• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomis, ekologis dan sosial budaya. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya hutan secara bijaksana dan lestari harus dilaksanakan oleh para pengelola hutan baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian, diharapkan dapat menjamin kehidupan generasi sekarang dan masa yang akan datang.

Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan langsung sebagai salah satu sumber devisa negara. Hal ini telah dilakukan pemerintah dengan dikeluarkannya kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan sejak tahun 1967/1968 (Sejak diterbitkannya UU No. 5/ 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan dan PP No. 21/ 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan/HPH) (Anonim, 2001). Dalam pelaksanaannya, pemerintah menyerahkan pengelolaan sumberdaya hutan kepada pemegang konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dengan masa kerja 20 tahun. Sektor kehutanan diperlakukan sebagai penggerak perekonomian (prime mover) –dimana kayu sebagai komoditi primadona-, sehingga kurang memperhatikan secara proporsional keutuhan ekosistem kawasan hutan guna menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan dalam jangka panjang (Indonesia Corruption Watch dan Greenomics Indonesia, 2004).

Sejak dimulainya pemanfaatan hutan dengan sistem HPH telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap pembangunan ekonomi, sosial maupun ekologi. Adanya peningkatan gross domestic product (GDP), perluasan lapangan kerja dan lain-lain merupakan implikasi keberhasilan sektor kehutanan. Namun, diketahui hal ini juga telah memunculkan permasalahan antara lain telah terjadi kerusakan dan penurunan produktivitas sumberdaya hutan yang diusahakan HPH, punahnya spesies tanaman dan hewan tertentu. Pada banyak kasus HPH yang beroperasi belum sampai 15 tahun telah menghabiskan potensi kayu pada areal HPH tersebut. Selain itu, banyak juga HPH yang izin operasinya telah habis tidak dapat diperpanjang lagi karena hutan mengalami kerusakan berat. Pemerintah tidak pernah memberikan sanksi kepada pemegang konsesi yang tidak mampu mempertahankan kelestarian hutan. Dampak lebih lanjut telah menyebabkan kerusakan kawasan hutan yang sangat berat pada eks areal HPH. Salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan tersebut adalah kesalahan

(2)

pengaturan (policy failure) dalam pemanfaatan sumberdaya ini pada waktu yang lalu.

Di Provinsi Bengkulu khususnya di Kabupaten Bengkulu Utara terdapat hutan konsesi yang dikelola oleh pengusaha melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Hak pengusahan hutan tersebut antara lain: PT Maju Jaya Raya Timber (PT MJRT) dengan luas 80.000 ha yang beroperasi sejak tahun 1974, PT Dirgahayu Rimba (PT DR) dengan luas 102.185 ha yang beroperasi sejak tahun 1978 dan PT Bina Samakhta (PT BS) dengan luas 72.900 ha mulai beroperasi tahun 1977. Sejak pemekaran wilayah pada tahun 2002, areal kerja PT BS masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Mukomuko. HPH tersebut telah

dicabut izin konsesinya sejak tahun 1998 hingga 1999 (Sanim et al., 2006) dan

saat ini statusnya menjadi eks HPH. Pencabutan izin konsesi tersebut menyebabkan timbulnya konflik penggunaan sumberdaya hutan yang tersisa dan lahan yang ada dikarenakan pengelolaan yang tidak jelas. Ketiga HPH tersebut berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan merupakan daerah penyangga yang sangat penting bagi kawasan konservasi tersebut. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar batas kawasan konservasi. Lebih jauh dijelaskan bahwa daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar dan berbatasan dengan kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Sebagai daerah penyangga, eks HPH tersebut diharapkan menjadi daerah perlindungan bagi kawasan TNKS, namun kenyataan yang terjadi sebaliknya, yaitu banyak terjadi fragmentasi, konversi hutan, penebangan liar, perambahan hutan, perladangan dan pembangunan perkebunan. Pada eks HPH di Kabupaten Bengkulu Utara telah terjadi perubahan tutupan lahan, yang berarti telah terjadi konversi kawasan hutan tersebut. Hasil penelitian Hernawan (2001) menyatakan bahwa faktor penyebab perubahan tutupan hutan di areal bekas HPH di Bengkulu Utara adalah penebangan legal oleh HPH, penebangan illegal (oleh HPH dan masyarakat), konversi lahan menjadi lahan budidaya non-kehutanan dan perambahan hutan.

Seperti diketahui bahwa pada daerah penyangga tersebut terdapat beberapa jenis satwaliar yang dilindungi antara lain adalah gajah (Elephas maximus sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis), tapir

(3)

(Tapirus indicus), rangkong gading (Buceros vigil), enggang (Anthracoceros malayanus), dan lain-lain. Keberadaan satwa-satwaliar tersebut sangat terancam dengan adanya konversi hutan menjadi lahan non kehutanan. Apabila kerusakan habitatnya terus terjadi dapat menimbulkan konflik satwaliar dengan manusia serta pada waktu yang sama juga akan kehilangan satwa-satwaliar tersebut. Untuk menghindari hal tersebut diperlukan adanya upaya-upaya untuk mengelola daerah tersebut secara terencana dan terarah (Dephut, 2001).

Kondisi eks areal HPH di daerah penyangga TNKS memiliki permasalahan yang jauh lebih kompleks dari hanya sekedar persoalan deforestasi. Hal ini dikarenakan pengelolaannya berada diluar kewenangan manajemen kawasan konservasi tersebut, sehingga kebijakan pengelolaannya menjadi lebih rumit. Ketidakpastian (uncertainty) dalam pengelolaan eks areal HPH sangat menonjol dan memiliki potensi konflik antar berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk konflik vertikal antara pemerintah daerah setempat dengan pemerintah pusat. Pada suatu kondisi tertentu pula, konflik antara pemerintah daerah dan masyarakat sekitarnya sangat mudah terjadi. Dengan demikian, pilihan-pilihan pengelolaan beralih orientasi –setidaknya dimulai secara de facto di tingkat lapangan– pada upaya-upaya untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan finansial jangka pendek dari kawasan tanpa memperhatikan kerugian-kerugian lain yang ditimbulkannya secara ekologis, ekonomi, dan sosial dalam jangka panjang sebagai konsekuensi logis dari praktik ekstraksi terhadap nilai intrinsik kawasan hutan, seperti kayu komersial (Sanim et al., 2006).

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang sudah berlangsung sejak Januari 2001 mengakibatkan berkurangnya peran dan kontrol pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pemerintah daerah, khususnya kabupaten dan kota mempunyai kewenangan untuk mengurus sumberdaya alam di wilayahnya (hutan, tambang, laut, perkebunan, pertanian). Dengan kewenangan ini pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan kemandirian dalam membiayai jalannya pemerintahan dan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di wilayahnya. Kondisi ini akan mendorong para pengambil keputusan di daerah untuk menempuh jalan pintas dalam menggali sumber-sumber pembiayaan, di antaranya dengan mengeksploitasi dan mengkonversi kawasan hutan. Bahkan beberapa kasus menunjukkan bahwa kawasan yang dieksploitasi merupakan

(4)

kawasan lindung, taman nasional dan kawasan konservasi lainnya. Realitas kebutuhan lokal ini menggiring munculnya stereotipe terhadap para pihak lokal, khususnya pemerintah daerah yang hanya berorientasi jangka pendek untuk meningkatkan dan memperkuat fiskal daerah melalui ekstraksi sumberdaya alam tanpa memikirkan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Dengan kenyataan demikian, maka dapat dikatakan bahwa para pihak lokal merupakan “ancaman” terhadap kawasan konservasi, khususnya taman nasional, cagar alam, taman wisata alam dan suaka margasatwa.

Pada perkembangan terakhir, masyarakat yang bermukim di sekitar areal eks hutan konsesi tersebut menganggap sumberdaya yang ada tidak bertuan, sehingga dapat dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Hal ini semakin menambah rentetan persoalan hak kepemilikan dan pengelolaan daerah tersebut. Lebih jauh Hernawan (2001) menyatakan terdapat beberapa desa yang berbatasan dengan areal eks HPH di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, dengan sistem penguasaan tanah oleh masyarakat desa yaitu mengikuti peraturan hukum secara tradisi, kepemilikannya secara individu dan keluarga. Masyarakat menyatakan bahwa hutan dan tanah yang kosong dianggap merupakan tanah bebas, sehingga dapat dilakukan semua peruntukan. Dampak lebih lanjut akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dalam penguasaan sumberdaya lahan dan hutan. Konflik kepentingan tersebut bermula dari kelangkaan (scarcity) suatu sumberdaya dan beragamnya persepsi dari berbagai pemangku kepentingan terhadap suatu sumberdaya tersebut (baca: kawasan hutan). Kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan areal eks hutan konsesi di daerah penyangga TNKS, menuntut adanya pengelolaan yang terarah dengan aturan yang jelas, sehingga dapat mengurangi kerusakan sumberdaya tersebut serta diharapkan dapat menjaga kelestariannya.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian secara skema disajikan pada Gambar 1. Uraian berikut merupakan keterkaitan antar beberapa variabel dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini. Selain itu menyajikan upaya-upaya yang akan dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Salah satu HPH yang telah dicabut izin konsesinya yang terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara adalah PT MJRT, sehingga saat ini statusnya menjadi eks HPH. Eks HPH tersebut terletak di daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat

(5)

(TNKS). Secara yurisdiksi pengelolaan daerah penyangga diluar kewenangan Balai TNKS, sehingga kebijakan pengelolaannya menjadi lebih kompleks.

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran

Pengelolaan eks areal HPH PT MJRT hendaknya mengintegrasikan rencana pembangunan daerah secara berkelanjutan dan konsep pengelolaan daerah penyangga. Rencana pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan kepentingan generasi masa sekarang dengan tidak meninggalkan kepentingan generasi mendatang. Dengan demikian diharapkan adanya keseimbangan dalam pembangunan daerah. Sedangkan konsep daerah penyangga menurut Basuni (2003) mempunyai dua karakteristik khas utama yaitu: pertama, kapasitas daerah penyangga sebagai rintangan (barrier capacity), yakni karakteristik daerah penyangga untuk membatasi akses ke dan dari kawasan konservasi

Kajian Penelitian

Konflik Kepentingan

Pengelolaan

Dampak:

Kerusakan Sumberdaya

Hutan dan Lahan

Eks HPH sebagai Sumberdaya

Pembangunan Daerah

™ Meningkatnya fungsi penyangga TNKS

™ Terjaganya fungsi hutan

™ Kepentingan stakeholders terakomodasi

Pencabutan Izin Konsesi

HPH PT MJRT

Rencana Pembangunan

Daerah Berkelanjutan

Konsep Pengelolaan

Daerah Penyangga

Ketidakjelasan Pengelolaan

(6)

dalam usaha membatasi pengaruh-pengaruh buruk terhadap kawasan konservasi serta pengaruh-pengaruh buruk dari kawasan konservasi terhadap daerah sekelilingnya. Kedua, kapasitas daerah penyangga sebagai penyangga sumberdaya (resource buffer capacity), yaitu karakteristik daerah penyangga untuk memasok hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk setempat. Pengintegrasian konsep pembangunan berkelanjutan dan daerah penyangga diharapkan adanya keberlanjutan eks areal hutan konsesi sebagai sumberdaya pembangunan daerah di Kabupaten Bengkulu Utara. Dengan demikian, beberapa hal yang diharapkan antara lain: meningkatnya fungsi penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, terjaganya fungsi hutan dan terakomodasinya kepentingan stakeholders.

Sebagai daerah penyangga taman nasional, eks HPH PT MJRT merupakan sumberdaya yang sangat penting sebagai areal perluasan habitat satwa dan sebagai daerah proteksi terluar dari taman nasional. Daerah penyangga dapat berupa kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak. Namun demikian, fungsi-fungsi hutan seperti: penghasil kayu (wood), sumber air (water), habitat hidupan liar (wildlife), makanan ternak (forage) dan tempat rekreasi (recreation) serta penghasil udara bersih (air) dapat terjaga (Suhendang, 2004).

Pengelolaan daerah penyangga harus disesuaikan dengan situasi yang terjadi pada sumberdaya tersebut. Terdapat tiga kategori variabel yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya antara lain: (1) karakteristik fisik dan teknis dari sumberdaya; (2) karakteristik kelompok pengguna; dan (3) atribut-atribut dari kerangka aturan kelembagaan (Tang, Uphoff, dalam Rasmusen dan Meinzen-Dick, 1995). Lebih jauh dijelaskan karakteristik fisik dan teknis dapat menjelaskan tipe sumberdaya seperti: excludability (berkaitan dengan hubungan antar pengguna) dan subtractability atau rivalry (berkaitan dengan sifat khas sumberdaya). Excludability berkaitan dengan ongkos pencegahan pihak lain dari menggunakan sumberdaya; sementara subtractability merujuk pada situasi-situasi dimana penggunaan sumberdaya oleh seorang individu mengurangi jumlah ketersediaan bagi individu yang lain. Hal yang penting mempengaruhi tipe sumberdaya tersebut adalah ukuran dan sifat keterbatasan alami-nya.

Selanjutnya karakteristik kelompok pengguna akan menjelaskan bagaimana permintaan atas, ketergantungan pada, dan pengetahuan mengenai sumberdaya bagi para pengguna. Terkait dengan hal tersebut, jumlah

(7)

pengguna sumberdaya juga besar pengaruhnya dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Semakin kecil kelompok, maka semakin homogen pula kepentingan-kepentingan anggotanya. Dalam konteks sumberdaya, tingkat homogenitas akan mempengaruhi akses sumberdaya dan persepsi terhadap risiko dari eksploitasi sumberdaya dalam jangka panjang. Selain itu keterbukaan dan

stabilitas komunitas secara umum. Semakin tinggi laju migrasi, mobilitas dan

integrasi pasar, semakin rendah kemungkinan kerjasama atau pengorganisasian sukarela (Baland and Platteau, Bardhan, Ostrom, dalam Rasmusen dan Meinzen-Dick, 1995).

Lebih jauh Rasmusen dan Meinzen-Dick (1995) membedakan tiga tingkat kerangka aturan kelembagaan yaitu: aturan-aturan operasional (operational rules), aturan-aturan pilihan kolektif (collective choice rules) dan aturan-aturan konstitusional (constitutional rules). Aturan-aturan operasional secara langsung mempengaruhi penggunaan sumberdaya: siapa yang dapat berpartisipasi, apa yang boleh dilakukan, harus dan tidak boleh (diizinkan, diharuskan dan dilarang) dan bagaimana mereka diberi ganjaran dan hukuman. Sedangkan aturan-aturan pilihan kolektif memberikan arahan bagi perumusan, perubahan dan pemaksaan aturan-aturan operasional (Tang dalam Rasmusen dan Meinzen-Dick, 1995). Aturan-aturan ini menentukan siapa yang dapat dipilih (eligible) dan bagaimana aturan-aturan operasional di masa datang akan dibuat. Selanjutnya aturan-aturan konstitusional didefinisikan baik secara internal maupun eksternal. Dalam organisasi-organisasi lokal, aturan-aturan kolektif dan konstitusional sulit dipisahkan. Sebagaimana dipahami bahwa keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam bukan hanya tergantung pada teknologi dan harga-harga yang pantas, tetapi juga pada institusi-institusi yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam di tingkat lokal.

1.3. Perumusan Masalah

Secara yuridis, pengelolaan daerah penyangga diatur dalam UU No. 5 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan digariskan dalam PP. No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam khususnya Pasal 56 dan 57. Berbagai kebijakan pemerintah untuk mengurangi kerusakan TNKS diantaranya Program Integrated Conservation Development Project (ICDP-TNKS), Bengkulu Regional Development Project (BRDP) dan sebagainya. Program-program tersebut

(8)

berupaya mengajak masyarakat untuk menjaga keutuhan kawasan konservasi tersebut. Secara umum upaya-upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang cukup berarti, terbukti masih adanya tekanan terhadap kawasan TNKS (BTNKS, 2002).

Sebagai daerah penyangga TNKS, eks HPH PT MJRT mempunyai peranan yang sangat penting dalam melindungi kawasan konservasi tersebut. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah antara lain: a) Ketidakmampuan pemerintah dalam mencegah penebangan liar dan

perambahan hutan pada areal eks HPH PT MJRT tersebut, sehingga mempengaruhi tutupan lahan; tersedianya jalan yang dibuat oleh perusahaan mempermudah illegal logger dan perambah mengakses daerah tersebut. Laporan Tim Independent Consession Audits/ICA (2001) menyatakan bahwa beberapa bentuk penggunaan lahan hutan antara lain: hutan dengan tutupan baik berupa hutan primer, hutan bekas tebangan (log over area), semak belukar dan tanah kosong, perkebunan dan perladangan serta areal satuan pemukiman transmigrasi. Selain itu pada areal tersebut ditetapkan sebagai areal dengan peruntukan khusus sebagai Pusat Latihan Gajah/PLG. Perubahan tutupan hutan tersebut sangat berdampak pada keberlanjutan ekosistem TNKS.

b) Adanya izin pelepasan kawasan menjadi areal transmigrasi di dalam dan di sekitar eks HPH; Menurut Arifin (2001) di Provinsi Bengkulu persentase luas lahan transmigrasi terhadap areal luas hutan konversi mencapai 14,69%. Adanya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya aktivitas perekonomian serta adanya aksesibilitas jalan akan mempengaruhi kebutuhan akan lahan, sehingga pilihan yang paling mudah adalah mengkonversi kawasan hutan. Sejak tahun 1994 luas areal kerja HPH PT MJRT menjadi 45.100 ha sedangkan selebihnya (34.900 ha) dikeluarkan dari areal kerja PT MJRT dan dijadikan sebagai areal transmigrasi. Berdasarkan TGHK Provinsi Bengkulu areal perpanjangan HPH PT MJRT terdiri atas areal Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 35.200 ha, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 9.900 ha. Berdasarkan fungsi hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Bengkulu pada areal eks HPH PT MJRT seluas 5.961 ha merupakan peruntukan khusus sebagai Pusat Latihan Gajah/PLG Seblat Bengkulu. HPH PT MJRT telah berakhir izin konsesinya sejak tahun 1994 dan diperpanjang lagi hingga tahun 1998.

(9)

c) Konversi lahan menjadi areal perkebunan dan perladangan masyarakat serta tanah terbuka; Adanya izin pelepasan kawasan areal eks HPH menjadi perkebunan dapat menyebabkan kerusakan kawasan TNKS. Pengelolaan daerah penyangga merupakan upaya untuk mengendalikan penggunaan lahan di sekitar dan berbatasan dengan kawasan konservasi agar sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi (Basuni, 2003). Pemanfaatan areal kerja eks HPH berfungsi sebagai APL dan telah dialihkan izin pengelolaannya kepada perkebunan kelapa sawit swasta PT Alno Agro Utama (PT AAU) seluas 4.754 ha. Pemberian izin pengelolaan eks areal ini telah menyebabkan terjadinya konversi hutan menjadi lahan pertanian/ perkebunan.

d) Konflik kepentingan dalam pengelolaan daerah penyangga; Pengelolaan daerah penyangga berada di luar batas yurisdiksi Balai Taman Nasional (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam/Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan), sehingga diperlukan adanya kesepahaman antar pemangku kepentingan dalam mengelola daerah penyangga tersebut.

e) Ancaman kepunahan keanekaragaman hayati akibat kerusakan habitatnya; Laporan Independent Concession Audits (2001) menyatakan bahwa masih banyak satwaliar yang terdapat di daerah penyangga tersebut, seperti: gajah (Elephas maximus sumatrensis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati eks HPH PT. MJRT masih cukup tinggi dan merupakan daerah perluasan habitat bagi satwa-satwaliar yang ada di TNKS. Satwaliar besar umumnya memerlukan home range yang cukup besar dan memerlukan integritas ekologis. Kerusakan habitat satwaliar tersebut sering menjadi pemicu timbulnya konflik manusia-satwaliar.

f) Daerah penyangga kawasan konservasi harus ditunjuk berdasarkan hasil studi, kemudian diusulkan oleh pengelola kawasan konservasi yang bersangkutan, dan ditetapkan secara legal oleh Menteri. Kenyataan di lapangan, batas fisik dan administratif daerah penyangga TNKS belum ditetapkan secara legal.

(10)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menyusun alternatif kebijakan pengelolaan areal eks hutan konsesi (HPH) sebagai sumberdaya pembangunan daerah dan sebagai daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :

1. Mendeskripsikan situasi, struktur, prilaku dan kinerja pengelolaan areal eks HPH PT MJRT sebagai daerah penyangga TNKS.

2. Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga TNKS yang dapat mendukung kelestariannya.

Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu referensi bagi penelitian yang berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan daerah penyangga kawasan konservasi. Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan stakeholders terkait dalam rangka pengelolaan eks areal hutan konsesi sebagai daerah penyangga TNKS.

Gambar

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

(4) Apakah terdapat pengaruh signifikan secara simultan keterlibatan kerja, disiplin kerja,dan kompensasi kerja terhadap produktivitas kerja karyawan pada Pabrik

bahwa dalam rangka meningkatkan kegiatan bidang perkebunan di lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Timur sesuai dengan kewenangan dan ketentuan berdasarkan

Hasil penelitian ini menunjukan (1) gerbang utama gereja Kristen Pniel Blimbingsari merupakan produk tranformasi budaya antara Hindu-Bali dan budaya Kristen karena

Pemantauan rutin dilaksanakan berdasarkan protokol pemantauan ini yang mengadaptasi pola pemantauan pada metode yang dikembangkan oleh seagrasswatch.org, empat kali

Proses penyerapan kembali zat-zat yang masih berguna seperti asam amino, glukosa, air dan ion organik dalam nefron ginjal terjadi pada bagian ….. Jika proses gerak yang

Belanja Makan untuk Pelaksanaan Peringatan Hari Krida Pertanian (HKP) Tk. Provinsi Jawa Barat. Belanja Makan untuk Pelaksanaan Temu Penyuluh

perkumpulan agama (pasal 43 ayat 3); pasal 58 Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan ini sama bunyinya dengan pasal 100 Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat;

amplikon fragmen DNA genom EBV dengan teknik PCR konvensional adalah konsentrasi DNA virus yang rendah pada sampel penelitian yang digunakan, karena konsentrasi