• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas dari suatu jasa. Akibatnya, total quality service yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas dari suatu jasa. Akibatnya, total quality service yang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Total quality service dipandang sebagai sebuah metode yang sukses

dalam meningkatkan kualitas dari suatu jasa. Akibatnya, total quality service yang dulunya hanya digunakan oleh perusahaan saja mulai digunakan oleh institusi pendidikan. Institusi pendidikan telah menyerap metode total quality service dan mulai menerapkannya di manajemen sekolah. Bentuk implementasi total quality service di sekolah adalah penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis

Sekolah (MPMBS).

Konsep MPMBS ini pun telah diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 51 ayat (1) menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ madrasah. Aturan ini mewajibkan setiap sekolah yang ada di Indonesia menerapkan konsep MPMBS.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) adalah sebuah konsep yang bertujuan untuk meningkatkan mutu sekolah melalui penerapan prinsip- prinsip total quality service pada manajemen sekolah. Konsep MPMBS berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan layanan pendidikan dengan tekanan pada peningkatan mutu terpadu.

(2)

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang merupakan implementasi dari total quality service tentu memiliki siklus yang sama dengan total quality service, yakni plan, do, check, act, dan analyze yang telah

disesuaikan dengan konteks pendidikan. Penerapan siklus ini dalam manajemen sekolah diharapkan dapat meningkatkan mutu sekolah. Namun, saat ini penerapan konsep MPMBS masih belum berjalan dengan optimal. Hal ini disebabkan masih banyak di sekolah-sekolah yang menerapkan MPMBS belum memiliki tim penjaminan mutu pendidikan sekolah. Pedoman Umum Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikbud, 2016; 36) menyebutkan tim penjaminan mutu pendidikan sekolah merupakan tim independen di luar manajemen sekolah.

Tim penjaminan mutu pendidikan sekolah ini dikenal sebagai penjamin mutu internal. Keberhasilan penjamin mutu internal di sekolah dinilai dengan tingkat keberhasilan sekolah tersebut dalam memenuhi delapan Standar Nasional Pendidikan. Delapan Standar Nasional Pendidikan ini digunakan sebagai acuan untuk menentukan status akreditasi dari sebuah sekolah. Namun, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Budaya menyebutkan bahwa masih terdapat 4.058 sekolah yang tidak terakreditasi (nasional.kompas.com, 2017). Sekolah yang memiliki status tidak terakreditas ini membuktikan dua hal, yakni sekolah tersebut belum berhasil memenuhi delapan Standar Nasional Pendidikan dan tidak terpenuhinya delapan Standar Nasional Pendidikan itu disebabkan oleh penjamin mutu internal yang belum bekerja optimal atau penjamin mutu internal yang tidak bekerja secara independen.

(3)

Penjamin mutu internal di sekolah seringkali dimasukkan dalam wewenang seorang pimpinan sekolah, yakni kepala sekolah. Hal inilah yang dimaksud penjamin mutu internal di sekolah tidak bekerja secara independen.

Kepala sekolah memiliki dua wewenang sekaligus, yakni sebagai pimpinan sekolah dan penjamin mutu internal. Hal ini tentu berdampak kepada kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah.

Permendiknas No. 13 tahun 2007 menyebutkan bahwa setiap kepala sekolah wajib memiliki 5 kompetensi, yakni kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Akan tetapi, terdapat 19 kepala sekolah dari SD hingga SMA di Bandung yang terbukti melakukan pelanggaran berupa menerima hasil tidak sah dari penjualan kepada anak sekolah, penerimaan yang tidak dilaporkan atas pengelolaan barang daerah, dan dugaan gratifikasi dari penerimaan mutasi siswa baru (regional.kompas.com, 2016). Kasus pelanggaran ini menunjukkan kompetensi kepribadian masih belum dimiliki oleh beberapa kepala sekolah. Kepala sekolah sesuai dengan kompetensi kepribadiannya harus memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin dan bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya.

Kepala sekolah yang tidak memiliki lima kompetensi yang telah diwajibkan ini menunjukkan bahwa dalam penerapan MPMBS di sekolah-sekolah masih memiliki kendala manajerial. Kendala manajerial ini merupakan kurangnya komitmen kepala sekolah akan tugas dan wewenang sebagai seorang kepala sekolah. Penyebab kurangnya komitmen ini salah satunya adalah wewenang ganda yang dimiliki oleh kepala sekolah tersebut.

(4)

Kepala sekolah yang memiliki wewenang ganda ini juga menimbulkan permasalahan lainnya, yakni koordinasi dalam manajemen sekolah tersebut berjalan tidak efektif. Tugas penjamin mutu internallah yang mengkoordinasi pelaksanaan penjaminan mutu di sekolah dan mengevaluasinya. Hasil evaluasi dan rekomendasi strategi akan diberikan kepada kepala sekolah. Kemudian, kepala sekolah akan mengolah hasil evaluasi dan rekomendasi strategi tersebut menjadi sebuah perencanaan. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi demikian.

Bergabungnya wewenang penjamin mutu internal dengan wewenang kepala sekolah membuat tugas-tugas yang dilakukan dalam manajemen sekolah akan tumpang tindih. Tugas yang tumpang tindih ini akan membentuk sebuah kendala organisasional. Kendala organisasional ini menjadi penghalang bagi pengoptimalan penerapan MPMBS di sekolah.

Selain itu, kendala organisasional ini juga timbul akibat adanya perubahan sistem pendidikan pada sekolah yang menerapkan MPMBS. Sebelum penerapan MPMBS sistem yang digunakan bersifat sentralistik. Artinya, semua pengelolaan diserahkan kepada pemerintah. Setelah penerapan MPMBS sistem pendidikan yang digunakan bersifat desentralis sehingga semua pengelolaan ada pada sekolah tersebut. Perubahan sistem pendidikan ini membutuhkan adaptasi, pada masa adaptasi inilah akan banyak permasalahan yang timbul. Permasalahan- permasalahan tersebut dapat dihindari apabila dari sisi organisasi sekolah memiliki kerja sama yang kuat. Kerja sama akan membentuk koordinasi antar individu di sekolah sehingga masa adaptasi dapat dilalui dengan baik dan MPMBS dapat diterapkan secara optimal.

(5)

Perubahan sistem ini pun memunculkan sebuah resistensi dari sisi tenaga pendidik. Sistem pendidikan yang bersifat sentralistik membuat tenaga pendidik terbiasa untuk diatur dan dikontrol oleh pemerintah dalam meningkatkan mutu sebagai seorang tenaga pendidik. Sedangkan pada sistem pendidikan yang bersifat desentralistik membuat tenaga pendidik harus memotivasi dirinya sendiri dan saling mempengaruhi antar tenaga pendidik untuk meningkatkan mutu sebagai seorang tenaga pendidik. Kebiasaan yang mewajibkan diri tenaga pendidik untuk memotivasi dirinya sendiri inilah yang ditolak oleh tenaga pendidik.

Resistensi yang dilakukan oleh tenaga pendidik terhadap sistem baru pun juga merupakan sebuah bentuk resistensi terhadap budaya kualitas yang dibawa oleh sistem tersebut. Sebab, sistem baru ini terbentuk akibat penerapan MPMBS.

Jadi, penerapan MPMBS ini mempunyai nilai yang sama dengan total quality service. Salah satu nilai yang sama adalah munculnya budaya kualitas sebagai

budaya baru.

Resistensi ini dapat dicegah apabila peran penjamin mutu internal benar- benar ada di sebuah sekolah. Salah satu peran yang dimiliki oleh penjamin mutu internal adalah melakukan pembinaan, pengembangan, pendampingan, dan supervisi terhadap tenaga pendidik di sekolah. Tetapi, peran ini tidak dapat dijalankan karena penjamin mutu internal saat ini masih belum independen.

Resistensi yang muncul ini menjadi sebuah kendala dalam penerapan MPMBS yang optimal. Kendala tersebut berupa kendala tenaga kerja dan budaya.

Penjamin mutu internal di sekolah dapat terbentuk apabila setiap warga sekolah memiliki pemahaman terhadap konsep manajemen mutu. Sedangkan

(6)

pemahaman warga sekolah terhadap manajemen mutu kurang memadai.

Pemahaman yang kurang ini timbul akibat tidak adanya pendidikan maupun pelatihan terkait manajemen mutu yang ditujukan untuk warga sekolah. Tidak memadainya pemahaman dan tidak adanya pendidikan ataupun pelatihan ini menimbulkan sebuah kendala lain dalam penerapan MPMBS, yaitu kendala infrastruktur.

Kendala-kendala yang muncul dalam penerapan MPMBS ini tentu bukan hanya berdampak pada tidak optimalnya penerapan MPMBS di sekolah, tetapi berdampak pula terhadap kualitas jasa yang diberikan sekolah tersebut. Menurut Deming (Nasution, 2001; 16) kualitas adalah kesusaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan harus benar-benar memahami apa yang dibutuhkan oleh konsumen atas produk yang akan dihasilkan. Kebutuhan konsumen jasa sekolah adalah fasilitas yang memadai, tenaga pendidik yang kompeten, proses belajar dan sistem evealuasi yang baik, dan lingkungan sekolah yang efektif.

Namun, akibat adanya kendala-kendala ini pemenuhan kebutuhan konsumen jasa sekolah ini tidak tercapai.

Purnama (2002) menyebutkan bahwa kegagalan dalam penerapan total quality service adalah perusahaan tidak berusaha memperkirakan keberadaan

kendala yang ada. Penelitian Purnama (2002) ini pun didukung oleh penelitian David (2011) yang menyebutkan bahwa dalam menerapkan total quality service pada perusahaan yang berorientasi pada jasa terdapat hambatan intern yang muncul, yaitu kendala manajerial dan kendala infrastruktur. Penelitian Haryanti (2015) pun menyebutkan hal yang sama bahwa dalam penerapan total quality

(7)

service pada Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta di kota Palembang terdapat

faktor hambatan intern berupa faktor pekerja dan budaya, faktor infrastruktur, dan faktor organisasional.

Dengan demikian, sebuah hal penting untuk membahas permasalahan terkait kendala pekerja dan budaya, kendala infrastruktur, kendala manajerial, dan kendala organisasional kemudian mengaitkannya dengan kualitas jasa. Agar penerapan MPMBS di sekolah menjadi optimal. Penerapan MPMBS yang optimal akan membuat kualitas jasa yang diberikan oleh pihak sekolah memenuhi harapan konsumen jasa sekolah.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah kendala pekerja dan budaya memiliki pengaruh terhadap kualitas jasa?

2. Apakah kendala infrastruktur memiliki pengaruh terhadap kualitas jasa?

3. Apakah kendala manajerial memiliki pengaruh terhadap kualitas jasa?

4. Apakah kendala organisasional memiliki pengaruh terhadap kualitas jasa?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk:

1. Menganalisis pengaruh kendala pekerja dan budaya terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh sekolah.

(8)

2. Menganalisis pengaruh kendala infrastruktur terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh sekolah.

3. Menganalisis pengaruh kendala manajerial terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh sekolah.

4. Menganalisis pengaruh kendala organisasional terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh sekolah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebegai berikut:

a. Bagi pihak sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi manajemen sekolah terkait kendala-kendala yang harus diperkirakan dan diperhatikan dalam menerapkan total quality service di manajemen sekolah.

b. Bagi dinas pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memaparkan kendala potensial yang ada dalam proses penerapan total quality service di sekolah yang dapat digunakan untuk menyusun program pendidikan berbasis total quality management.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini memiliki sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

(9)

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini memuat uraian-uraian teori yang digunakan untuk mendukung permasalahan yang akan dibahas, yaitu total quality service dan implementasinya dalam dunia pendidikan, kendala-

kendala dalam penerapan total quality service, dan kualitas jasa.

Lalu, bab ini juga hipotesis dan pengembangannya.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisi tentang jenis penelitian, ukuran populasi, teknik pengambilan sampel, jenis data penelitian, teknik pengumpulan data, variabel pengukuran, instrumen penelitian, model penelitian, dan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan data-data penelitian, analisis hasil serta pembahasannya terkait permasalahan penelitian.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi tentang simpulan dan saran dari penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa itsar adalah sikap dan tingkah laku utama yang mampu dilakukan oleh manusia yang telah mampu dan tidak hanya bersimpati dan berempati terhadap

Dan… anda juga bolehlah menyediakan jawapan untuk – “Apakah yang anda rancang atau matlamat anda bagi kerjaya ini dalam masa 5 tahun akan datang…” (Kalaulah disoal,

Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan limbah dengan proses sedimentasi dan proses biologi secara anaerob lebih efektif untuk menurunkan kadar BOD dalam limbah

Aplikasi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LC PKS), Janjang Kosong, Kompos dan Abu Janjang mampu berperan sebagai pengganti pupuk konvensional (pupuk anorganik) yang murah dan

1) Secara ilmiah dapat mengetahui pengaruh pemberian dosis solid pada berbagai media tanam galian C terhadap pertumbuhan kelapa sawit varietas tenera di pre nursery. 2)

Hasil penelitian terhadap keladi tikus oleh Fakultas Farmasi Universutas Pancasila Jakarta dengan menggunakan bahan koleksi Bidang Botani, Puslit Biologi-LIPI menunjukkan bahwa

USER DIAL USER DIAL CUSTUMER CLOUD CUSTUMER CLOUD LNS LNS DINACCESS Frame Relay VPN IP Server Server RADIUS RADIUS SERVER SERVER Modem Dial Up Tunneling dengan L2TP Customer

Perjanjian tersebut harus memasukkan isi dari Memorandum of Understanding dengan demikian ia mempunyai kekuatan mengikat”.103 Ciri-ciri Memorandum of understanding adalah