C. Nilai Pendidikan dalam karya Sastra/Novel
1. Hakikat Nilai Pendidikan
Sebagai bentuk karya sastra, novel selain memberi hiburan juga memberikan manfaat. Wellek dan Werren (1989: 25) bahwa sastra berfungsi antara dulce et utile, sweet and usefull, atau indah dan berguna. Mengenai manfaat sastra, Dharma (1995: 105) menegaskan bahwa karya sastra (termasuk novel) diharapkan dapat mengajak para pembaca untuk menjunjung tinggi norma sosial maupun religi. Diungkapkan juga bahwa sastra, filsafat, dan agama dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa humanist, yaitu jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya dengan cara yang berlainan. Oleh karena ini, karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mengandung nilai-nilai.
Ada beberapa nilai dalam karya sastra antara lain, nilai pendidikan kemanusiaan, nilai pendidikan sosial budaya, nilai pendidikan religius, dan nilai moral. Menurut Rieseri (2001:20).Nilai-nilai tersebut berfungsi untuk menyampaikan pesan yang ada dalam karya sastra kepada masyarakat kususnya pembaca sehingga bermanfaat. Nilai bersifat objektif dan subjektif, tergantung dari sudut pandang yang memberikan penilaian. Nilai bersifat objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai juga dapat bersifat subjektif jika eksistensi, makna, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian.
28
Menurut Scheler (2004:51) Nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawannya, merupakan kualitas apriori (yang telah dapat dirasakan manusia tanpa melalui pengalaman indrawi terlebih dahulu). Max Scheler (2004: 56) membagi nilai-nilai sebagai berikut.(1) Nilai baik adalah nilai yang melekat pada tindakan mewujudkan nilai positif, sebagai yang berlawanan dengan nilai negatif, yang melekat pada tindakan yang mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih tinggi atau tertinggi dalam susunan nilai. (2) Nilai jahat adalah nilai yang melekat pada tindakan yang mewujudkan suatu nilai negatif, yang melekat pada tindakan yang mewujudkan nilai dalam tingkatan yang lebih rendah atau terendah dalam susunan nilai.(3) Nilai positif merupakan nilai yang memang seharusnya ada dalam realitas indrawi ini; dengan demikian, keberadaannya di dunia indrawi ini merupakan kewajiban. (4) Nilai negatif merupakan nilai yang seharusnya tidak ada dalam realitas indrawi ini; dengan demikian, keberadaannya di dunia indrawi ini wajib tidak ada.
Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilih kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Usaha tersebut bertujuan membentuk manusia yang cerdas dan mempunyai akhlak mulia.
Pendidikan nilai dalam proses dinamika budaya menjadi salah satu unsur yang perlu diperhatikan. Nilai dimaksudkan sebagai yang dipandang berharga hingga layak digenggami untuk acuan, mulai dari yang fisik kulit sampai yang bernilai tujuan. Dalam proses dinamika budaya terdapat pergeseran nilai, karena
29
perekat nilai masyarakat yang menghormati kemajemukan, keadaban, dan keterbukaan mulai diperjuangkan. Di samping itu di masa sekarang terdapat krisis perekat nilai persatuan dan kesatuan karena sesuatu diukur dengan nilai materi dan uang. Sehingga nilai humanis dan religius terkikis oleh nilai materi atau uang (Sutrisno, 1999:62).
2. Nilai pendidikan sastra
Karya sastra yang menganut paham apa pun, pertama-tama harus memenuhi hakikat seni sastra; menyenangkan dan berguna atau dulce et utile (dalam Teeuw 1984: 51). Bila karya tidak memenuhi hakikat fungsi Dulce et utile, karya sastra itu kurang bermutu atau tidak bermutu. Sebaliknya karya sastra yang bermutu tinggi adalah karya sastra yang di dalamnya mempunyai hakikat dan fungsi karya sastra, dulce et utile (Sudarman, 2007: 45).
Pradopo (2085:49) menyebutkan tiga paham tentang penilaian karya sastra, yaitu: penilaian relativisme, penilaian obsulitisme, dan penilaian perspektivisme.
Penilaian relativisme adalah paham penilaian yang menghendaki “tidak adanya penilaian lagi” atau penilaian yang dihubungkan dengan tempat dan zaman terbitnya karya sastra. Bila suatu karya sastra sianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu, maka karya sastra haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat lain. Jadi karya sastra itu tidak menghendaki adanya penilaian lagi.
Penilaian absolutivisme adalah paham penilaian yang menilai karya sastra berdasarkan paham, aliran-aliran politik, moral ataupun berdasar pada norma-norma tertentu yang sifatnya dogmatis dan berdasarkan pandangan yang sempit. Dengan demikian sifat penialainnya tidak berdasarkan pada metode literer, tidak berdasarkan pada hakikat dan fungsi karya sastra.
Paham-30
paham, aliran-aliran, dan kepentingan politik yang seharusnya dinomorduakan, justru menjadi lebih diutamakan.
Paham penilaian yang ketiga adalah penilaian perspektif, yang menilai karya sastra dari berbagai perspektif, dari berbagai sudut pandangan, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra itu pada masa berikutnya. Padahal karya sastra bersifat abadi dan historis. Bersifat abadi artinya memelihara suatu ciri tertentu, misalnya karya sastra Balai Pustaka akan menunjukkan ciri-ciri pertentangan adat kawin paksa dengan pandangan baru. Bersifat historis artinya telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya, misalnya pada masa kesusastraan romantik, realism, dan sebagainya.
Penilaian perpektivisme mengaku adanya satu karya saastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, mungkin berkembang, berubah, itu semua bias dimungkinkan, karena struktur karya sastra itu dinamis melalui para penafsirnya sepanjang masa. Jadi meniali karya sastra dengan penilaian perspektivisme adalah menilai karya sastra pada waktu terbit, menurut zaman-zaman yang telah dilalui dan penilaian pada zaman sekarang.
Suatu karya sastra yang hanya dinilai berdasarkan penilaian sekarang, misalnya Mahabarata dan Ramayana menurut penilaian sekarang mungkin kurang bernilai, karena masyarakat zaman sekarang tidak mengakui dunia khayal, hubungan manusia dengan dewa- dewa. Penilaian perspektivisme tidak hanya melihat karya sastra dari satu sisi, dalam pandangan di atas dunia khayal. Dilihat dari filosofi, pandangan hidup dan renungan renungan lainnya. Diakui bahwa Mahabarata dan Ramayana adalah karya sastra yang besar. Cerita Khayal hanyalah cirri suatu zaman. Pertimbangan moral dan nilai-nilai kemanusiaan sifatnya lebih abadi, seperti pembunuh orang tanpa sebab
31
adalah suatu perbuatan yang jahat, merampas milik orang lain adalah bentuk kejahatan, yang sampai sekarang masih abadi.