1
Ketuhanan (Brahma Vidyaa) Dalam Perspektif Hindu
Oleh I Ketut Subagiasta*)
Abstract
The God in the perspective of Hinduism the called Brahma Vidyaa. If want to know about the God in the Hinduism, so can to read in the some resources of literatures or manuscript like as in the purana manuscript, the kuturan tattwa manuscript, the gong wesi manuscript, the buana kosa manuscript, the kusumadewa manuscript, and in the siwagama manuscript. Acording to some manuscript of Hinduism, that the named of God so much name, but the God in reality is one the called esa or ekam, namely Agni, Yama, Matarisva, Sang Hyang Tunggal, Hyang Niskala, Hyang Widhi Wasa, Ranying Hatalla Langit, Hyang Dewata, Mohotara, and so on. In the manuscript of Siva Purana that the named of God the called tri murti as the three manifestation of God, like as Deva Brahmā, Deva Vişņu, and Deva Śiva.
And in the Kuturan Tattwa manuscript that the God named Bhatara Bayu, Bhatara Sambhu, Bhatara Brahma, Bhatara Visnu, Bhatara Ludra, and Bhatara Isora. Then in the Buana Kosa manuscript be doctrine the God called the Śaiva Siddhānta. In the Kusumadewa imanuscript named of God namely Iswara and Dewi Uma, Maheswara and Dewi Laksmi, Brahma and Dewi Saraswati, Rudra and Dewi Santani, Mahadewa and Dewi Saci, Sangkara and Dewi Warahi, Wisnu and Dewi Sri. Sambhu and Dewi Uma, Hyang Siwaditya and Dewi Saci, Hyang Sunya, Hyang Ardhanaresvari, and Hyang Arcana. So also in the Siwagama manuscript that the God named Bhatara Guru, and in the Gong Wesi manuscript known named of the God so much like as the Sanghyang Yamadipati, the Sanghyang Mahadewa, the Sanghyang Mahayukti, and others name, but realy the God only one or the ekam.
Key words : Brahma Vidyaa, Perspective of Hinduism
I. Pendahuluan
Ketuhanan dalam perspektif Hindu dinamai Brahma Vidyaa. Kata Brahma berarti Tuhan, sedangkan vidyaa berarti pengetahuan. Jadi Brahma Vidyaa adalah pengetahuan tentang ketuhanan dalam agama Hindu. Dalam istilah yang lazim dikenal dalam ilmu ketuhanan dinamai teologi (teology). Menurut Pudja (1999:3) bahwa theology atau Brahma
Vidyaa adalah ilmu tentang Tuhan. Dalam
istilah lainnya yang juga sering dipakai untuk memahami ilmu tentang ketuhanan dinamai
Kajnanan. Para penekun spiritual Hindu yang
memahami kajnanan adalah mereka yang taat
dan bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai kemahakuasaan Tuhan (prabhawa).
Apakah Tuhan dalam Hindu ada banyak? Sesungguhnya Tuhan dalam pandangan Hindu adalah Esa atau Tunggal. Beliau memiliki banyak nama. Beliau memiliki banyak sebutan. Beliau juga memiliki banyak gelar (bahu namah). Dalam Rgveda I.164.46 dijelaskan bahwa “Ekam Sad Vipra Bahudha
Vadanti Agnim Yamam Matarisvanam Ahuh,
Tuhan Yang Esa, para arif bijaksana mengatakannya banyak (nama), Agni, Yama,
2 *) Prof. Dr. I Ketut Subagiasta, adalah Ketua
STAHN-TP Palangka Raya Kalimantan Tengah. adalah esa (ekam). Oleh karena Beliau adalah esa atau tunggal, maka sering Beliau digelari
Sang Hyang Tunggal. Beliau juga bersifat
abstrak yang lazim disebut Hyang Niskala. Beliau diberi gelar Hyang Widhi Wasa, juga
Ranying Hatalla Langit, Hyang Dewata, Mohotara, dan masih banyak sebutan Beliau.
Dalam hakikat ketuhanan dalam Hindu bahwa Beliau juga diberi gelar Nirguna Brahman atau Tuhan yang tanpa wujud, namun demikian dalam keyakinan bahwa Beliau dapat memiliki wujud yang dinamai Saguna Brahman. Perwujudan Tuhan dalam agama Hindu dinamai murti atau manifestasi Tuhan.
Apakah yang ada di dunia ini diciptakan oleh Tuhan? Dalam pandangan Hindu, bahwa semua yang ada diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Brahma Sutra I.1.2 dinyatakan “Janmadyasya yatah (Tuhan ialah dari mana mula (asal) semua ini” (Pudja, 1999:10). Dikatakan juga bahwa Tuhan atau
Brahman adalah “Sat Cit Ananda Brahman,
sesungguhnya Tuhan adalah kebenaran-pengetahuan-tak terbatas (Mahanirvana
Tantra)” (Pudja, 1999:11). Jadi Tuhan juga
diberi gelar “sat” atau “cit”. Dalam mantra bahwa Beliau disimbulkan dengan aksara suci (pranava) berupa “OM” atau “ONG”.
Dimanakah Beliau dimuliakan? Beliau dipuja dan dipuji oleh umat Hindu bertempat di tempat suci. Beliau dapat dipuja dimana saja, kapanpun, dan oleh umat Hindu dimanapun mereka berada. Kesucian pikiran dan ketulusan hati merupakan dasar utama dalam memuja dan memuji Beliau, tentunya bilamana menggunakan media atau sarana pemujaan juga merupakan hal yang diperlukan oleh para bhakta untuk memusatkan pikirannya kehadapan-Nya. Beliau bersifat
wyapi wyapaka nirwikara, yang dalam
realitanya adalah Beliau abstrak dan ada dimana-mana. Maka dari itu, para sedharma
atau umat Hindu menuja Beliau adalah di pura,
mandir, balai, sanggah, dan sebagainya.
Semua itu merupakan tempat pemujaan Beliau sesuai dengan kondisi masing-masing (desa
kala patra). Dimanapun umat Hndu berada,
memiliki kewajiban untuk memuja dan memuji Beliau untuk memohon tuntunan dan anugerah-Nya. Dengan ingat Tuhan berarti umat Hindu berbhakti kepada Tuhan.
Apakah Tuhan dihormati, dipuja, dan dimulaikan oleh umat Hindu dengan cara sembahyang saja? Cara yang dianjurkan adalah dengan memuja atau dengan mengucapkan doa-doa atau mantra untuk memuji kebesaran Beliau. Namun demikian, masih ada lagi cara yang diberikan untuk menuju-Nya. Bisa dengan kerja atau karma marga. Bisa juga dengan berbhakti atau pemujaan (bhakti
marga). Selain itu juga dengan cara menekuni
pengetahuan suci ketuhanan atau belajar ajaran agama Hindu dan iptek yang semakin maju sebagai wahana untuk menuju kepada-Nya yakni jnana marga. Bagi para penekun spiritual atau cara meditasi, yoga, tapa, japa, dan sebagainya secara spiritual juga dapat dilakukan guna menuju-Nya yang dinamai
yoga marga. Dengan demikian bahwa menuju
Tuhan ada banayak jalan, ada banyak cara, dan ada banyak sarana yang bisa digunakan, yang tepenting adalah ketulusan hati, kemuliaan prilaku, kanirmalan wacana, dan kesucian pikiran dari para bhakta atau umat Hindu.
Apakah Tuhan membenci umatnya? Tuhan tidak pernah membenci umatnya. Tuhan juga tidak marah pada umatnya. Tuhan adalah maha pengasih. Tuhan adalah maha pemberi. Tuhan adalah maha pengampun. Tuhan adalah maha penyayang. Tetapi umat Hindu mesti memahami dan menyadari bahwa Tuhan memiliki kekuatan yang maha dahsyat, gaib,
niskala, dan memiliki kekuatan untuk mengembalikan semua ciptaan-Nya kepada diri-Nya yakni pralaya atau pralina.
Kemahakuasaan tersebut tidak bisa dilawan, tidak bisa dibantah, dan tidak bisa ditolak. Jika
3 Beliau mengendaki, maka Beliau dapat
melakukannya tanpa persetujuan dari umat-Nya. Umat mesti menaati dan mengikuti perintah Beliau. Jadi umat Hindu tidak boleh
alpaka parama wisesa atau umat Hindu tidak
boleh menentang kehendak Beliau (Tuhan). Umat Hindu wajib menaati segala ajarannya. Beliau memiliki kekuatan yang bersifat
niskala, gaib, dan parama wisesa.
II. Pembahasan
2.1 Konsep Ketuhanan Dalam Perspektif Hindu
Ada banyak susastra atau sumber pustaka suci Hindu, baik dalam bahasa Sansekerta, bahasa lokal, maupun dalam bahasa internasional, bahwa Beliau merupakan Yang Esa dan ajarannya patut ditaati untuk kerahayuan, kebahagiaan, dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya dan umat Hindu yang mengagungkan Hyang Widhi Wasa,
Ranying Hatalla Langit, atau Brahman. Dalam
paparan singkat berikut ini dicoba diuraikan konsep ketuhanan dalam beberapa susastra Hindu, seperti dalam purana, kuturan tattwa,
gong wesi, buana kosa, kusumadewa, dan siwagama.
2.1.1 Ketuhanan Dalam Siva Purana
Dalam Śiva Purāņa atau Vāyu Purāņa juga ada diuraikan bagaimana keagungan Deva
Śiva ketika bersama ketiga deva yang lainnya
dalam tri murti yakni Deva Brahmā, Deva
Vişņu, dan Deva Śiva sendiri. Dalam sumber
ini dijelaskan bahwa bermula dari keingintahuan dari Deva Vişņu tentang apa yang terjadi dan apa yang dilakukan oleh Deva
Brahmā. Dari rasa ingin tahu tersebut, maka
akhirnya Deva Vişņu secara perlahan-lahan untuk memasuki perut Deva Brahmā, begitu sebaliknya Deva Brahmā pun akhirnya bergantian untuk memasuki perut Deva Vişņu untuk membuktikan tentang keindahan alam yang ada di tengah perutnya masing-masing. Dalam perutnya itu dijumpai pohon teratai
yang indah dan mengagumkan. Namun apa yang terjadi akhirnya Deva Brahmā tidak bisa keluar sama sekali dari perut Deva Vişņu. Akhirnya Deva Brahmā punya akal yang jitu dengan mengecilkan badannya dengan cara menduduki bunga teratai yang ada di tengah perut Deva Vişņu, yang akhirnya bisa keluar melalui pusar-Nya dengan selamat, saat itulah akhirnya Deva Brahmā dinamai Padmayoni. Setelah perbincangan antara Deva Vişņu dengan Deva Brahmā begitu suci dan seriusnya, maka hadirlah Deva Śiva di antara perbincangan kedua deva itu. Saat itu baik
Deva Vişņu dan Deva Brahmā akhirnya
menyembah Deva Śiva serta dengan keagungan-Nya akhirnya memberikan anugerah berupa kerahayuan serta telah memaafkan kehilafan yang dilakukan oleh
Deva Vişņu dan Deva Brahmā yang
selanjutnya telah berjanji untuk berbhakti dan hormat kepada Deva Śiva.
2.1.2 Ketuhanan Dalam Kuturan Tattwa Dalam Kuturan Tattwa ada diajarkan tentang konsep ketuhanan dalam Hindu, bahwa
Hyang Widhi Wasa dengan berbagai prabhava Beliau atau murti dari Hyang Widhi dalam
gelar-Nya yang beraneka yakni Bhatara Bayu,
Bhatara Sambhu, Bhatara Brahma, Bhatara Visnu, Bhatara Ludra, Bhatara Isora,
termasuk dalam gelar Beliau sebagai Hyang
Pasupati. Dalam sumber ini walaupun Beliau
diajarkan bahwa nama Beliau ada banyak, namun umat Hindu pada hakikatnya memuja dan memuliakan Beliau sebagai Yang Esa, Tuhan hanya satu, nama boleh banyak dan beraneka. Beliau intinya adalah tunggal.
2.1.3 Ketuhanan Dalam Buana Kosa
Naskah Buana Kosa terdiri atas sebelas bab (eka dasa adhyaya), 486 sloka yang berbahasa Sansekerta yang artinya
4 diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuna dan
saat ini telah pula ada terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Secara utuh bahwa isinya lebih menekankan pada paham ketuhanan Śiva yang dalam naskah tersebut diistilahkan dengan nama Brahmā Rahasyam (mengenai rahasia Tuhan Śiva), di antaranya : mengenai
Brahmā Rahasya, Jñāna Siddhānta, Bhasma Mantra, Jñāna Sang Kşepa, Bhuwana Koşan,
dan Siwopadesa. Kemudian jika dirinci lagi inti ajarannya adalah alam sepi (sunya), kelepasan (moksha), ciptaan Śiva (sresti), Tuhan Śiva ada dimana-mana (vyapi vyapaka), lima unsur alam (panca maha bhuta), lima unsur alam yang tak berwujud (panca tan
matra), lima unsur dalam tubuh (panca pada),
tujuh pulau (sapta dwipa), tujuh lautan (sapta
sagara), tujuh gunung (sapta parvata), tiga
kualitas dalam karakter (tri guna), lima indriya pekerja pikiran (panca buddhindriya), lima unsur pekerja badan (panca karmendriya), empat spirit umat manusia (catur atman), tujuh alam (sapta loka), tiga alam (tri loka atau
tri bhuwana), tiga kenyataan Tuhan Śiva (tri kona), lima aksara Tuhan Śiva (Panca Aksara Brahma), tiga wujud Tuhan Śiva (tri murti),
aksara suci Tuhan Śiva (Ongkāra), penggunaan abu suci (bhasma), sikap
tetanganan saat memuja Tuhan Śiva (mudra),
pengetahuan niskala (jñāna niskala), pelaksanaan meditasi (yoga), doa suci kepada Tuhan Śiva (mantra), aksara suci Tuhan Śiva (praņava), saat kematian orang suci dan yogi, tentang nyata (sakala) dan tidak nyata (niskala), tiga huruf suci Tuhan Śiva (tri
aksara), tentang titik (vindu), dan tentang
kemuliaan ajaran Śaiva Siddhānta. Demikian inti sari naskah buana kosa sebagai sumber ajaran dan pembangkit spiritual bagi umat Hindu.
2.1.4 Ketuhanan Dalam Kusumadewa
Ajaran teologi Hindu (Brahma Widya) sangat banyak diajarkan dalam naskah
Kusumadewa. Terutama pada bagian-bagian
mantra suci (saa) yang disuratkan pada bagian
awal, inti, dan sampai akhir dari naskah ini sangat kaya memuat ajaran teologi Hindu. Hal tersebut dapat dibaca secara berurutan pada mantra-mantra serta dalam jenis-jenis upacara yang dihaturkan melalui perantara pamangku, bahwa ada banyak menyebutkan nama-nama Tuhan Yang Maha Esa dalam sebutan sesuai ajaran agama Hindu, baik yang diajarkan dalam pustaka suci Veda maupun sumber susastra Hindu lainnya.
Semua mantra atau saa selalu diawali dengan ucapan aksara suci „Ong‟. Kata „Ong‟ merupakan aksara pranava Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Kata
„Ong‟ mengandung makna yang sama dengan kata „Om‟ sebagai simbol aksara suci Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, yang secara teologis
memiliki makna untuk mengagungkan, memuliakan, menghormati, serta wujud bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Setelah dicermati pada mantra-mantra dalam naskah Kusumadewa
bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa agama Hindu secara campuran. Sebagian mantra ada yang berbahasa Sansekerta dan sebagian juga berbahasa Bali yang dipadukan dengan pengaruh dari bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna.
Dalam mantra untuk membersihkan
dupa dimohonkan kehadapan Dewa Brahma
untuk menyucikan sarana dupa guna memberikan sinar suci. Dalam menghaturkan
banten prayascita ada disebutkan mengenai
pemujaan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Beliau sebagai Bhuta, seperti :
Sang Kala Purwa, Sang Kala Sakti, Sang Kala Prajamuka, Sang Bhuta Preta, dan Sang Kala Ngulaleng. Selain itu juga ditujukan kehadapan Dang Guru Iswara beserta Beliau yang
menempati lima arah mata angin dengan gelar Beliau sebagai Sadyotjata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora, dan Isana. Dalam menghaturkan banten pabeyakala ditujukan kehadapan wujud (murti) Tuhan Yang Maha Esa sebagai Hyang Kala, seperti : Hyang
Kala-5
Kali, Bhatara Kala Sakti, Kala Putih, Sang Kala Abang, Sang Kala Jenar, Sang Kala Ireng, Sang Kala Amancawarna, Sang Kala Anggapati, Sang Kala Karogan-rogan, Sang Kala Sepeten, Sang Kala Gering, Sang Kala Pati, Sang Kala Sedahan, dan sebagainya.
Kemudian dalam menghaturkan
tetabuhan bahwa hal itu ditujukan kehadapan Hyang Siva, Hyang Sadasiva, serta kehadapan Hyang Parama Siva. Seperti telah disinggung
di atas, bahwa dalam menghaturkan dupa juga ditujukan kehadapan Hyang Brahma, Hyang
Visnu, dan Hyang Isvara. Selain itu juga
ditujukan kehadapan Hyang Mahadewa, Hyang Rudra, Hyang Iswara, Hyang Sangkara, Hyang Sambhu, Hyang Maheswara, Hyang Baruna, Hyang Taya, Hyang Widhyadhara-Widhyadhari. Kemudian dalam
wujud Beliau sebagai pemberi anugerah, maka Tuhan Yang Maha Esa disebutkan bergelar
Hyang Pasupati yang bersthana di gunung Mahameru yang dirapalkan dengan mantra
untuk memuja semua kekuatan Beliau dengan
mantra : …Ong Ang, Ang ya namah svaha, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Śi, Wa, Ya.
Demikian juga pada pamangku untuk memohon kehadiran Tuhan Yang Maha Esa untuk turun ke kahyangan maka dalam pujanya itu agar segera hadir wujud Beliau yakni :
Iswara dan Dewi Uma, Maheswara dan Dewi Laksmi, Brahma dan Dewi Saraswati, Rudra
dan Dewi Santani, Mahadewa dan Dewi Saci,
Sangkara dan Dewi Warahi, Wisnu dan Dewi Sri. Sambhu dan Dewi Uma, Hyang Siwaditya
dan Dewi Saci, Hyang Sunya, Hyang
Ardhanaresvari, dan Hyang Arcana. Pada saat ngabejiang ditujukan kehadapan Bhatara Samodaya. Saat pangeresikan ditujukan kehadapan Hyang Siva Guru. Juga saat menghaturkan lis dan isuh-isuh ditujukan kehadapan Hyang Siva dan Hyang Taya. Saat menghaturkan Beyakaonan ditujukan kehadapan Sang Hyang Galacandu, Dewa
Bayu, Hyang Bamadewa. Saat nebusin
ditujuka kehadapan Hyang Surya Candra. Saat
majaya-jaya tirtha ditujukan kehadapan Dewi Gangga dan Hyang Parama Siwa. Dalam
memuja tirtha kakuluh memohon kepada
Hyang Siva guna memberikan kasiddhian.
Dalam menyucikan sesajen sesuai dengan uncaran mantranya ditujukan kehadapan Dwi Gangga, Dewa Iswara, Dewa
Brahma, Dewa Mahadewa, Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Hyang Tri Murti, Hyang Eka, dan Sang Hyang Suci Nirmala Jnana. Saat
menghaturkan datengan tegak linggih
ditujukan kehadapan Sang Sedahan Panyarikan dan Hyang Siva. Selanjutnya saat
mensthanakan Tuhan pada Sajen Suci
ditujukan kehadapan Hyang Siva, Hyang
Pulacek, Sang Hyang Wisesa, Sang Kasuhun Dewa Kala sakti, Dewa Ganapati, Bhatara Korsika, Bhatara Gana Sakti, Sang Hyang Kumara, Dewa Wisnu, Dewa Brahma, Dewa Mahadewa, Dewa Siwa, Dewa Sambhu, Dewa Rudra, Sang Hyang Suklapaksa, Sang Hyang Besawarna, Dewa Baruna, Dewa Maheswara, Sang Hyang Dharma, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Pramana, dan Sang Hyang Lokanatha.
Selanjutnya dalam menstanakan para
dewa ditujukan kehadapan Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa Rudra, Dewa Sri Guru Jagat, dan Dewa Siwa Natha.
Kemudian saat pamangku menghaturkan
upacara piodalan ditujukan kepada Hyang Ongkara, Hyang Sakaram, dan Hyang Siddhi.
Demikian juga saat menghaturkan bebangkit ditujukan kepada Tuhan dalam wujudnya sebagai Hyang Durgha Bucarya, Hyang Kala
Bucarya, Hyang Bhuta Bucarya, Hyang Drembhamoha, Hyang Kala Wisaya, Hyang Kala Ngadang, Sang Kala Katung dengan
kekuatan Beliau yang berjumlah tiga belas yakni : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang,
Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, dan Mang. Demikian juga saat mempersembahkan gelar sanga ditujukan kepada Tuhan dengan
wajud-Nya sebagai Bhuta Dengen, Hyang
6
Brahma, Sang Bhuta Putih, Sang Bhuta Janggitan, Sang Bhuta Bang, Sang Bhuta Langkir, Sang Bhuta Kuning, Sang Bhuta Lembukanya, Sang Bhuta Ireng, Sang Bhuta Karuna, dan sebagainya. Lalu saat menghaturkan Segehan Agung ditujukan kepada Sang Hyang Purusangkara, Sang Kala
Sakti, Sang Hyang Rudra, Sang Kala Wisesa, Sang Hyang Durghadewi, Sang Hyang Kala Dengen Agung, dan Sang Hyang Kala Bhuta Bhukti. Terakhir pada saat membagikan tirtha
memohon kepada Dewa Brahma, Dewa Wisnu,
Dewa Iswara, Dewa Siwa, Dewa Sadasiwa, Dewa Paramasiwa.
2.1.5 Ketuhanan Dalam Siwagama
Naskah Śiwāgama menceritakan tentang teologi Hindu dengan menyebutkan gelar Ida Sanghyang Widhi (sebagai asal dan tujuan dari semua yang ada, karena Beliau memiliki kekuatan hukum abstrak atau rtam
niskala, vidhi berarti hukum abadi) atau Sanghyang Titah. Selain itu, Tuhan juga
disebut sebagai Sang Adisuksma yang diyakini sebagai pencipta alam semesta beserta dengan isinya, yang diyakini juga Beliau sebagai kekuatan utama (adi) yang memiliki sabda suci, mulia, dan maha kuasa (Suksma). Sebutan Tuhan yang lainnya adalah Śunya yang tiada lain adalah gelar Beliau dalam kondisi abstrak atau niskala. Kata śunya adalah bahasa Saksekerta yang artinya kosong atau nol. Maksudnya bahwa segala yang ada ini dengan berbagai bentuk dan wujudnya awalnya dari kosong atau śunya, karena śunya itu tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Selain sebutan Sanghyang Śunya, juga digelari Sanghyang Titah. Yang dimaksudkan
Sanghyang Titah adalah Tuhan itu sendiri yang
memiliki sabda niskala uttama atau suara gaib yang utama. Apapun perintah Beliau, maka segala ciptaan-Nya mesti patuh, tunduk, turut, serta tidak bisa menolak. Begitulah perintah Tuhan Yang Maha Esa. Beliau sebagai penentu terakhir. Beliau juga yang mengendalikan yang
Beliau ciptakan (utpeti), Beliaulah yang memeliharanya, menjaganya, melindunginya, serta membesarkannya (sthiti), yang pada gilirannya, akhirnya Beliau pula yang menitahkan untuk kembali ke asalnya yakni
Sanghyang Titah sendiri (pralina atau
pralaya). Apapun cara Beliau lakukan, itulah rtam vidhi. Bisa saja kembali kepada Beliau
melalui utama, biasa, atau jalan musibah atau bencana alam. Semua itu Beliau yang menitahkan. Ciptaan-Nya ini tinggal menunggu perintah saja.
Dalam naskah Śiwāgama juga dijelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa memiliki aksara suci atau pranava yakni Om. Aksara Om adalah penunggalan dari tri aksara, antara lain : aksara „A‟ atau „Ang‟, aksara „U‟ atau „Ung‟, dan aksara „M‟ atau „Mang‟. Ketiga aksara suci setelah disandhikan menjadi „AUM‟ atau AUNG‟ (Om atau Ong). Aksara suci Om ini merupakan aksara untuk memuliakan Tuhan Yang Maha Esa. Om sebagai aksara yang digunakan pada saat puja atau mantra. Orang suci, sedharma, atau penganut Hindu selalu mengucapkan aksara suci Om pada saat memuja dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Seperti saat memuja
Sanghyang Śiwa, diucapkanlah mantra suci : Om Om Śiwāya namah, Om Om Sadaśiwāya namah, Om Om Paramaśiwāya namah. Atau
dengan mantra suci : Om Hrang Hring sah
Paramaśiwā ditya ya namah. Mantra suci
tersebut sebagai puja untuk menghormati Tuhan Yang Maha Esa yang bergelar
Sanghyang Śiwa.
Sanghyang Śiwa juga digelari Bhatara Śiwa, yang dalam kekuatan Beliau sebagai
maha tahu, maha adil, dan maha saksi. Dalam gelar Beliau sebagai maha saksi, maka Beliau bergelar Bhatara Śiwa Raditya atau Sanghyang
Surya. Sanghyang Surya hadir sebagai saksi
terhadap semua ciptaan Beliau dengan sinar suci yang maha cemerlang, yang memberikan sinar kehidupan kepada semua ciptaan-Nya. Saat Beliau hadir sebagai saksi terhadap
7 ciptaan-Nya, maka Beliau dimuliakan,
dihormati, dan disembah dengan puja mantra
suci Surya Astawa (mantra khusus memuliakan Hyang Widhi atau Hyang Siwa dalam wujud
Beliau sebagai Hyang Surya atau Hyang Śiwa
Raditya). Dalam realitas kehidupan masyarakat
Hindu, Beliau dihormati atau dipuja setiap hari terutama saat pagi hari (subhaha samayam
puja). Bagi pandita, atau orang suci (sulinggih)
memiliki tata krama pemujaan kehadapan Beliau melalui aktivitas Surya Sevana. Begitulah rasa bhakti dan penghormatan umat Hindu kehadapan Sanghyang Śiwa Raditya secara rutin setiap hari (prati dinam puja ya
Śiwa Raditya). Jadi gelar Sanghyang Śiwa Raditya merupakan kekuatan Beliau untuk
menyaksikan segala perilaku ciptaan-Nya, Beliau sebagai saksi perilaku kebaikan dan keburukan yang diperbuat oleh segala ciptaan Beliau.
Naskah Śiwāgama sesungguhnya sarat dengan nilai teologi Hindu, oleh karena dalam naskah inilah sebutan Tuhan Yang Maha Esa bisa dipahami dan dihayati oleh umat Hindu sesuai kondisi, tempat, serta waktu yang terjadi secara kearifan lokal di Bali pada khususnya maupun di Indonesia pada umumnya. Sekali lagi bahwa gelar Tuhan Yang Maha Esa yang tersurat dalam naskah Śiwāgama sebagai media suci untuk menghormati dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Beliau digelari
Sanghyang Taya, oleh karena Beliau dalam
kondisi niskala atau tidak nyata (Taya Tayañca
Vijñeyah). Beliau digelari sebagai Sanghyang Tunggal oleh karena sesungguhnya eksistensi
Beliau adalah Esa atau Ika (adwityam). Beliau digelari juga Sanghyang Catur Dewata yaitu
Sanghyang Kusika, Sanghyang Garga, Sanghyang Metri, dan Sanghyang Kurusya,
yang tiada lain adalah Sanghyang Acintya (Beliau yang tak terpikirkan), tetapi Beliau mampu menciptakan berbagai hal dari empat/segala penjuru.
Beliau diberi gelar Bhatara Guru, oleh karena kekuasaan Beliau untuk menuntun umat
manusia menjadi cerdas, cendekiawan, pintar, arif, prajna, wisesa, terampil, dan bijaksana. Kekuatan Beliau mampu memberikan anugerah pengetahuan suci dan berbagai teknologi dari berbagai dimensi sesuai desa
kala patra. Beliau pula menjadikan umat
manusia menjadi insan atau sumber daya manusia yang berkualitas (suputra, suputri,
sadhu gunawan, buddhiman, buddhiwati,
manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa). Pada saat kehadiran Beliau, maka manusia memuliakannya melalui puja suci Sarasvati
Astawa, sehingga umat manusia menjadi Brahmacarya, menjadi Pandita, menjadi Dang Acarya, menjadi Tri Kang Sinanggah Guru,
menjadi Catraverti atau Vidyarti (sisya atau
mahasisya), dan mengikuti kegiatan aguron-guron sesuai dengan sasana masing-masing.
Begitulah nilai teologi Hindu yang terkandung dalam naskah Śiwāgama, yang sesungguhnya sebagai tuntunan moral dan spiritual bagi umat Hindu, sekaligus merupakan pustaka suci sebagai pedoman untuk meyakini dan percaya dengan keesaan
Ida Hyang Widhi Wasa. Diyakini bahwa
Beliau adalah Esa atau Tunggal. Tetapi dalam naskah ini bahwa Beliau dimuliakan dengan gelar yang beraneka (bahu vadanti). Gelar Beliau yang lainnya adalah Sanghyang
Mahadewa, Sanghyang Iswara, Sanghyang Mretyunjaya, Bhatara Sadhana, Bhatari Nini, Bhatari Uma, Bhatari Sri, Bhatari Mahadewi, Bhatara Wisnu, Bhatara Siwa, Sanghyang Indra, Bhatara Brahma, Bhatara Gana, Sanghyang Dharma, Bhatara Guru, Sanghyang Kala, Bhatara Parameswara, Sanghyang Ghana, Sanghyang Kumara, dan
sebagainya. Dalam wujud Beliau sebagai
Sanghyang Kala, maka Beliau bergelar Sang Bhuta Kedap, Sang Bhuta Gelap, Sang Bhuta Tatit, Sang Bhuta Kilap, Sang Bhuta Dadali, Sang Bhuta Kawanda, Sang Bhuta Syama, Sang Bhuta Semang, Sang Bhuta Sendu, Sang Bhuta Kubandha, Sang Bhuta Girindi, dan
8 2.1.6 Ketuhanan Dalam Gong Wesi
Nama Beliau (Tuhan) jika dalam
pawukon sesuai Tutur Gong Besi juga
beraneka nama atau sebutan Tuhan, yakni saat wuku Sinta bergelar Sanghyang Yamadipati,
Landep bergelar Sanghyang Mahadewa, Ukir
bergelar Sanghyang Mahayukti, Kulantir bergelar Sanghyang Langsur, Tolu bergelar
Sanghyang Bayu, Gumbereg bergelar
Sanghyang Cakra, Wariga bergelar Sanghyang Semara, Warigadean bergelar Sanghyang Maha Resi, Julungwangi bergelar Sanghyang Sambhu, Sungsang bergelar Sanghyang Gana, Dunggulan bergelar Sanghyang Kamajaya, Kuningan bergelar Sanghyang Indra, Langkir
bergelar Sanghyang Kala, Medangsia bergelar
Sanghyang Brahma, Pujut bergelar Sanghyang Guretno, Pahang bergelar Sanghyang Tantra, Krulut bergelar Sanghyang Wisnu, Merakih
bergelar Sanghyang Suranggana, Tambir bergelar Sanghyang Siwa, Medangkungan bergelar Sanghyang Basuki, Matal bergelar
Sanghyang Sakra, Uye bergelar Sanghyang Kuwera, Menail bergelar Sanghyang Citragatra, Perangbakat bergelar Sanghyang Bisma, Bala bergelar Sanghyang Bhatari Durga, Ugu bergelar Sanghyang Singajatma, Wayang bergelar Bhatari Sri, Kelawu bergelar Bhatara Sedhana, Dukut bergelar Sanghyang Agni, dan pada wuku Watugunung Beliau
bergelar Sanghyang Anantabhoga dan
Sanghyang Naga Gini.
III. Penutup
Ajaran ketuhanan dalam agama Hindu adalah esa, tunggal, ekam. Susastra Hindu telah mengajarkan bahwa Tuhan dalam Hindu tiada duanya, tetapi esa atau ekam. Gelar Beliau memang banyak dan beraneka, tetapi Beliau selalu tunggal. Beliau maha pengasih dan maha pemberi. Beliau dapat dipuja
dimana-mana dengan ragam tempat suci sesuai kondisi masing-masing. Beliau tidak pernah membenci umat-Nya, tetapi sebaliknya Beliau mengasihi umat-Nya. Terkait materi Ketuhanan Hindu di Pura Besakih, dapat dibaca dalam tulisan berjudul “Saiva
Siddhanta and Besakih Temple : A Study”.
Demikian tulisan singkat ini, semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya : Teologi
Kasih Semesta. Surabaya:Paramita.
Maswinara, I Wayan. 2006. Sistem Filsafat
Hindu (Sarva Darsana Samgraha).
Surabaya:Paramita.
Ngurah, IGM, dkk. 1999. Buku Pendidikan
Agama HinduUntuk Perguruan Tinggi.
Surabaya:Paramita.
Pudja, Gede. 1999. Theologi Hindu (Brahma
Widya). Surabaya:Paramita.
Subagiasta, I Ketut, 2002. “Saiva Siddhanta and Besakih Temple : A Study”. Disertasi Program
Doktor pada Allahabad University, Uttar Pradesh, India.
---. 2006. Saiva Siddhanta di India dan
di Bali. Surabaya:Paramita.
---. 2007. Etika Pendidikan Agama
Hindu. Surabaya:Paramita.
---. 2009. Reformasi Agama Hindu
Dalam Perubahan Sosial di Bali 1950-1959. Surabaya:Paramita.
Tim Penyusun. 1998. Tattwa Jnana. Surabaya:Paramita.
---. 1999. Buku Pelajaran Agama Hindu. Jakarta:Hanuman Sakti.
Watra, I Wayan. 2007. Pengantar Filsafat