• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELEVANSI KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI DAN ARISTOTELES DI ERA MODERN. Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RELEVANSI KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI DAN ARISTOTELES DI ERA MODERN. Skripsi"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

RELEVANSI KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI DAN ARISTOTELES DI ERA MODERN

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag).

Oleh:

Alice Mutiara Tasti 11140331000034

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

RELEVANSI KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI DAN ARISTOTELES DI ERA MODERN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh: AliceMutiaraTasti NIM: 11140331000034 Dosen Pembimbing Dr.EdwinSyarif,M.A. NIP. 196706918 1999703 1 001

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul Relevansi Kebahagiaan Perspektif Imam Al-

Ghazali Di Era Modern telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah pada

Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu, 21 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Ciputat, 21 Juli 2021

Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota

Dra.TienRohmatin,M.A. NIP. 19680803 199403 2 002

Penguji I

Dr.Humaidi,M.Ud NIP. -

Sekertaris Merangkap Anggota

Dra.BanunBinaningrum,M.Pd. NIP. 19680618 199903 2 001 Penguji II Hanafi,S.Ag.,M.A. NIP. 19691216 199603 1 002 Dosen Pembimbing Dr.EdwinSyarif,M.A. NIP. 196706918 1999703 1 001

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Alice Mutiara Tasti

NIM 11140331000034

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 11 Juni 1996

Program Studi : Aqidah dan Filsafat Islam

Judul Skripsi : Relevansi Kebahagiaan Prespektif Imam Al-

Ghazali Dan Aristoteles Di Era Modern

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 26 Juni 2021

(5)

ABSTRAK

Kebahagiaan merupakan tujuan dan impian seluruh manusia. Para filsuf dari era Yunani Klasik hingga era Islam berusaha sebuah konsepsi dan pemikiran etika agar manusia bisa hidup dengan benar dan mencapai kebahagiaan yang hakiki. Aristoteles dan Imam Al-Ghazali adalah dua pemikir besar yang memiliki pengaruh luas. Dengan dua latarbelakang dan zaman yang berbeda, keduanya berusaha mengembangkan sebuah nilai-nilai etik yang dapat dipelajari dan dipraktikan oleh semua orang.

Bagi Al-Ghazali kebahagiaan tidak hanya melihat pada pemuasaan kebutuhan biologis dan badaniah tetapi harus terintergrasi dengan Tuhan sebagai sang maha pemberi Bahagia. Sedangkan kebahagiaan bagi Aristoteles kebahagiaan memiliki koherensi dengan pola hidup yang baik, norma dan pengendalian diri menyebabkan dirinya menuntun seseorang hidup dalam kepuasaan dan berbahagia. Kajian mengenai kebahagiaan ini menjadi relevan ketika problem hedonism di era modern saat ini telah mendistorsi makna kebahagiaan sebagai pemuasan nafsu dan keserakahan mengejar keunggulan finansial.

(6)

KATA PENGANTAR

Pertama, tiada kata yang pantas dihaturkan selain panjatan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa penulis rasakan setiap waktu. tanpa kasih sayang sang pemilik eksistensi mustahil rasanya penulis mampu menuangkan pikiran dan menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Semoga kita selalu menjadi umat yang meneladani perjuangan dalam menyibak tirai kejahilan, serta semoga kita semua merupakan golongan umat yang mendapatkan syafaatnya ila yaumil kiyamah.

Melalui proses yang begitu panjang, dengan ini penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul Relevensi Kebahagiaan Perspektif Imam Al-Ghazali Dan Aristoteles Di Era Modern tidak akan terselesaikan tanpa adanya sosok yang senantiasa mendampingi baik secara langsung atau tidak langsung, memberikan semangat dan sumbangsih moral maupun moril kepada penulis dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan hati, penulis merasa wajib kiranya mengungkapkan rasa terimakasih itu kepada:

1. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, serta Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan

(7)

Aqidah dan Filsafat Islam beserta segenap jajaran pengurus proses administrasi dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi. 2. Dosen Pembimbing yang saya cintai dan banggakan, Bapak Dr. Edwin

Syarif, MA yang telah bersedia menemani saya dalam mengarungi pasang surut perjalanan saya menyelesaikan skripsi.

3. Teruntuk kedua orang tua saya yang tiada hentinya memberikan dorongan, do’a, serta motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Ayahanda tercinta Almansyah Irwin, ibunda tercinta Almarhumah Susmawati, dan ibunda tersayang Nini Triana.

4. Teruntuk keluarga besar saya yang telah memberikan banyak kontribusi dalam memberikan masukan serta motivasi demi kelancaran skripsi ini, Mama Septilah Dewi,, Della Dwi Ayu, Novia Harsela S. Sarah, Ceceng Kholilluloh, Bibi Diana Ulfah Septiani, Bibi Mamah Maryati, keponakan tersayang Alliethia Nafeeza El Deven, Rakyan Dharma Saliem, Abang Raka Faiz Ubaidillah, dan M. Nuril Izam.

5. Keluarga besar Desa Pernik yang kebersamaannya tidak lekang oleh waktu dan selalu menjadi penyemangat dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama Almarhumah Ibu Luk Aili Widyastuti, Fitria Ramadhina, Selviana, dan Elika.

6. Teman seperjuangan yang sudah memberikan warna baru dalam kehidupan penulis akan pengalaman yang tidak akan pernah saya dapatkan dimana pun, terutama Zsahwa Maula.

7. Serta teman-teman seperjuangan Aqidah dan Filsafat Islam Angkatan 2014.

(8)

Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terimakasih yang begitu dalam dan seuntai doa senantiasa penulis haturkan kepada mereka agar senantiasa segala kebaikan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang setimpal. Akhirnya, penulis berharap semoga karya tulis ini senantiasa dapat memberikan tambahan wawasan seputar keindonesiaan dan filsafat. Amiiin.

Ciputat, 26 Juni 2021

(9)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

a a th ṭ ﺏ b b zh ẓ ﺕ t t ﻉ ‘ ‘ ﺙ ts th gh gh j j f f ﺡ ḥ ḥ ﻕ q q ﺥ kh kh ﻙ k k ﺩ d d l l dz dh m m r r n n z z w w s s h h sy sh ء ﺹ sh ṣ ﻱ y y dl ḍ ﺓ h h

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KEBAHAGIAAN A. Pengertian Kebahagiaan ... 17

B. Kebahagiaan dalam Filsafat Barat ... 20

C. Problem Kebahagiaan Masyarakat Modern ... 22

D. Problem Hedonisme ... 23

(11)

E. Problem

Materialisme ... 24

BAB III PEMIKIRAN KEBAHAGIAAN AL-GHAZALI A. Biografi Imam Al-Ghazali ... 27

B. Riwayat Hidup Al-Ghazali ... 27

C. Latar Belakang Intelektualitasnya ... 30

D. Karya-Karya Al-Ghazali ... 31

E. Hakikat Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali ... 33

F. Konsep Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali ... 35

BAB IV PEMIKIRAN KEBAHAGIAAN ARISTOTELES A. Biografi Aristoteles ... 38

B. Riwayat Hidup Aristoteles ... 38

C. Latar Belakang Intelektualnya... 40

D. Karya-Karya Aristoteles ... 43

E. Hakikat Kebahagiaan Menurut Aristoteles... 46

F. Konsep Kebahagiaan Menurut Aristoteles ... 47

BAB V

ANALISIS RELEVANSI KEBAHAGIAAN

(12)

A. Persamaan Dalam Usaha Mencapai Kebahagiaan ... 49

B. Relevansi Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali Dan Aristoteles di Era Modern ...52 C. Mengatasi Problem Hedonisme ... 53 D. Mengatasi Problem Materialisme ... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 61 B. Saran ... 62

(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk yang diberikan potensi oleh Allah, yang memiliki keunggulan dari pada makhluk-makhluk lain ciptaan-Nya, sehingga dapat mengembangkan potensi di kehidupannya untuk mendapatkan segala sesuatu yang dibutuhkan sehingga manusia dapat meperoleh kebahagiaan. Menurut Al-Ghazali kebahagiaan dapat dirasakan dengan cara mengenal dirinya sendiri, dan kemudian akan mengenal tuhannya. Kebahagiaan timbul dari pengetahuan mengenai fisik atau wujud luar dirinya sendiri (jasad), dan wujud dalam atau rasa yang disebut hati atau ruh.

Seorang manusia dengan potensinya bisa mengetahui segala sesuatu di dunia (kebesaran tuhan), maka tentu saja hati ini akan merasa teramat bahagia saat mengetahui tak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dari Allah. Pengetahuan tentang Allah merupakan satu-satunya sebjek pengetahuan tertinggi sehingga orang yang berhasil meraihnya pasti akan merasakan

puncak kesenangan atau kebahagiaan.1

Dalam hal ini, kebahagiaan dapat dirasakan oleh jasad dan dapat dirasakan oleh hati atau ruh, jika jasadnya bahagia maka seluruh tubuhnya akan merasakan kebahagiaan, begitupun hati apabila merasakan kebahagiaan maka bahagialah hatinya. kebahagiaan dapat dirasakan dengan melakukan pendekatan melalui mengenal diri untuk dapat mengenal Allah, sehingga

1 Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan : Kitab Kῐmiyᾶ´ al-Sa´ᾶdah, (Bandung:

(14)

manusia dapat merasakan nikmat dari kebesaran ciptaan tuhan yang dapat dirasakan melalui indrawi dan hati atau ruh.

Sedangkan menurut Aristoteles kebahagiaan, yaitu hidup yang terintegritas dan memuaskan, dapat diperoleh manusia di dunia jika manusia berupaya keras untuk mengusahakan. 2 Aristoteles juga berbicara tentang

kebahagiaan di luar dirinya yang dapat menyebabkan dirinya menjadi bahagia. Manusia tidak berkembang dengan memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri, melainkan dengan membuka diri tentang orang lain. Manusia tidak mencapai kebahagiaan dengan mau memiliki sesuatu, melainkan dengan

mengerahkan diri pada usaha bersama.3

Dalam hal ini, manusia dapat merasakan kebahagiaan dengan

menolong atau bermanfaat untuk orang lain atau lingkungannya. kebahagiaan tidak akan dirasakan ketika manusia hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Kebahagiaan bersifat relatif, artinya kebahagiaan tergantung kepada tujuan seseorang dalam hidupnya. Apabila tujuan dalam hidupnya adalah mengumpulkan harta, meraih kekuasaan dan kenikmatan yang lainnya dalam kehidupan dunia, maka itulah yang menjadi indikator kebahagiannya. Tetapi apabila tujuan dalam kehidupan ini untuk berpegang teguh pada tali keimanan, ketaqwaan, dan amalan saleh agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam

kehidupan, maka hal itu merupakan sumber kebahagiaan.4

Menurut Al-Ghazali tujuan hidup manusia yaitu tercapainya kebahagiaan. Sedangkan tujuan akhirnya ialah tercapainya kebahagiaan

2Ahmad Tirby, Konsep Kebahagiaan HAMKA: Solusi Alternatif Manusia Modern, (Padang :

IAIN-IB Press, 2006), h.32.

3 Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan (Plato, Aristoteles, Al-Ghazali, Al-Farabi),

(Yogyakarta : CV Budi Utama, 2017), h.32.

(15)

akhirat yang puncaknya yaitu dekat dengan Allah dengan cara bertemu dan melihat Allah yang di dalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan yang menyeluruh yang tidak pernah diketahui oleh manusia ketika di dunia. 5

Sedangkan menurut Aristoteles kebahagiaan sebagai tujuan akhiR

menyebutkan dua tujuan akhir yang salah yaitu uang dan nama tersohor.6

Era modern identik dengan sikap dan cara berpikir kearah yang rasionalitas, serta beraktivitas secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan zaman yang serba cepat. Pada era modern ini, teknologi berkembang dengan pesat dan mempengaruhi manusia dalam kehidupan, sehingga manusia tidak dapat jauh dari peran teknologi itu sendiri dalam kehidupannya.

Manusia membuat teknologi untuk mempermudah pekerjaannya, dari pekerjaan yang berat menjadi ringan, menyelesaikan masalah berbentuk data analisis secara akurat, dan mempercepat kinerja manusia dari yang awalnya membutuhan waktu lama sehingga kinerja manusia lebih efisien. Manusia mengembangkan teknologi sesuai dengan kebutuhan zaman untuk memperoleh kehidupan yang lebih berkemaju dan berperadaban. Disisi lain modernisasi memberikan dampak buruk bagi keseimbangan kehidupan, yaitu ketergantungan kepada suatu alat, perubahan sifat serta kebiasaan, dan mobilisasi masa.

Hakikatnya manusia di ciptaan Tuhan dapat memahami kelebihan dan kekurangan pada dirinya. Oleh sebab itu, manusia dengan kelebihannya

5 Al-Ghazali, Pengembangan Ilmu-Ilmu Agama: Ihya Ulumuddin Jilid 1, (Singapura :

Pustaka Nasional), h.53.

(16)

dituntut untuk menciptakan kehidupan yang seimbang dan serasi antara kebaikan dan keburukan di dunia. Ajaran-ajaran atau pandangan-pandangan terhadap suatu hal, entah itu baik atau buruk bagi manusia yang didasarkan pada suatu pemikiran kritis atau pun mendasar sehingga menimbulkan suatu pemahaman tetang kebaikan dan keburukan, hal ini sering disebut sebagai nilai-nilai dalam kehidupan (etika).7

Sedangkan etika menurut Imam al-Ghazali8 merupakan keadaan batin

yang menjadikan sumber lahirnya suatu perbuatan dimana perbuatan itu dilakukan secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Dalam pandangan filsafat, etika biasanya dimengerti sebagai refleksi tentang moral, etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus imperatif, kerena bisa juga hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang di anggap sebagai nilai relatif.

Modernisasi terjadi karena hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Modernisasi merupakan proses perubahan sistem kehidupan sosial masyarakat sederhana atau tradisional menuju arah modern atau kompleks. Perspektif modernisasi tidak terlepas dari pandangan masyarakat mengenai konsep tradisional dan modern. Negara-negara modern identik dengan negara-negara industri yang memiliki teknologi maju.

Kemudian negara berkembang sering digambarkan sebagai negara dengan budaya tradisional/sederhana.

7K. Bertens, Etika, (Jakarta : Gramedia, 1996), h.13.

8Abul Quasem, Etika Al-Ghazali : Etika Majemuk Di Dalam Islam, (Bandung : Pustaka,

(17)

Modernisasi juga dapat dikatakan sebagai perubahan sosial yang terencana. Dalam proses modernisasi, manusia menciptakan alat-alat dengan teknologi tinggi, dengan tujuan agar manusia mampu menghemat tenaga dan waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup.9 Kesadaran terhadap kebutuhan yang semakin banyak seperti kebutuhan primer, sekunder dan tersier juga terpengaruh akan modernisasi, yang tadinya dari kebutuhan tradisional menjadi kebutuhan modern. Pengaruh tersebut membuat masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang ketergantungan kepada alat atau mesin, sehingga cara-cara lama yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Pengaruh modernisasi sebagai berikut:

a. konsumerisme merupakan paham yang menjadikan seseorang atau

kelompok orang mengkonsumsi barang-barang hasil produksi secara berlebihan dan tidak sepantasnya secara sadar serta berkelanjutan, usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berlebihan dapat terjadinya konsumerisme.

b. hedonisme merupakan pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia, ketika keinginan mengejar kesenangan tersebut menjadi keharusan akan tercipta hedonisme.

c. materialisme merupakan pandangan hidup yang semata hanya mencari kekayaan/kebendaan yang merupakan satu-satunya tujuan

9Joan Hesto & Sri Muhammad, Perubahan Sosial, (Jakarta : PT. Cempaka Putih),

(18)

atau nilai tertinggi, materialisme juga menyampingkan nilai-nilai rohani atau imaterial.10

Modernisasi mendorong perubahan perilaku masyarakat dari keterbatasan kearah ketergantungan terhadap suatu alat, hal ini juga secara perlahan menggeser kebiasaan dan kepuasan masyarakat terhadap suatu keinginan yang akan dicapai. Semakin banyak keinginan manusia yang tercapai maka akan semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan yang dapat dirasakan oleh manusia.

Kebahagiaan masyarakat modern dengan beragam keinginan dan kebutuhhan mengakibatkan tidak ada batasan dalam mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan sendiri merupakan topik pembahasan yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan dari berbagai sudut pandang dan perspektif serta dari zaman ke zaman. Kebahagiaan merupakan pembahasan populer yang dibahas oleh beberapa tokoh filsuf dari barat, timur dan islam, salah satunya Al-Ghazali yang merupakan tokoh filsuf islam. Beliau merupakan orang pertama yang memproklamirkan kajian tentang etika.

Al-Ghazali adalah salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam. Gagasannya dibangun melalui perhubungan paradigma wahyu dengan tindakan moral, stressingnya bahwa bahwa kebahagiaan adalah pemberian dan anugerah tuhan. Aristoteles merupakan tokoh besar filsafat Yunani yang mengembangkan filsafat etika dan politik. Alasan lainnya mengapa dipilihnya pemikiran Imam Al-Ghazali dan Aristoteles sebagai objek penelitian ini karena karya-karya pemikiran

(19)

beliau banyak menjadi landasan referensi pemikiran atau karya para fisuf lainnya.

Dalam beberapa karyanya pengaji menekankan pemikiran Al-Ghazali dan Aristoteles secara khusus untuk dapat memilah dan memilih pemikiran kebahagiaan menuru Imam Al-Ghazali dan Aristoteles dari beberapa literatur dan karyanya untuk dapat dipahami, dipelajari dan diterapkan dengan baik dan benar untuk kebermanfaatan di masa sekarang ataupun masa yang akan datang, Sehingga pengaji mengangkat sebuah tema pada skripsi ini adalah “RELEVANSI KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI DAN ARISTOTELES DI ERA MODERN”

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, adapun yang menjadi masalah pokok yaitu:

1. Bagaimana konsep kebahagiaan menurut Al-Ghazali dan Aristoteles? 2. Bagaimana persamaan dan perbedaan kebahagiaan dalam pandangan

Al-Ghazalidan Aristoteles?

3. Bagaimana relevansi kebahagiaan menurut Al-Ghazali dan Aristoteles di eramodern ?

Adapun yang menjadi batasan masalah berdasarkan rumusan masalah diatasyaitu:

1. Pengertian kebahagiaan menurut Al-Ghazali dan Aristoteles 2. Konsep kebahagiaan menurut Al-Ghazali dan Aristoteles

(20)

3. Jalan memperoleh kebahagiaan menurut Al-Ghazali dan Aristoteles di eramodern

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam sebuah karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :

1. Ingin mengetahui makna kebahagiaan sebenarnya yang sesuai dengan teori Imam Al-Ghazali dan Aristoteles.

2. Ingin mengetahui sebuah konsep Al-Ghazali dan Aristoteles tentang jalan untuk mencapai kebahagiaan yang diinginkan oleh setiap manusia.

3. Ingin mengetahui suatu kebahagiaan manusia dan juga persamaan serta perbedaan kebahagiaan tersebut, dalam pandangan Al-Ghazali dan Aristoteles

4. Dapat menjadi referensi bagi karya ilmiah yang lain, khususnya terkait konsep kebahagiaan Imam Al-Ghozali dan Aristoteles.

5. Selain itu juga, tulisan ini guna melengkapi persyaratan mencapai gelar sarjana strata satu (S1) dalam Fakultas Ushuluddin, pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembaca. Dan juga untuk memperjelas dan mempermudah pengetahuan isi dalam suatu pembahasan yang secara garis besar dilandasi dengan manfaat-manfaat sebagai berikut :

(21)

1. Untuk mengetahui pengertian dan pemahaman kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali dan Aristoteles.

2. Untuk dapat ditelaah nilai yang terkandung dalam pemikiran kebahagiaan Imam Al-Ghazali dan Aristoteles sesuai dengan kehidupan sehari-hari.

3. Untuk mengetahu persamaan dan perbedaan kebahagiaan dalam pandangan Al- Ghazali dan Aristoteles.

4. Dapat menjadi pedoman bertingkahlaku dalam masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Adapun sumber-sumber yang digunakan penguji untuk penyusunan skripsi ini adalah dengan melalui library reseach atau literasi dan pendalaman pemikiran Imam Al-Ghazali. Dan juga dengan melihat penelitian sebelumnya, adapun hal-hal tersebut sebagai berikut

Ahmad Qusyairi, Konsep Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali (Skripsi : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015) skripsi ini membahas tentang konsep kebahagiaan menurut pemikiran Al-Ghazali. Dalam skripsinya menjelaskan tentang persoalan untuk mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan menurut pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Kimiya al-Sa’adah. Tujuan dalam skripsi ini adalah untuk memahami tentang pemikiran Al-Ghazali memaknai dan menjelaskan tentang bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, sebagai sarana untuk mengumpulkan beberapa karya al-Ghozali tentang cara mendapatkan kebahagiaan.

(22)

Endrika Widdia Putri, Kebahagiaan Perspektif Al-Farabi (Skripsi : UIN Imam Bonjol Padang, 2018) skripsi ini membahas tentang konsep kebahagiaan yang mengalami dinamika perkembangan konsep. Mulai dari filosofi Yunani yaitu Socrates, Plato, Aristoteles, juga filosof muslim seperti al-Kindi dan al-Farabi. Al- Farabi salah seorang filsuf muslim yang membahas konsep kebahagiaan, meskipun al-Farabi bukanlah orang yang pertama dalam membahas konsep kebahagiaan, dan memiliki konsep tersendiri dalam menjelaskan kebahagiaan dan berbeda dengan filosof-filosof sebelumnya.

Dalam skripsi ini disimpulkan bahwa kebahagiaan menurut al- Farabi adalah kebaikan yang diinginkan untuk kebaikan itu sendiri. Sedangkan jalan memperoleh kebahagiaan menurut al-Farabi ada empat keutamaan. Martin Aulia, Relavansi Pemikiran Al-Ghazali Terhadap Pendidikan Karakter (Akhlak) di Era Sekarang (Globalisasi) (Skripsi: UIN Raden Intan Lampung) skripsi ini membahas tentang adanya dekadensi moral atau adanya penurunan nilai-nilai akhlak yang akhir-akhir ini terjadi pada sebagian besar dari orang- orang baik di kalangan remaja, dewasa bahkan orang tua termasuk dikalangan para pelajar baik yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan berdasarkan pemikiran al- Ghozali.

Dalam skripsi ini disimpulkan bahwa karakteristik pemikiran al- Ghazali menekankan pada pengajaran keteladanan dan kognitif. Selain itu, beliau juga memakai pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dijalankan. Imam al-Ghazali dalam konsep pendidikan akhlak, beliau mengelaborasi behavioristik dengan pendekatan

(23)

humanistik yang mengatakan bahwa peran pengajar harus melihat anak didik sebagai manusia secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Pemikiran al-Ghazali tentang akhlak untuk memperbaiki moral sampai saat ini tetap relevan terbukti dengan banyaknya pendidik yang masih menggunakan konsep al- Ghozali.

Mohammad Darwis Al Mundzir, Makna Kebahagiaan Menurut

Aristoteles, Studi Atas Etika Nikomachea (Skripsi : IAIN Tulungagung, 2015)

skripsi ini membahas tentang pemikiran kebahagiaan menurut pandangan Aristoteles, menurutnya etika mengajarkan hidup bermutu, hidup yang memiliki tujuan hidup, tujuan yang dimaksudnya adalah untuk mencapai kebahagiaan. Dari skripsi ini disimpulkan bahwa kebahagiaan yang dimaksudkan Aristoteles adalah dimana seseorang telah mencapai nikmat (prestasi), bisa juga dikatakan seseorang itu berprestasi, menerima sesuatu dengan mengembangkan dirinya, sehingga membuat nyata pada dirinya sendiri.

Rahmadon, Kebahagiaan Dalam Pandangan Thomas Aquinas dan

Hamka (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018) skripsi ini membahas

tentang kebahagiaan menurut pandangan Thomas Aquinas dan Hamka, keduanya membahas kebahagiaan menurut versi masing-masing dan menelaah kebahagian menurut kedua tokoh tersebut. Sehingga dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan memiliki orientasi pandangan Thomas Aquinas dan Hamka bahwa kebahagiaan memandang sang illahi sebagai kebahagiaan yang hakiki, dan juga tentu dalam hal kebahagiaan antara keduanya pun mengandung konteks yang berbeda dalam hal

(24)

kebahagiaan manusia. Karena dari kedua memiliki perbedaan dalam segi agama, periode kihidupan dan sisi keilmuannya.

E. Metodologi Penelitian

Secara umum metode penelitian didefinisikan sebagai suatu kegiatan ilmiah yang terencana, terstruktur, sistematis dan memiliki tujuan tertentu baik praktis maupun teoritis.11 Adapun metode yang penulis lakukan

adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan (Library Research) adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti.

2. Data Primer

Pengumpulan data-data penulisan menggunakan teknik Library reseach (Studi Kepustakaan) didalam penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan data-data terkait permasalahan yang akan dibahas didalam skripsi ini melalui berbagai literatur yang langsung dikumpulkan peneliti dari sumber pertama atau data pokok, data primer yang penulis gunakan adalah buku Etika Al- Ghazali,Kῐmiyᾶ’ al-Sa´ᾶdah Imam al-Ghazali, IḪYA ´ULUMIDDIN Jilid 3, Tahafut al-Falasifah Imam al-Ghazali.

3. Data Sekunder

11 Conny R. Semiawan, Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta :

(25)

Metode penulisan skripsi ini menggunakan sumber data yang didapatkan oleh penulis adalah dengan mengambil dari sumber riset kepustakaan. Artinya, semua sumber data dalam penulisan karya ilmiah ini dapat dari buku-buku kepustakaan, jurnal, beberapa artikel mengenai tema yang bersangkutan dan data pendukung yang digunakan untuk menguatkan data primer, sehingga kebuTuhan dan informasi terpenuhi.

4. Analisis Data

Menganalisis data penguji menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara mengemukakan atau menggambarkan sebuah pemikiran yang telah ada atau menjelaskan bagaimana adanya dari seebuah pemikiran yang telah ada atau menjelaskan bagaimana adanya dari sebuah pemikiran tersebut.

Disamping metode diatas penguji juga menggunakan induksi dan juga deduksi, induksi yaitu mengandung pengertian mengambil data-data yang bersifat khusus kemudian dianalisis dengan maksud mendapatkan kesimpulan secara umum. Sedangkan pengertian deduksi yaitu mengambil data-data yang bersifat umum kemudian dianalisis dengan maksud untuk mendapatkan suatu kesimpulan secara khusus.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan, penulisan mengacu kepada pedoman Akademik Progaram Strata 1 2013/2014 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan menggunakan pedoman translitasi

(26)

Romanisa standar Bahasa Arab (Romanizations of Arabic) yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 dari American Library Assosiation (ALA) dan Library (LC).

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini, penulis menggunakan pedoman penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi dengan merujuk pada buku pedoman Akademik yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014, dalam memudahkan penulisan Skripsi ini, maka penulis menyusun sistematiknya ke dalam lima bab dengan sebuah perincian sebagai berikut:

Bab I : Pada bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari, pertama, latar belakang masalah. kedua, permasalahan penelitian yang didalamnya memaparkan rumusan dan batasan masalah. Ketiga, tujuan penelitian. Keempat, manfaat penelitian. Kelima, tinjauan pustaka. Keenam, menjelaskan tentang metodologi penelitian, metode penelitian menjelaskan secara keseluruhan tentang bagaimana dan memalui apakah penelitian akan dilakukan. Ketujuh, menjelaskan tentang teknik pengumpulan data. Dan yang terakhir, kedelapan, menjelaskan tentang sistematika penulisan.

Bab II : Pada bab ini merupakan kajian teori tentang kebahagiaan. Yang berisi tentang pengertian kebahagiaan secara umum dan pandangan kebahagiaan dalam perspektif islam dan kebahagiaan dalam perspektif barat. Serta problem kebahagiaan di era modern seperti problem hedonisme dan problem Materialisme.

(27)

Bab III : Pada bab ini berisikan tentang pemikiran kebahagiaan Al- Ghazali, mulai dari biografi yang meliputi riwayat hidup, latar belakang intelektual dan karya- karya Al-Ghazali, kemudian tentang hakikat kebahagiaan menurut Al-Ghazali serta konsep kebahagiaan Al-Ghazali.

(28)

16 BAB II KEBAHAGIAAN A. Pengertian Kebahagiaan

Bahagia secara umum diartikan sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Sedangkan kebahagiaan yaitu kesenangan dan ketentraman hidup (lahir dan batin), keberuntungan, kemajuan yang bersifat lahir dan batin. Menurut beberapa literatur, bahagia merupakan sa’adah artinya “keberuntungan” atau “kebahagiaan” dalam bahasa arab, bahasa Yunani kebahagiaan yaitu eudaemonia, sedangkan dalam bahasa Inggris kebahagiaan yaitu happines, bahasa Latin yaitu Felicitas, bahasa Jerman yaitu Gluck, dan bahasa Cina yaitu Xing Fu yang memiliki arti yang sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah suatu hal yang dapat di rasakan atau keadaan tentram lahir dan batin tanpa ada perasaan gelisah sedikitpun.1

Kebahagiaan dalam bahasa Yunani di kenal dengan istilah eudaimonia yang memiliki arti kebahagiaan. Terdapat dua suku kata yaitu “en” yang artinya baik atau bagus dan kata “daimon” yang artinya roh, dewa, kekuasaan batin. Secara harfiyah eudaimonia berarti memiliki roh penjaga yang baik. Atau arti eudaimonia berarti kesempatan atau mempunyai daimon (jiwa) yang baik. Eudaimonisme adalah pandangan hidup yang menganggap kebahagiaan sebagai tujuan segala tindakan-tindakan manusia. Kebahagiaan yang dimaksud bukan hanya terbatas kepada perasaan subjektif seperti senang atau gembira sebagai aspek emosional, melainkan lebih mendalam dan

(29)

objektif menyangkut pengembangan seluruh aspek kemanusiaan suatu individu (aspek moral, sosial, emosional, rohani).2

Menurut Lazarus (dalam Franken, 2002) kebahagiaan yaitu cara membuat langkah-langkah progres yang masuk akal untuk merealisasikan suatu tujuan. Manusia dituntut untuk lebih proaktif dalam mencari dan memperoleh kebahagiaan. Menempatkan kebahagiaan yang selama ini dipandang sebagai aspek afektif belaka untuk masuk dan berada dalam ruang logika dan kognitif manusia sehingga dapat direalisasikan dengan langkah yang jelas. Kebahagiaan mewakili suatu bentuk interaksi antara manusia dengan lingkungan, hal ini sekaligus memberikan kenyataan lain bahwa kebahagiaan tidak bersifat egois melainkan dapat dibagi kepada orang lain dan lingkungan sekitar. Walaupun manusia bisa saja bahagia sendirim tetapi disisi lain ia dapat bahagia karena orang lain dan untuk orang lingkungan sekitar.3

B. Kebahagiaan dalam Filsafat Islam

Kebahagiaan menurut Al-Farabi yaitu sebagai kenikmatan yang sekarang sering disebut dengan kesejahteraan. Kebahagiaan semacam ini sama dengan enak atau lezat, hal ini bukan merupakan kebahagiaan yang sejati tetapi merupakan level awal. Mencari kenikmatan, lezat dan enak adalah suatu hal yang wajar sebagai manusia, tetapi jangan sampai manusia tertipu di level ini karena sifatnya yang temporer dan sering berubah-ubah, sedangkan nikmat kebahagiaan sejati sifatnya abadi. Dalam hal ini kebahagiaan merupakan tujuan hidup manusia maka apapun yang dilakukan

2 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), h.33. 3 R.E Franken, Human Motivation, (Belmont : Wadsworth. 2002), h.20.

(30)

manusia selalu mengarah untuk meraih kebahagiaan baik disadari maupun tidak disadari. Manusia menjadi tekun, rajin dan bersungguh-sungguh itu

karena idealnya manusia ingin menciptakan kebahagiaan.4

Kebahagiaan menurut Al kindi yaitu dapat ditempuh dengan jalan berpikir rasional, berfikir rasional yaitu suatu usaha dalam rangka meneladani perbuatan-perrbuatan tuhan. Dengan ilmu pengetahuan manusia akan mampu menetapkan kemana ia akan menyandarkan kebahagiaannya. Dengan berpikir rasionalitas manusia dapat membedakan mana tindakan baik dan tindakan tidak baik sehingga ia memiliki pengetahuan sebagai panduan dalam bertindak. Kebahagiaan yang diperoleh dari proses berpikir menempati tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebahagiaan yang dicapai melalui perbuatan jasmani. Kebahagiaan yang dicapai dari pola pikir yang mendalam dan hal-hal yang bersifat univesal merupakan kebahagiaan tertinggi dan hanya bisa dicapai oleh orang-orang tertentu dan khusus.5

Kebahagiaan menurut Ibnu Maskwaih yaitu mempunyai dua tingkatan, pertama manusia yang tertarik dengan hal-hal yang bersifat benar dan mendapatkan kebahagiaan. Kemudian merasakan rasa rindu dengan kebahagiaan jiwa, kemudian berusaha untuk memperolehnya. Kedua, manusia yang memisahkan dirinya dari kenikmatan benda agar memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak diingkarinya, tetapi dipandang sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Ibnu Maskawaih mengungkapkan bahwa kebahagiaan bersifat benda mengandung makna

4 Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan (Plato, Aristoteles, Al-Ghazali, Al-Farabi), h.62. 5 Isfaroh, Konsep Kebahagiaan Al-Kindi, (Yogyakarta : Indonesia Journal of Islamic

(31)

kepedihan dan penyesalan serta menghambat pertumbuhan jiwa untuk menuju kehadirat sang maha agung. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang paling sempurna dan mampu mengantarkan manusia untuk memiliki derajat yang paling tinggi (malaikat).6

C. Kebahagiaan dalam Filsafat Barat

Menurut Plato kebahagiaan merupakan gerak jiwa untuk meraih kebahagiaan dan keutamaannya harus mengarah kepada sesuatu di luar diri manusia yabg bisa kita sebut sebagai Tuhan. Artinya, Plato mempercayai hal- hal transender di luar dirinya yang bisa menjadi sumber kebahagiaan dan keutamaan manusia. Kebahagiaan dan keutamaan takkan bisa diraih bila gerak jiwa tidak mengarah kepada yang transenden. Gerak jiwa yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi atau fisik hanya memasung jiwa dalam kegelisahan dan kehampaan semata.

Oleh karenanya, manusia hanya tertipu oleh bayangan saja yang hakikatnya berada di dunia ide. Semakin gerak jiwa manusia mengarah kepada yang bersifat transenden maka semakin manusia akan merasakan ketenangan jiwa dan kebahagiaannya, sedangkan semakin gerak jiwa mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi maka manusia akan semakin menjauhi sember ketenangan dan kebahagiaan. Perlulah terlebih dahulu manusia itu menjadi manusia yang baik, manusia penuh kasih sayang yang cinta akan kebijaksanaan dan manusia yang cenderung mengarah kepada

keadilan, keharmonisan, ketentraman, dan kebaikan. Untuk mencapai

(32)

kebaikan, haruslah memiliki dorongan-dorongan akan kebaikan yang bersifat rasional, bukanlah dorongan yang bersifat ego.7

Menurut Thomas Aquinas kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi, yang mana dicapai dengan melakukan apa yang seharusnya dilakukandalam hidup. Karena itu, hidup ini seperti suatu medan kesempatan untuk diisi dengan karakter dan tindakan yang baik untuk mencapai tujuan tertinggi. Berangkat dari tujuan akhir manusia yang pencapaiannya membuat hidup menjadi bermutu atau sempurna. St. Thomas mengajukan Allah dan kesatuan dengan memandangan-Nya sebagai tujuan akhir manusia, yang mana ini dituju dan disasar oleh akal budi praktis. Dalam hal ini, kebahagiaan sejati yaitu kebijakan yang membuat mungkin manusia untuk memperdalam persahabatan

dengan Allah Bapa yang penuh cinta, sebagai tujuan akhir manusia.8

Tidak terletak pada barang-barang ataupun makanan, pakaian ataupun sebagainya, hal itu termasuk kedalam kebahagiaan yang tidak sempurna, seperti yang dapat dimiliki dalam kehidupan ini, barang-barang eksterior diperlukan, bukan sebagai esensi dari kebahagiaan, tetapi sebagai alat untuk bahagia. Bahwa kebahagiaan yang hakiki itu tidak hanya didasarkan pada sesuatu yang dirasakan tubuh, karena itu belum cukup. Dengan kata lain, kebahagiaan yang di alam dan yang dirasakan berkat tubuh yang diputuskan oleh kehendak dan rasio yaitu masih bersifat terbatas dan belum mendatangkan kebahagiaan yang sebenarnya.

7 Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan (Plato, Aristoteles, Al-Ghazali, Al-Farabi), h.3

8 Rohmadon, Kebahagiaan Dalam Pandangan Thomas Aquinas dan Hamka, (Jakarta : UIN

(33)

D. Problem Kebahagiaan Masyarakat Modern

Modernisasi berdampak kepada perubahan nilai, sikap dan kepribadian, perubahan mengarah kepada terwujudnya “manusia modern”. Menurut Joseph Kahl (dalam Lauer, 1993) manusia modern adalah orang yang aktif, ia berupaya membentuk kehidupannya meskipun secara pasif dan memberikan tanggapan terhadap takdirnya (tidak pasrah). Ia seorang yang individualis yang tidak menggabungkan karir pekerjaan dengan hubungan persaudaraan atau pertemanan. Ia yakin bahwa karir yang terpisah dari hubungan persaudaraan atau pertemanan ini tidak hanya diperlukan tetapi mungkin karena ia membayangkan baik peluang hidup maupun komunitas lokal hampir tidak ditentukan oleh status yang diperoleh karena keturunan. Ia lebih menyukai kehidupan kota dari pada desa, dan ia mengikuti berita media masa.9

1. Problem Hedonisme

Kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani (hedone, nikmat, kegembiraan). Hedonisme bertolak dari anggapan bahwa manusia hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat semakin bahagia. Yang khas bagi hedonisme adalah anggapan bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari perasaan-perasaan

9 Sanggar Kanto, Perspektif Modernisasi Dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritik dan

(34)

menyenangkan sebanyak mungkin dan sedapat-dapatnya

menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak.10

Dengan kata lain segala apa yang dilakukan manusia hanyalah demi mencapai kenikmatan saja (untuk menhindari perasaan yang menyakitkan), karena manusia selalu tertarik oleh perasaan nikmat, dan secara otomatis condong untuk menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak atau tidak dapat disangkal. Manusia adalah makhluk dengan banyak nilai, jadi kebahagiaan tentu tidak tercapai kalau hanya menari salah satu saja, apalagi nilai tersebut bersifat indrawi dan terbatas.11

Problem Hedonisme dalam kehidupan yang sudah tercampur dengan gaya hidup manusia untuk mendapatkan perhatian orang lain menunjukkan bahwa akan selalu ada baik di masa lalu maupun masa yang akan datang. Hedonisme adalah aliran dalam filsafat yang mengajar bahwa sebagai aturan paling dasar hidup kita hendaknya menghindari dari rasa sakit dan mengusahakan rasa nikmat. Pertimbangan dasar hedonisme adalah bahwa menghindar dari rasa sakit dan mengejar perasaan merupakan tujuan pada dirinya sendiri.

Menurut Aristoteles, hedonisme menerapkan cara hewani kepada manusia, jadi hedonisme tidak membedakan manusia dengan binatang, dan itu tentu tidak masuk akal dan sebenarnya

10 Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar & Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,

(Yogyakarta : Forum, 2015), h.114.

(35)

memalukan. Binatang memang melakukan apapun semata-mata demi mencapai nikmat (misalnya makanan dan seksualitas) atau

untuk menghindar dari perasaan-perasaan yang menyakitkan. 12

Menurut kaum hedonism, yang diajarkan oleh Aristippus memaknai kebahagiaan sebagai tujuan akhir dan universal dari segala perbuatan manusia. Kebahagiaan dapat dicapai dengan menghadirkan perasaan senang dan menghindari penderitaan, karena itu kesenangan menjadi tujuan manusia.13

2. Problem Materialisme

Materialisme adalah paham filsafat yang menyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik.14 Istilah materialisme dapat diberi definisi dengan beberapa cara, di ataranya, pertama, materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan kesadaran (conciousness) termasuk di dalamnya segala proses pisikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik.

Kedua, bahwa dokrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains condong untuk menyajikan bentuk

materialisme yang lebih tradisional. Pada akhir-akhir ini, dokrin tersebut dijelaskan sebagai energisme yang mengembalikan segala

h. 47-52.

12 Suseno, h.13.

13 Jalaluddin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, (Bandung : Simbiosa Rekamata Media, 2006), 14 Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), h.334.

(36)

sesuatu kepada bentuk energi, atau sebagai suatu bentuk dari positivisme yang memberi tekanan untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang tinggi, baca:Allah).15

Materialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) itu merupakan kesatuan material yang tak terbatas; alam, termasuk di dalamnya segala materi dan energi(gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan bahwa alam (world) adalah realitas yang keras, dapat disentuh, materiel, objektif yang dapat diketahui oleh manusia. Materialisme modern mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa (self), dan dunia material adalah yang perpertama, sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua.

Problem mencari makanan, pakaian dan tempat tinggal adalah problem yang akan selalu ada. Seorang materialis terkesan oleh oleh stabilitas dan permanensi benda fisik dan perlunya kehidupan manusia. Dengan sangat mudah orang percaya bahwa benda-benda materil adalah satu-satunya yang menentukan dan bahwa yang dinamakan benda-benda non materil bersandar kepada benda fisik.16

15 Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, h.142. 16 Praja, h.143.

(37)

25 BAB III

PEMIKIRAN KEBAHAGIAAN AL-GHAZALI A. Biografi Imam Al-Ghazali

Salah satu kelebihan Al-Ghozali adalah beliau memiliki daya ingat yang kuat dan luar biasa. Beliau mendapatkan gelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Beliau sangat mencintai ilmu pengetahuan, hampir semua ilmu pengetahuan telah dipelajarinya hingga beliau tidak menemukan keputusan akan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dan akhirnya berlabuh kedunia tasawuf hingga akhirnya mendapatkan ketenangan. Disaat beliau telah mencapai karir yang gemilang, beliau sanggup meningkatkan segala kemewahan hidup yang telah diraihnya untuk mengembara mencari ilmu sekaligus melepaskan ikatan dengan hal-hal kematerian yang membuat

dirinya jauh dengan tuhannya sampai dekat dengan Tuhannya.28

1. Riwayat Hidup Al-Ghazali

Muhammad bin muhammad bin muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam merupakan nama lengkapnya. Lahir di Thusia dekat Masyhud, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 H / 1058 M. ayahnya bekerja sebagai pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu. Ayahnya sangat rajin mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Sebelum meninggal ayah Al-Ghazali

(38)

meninggalkan pesan pada seorang temannya yang ahli tasawuf, supa ya mengasuh dan mendidik Al-Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya kehidupan Al-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawuf itu.29

Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani di Thusia. Kemudian pergi ke negeri Jurjan untuk belajar beberapa ilmu kepada Imam Abi Nasar Al-Ismaili (1015-1085 M). Negara Nisapur merupakan negara tujuan berikutnya, disana Al-Ghazali belajar pada Imam Al- Haramain untuk belajar ilmu mantik (logika), falsafah dan fiqih madzhab Syafi’i, di sinilah mulai kelihatan tanda-tanda kecerdasan dan ketajaman otaknya serta dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan, sampai ia mendapatkan julukan “Al-Ghazali itu lautan tak bertepi…” dari gurunya.

Setelah Imam Al-Haramain wafat Al-Ghazali kemudian

berangkat ke Al-Askar untuk mengunjungi Menteri Nizamul-

muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan

kehormatan sebagai seorang ulama besar. Disana Al-Ghazali dipertemukan dengan ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan, semuanya mengakui akan ketinggian dan

keahlian Al-Ghazali. Pada tahun 484 H Al-Ghazali dilantik sebagai guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah oleh Nizamul-muluk di kota Bagdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar

29 Dr. Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Konteporer, (Yogyakarta ; Ar-Ruzz

(39)

mendapat perhatian dari para pelajar, mayarakat dan sampai datang kepadanya suatu masa Al-Ghazali menjauhkan diri dari masyarkat ramai.

Pada tahun 488 H Al-Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan Haji, setelah itu ia pergi ke negara Syam (Siria), untuk mengunjungi Baitul-makdis, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap di masjid Al-Umawi. Pada masa itu Al- Ghazali mengarang kitab “IHYA”. Keadaan hidup dan kehidupannya pada saat itu sangat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid- masjid serta desa dan selalu melatih dirnya untuk memperbanyak ibadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap perjalanannya.

Al-Ghazali kembali ke Bagdad untuk mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya “Ihya”, setelah itu Al-Ghazali pergi ke Nisapur dan mengajar disana. Akhirnya, Al-Ghazali kembali ke kampung asalnya Thusia lalu mendirikan sebuah madrasah untuk ulama-ulama fiqih dan pondok untuk kaum shufi (ahli tasawuf) yang didirikan di samping rumahnya. Dalam satu harinya Al-Ghazali membagi waktunya antara membaca Al-Qur’an, mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, mengajar, dan lain-lain. Cara hidup yang demikian diteruskan sampai akhir hayatnya, pada hari senin tanggal 14 Jumadil-akhir tahun 505 H / 1111 M di Thusia ia wafat. Jenazahnya dikebumikan

(40)

di makam Ath-Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdaus, seorang ahli sya’ir yang termashur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yaitu: “kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan”.

2. Latar Belakang Intelektualitasnya

Pendidikan awalnya di Thus, lalu di Jurjan, dalam bidang hukum (fiqh) di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Ismaili (1015- 1085M). Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Nisabur untuk mendalami fiqh dan teologi Al-Juwaini (1028-1085M) yang kemudian menjadi asisten gurunya sampai sang guru wafat. Al-Juwaini adalah tokoh yang berperan penting dalam memfilsafatkan teologi Asy’ariyah.

Menurut Tajuddin Al- Subki (w.1379M), ia mengenalkan Al- Ghazali pada filsafat termasuk logika dan filsafat alam lewat disiplin teologi. Selain mendalami fiqih dan teologi, di Nisabur Al- Ghazali juga belajar dan melakukan praktik tasawuf dibimbing Abu Ali Al- Farmadzi (w.1084M), tokoh sufi asal Thus, murid Al- Qusyairi (986-1072M).

Hanya saja, menurut Osman bakar, pada saat pertama ini, Al- Ghazali tidak berhasil mencapai tingkat di mana sang sufi menerima inspirasi dari alam ‘atas’. Ia juga mempelajari doktrin-

(41)

doktrin Ta’limiyah hingga Al-Mustadzhir menjadi khalifah (1094- 1118M).30

Pada 1091M, Al-Ghazali diundang oleh Nidham Al-Mulk (1063-1092M), wazir dari Sultan Malik Syah I (1072-1092M) untuk menjadi guru besar di Nidhamiyah, Baghdad. Undangan dan penghormatan yang diberikan pihak penguasa kepada Al-Ghazali ini, menurut Osman Bakar, disebabkan penguasa dari kalangan Bani Saljuk (1037-1194M) tersebut secara kebetulan sama-sama bermazhab Syafi’i (767-820M) dalam fiqh dan Asy’ari (874-936M) dalam teologi, di samping adanya tujuan-tujuan politik dari pihak penguasa, demi mengukuhkan kedudukannya.

Namun, lepas dari itu semua, selama di Baghdad ini Al- Ghazali berhasil menuntaskan kajiannya tentang teologi, filsafat, ta’limiyah, dan tasawuf. Masa-masa di Baghdad merupakan periode penulisan paling produktif. Akan tetapi, disisi lain perkenalannya dengan empat aliran ini ternyata justru menyebabkan Al-Ghazali mengalami krisis epistemologis yang kemudian memaksanya mengundurkan diri dari jabatannya, lalu mengasingkan diri dan melakukan pengembaraan selama 10 tahun, dimulai ke Damaskus, Yerussalem, Makkah, kembali ke Damaskus, dan terakhir ke Baghdad.

Setelah lama dalam pengasingan spiritual, setelah

menyakinkan dirinya bahwa “kaum sufilah orang yang menempuh

(42)

jalan kepada Tuhan secara benar dan langsung’, dan setelah merasa mencapai tingkat tertinggi dalam realitas spiritual, Al-Ghazali mulai merenungkan dekadensi moral dan religius pada komunitas kaum Muslimin saat itu, bersama dengan itu, Fakhr Al-Mulk, penguasa Khurasan (1095-1113M), memintanya mengajar di Nisabur, tahun 1105. Namun, di Nisabur ini Al-Ghazali tidak lama, hanya sekitar 5 tahun, karena pada tahun 1110M ia kembali ke Thus.

3. Karya-Karya Al-Ghazali

Al-Ghazali meninggalkan beberapa karya yang tidak dapat dilupakan oleh ummat muslimin khususnya dan bagi dunia pada umumnya menurut penelitiannya Saiful Anwar, setidaknya ada 72 karya tulis yang di wariskan Al-Ghazali, kitab yang dianggap

monumental diantaranya:31

1) Kitab Ihya Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu religius) terdir dari empat jilid besar, sebuah kitab yang ditulis untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan esoterik islam.

2) Tahafutul-falasifah (kerancuan para filsafat) 3) Mi’yar al-ilm (standar pengetahuan)

4) Mihak al-Nadzar fi al-Manthiq (Batu Uji Pemikiran Logis) Sedangkan karya Al-Ghazali dalam bidang teologi, antara lain:

1) Qawaid al-Aqa’id (prinsip-prinsip keimanan) 2) Al-Iqtisha fi al-tiqad (muara kepercayaan)

(43)

Karya Al- Ghazali dalam bidang ushul fiqh, yaitu:

1) Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul (Intisari ilmu

tentang pokok-pokok Yurisprudensial)

2) Al-Mankhul min Ilm al-Ushul (Ikhtisar Ilmu tentang prinsip-prinsip)

Karya Al-Ghazali dalam bidang tasawuf, antara lain: 1) Al-Kimia al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) 2) Misyukat al-Anwar (ceruk cahaya-cahaya) Karya Al-Ghazali dalam kebatinan, antara lain:

1) Qisthas al-Mustaqim (neraca yang lurus) 2) Al-Mustadzir

B. Hakikat Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali

Esensi kebahagiaan dibagi menjadi dua yaitu kebahagiaan (rubu’) yang dapat dirasakan melalui anggota badan dan kebaikan (rubu’) yang dapat dirasakan melalui hati atau jiwa. Jika kebahagiaan dirasakan atau didapatkanpa oleh anggota badan maka bahagialah anggota badannya, dan apabila kebagiaan dirasakan atau didapatkan oleh hati maka mati atau jiwanya bahagia. seperti halnya alat indra telinga ingin mendengarkar suara yang yang bagus atau merdu, mata ingin melihat sesuatu yang indah dan lidah ingin merasakan sesuatu yang lezat atau enak. Kolaborasi anatara intuisi indrawi dengan hati atau jiwa akan menghasilkan suatu kebahagiaan tersendiri kepada

manusia. Kebahagiaan menurut Imam al-Ghazali.32

32 Al-Ghazali, Kῐmiyᾶ´ al-Sᾶ´dah, terj. Kimia Ruhani Kebahagiaan Abadi, (Jakarta :

(44)

“Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu” artinya siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal tuhannya. Kebahagiaan timbul dari pengetahuan mengenai fisik atau wujud luar dirinya sendiri, dan wujud dalam

atau rasa yang disebut hati atau ruh. Seorang manusia dengan

pengetahuannya bisa mengetahui segala sesuatu di dunia (kebesaran tuhan), maka tentu saja hati ini akan merasa teramat bahagia saat mengetahui tak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dari Allah. Pengetahuan tentang Allah merupakan satu-satunya sebjek pengetahuan tertinggi sehingga orang yang berhasil meraihnya pasti akan merasakan puncak kesenangan atau kebahagiaan.33

Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan itu dapat diraih dengan simpel sebab manusia telah memiliki fasilitas yang diberikan oleh Allah untuk mencapainya. Kebahagiaan tersebut terbungkus oleh kenikmatan yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat. Tetapi harus dibedakan terlebih dahulu kenikmatan yang dapat bergerak mendekatkan diri kepada kebahagiaan dan kenikmatan yang dapat menjauhkan diri dari kebahagiaan. Adapun lima macam kenikmatan yang dapat bergerak ke arah untuk mencapai kebahagiaan menurut urutannya sebagai berikut:34

Pertama, nikmat kebahagiaan akhirat (Ukhrawiyah), yaitu suatu kebahagiaan yang bersifat kekal atau abadi. Kenikmatan yang terkandung dalam nikmat kebahagiaan akhirat merupakan puncak dari segala kenikmatan yang menjadi muara akhir dari segala kenikmatan. Kedua, nikmat

33 Al-Ghazali, Kῐmiyᾶ´ al-Sᾶ´dah, terj. Kimia Ruhani Kebahagiaan Abadi, h.23.

(45)

kebahagiaan jiwa (Nafsiyah), yaitu suatu kebahagiaan yang dapat di rasakan oleh jiwa. Untuk bisa merasakan nikmat kebahagiaan jiwa ada empat cara yang dapat ditempuh dalam meraihnya, antara lain akal yang disempurnakan dengan ilmu, pemeliharaan diri yang disempurnakan oleh wara’ dengan menjauhi yang haram, syubhat dan maksiaat, keberanian yang disempurnakan dengan kesungguhan, keadilan yang dilaksanakan dengan rasa kesadaran.

Ketiga, nikmat keutamaan badan (Badaniyah) yaitu nikmat kesehatan, kekuatan badan, keelokan dan panjang umur. Keempat, kenikmatan eksternal (Kharijah), yaitu nikmat yang disebabkan oleh faktor- faktor diluar diri manusia seperti harta, keluarga, keilmuaan, kehormatan keluarga dan lain- lain. Keliima, nikmat keuntamaan taufik (Tawfiqiyyah) yaitu kenikmatan yang menunjukkan bahwa seseorang merasa disayang oleh Allah dan merasa diberi sesuatu yang banyak oleh Allah.

Kebahagiaan yang dirasakan oleh seseorang dapat berbeda dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain. Kenikmatan yang dirasakan bila tidak cermat dalam memilih dan menikmatinya bisa membawa kepada kehancuran diri, dimana seharusnya suatu kenikmatan dapat mengantarkan seseorang menuju kebahagiaan sejati. Menurut Al-Ghazali, rupa-rupa kebahagiaan dapat dibagi kedalam beberapa kategori, yaitu:35

Kebahagian itu berbeda-beda bagi setiap makhluk hidup. Ada yang merasa bahagia bila terpenuhi urusan makanan, minuman dan segala kebutuhan biologisnya, maka ini adalah kebahagiaan kelompok binatang ternak (baha’im). Ada yang merasa bahagia bila berhasil melakukan

(46)

penyerangan, bisa mengalahkan dan bahkan membunuh lawan, ini adalah kebahagian kelompok binatang liar (siba’). Ada yang bahagia dengan melakukan tipu daya dan muslihat, ini adalah kebahagiaan syaitan.

Sementara kebahagiaan bagi para malaikat adalah kebahagiaan bisa taat kepada tuhan sepenuhnya, tanpa bisa membangkang, tidak memiliki syahwat dan tidak perrnah marah. Maka bukan berarti manusia harus seperti malaikat karena walau bagaimanapun kodrat manusia dan malaikat sangatlah berbeda.

Bagaimanpun kodrat manusia dan malaikat sangat berbeda, disisi lain manusia menjadi Baha‘im, siba dan syaitan karena memang itulah kodrat manusia hanya saja yang perlu digaris bawahi, tetap harus memiliki pengontrolnya, pengontrolnya adalah hati. Adapun penjelasan mengenai mengapa manusia butuh menjadi Baha’im, siba’, dan Syaitan, berikut penjelasan dari masing-masing level tersebut:

Di level baha’im, manusia perlu memenuhi kebutuhan biologisnya untuk menjaga kelangsungan hidupnya agar mempunyai energi untuk bisa beribadah kepada tuhan dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan Nya. Di level siba’, manusia dapat memunculkan motivasi diri untuk menjadi manusia yang lebih baiklagi dan tentunya harus di kontrol oleh hati untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Di level syaitan, manusia dapat mengambil pelajaran dari sifat setan, yaitu manusia harus berhati-hati kepada rayuan manis atau iming-iming, dan manusia harus memiliki semangat untuk melawan tipu daya setan agar tidak terjerumus kedalam lubang kebinasaan dan kehinaan.

(47)

Bagaimanapun hati dengan bantuan akal harus bisa menjadi pengontrol. Agar tidak ada satu level yang mendominasi dalam diri manusia, sebab bisa membawa ketidak seimbangan didalam diri seseorang sehingga yang tertanam dalam akhlak dirinya adalah salah satu level yang timbul secara berlebihan yang dapat menimbulkan keburukan. Mengontrol diri menjadi sangat penting untuk mengarahkan setiap level.

Kebahagiaan menurut Al-Ghazali yaitu dapat diraih dengan simpel sebab manusia telah memiliki fasilitas yang diberikan oleh Allah untuk mencapainya. Kebahagiaan tersebut terbungkus oleh kenikmatan yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu kenikmatan dunia dan kenikmatan ukhrawi (akhirat). Tetapi haruss dibedakan terlebih dahulu kenikmatan yang dapat bergerak untuk mendekatkan diri kepada kebahagiaan dan kenikmatan yang dapat menjauhkan diri dari kebahagiaan. Lima macam kenikmatan yang bergerak kearah untuk

mencapai kebahagiaan menurut urutannya adalah sebagai berikut:36

1. Nikmat Kebahagiaan Akhirat (Ukhrawiyah)

Nikmat ukhrawiyah merupakan suatu kebahagiaan yang bersifat kekal atau abadi, namun penjelasan seperti apa nikmat kebahagiaan akhirat, sangatlah sukar untuk dijelaskan karena penjelasan tidak bisa eksak yang hanya akan menghasilkan perdebatan tak berujung jika dipaksa untuk dijelaskan. Ketidakmampuan manusia untuk menangkap dan merasakan baik secara nalar maupun empiris dalam bentuk impres-impres yang

(48)

diterima oleh manusia. Hal ini tentu sangat berbanding terbalik dengan kenikmatan yang dapat dirasakan di dunia. Kenikmatan yang terkandung dalam nikmat kebahagiaan akhirat merupakan puncak dari segala kenikmatan yang menjadi muara akhir dari segala kenikmatan. Nikmat kebahagiaan akhirat adalah nikmat yang tiada bandingannya yang didalamnya termasuk nikmat bertemu dengan Tuhan.

2. Nikmat Kebahagiaan Jiwa

Jiwa manusia yang masih merasakan ketidaktenangan dalam menjalani kehidupan di dunia, kesulitas pengenalan terhadap diri sendiri kecenderungan merasa gelisah, dan kondisi jiwa yang tidak setabil tidak bisa merasakan nikmat kebahagiaan jiwa. Untuk dapat merasakan nikmat kebahagiaan jiwa, ada empat cara dalam meraihnya, yaitu:

a. Akal yang disempurnakan dengan ilmu, memberikan

gizi pada akal berupa ilmu pengetahuan akan semakin menjadi paham dan tidak mudah tertipu dengan segala hal yang bersifat sementara dan temporal. Akal yang diisi oleh ilmu akan membuat jiwa menjadi tenang dalam menghadapi segala realitas.

b. Pemeliharaan diri yang disempurnakkan oleh wara’

dengan menjauhi yang haram, syubhat dan maksiat, hal ini akan menjaga kebersihan jiwa dari hal-hal yang dapat mengotori atau menodai jiwa.

(49)

c. Keberanian yang disempurnakan dengan kesungguhan dan keberanian untuk meninggalkan segala hal yang bersifat materi yang dapat membelenggu dan menjauhkan gerak jiwa ke arah-Nya.

d. Keadilan yang dilaksanakan dengan rasa kesadaran.

3. Nikmat Keutamaan Badan (Badaniyah)

Nikmat keutamaan badan terdiri dari empat macam, yaitu: kesehatan, kekuatan badan, keelokan dan panjang umur. Ketika manusia telah merasakan empat macam nikmat keutamaan badan tersebut, maka manusia akan mendapatkan nikmat kebahagiaan secara fisik. Apabila terdapat salah satu kekurangan dari keempat macam kenikmatan tersebut maka tidak sempurna bila dibandingkan ketika memiliki keempat keutamaan tersebut. Sebelum dapat menikmati nikmat keutamaan badan, diperlukan nikmat eksternal (kharijah) untuk menyempurnakan nikmat keutamaan badan.

4. Nikmat Eksternal (Kharijah)

Yaitu nikmat yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar diri manusia. Nikmat eksternal terdiri dari harta, keluarga, kemuliaan, kehormatan keluarga dan lain sebagainya. Manusia membutuhkan nikmat dari luar dirinya karena melalui kenikmatan tersebut manusia akan bisa merasakan kenikmatan dari dalam dirinya. Dari kenikmatan secara fisik (badaniyah) yang telah dilengkapi oleh nikmat eksternal, manusia akan bisa merasakan nikmat

(50)

kebahagiaan secara rohani atau jiwa yang pada akhirnya manusia akan sampai untuk merasakan nikmat kebahagiaan secara ukhrawiyah (akhirat). Nikmat eksternal membutuhkan kenikmatan yang berasal dari luar nikmat eksternal yaitu berupa nikmat keutamaan taufik.

5. Nikmat Keutamaan Taufik (Tawfiqiyyah)

Yaitu kenikmatan yang menunjukkan bahwa seorang merasa disayang oleh Allah dan merasa diberi banyak oleh Allah. Ketika seseorang merasa berkecukupan dalam hidupnya dan bagus dalam kehidupannya tetapi merasa disayang sama Allah maka tidak akan mendapatkan kenikmatan dari apa yang dimilikinya dan kehampaan yang akan dirasakannya. Oleh karena itu, dasar dari segala nikmat keutamaannya adalah nikmat taufik. Nikmat keutamaan taufik bisa berupa hidayah, rusyd, syadid dan ta’yid. Maka pertama-tama yakinlah Allah ridha dengan apa yang dilakukan sehingga carilah bekal yang dibutuhkan untuk bisa meraih kenikmatan dan kebahagiaan melalui jalan Allah.

C. Konsep Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali

Kebahagiaan sejati tidak terlepas dari bagaimana seseorang mengenal Tuhannya, ia akan merasa senang dan tenang dalam upaya makrifat mengenal Tuhan. Indera manusia memiliki keterbatas dalam mempersepsikan bentuk hakikat-hakikat semacam wujud ruh, hal gaib, dan yang berada diluar batasan kualitas, kuantitas, sebagaimana ia tak bisa memersepsi bentuk

(51)

perasaannya sendiri, seperti marah, sakit, senang, atau cinta, semua itu merupakan konsep yang tidak dapat dimengerti oleh indra.

Sementara kualitas, kuantitas, dan batasan-batasan lainnya merupakan konsep indrawi manusia. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda ketika mereka menjelaskan sebab akibat sesuai dengan bagaimana pengetahuan yang mereka miliki, yang sering menimbulkan perdebatan yang panjang. Mereka memiliki persepsi masing-masing dan berbeda-beda, setiap persepsi memiliki kelemahan masing-masing, bahwasannya manusia dengan persepsinya masih memiliki kelemahan- kelemahan tentang pandangan berdasarkan cabang pengetahuan manusia, dan Tuhanlah yang maha mengetahui Hanya melalui sebuah perenungan tentang dirinya serta wujud dan sifat- sifatnya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Allah menurut Imam al- Ghazali dalam buku Kimiya al- Sa’adah.

Semua persepsi manusia memiliki kebenaran yang masing-masing kembali kepada cabang pengetahuan seperti apa yang mendekatkan mereka kepada Allah SWT. Rasa cinta Tuhan yang menuntun mereka kepada keimanan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Rasa cintanyalah yang membuat kebahagian bagi hambanya, karena dilandasi atas dasar keimanan seorang hamba. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah dapat ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. Ibadah dan zikir tak berkesudahan mencerminkan suatu tingkat keprihatinan dan pengekangan nafsu badani. Ini tidak berarti ia harus memusnahkan nafsu

(52)

badani sepenuhnya, karena jika begitu, ras manusia akan musnah. Namun, pemuasan hasrat tubuh itu harus dibatasi dengan ketat.

Selama hidup di dunia ini, manusia harus menjalankan dua hal penting, yaitu melindungi dan memelihara jiwanya, serta merawat dan mengembangkan jasadnya. Jiwa akan terpelihara dengan pengetahuannya dan cinta kepada Allah. Sebaliknya, jiwa akan hancur jika seorang terserap dalam kecintaan kepada sesuatu selain Allah. Jiwa dapat mencapai kebahagiaan absolut hanya dengan kesempurnaan (kamal) dan kesucian (tazkiyah) atau kebersihan (taharah).37

Kesempurnaan di peroleh dari pengetahuan, daan kesucian

diperoleh dari perbuatan baik. Pengetahuan diperlukan karena fakultas rasional memperoleh makanan dan kesenangan dari kognisi terhadap objek- objek pemikiran (ma’qulat), sebagaimana fakultas hasrat mendapatkan kesenangan dari pemenuhan suatu keinginan, atau fakultas penglihatan mendapatkan kesenangan dengan melihat kepada bentuk yang indah, dan demikian seterusnya semua fakultas yang lain. Yang menghalanginya dari tersingkapnya objek-objek pemikiran (ma’qulat) tidak lain adalah tubuh (kesibukan-kesibukan fisiknya) dan indra-indra fisik, Allah SWT berfirman :”Jiwa tidak mengetahui apa yang menyenangkan mata yang tersembunyi bagi mereka.” (Q.s. as-Sajdah 32 : 17).

Sudah merupakan hak jiwa bodoh untuk sengsara, bahkan sejak dalam kehidupan dunia ini, dengan hilangnya kesenangan jiwa yang

disebabkan kebodohonnya. Tetapi kesibukannya dengan tubuh membuatnya

(53)

lupa terhadap dirinya sendiri dan memalingkan perhatiannya dari kesedihan, ini juga karena kesibukan tubuh dan kecenderungan jiwa pada objek-objek nafsu birahi. Berbeda dengan jiwa yang menjadi sempurna karena pengetahuan, ketika kematian mengakhiri kesibukan-kesibukan fisik maka ia dapat diilustrasikan dengan orang yang sembuh dari sakit.38

38 Achmad Maimun, Kerancuan Filsafat(Tahafut al-Falasifah) Imam al-Ghazali,

(54)

42 BAB IV

PEMIKIRAN KEBAHAGIAAN ARISTOTELES A. Biografi Aristoteles

Aristoteles merupakan bapak logika dan ilmu alam, dan memulai, merintis, membangun fondasi bagi filsafat dan sains, serta di tangan Aristoteles sains dilahirkan. Aristoteles merupakan murid dari Plato, namun memiliki perbedaan dengan ciri khas ajaran Plato tentang ideanya yang bercorak abstraksi, ajaran Aristoteles berangkat dari realitas empiris

manusia. 39 Aristoteles mengembangkan suatu teori pengetahuan untuk

mengetahui makna hakiki setiap sesuatu dengan menempuh jalan atau metode “abstraksi” yaitu dengan menggunakan pengetahuan indra dan pengetahuan budi.

Pengetahuan indra bertujuan mencapai pengenalan pada hal-hal yang konkret, yang bermacam-macam dan serba berubah. Sedangkan

pengetahuan budi bertujuan mencapai pengetahuan abstrak, umum dan tetap,

pengetahuan budi ini yang kemudian disebutnya sebagai ilmu pengetahuan.40

Disisi lain Aristoteles sependapat dengan gurunya Plato, bahwa tujuan yang terakhir dari filosofi yaitu pengetahuan tentang adanya dan pengetahuan

umum.41

1. Riwayat Hidup Aristoteles

Aristoteles lahir di Stageira pada semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan), sebelah timur laut Yunani pada tahun 384 SM.

39 Rusfian Effendi, Filsafat Kebahagiaan (Plato, Aristoteles, AL-Ghazali, Al-Farabi), h.20. 40 Ali Maksum, Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Yogyakarta :

Ar-Ruzz Media, 2016), h.72.

41 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta : Universitas Indonesia UI-Press, 1986),

Gambar

Tabel Perbandingan Pandangan Tentang Kebahagiaan  Menurut Al-Ghazali dan Aristoteles

Referensi

Dokumen terkait

Menurut karya tersebut di dalam konsep pendidikan Islam Imam Al-ghazali meliputi tujuan pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran dan evaluasi atau penilaian belajara

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Konsep kurikulum pendidikan Islam menurut Imam Al-ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin ialah bahwa bagi beliau kurikulum pendidikan

Penelitian ini membahas tentang menghukum anak dalam perspektif pendidikan Islam (telaah perbandingan pemikiran Imam al-Ghazali dengan Ibnu Sina). Penelitian ini

Pemikiran Imam Al-Ghazali yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya merupakan gambaran tentang pemikiran bagaimana membimbing dan membina peserta didik sejak dini, supaya

Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Pembelajaran akhlak di Pondok Pesantren mempunyai relevansi dengan kehidupan pada masa sekarang atau relevan jika

Buku Ilmu Tasawuf karangan Samsul Munir Amin yang menjelaskan bahwa menurut al-Ghazali jalan menuju kebahagiaan kebatinan dapat dicapai dengan cara membersihkan diri dari moral

Pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat kita lihat dari perjalanan hidupnya yang kental dengan tradisi keilmuan dan juga pada buah karyanya yang tertuan

Pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat kita lihat dari perjalanan hidupnya yang kental dengan tradisi keilmuan dan juga pada buah karyanya yang tertuan