• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL KUBAH DAN BEKISAR MERAH KARYA AHMAD TOHARI EDUCATION VALUES IN THE NOVEL KUBAH DAN BEKISAR MERAH BY AHMAD TOHARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL KUBAH DAN BEKISAR MERAH KARYA AHMAD TOHARI EDUCATION VALUES IN THE NOVEL KUBAH DAN BEKISAR MERAH BY AHMAD TOHARI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL KUBAH DAN BEKISAR MERAH KARYA AHMAD TOHARI

EDUCATION VALUES IN THE NOVEL KUBAH DAN BEKISAR MERAH BY AHMAD TOHARI

Tesis

Oleh

HASANUDDIN

NIM 105.04.09.075.14

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016

(2)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL KUBAH DAN BEKISAR MERAH KARYA AHMAD TOHARI

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Disusun dan Diajukan oleh

Oleh

HASANUDDIN

NIM 105.04.09.075.14

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016

(3)

HALAMAN PENGESAHAN TESIS

Judul : NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL KUBAH DAN BEKISAR MERAH KARYA AHMAD TOHARI

Nama : HASANUDDIN

NIM : 105.04.09.075.14

Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Ujian Hasil Penelitian pada tanggal 23 Mei 2016 dan tesis ini telah memenuhi syarat untuk diseminarkan pada ujian tutup sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar

Makassar, Juni 2016 TIM PENGUJI

Prof. Dr. Muhammad Rapi Tang, M.S.

(Ketua/Pembimbing I/Penguji) (...)

Dr. H. ANDI SUKRI SYAMSURI, M.Hum (Ketua/Pembimbing II/Penguji)

(...)

Prof. Dr. H. M. IDE SAID D.M., M.Pd.

(Penguji) (...)

Dr. SYARIFUDDIN, M.Pd

(Penguji) (...)

(4)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR PROGRAM PASCASARJANA

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesi : NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL KUBAH DAN BEKISAR MERAH KARYA AHMAD TOHARI

Nama Mahasiswa : HASANUDDIN

Nim : 105.04.09.075.14

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Setelah diperksa dan diteliti, tesis ini dinyatakan memenuhi syarat untuk ujian tutup.

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Pembimbing I

Prof. Dr. MUHAMMAD RAPI TANG, M.S

Pembimbing II

Dr. ANDI SUKRI SYAMSURI, M.Hum.

Mengetahui, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia

Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar

Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M.Pd.

NBM: 988 463

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL DEPAN i

HALAMAN JUDUL DALAM ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

PRAKATA v

DAFTRA ISI vii

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 4

C.Tujuan Penelitian 5

D. Manfaat Penelitian 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Karya Fiksi 6

B. Teori Sosiologi Sastra 19

C. Nilai Pendidikan dalam Novel 25

D. Riwayat Hidup Ahmad Tohari 33

E. Kerangka Pikir 36

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian 37

B. Definis Istialah 38

C. Data dan Sumber Data 39

D. Teknik Pengumpulan Data 40

E. Teknik Analisis Data 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN

A. Data Hasil Penelitian 43

B. Pembahasan 54

(6)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan 59

B.Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 63

BIOGRAFI SINGKAT 77

(7)

PRAKATA

Puji syukur, penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Tesis yang berjudul

Nilai- Nilai Pendidikan dalam Novel Kubah dan Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari,”

ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun terdapat banyak kendala dan tantangan yang penulis hadapi selama masa studi dan penyelesaian tesis ini, namun atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya studi tersebut dapat teratasi hingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam- dalamnya kepada Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum. pembimbing I dan Prof. Dr. Muhammad Rapi Tang,M.S. pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran serta motivasi sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, Ketua Program Studi Pendidikan Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, dan para dosen serta karyawan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

(8)

Secara khusus ucapan terima kasih kepada istri tercinta dan anak-anak tersayang serta orang tua yang telah memberikan dukungan dan perhatian, bahkan pengorbanan selama penulis menempuh studi.

Akhirnya, ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. Semoga segala bantuan, petunjuk dan dorongannya dapat bernilai ibadah dan mendapatkan rahmat dari Allah Swt. Amin

Semoga bermanfaat

Makassar, Juli 2016

Penulis,

(9)

ABSTRAK

Hasanuddin. 2016. Tesis.

Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Novel Kubah dan Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari,” dibimbing oleh Andi Sukri Syamsuri sebagai pembimbingI dan M. Rapi Tang, selaku pembimbing II.

Tujuan penelitian ini adalah

mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang digambarakan dalam novel Bekisar Merah dan Kubah Dukuh Paruk terutama berkaitan dengan hal (1) Aspek pendidikan dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari. (2) Aspek pendidikan dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. (3)Perbandingan gambaran aspek pendidikan dalam novel Kubah dan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari.

Metode penelitian ini adalah Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Untuk mengungkap fokus penelitian, dilakukan serangkaian penelitian dengan rancangan atau desain dengan studi kepustakaan sebagai berikut(1) Pengidentifikasian masalah yang berkaitan dengan penelitian. (2) Menelaah studi kepustakaan yang relevan dengan masalah.

(3) Analisis dan penyajian data.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa g

ambaran nilai-nilai pendidikan dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari terlihat pada aspek pendidikan sosial yang digambarkan dengan kepedulian sosial masyarakat yang mengurus Darsa yang ditimpa musibah, nilai-nilai pendidikan budaya yanga digambarkan melalui nasihat-nasihat yang memiliki makna mendalam tentang hakikat kehidupan dan tanggung jawab, mau menerima kesalahan dan ikhlas menerima kenyataan, dan nilai-nilai pendidikan agama terlihat pada ajaran berpuasa yang tiak hanya menahan lapar, tetapi sesungguhnya untuk menahan nafsu, keyakinan, pasrah/tawakal, beriman kepada Kitab-kitab Tuhan, salat, dan zikir. Nilai nilai pendidikan moral antara lain; mengucapkan salam, patuh pada orang tua, dan sabar. Gambaran nilai-nilai pendidikan dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari terlihat pada nilai-nilai pendidikan agama terutama terlihat Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat dan membangun masjid (kubah masjid). Perbandingan gambaran nilai-nilai pendidikan dalam novel Merah dan Kubah Bekisar Merah karya Ahmad Tohari adalah pada novel Bekisar Merah nilai-niali pendidikan beragam aspek, seperti pendidikan sosial, pendidikan budaya, dan pendidikan agama, sedangkan pada novel Kubah hanya pendidikan agama.

Kata kunci: Nilai-Nilai Pendidikan dan Novel Kubah, Novel Bekisar Merah

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra lahir untuk mengungkap permasalahan kehidupan masyarakat dengan berbagai jalan keluarnya. Tugas seorang sastrawan terhadap masalah kehidupan antara lain mencoba menemukan berbagai unsur yang terangkat dalam kehidupan masyarakat sebagai sebuah dinamika hidup, baik unsur yang menghambat terpenuhinya keinginan pokok individu atau warga kelompok/masayarakat yang dapat menyebabkan kepincangan sosial, atau menjadi cerminan nilai-nilai yang patut dipelihara. Selain itu, sastrawan juga berusaha merefleksikan, apa saja yang ada di dalam jiwa, baik berupa luapan emosi tentang keputusasaan, kepuasan protes diri sebuah cita-cita, keinginan, nilai-nilai ataupun merekam suatu peristiwa yang terjadi sebagai salah satu sarana ekpresi kehidupan. Dengan perkataan lain, karya sastra berfungsi sebagai wahana untuk berdialog dan merenungkan semua masalah yang ada dalam pikiran sastrawan.

Sastra pada hakikatnya adalah interpretasi kehidupan nyata yang direkam oleh imaji pengarang. Oleh karena itu, sastra menyodorkan segala bentuk kehidupan manusia sebagai suatu refleksi hidup yang dapat menjembatani sikap dan perilaku kehidupan manusia, interpretasi masyarakat bersangkutan, sehingga dapat menentukan aspek kehidupan yang lebih bijak.

Uraian di atas dapat dipahami bahwa sastra lahir untuk dibaca oleh masyarakat sehingga masyarakat memahami nilai hidup yang bermakna. Oleh karena itu, pada dasarnya sastra suatu kebutuhan hidup. Apabila dicermati hakikatnya, sastra dapat dijadikan sebagai alat pengontrol kehidupan manusia.

1

(11)

2

Sastra dapat membuat orang lebih sabar, bijak, dan mampu mencermati kehidupan dengan segala sikap yang positif.

Selain itu, dapat pula dipahami, bahwa sastra memberi manfaat yang sangat besar. Apalagi dewasa ini zaman dan peradaban manusia semakin kompleks, dibutuhkan suatu hal yang dapat memupuk dan mempertahankan nilai hidup yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Seperti halnya pendidikan agama, pendidikan moral Pancasila, sejarah, sastra juga mempunyai misi yang sama sebagai alat pengontrol dalam kehidupan manusia.

Salah satu karya sastra yang tidak dapat lepas dari peranannya dalam kehidupan manusia adalah cerita fiksi, baik novel maupun cerita pendek merupakan karya sastra yang banyak dijumpai dalam masyarakat. Tentu saja diharapkan dapat memberi manfaat yang besar dalam kehidupan manusia.

Salah satu aspek penting yang menjadi perhatian dalam karya sastra adalah masalah pendidikan. Masalah pendidikan sebagai suatu aspek kehidupan manusia tidak bisa luput untuk dicermati. Ini sangat penting karena apabila unsur pendidikan tidak dibangun dengan kerangka yang baik maka dapat terjerumus dalam penyimpangan moral yang dapat memberi pengaruh buruk kepada masyarakat. Meskipun begitu aspek pendidikan tidak dapat dilepaskan dalam karya sastra karena merupakan realitas hidup manusia sebagaimana aspekl lainnya seperti budaya, agama, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam sangat penting membicarakan persoalan pendidikan dalam sudut pandang sosiologi sastra dalam karya sastra.

Membecirakan masalah pendidikan selalu menjadi penting karena menyangkut kehidupan orang banyak. Sepanjang sejarah peradaban manusia maslah pendidikan selalu menjadi topik menarik untuk dibicarakan. Selain menarik, juga

(12)

3

merupakan suatu realitas kehidupan manusia yang sering mengundang kepedlian. Eksistensi masalah pendidikan sebagai suatu aspek kehidupan manusia tidak bisa luput untuk dicermati. Pendidikan merupakan bagian kehidupan, karena mengandung seluruh eksistensi manusia itu sendiri. Tidak heran jika ada ungkapan yang menyatakan seluruh kegiatan manusia bermuara pada aspek pendidikan. Masalah pendidikan juga tidak pernah lepas dari tubuh kesastraan. Bahkan dalam arti yang seluas-luasnya dunia pendidikan telah bersatu dengan kesastraan sejak keduanya mewujudkan eksistensinya.

Masalah pendidikan dalam sastra memang sulit dihindari. Aspek pendidikan sudah ada sejak kesastraan klasik terlebih lagi kesusastraan mutakhir dsewasa ini.

Jika ditilik dari peran dalam kesastraan, aspek pendidikan memosisikan diri para dua tempat. Kemungkinan besar masalah pendidikan dijadikan sebagai objek yang menjadi bahan baku utama yang diformulasi menjadi sebuah karya sastra. Bisa jadi pula aspek pendidikan merupakan cara dalam penggarapan karya sastra yang dilakukan dengan berbagai variasi. Sebagai cipta sastra yang merupakan potret realitas kehidupan, sudah tentu menggambarkan kronik kehidupan manusia yang tidak bisa mengabaikan aspek pendidikan sebagaimana aspek kehidupan lainnya, seperti ekonomi, politik, dan sebagainya. Jadi, tampaknya jelas, bahwa masalah pendidikan harus diposisikan sejajar dengan aspek lain dalam pengungkapan kehidupan manusia pada karya sastra sebagai suatu realitas yang tidak mungkin dimungkiri.

Kepedulian pengarang berkaitan dengan masalah pendidikan tentu sangat penting dikaji.

Kajian mengenai masalah pendidikan dalam berbagai novel sudah banyak. Hasil penelitian Rahman (2013) mengenai nilai-nilai pendidikan dalam

(13)

4

novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata menunjukkan telah bahwa dalam novel Sang Pemimpi terdapat nilai-nilai pendidikan yaitu: (a) nilai pendidikan religious, nilai pendidikan moraln dan dan nilai pendidikan sosial yaitu suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang, dan (d) Nilai pendidikan budaya. Penelitian lain ditunjukkan oleh Oktovianie, dkk. (2012) menunjukkan bahwa novel Kamu Sekuat Aku karya Ashni Sastrosubroto mengandung nilai-nilai pendidikan religius, nilai pendidikan sosial, dan nilai pendidikan individu. Sejalan dengan itu, penelitian Parmini (2014) menunjukkan bahwa novel Sang Pemimpi terkandung nilai-nilai pendidikan, yaitu nilai pendidikan religius, moral, sosial, dan budaya. Dalam novel ini juga terkandung bentuk penyampaian nilai pendidikan. Bentuk penyampaian nilai dalam novel Sang Pemimpi adalah secara langsung dan tidak langsung. Sejalan dengan itu pada novel Kubah dan Bekisar Merah telah dilakukan kajian aspek lain seperti yang terungkap dalam penelitian Dewi (2014) menunjukkan bahwa novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Demikian halnya novel Kubah dalam peneltian Pangastika (2013) menunjukkan bahwa nilai sosial novel Kubah yaitu (1) Budaya meliputi, dekadensi moral, politik (2) lingkungan sosial meliputi,disorganisasi keluarga, kriminalitas (3) ekonomi meliputi, kemiskinan.

Sejalan dengan uraian di atas, maka penulis terdorong untuk melakukan pencermatan mendalam dan penelaahan yang kritis terhadap kondisi yang lebih luas aspek pendidikan yang diungkapkan dalam karya fiksi yang ditulis oleh pengarang kenamaan Ahmad Tohari yaitu novel Kubah dan Bekisar Merah.

Dipilihnya karya kedua novel itu, disebabkan potensi pendidikan dari keduanya cukup besar dan menjadi salah satu kepedulian pengarangnya .

(14)

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang dijadikan masalah penelitian adalah aspek pendidikan yang digambarakan dalam novel Kubah dan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari dengan fokus menjawab pertanyaan:

1. Bagaimana gambaran aspek pendidikan dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari?

2. Bagaimana gambaran aspek pendidikan dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari?

3. Bagaimana perbandingan gambaran aspek pendidikan dalam novel Kubah dan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripasikan mengenai:

1. Aspek pendidikan dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari.

2. Aspek pendidikan dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari.

3. Perbandingan gambaran aspek pendidikan dalam novel Kubah dan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari.

D. Manfaat Penelitian

HHaasisill ppeneneelliittiiaann ininii didihhaarraappkkaann dadapapatt bbeerrgguunnaa teterruuttaammaa ddaallaamm hahall sesebbaaggaaii bbeerriikkuutt::

1. Untuk membantu pembanca memahami salah satu aspek yaitu aspek pendidikan khususnya dalam novel Kubah dan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari

(15)

6

2. Sebagai suatu bahan pertimbangan dalam mencermati aspek pendidikan secara medalam karya sastra dan sebagai pengalaman yang dapat dijadikan anutan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Sebagai bahan renungan tentang aspek pendidikan sebagai bagian dari kehidupan manusia

4. Sebagai bahan acuan bagi penelitian lain yang relevan.

(16)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Karya Fiksi 1. Hakikat Sastra

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata sastra adalah “karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri (Sugiyono, dkk, 2008)

Banyak ahli yang mendefenisikan pengertian sastra dapat kita lihat sebagai berikut. Fananie (2000) mengatakan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan kemampuan aspek keindahan yang baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Sedangkan Semi (1988 : 8) mengataka bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan semi kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahas sebagai mediumnya“. Teeuw ( 1984 : 23) mengatakan kata satra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahas Sansekerta akar kata Sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberikan petunjuk atau instruksi.

Akhiran kata tra- biasanya menunjukkan alat, suasana. Maka dari sastra dapat berarti, alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi dan pengajaran;

misalnya silpasastra, buku arsitektur, kemasastraan, buku petunjuk mengenai

7

(17)

8

seni cerita. Awalan su- berarti baik, indah sehingga susastra dapat dibandingkan dengan berbagai belles letter.

Kutipan di atas menyatakan, sastra diartikan sebagai alat untuk mengajar, memberi instruksi dan petunjuk kepada pembaca. Wellek dan Warren (1989: 3) mengatakan bahwa sastra adalah suatu kajian kreatif, sebuah karya seni.

Damono (1984:10) mengatakan bahwa lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium : bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu adalah merupakan suatu kenyataan sosial

Fananie (2000:132) mengatakan bahwa sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra adalah sebuah karya seni yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1) sebuah ciptaan, kreasi, bukan imitasi (2) luapan emosi yang spontan (3) bersifat otonom, (4) otonomi sastra bersifat koheren(ada keselarasan bentuk dan isi) (5) menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentangan (6) mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.

Secara etimologi sastra berasal dari bahasa-bahasa Barat (Eropa) seperti literature (bahasa Inggris), littérature (bahasa Prancis), literatur (bahasa Jerman), dan literatuur (bahasa Belanda). Semuanya berasal dari kata litteratura (bahasa Latin) yang sebenarnya tercipta dari terjemahan kata grammatika (bahasa Yunani). Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata

“littera” dan “gramma” yang berarti huruf (tulisan atau letter). Dalam bahasa Prancis, dikenal adanya istilah belles-lettres untuk menyebut sastra yang bernilai estetik. Istilah belles-lettres tersebut juga digunakan dalam bahasa Inggris sebagai kata serapan, sedangkan dalam bahasa Belanda terdapat istilah bellettrie untuk merujuk makna belles-lettres. Dijelaskan juga, sastra dalam

(18)

9

bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata sas, berarti mengarahkan, mengajarkan dan memberi petunjuk. Kata sastra tersebut mendapat akhiran tra yang biasanya digunakan untuk menunjukkan alat atau sarana. Sehingga, sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah kata lain yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas berarti buku (Teeuw, 1984: 22- 23).

Sumardjo (1997:3) menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan (keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Saryono (2009:

18) bahwa sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua pengalaman yang empiris-natural maupun pengalaman yang nonempiris- supernatural, dengan kata lain sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia.

Menurut Saryono (2009: 16) sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya (Saryono, 2009: 20). Sastra

(19)

10

dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial (Zainuddin, 1984: 23). Hal itu dikarenakan sastra ditulis dalam kurun waktu tertentu yang langsung berkaitan dengan norma- norma dan adat itiadat zaman itu dan pengarang sastra merupakan bagian dari suatu masyarakat atau menempatkan dirinya sebagai anggota dari masyarakat tersebut.

Sastra sangat terkait erat dengan kehidupan manusia. Ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan budaya dan peradaban karya cipta manusia itu sendiri. Sastra seperti pisau tajam, bahkan jauh lebih tajam, yang mampu merobek-robek dada dan menembus ulu hati, bahkan jiwa dan pemikiran. Selain itu, menjadi alat paling efektif untuk membuat ukiran patung karya kehidupan yang paling indah. Sastra juga bisa lebih halus daripada sutra yang paling halus hingga mampu menelusup ke dalam relung jiwa hingga tunduk dan pasrah pada kekuatannya. Sastra dan manusia serta kehidupannya adalah sebuah persoalan yang penting dan menarik untuk dibahas secara komprehensif.

Sastra berisi manusia dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya mempunyai hubungan yang rapat dengan kehidupan sastra. Manusia menghidupi sastra dan kehidupan sastra adalah kehidupan manusia. Kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter manusia ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda (Rachmad, 1985).

Dalam kaitannya dengan peran sastra, Burnet dalam (Semi, 1988:20) mengemukakan, bahwa sastra sebagaimana karya seni lainnya hampir setiap zaman memegang peranan yang teramat penting karena ia selalu mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa tugas sastra adalah sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa. dalam arti positif, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.

(20)

11

Dari keseluruhan defenisi sastra di atas, adalah berdasarkan persepsi masing-masing pribadi dan sifatnya deskriptif, pendapat itu berbeda satu sama lain. Masing-masing ahli merupakan aspek-aspek tertentu, namun yang jelas defenisi tersebut dikemukakan dengan prinsip yang sama yaitu manusia dan lingkungan. Manusia menggunakan seni sebagai pengungkapan segi-segi kehidupan. Ini suatu kreatifitas manusia yang mampu yang mampu menyajikan pemikiran dan pengalaman hidup dengan bentuk seni sastra.

Dari beberapa batasan yang diuraikan di atas dapat disebut beberapa unsur batasan yang selalu disebut untuk unsur-unsur itu adalah isi sastra berupa pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat kepercayaan dan lain-lain.

Ekspresi atau ungkapan adalah upaya untuk mengeluarkan sesuatu dalam diri manusia. Bentuk diri manusia dapat diekspresikan keluar, dalam berbagai bentuk, sebab tampa bentuk tidak akan mungkin isi tadi disampaikan pada orang lain. Ciri khas penggungkapan bentuk pada sastra adalah bahasa. Bahasa adalah bahan utama untuk mewujudkan ungkapan pribadi di dalam suatu bentuk yang indah.

2. Hakikat Fiksi

Menurut Abrams Istilah fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah tetapi suatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris.

Yang membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi yaitu tokoh, peristiwa dan tempat yang disebut – sebut dalam karya fiksi bersifat imajinatif sedangkan pada karya nonfiksi bersifat faktual (http://www.peribahasaindonesia.com.).

Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasi hubungan antar manusia. Pengarang

(21)

12

mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukan unsur hubungan dan dengan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. (http://www.peribahasaindonesia.

com.).

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri serta interaksinya dengan Tuhan. Tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, sebab fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni. Dengan tujuan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik.

Sejalan dengan itu karangan fiksi yaitu karangan yang berisi kisahan atau cerita yang dibuat berdasarkan khayalan atau imajinasi pengarang. Fiksi atau cerita rekaan biasanya berbentuk novel, dan cerita pendek (cerpen). Fiksi ilmiah fiksi ilmu pengetahuan adalah fiksi yang ditulis berdasarkan ilmu pengetahuan, teori, atau spekulasi ilmiah. Karangan fiksi berusaha menghidupkan perasaan atau menggugah emosi pembacanya. Itulah sebabnya, tulisan ini lebih dipengaruhi oleh subjektifitas pengarangnya. Bahasa tulisan fiksi selain bermakna denoktatif juga konotatif, dan asosiatif yaitu makna tidak sebenarnya.

Selain itu juga bermakna ekspresif yaitu membanyangkan suasana pribadi pengarang. Bahasa tulisan fiksi juga sugestif yaitu bersifat mempengaruhi pembaca dan plastis yaitu bersifat indah untuk menggugah perasaan pembaca (http://indonesiawinx. blogspot.co.id.)

3. Unsur Fiksi

Cerpen maupun novel sebagai karya fiksi, dibangun oleh berbagai unsur yang tidak boleh terpisahkan dari sebuah karya fiksi.

(22)

13

Secara garis besarnya novel dibangun oleh dua unsur yaitu; (1) unsur luar (ekstrinsik) dan (2) unsur dalam (instrinsik). Unsur luar fiksi adalah segala macam yang berada di luar karya fiksi yang ikut mempengaruhi kehadiran karya tersebut, misalnya faktor sosial, ekonomi, kebudayaan, politik, keagamaan dan tata nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan struktur dalam fiksi adalah unsur yang membentuk fiksi tersebut seperti perwatakan, tema, plot/alur, pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa. Kedua unsur tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai satu struktur. Oleh karena itu, kedua unsur itu mempengaruhi keseluruhan struktur fiksi itu.

Unsur luar fiksi jarang dibicarakan jika membicarakan mengenai unsur pembangunan sebuah karya fiksi sebab merupakan bagian yang teramat luas tentang sisi kehidupan dalam segala aspek.Unsur-unsur luar suatu karya fiksi tidak bisa dibicarakan menyangkut karya fiksi secara umum, melainkan khusus pada suatu karya fiksi.Artinya, satu karya fiksi satu dengan lainnya unsur ekstrinsiknya berbeda-beda. Bergantung pada interpretasi pengarang tentang kehidupan yang melatarbelakangi terciptanya karya fiksi itu.

Semi (1988:35) menyatakan unsur ekstrinsik satu fiksi hanya dapat dibicarakan bila sedang berkaitan dengan suatu karya tertentu. Misalnya novel di Bawah Lindungan Ka’bah, dengan kasus tersebut kita dapat melihat segi-segi kemasyarakatan atau sosial-kultural yang mempengaruhi karya tersebut, dalam hal ini adalah masyarakat Minangkabau dan sikap falsafah hidup yang dianut pengarang.

Berikut diuraikan secara ringkas mengenai unsur-unsur insrtinsik suatu karya fiksi

(23)

14

a.Tema

Brooks dan Werren (dalam Tarigan, 1985:125) mengemukakan bahwa tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Selanjutnya dikatakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya fiksi.

Tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tujuan yang hendak dicapai oleh pengarang. Jadi dalam pengertian tema tercakup persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca.

Untuk mengetahui tema suatu cerita/novel, maka kita harus merangkum unsur-unsur lain dan sekaligus membaca secara tuntas cerita tersebut.

Semi (1988:34), mengemukakan bahwa untuk mengetahui suatu tema dalam cerita, maka terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan seperti;

apakah motivasi tokoh, apa problemnya, dan apa keputusan yang diambil. Selain itu harus dijejaki konflik sentral. Dan konflik sentral inilah akan menjurus kepada suatu yang hendak dicari.

Selain itu, Robert Stanson (dalam Semi, 1988:34) memberikan petunjuk atau saran bahwa untuk memahami tema suatu karya fiksi, yaitu dengan jalan menanyakan sendiri mengapa pengarang menulis cerita itu. Apakah yang membuat tampak berharga? Tentu pertanyaan ini harus dijawab dengan membaca sendiri dan melihat bagaimana tema tersebut dalam detail cerita.

b. Alur/Plot

Semi (1988:34) mengemukakan “Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan-urutan bagaian-bagian dalam keseluruhan fiksi”

Brooks (dalam Tarigan, 1985:126) mengemukakan, “Alur adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi dan drama”.

(24)

15

Berdasarkan kedua pengertian di atas, dapat dipahami, bahwa alur merupakan jalan cerita atau peristiwa suatu cerita/novel yang kesemuanya harus terikat dalam suatu kesatuan waktu. Seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa satu unsur fiksi harus bertalian dengan unsur lainnya. Demikian pula halnya dengan plot, sangat dipengaruhi atau dibentuk oleh banyak hal antara lain adalah karakter tokoh, pikiran atau suasana hati sang tokoh, setting, waktu, dan suasana lingkungan.

Alur cerita suatu novel pada umumnya terdiri atas (1) Bagian pembuka, yaitu situasi yang mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikut,(2) Bagian tengah, yaitu kondisi bergerak ke arah yang mulai memuncak, (3) Bagian puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa, (4) Bagian penutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampakkan pemecahan masalah atau penyelesaian.

Semi (1988:44) mengemukakan bahwa berdasarkan urutan kelompok kejadian, kita dapat membagi alur berdasarkan fungsi, yaitu: (1) alur utama dan (2) alur sampingan. Alur utama yaitu berisikan cerita pokok, sedangkan alur sampingan adalah alur yang merupakan bingkai cerita. Peristiwa-peristiwa kecil yang melingkari peristiwa-peristiwa pokok yang membangun cerita. Sering pula alur samping merupakan cerita yang ber-ada pada cerita induk.

Junaedie (1989:55) mengemukakan bahwa berdasarkan erat longgarnya rangkaian cerita dikenal adanya plot organik dan plot longgar.

Dikatakan plot organik apabila rangkaian plot itu demikian eratnya sehingga bahagian-bahagiannya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Sebaliknya pada plot longgar ada pada bagian cerita yang jika dihilangkan tidak mengganggu cerita.

(25)

16

Alur merupakan tulang punggung cerita, sebab alur menuntun pembaca menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada jalan cerita yang bisa kita tinggalkan apabila kita akan mengetahui jalan cerita secara utuh. Tetapi unsur alur yang paling perlu/penting adalah konflik dan klimaks. Sebab dalam konflik itulah tampak masalah secara utuh dan lebih jelas serta menarik pembaca untuk mengikuti kejelasan cerita.

c. Penokohan/Perwatakan

Masalah penokohan/perwatakan merupakan suatu hal yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting, dan menentukan karena tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan yang membentuk alur.

Tokoh dan perwatakan harus merupakan suatu struktur pula. Ia memiliki fisik dan mental secara bersama membentuk totalitas prilaku yang bersangkutan.

Segala tindakan dan prilaku merupakan jalinan hubungan logis, suatu hubungan yang masuk akal walaupun relatif.

Tentu saja tokoh dalam sebuah cerita merupakan manusia imajiner pengarang. Sebab tokoh itu tidak terwujud tidak punya sosok tubuh yang dapat kita lihat setiap saat yang dapat kita amati tingkah lakunya atau dengan tutur katanya. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat membuktikan kehadirannya.

Meskipun tokoh itu hanya potret imajinatif tetapi suatu karya sastra (novel) yang mempunyai penokohan yang baik, seakan menghadirkan tokoh secara nyata ketika kita membaca cerita tersebut.

Dalam sebuah cerita terdapat banyaak tokoh dan memiliki peran yang berbeda Aminuddin (1987:80) mengemukakan bahwa pada dasarnya ada dua kategori tokoh berdasarkan peranannya dalam crita, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan atau pembantu. Tokoh utama yaitu tokoh yang memiliki peran penting

(26)

17

dalam suatu cerita. Sedangkan peran pembantu yaitu tokoh yang tidak terlalu penting peranannya, karena hanya melengkapi melayani, dan mendukung pelaku utama.

Untuk mengetahui karakteristik tokoh dalam cerita maka dapat dilihat keseringannya muncul dalam satu cerita. Selain itu dapat juga diketahui lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarang, dapat juga melalui judulnya.

Tokoh dalam cerita digambarkan oleh pengarang seperti halnya dengan manusia mempunyai watak-watak yang berbeda, ada yang baik ada yang jahat, sehingga dalam cerita dikenal istilah tokoh protagonis, yaiti tokoh yang disenangi pembaca dan tokoh antagonis yaitu tokoh yang tidak disenangi oleh pembaca.

Berdasarkan uraian di atas, maka penggambaran tokoh atau pelukisan watak adalah hal yang sangat penting bagi sebuah karya fiksi.

Sudjiman (1990:84) mengemukakan bahwa “Karakter adalah sifat-sifat khas pelaku/tokoh yang diceritakan, bagaimana kualitas nalar, sikap, tingkah laku pribadi, jiwa, yang membedakan dengan tokoh lain dalam sebuah cerita”.

Novel yang baik tentu harus mempunyai perwatakan yang baik. Untuk hal, tentu saja pengarang harus dapat melukiskan watak dan rupa pribadi para tokoh dengan baik dengan terlebih dahulu harus lebih banyak memahami kepribadian manusia. Untuk memahami karakter para tokoh maka pengarang menggambarkannya melalui berbagai cara.

Junadie (1989:56) megemukakan bahwa untuk mengetahui karakter pelaku dalam sebuah cerita maka kita menggunakan alat: (1)bahasa, (2) sikap, (3) kebiasaan, (4) penggambaran miliu,(5) perbincangan pelaku lain tentang dirinya, (6) siapa teman dekatnya atau musuh-musuhnya.”

Junaedie (1989:56) mengemukakan bahwa dalam upaya memahami watak para pelaku dalam sebuah cerita, ada beberapa hal yang perlu ditelusuri

(27)

18

oleh pembaca antara lain sebagai berikut: (1) pelukisan bentuk lahir pelakon, (2) analisis pengarang terhadap watak secara langsung, (3) gambaran pengarang lewat lingkungan maupun cara berpakaian, (4) bagaimana tokok berdialog dengan dirinya sendiri, (5) Jalan pikiran pelaku, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengan dirinya, (7) melihat dialognya dengan tokoh lain, (8) melihat reaksi pelaku terhadap suatu peristiwa.

Terlepas dari itu, memahami watak para pelaku dalam sebuah cerita, dapat saja dilakukan tanpa ameneliti satu demi satu watak berdasarkan alur sebuah cerita dengan membaca dan mendalami cerita itu secara utuh.

Tokoh dalam sebuah cerita digambarkan oleh pengarang seperti halnya dengan manusia mempunyai watak-watak yang berbeda, ada yang baik ada pula yang jahat, sehingga dalam cerita dikenal istilah pelaku protagonis, yaitu pelaku yang disenangi pembaca dan pelaku antagonis, yaitu pelaku yang tidak disenangi oleh pembaca.

d. Pusat Pengisahan

Pusat pengisahan atau sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan diri/melibatkan diri dalam cerita.

Ada berbagai jenis pengisahan atau sudut pandang, antara lain:

Menurut Brooks (dalam Tarigan, 1985:38) mengemukakan antara lain cara pengisahan, yaitu:(1)tokoh utama menceritakan dirinya sendiri. Hal ini bisa dikatakan “aku”, (2) cerita itu dapat disalurkan oleh peninjauan yang merupakan seorang pertisipan dalam cerita itu, (3) pengarang bertindak sebagai peninjau saja, (4) cerita dapat dituturkan oleh pengarang sebgai orang ketiga.

Selanjutnya Tasrif (dalam Lubis, 1969:21) memberi keterangan yang senada mengenai sudut pandang sebagai berikut: (1)orang ketiga, yaitu si pengarang menceritakan cerita dengan menggunakan kata “dia” untuk pelaku

(28)

19

utama tetapi ia turut hidup dalam pribadi pelakonnya, (2) pengarang mengambil bagian dalam cerita, yaitu ada dua kemungkinan, pengarang menjadi palaku

“aku” atau ia hanya sebagai peninjau sebagian kecil saja, (3) pengarang hanya sebagai peninjau seolah-olah pengarang tidak mengetahui jalan pikiran pelaku, (4) campur aduk.

e. Latar

Latar adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi, latar belakang fiksi, unsur dan ruang dalam suatu cerita. Dalam konteks latar segala yang berkaitan dengan tempat, waktu, musim, periode, kejadian-kejadian di sekitar peristiwa cerita termasuk latar.

Tarigan (1985:47) mengemukakan, latar yang dapat dipergunakan untuk maksud/tujuan tertentu antara lain:

Latar harus mudah dikenal kembali, dan juga yang dilukiskan dengan terang danjelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya.

Latar suatu cerita dapat mempunyai suatu relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti umum dari suatu cerita.

Kadang-kadang mungkin juga terjadi bahwa latar itu dapat bekerja bagi maksud-maksud yang lebih tertentu dan terarah dari pafa menciptakan suatu atmosfir yang bermanfaat dan berguna.

f. Gaya Bahasa

Bahasa adalah media pengarang untuk menyampaikan suatu topik dalam cerita. Bahasa sebuah karya fiksi sangat memegang peranan penting, karena salah satu daya tarik mengapa seseorang ingin membaca terus suatu cerita hingga tuntas adalah karena bahasanya.

(29)

20

Oleh Semi (1988:48) dinyatakan, “bahwa pada dasarnya karya sastra itu merupakan salah satu kegiatan pengarang membahasakan sesuatu atau menuturkan sesuatu kepada orang lain”. Tarigan (1985:153).menyatakan,

“bahwa berhasil tidaknya seseorang pengarang fiksi justru tergantung dari percakapannya mempergunakan gaya bahasa yang serasi dalam karyanya”

Setiap pengarang mempunyai gaya penceritaan yang berbeda-beda.

Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti yang dikemukakan oleh Semi (1988:50) bahwa yang mempengaruhi penggunaan gaya bahasa pengarng adalah; (1) pribadi pengarang, pengalaman, dan pengetahuan; (2) tujuan yang hendak dicapai;(3) topik yang ditampilkan; (4) bentuk tutur yang dipilihnya; (5) kondisi penangkap tutur yang dihadapi (siapa yang akan membaca).

Selain itu, Brooks dan Werren (dalam Tarigan, 1985:154) mengemukakan: Penggunaan gaya bahasa bukan harus berdiri sendiri melainkan harus berkaitan erat dengan struktur. Keduanya dipergunakan untuk menunjukkan cara sang pengarang mengatur serta menata bahan-bahannya untuk menyajikan efeknya, akan tetapi struktur biasanya dipergunakan dengan penunjukan yang lebih khusus terhadap penyusunan elemen-elemen yang lebih besar seperti episode-episode, adegan-adegan dan detail-detail gerak dipertentangkan penyusunan kata-kata.

B. Teori Sosiologi Sastra 1. Sosiologi

Kata sosiologi adalah istilah yang mempunyai hubungan dengan masyarakat. Sosiologi pada dasarnya mempelajari kesatuan hidup manusia yang terbentuk hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok lain.

Sorokim (1998) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial

(30)

21

(misalnya antara gejala ekonomi dan agama, keluarga dengan moral hukum dan dengan ekonomi, gerak masyakat dengan ekonomi, gerak masyarakat dngan politik dan lain sebagainya). Ciri-ciri umum dari pada semua jenis gejala-gejala sosial.

Soemardi (2004:11) mengatakan, sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial, keseluruhan jalinan antara unsur- unsur yang pokok yaitu kaidah atau norma-norma sosial. Proses sosial pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya”.

Soekanto (2007:21) mengatakan bahwa sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya ialah masyakat. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri oleh karena memenuhi segenap unsur-unsur ilmu pengetahuan yang ciri utamanya adalah (1) Sosiologi bersifat empiris, berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada observasi kenyataan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif. (2) Sosiologi bersifat teoritis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun dari hasil-hasil observasi. (3) Sosiologi bersifat kumulatif, yang berarti bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti membaik, memperluas serta memperhalus teori-teori yang lama. (4) Sosiologi bersifat nonetis, yakni yang dipersoalkan bukanlah baik buruknya fakta tertentu, akan tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.

Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan berkelompok manusia dalam hubungannya dengan manusia- manusia lainnya yang secara umum disebut masyarakat.

(31)

22

Sosiologi di sisi lain sebagai ilmu berbicara tentang aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk membicarakan sebuah karya sastra. Nilai-nilai sosiologi pada sebuah cerita dapat diwujudkan untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Ilmu sosiologi digunakan untuk masyarakat itu sendiri dan diciptakan oleh masyarakat demi terjalinnya hubungan yang harmonis antara satu anggota masyarakat dengan yang lainnya.

Sesuai dengan penjelasan di atas, kita dapat mengetahui nilai-nilai sosiologis sebuah cerita berdasarkan zamannya. Perubahan zaman dapat mengubah asumsi masyarakat mengenai nilai-nilai sosiologis. Misalnya pendidikan di sekolah, dahulu pendidikan di sekolah itu sangat langka karena bangunan sekolah yang jurang, guru-guru yang kurang, sistem pendidikan yang belum sempurna dan minat untuk bersekolah yang sangat minim. Masyarakat Batak Toba juga mengalami hal itu sehingga dulunya pendidikan di sekolah itu sangat langka dijumpai. Anak-anak setiap harinya hanya bekerja di sawah untuk membantu orang tuanya.

2. Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan orientasi kepada pengarang.

Semi (1984:52) mengatakan “Sosiologi sastra merupakan bagian mutlak dari kritik sastra, ia mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Produk ketelaahan itu dengan sendirinya dapat digolongkan ke dalam produk kritik sastra”.

Ratna (2003:25) mengatakan , sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dan keterlibatan struktur sosialnya”. Wellek dan Warren dalam (Semi, 1989 :178) mengatakanbahwa sosiologi sastra yakni mempermasalahkan

(32)

23

suatu karya sastra yang menjadi pokok, alat tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan serta amanat yang hendak disampaikan.

Abrams (1981 :178) mengatakan, sosiologi sastra dikenakan pada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra yang utamanya ditujukan pada cara-cara seseorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju”.

3. Hubungan Sastra dengan Sosiologi

Sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu bahwa karya sastra berisikan tentang persoalan-persoalan manusia. Dalam pengunggkapan persoalan manusia itu seorang pengarang secara langsung atau secara tidak langsung telah menuangkan persoalan sosial ke dalam karyanya. Hal ini dimungkinkan karena pengarang biasanya cenderung dipengaruhi oleh apa yang dirasakan, dilihat dan dialami dalam kehidupan sehari-hari.

Sosiologi dan sastra sama-sama menguraikan masalah masyarakat. Dengan demikian sastra pada zaman modern ini dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial. Hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, adat-istiadanya dan lain-lain.selanjutnya sosiologi sebagai ilmu yang akan mencoba mengungkapkan kembali problema sosial tersebut.

Soemarjdo (1975:15) mengatakan bahwa pengarang adalah anggota salah satu masyarakat. Ia hidup dan berelasi orang-orang lain di sekitarnya.

Maka tak mengherankan kalau terjadi interaksi dan interrelasi antara pengarang dan masyarakatnya. Selalu dapat ditarik relasi antara karya sastra dengan masyarakat di mana pengarang itu hidup.

(33)

24

Hal ini membuktikan bahwa kehadiran sastra mempunyai peranan penting dalam membentuk struktur masyarakatnya. Pengarang dan karyanya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka membicarakan sebuah karya sastra. Di satu sisi, pngarang adalah anggota dari kelompok masyarakat yang hidup di tengah-tengah kelompok masyarakat tersebut. Wellek dan Warren dalam ( Semi, 1989 : 533) mengatakan, sosiologi sastra yakni mempermasalahkan suatu karya sastra yang menjadi pokok, alas tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan serta amanat yang hendak disampaikan.

Soemarjdo (1975:15) mengatakan, karya sastra menampilkan wajah kultur zamannya, tetapi lebih dari itu sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakatnya”. Sosiologi pada sisi lain pada ilmu yang berbiacara tentang aspek-aspek kemasyarakat selalu dapat dimanfaatkan untuk membicarakan karya sastra, nilai-nilai sosiologi dalam sebuah karya sastra dapat diwujudkan untuk pemahaman yang lebih mendalam. Banyak hal yang menjadi fokus pengamatan seorang sastrawan, kehidupan pribadi, lingkungan serta harapan- harapannya menjadi hal yang menarik dalam penelitian cipta sastra. Komplek permasalahan itu merupakan hadiah seorang pengarang yang dapat memperluas wawasan pemikiran anggota masyarakat. Dengan menggambarkan fenomena dari hasil pengamatan pengarang, masyarakat pembacanya memperoleh hal yang bermakna dalam hidupnya. Pengarang sendiri mendapat sumber inspirasi dari corak ragam tingkah laku manusia maupun masyarakatnya.

Kesemuanya itu terangkum dalam aspek yang membangun sebuah cipta sastra, salah satu aspek yang membangun keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya. Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang dan lingkungan di mana ia hidup. Demikian juga menyangkut

(34)

25

tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperan mengungkapkan isi sebuah karya sastra.

4. Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra

Pedekatan yang dilakukan terhadap karya sastra pada dasarnya ada dua, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Unsur-unsur merupakan unsur-unsur dalam yang diangkat dari isi karya sastra, seperti tema, alur atau plot, perwatakan, gaya bahasa dan penokohan. Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik berupa pengaruh dari luar yang terdapat dalam karya sastra itu diantaranya sosiologi, politik, filsafat, antropologi dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini merupakan pendukung dalam pengembangan karya sastra, dengan demikian ilmu-ilmu tersebut erat hubungannya dengan karya sastra. Analisis aspek ekstrinsik karya sastra ialah analisis karya sastra itu sendiri dari sgi isinya, dan sepanjang mungkin melihat kaitannya dengan kenyataan-kenyataan dari luar karya sastra itu sendiri.

Dengan demikian akan jelas nanti, apabila karya sastra tersebut sepenuhnya atau sebagian, sama sekali tidak berdasarkan kenyataan-kenyataan sebenarnya atau sebaliknnya. Untuk hubungan ini, Ali (2004:116) mengatakan bahwa analisis dari aspek ekstrinsiknya ini jangan sampai keluar dari batas-batas sesuai kepentingan analisis, sebagaimana misalnya terjadi dalam teoritis sastra.

Sastra yang baik harus mempunyai objek yang luas mengenai kehidupan manusia yang disampaikan melalui bahasa. Peningkatan sastra itu merupakan tafsiran terhadap kehidupan masyarakat yang melalui bahasa. Peningkatan sastra itu juga merupakan tafsiran terhadap kehidupan masyarakat yang melalui bahasa. Dengan demikian, bahan hakiki dari sastra adalah suatu kehidupan masyarakat, termasuk interaksi sosial.

(35)

26

Soemarjdo (1975: 34) mengatakan bahwa seorang pengarang menulis karyanya karena ia mengemukakan obsesinya terhadap lingkungan hidupnya, ada uneg-uneg yang mengganggu jiwanya dan itu harus dikatakannya. Karena ketrampilannya menulis, maka cara yang paling baik untuk mengeluarkan cara tandas kegundahan jiwanya adalah karya tulis. Ini biasanya merupakan essei, puisi, drama atau novel. Kalau demikian sudah barang tentu pengarang sangat membutuhkan obsesinya.

Wellek dan Warren (dalam Semi, 1985 :58) mengatakan bahwa pendekatan sosiologis atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Hal yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, dan politik.

Dapat dipahami, bahwa bilamana seseorang ingin mengetahui keadaan sosiologis dari suatu masa karya tertentu ditulis, kita memang belum tentu dapat mengenal tata kemasyarakatan yang ada pada waktu itu, tetapi setidak- tidaknya jita dapat mengenal tema mana yang kira-kira dominan pada waktu itu.

Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologi ini adalah bahwa walaupun seorang pengarang melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya, namun ia belum tentu menyuarakan keamanan masyarakatnya. Hal ini berarti tidaklah mewakili atau menyalurkan keinginan- keinginan kelompok masyarakat tertentu, yang pasti pengarang menyalurkan atau mwakili hati nuraninya sendiri, dan bila ia kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergejolak dimasyarakat, hal ini merupakan suatu kebetulan ketajaman batinnya dapat menangkap isyarat-isyarat tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pendekatan sosiologis mempunyai segi yang bermanfaat dan berdaya guna yang tinggi bila para kritikus

(36)

27

tidak melupakan atau memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra, disamping memperhatikan faktor-faktor sosiologis serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreatifitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi.

C. Nilai Pendidikan dalam karya Sastra/Novel

1. Hakikat Nilai Pendidikan

Sebagai bentuk karya sastra, novel selain memberi hiburan juga memberikan manfaat. Wellek dan Werren (1989: 25) bahwa sastra berfungsi antara dulce et utile, sweet and usefull, atau indah dan berguna. Mengenai manfaat sastra, Dharma (1995: 105) menegaskan bahwa karya sastra (termasuk novel) diharapkan dapat mengajak para pembaca untuk menjunjung tinggi norma sosial maupun religi. Diungkapkan juga bahwa sastra, filsafat, dan agama dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa humanist, yaitu jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya dengan cara yang berlainan. Oleh karena ini, karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mengandung nilai-nilai.

Ada beberapa nilai dalam karya sastra antara lain, nilai pendidikan kemanusiaan, nilai pendidikan sosial budaya, nilai pendidikan religius, dan nilai moral. Menurut Rieseri (2001:20).Nilai-nilai tersebut berfungsi untuk menyampaikan pesan yang ada dalam karya sastra kepada masyarakat kususnya pembaca sehingga bermanfaat. Nilai bersifat objektif dan subjektif, tergantung dari sudut pandang yang memberikan penilaian. Nilai bersifat objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai juga dapat bersifat subjektif jika eksistensi, makna, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian.

(37)

28

Menurut Scheler (2004:51) Nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawannya, merupakan kualitas apriori (yang telah dapat dirasakan manusia tanpa melalui pengalaman indrawi terlebih dahulu). Max Scheler (2004: 56) membagi nilai-nilai sebagai berikut.(1) Nilai baik adalah nilai yang melekat pada tindakan mewujudkan nilai positif, sebagai yang berlawanan dengan nilai negatif, yang melekat pada tindakan yang mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih tinggi atau tertinggi dalam susunan nilai. (2) Nilai jahat adalah nilai yang melekat pada tindakan yang mewujudkan suatu nilai negatif, yang melekat pada tindakan yang mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih rendah atau terendah dalam susunan nilai.(3) Nilai positif merupakan nilai yang memang seharusnya ada dalam realitas indrawi ini; dengan demikian, keberadaannya di dunia indrawi ini merupakan kewajiban. (4) Nilai negatif merupakan nilai yang seharusnya tidak ada dalam realitas indrawi ini; dengan demikian, keberadaannya di dunia indrawi ini wajib tidak ada.

Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilih kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Usaha tersebut bertujuan membentuk manusia yang cerdas dan mempunyai akhlak mulia.

Pendidikan nilai dalam proses dinamika budaya menjadi salah satu unsur yang perlu diperhatikan. Nilai dimaksudkan sebagai yang dipandang berharga hingga layak digenggami untuk acuan, mulai dari yang fisik kulit sampai yang bernilai tujuan. Dalam proses dinamika budaya terdapat pergeseran nilai, karena

(38)

29

perekat nilai masyarakat yang menghormati kemajemukan, keadaban, dan keterbukaan mulai diperjuangkan. Di samping itu di masa sekarang terdapat krisis perekat nilai persatuan dan kesatuan karena sesuatu diukur dengan nilai materi dan uang. Sehingga nilai humanis dan religius terkikis oleh nilai materi atau uang (Sutrisno, 1999:62).

2. Nilai pendidikan sastra

Karya sastra yang menganut paham apa pun, pertama-tama harus memenuhi hakikat seni sastra; menyenangkan dan berguna atau dulce et utile (dalam Teeuw 1984: 51). Bila karya tidak memenuhi hakikat fungsi Dulce et utile, karya sastra itu kurang bermutu atau tidak bermutu. Sebaliknya karya sastra yang bermutu tinggi adalah karya sastra yang di dalamnya mempunyai hakikat dan fungsi karya sastra, dulce et utile (Sudarman, 2007: 45).

Pradopo (2085:49) menyebutkan tiga paham tentang penilaian karya sastra, yaitu: penilaian relativisme, penilaian obsulitisme, dan penilaian perspektivisme.

Penilaian relativisme adalah paham penilaian yang menghendaki “tidak adanya penilaian lagi” atau penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra. Bila suatu karya sastra sianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu, maka karya sastra haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat lain. Jadi karya sastra itu tidak menghendaki adanya penilaian lagi.

Penilaian absolutivisme adalah paham penilaian yang menilai karya sastra berdasarkan paham, aliran-aliran politik, moral ataupun berdasar pada norma-norma tertentu yang sifatnya dogmatis dan berdasarkan pandangan yang sempit. Dengan demikian sifat penialainnya tidak berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan pada hakikat dan fungsi karya sastra. Paham-

(39)

30

paham, aliran-aliran, dan kepentingan politik yang seharusnya dinomorduakan, justru menjadi lebih diutamakan.

Paham penilaian yang ketiga adalah penilaian perspektif, yang menilai karya sastra dari berbagai perspektif, dari berbagai sudut pandangan, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra itu pada masa berikutnya. Padahal karya sastra bersifat abadi dan historis. Bersifat abadi artinya memelihara suatu ciri tertentu, misalnya karya sastra Balai Pustaka akan menunjukkan ciri-ciri pertentangan adat kawin paksa dengan pandangan baru. Bersifat historis artinya telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya, misalnya pada masa kesusastraan romantik, realism, dan sebagainya.

Penilaian perpektivisme mengaku adanya satu karya saastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, mungkin berkembang, berubah, itu semua bias dimungkinkan, karena struktur karya sastra itu dinamis melalui para penafsirnya sepanjang masa. Jadi meniali karya sastra dengan penilaian perspektivisme adalah menilai karya sastra pada waktu terbit, menurut zaman-zaman yang telah dilalui dan penilaian pada zaman sekarang.

Suatu karya sastra yang hanya dinilai berdasarkan penilaian sekarang, misalnya Mahabarata dan Ramayana menurut penilaian sekarang mungkin kurang bernilai, karena masyarakat zaman sekarang tidak mengakui dunia khayal, hubungan manusia dengan dewa- dewa. Penilaian perspektivisme tidak hanya melihat karya sastra dari satu sisi, dalam pandangan di atas dunia khayal. Dilihat dari filosofi, pandangan hidup dan renungan renungan lainnya. Diakui bahwa Mahabarata dan Ramayana adalah karya sastra yang besar. Cerita Khayal hanyalah cirri suatu zaman. Pertimbangan moral dan nilai- nilai kemanusiaan sifatnya lebih abadi, seperti pembunuh orang tanpa sebab

(40)

31

adalah suatu perbuatan yang jahat, merampas milik orang lain adalah bentuk kejahatan, yang sampai sekarang masih abadi.

3. Nilai pendidikan sosial

Nilai pendidikan sosial yang diambil dari sebuah cerita, dalam hal ini adalah novel yang bisa dari hal-hal yang bersifat positif ataupun negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar kita dapat memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Sosial dapat diartikan hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Zaini dan Salladin (1996:83) menyatakan bahwa nilai sosial adalah aspek- aspek budaya yang diupayakan oleh kelompok untuk memperoleh makna dan penghargaan yang tinggi.

Sementara itu menurut Arifin L. Bertrand (dalam Munandar, 1998: 9) nilai sosial adalah kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang.

Karya sastra dapat berfungsi sebagai daya penggoncangan nilai-nilai sosial yang sudah mapan. Dasar dari pendidikan sosial bahwa manusia itu merupakan kawan sosial bagi manusia lain (Suyitno, 1986: 31).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan sosial dalam diri manusia khususnya masyarakat akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu satu dengan yang lain. Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menentukan sesuatu itu

(41)

32

dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.

3. Nilai pendidikan budaya

Karya sastra lahir tidak dalam kekosongan sejarah. Sastra dicipta berdasarkan situasi dan kondisi sosial budaya setempat. Sastra tidak akan terasing dari masyarakat karena sastra akan mengungkap nilai-nilai kemanusiaan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Koentjaraningrat (1994: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai–nilai budaya yang terkandung didalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.

Secara rinci Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1994: 435) secara universal nilai-nilai budaya dari semua negara di dunia ke dalam lima kategori berdasarkan lima masalah terpenting di dalam kehidupan semua manusia, yaitu:

(1) masalah universal mengenai hakikat hidup; (2) masalah universal mengenai hakikat dari kerja serta usaha manusia; (3) masalah universal mengenai

(42)

33

hubungan antara manusia dan alam; (4) persepsi manusia tentang waktu; dan (5) masalah universal mengenai hubungan antara manusia dan sesamanya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa semua ritual adalah segala sesuatu konsep-konsep yang berasal dari ambisi yang terjadi dari alam bawah sadar. Tersususun konsep-konsep tentang masyarakat, dunia, dan diri sendiri. Memungkinkan terjadi adanya perspektif yang fatal mengenai kebudayaan sebagai sebuah kontruksi, kesewenang-wenangan, dan konvensional yang ditemukan oleh manusia.

4. Nilai pendidikan religius/agama

Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat serta alam sekitarnya. Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima terhadap apa yang terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan bahwa apa yang dicari adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa.

Mangunwijaya (1982: 11)mengatakan bahwa agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum- hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Religiositas lebih melihat aspek yang ”di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa “du coeur” dalam arti Pascal, yakni cita

(43)

34

rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) ke dalaman si pribadi manusia.

Nilai religius dapat dikatakan nilai dasar kemanusiaan yang berkaitan dengan ketuhanan secara umum dan diakui oleh semua pemeluk agama.

Dicontohkan lagu “Tuhan” karya Bimbo, semua pemeluk agama mengatakan bahwa lagu itu mempunyai nilai religius. Dan Mangunwijaya mengatakan bahwa karya sastra yang baik itu religius.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa adanya anggapan untuk mempertimbangkan efek beserta asumsi tentang makna agama terhadap pembentukan suatu cara kinerja, pengembangan kinerja estetika, dan pembentukan sebuah praktek kinerja. Metode sini decouples semiotika pemetaan dari modus kinerja sebagaimana yang dipahami dalam tradisi keagamaan.

Nilai dasar kemanusiaan yang religius, semua pemeluk agama mengakuinya seperti: (1) membantu, membela kaum yang lemah; (2) mengakui persamaan derajat manusia (hak azasi manusia); (3) memperjuangkan keadilan, kebenaran, kejujuran, kemerdekaan, perdamaian; (4) menentang adanya penindasan sesama manusia, dan lain sebagainya.

D. Riwayat Hidup Ahmad Tohari

Riwayat hidup Ahmad Tohari diuraikan yang diramu dari berbagai sumber. Ahmad Tohari adalah sastrawan yang terkenal dengan novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis pada 1981. Belum lama ini ia dianugerahi PWI Jateng Award 2012 dari PWI Jawa Tengah karena karya-karya sastranya yang dinilai mampu menggugah dunia.

Lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah pada 13 Juni 1948, Ahmad Tohari menamatkan SMA nya di Purwokerto. Setelah itu ia

Referensi

Dokumen terkait