• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP KETUHANAN DALAM TEKS GANAPATI TATTWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONSEP KETUHANAN DALAM TEKS GANAPATI TATTWA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Page 186

KONSEP KETUHANAN DALAM TEKS GANAPATI TATTWA

Oleh

Kadek Ari Cahyadi

STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja dekarik263@gmail.com

Abstract

Tatva is a term from philosophy which is a system that examines the truth and discusses the philosophical values contained in the truth of Hindu teachings from the truth of Tatva itself. of the many parts of the Tattwa of which Lontar Ganapati is part of one of the tatvas itself. Ganapatitatwa is a Tatva papyrus with a Shivaistic pattern which was composed by the method of dialogue between Sang Ganapati (Shiva's son) and Hyang Iswara or Shiva himself the father of Ganapati, where in this lontar Lord Shiva gives a discourse on the teachings of Jnana Rahasyam about the mysteries of nature. the universe to the Ganapati. This Lontar is written with 37 fronds consisting of 60 Sanskrit anustubh stanzas and the Ganapatitatva text was adopted in the archipelago into the lontar text which is reviewed in Kawi / Old Javanese language. As for a brief review regarding the formation of the universe and its contents, the sources and elements that make up everything that exist are described and also described as Om Kara is the sunnya sabha or called the Brahman tone, the Brahman tone is the origin of the existence of the Pancadaiwatma being born. Pancadaiwatma is the source of the Panca tan matra created, Then from Pancatanmatra gave birth to Pancamahabhuta, now from these three elements the universe and its contents were created and Sang Hyang Siwatman is the source of life that moves all of his creations. In addition, there is also a concept of his teachings called Sadanga Yoga as the concept of a spiritual path to achieve liberation and the existence of Padmahrdaya as the stana of Hyang Iswara or Shiva himself who is worshiped with caturdasaksara.

Key Words: Divinity, Ganapatitattwa

I. PENDAHULUAN

Dilihat dari sejarah pertumbuhan seluruh Veda itu, di mana pengembangan sistematikanya tidak saja dilihat dari segi fungsi dan penggunaannya saja, tetapi juga dilihat dari aspek bentuk kejadiannya. Dalam hal ini, kitab suci Veda terdiri dari dua bagian yaitu Śruti dan Smr̟ti. Kitab Śruti merupakan wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa yang didengarkan oleh para Mahārs̟ i, sedangkan kitab Smr̟ti merupakan kitab yang ditulis oleh para Mahārs̟ i berdasarkan ingatannya (Putra, 2021). Veda Śruti terdiri dari kitab

Mantra (R̟g Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan Atharva Veda), kitab Brāhmana, kitab Āran̟yaka dan Upanis̟ ad. Veda Smr̟ti terdiri dari Vedāṅga, Upaveda, Upaṅgaveda, dan Āgama. Disamping Veda sebagai sumber ajaran tertinggi Agama Hindu terdapat juga sumber-sumber lainnya yang disebut dengan susastra Hindu.

Susastra Hindu merupakan karya para Mahārs̟ i yang dipergunakan sebagai suatu cara atau upaya penyebarluasan Agama Hindu (Anggraini, 2020).

Susastra Hindu tersebut melatarbelakangi munculnya banyak tafsir-tafsir mengenai ajaran Agama

(2)

Page 187 Hindu, yang dikenal sebagai filsafat

(tattwa), yang berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi di mana ajaran Agama Hindu itu berkembang, sehingga dalam pelaksanaannya sering terjadi perbedaan-perbedaan tetapi tidak meninggalkan sumber aslinya (Veda). Selain itu, perbedaan pelaksanaan keagamaan juga dipengaruhi oleh sekta-sekta yang ada.

Sekta-sekta yang ada tersebut masing- masing memberikan warna pada setiap pelaksanaan keagamaan yang berlangsung. Sekta-sekta tersebut adalah Siwa Siddhanta, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, Boddha atau Sogata, Brahmana, Rsi, dan Sora (Goris, 1986: 4).

Keberadaan sekta-sekta tersebut, khususnya di Bali telah mengalami penyatuan, sehingga dalam pelaksanaan keagamaannya diibaratkan seperti untaian benang warna-warni yang dirajut menjadi sehelai kain, sehingga mampu menarik perhatian dan simpati orang lain untuk menikmati keindahannya. Selain itu, keberadaan sekta-sekta juga telah mengembangkan sumber ajaran Agama Hindu (Veda) ke dalam bentuk naskah- naskah lontar (Dewi, 2020).

Lontar-lontar yang ada di Bali dapat diklasifikasikan menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok Tattwa, kelompok Susila, kelompok Upacara, kelompok Wariga, dan kelompok Babad (Dunia, 2009: v-vi). Kelompok Tattwa meliputi Bhuwana Kośa, Tattwa Jñāna, Wr̟haspatitattwa, Pametelu Bhat̟āra, Gan̟apati Tattwa, Sanghyang Mahājñana, Brahmokta Widhisastra, Purwaka Bhumi, Purwa Bhumi Kamulan, Bhuwana Sangks̟ epa, Tattwa Dhangdhang Bang Bungalan, Tutur Śiwa Banda Sakoti, Tutur Budha Sawenang dan lain-lain. Kelompok Susila meliputi Sila Kramaning Aguron-guron dan lain-lain. Kelompok

Upacara meliputi Sri Jaya Kasunu, Janma Prawerti, Śiwa Tattwa Purana, Putru Pasaji, Yama Purwana Tattwa dan lain-lain (Gunawijaya, 2021).

Kelompok wariga meliputi Sanghyang Swamandala dan lain-lain. Kelompok Babad meliputi Babad Dalem Sawangan Paminggir dan lain sebagainya. Lontar yang jumlahnya begitu banyak turut pula memberikan bentuk terhadap ajaran Agama Hindu yang dikembangkan menjadi tiga kerangka dasar, yang terdiri dari tattwa, susila, dan upacara. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu (Adiputra, 2003:22).

Lontar-lontar tersebut berbahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. Namun, di Bali sudah banyak lontar-lontar tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan agar mempermudah pembaca yang kurang mampu memahami bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna dalam memahami ajaran yang disampaikan dalam lontar bersangkutan. Pada dasarnya semua lontar-lontar tersebut tidaklah secara mentah menyerap ajaran Veda, namun sudah mengalami suatu seleksi dan penyaringan yang bijaksana disesuaikan dengan alam pikiran dan desa, kala, patra setempat. Karena luas daerah dan panjangnya waktu yang dilaluinya maka wajahnya dapat berubah, sesuai dengan ruang dan waktu yang di laluinya, namun esensinya tetap sama. Hal ini memungkinkan untuk lebih mudah memahami dan mempelajarinya, karena memahami dan mempraktekkan ajaran Veda yang memuat ajaran yang bersifat rahasyam terasa sangat sulit.

Hal itu juga disebabkan karena Veda bersifat anadi ananta (kekal abadi), sehingga dalam memahaminya diperlukan tafsir-tafsir yang menguraikan hakekat di dalamnya,

(3)

Page 188 yaitu melalui tattwa. Pada hakikatnya

ajaran Veda mengisyaratkan agar manusia mampu menyadari tujuan ia dilahirkan, hidup di dunia, dan pada akhirnya harus siap untuk meninggalkan dunia, serta yang merupakan tujuan utamanya adalah melepaskan dirinya dari belenggu kehidupan duniawi (melepaskan karma) (Dewi, 2020).

Sejauh ini sains sebagai pengetahuan modrn telah mempelajari segala aspek ilmu di alam raya ini (Bhuana Agung) berbagai aspek pengetahuan yang terdapat pada alam semesta ini mulai dari unsur penciptaan alam semepsta seperti teori big beng, generasio spontnia,fisika biologis dan lain sebagainya, akan tetapi masih belum bisa menjawab pertanyaan mengenai keberadaan Tuhan. agama adalah sebagai ruang yang menampung segala aspek pengetahuan baik sains, biologis, ilmu sosial, metafisika dan pengetahuan teologis. Salah satunya agama Hindu adalah sebuah agama yang menaungi aspek pengetahuan tentang Teologi Hindu atau brahma widya yang di mana memberi pemahaman bahwa yang ada, yang akan ada bahkan yang tiada adalah di sebabkan karena adanya kausa prima atau secara umum disebut dengan Tuhan Yang Maha Esa sebgai sumber cikal bakal penciptaan bhuana agung dan bhuana alit, menurut pandangan Tatwa yakni Saqdha Siwa Tatwa merupakan kesadaran kedua dari Parama Siwa tatwa iya bersifat wyapara yang berstana dalam padmasana yang di sebut cadhusakti, dengan saktinya iya menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya dan yang di sebut kausa prima adalah sadha siwa (Gunawijaya, 2019).

Ajaran pokok siwa sidhanta adalah siwa merupakana sebagai realitas tertinggi, dan jiwa atau roh

merupakan inti sari yang sama dengan Siwa. Dalam hal ini siwa di gambakan dalam bentuk Cetana (unsur kesadaran) yaitu tidak tergoyahkan, hakikat yang tidak terpengaruh dari ketidak sadaran dan bersifat abadi, yang di mana bersifat kokoh dan tidak tergoyahkan.

Adapun cetana terbagi dari tiga bagian yakni yang di sebut dengan Paramasiwa Ttawa yang di maksukan kesadaran tertinggi, sadasiwa yang merupakan kesadaran menengah dan siwatatwa yang berarti kesadaran terendah, yang dimana ketiganya ini di sebut dengan cetana telu. Salah satu lontar yang menggubah dan keterkaitan dengan Siwa Tatwa yakni lontar Ganapatitatwa yang merupakan filsafat siwa, yang di gubah dengan mempergunakann metode tanya jawab antara ganapati dengan Bhatara Siwa sebagai ayah dari ganapati. Ganapti adalah dewa penyanya yang cerdas.

Dan Siwa adalah maheswara yang menjabarkan ajaran abstrak dan Jnana Rahasyam, menjelaskan misteri tentang alam semesta beserta isinnya, dan menjabarkan tentang kausa prima dari dari segala yang ada baik alam semesta, dan nirwana. Berikut penulis secara menditile akan menyajikan pokok pembahasan mengenai “Konsep Ketuhanan Dalam Ganapati Tatwa.

II. METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (interpretif) yang menitikberatkan pada deskripsi dan interpretasi sebuah tindakan. Penelitian ini bersifat kualitatif, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara

(4)

Page 189 triangulasi (gabungan), analisis data

bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2016: 9).

Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau

III. PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Lontar Ganapatitatwa

Ganapati tatwa adalah sebuah lontar bagian dari filsafat Siwa yang di mana isinya dalam berntuk dialog antara Bhatara Siwa dan Sang Hyang Ganapati, puteranya Bhatara Siwa sendiri, yang di gubah dengan menggunkan metode tanya jawab.

Ganapati, putera Siwa merupakan dewa penanya yang cerdas, dan Siwa adalah Maheswara yang menjabarkan ajaran jnana rahasyam/ ajaran rahasia, yang isinya menjelaskan tentag misteri alam semesta beserta isinya, terutama tentang hakekat manusia, dari mana di lahirkan, untuk apa iya lahir, kemana iya akan kembali, dan bagaimana caranya agar mencapai kelepasan (Komang Heriyanti, 2021).

Tanya jawabnya yang di tulis didalam 37 daun Tal itu di susun dalam 60 bait anusthtubh sansekerta yang di sertai dengan ulasan dalam bahasa kawi. Adapaun ulasan secara ringkas di jabarkan sebagai berikut: Om Kara adalah sabha sunnya, nada Brahman merupakan asal muasal keberadaan Pancadaiwatma yakni, Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra, dan Sang Hyang Sadhasiwa di lahirkan. Pancadaiwatma adalah sumber dari Panca tan matra di ciptakan yakni panca tan matra yang terdiri dari Ganda (unsur bau), Rupa (unsur bentuk), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur

rabaan) dan Sabdha (unsur suara).

Kemudian dari Pancatanmatra melahirkan Pancamahabhuta yang terdiri dari Apah (zat cair), Teja (unsur panas), Wayu (unsur angin/ udara), Akasa (ether) dan Pertiwi (unsur tanah) (Dewi, 2021). dari panca mahabhuta inilah alam semesta beserta isinya di ciptakan. Sang Hyang Siwatman adalah sumber hidup yang menggerakan segala ciptaanya. Selain itu terdapat pula konsep ajarannya yang di sebut dengan Sadanga Yoga yang terdiri dari Pratyahara, Dhyana, Pranayama, Darana, dan Samadhi sebagai konsep jalan spritual untuk mencapai kelepasan.

3.2 Konsep Telogi dalam Ganapatitatva

Menurut Relin (2012: 37) menjelaskkanTeologi Berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua urat kata yakni “Theos”yang berarti Tuhan dan “Logos” yang berarti ilmu.

Teologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang Tuhan. Selanjutnya Santika (2017:8) menjelaskan bahwa Teologi bagian dari cabang filsafat yang secara spesifik membahas tentang aspek-aspek ketuhanan yang dapat di gunakan sebagai sarana untuk merumuskan Teologi dalam keyakinan dan agama- agama maka di dalam hindu di temukan istilah Teologi Hindu atau istilah lainnya di sebut dengan Brahma Widya yang merupakan suatu ajaran tentang Ketuhanan Hindu dalam konteks Weda.

Kemudian beranjak pada konsep ketuhanan dalam Ganapatitatwa dijelaskaskan Om Kara adalah wujud sabdha sunya, Nada Brahman, asal mula Pancadaivatma, Brahma, Visnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadhasiva (Marselinawati, 2020).

Pancadaivatma merupakan asal dari

(5)

Page 190 unsur panca tan matra yang teridi dari

rupa (unsur bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur sentuhan) dan Sabdha (unsur suara). Panca Tan Matra merupakan suatu unsur yang membentuk unsur Panca Mahabutha yang merupakan unsur materi (elemen alam semesta) yang teridir dari Apah (air), Teja (panas), Vayu (angin), Prthivi (tanah) dan Akasa (ether). Dari Panca Mahabhuta ini alam semesta beserta isinnya di ciptakan, dan Sang Hyang Siwa merupakan sumber hidup yang menggerakan segala ciptaannya.

Berikut merupakan dialog mengenai Sang Hyang Siwa dengan Ganapati yang di mana Sang ganapati sedang mengajukan pertanyaan terhadap Sang Hyang Siwa mengenai keadaan Pancadaiwatman sebagai sumber yang menggerakan seluruh alam semesta (Ganapatitatwa 1-2, 25-39).

1. Nihan pitutur ira Bhatara Siwa, ri Sang Hyang Gana, Sembah ning tanaya ring sanghulun, Bhatara hanta warahana tanaya ra sanghulun, lamakane wruh ri kawijilan ring Pancadaivatma, saking ndi pawijilan ira, ya ta warahana patik sanghulun (Ganapatitatwa 1).

Artinya: Beginilah nasehat-Nya Bhatara Siwa terhadap Sang Hyang Gana. “sembah hamba putera paduka kehadapan Bhatara, tolonglah hendaknya berkati beritahukan hamba putera tuanku, agar dapat mengetahui perihal keadaan-Nya Pancadaivatma itu, dari manakah sumber-Nya, itulah hendaknya jelaskan kepada hamba putera tuanku!”

2. Iswara uwaca, anakku Sang Hyang Ganapati pirengwakena pawarah kami iri kita, ikang sabdha sunya.

Saking Omkare mijil bindhu kadu embun hana ri agra ning kusa, kasenwan Rawi, mahening kadi dhupa, diptan niramabhraakara- karasekng bindhu matemahan pancadaivatma, Brahma, Visnu, Rudra, Kami, mwang Sang Hyang Sadhasiwa, mangkananakku makapawijilan ing Daiwatma (Ganapatitatwa 2).

Artinya: Iswara bersabdha, “Putraku Sang Ganapati, perhatikanlah wejanganku ini untukmu, yakni sabdha spiritual (Gaib): dari Om- kara muncul windu, bagaikan embun yang berada di ujung rambut/rumput, di sinari matahari bening bagaikan dupa, sinarnya terang cemerlang berkilauan. Dari windu itu munculah Pancadaiwata, yaitu: Brahmam, Visnu, Rudra, Kami/Daku dan Sang Hyang Sadhasiwa. Demikianlah putraku, perihal keadaanya Daiwatma itu.

3. Kalingannya, ikang

niskalamijalaken nada, saking nada ngmijilaken bindu, sakeng bindhu ngamijilaken ardhacandra, saking ardhacandra ngamijilaken wiswa maluy-waluy laksananya, wiswa ngaran sSang Hyang Pranawa, Sang Hyang Pranawa jatinya Omkara (Ganapatitatwa 25).

Artinya: dari niskala lahir Nada, dari Nada muncul Bindu, dari Bindu lahir bulan (semi), dari bulan itu ada Wisnu/ dunia berulang-ulang.

Tegasnya, yang niskala itu melahirkan Nada, dari Nada melahirkan Bindu, dari Bindhu melahirkan Ardhacandra, dari Aedhacandra melahirkan Wiswa/alam semesta, berulang- ulang pelaksanaanya; Wiswa berarti

(6)

Page 191 Sang Hyang Pranama, Sang Hynag

Pranama sesungguhnya Om-kara.

4. Ikanang sam lawan ikang bam, ya ta matemahan akara, iakanang tam lawan ikang am, ya ta matemahan ukara (Ganapati 39)

Artinya: adapun apabila di mulai pada aksara Ú (Ukara) selanjutnya di ikuti oleh aksara A dan terakhir aksara Ma, sebagai peleburan Sang Hyang tri aksara Um,Am, dan Mam (akan mencapai) sorga juga karenanya. Adapun aksara Ú lebur pada Bindhu (windu = titik) dan Ardhacandra. Sedangkan aksara Ma (makara) lebur pada nada. Nada itu terletak pada alam kosong.

Demikianlah tatacaranya. Sampai pada hati caturdasaksara.

Dari paparan dialog di atas dapat di pahami Om kara adalah wujud Sabdha sunya, nada Brahma, asal mula Pancadaivatma, Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra dan Sang Hyang Sadhasiwa. Panca daiwatman adalah asal dari pada unsur panca ta matra yang teridui dari Rupa (unsur bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur kenikmatan/ kesenaangan), Sparsa (unsur sentuhan) dan Sabdha (unsur suara). Dan dari panca tan matra melahirkan Panca Mahabhuta yang terdiri dari Apah (air), Teja (panas), Vayu (Angin/udara), Akasa (ether) dan pertiwi (tanah) (I Wayan Kariarta, 2021). Lebih tegasnya Omkara sebagai sabda sunya asal dari Pncadaiwatma, yang kemudian melahirkan unsur Panca tanmatra, dari panca tanmatra melahirkan Pancamahabhuta dari beberapa aspek inilah sebagai hakekat Tri Purusa atau hakekat Siwa sebagai realitas tertinggi yang meggerakan seluruh alam semesta.

3.3 Konsep Ajaran Ganapatitattva

Di jelaskan pula dalam Lontar Ganapatitatwa yang terdapat konsep ajarannya yang di sebut dengan Sadanga Yoga yang terdiri dari, Pratyahara Yoga, Dhyana Yoga, Pranamayama Yoga, Darana Yoga, Tarka Yoga dan Samadhi Yoga sebagai suatu jalan untuk mencapai moksa, dan juga menjabarkan tentang eksistensi Padmahrdaya sebagai Siwa Lingga.

Adapun konsep ajaran diuraikan sebagai berikut:

a. Konsep Ajaran Sadanggayoga 1. Nihan tang sadhangga Yoga

ngaran nira, kaweruhan tanaku sang Ganapati, iwirnya, pratyaharayoga, dhyana yoga, pranama yoga, dharanayoga, tarka yoga, samadhi yoga (Ganapatitatwa 3 ).

Artinya: inilah yang di maksud Sad-Anggayoga, yang penting kau ketahui selalu putraku Sang Ganapati, yaitu Prathyahara-

yoga, Dhyana-yoga,

Pranamayama-yoga, Dharana- yoga, Tarka-yoga, dan Samadhi- yoga.

2. Pratyahara ngarananya, ikang sarwendrya winatek haywa wineh ri wisayannya, kinempli citta pahomalilang yapwan enak phawana heningnya mariwipyannya, yatika

prathyayoga nga

(Ganapatitatwa 4 )

Artinya: Pratyaharayoga artinya segala hubungan hawa nafsu itu terkekang, tiada di bebaskan pemuasannya, di kendalikan dengan kesadaran iman suci yang teguh, meskipun kurang mesra namun ada juga kejernihan-nya, surutnya

(7)

Page 192 oemuasan nafsu itulah yang di

sebut Pratyaharayoga.

3. Dhyanayoga ngarannya, ikang ambek tan parwarwana tan wikarana, enak pwa henang heningnya, nircancala, umideng tan kawaranan, ekacittanjusmaraa pinaka laksanannya, yeka dhyanayoga nga (Ganapatitatwa 5)

Artinya:Dhyanayoga artinya sistem pemikiran yang tiada berdua-duaan, tanpa perubahan (selalu) tenang jua dalam suka dukanya, tiada pernah gelisah, tetap teguh tanpa terpengaruhi, kesadaran pemikiran yang manunggal itulah jadi prilakunya, demikianlah yang di maksud Dhyanayoga.

4. Pranamayoga ngaranya, tutupanang dwara kabeh, mata,irung,kapo,tutuk, ndan ikang wayu rumuhun isepen wetwakena haneng munwunan, kunang yapwan wuwusdaraka wineh metu maring irung kalih, ndan pahalon ikang wayu, yeka pranamayoganga

(Ganapatitatwa 6).

Artinya: Pranamayoga artinya tutuplah segala lubang mata, higung, telinga, dan mulut, namun terlebih dahulu isaplah udara, konsentrasi pada ubun – ubun, jika sudah merasa tegang terkendali biarkanlah keluar melalui lubang hidung yang kedua udara itu secara perlahan itulah yang di sebut konsentrasi

pengaturan napas

(Pranayamayoga).

5. Daharanayoga ngaranya, Omkara pranawa hana ri hrdhaya, yateka dharanan pegengen ikang niswasa, yapwan hilang mari karengo kala ning yoga, yeka sunyasiwamaka wak Bhatara, yeka dharana yoga nga (Ganapatitatwa 8).

Artinya: Dharanayoga berarti spiritualitas simbolik Om-kara itu ada di hati, yaitu sebagai pusat pengaruh jasamaniah, bila tenang tiada lagi terdengar sesuatu, bila tenang tiada lagi terdengar sesuatu saat beryoga, maka dalam sttus beginilah Bhatara (ataman) dalam perwujudan sunya Siwa (jiwa manunggal dengan siwa)/

sadhasiwa dengan sumber jiwa alam semesta.

6. Samadhoyoga ngaranya, ikang jnana tanpangupeksa, tanpanglpana, lanpangakwana, tan hana kahyun irinya, tan hana sadhya nira, malilang tan kawaranan, yeka samadhiyoga nga (Ganapatitatwa 9)

Artinya: bathin yang tidak lalai, tiada berharap, tanpa keakuan, tiada sesuatu yang di ingnkannya, tak ada yang di perlukan, tenang tiada terpengaruhi, itulah yang di namakan Samadhyoga.

b. Eksistensi Padmahrdaya Sebagai Siwalingga

Kemudian di uraikan tentang eksistensi keberadaan padmahrdaya ( Padmahati ) sebabagai Sang ynag Siwa Lingga, beliau harus di renungkan.

Hanya iya yang bijaksana, berhati suci dan penuh keyakinan yang dapat

(8)

Page 193 mengetahui beliau. Beliau hendaknya

setiap saat di puja dengan sarana Sang Hyang Caturdasaksara (Putra, 2020).

Di lanjutkan dengan uraian tentag berabagai jenis Linga sebagai berikut : 1. Irikng wit ning hati tengah, hana

ta hampru mahireng, ring tungtung ning irengnya, sira ta Sang Hyang Lokanatha ngan, unggwan ira Bhatara Siwa (Ganapatitatwa 10).

Artinya: Dalam sumbu tengahnya hati, ada hampru/ nyali yang berwarna hitam, pada ujung hitamnya itulah beliau sang hyang Lokhanatha gelarnya, dengan Stananya Bhatara Siwa

2. Matangnyam Sang Dwija, ginawe nira Swalingga lawan ikang paralingga, prihawak siran pagawe, tan bheda hati ning waneh hana pwekang swalingga, sira ta kalinan ing sarwabhuta nang brahmadi, matangnyan pinralinaken ira swalingga nira (Ganapatitatwa 11).

Artinya: Maka dari itu, bagi orang suci/Dwija di lakukanlah penyesuaia nilai dari pribadi dengan nilai dirinya orang lain, di perlukan pula bahwa setiap dirinya berbuat agar tidak menyimpangdari perasaan orang lain tentang status pribadinya itu, hal inilah yang melepaskan segala pengaruhnya ciptaan materiil di dunia ini, maka dari itu kebutuhan nafsu pribadinya di persempitnya.

3. Hana pwa sira sang sadhaka, gumawayaken paralingga, apunggung mangarcana ngarannya amanggih pwa sira phala kedik (Ganaptaitatwa 17).

Artinya: Adapun beliau sang sadhu yang menciptakan forma simbolis lain, berarti salah pemujaan namanya, sedikitlah pula beliau memproleh faedahnya.

4. Ikang paru – paru, ya kamala

ngarannya, kaharan

pahrayangan, putus ning sinenggah diwya, Bhatara Siwa sira Prathista angkana (Ganapatitatwa 18).

Artinya: Paru – paru itukah yang di maksudkan seroja, di sebut tempat suci, tegasnya di anggap utama/ suci, beliau bhatara siwalah yang beristhana di sana.

5. Kunang ikang tikta sangustha pramanannya, prabhawa Bhatareswana kadi sphatika, ikang sarira tulya paryanan, i ngkana ta Bhatara angen- angen nityasah (Ganapatitatwa 19).

Artinya: Di sinilah adanya mutiara itu sebesar ibu jari bagaikan simbolis Maheswara, untuk mengatur kesucian badan jasmani, maka dari itulah Maheswara hendaknya harus terpikirkan. Adapun yang pahit sebesar ibu jari ukurannya itu sebesar simboliknya Bhatara Iswara bagaika permata, makanya badan jasmani itu seperti tempat suci, di sanalah bhatara terpikirkan selalu.

6. Mangkana suksma ning hati suksma, amungguh ta Bhatara Siwa, kinawruhan ta ya dening jnana, katuturan ira Bhatara Siwa lana (Ganapatitatwa 22).

(9)

Page 194 Artinya: Siwa selalu bertahta di

hati yang dalam keadaan suci, pada pikiran yang sucilah berkembang-nya pengetahuan untuk mengingat Siwa.

7. Ngkana ring antahhrdaya kahanan Bhatara Siwa, pujanta sira satata makasaranan sang hyang caturdasaksara, kayeki, iwirnya, sam, bam, tam, am, im, nam,mam, sim, wam, yam, am um, mam, Om. Sira ta sang hyang saturdasaksara, kaharan puspa sumekar, sugandha mawangi nirantara, ya ta pamujanta nitya niskala (seperti Siwa).

Artinya: Untuk Caturdasaksara yang bagaikan dengan keharuman bunga tanpa surutnya, beliau bertahta di hati, senantiasa daku sembah.

Dapat di pahami dari paparan sloka di atas yang di mana Bhatara Siwa yang menjelaskan ajaran rahasya kepada Ganapati, yang menjabarkan tentang uraian eksistensi Padmahati (Padmahrdaya) sebagai sang Hyang Siwa Lingga yang bersatana di dalam diri manusia yang di sebut di paru- paru/empedu sebagai simbol padmahrdaya atau tempat stananya bhatara Siwa/ Siwa linggam, beserta di jelaskan pula tentang caturdasaksara sebagai sebagai simbol pemujaan bliau Bhatara Siwa

IV. SIMPULAN

Dapat di simpulkan teks Ganapatattva adalah sebuah lontar bagian dari filsafat Siwa yang di mana isinya dalam berntuk dialog antara Bhatara Siwa dan Sang Hyang Ganapati, puteranya Bhatara Siwa sendiri, yang di gubah dengan

menggunkan metode tanya jawab.

Ganapati, putra Siwa merupakan dewa penanya yang cerdas, dan Siwa adalah Maheswara yang menjabarkan ajaran jnana rahasyam/ ajaran rahasia. Om Kara adalah sabha sunnya, nada Brahman merupakan asal muasal keberadaan Pancadaiwatma yakni, Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra, dan Sang Hyang Sadhasiwa di lahirkan.

Pancadaiwatma adalah sumber dari Panca tan matra di ciptakan yakni panca tan matra yang terdiri dari Ganda (unsur bau), Rupa (unsur bentuk), Rasa (unsur rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur rabaan) dan Sabdha (unsur suara).

Kemudian dari Pancatanmatra melahirkan Pancamahabhuta yang terdiri dari Apah (zat cair), Teja (unsur panas), Wayu (unsur angin/ udara), Akasa (ether) dan Pertiwi (unsur tanah). dari pancamahabhuta inilah alam semesta beserta isinya di ciptakan. Sang Hyang Siwatman adalah sumber hidup yang menggerakan segala ciptaanya. Selain itu terdapat pula konsep ajarannya yang di sebut dengan Sadanga Yoga yang terdiri dari Pratyahara, Dhyana, Pranayama, Darana, dan Samadhi sebagai konsep jalan spritual untuk mencapai kelepasan.

DAFTARA PUSTAKA

Anggraini, P. M. R. (2020). Keindahan Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran dan Kesuburan di Bali. JÃ±Ä nasiddhâ nta: Jurnal Teologi Hindu, 2(1), 21-30.

Ali H, Muhammad. 1992. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar.

Bandung: Sinar BRelin 2012.

Teologi Hindu Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa.

Surabaya.Paramita

Dewi, N. M. E. K. (2020). Konsep Teologi Dalam Teks Jnana

(10)

Page 195 Siddhanta. JÃąÄ nasiddhÃĒnta:

Jurnal Teologi Hindu, 1(2).

Dewi, N. M. E. K. (2020). Konsep Ketuhanan dalam Teks Tattwa Jnana. ŚRUTI: Jurnal Agama Hindu, 1(1), 11-19.

Gunawijaya, I. W. T. (2019).

Kelepasan dalam Pandangan Siwa Tattwa Purana.

Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 1(1).

Gunawijaya, I. W. T. (2021). Cetik Pegulatan Profan &

Sakral. Proseding Mistisisme Nusantara Brahma Widya.

Gunawan i ketut. 2012 Siva Siddhanta Tattva Dan Filsafat.

Surabaya:Paramita

Heriyanti, K., & Utami, D. (2021).

Memahami Teologi Hindu Dalam Konteks Budaya.

SWARA WIDYA: Jurnal Agama Hindu, 1(1).

Kariarta, I. W., & Wantari, L. (2021).

Sreya dan Preya Dalam Persfektif Teologi Hindu. SWARA WIDYA: Jurnal Agama Hindu, 1(1).

Laksmi. Iluh. Dkk.2018. “Fungsi Dan Makna Dalam Ganapati Tattva”.Universitas

Udayana,Denpasar.

Marselinawati, P. S. (2020, June).

TEOLOGI PENDIDIKAN

AGAMA HINDU DALAM

TEKS BHISMA PARWA. In Prosiding Seminar Nasional Dharma Acarya (Vol. 1, No. 2).

Moleong, Lexi. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung.

PT. Remaja Rosdakarya. Putra, I.

W. S. (2021). Teo Estetis Dalam Ritual Tumpek Krulut Pada Masyarakat Bali (Suatu Upaya dalam Mewujudkan Etika Kasih Sayang). JÃ±Ä nasiddhâ nta:

Jurnal Teologi Hindu, 2(2), 56- 65.

Putra, I. W. S. (2020). KAJIAN TEOLOGI HINDU DALAM TEKS SIWA TATTWA. Vidya DarÅ› an: Jurnal Filsafat Hindu, 1(2).

Santika 2017. JURNAL PENDIDIKAN AGAMA DAN BUDAYA HINDU. Jurusan Dharma Acarya. Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D.

Bandung: Alfabeta, CV.

Suveta I Made.2020. “Konsepsi Tentag

Siwa Dalam Lontar

GANAPATITATTVA”.Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan.Singaraja.

Referensi

Dokumen terkait

Klien yang datang ke persekutuan perdata Notaris yang nantinya akan menghadap hanya kepada salah satu Notaris yang tergabung dalam persekutuan perdata Notaris sebagaimana

Dalam keadaan seperti itu, komunikasi dakwah milenial diharapkan dapat menawarkan solusi sebagai ikhtiar produktif dalam melakukan rekayasa individu dan masyarakat melalui proses

Information sharing dapat membantu perusahaan dalam memperbaiki efisiensi dan efektivitas rantai pasokan dan merupakan faktor yang paling penting untuk mencapai koordinasi

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan selama 15 hari untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan tambahan dari keong mas terhadap pertumbuhan Ikan Gurami

Dan metode yang digunakan untuk melakukan analisa percepatan proyek yaitu crash project yang berhubungan dengan adanya pemberian kerja lembur yang dikhususkan pada

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siwi (2009) mengenai gambaran penggunaan kemasan minuman plastik oleh anak usia sekolah dasar

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan diketahui pada Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Samboja struktur jenis vegetasi dan komposisi jenis terdiri dari 342