HARMONISASI PENDIDIKIAN KARAKTER BERBASIS MULTIKULTURAL DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
Nadzmi Akbar
Dosen FDIK UIN Antasari Banjarmasin. Email:
Abstract: Character education services in schools that have multicultural students have obstacles in the form of not serving the strengthening of character in minority students. Especially when presenting character education to students of different religions, because religious character must be shaped and developed with the religious values adopted by students. In most schools, there is often a disregard for minority students. In this connection, it is necessary to conduct research on the harmonization of multicultural-based character education in schools. This research method is descriptive qualitative, using observations, interviews and documentaries. Data analysis is performed using an interactive process. It starts with data collection, data condensation, data models, describing and summarizing research results. In this study it was found that (1) harmonization of multicultural-based character education began in the community environment, (2) policies at the unit level of education that support the implementation of multicultural-based character education, (3) dynamic leadership styles, (4) all educators show attitudes respect and respect even support character education with a variety of differences, (5) each religious teacher develops their subject matter towards values of tolerance, and religious harmony.
Keywords: Tolerance, Character, Multicultural, Harmonization
Abstrak: Pelayanan pendidikan karakter di sekolah yang siswanya multikultural memiliki kendala berupa tidak terlayaninya penguatan karakter pada siswa yang minoritas. Terutama sekali ketika menyajikan pendidikan karakter kepada para siswa yang berbeda agamanya, sebab karakter relegius harus dibentuk dan dikembangkan dengan nilai-nilai agama yang dianut siswa. Pada sebagian besar sekolah yang ada sering mengabaikan siswa yang minoritas. Sehubungan dengan itu perlu dilakukan penelitian tentang harmonisasi pendidikan karakter berbasis multikultral di sekolah. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, menggunakan observasi, wawancara dan dokumenter. Analisis data dilakukan dengan proses interaktif. Dimulai dengan koleksi data, kondensi data, model data, menggambarkan dan menyimpulkan hasil penelitian. Pada penelitian ini dtemukan bahwa (1) harmonisasi pendidikan karakter berbasis multikultural di mulai pada lingkungan masyarakat,(2) kebijakan pada tingkat satuan pendidikan yang mendukung implementasi pendidikan karakter berbasis multikultural,(3) gaya kepemimpinan yang dinamis, (4) semua pendidik menunjukan sikap menghargai dan menghormati bahkan mendukung pendidikan karakter dengan berbagai perbedaan,(5) setiap guru agama mengembangkan materi pelajarannya ke arah nilai-nilai toleransi, dan kerukunan umat beragama.
Kata kunci; toleransi, karakter, multikultural, harmonisasi.
882 A. Pendahuluan
Ketika membahas tentang pendidikan tidak akan terlepas dari usaha- usaha membentuk karakter atau moral anak didik. Karena pendidikan itu sendiri adalah usaha membantu pertumbunhan akhlak, bathin, dan hidup bertanggung jawab secara susila (Yunus. M, 1978, Dewey. J, Langeveld. MJ) atau menurut Driyarkara dalam Sudiarja dkk. (2006) pendidikan adalah memanusiakan manusia dengan makna mengangkat manusia ke taraf insani.
Aristoteles dalam Smith, S (1986) mendefinisikan pendidikan sebagai salah satu fungsi dari negara...mengikuti perkembnagan fisik dan mental anak secara betahap. UU RI. No. 2 tahun 2003 mendefisikan pendidikan sebagai usaha mengembanggkan potensi diri anak didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak bangsa dan negara. Istilah pendidikan karakter merujuk kepada penekanan implementasi aspek pendidikan dalam sebuah negara. Apakah pendidikan ditekankan kepada kemampuan fisik atau nilai-nilai moral akhlak atau karakter.
Indonesia sudah lama mengembangkan pendidikan karakter yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dan diperingati sebagai hari pendidikan Nasionel. Semboyang yang beliau kumandangkan dalam pendidikan adalah ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan menjadi teladan, ditengah penyemangat dan di belakang pendorong). Sampai sekarang Bangsa Indonesia selalu kometmen dalam membangun karakter bangsa, sebab bagaimanapun juga karakter bangsa akan menjadi pendorong kemajuan suatu negara dan menjadi jati diri suatu bangsa. Dalam konteks ini Cicaro mengatakan bahwa dalam karakter warga negara terletak kesejahteraan bangsa (Lickona T. 2015).
Indonesia yang memiliki rakyat multikultural harus mampu memberikan pendidikan karakter kepada berbagai lapisan masyarakat yang berbeda suku, agama dan budaya baik terhadap mayoritas maupun minoritas. Keadilan dan pemerataan harus termanifestasi dalam layanan pendidikan terhadap siswa yang multikultural, disamping sebagai karakter yang dikembangkan dalam pendidikan. Karakter keadilan termanifestasi pada kebersamaa, kekeluargaan, kegotongroyongan, harmonisasi, hormat terhadap orang lain (Samani. M &
Hariyanto. 2017 : 24). Beragam suku, agama dan budaya dapat menjadi potensi positif, tetapi multikultural akan dapat menjadi penghancur tatanan kehidupan jika tidak dikelola secara tepat, itulah sebabnya Indonesia mengumandangkan semboyan resmi negara yaitu semboyan Bhenika Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.
Dalam konteks implementasi pendidikan karakter berbasis multikultural di Indonesia masih terkendala, dari hasil penjajakan awal di Kalimantan Selatan mayoritas beragama Islam ditemukan kasus-kasus sebagai berikut seorang ibu menyekolahkan anaknya ke sekolah sangat jauh, padahal ada sekolah di samping rumahnya, hal itu disebabkan sekolah yang dekat rumahnya tidak mengakomuder pendidikan karakter dengan nilai-nilai agama kristen yang dianut anak bersangkutan, kemudian siswa beragama kristen selalu mengikuti kegiatan pendidikan agama Islam bahkan beberapa kali menjuarai lantunan lagu-lagu islami dan shalawat. Kasus lain para siswa non muslim memiliki jam kosong ketika mata pelajaran agama sebab yg diajarkan adalah agama Islam.
883
Persoalan pendidikan karakter berbasis multikultural menjadi persoalan dan perhatian serius bagi bangsa Indonesia, terutama sekali pada tingkat satuan pendidikan. Huda (2012) menyatakan bahwa pendidikan pada multi budaya, multi etnis dan multi agama adalah salah satu tantangan yang serius.
Problem lain dalam pendidikan karakter berbasis multikultural yaitu terdapat guru atau pendidik yang memiliki opini intoleransi sehingga dalam implementasinya terjadi kontra produktif dengan amanat undang-undang dan tujuan pendidikan itu sendiri. Umam (2018) mengungkapkan hasil surveynya 63,07 persen guru di Indonesia memiliki opini intoleransi terhadap agama lain (www.nu.or.id). Pada tatanan implementasi pendidikan di tingkat satuan pendidikan diperlukan pemimpin dan kepemimpinan pendidikan yang benar- benar memiliki kesadaran multikultural yang tinggi, sehingga dapat membawa satuan pendidikannya mampu melayani pendidikan karakter yang merata terhadap para siswa yang multikultur. Pemimpin sekolah harus mampu membangun kesadaran multikultural bagi warga sekolah yang dipimpinnya.
Peran utama pemimpin pendidikan berbasis multikultural adalah mengembangkan kesadaran multikultural pada semua warga sekolah (Connerley & Padersen. 2005). Tugas pemimpin pendidikan adalah bagaimana merencanakan, mengatur dan meyelenggarakan pendidikan karakter yang dapat memberikan pendidikan karakter dengan porsi yang sama kepada semua warga sekolah yang multikultural. Keberhasilan pendidikan pada masyarakat yang beragam, akan dicapai jika pendidik dan penyedia layanan pendidikan tidak mengabaikan perbedaan budaya, agama, atau etnis dari siswa mereka (Tetzloff L & Obiakor F.E: 2015).
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan antara lain; penelitian OConnor, (2014) menemukann bahwa Inggris membangun dan mempertahankan nilai-nilai hidup bernegara yang multikultiral. Wattarasook.
W. (2013) menemukan bahwa kunci utama penyelesaian masalah pendidikan multikultural dimulai dari pemerintah, terutama pada aspek kebijakan praktik pendidikan yaitu pengelolaan pendidikan multikultur, termasuk buku teks, alat pengajaran, media pendidikan dan kondisi atmosfir kelas untuk non- diskriminasi diantara budaya. Ratnawati (2012) menemukan bahwa perencanaan pendidikan karakter harus melibatkan semua pihak terutama guru dan masyarakat, evaluasi pelaksanaan pendidikan karakter dilaksanakan dalam dua cara yaitu : sistem manajemen partisipasi (melibatkan semua komponen sekolah), (b) melalui penilaian akademik. Kapai (2012) menemukan bahwa dalam mengambil keputusan harus berasal dari fakta untuk kepentingan individu dan kelompok dari berbagai latar belakang dan fakta-fakta yang terjadi di lingkungan sekolah dan masayarakat sekitar harus dipahami secara jelas. Dari beberapa penelitian tersebut. Penilitian Daud. S., Arwildayanto, & Djafri. N. 2018 tentang Kepemimpinan Spiritual Kepala Sekolah dalam Penguatan Karakter Siswa di Sekolah Menengah Atas. Penelitian Agustina. P. (2018) bertujuan mengetahui karakteristik perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah. Peneletian oleh Syaefudin, Santoso. S. (2018) tentang tipologi kepemimpinan Kepala Sekolah dalam pembentukan karakter cinta damai.
Meskipun sudah banyak yang melakukan penelitian tentang pendidikan karakter dan multikultural akan tetapi masih sangat sedikit yang melakukan penelitian tentang upaya-upaya harmonisasi pendidikan karakter yaitu
884
menyajikan penguatan pendidikan karakter secara adil kepada para siswa yang multikultural oleh pemimpin pendidikan, sehingga penulis merasa sangat penting untuk melakukan penelitian tentang harmonisasi pendidikan karakter berbasis multikultural di sekolah. Dalam rangka untuk mengetahui secara jelas proses terjadinya harmonisasi dalam lingkup sekolah dan masyarakat sekitar yang multikultural dan strategi harmonisasi pendidikan karakter berbasis multikultural.
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif menurut Ulfatin, N (2015: 25) semua jesnis kualitatif bersifat deskriptif, yaitu mengambarkan atau mendiskripsikan karakteristik dari fenomena, dengan rancangan teknik analisis multisitus. Mengambil lokasi penelitian ditentukan dengan purpossive location yaitu ditentukan dengan tidak acak. Dalam hal ini ditentukan tiga sekolah yang dianggap representatif yaitu memiliki warga sekolah yang multikultural tetapi keadaan sekolah tersebut selalu dalam keadaan harmonis, rukun dan damai bahkan memiliki prestasi secara akademis maupun non akademis.
pertama SMA Negeri 1 Sungai Loban, Sekolah tersebut terletak di pusat kecamatan Sungai Loban warga sekolahnya memiliki latar belakang suku berbeda ada 6 suku dan 3 Agama yang dianut oleh para warga SMA Negeri 1 Sungai Loban. Penduduk Sungai Loban didominasi oleh masyarakat pendatang dari berbagai daerah terutama dari Bali dan Lombok. Meskipun latar belakang suku Agama berbeda-beda tetapi terlihat sekali warga SMA Negeri 1 Sungai Loban sangat rukun dan menunjukan banyak prestasi baik akademik maupun non akademik.
Tempat kedua adalah SMA Negeri 7 Banjarmasin, terletak di wilayah perkotaan, memiliki siswa dan warga sekolah dengan latar belakang suku yang berbeda-beda, hampir semua suku di Indonesia ada di SMA Negeri 7 Banjarmasin, dengan ragam agama yang dianut para siswanya yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. SMA Negeri 7 Banjarmasin merupakan salah satu SMA Negeri terpavorit di Kota Banjarmasin, suasana pembauran warga sekolahnya sangat bagus, sebagai SMA Negeri pavorit tentunya memiliki presatasi yang melebihi sekolah lain baik prestasi akademik maupun non akademik.
Sekolah yang ketiga penulis mengambil SMA Negeri 1 Halong Kabupaten Balangan, Sekolah ini terletak di daerah Hulu Sungai yang penduduknya juga plural, tetapi didominasi oleh suku asli Kalimantan yaitu suku Dayak yang tinggal di kaki Pegunungan Meratus. Dalam hal ini warga sekolah SMA Negeri Halong, berasal dari 5 (lima) suku dan menganut 4 (empat) agama. Mereka kebanyakan berasal dari masyarakat daerah pedalaman yang tentunya latar belakang memiliki karakter tersendiri.meskipun demikian para warga sekolah tersebut menunjukan karakter dan kerukunan yang sangat bagus.
Teknik pengumpulan data adalah wawancara, observasi dan dokumenter. Pengecekan keabsahan data menggunakan empat kriteria yaitu dengan credebelity, transferability, dependebility, conformability, kemudian dianalisis secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai dapat ditarik kesimpulan melalui analisis lintas situs. Analisis data dilakukan dengan proses interaktif sebagai mana ditawarkan oleh Miles, Huberman & Saldana
885
(2014). Dimulai dengan koleksi data, kondensi data, model data, menggambarkan dan menyimpulkan hasil penelitian.
C. Temuan dan Pembahasan
Harmonisasi Multikultural Pendidikan Karakter Berbasis Multikultural
Gambar: Temuan Penelitian Harmonisasi Pendidikan Karakter Berbasis Mutikultural di SMA Negeri
Pendidikan karakter berbasis multikultural memiliki konsep semua peserta didik, tanpa memperhatikan agama, gender, status sosial, suku, ras atau karakteristik budaya, wajib memperoleh kesempatan dan perlakuan yang sama untuk belajar di sekolah. Untuk itu berbagi tanggung jawab mesti ditumbuhkan.
Semakin banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan pendidikan karakter bernuansa multikultur, akan semakin lestari pengembangan program tersebut Pendidikan multikultural adalah "upaya reformasi sekolah Total dirancang untuk meningkatkan pemerataan pendidikan untuk berbagai budaya, etnis, kelompok agama dan ekonomi" (Vavrus, 2006: 1).
Dalam rangka pemerataan pengembangan dan penguatan pendidikan karakter berbasis multikultural perlu usaha-usaha untuk keharmonisan kegiatan pendidikan dan juga kerukunan diantara perbedaan.warga sekolah. Dalam hal ini untuk mengembangkan keharmonisan dilakukan upaya-upaya yang disengaja untuk mengembangkan potensi keragaman yang dimiliki oleh sekolah. Pada SMA Negeri 1 Sungai Loban, SMA Negeri 7 Banjarmasin, SMA Negeri 1 Halong ditemukan bahwa:
Harmonisasi
Kebijakan Pimpinan Sensitif Multikutural
Peran Setiap Guru Agama
Program Kerja Siswa Dan Pelaksanaannya
Gaya Kepemimpinan
Peran masyarakat berbagai suku Siswa Beragama Islam
Siswa Beragama Hindu Siswa Beragama Kristen Siswa Beragama Budha Warga sekolah lain yang multikultural
Harmonis dalam Keberagaman
886
1. Keharmonisan pendidikan karakter berbasis multikultural diperoleh melalui proses pengalaman di masyarakat dan pendidikan di sekolah.
Pembauran pergaulan lintas budaya suku, agama terjadi sejak usia anak-anak, hal itu terjadi karena orangtua mereka tidak melarang. Para orangtua selalu menganjurkan dan menasihati untuk selalu hidup rukun meskipun berbeda suku dan agama. Kebiasaan kebiasan itu terjadi sampai mereka bersekolah tingkat SMA, bahkan sampai dewasa. Kerukunan, keharmonisan tidak muncul dengan sendirinya tetapi melalui proses yang dibina sejak dini. Pada akhirnya karakter multikultural tumbuh subur ditengah-tengah masyarakat. Hasil penelitian tersebut senada dengan hasil penelitian Yusof N.M, Abdullah. A. Ch. & Ahmad. N.
(2014) bahwa dari lingkungan prasekolah monoetnis dan multietnis sangat efektif mencapai tujuan penting adalah untuk membentuk bangsa yang sama dan takdir dari keragaman etnis, budaya, dan bahasa yang luar biasa dalam membuat keharmonisan ditengah keberagaman.
Keharmonisan dalam upaya penguatan pendidikan karakter berbasis multikultural di sekolah, akan lebih maksimal dan terjaga jika sekolah mampu menyerap proses penguatan karakter berbasis multikultural yang dilakukan pada lingkungan masyarakat sekitar sekolah. Hal itu bisa terjadi jika dalam menyusun istitusional kurikulum di semua jenjang pendidikan dapat mengadopsi nilai-nilai pluralitas kedaerahan, dengan prinsip menjungjung tinggi khazanah budaya nasional dan kearifan lokal. Hasil penelitian Rohman & Wiyono (2010) menyatakan bahwa di era reformasi dan otonomi daerah saat ini sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan orientasi pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up approach)”.
Dalam ini ditemukan peran masyarakat terhadap pengembangan karakter multikultural di sekolah yaitu;
a. berkoordinasi/ selalu berhubungan dengan pihak sekolah,
b. memberikan saran masukan kepada sekolah terkait penguatan karakter dan multikulturalisme,
c. mewariskan nilai-nilai kerukunan dan keharmonisan kepada anak-anaknya, d. pengawasan terhadap gejala-gejala penyimpangan karakter dan
multikulturalisme.
2. Kebijakan pemipin pendidikan dalam rangka penguatan pendidikn karakter harus memihak kepada semua agama.
Kebijakan ditingkat pemerintah daerah adalah berupa meliburkan siswa yang memperingati hari besar agamanya, agar mereka dapat dengan serius memperingati dan atau khusu melaksanakan beribadahnya sesuai dengan agama yang dianut. Begitu juga pihak sekolah atau kepala sekolah menerbitkan kebijakan bagi para siswa agama tertentu keluar sekolah mendatangi guru agama baik ditempat ibadah maupun ke rumah guru dari luar untuk menuntut ilmu agamanya. Sekolah juga menerbitkan kebijakan bagi pengaturan kegiatan siswa yang dapat membangun karakter para siswa, terutama karakter yang menyangkut kebersamaan, toleransi, kegotong royongan.
Kebijakan-kebijakan kepala sekolah akan menjadi pegangan dan acuan bagi warga sekolah dan menjadi dasar untuk pembiayaan yang sah bagi pengelolaan penddikan karakter berbasis multikultural di sekolah. Kebijakan yang diterbitkan dan dilaksanakan merupakan cermin keseriusan, kemauan, dan kemampuan kepala sekolah untuk membangun keharmonisan bagi penguatan pendidikan
887
karakter bagi semua siswa yang multikultural. Dalam hal ini Noorhead (2010) berpendapat bahwa keberagaman budaya dapat menjadi sumber penting dari sinergi dalam meningkatkan efektivitas organisasi. Semakin banyak organisasi mulai mengaprisiasi nilai keberagaman, akan tetapi mereka sangat sedikit mengetahui cara mengelolanya. Hal itu juga dikemukakan Banks J.A (2007). Salah satu dimensi pendidikan multikultural dengan pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda.
Kebijakan di Austarlia bahkan mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) pada bidang pendidikan, bertujuan (i) memperluas pendidikan kewarganegaraan dan nilai-nilai Australia di sekolah-sekolah dan mengatasi isolasi dan marginalisasi beberapa anak muda (ii) memberi tahu orang Australia tentang keragaman agama dan budaya dan mendorong semua pemimpin agama dan masyarakat untuk mempromosikan rasa hormat dan saling pengertian (iii) lebih mendidik para pemimpin agama dan guru di Australia yang telah dilatih secara tidak patut di luar negeri, termasuk yang baru ini tiba di Australia, (Cahill. Des.
2009)
3. Implementasi gaya kepemimpinan secara dinamis
Seorang pemimpin pada level apapun di sekolah yang memiliki warga multikultural harus mampu mempengaruhi, membawa warga sekolah kepada penguatan karakter bagi semua warganya yang memiliki berbagai perbedaan.
Untuk itulah seorang pemimpin tidak hanya menggunakan satu gaya kepemimpinan, tetapi harus menggunakan multi gaya. Gaya kepemimpinan yang dinamis sebagai upaya menanggulangi kendala utama pendidikan dengan basis multikultural, kendala utama tersebut antara lain adalah prasangka. Sehubungan dengan hasil temuan ini (Connerlyy & Pedersen, 2005 : 15) berpendaagt perlu kerja keras untuk menghilangkan prasangka diantara sesama warga sekolah maupun antara pimpinan dengan warga sekolah, itulah gagasan dalam upaya untuk menjadi pemimpin yang memiliki kompetensi multikultural. Bagi seorang pemimpin kebiasaan prasangka latar belakang agama, suku ras dan budaya harus dihilangkan, dalam arti bukan menghilangkan kepemimpinan yang religius sebab pemimpin religius bukan berarti tidak multikulturalisme. “Pemimpin relegius bukan berarti pemimpin anti agama lain” (Buchanan. 2013 : 105).
Gaya dan juga prilaku kepemimpinan selalu menyesuaikan situasi dan kondisi para siswa dalam luingkungan sekolah. Pada hal-hal tertentu diterapkan otoriter, pada waktu tertentu diterapkan demokratis bahkan memberikan kebebasan pada siswa. Dalam hal ini Pendidik harus memastikan perlakuan yang bermartabat terhadap anak-anak dengan perbedaan belajar, dan menciptakan lingkungan di mana setiap siswa dapat berkembang adalah yang penting dalam menginformasikan proses dimana distrik sekolah berinteraksi dengan keluarga yang beragam secara budaya dan bahasa yang anak-anaknya memiliki tantangan atau perbedaan belajar (Steeley. S.L & Lukacs, K. 2015). Kauffman (2003a) menyatakan bahwa pendidikan khusus, yang terbaik adalah perlakuan yang adil tidak menyalahkan, jangan menciptakan stigma jelek itu bukan hanya salah tetapi sesat (Tetzloff. L & Obiakor F.E. 2015 ).
4. Setiap Guru saling mendukung kegiatan pembentukan karakter spiritual dan sosial.
888
Efektivitas dari pembentukan karakter para siswa yang multikultral dapat tercapai jika para pendidik kompak dan saling dukung, terutama dalam hal menjaga kehormatan, harkat dan martabat para guru. Gerakan pertama para guru adalah selalu menunjukan rasa hormat dan saling menghargai diantara guru.
Kemudian menampakan rasa hormat dan menghargai terhadap perbedaan suku, agama dan budaya. Hal itu akan menunjukan kepada siswa bahwa para guru punya sikap yang baik dan semua guru memiliki intigritas dan kridebelitas yang menjadi kurikulum tersembunyi bagi pembentukan karakter para siswa.
Kekompakan kebersamaan para guru menunjukan sikap kooperatif yang menjadi pembelajaran bagi siswa untuk meningkatkan perkembangan moral siswa, sebagai mana hasil penelitian Tichy yang diangkat oleh Liddell (2008) bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dan teknik spesifek konstruktif dapat menjadi alat ampuh untuk meningkatkan moral siswa. Tidak hanya kerjasama antar guru Lickona cs (2007) menekankan pentingnya melibatkan orangtua dan anggota masyarakat sebagai mitra penuh dalam proses pembangunan karakter.
Setiap elemen terutama pendidik harus selalu meningkatkan kemampuan karakter multikultural, agar dapat menularkan baik berupa transfer ilmu, transfer sikap perilaku dan nasihat-nasihat yang dapat membawa pencerahan bukan menyalahkan. Elemen-elemen penting dari definisi multikulturalisme ini tepat dan efektif, Nodding (2008) menyatakan pada jenis pendidikan apapun harus menyisipkan pendidikan karakter atau moral. Mereka menetapkan bahwa interaksi dengan orang lain (orang-orang dengan budaya yang berbeda dari kita) membutuhkan pengembangan kompetensi multikultural yang efektif dan tepat (Wubshet, H., & Menuta, F. 2018).
5. Setiap Agama memiliki nilai-nilai multikultural yang dikembangkan oleh Setiap Guru Agama.
Agama sebagai keyakinan sebagai petunjuk kebenaran untuk menuju keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Setiap agama mengajarkan bagi pemeluknya untuk memiliki keyakinan bahwa agama yang dianut adalah benar sehingga membawa kepada keselamatan dan kehagiaan hidup yang hakiki. Pada lingkup sekolah guru agama memiliki peran yang sangat penting dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama yang benar bagi keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki tetapi juga mampu menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat, sehingga membawa kepada keharmonisan dan kebahagiaan hidup dalam lingkup hidup berbangsa dan bernegara.
Tabel: 1 Karakter Multikultural Berdasarkan Agama No Agama Sumber Ajaran Karakter
Multikultural Keterangan 1. Islam Manusia diciptakan berbeda
jenis kelamin, berbeda suku bangsa untuk saling mengenal (QS. al-Hujurat 13).
Saling Percaya, saling
memahami, saling menghargai kepada
siapapun, adil, hormat pada orang lain
Sumber Guru Agama Islam
889 2. Buddh
a
Karakter utama yang dikembang adalah lima dasar prilaku yang diistlahkan dengan Pancasilais Buddhis.
Kasih sayang, empati dan simpati kepada orang lain
Sumber Guru Agama Buddha
3. Kristen Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (lukas 10:27)
Kasih sayang
Kasih sayang, adil, toleransi, hormat kepada orang lain
Sumber Siswa dan pembina Agama Ksisten Kemenag Kalsel
4. Hindu Catur guru empat yang harus
dihormati. Hormat dan
sayang kepada pemerintah, hornat terhadap sesama manusia, masyarakat lain, kasih sayang
dengan orang lain.
Sumber Pembina Agama Hindu Kemenag
Kalsel
Setiap agama memiliki aliran ajaran yang dapat ditafsirkan oleh orang yang memiliki ilmu agama yang cukup tinggi. Dari penafsiran tersebut memunculkan aliran ajaran agama yang membawa kepada keharmonisan hidup di masyarakat, akan tetapi juga muncul ajaran agama yang membawa kepada pemeluknya bersikap radikal atau intoleransi, dan eklusive yang menganggap hanya agamanyalah yang paling benar agama lain salah dan harus dibenarkan sesuai dengan penafsiran yang bersangkutan.
Landasan hidup kerukunan hidup antar umat beragama wajib di ajarkan oleh setiap guru agama dengan landasan yang benar. Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda jenis kelamin, suku bangsa untuk saling mengenal sebagaimana firman Allah (Q,S al-Hujurat ayat 13. Perbedaan yang ada sebagai rahmat bagi semesta alam dan membawa kebaikan serta manfaat bagi semua orang. Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut ( Einar M..S 1989 : 214)
Pokok ajaran guru agama Buddha dalam upaya harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lingkup multikulturalis adalah pengembangan dari Pancasilais Buddhis yaitu sifat cinta kasih (meta), belas kasih (karona), simpati/empati (modeta), keseimbangan (upika) yang melahirkan ajaran
890
inklusivisme yaitu menghormati dan menghargai sipapun tidak membeda- bedakan suku, ras, agama serta menghidupkan toleransi.
Pokok ajaran guru agama Hindu dalam upaya harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lingkup multikulturalis adalah pengembangan catur guru yaitu empat yang harus dihormati; hormat dan sayang kepada pemerintah, masyarakat, sesama manusia dan orang lain. Pegangan utama bagi umat hindu dalam hidup berdampingan dengan orang lain berbeda suku, agama dan ras adalah relegius, nasionalis, integritas, gotong royong dan mandiri.
Pokok ajaran guru agama Kristen dalam upaya harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada lingkup multikulturalis adalah pengembangan dari ajaran kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri (lukas 10-27).
Karakter yang dikembangkan adalah kasih sayang, adil, toleransi, hormat kepada orang lain. Pada penelitian ini ditemukan bahwa setiap mata pelajaran agama diajarkan oleh guru agamanya masing-masing, dalam memberikan pelajaran agama guru agama harus mengembangkan karakter toleransi dan rasa hormat kepada siapapun meski berbeda ketakinan. Di Jerman, dikembangkan pendidikan antar agama yaitu siswa diberikan pengetahuan tentang agama lain, sehingga mengetahui nilai-nilai luhur agama pada akhirnya tidak ada lagi sikap perilaku yang menghina, membenci agama lain. Pendidikan antar agama, tujuannya adalah untuk mengajarkan toleransi dan saling menghormati dengan mendukung saling menyadari dan punya pengetahuan satu sama lain. Selain itu, termasuk tingkat sikap, tujuannya adalah untuk mendukung pengembangan kemampuan untuk hidup dengan perbedaan — perbedaan budaya dan agama di masyarakatnya sendiri maupun di tingkat global.( Schweitzer. F 2009).
Sehubungan dengan itu Sue & Madonna (2005 : 224) menyatakan bahwa : Untuk mencapai tujuan keharmonissan, bekerja pada organisasi multikultural perlu diciptakan kondisi penting yang harus ada dalam organisasi untuk menjadi lebih multikultural yaitu; (1) komitmen multikultural harus datang dari tingkat paling atas, (2) memiliki kebijakan tertulis, pernyataan misi, atau pernyataan visi yang membingkai konsep multikulturalisme dan keragaman, (3) memiliki tindakan multikultural dan keragaman berencana dengan tujuan yang jelas dan garis waktu, (4) akuntabilitas multikultural harus dibangun ke dalam sistem dan individu harus bertanggung jawab atas mencapai tujuan dari keragaman dan multikulturalisme, (5) memiliki pengawasan tim yang diberdayakan untuk menilai, mengembangkan, dan memantau organisasi pengembangan sehubungan dengan tujuan multikulturalisme. Tim harus memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, merumuskan, dan melaksanakan inisiatif multikultural, (6) organisasi harus takut/khawatir, untuk itu harus aktif mengumpulkan umpan balik dari karyawan terkait dengan isu-isu ras, budaya, gender, etnis, dan seksual orientasi, (7) kompetensi multikultural harus dimasukkan ke kriteria evaluasi dan digunakan untuk mempekerjakan dan promosi karyawan. (8) mengakui monitoring sensitif budaya, (9) memiliki komitmen untuk jangka panjang sistematis dan berencana untuk mendidik seluruh tenaga kerja menyangkut isu- isu keragaman.
6. Program kegiatan Siswa
Dari penggalian data yang dilakukan tentang aktivitas siswa dalam kepemimpinan pendidikan berbasis multikultural ditemukan bahwa: 1) siswa mengarahkan/
mengajak kawan-kawannya pada kegiatan positif yang mengandung unsur
891
menyenangkan, 2) Pribadi yang unggul menjadi idola di sekolah akan membuat siswa yang lain berlomba-lomba untuk menjadi unggul, 4) Ketua OSIS bersama pengurus berusaha merumuskan program kerja OSIS yang dapat menarik minat para siswa, 5) menyelanggarakan kegiatan secara mandiri dengan dukungan sekolah atau pihak lain.
Dalam rangka harmonisasi multikultural dalam mengembangkan karakter siswa osis merumuskan program kerja, yang sifatnya adil yaitu:
D. Simpulan
Dari paparam dan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Keharmonisan pengembangan karakter siswa yang multikultural di sekolah, dimulai sejak usia dini atau pra sekolah sampai dewasa. Artinya proses harmonisasi multikultural siswa di SMA dimulai dari kepemimpinan di lingkungan keluarga dan masyarakat..
2. Pemerintah daerah harus membuat kebijakan dan pemimpin pada tingkat satuan pendidikan membuat kebijakan baik tertulis maupun tidak tertulis agar tercipta keharmonisan dalam mengembangkan karakter siswa secara adil antara mayoritas dengan minoritas.
3. Setiap pendidik menunjukan sikap menghargai, menghormati dan wajib saling mendukung terhadap perbedaan suku, agama, budaya warga sekolah.
Sebab pendidik dan warga sekolah yang lebih dewasa menjadi rujukan sikap dan perilaku para siswa, dan sebagai pembiasaan hidup ditengah perbedaan.
4. Karakter yang bersifat relegius dan spiritual dikembangkan sesuai dengan agama yang dianut siswa. Materi-materi setiap agama harus dikembangkan oleh para guru agama ke arah ajaran agama yang toleran, saling menghargai dan menghormati agar tercipta kerukunan antar umat beragama.
5. Kepemimpinan siswa melalui Osis dan kegiatan ekstra kurikuler membuat dan melaksanakan program kerja yang bersifat dapat mengakomuder semua siswa meski berbeda agama, suku dan budaya. Selain itu juga membuat dan melaksanakan program kerja dengan jadwal kegiatan masing-masing agama.
Daftar Rujukan
Agustina. P. 2018. Karakteristik Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Budaya Sekolah di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun VIII, Nomor 2, Oktober. file:///C:/Users/Acer/Downloads/21853-55917-1- PB.pdf. Di akses 15-07-2019.
Banks, J.A, 2007 Introduction to Multicultural Education, New York: Paperback.
Buchanan. 2013. Leadership and Relegius Schools International Percpectives and Callenges. New York, London, New Delhi, Sydney: Bloombury.
Cahill. D.2009. Journal of Religious Education Special Edition. Religious education and interreligious education: Their context in social capital and social cohesion in Australia p 4-16 57 (3).
Connerley. & Padersen. 2005. Leadership in a Diverse and Multicultural Enveronment, Developing Awereness, knowledge and Skills. London, New Delhi: Sage Publications.
Daud. S., Arwildayanto, & Djafri. N. 2018. Kepemimpinan Spiritual Kepala Sekolah dalam Penguatan Karakter Siswa di Sekolah Menengah Atas Terpadu Wira
Bhakti Gorontalo. Edisi Oktober
892
file:///C:/Users/Acer/Downloads/KEPEMIMPINAN-SPIRITUAL-KEPALA- SEKOLAH-DALAM-PENGUATAN-KARAKTER-SISWA-DI-SEKOLAH- MENENGAH-ATAS-TERPADU-WIRA-BHAKTI-GORONTAL%20(1).pdf Einar, M. S. 1989. Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam
perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Huda. 2012. Pendidikan Karakter Bangsa dalam Perspektif Perubahan Global Media Akademika, 27 (3). 31-49. Bogor: Universitas Pakuan.
Kapai. 2012. Developing Capacities for Inclusive Citizenship in Multicultural Societies: The Role of Deliberative Theory and Citizenship Education. Public Organiz Rev (2012) 12:277—298. This article is published with open access at Springerlink.com diakses 15-04-2017.
Liddell, D. L. 2008. Controversy, Conflict, and Moral Learning: An Interview with Michelle Tichy . University of Iowa, Journal of College &Character VOLUME IX, NO. 3, 2008. Interview by Debora L. Liddell, Contributing Editor, University of Iowa.
Madonna. Cs.. 2005, Strategies for Building Multicultural Competence in Mental Health and Educational Settings. Published by John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey. Published simultaneously in Canada.
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa (1977), “Karya Ki Hajar Dewantara: Bagian 1 dan 2 (Cetakan Kedua)”, halaman 3.
Milles, Huberman & Saldana. 2014. Qualitative data analisys: a methods sourcebook. Third Edition. Arizona State University. Sage.
Moorhead & Griffin. 2010, Organization Behavior : Managing People and Organizations, Salemba Empat Jakarta.
Noddings. 2008. Caring and Moral Education. Stanford: Stanford University.
OConnor, A., Olson, A., Hoff, N. & Peterson, R. L. 2014. Character Education, Strategy Brief. Lincoln, NE: Student Engagement Project, University of Nebraska-Lincoln and the Nebraska De partment of Education.
http://k12engagement.unl.edu/character-education.
Ratnawati.S. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar (Studi Multikasus di SD Cita Hati West Campus, SD Gloria Pacar Surabaya, SD Petra
Kediri). Diseetasi Pascasarjana UM Malang.
http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/19292 Rohman. & Wiyono. 2010 Education Policy In Decentralization Era. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Samani. M. & Hariyanto. 2017. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung.
Remaja Rosdakarya
Schweitzer.F. 2009. Journal of Religious Education Special Edition. Religious Educations contribution to social cohesion: General perspectives and the need for research. P 38-44. 57 (3).
Smith, S. 1986. Gagasan-Gagasan Besar Tokoh-Tokoh dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Steeley. S. L. & Lukacs. K. 2015. International Journal of Special Education. Cultural and Linguistic Diversity and Special Education: A Case Study of One Mother's Experiences.. p 20-31. Vol 30, No: 2, 2015
893
Sudiarja dkk. 2006. Karya Lengkap Driyarkara; Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Syaefudin, Santoso. S. 2018 Tipologi Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Pembentukan Karakter Cinta Damai. Manageria: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Volume 3, Nomor 1, Mei 2018/1439. P 47-67.
file:///C:/Users/Acer/Downloads/1842-Article%20Text-4164-1-10- 20180719.pdf. Diakses 15-17-2019.
Tetzloff. L & Obiakor F.E. 2015. International Journal of Special Education. Cultural and Linguistic . James M. Kauffmans Ideas about Special Education Implicaitons for Educating Culturally and Lingiustically Diverse Students. P 68-80. Vol 30, No: 2,
Ulfatin. 2015. Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikan, Malang: MNC Publishing.
Umam. 2018. Hasil Survey Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah. http//www.nu.or.id/post/read/979090/maaraf. Akses 18- 10.2018.
Vavrus. 2002. Transforming the Multicultural Education of Teachers Theory, Research, and Practic, Foreword by Mary DilworthTeachers CollegeColumbia University New York and London.
Wattarasook. W. 2014 Multi-cultural Education Management. E Journal of the GSE.
P 99-
103.https://worldconferences.net/journals/gse/papergse/G%20114%20
%20WATCHARAPORN%20WATTARASOOK_MULTICULTURAL%20EDUC ATION%20MANAGEMENT%20%20_read.pdf di akses 25-08-2018.
Wubshet, H., & Menuta, F. 2018 International Journal of Scientific Research in Education. Expatriate Teachers Multicultural Competence and Students Attitude towards the Expatriate. P. 1-27. Volume 11(1), March ISSN: 1117- 3259 EBSCO PUBLISHNG. Providers of EBSCOhost
Yunus. M. 1978. Pokok Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: Hidakarya Agung.
Yusuf. N.M, Abdullah A. Ch, & Ahmad N 2014. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding. Multicultural Education Practices in Malaysian Preschools with Multiethnic or Monoethnic Environment (IJMMU) Vol. 1, No. 1, December.