tidak boleh mengurangi hak apa pun yang telah
diperoleh pekerja migran atau anggota keluarganya sesuai dengan hukum negara
tersebut, termasuk hak untuk menerima gaji dan hak lain yang harus diterimanya.
Pengaturan mengenai deportasi dapat juga ditemui dalam sejumlah instrumen hak asasi
manusia regional. Di kawasan Eropa Article 1 Protocol 7 European Convention on Human
Rights merupakan instrumen yang menegaskan bahwa bahwa orang asing yang secara sah
tinggal di suatu negara tidak dapat diusir kecuali berdasarkan suatu keputusan berdasarkan
hukum. Mengenai penggunaan kata „expulsion‟, Explanatory Report dari ketentuan ini
menyebutkan bahwa istilah ini harus diartikan sebagai konsep otonom yang berbeda dari
definisi yang dikenal di lingkup domestik.41 Di kawasan Asia Tenggara, Pasal 15 ASEAN Human Rights Declaration tidak mengatur secara spesifik mengenai deportasi, tetapi hanya
menyebut bahwa setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan tinggal di dalam batas-batas
suatu negara (Every person has the right to freedom of movement and residence within the
borders of each State).
41 Flinterman, Cees (rev) dalam Dijk, Pieter van, Fried van Hoof, Arjen van Rijn and Leo Zwaak (Eds),
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi keberlakuan Hukum Hak
Asasi Manusia dalam fenomena-fenomena hukum yang berkembang di Indonesia, khususnya
di Bali. Secara khusus, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut, yaitu;
a. Untuk menganalisis pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia
dalam pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga
kerja asing di Indonesia
b. Untuk menganalisis aspek-aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa
tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar hak asasi
manusia yang dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut dalam kaitannya dengan proses
deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali.
3.2 Manfaat Penelitian
Ada sejumlah manfaat yang kiranya dapat dipetik bagi sejumlah kalangan dari
penelitian ini :
a. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan suatu rujukan akademik di
bidang hukum hak asasi manusia, mengingat saat ini penelitian di bidang ini masih
sedikit dilakukan di Indonesia.
b. Bagi praktisi hukum, penelitian ini dapat memberikan deskripsi dan analisis ilmiah
mengenai praktik ideal penerapan deportasi bagi WNA, khususnya Tenaga Kerja Asing.
c. Bagi para pengambil kebijakan, penelitian ini bermanfaat bagi perumusan kebijakan
nasional berkaitan dengan penyempurnaan dalam prosedur operasi standar (standard
operational procedure/SOP) tindakan deportasi yang memuat aspek-aspek HAM.
d. Bagi lembaga pendidikan, khususnya Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH
UNUD), penelitian ini dapat menjadi tindak lanjut dan pengembangan terhadap
materi-materi yang disajikan dan dibahas di dalam perkuliahan, seperti misalnya Hukum Hak
Asasi Manusia, Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan, Hukum Ketenagakerjaan,
3.3 Urgensi Penelitian
Penelitian ini amat penting untuk dilakukan mengingat adanya tren peningkatan kasus
penyalahgunaan visa kunjungan yang melibatkan warga negara asing di Indonesia sekaligus
tren peningkatan jumlah tenaga kerja asing yang mencari sumber penghidupan di Bali.
Sebagai destinasi pariwisata, Bali merupakan tempat potensial bagi warga negara asing untuk
bekerja sebagai tenaga kerja asing. Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) juga
menjadikan penelitian ini urgen untuk dilakukan dalam rangka memberikan analisis hukum
mengenai proporsionalitas bagi tindakan administratif keimigrasian yang dapat dikenakan
terhadap tenaga kerja asing yang nantinya bekerja di Indonesia, khususnya di Bali, dalam
framework dan arrangement MEA.
Penelitian ini juga relevan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi terhadap tenaga
kerja asing di Indonesia, khususnya Bali, sesuai dengan instrumen HAM nasional dan
internasional terkait yang telah diratifikasi, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Konvensi
Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian hukum normatif yang akan meneliti
bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan isu dan pengaturan hukum mengenai deportasi
dan tenaga kerja asing. Dalam desain ini, akan dilakukan penelitian kepustakaan, baik
terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Sebagai
suatu tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia, penelitian hukum normatif ini juga akan
dipadukan dan diperkaya dengan metode penelitian Hak Asasi Manusia yang telah mulai
digunakan dalam berbagai penelitian HAM saat ini.42
4.2. Jenis Pendekatan
Penelitian hukum normatif dikenal beberapa metode pendekatan, yakni pendekatan
peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach),
pendekatan analisis /konsep (analytical or conceptual approach), pendekatan filsafat
(philosophical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan
pendekatan kasus (case approach).43 Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis /konsep, dan
pendekatan fakta.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah
instrumen-instrumen hukum nasional dan internasional yang mengatur tentang isu deportasi
dan tenaga kerja asing. Pendekatan analisis/konsep (analytical or conceptual approach)
selanjutnya akan digunakan dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai aspek-aspek
hak asasi manusia dalam penerapan deportasi terhadap tenaga kerja asing. Terakhir,
pendekatan fakta dimaksudkan untuk menganalisis fakta-fakta mengenai penerapan tindakan
deportasi bagi tenaga kerja asing di Indonesia, khususnya di Bali.
42 Sebagai salah satu rujukan referensi adalah Buku yang berjudul Methods of Human Rights Research
yang merupakan kompilasi metode penelitian HAM oleh Fons Coomans, Fred Grunfeld, dan Menno T Kamminga (Eds), Methods of Human Rights Research, Maastricht Centre for Human Rights, Intersentia, Antwerp, 2009.
43Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet. 4, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
4.3. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum, secara umum dipahami bahwa sumber bahan hukum
dibedakan antara bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Ketiga jenis bahan hukum tersebut akan dipergunakan dalam penelitian ini.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi sejumlah instrumen hukum nasional,
di antaranya Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian serta peraturan
perundang-undangan lainnya. Sejumlah instrumen internasional juga akan digunakan sebagai bahan
hukum primer, di antaranya Universal Declaration on Human Rights, International Covenant
on Civil and Political Rights, International Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members of Their Families.
Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau
bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel,
jurnal, hasil penelitian, makalah dan bahan bacaan lainnya yang terkait dengan deportasi,
tenaga kerja asing, hukum dan hak orang asing, keimigrasian, Hak Asasi Manusia, dan
bacaan lain yang menunjang penelitian ini.
Sebagai pelengkap dari bahan hukum primer dan sekunder, bahan hukum tersier juga
akan digunakan dalam penelitian ini. Bahan hukum tersebut dapat berupa kamus umum,
kamus hukum dan dokumen-dokumen lainnya, serta bahan penunjang di luar bidang hukum,
di antaranya bahan dari ilmu politik yang dapat mendukung dan memperjelas bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. 44
Dalam penelitian ini, selain sumber hukum yang diperoleh dari sumber hukum primer,
sekunder, dan tersier, akan ditunjang pula dengan hasil wawancara kepada aparat
Keimigrasian di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali.
4.4. Lokasi Penelitian
Selain penelitian kepustakaan yang nampaknya akan lebih banyak dilakukan, lokasi
penelitian yang direncanakan pada penelitian ini adalah Kantor Imigrasi yang berada di
bawah lingkup Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali.
44 Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
4.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum berupa telaah
pustaka dengan menggunakan sistem kartu (card system) yaitu meneliti berbagai literatur
yang ada kaitanya dengan materi yang akan dibahas dalam penelitian ini dan untuk
selanjutnya dicatat dalam kartu lepas dengan mencantumkan nama pengarang, judul buku,
nama penerbit, alamat/kota tempat penerbit, tahun, serta nomor halaman yang dikutip.45 Langkah awal pengumpulan data yang akan dilakukan adalah kegiatan inventarisasi,
kemudian dilakukan pengoleksian dan identifikasi bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem
informasi yang komprehensif sehingga memudahkan untuk melakukan penelusuran kembali
bahan-bahan yang diperlukan. Dalam rangka memperkaya informasi serta melakukan
konfirmasi mengenai substansi-substansi penelitian ini, akan dilakukan wawancara dengan
aparat keimigrasian di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi
Bali.
4.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada hakekatnya
merupakan kegiatan untuk melakukan sistemisasi terhadap bahan-bahan hukum. Dalam hal
ini bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan diklasifikasikan untuk mempermudah
menganalisa bahan-bahan tersebut. Setelah itu dilakukan interpretasi hukum yang berkaitan
dengan kata-kata dari peraturan hukum yang dapat memberikan penafsiran yang
berbeda-beda serta ketidakpastian hukum.46 Selanjutnya dilakukan analisis terhadap bahan hukum yang diolah untuk dapat melakukan penelitian terhadap bahan-bahan yang diperoleh,
sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai ada atau tidaknya pengormatan, perlindungan,
dan pemenuhan hak-hak asasi manusia dalam pengaturan hukum keimigrasian mengenai
tindakan deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia serta mengenai aspek-aspek yang
perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat
kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia yang dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut
dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali.
45
Lihat Setyo Yowono Sudikni, 1983, Pengantar Karya Ilmiah, Cet.III, Aneka Ilmu, Jakarta, h. 37
46 LB. Curzon, 1979, Yurisprudence, M&E Handbooks, Mac Donald and Evans, Ltd., Estover,
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengaturan Hukum Keimigrasian Mengenai Tindakan Deportasi Terhadap Tenaga Kerja Asing di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Pengormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia
Ada sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian yang mengatur
mengenai isu deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia. Dalam legislasi Indonesia,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (selanjutnya disebut dengan
Undang-Undang Keimigrasian) merupakan instrumen hukum nasional yang di antaranya
mengatur isu tenaga kerja asing, keimigrasian, dan deportasi. Dalam penjabarannya lebih
lanjut, telah pula diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian.
Sistematika Pembahasan sub bab 5.1 ini akan dimulai dengan analisis mengenai
dimungkinkannya warga asing untuk mendapat izin sebagai tenaga kerja asing di Indonesia.
Selanjutnya akan dibahas pula kualifikasi sanksi deportasi bagi tenaga kerja asing sebagai
tindakan keimigrasian dan aspek pidana berkaitan dengan deportasi terhadap tenaga kerja
asing. Terakhir, akan dilakukan semacam tinjauan komprehensif mengenai pengormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
5.1.1. Izin bagi Warga Asing untuk dapat Bekerja di Indonesia
Dalam Pasal 39 huruf a Undang-undang Keimigrasian digariskan bahwa Visa tinggal
terbatas diberikan kepada Orang Asing yang berprofesi sebagai pekerja. Penjelasan atas
ketentuan tersebut mejabarkan lebih lanjut bahwa Visa tinggal terbatas dalam penerapannya
dapat diberikan untuk melakukan kegiatan dalam rangka bekerja, yaitu:
a. sebagai tenaga ahli;
b. bergabung untuk bekerja di atas kapal, alat apung, atau instalasi yang beroperasi di wilayah perairan Nusantara, laut territorial, atau landas kontinen, serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
c. melaksanakan tugas sebagai rohaniwan;
d. melakukan kegiatan yang berkaitan dengan profesi dengan menerima bayaran, seperti olahraga, artis, hiburan, pengobatan, konsultan, pengacara, perdagangan, dan kegiatan profesi lain yang telah memperoleh izin dari instansi berwenang;
f. melakukan pengawasan kualitas barang atau produksi (quality control);
g. melakukan inspeksi atau audit pada cabang perusahaan di Indonesia;
h. melayani purnajual;
i. memasang dan reparasi mesin;
j. melakukan pekerjaan nonpermanen dalam rangka konstruksi;
k. mengadakan pertunjukan;
l. mengadakan kegiatan olahraga profesional;
m. melakukan kegiatan pengobatan; dan
n. calon tenaga kerja asing yang akan bekerja dalam rangka uji coba keahlian.
Ketentuan di atas secara ekspilisit mengatur bahwa secara administratif, orang asing
dapat bekerja di Indonesia dengan memegang Visa tinggal terbatas. Lebih jauh, mereka juga
dapat bekerja di Indonesia dengan memegang izin tinggal tetap, sebagaimana diatur di dalam
Pasal 54 ayat (1) huruf a Undang-undang Keimigrasian.
Dengan demikian, warga negara asing yang bekerja di Indonesia dalam waktu yang
relatif lama tentu tidak cukup memiliki Visa tinggal terbatas saja, karena substansi visa
adalah keterangan tertulis yang memuat persetujuan bagi Orang Asing untuk melakukan
perjalanan ke Wilayah Indonesia.47 Adapun izin tinggal sebagai suatu izin yang diberikan kepada Orang Asing untuk berada di Wilayah Indonesia,48 khususnya izin tinggal tetap, tentu lebih memiliki status hukum yang lebih kuat karena mereka diberikan izin bertempat tinggal
dan menetap di Wilayah Indonesia dalam status sebagai penduduk Indonesia.49
Hak untuk bekerja bagi warga negara asing tersebut vis a vis juga menimbulkan
sejumlah kewajiban. Dalam kaitannya dengan konteks ketenagakerjaan, salah satu kewajiban
tersebut dapat dilihat di dalam Pasal 71 yang menentukan bahwa setiap Orang Asing yang
berada di Wilayah Indonesia wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai
identitas dirinya serta melaporkan setiap perubahan status pekerjaan dan Penjamin kepada
Kantor Imigrasi setempat.50 Selain itu, mereka juga diwajibkan untuk memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh
Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.51
47 Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
48 Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
49
Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
50 Pasal 71 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
5.1.2 Sanksi Deportasi Bagi Tenaga Kerja Asing sebagai Tindakan Keimigrasian
Bab VII Undang-undang Keimigrasian mengatur tentang Tindakan Administratif
Keimigrasian. Ditentukan bahwa orang asing yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut
diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak
menaati peraturan perundang-undangan dapat dikenakan tindakan administratif keimigrasian
oleh Pejabat imigrasi yang berwenang.52 Ada sejumlah tindakan Administratif Keimigrasian sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 75 ayat (2), yaitu:
a. pencantuman dalam daftar Pencegahan atau Penangkalan;
b. pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal;
c. larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di Wilayah Indonesia;
d. keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di Wilayah Indonesia;
e. pengenaan biaya beban; dan/atau
f. Deportasi dari Wilayah Indonesia.
Apabila Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Keimigrasian mendefinisikan deportasi
sebagai tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia, maka ketentuan
Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Keimigrasian memperjelas kualifikasi bahwa deportasi
merupakan salah satu bentuk tindakan administratif keimigrasian.
Menariknya, tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi dapat juga dilakukan
terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia karena berusaha menghindarkan diri
dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara asalnya.53 Secara teoritik, hal ini tentu menjadi diskursus mengenai upaya ekstradisi yang dapat juga diterapkan dalam situasi
serupa.
Berkaitan dengan batas waktu ijin tinggal dan pembayaran biaya beban, deportasi dapat
dikenakan bagi Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang tidak membayar biaya beban
karena telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam Wilayah Indonesia kurang
dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu Izin Tinggal. Selain itu, deportasi juga dapat
dikenakan bagi Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya
dan masih berada dalam Wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu
Izin Tinggal bagi. Namun demikian, pengenaan tindakan deportasi dalam situasi ini bersifat
opsional, karena hal serupa dapat pula dikenakan tindakan administratif lain, yaitu
penangkalan.54
52
Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
53 Pasal 75 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pengenaan sanksi deportasi ternyata memiliki konsekuensi hukum bagi izin tinggal
yang dimiliki oleh pemegang izin tersebut yang ternyata dideportasi. Undang-undang
Keimigrasian menentukan bahwa tindakan deportasi secara otomatis mengakhiri izin tinggal
kunjungan,55 izin tinggal terbatas,56 dan izin tinggal tetap.57 Bagi Tenaga Kerja asing yang dideportasi tetapi ternyata tidak mempunyai Dokumen Perjalanan yang sah dan masih
berlaku atau perwakilan negaranya di Wilayah Indonesia, maka dapat diberikan Surat
Perjalanan Laksana Paspor.58
Konsekuensi hukum ternyata tidak hanya berlaku terhadap orang asing saja, tetapi juga
bagi para penjamin. Berdasarkan Pasal 63 ayat (3) huruf b Undang-undang Keimigrasian
disebutkan bahwa Penjamin berkewajiban untuk membayar biaya yang timbul untuk
memulangkan atau mengeluarkan Orang Asing yang dijaminnya dari Wilayah Indonesia
apabila Orang Asing yang bersangkutan dikenai Tindakan Deportasi.
5.1.3 Aspek Pidana berkaitan dengan Deportasi terhadap Tenaga Kerja Asing
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya di bagian latar belakang laporan ini,
deportasi sebagai tindakan administratif keimigrasian juga memiliki dimensi penegakan
hukum pidana yang dikualifikasikan sebagai „tindak pidana keimigrasian‟ berdasarkan Pasal 109 Undang-Undang Keimigrasian.59 Tindak pidana keimigrasian juga digolongkan sebagai
„tindak pidana khusus‟ yang mana memiliki hukum formal dan hukum materiil tersendiri,
berbeda dengan hukum pidana umum. Bahkan aparat penegakan hukum keimigrasian juga
juga dilengkapi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian yang
menjalankan tugas dan wewenang secara khusus sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 1
angka 8 dan Penjelasan Bagian Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian.
Bab XI Undang-Undang Keimigrasian mengatur mengenai Ketentuan Pidana yang
dimuat di dalam undang-undang ini. Menariknya, ada substansi ketentuan pidana yang dalam
penegakannya nampaknya justru berpotensi dikenakan tindakan administratif deportasi. Hal
ini dapat dilihat di dalam Pasal 116 yang mengatur bahwa setiap Orang Asing yang tidak
55 Pasal 51 huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
56 Pasal 53 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
57
Pasal 62 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
58 Pasal 58 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
59 Disebutkan bahwa “Terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana keimigrasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133 huruf b, Pasal 134 huruf b, dan Pasal 135 dapat
melakukan kewajibannya untuk memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai
identitas diri serta melaporkan setiap pekerjaan dan Penjamin maupun tidak melakukan
kewajibannya untuk memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin
Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka
pengawasan Keimigrasian,60 dapat dikenakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah).
Ketentuan lain dapat dilihat dalam Pasal 122 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ketentuan ini memuat ancaman pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) bagi setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan
kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan
kepadanya ataupun bagi setiap orang yang menyuruh atau memberikan kesempatan kepada
Orang Asing menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud
atau tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya.
Sepanjang penelusuran penulis, berkaitan dengan sanksi deportasi bagi orang asing,
termasuk tenaga kerja asing, ternyata terjadi ketidakjelasan antara pemidanaan dan tindakan
administratif. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa tindakan administratif lebih diutamakan
karena alasan efisiensi61 ataupun karena minimnya keinginan untuk mengadili kasus keimigrasian menjadi suatu mekanisme pro justitia.62
Hal ini dapat dilihat dari kasus pendeportasian terhadap empat orang WNA yaitu
Nicholas William Thomas (Inggris), Nancy May (Inggris), Steven Thomas (Inggris), dan
Marina Naloni (Amerika Serikat), sebagaimana sebelumnya diuraikan di bagian latar
belakang laporan ini. Keempat WNA ini diduga menyalahgunakan Visa on Arrival untuk
bekerja di salah satu salon di jalan Oberoi Seminyak sejak awal bulan November 2014
dengan alat bukti berupa video, foto dan pengakuan yang menunjukkan bahwa mereka telah
bekerja di salon tersebut sejak awal bulan November 2014. Namun dalam konferensi pers
terkait kasus ini, Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi
Kelas I Khusus Ngurah Rai justru menyebutkan bahwa keempat WNA tersebut harus
60
Lihat Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
61 Lihat Lalu Hartadi, Pelaksanaan Pengawasan Wisatawan Asing yang Menggunakan Visa Kunjungan
Saat Kedatangan (Visa On Arrival): Studi di Wilayah Kerja Kantor Imigrasi Mataram), Jurnal, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2015, h. 14
62
menerima sanksi yang tertuang dalam Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian, di mana sanksinya berupa deportasi plus penangkalan (atau
di-black list) untuk masuk kembali ke Indonesia selama enam bulan ke depan terhitung setelah
dideportasi. Hal ini tentu mengindikasikan seolah pengenaan tindakan administratif atau
proses pidana menjadi pilihan yang membuka ruang interpretasi dan diskresi bagi aparat
keimigrasian dalam kasus-kasus yang ditanganinya.
5.1.4. Tinjauan mengenai Pengormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia
Penyusunan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian ternyata
dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek HAM. Pada Konsideran menimbang huruf b
Undang-undang tersebut mengakui diperlukannya peraturan perundang-undangan yang
menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan
hak asasi manusia. Selanjutnya, pada bagian Umum Penjelasan atas undang-undang tersebut
dinyatakan sebagai berikut:
“… bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya tuntutan terwujudnya tingkat
kesetaraan dalam aspek kehidupan kemanusiaan, mendorong adanya kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal … Berdasarkan kebijakan selektif (selective policy) yang
menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, diatur masuknya Orang Asing ke dalam
Wilayah Indonesia, demikian pula bagi Orang Asing yang memperoleh Izin Tinggal di Wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan tujuannya berada di Indonesia. Berdasarkan kebijakan dimaksud serta dalam rangka melindungi kepentingan nasional, hanya Orang Asing yang memberikan manfaat serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di Wilayah
Indonesia”
Penghormatan terhadap nilai HAM dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian (Selanjutnya disebut sebagai Peraturan
Pemerintah tentang Keimigrasian). Pada dasarnya, terdapat penegasan bahwa Pejabat
Imigrasi berwenang menempatkan orang asing (tenaga kerja asing) dalam Ruang Detensi
Imigrasi maupun Rumah Detensi Imigrasi dalam hal Orang Asing menunggu pelaksanaan
Deportasi.63 Selanjutnya, dalam Pasal 214 Peraturan Pemerintah tentang Keimigrasian disebutkan bahwa Pendetensian terhadap Orang Asing dilakukan sampai Deteni di Deportasi
63