• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN PARADIGMA KEBERAGAMAAN INKLUSIF BAGI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA (Suatu Kajian Tentang Fenomena Konflik Pembangunan Rumah Ibadah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBANGUN PARADIGMA KEBERAGAMAAN INKLUSIF BAGI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA (Suatu Kajian Tentang Fenomena Konflik Pembangunan Rumah Ibadah)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

MEMBANGUN PARADIGMA KEBERAGAMAAN INKLUSIF BAGI UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

(Suatu Kajian Tentang Fenomena Konflik Pembangunan Rumah Ibadah)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pentingnnya paradigma keberagamaan Inklusif bagi umat beragama dalam Merespon Pembagunan Rumah Ibadah di Indonesia dengan fokus kajiannya tentang fenomena konflik dalam pembangunan rumah ibadah.

Kajian ini menggunakan library research sedangkan analisisnya menggunakan teknis analis deskriptif. Dalam Kajian ini menemukan bahwa mengelola kemajemukan agama bukanlah perkara yang mudah, hal ini dapat dilihat dari konflik yang melilit pembangunan rumah ibadah di Indonesia saat ini. Dalam konteks Indonesia keberagamaan inklusif sangat penting bagi umat bergama, yang dibangun berdasarkan nilai-nilai universal dari ajaran agama. Keberagamaan inklusif melihat manusia pada hakekatnya adalah sejajar dan setiap insan memiliki kehormatan sebagai manusia (human dignity) yang sama, tanpa membedakan agama, etnis dan budaya, dalam konteks itu maka seluruh umat manusia terpanggil untuk mangatasi egoisme, perpecahan dan kekacauan.

Kajian ini berkesimpulan bahwa membangun paradigma keberagamaan inklusif sangat penting bagi umat beragama dalam merespon pembagunan rumah ibadah di Indonesia, karena dengan keberagamaan inklusif umat beragama memiliki sikap yang terbuka dalam memahami nilai-nilai universal serta memahami perbedaan-perbedaan dalam pengamalan ajaran agama masing-masing, sehingga kehadiran sebuah agama ditengah agama lain tidak dilihat sebagai kehadiran yang dicurigai dan ditakuti. Disamping itu keberagamaan inklusif sangat berkonstribusi bagi umat beragama untuk saling memghormati dalam membangun rumah ibadah.

Key Words: Keberagamaan Inklusif, Umat Beragama, Pembangunan Rumaha Ibadah I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk dari segi suku bangsa, budaya dan agama. Ada enam agama yang dipeluk oleh umat beragama di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

Kemajemukan agama ini, oleh sebagian kita melihatnya sebagai mozaik bangsa yang patut dibanggakan untuk dikelola dengan baik menjadi sebuah modal sosial (social capital) guna membangun kerukunan umat beragama menuju masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Namun tidak jarang dalam kemajemukan agama itu kita sering menjumpai adanya pelaku dari umat beragama itu sendiri yang boleh jadi merupakan pemicu keretakan antar umat beragama.

Karena itu, membangun kerukunan umat beragama merupakan faktor penting dan membutuhkan sebuah rekayasa sosial, agar perbedaan agama/keyakinan dan perbedaan lainnya tidak menjadi sumber pemicu bagi perpecahan bangsa dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Namun mengelola kemajemukan agama ini bukanlah perkara yang mudah, hal ini dapat kita lihat dari aspek pembangunan rumah ibadah. Pembangunan rumah ibadah

(2)

2

seringkali menimbulkan persoalan terutama di daerah-daerah yang agama tertentu memiliki umat yang mayoritas sedangkan umat agama lain menjadi minoritas. Persoalan mayoritas minoritas ini menyebabkan terjadinya gesekan bahkan konflik antar umat beragama disebabkan pembangunan rumah Ibadah dibeberapa daerah sehingga menodai kerukunan di Indonesia.

Pembangunan rumah ibadah yang menuai protes warga dan dapat mengarah pada konflik antar umat beragama sangatlah banyak, namun disini penulis mengemukakan beberapa diantaranya sebagai contoh untuk melengkapi data pada tulisan ini. Sesuai data Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI tahun 2015 yang dikutip oleh Ardin Sila (2015) diantaranya aksi protes warga terhadap pembangunan rumah Ibadah terjadi pada pembangunan Masjid Al-Ikhwan Jalan Bajawa Kupang NTT dan Gereja HKBP Fila Delpia bekasi dengan alasan tidak sesuai prosedur yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006.

Kemudian pada data yang lain juga menunjukkan adanya aksi protes warga terjadi pada pembangunan Gereja Santa Clara di Bekasi yang sudah memiliki izin namun dihentikan pembangunannya. (https://www.change.org/p/indonesia-tolak-penghentian- pembangunan-gereja-santa-clara). Protes warga juga terjadi pada pembangunan Masjid Nur Musafir di Batuplat Kota Kupang, Masjid Jami Al Muhajirin di Kefamenanu Provinsi NTT (Reynold Uran:2013). Disamping itu juga terjadi pembongkaran 10 gereja di Kabupaten Aceh Singkil Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2015, alasannya karena tidak memenuhi syarat sesuai Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 25 Tahun 2007 (http://www.kanalaceh.com/2015/10/26/ayo-baca-ini-peraturan-gubernur-aceh-tentang- pendirian-rumah-ibadah/)

Dan yang terakhir adalah protes warga terhadap pembangunan Masjid Rahmatan Lil’alamin oleh warga di Kabupaten Manokwari Papua Barat dengan alasan karena Manokwari adalah Kota Injil atau Injil pertama masuk di tanah Papua, tepatnya di pulau Mansinam (http://www.cahayapapua.com/pembangunan-masjid-diprotes , 29/10/2015).

Mencermati permasalahan yang melilit pembangunan rumah ibadah tersebut, maka penting bagi umat beragama untuk membangun paradigma keberagamaan inklusif dalam merespon pembangunan rumah ibadah, demi terwujudnya kerukuanan umat beragama di Indonesia.

Paradigma keberagamaan inklusif itu sendiri menurut Quraish Shihab dalam Jandra dkk (2005: 14-16) adalah:

“keberagamaan inklusif merupakan suatu cara beragama yang terbuka (tidak ekslusif), Perbedaan akidah dan pandangan hidup tidak menjadi halangan untuk bekerja sama dan saling membantu atas dasar kemanusian universal. Bekerjasama yang dimaksudkan disini tidak bersifat sementara atau dipaksakan tetapi muncul dari ini melalui kepustakaan dengan judul “Membangun Paradigma Keberagamaan Inklusif Dalam Merespon Pembagunan Rumah Ibadah (Suatu Kajian Tentang Fenomena Konflik Pembangunan Rumah Ibadah Di Indonesia)”.

B. Identifikasi Masalah

(3)

3

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :

1. Adanya konflik atau protes pendirian rumah Ibadah walaupun itu merupakan kebutuhan riil atau nyata.

2. Adanya penggunaan kekuatan mayoritas dari umat agama tertentu untuk membatasi pembangunan rumah ibadah umat agama lain.

3. Adanya alasan Kekhususan daerah untuk membatasi pembangunan rumah ibadah agama lain.

4. Adanya umat beragama tertentu yang belum dapat menerima perbedaan pemahaman dan pengamalan dalam agama lain sehingga menimbulkan aksi protes pembangunan rumah ibadah agama lain.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

“Mengapa paradigma keberagamaan Inklusif menjadi penting bagi umat beragama dalam Merespon Pembagunan Rumah Ibadah Di Indonesia”.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui tentang pentingnnya paradigma keberagamaan Inklusif bagi umat beragama dalam Merespon Pembagunan Rumah Ibadah di Indonesia.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Secara akademis untuk meningkatkan pengetahuan penulis sebagai Widyaiswara pengampuh Rumpun Diklat Kerukunan Umat Beragama.

2. Dari aspek kelembagaan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Balai Diklat Keagamaan Ambon untuk membuat program diklat terkait dengan peguatan paradigma keberagamaan Inklusif bagi aktor kerukunan umat beragama.

3. Sebagai bahan masukan bagi Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI dalam membuat kebijakan strategis tentang pendirian rumah Ibadah yang dapat menciptakan dan memelihara kerukunan umat beragama demi persatuan dan kesatuan bangsa.

II. LANDASAN TEORI

A. Paradigma Keberagamaan Inklusif 1. Pengertian Inklusif

Inklusif berasal dari Bahasa Inggris “inclusive” yang artinya “termasuk di dalamnya”.

Sedangkan secara istilah berarti menempatkan dirinya ke dalam cara pandang orang lain/

kelompok lain dalam melihat dunia, dengan kata lain berusaha menggunakan sudut pandang orang lain atau kelompok lain dalam memahami masalah. Jika dibedah dengan cermat, sikap inklusif dan eksklusif pada dasarnya adalah cara seseorang memandang perbedaan yang ada.

Sikap inklusif cenderung memandang positif perbedaan yang ada, sedangkan sikap eksklusif cenderung memandang negatif perbedaan tersebut. Dampak memandang positif perbedaan adalah memunculkan dorongan/ motivasi untuk mempelajari perbedaan tersebut

(4)

4

dan mencari sisi-sisi universalnya guna memperoleh manfaat yang menunjang hidup/ cita- citanya.

Sikap positif terhadap perbedaan lahir karena adanya kesadaran bahwa perbedaan adalah fitrah/ alamiah, sehingga tidak menolak perbedaan melainkan mengakui adanya potensi persamaan-persamaan yang bersifat universal. Mengakui adanya aspek-aspek universal yang mungkin bernilai positif pada orang lain/ kelompok lain yang berbeda pandangan (aliran) agama untuk menunjang tercapainya cita-cita/ misi pembangunan masyarakat.(http://www.kompasiana.com/sasmitonugroho/sikap-inklusif).

2. Konsep Keberagamaan Inklusif.

Keberagamaan inklusif merupakan keniscayaan yang harus dikembangkan oleh masyarakat Indonesia yang majemuk, plural dan multikultur. Paradigma keberagamaan inklusif cenderung memandang positif tentang perbedaan. Quraish Shihab (2005: 14-16) berpandangan bahwa:

“keberagamaan inklusif merupakan suatu cara beragama yang terbuka (tidak ekslusif), Perbedaan akidah dan pandangan hidup tidak menjadi halangan untuk bekerja sama dan saling membantu atas dasar kemanusian universal. Bekerjasama yang dimaksudkan disini tidak bersifat sementara atau dipaksakan tetapi muncul dari ketulusan dan keikhlasan, karena hidup damai, adil dan sejahtera merupakan dambaan dan cita-cita setiap orang”.

Senada dengan pemikiran di atas, Alwi Shihab (1999:340) mengemukakan bahwa

“Keberagamaan yang inklusif adalah tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”.

Amin Abdullah dalam PP NA (2005:5) mengatakan bahwa Islam secara gamblang mengajarkan bahwa manusia itu beragam termasuk agamanya, sebagaimana yang diungkapkan didalam QS. al-Hujurat ayat 13;

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”

Karena itu Amin mengatakan “kita tidak perlu memaksakan orang untuk harus sama karena perbedaan itu sesuatu yang alami dan tidak perlu ditakuti, umat manusia pada hakekatnya adalah sejajar dan setiap insan memiliki kehormatan sebagai manusia (human dignity) yang sama, tanpa membedakan agama, etnis dan budaya.

Senada dengan Amin Abdullah di atas, Syafi’i Ma’arif dalam Litiloly (2008:130) mengatakan bahwa kepada orang Atheispun harus diberikan penghormatan yang sejajar bersama dengan penganut agama lainnya sebagai manusia. Penghormatan demikian ini didasarkan pada firman Allah SWT didalam Al-Qur’an surat Yunus: 99-100 sebagai berikut;

“Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang yang beriman semuanya?. Dan tidak seorangpun tidak akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya”.

(5)

5

Selanjutnya Maarif menuturkan “kalau Al-Qur’an memberikan apresiasi terhadap agama lain mengapa hal itu tidak di respon umat Islam dengan pemahaman secara sosiologis untuk membangun sebuah komunikasi dengan tidak membeda-bedakan agama.

Karena lebih jauh Al-Qur’an pun menghargai hak hidup manusia”.

Selain pendapat di atas, membangun keberagamaan inklusif dalam perspektif Kristen AA Yewangoe (2015:xiii) berpandangan bahwa “ ketika hubungan Vertikal yang terbangun antara manusia dengan Allah, maka pada saat yang sama hubungan horisontal sesama manusia tetap terjaga. Hal ini didasarkan pada kata-kata Yesus : (Mat.22:37-39);

“Mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu, ialah : Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri” .

Menurut Yewangoe, kedua hukum itu memiliki hubungan erat diantara keduanya.

Dengan kata lain, tidak mungkin orang hanya menyatakan cinta kasih kepada Allah secara abstrak, tanpa mengungkapkan secara kongkret dalam perbuatannya setiap hari kepada sesamanya. Olehnya itu lebih lanjut Yewangoe (2015:53) berpandangan bahwa dalam konteks itu maka seluruh umat manusia terpanggil untuk mangatasi egoisme, perpecahan dan kekacauan.

Selain ajaran kasih di atas, ajaran yang menjadi dasar interaksi ini adalah Inkarnasi. Jhon Maruli Situmorang (1998:4) mengemukakan dengan inkarnasi inilah Kristen mengenal Allah Tritunggal Mahakudus. Peristiwa inkarnasi adalah peristiwa yang mengungkapkan keluhuran martabat manusia. Tuhan memilih sosok manusia untuk menyelamatkan manusia dan mendatangkan rahmat bagi semesta alam. Oleh sebab itu dengan ajaran inkarnasi ini maka manusia dituntun untuk memberikan penghormatan terhadap sesama.

Dalam persfektif Agama Hindu, menurut ajaran Hindu yang di uraikan dalam kitab suci Veda tentang membangun kehidupan dapat di jelaskan secara gamblang dengan melaksanakan ajaran Tattwam Asi, Karma Phala dan Ahimsa.

Tattwam Asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti juga menyakiti diri sendiri. Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara, hakikat atman yang menjadikan hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan.

Dalam Upanisad dikatakan ‘Brahman atma aikhyam “ yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman adalah sama / tunggal sesungguhnya filsafat tatwam asi ini mengandung makna yang sangat dalam. Tatwam asi mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lain bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang lain , maka dari itu janganlah sekali kali menyakiti hati orang lain, bila dihayati dan diamalkan dengan baik, maka akan terwujud suatu keharmonisan hidup atau kerukunan hidup. (Depag RI,1995:456)

Sedangakan dalam agama Budha, ajaran Sasanti ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang ditulis oleh Mpu Tantular dalam kitabnya Sutasoma di sekitar tahun 1384-1385 dijadikan perekat bangsa oleh ‘the founding fathers’ menunjukkan bahwa pada zaman Majapahit telah terbangunnya keberagamaan yang inklusif pada umat beragama.

(6)

6

Olehnya itu, menurut Bambang Noorsena (2000:27) membangun masa depan bangsa yang agamis dan humanis adalah usaha yang segera dan mendesak dilakukan, sebab bila hal ini dapat diwujudnyatakan, maka nilai-nilai etika dan moralitas bangsa akan tegak dengan sendirinya. Dalam membangun masa depan, agama Budha mengajarkan umatnya untuk melaksanakan Dharma Agama dan Dharma Negara.

Dharma Agama mengamanatkan umatnya untuk mengamalkan ajaran agama dengan sebaik-baiknya serta menghargai perbedaaan (pluralitas agama) dan multibudaya.

Sedangkan Dharma Negara mengamanatkan umatnya menjadi seorang warga negara yang baik, memiliki jiwa patriotis, cinta tanah air dan bangsanya.

Dari beberapa pandangan yang dilandaskan pada teks kitab suci agama-agama di atas memberikan gambaran bahwa untuk membangun paradigma keberagamaan yang inklusif itu sangat penting karena semua agama menyampaikan pesan perdamaian.

Olehnya itu menurut penulis pesan dimaksud dapat menjadi inspirasi bagi umat beragama untuk melakukan dialog dan bekerja sama secara terbuka dengan berbagai komponen bangsa, dalam melihat persoalan bersama.

F. Prosedur Pendirian Rumah Ibadah

Dalam mengulas tentang prosedur pembangunan rumah Ibadah penulis mengutip beberapa bab, pasal dan ayat dalam Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 yang lebih dikenal dengan sebutan SKB untuk menjadi dasar teoritik dalam penulisan karya tulis ini.

Pada bab IV pasal 13 Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadah menegaskan bahwa dalam pendirian rumah Ibadah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pendirian rumah Ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

2. Pendirian rumah Ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.

3. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.

Kemudian dalam pendidirian rumah Ibadah pada pasal 14 di tegaskan sebagai berikut :

1. Pendirian rumah Ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:

a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah Ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

(7)

7

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c. Rekomendasi tertulis kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; dan d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

3. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah Ibadah.

Selanjutnya dalam pasal 15 di jelaskan bahwa Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.

Dari ulasan di atas, maka yang perlu penulis digarisbawahi adalah bahwa membangun sebuah rumah ibadah itu benar-benar karena kebutuhan riil atau nyata, disamping itu harus terpenuhi 90 orang pengguna dan pendukung pembangunan rumah ibadah dimaksud dari masyarakat setempat sebanyak 60 orang dibuktikan dengan KTP yang dilegalisir serta memperhatikan kerukunan umat beragama.

III. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Temuan

Pada latar belakang dan identifikasi masalah penulis telah menunjukkan beberapa fakta sebagai temuan, dan akan penulis ulaskan sebagai berikut:

1. Adanya protes warga terhadap pendirian rumah Ibadah yang menjadi kebutuhan nyata.

Adapun pemabngunan rumah ibadah yang diprotes oleh warga sebagai berikut:

a. Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi Utara.

Pembangunan Gereja Santa Clara Bekasi Utara kini di protes warga, pada hal proses pembanguna geduang gereja telah mendapatkan izin dan secara prosedur telah sesuai dengan PBM Nomor 9 dan 8, hal ini disampaikan oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi Rahmat Effendi.

Selanjutnya Rahmat mengatakan sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah, sudah dilakukan jemaat Santa Clara. Diketahui, ada sekitar 172 jemaat Santa Clara di Kelurahan Harapanbaru, Kecamatan Bekasi Utara, sehingga pemenuhan kuota sebanyak 90 jemaat sudah terpenuhi. Lalu, pemenuhan persyaratan persetujuan dari 60 warga sekitar yang muslim juga telah dipenuhi. "Hal ini dibuktikan dengan tanda tangan, bukti foto copy kartu tanda penduduk (KTP), yang telah diketahui RT, RW, kelurahan dan kecamatan setempat,"(http://www.beritasatu.com/fkub-kota-bekasi-tegaskan-izin-gereja-santa- clara-sesuai-ketentuan.)

Hal senada juga disampaikan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin bahwa “telah menelaah laporan dari lapangan terkait Gereja Santa Clara di Bekasi, Jawa Barat. Olehnya itu menurut Lukman, pihak gereja telah mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) sejak Juni 2015 dan memenuhi semua aspek legalitas pendirian gereja.” (http://www.rappler.com/indonesia/125317-menteri-agama-gereja- santa-clara-bekasi-memenuhi-syarat).

(8)

8

b. Pembangunan Masjid Al-Ikhwan Jalan Bajawa Kupang NTT.

Menurut salah satu staf seksi KUB Kanwil Kemenag Prof. NTT Yakobus (2016,) yang penulis hubungi lewat telpon menjelaskan bahwa Masjid Al-Ikhwan Jalan Bajawa Kupang NTT ini dibangun pada tahun 2014 yang lalu, dalam proses pembangunannya panitia telah mengurus izin ke walikota setempat, namun tidak mendapatkan izin karena belum memenuhi syarat sesuai PBM No 9 dan 8, diantaranya adalah 90 orang pengguna dan 60 orang pendukung dari umat agama lain pada tempat itu,

Namun setelah dicermati tentang adanya kebutuhan reel/nyata Oleh FKUB dan Pemda maka izinpun dikeluarkan. Tetapi ketika izin dikleuarkan wargapun protes dengan alasan yang pertama adalah pengguna masjid ini tidak mencukupi 90 orang dan masjid tersebut berada ditengah-tengah komunitas Kristen yang harus mendapatkan dukungan dari warga setempat sebanyak 60 orang. Alasan yang kedua adalah masjid yang ada di Kota Kupang cukup banyak, karena setiap kelurahan ada masjid dan jaraknya sekitar satu sampai dua kilo meter. Ini berarti kebutuhan untuk ibadah dapat dilakukan di masjid sekitar. Selanjutnya setelah dinegosiasi dengan FKUB dan Pemda, baru kemudian Pemda setempat menyediakan lokasi baru yang tidak jauh dari lokasi itu, dan kini masjid itu sudah dibangun dan hampir rampung.

Permasalahan yang sama juga di alami pada pembangaunan Masjid Nur Musafir di Batuplat Kota Kupang dan Masjid Jami Al Muhajirin di Kefamenanu Provinsi NTT serta pembangunan Gereja HKBP Fila Delpia Bekasi.

Ketiga rumah ibadah ini sulit untuk dibangun karena harus memenuhi persyaratan adanya dukungan 60 orang dari masyarakat setempat yang beragama lain, sesuai PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

2. Adanya alasan Kekhususan daerah untuk membatasi pembangunan rumah ibadah agama lain.

Kita ketahui bersama bahwa ada daerah-daerah tertentu yang memiliki Kekhususan bernuansa agama seperti Provinsi Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekah dan Kota Manokwari Papua Barat yang dikenal dengan Kota Injil. Ada dua peristiwa pada dua tempat ini yang penulis angkat sebagai data temuan yakni : Pertama Pembongkaran 10 gereja di Kabupaten Aceh Singkil Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2015, dengan alasannya karena tidak memenuhi syarat sesuai PBM nomo 9 dan 8 Tahun 2006 serta Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No. 25 Tahun 2007 (http://www.kanalaceh.com/2015/10/26/ayo-baca-ini-peraturan-gubernur-aceh-tentang- pendirian-rumah-ibadah/). Kedua adalah protes warga terhadap pembangunan Masjid Rahmatan Lil’alamin di Kabupaten Manokwari Papua Barat, dengan dasar Manokwari merupakan Kota Injil. (http://www.cahayapapua.com/pembangunan-masjid-diprotes ,29/10/2015).

B. Pembahasan

(9)

9

Dalam membahas hasil temuan diatas penulis mengulasnya secara berurutan sesuai denagan hasil temuan sebagai berikut :

1. (a). Terhadap permasalahan pada temuan nomor 1 poin a diatas, dalam kajian penulis, penyelesaian konflik pembangunan gereja Klara ini perlu diselesaikan secara bijak, karena pembangunan gedung gereja Klara sudah sesuai dengan prosedur PBM nomor 9 dan 8 tahun 2016 dan hal itu sudah diakui sendiri oleh Menteri Agama. Oleh sebab itu dalam menyikapi hal tersebut perlu ada sebuah kesadaran bahwa umat yang lainpun membutuhkan sarana ibadah yang sama sebagaimana kebutuhan kita akan sarana ibadah dimaksud. Bukankah dalam kitab suci agama-agama telah diajarkan untuk menghormati hak orang lain, apalagi upaya pendirian gedung gereja Klara tersebut sudah sesuai dengan prosedur.

Mengutip pemikiran Safi’i Ma’arif yang penulis kemukaan di atas, yakni “kepada orang Atheispun harus diberikan penghormatan yang sejajar bersama dengan penganut agama lainnya sebagai manusia. Penghormatan demikian ini didasarkan pada firman Allah SWT didalam Al-Qur’an surat Yunus: 99-100 sebagai berikut;

“Jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang yang beriman semuanya?. Dan tidak seorangpun tidak akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya”.

Karena itu, jangan karena kebencian kita pada suatu kaum kemudian kita berbuat tidak adil, bukankah Alqur’an telah mengajarkan bahwa berbuat adil itu merupakan sarana untuk menunjukkan ketaqwaan seseorang.

Penulis maksudkan dengan keadilan disini adalah memberikan keadilan kepada umat beragama yang lain dalam bentuk penghormatan terhadap hak beribadah dan memiliki sarana ibadah sesuai keyakinan yang dianutnya karena pembangunan rumah ibadah oleh jemaat gereja Klara Bekasi sudah sesuai dengan prosedur maka tidak ada alasan untuk menolak pembangunan gereja tersebut. Oleh karenanya sebagai warga bangsa yang hidup dalam kemajemukan keberagamaan harus menyikapi kondisi yang ada dengan penuh rasa toleransi demi terciptanya damai yang dicita-citakan bersama. Dalam Al Qur’an dijelaskan tentang kewajiban seorang muslim untuk menjadi pembawa perdamaian, yaitu senantiasa menjaga kedamaian dan kerukunan hidup dalam lingkungannya. Allah telah berfirman :

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-nisa’; 114)

Lebih jauh, ajaran Islam juga mewajibkan umatnya mencegah segala bentuk penganiayaan yang hendak dilakukan oleh “saudaranya” kepada “saudaranya” yang lain.

Sebagaimana termaktub dalam hadits Rasul :

“Tolonglah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya. Seorang sahabat bertanya, wahai Rasulullah kami pasti akan menolongnya jika ia teraniaya, akan tetapi bagaimana kami menolongnya jika ia berlaku aniaya?, Nabi menjawab : Halangi dan cegahlah dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian itulah pertolongan baginya”.

(HR. Bukhari melalui sahabat Anas ra.)

(10)

10

Kewajiban ini tidak hanya ditujukan kepada saudara seagama saja, sebab Allah Swt, secara tegas menyatakan bahwa manusia berasal dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), sehingga berkembang biak menjadi berbagai suku dan bangsa dengan perbedaan beraneka ragam perbedaan,sebagaimana firman Allah :

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat : 13)

Oleh karena itu kata Safi’i Marif “Kalau Al-Qur’an memberikan apresiasi terhadap agama lain, mengapa hal itu tidak di respon umat Islam dengan pemahaman secara sosiologis untuk membangun sebuah komunikasi dengan tidak membeda-bedakan agama, Karena lebih jauh Al-Qur’an pun menghargai hak hidup manusia”.

Demikian agungnya ajaran Islam, sehingga sebenarnya jika seorang muslim mau bersungguh-sungguh membangun paradigma keberagamaan inklusif dengan mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh (Kaffah), maka keberadaan umat Islam akan benar-benar menjadi rahmat bagi lingkungannya (rahmatan lil’alamin), walaupun dalam kondisi dimana umat Islam menjadi umat yang mayoritas di suatu tempat.

1. (b). Dalam temuan nomor 1 poin b dijelaskan bahwa terdapat kesulitan untuk mendapatkan izin dalam pembangunan rumah ibadah yang disebabkan karena umat beragama menggunakan kekuatan mayoritas untuk membatasi pembangunan rumah ibadah umat agama lain. Dalam analisa penulis, sebagian besar konflik yang membayangi pembangunan rumah ibadah ini terjadi di daerah yang terdapat umat beragama mayoritas yang masih merasa kurang nyaman atas keberadaan umat beragama yang minoritas. Rasa kurang nyaman ini bisa saja diakibatkan oleh kekhawatiran terhadap kemungkinan perkembangan agama minoritas di daerah atau wilayah tersebut yang menyebabkan hilangnya kemayoritasan agama yang sudah ada sebelumnya.

Hal ini khususnya terjadi pada Islam dan Kristen yang masih saling curiga karena kedua agama ini memiliki potensi untuk melakukan ekaspansi dalam memperbanyak umatnya masing-masing melalui dakwah dan misi sehingga tindakan pencegahan (preventif) dalam menjaga identitas kelompok terus di lakukan. Akibatnya umat dari agama tertentu dapat melakukan tindakan diskriminatif terhadap umat agama lain dalam pembangunan rumah ibadah. Selain itu dalam analisa penulis, penggunaan kekuatan mayoritas untuk menghalangi ataupun membatasi pembangunan rumah ibadah bukanlah solusi untuk untuk mencegah konflik horizontal yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi, misalnya saja di Aceh, Jawa, Bali, NTT dan Papua. Kita bisa saksikan bagaimana sulitnya umat beragama membangun rumah ibadah, berapa banyak rumah ibadah yang di protes atau dibongkar karena belum terpenuhinya syarat yang terkait dengan dukungan 60 orang dari masyarakat yang beragama lain disekitar pembangunan rumah ibadah dimaksud dikarenakan tidak adanya dukungan dari umat beragama yang mayoritas, sementara syarat lain yang dikehendaki oleh PBM No 9 dan 8 tahun 2006 sudah terpenuhi, dan umumnya terdapat di daerah yang suatu agama menjadi minoritas.

Menurut penulis hal ini terjadi juga disebabkan karena umat beragama menggunakan cara pandang agamanya untuk memandang agama orang lain, Misalnya:

Umat Islam melihat setiap satu pembangunan Gereja untuk semua umat Kristen,

(11)

11

sementara dalam Agama Kristen ada banyak sekte, dan setiap sekte mempunyai gerejanya masing-masing. Sebaliknya Umat Kristen memandang bahwa dalam satu kelurahan atau desa cukup satu masjid/musholah untuk menampung umat Islam dalam beribadah, namun kalau jaraknya jauh maka sangat sulit bagi seorang muslim untuk melaksanakan shalat lima waktu di masjid, sementara dalam Islam shalat dimasjid lebih utama dari pada shalat di rumah.

Disamping itu, umat beragama disatu sisi berusaha memelihara identitas dan agamanya, sementara pada sisi lainnya umat beragama dituntut untuk memberi andil dalam menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa. Maka dalam kaitan ini diperlukan kearifan dan kedewasaan di kalangan umat beragama untuk memelihara keseimbangan antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional.

Untuk itu penting bagi umat beragama untuk membangun paradigma keberagamaan inklusif agar kecurigaan antar umat beragama dapat dihilangkan dengan adanya rasa kasih sayang dan bekerja sama sesama umat beragama. Bukankah dalam ajaran agama telah diajarkan untuk membangun sifat kasih dan sayang untuk berhubungan dengan orang lain.

Diatas penulis telah uraikan dasar bagaimana Islam menuntun umatnya membangun paradigma keberagamaan inklusif, begitu juga dengan ajaran agama Kristen AA Yewangoe (2015:xiii) mengatakan bahwa “ ketika hubungan vertikal yang terbangun antara manusia dengan Allah, maka pada saat yang sama hubungan horisontal sesama manusia tetap terjaga. Hal ini didasarkan pada kata-kata Yesus : (Mat.22:37-39);

“Mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu, ialah : Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri” .

Menurut Yewangoe, kedua hukum itu memiliki hubungan erat diantara keduanya. Dengan kata lain, tidak mungkin orang hanya menyatakan cinta kasih kepada Allah secara abstrak, tanpa mengungkapkan secara kongkret dalam perbuatannya setiap hari kepada sesamanya. Olehnya itu lebih lanjut Yewangoe (2015:53) berpandangan bahwa dalam konteks itu maka seluruh umat manusia terpanggil untuk mangatasi egoisme, perpecahan dan kekacauan.

Dengan mengutip pemikiran diatas tentang dua hukum yang di ajarkan oleh Yesus, maka penulis berpandangan bahwa seharusnya dua hukum ini dapat menjadi motivasi dan inspirasi bagi umat Kristen untuk membangun relasi dengan sesama umat beragama dengan tidak membeda-bedakan walaupn dalam kondisi umat Kristen menjadi umat yang mayoritas pada daerah-daerah tertentu.

2. Menurut penulis Kekhususan yang dimiliki oleh daerah di Indonesaia haruslah dihormati atau dihargai. Karena dalam UUD 1945 pada pasal 18b ayat 1 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.

Namun tidak berarti bahwa dengan kekhususan itu kemudian membatasi hak warga negara yang menganut agama tertentu untuk membangun rumah ibadah sebagai kebutuhan riil atau nyata sesuai dengan agama dan kepercayaannya, karena pada pasal Pasal 29 ayat 1 menegaskan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kemudian pada ayat 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

(12)

12

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Disamping itu dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966 Pasal 18 di diantaranya mejelaskan bahwa: setiap orang berhak untuk memiliki keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengalaman, dan pengajaran.

Oleh sebab itu kekhususan daerah seperti di Aceh yang dikenal dengan kota Serambi Mekah maupun kekhususan di Papua dan Papua Barat khususnya di Kota Manokwari yang dikenal dengan kota Injil tetap dihormati sebagai kekahasan daerah. Tetapi tidak berarti bahwa alasan kekhususan ini kemudian memberikan persyaratan yang begitu rumit bagi umat agama lain dalam membangun rumah ibadah, (baca kasus Aceh Singkil 10 gereja dibakar karena dianggap tidak memenuhi syarat sesuai PBM nomor 9 dan 8 Tahun 2006 serta peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No.

25 Tahun 2007 terkait Pendirian Rumah Ibadah.) dan di Papua Barat (Baca : kasus pemabatasan pembangunan masjid dan pelarangan membangun masjid raya). Dalam hemat penulis agama apapun tidak mengajarkan umatnya untuk mempersulit dan membatasi umat lain untuk membangun rumah ibadahnya, selain itu hak beribadah dijamin oleh negara.

Sehubungan dengan hal ini menurut penulis diperlukan kebijakan strategis oleh pemerintah untuk daerah-daerah yang memiliki kekhususan atau yang memiliki kekhasan seperti Aceh dan Manokwari. Kebijakan strategis selain yang dituangkan dalam PBM No. 8 dan 9 2006, demi menjaga keharmonisan hidup umat beragama. Disisi lain umat beragama pada daerah-daerah khusus diharapkan untuk tidak membangun paradigma keberagamaan ekslusif seiring dengan kekhususan itu. Bukankah agama-agama sesungguhnya mempunyai keterkaitan historis, meskipun tradisi imannya berbeda. Tidak benar secara historis jika umat beragama tertentu memutuskan hubungan historis dengan agama-agama lain.

Atas dasar inilah menurut penulis, umat beragama seharusnya secara intensif melakukan kajian-kajian keagamaan secara terbuka guna memahami nilai-nilai universal serta memahami perbedaan-perbedaan dalam pengamalan ajaran agama masing-masing sebagai dasar dan inspirasi positif dalam membangun paradigma keberagamaan inklusif .

IV. PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas penulis berkesimpulan bahwa membangun paradigma keberagamaan inklusif sangat penting bagi umat beragama dalam merespon pembangunan rumah ibadah di Indonesia, karena dengan keberagamaan inklusif umat beragama memiliki sikap yang terbuka dalam memahami nilai-nilai universal serta memahami perbedaan-perbedaan dalam pengamalan ajaran agama masing-masing, sehingga kehadiran sebuah agama ditengah agama lain tidak dilihat sebagai kehadiran yang dicurigai dan ditakuti. Disamping itu keberagamaan inklusif sangat berkonstribusi bagi umat beragama untuk saling memghormati dalam membangun rumah ibadah.

B. Saran

(13)

13

Berdasarkan ulasan di atas, maka penulis dapat menyarankan sebagai berikut:

1. Kepada Balai Diklat Keagamaan Ambon untuk terus memprogramkan diklat Kerukunan umat beragama sebagai program unggulan untuk memberikan penguatan tentang paradigma keberagamaan inklusif bagi aktor kerukunan umat beragama.

2. Kepada Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementeriaan Agama RI untuk bersama Menteri Agama membuat kebijakan strategis yang memudahkan umat beragama di daerah yang memiliki kekhususan untuk membangun rumah ibadah sebagai kebutuhan riil.

Daftar Pustaka

Alquran Dan terjemahannya, (1418). Madinah,Majma’ al Malik fahd Li Thoba’ati Al Mushafi Al Syafi’i.

Ali Litiloly. (2009). Kajian Teologis Sikap Tokoh Muhammadiyah Tentang Pluralisme Agama Haram Bagi Umat Islam:UKSW, Juli, 2009.

Alwi Shihab, (1997). Islam Inklusif. Bandung: Mizan

Arikunto Suharsimi, (2010). Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan Prakatis, Jakarta: Rineka Cipta.

A.A. Yewangoe, (2015). Agama dan Kerukunan, Jakarta: Bpk Gunung Mulia

Basyuni, Muhammad M, (2006). “Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama”,Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.

Depag RI, (1995) Terjemahan Kitab Upanisad,Jakarta: Balai Pustaka, Fillipi,II:10-12,Jakarta Balai Pustaka,

I Made, Dimensi Etika dan Moralitas Masa Depan Kebangsaan Indonesia, Makalah disampaikan dalam Acara Lokakarya Nasional “Masa Depan Kebangsaan Indonesia, Jakarta 16 September 2004.

Jandra dkk, (2005), (peny). Tajdid Muhammadiyah Untuk Pencerahan Peradaban, Yogyakarta: MT-PPI PP Muhammadiyah Bekerjasama dengn UAD Press

Jhon Maruli Situmorang, (1998). Inkarnasi-Inkulturasi;Perulatan Kristus dan Budaya,Bandung,

;St.Loouis,1998,hlm.46

Noorsena , Bambang, (2000). Religi dan Religiositas Bung Karno, Denpasar:Yayasan Bali jagadhita Press,

PP NA Tim, (2000). (peny), Agama dan Harmoni Kebangsaan dalam Perspektif Islam, Kristen-Katholik, Hindu, Budha, Khonghuchu, Yokyakarta: PP Nasyiatul ‘Aisyiah.

Reynold Uran, (2013) Analisis Konflik Pembangunan Rumah Ibadat Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Studi Kasus Pembangunan Masjid Di Kota Kupang),Jogyakarta: Universitas Gadjah Mada

http://www.cahayapapua.com/pembangunan-masjid-diprotes , 29/10/2015, diakses 14 Juli 2016

http://www.kanalaceh.com/2015/10/26/ayo-baca-ini-peraturan-gubernur-aceh-tentang-pendirian-rumah- ibadah/, diakses 14 Juli 2016

https://www.change.org/p/indonesia-tolak-penghentian-pembangunan-gereja-santa-clara, diakses 14 Juli 2016

http://www.benarnews.org/indonesian/berita/skb2.html Akses 14 Juli 2016

Referensi

Dokumen terkait

setelah memasukkan koefisien yang diperoleh dari analisis diskriminan dari 58 data kejadian dari masing- masing model dapat dilihat yang memiliki nilai keakuratan

es Kemenkes Manado kontrasepsi yang memiliki hun proteksi dan tidak perlu aruhi akseptor KB dalam n, jumlah anak, dukungan D, tempat pelayanan KB, n Dengan

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka pengertian prokrastinasi kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah perilaku yang dilakukan secara sengaja menunda untuk

Data hasil observasi siklus I dan siklus II tentang aktivitas guru yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data hasil belajar siswa, aktivitas guru dan

Dalam penelitian ini menguji variabel independen yaitu asimetri informasi, ukuran perusahaan dan profitabilitas terhadap variabel dependen yaitu manajemen laba.. Populasi

Berdasarkan penelitian diatas dapat dilihat bahwa indikator iklim kerja menjadi inidkator yang paling dominan mempengaruhi kinerja para pegawai di Dinas Kebudayaan

Umur panen buah okra yang berbeda pada interval pengamatan tiga hari setelah bunga mekar sampai sepuluh hari setelah buah mekar berpengaruh nyata terhadap

Alkalinitas - nilai pH pada rasio feses sapi dicampur dengan air (kg/kg) Dari Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa gasbio yang dihasilkan oleh campuran kotoran sapi yang komposisinya