• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

i

FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA

PEMANFATAAN CITRA MULTISPEKTRAL DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI AGROEKOLOGI

Kasus Di Sebagian Wilayah Kabupaten Temanggung Propinsi Jawa Tengah

OLEH :

NAMA : SIGIT HERUMURTI

NIP : 132208599

JURUSAN : SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

(2)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul Penelitian : PEMANFATAAN CITRAMULTISPEKTRAL DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI AGROEKOLOGI Kasus Di Sebagian Wilayah Kabupaten

Temanggung Propinsi Jawa Tengah 2. Peneliti

a. Nama Lengkap dan Gelar : Sigit Heru Murti BS, S.Si., M.Si.

b. NIP : 132208599

c. Pangkat/Jab/Gol. : Penata/Lektor/IIIc

d. Jurusan : Sains Informasi Geografis dan PW e. Program Studi : Kartografi dan Penginderaan Jauh f. Alamat : Perum Alam Persada I/7B Tajem

Maguwoharjo, Depok, Sleman 55282 g. Telp/HP/E-mail : 081328076393/sigit@geo.ugm.ac.id

Yogyakarta, Desember 2008

Mengetahui Pembimbing (Promotor) Peneliti

Prof. Dr. Totok Gunawan, MS Sigit Heru Murti BS, M.Si.

Menyetujui,

Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

Prof. Dr. Suratman, M.Sc. NIP. 131101918

(3)

iii

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun zone agroekologi sebagian wilayah Kabupaten Temanggung Propinsi Jawa Tengah yang berbasis pada pengolahan citra penginderaan jauh multispektral dan sistem informasi geografis (SIG) yang memiliki akurasi tinggi dan dapat diterapkan dengan cepat ditunjang oleh ketersediaan citra penginderaan jauh yang ada. Untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut, diperlukan tujuan khusus pada masing-masing tahapan. Tahapan yang dilakukan untuk menuju pada tujuan khusus dalam penelitian ini, yaitu: (1) inventarisasi kondisi biofisik lahan dengan menggunakan data primer (interpretasi citra satelit multispektral) dan sekunder (peta, statistik, hasil penelitian); (2) kajian komponen-komponen agroekologi yang ada pada wilayah penelitian dan menyusun zonasi agroekologi daerah penelitian. Pada tahap ini disusun basis data spasial dan atribut lahan.

Penelitian ini menggunakan metode empiris-kuantitatif dengan penentuan sampel secara stratified random sampling. Sebagai awal dari penelitian ini dilakukan berbagai macam pemrosesan pada citra penginderaan jauh, yaitu citra ASTER perekaman 23 Juni 2004 dan citra Landsat 7 ETM+ perekaman 21 Agustus 2002 yang digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan citra dalam mengenali obyek.Teknik pemrosesan citra tersebut diawali dengan proses rektifikasi, penajaman dan klasifikasi multispektral. Berdasarkan citra satelit dilakukan interpretasi bentuklahan. Data-data penunjang lainnya yang berupa peta jenis tanah, peta ketinggian tempat, peta kemiringan lereng dan peta curah hujan diperoleh dari data sekunder dibantu dengan analisis pada citra PJ. Dari hasil overlay terhadap variabel-variabel penelitian tersebut diperoleh hasil peta unit lahan. Peta unit lahan digunakan sebagai peta basis untuk melakukan kegiatan survei lapangan guna mendapatkan informasi tentang kondisi biofisik dan agroekologis wilayah yang berkaitan dengan kemampuan lahan untuk menunjang produksi tanaman pertanian, dalah hal ini tanaman tembakau.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah penelitian terdapat 31 unit lahan hasil tumpangsusun dari variebl-veriabel penyusun zonasi agroekologi tersebut. Berdasarkan hasil analisis terhadap data lapangan ke-31 unit lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 15 zone agroekologi yang terkait dengan produktivitas lahan untuk tanaman tembakau.

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Laporan Akhir Penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini merupakan penelitian di dalam bidang ilmu Penginderaan Jauh, khususnya aplikasi penginderaan jauh di bidang pertanian. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan zone agroekologi wilayah dan dilaksanakan di sebagian wilayah Kabupaten Temanggung Propinsi Jawa Tengah.Penelitian ini juga merupakan bagian dari penelitian program S-3 yang saat ini sedang dilaksanakan oleh penulis.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat dilakukan dengan biaya dari Dana Penelitian Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun anggaran 2008. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :

1. LAPAN yang telah memberikan data citra penginderaan jauh (ASTER) untuk digunakan dalam penelitian ini

2. PUSPICS yang telah memberikan data citra penginderaan jauh (Landsat 7 ETM+) untuk digunakan dalam penelitian ini.

3. Tim Promotor yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama penelitian ini berlangsung.

4. Kepala Laboratorium Penginderaan Jauh Dasar dan Terapan yang telah mengijinkan penulis menggunakan peralatan yang ada untuk melaksanakan penelitian ini.

5. Para asisten yang telah membantu pekerjaan survei lapangan untuk mendudkung penelitian ini.

Sebagai akhir dari pengantar ini penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritis dan saran yang dapat menyempurnakan tulisan ini sangat diharapkan. Terima kasih.

Yogyakarta, Desember 2008 Hormat saya,

(5)

v

DAFTAR ISI

Hal

Halaman Judul i

Intisari ii

Kata Pengantar iii

Daftar Isi Iv Daftar Tabel v Daftar Gambar vi Bab I Pendahuluan 1 1.1.Latar Belakang 1 1.2.Perumusan Masalah 2 1.3.Tujuan Penelitian 4 1.4.Ruang Lingkup 4 1.5.Tinjauan Pustaka 6 1.6.Kerangka Pemikiran 14

Bab II Metode Penelitian 16

2.1. Bahan dan Alat 16

2.1.1. Bahan Penelitian 16

2.1.2. Alat Penelitian 16

2.2. Tahapan Penelitian 17

2.2.1. Persiapan 17

2.2.2. Interpretasi Citra Penginderaan Jauh 17

2.2.3. Analisis Data 18

Bab III Zonasi Agroekologi Sebagian Wilayah Kabupaten Temanggung 20

3.1. Pengolahan Citra 20

3.1.1. ASTER 20

3.1.2. Landsat ETM+ 23

3.2. Pemetaan Variabel-variabel Agroekologi 26

3.2.1. Pemetaan Bentuklahan 26

3.2.2. Pemetaan Curah Hujan 29

3.2.3. Pemetaan Ketinggian Tempat 31

3.2.4. Pemetaan Kemiringan Lereng 33

3.2.5. Pemetaan Jenis Tanah 35

3.3. Pemetaan Zone Agroekologi 37

Kesimpulan dan Saran 43

A. Kesimpulan 43

B. Saran 43

(6)

vi

Daftar Tabel

Hal

Tabel 1.1. Karakteristik Citra Landsat ETM+ 9

Tabel 1.2 Karakteristik Citra Aster 11

Tabel 2.1. Klasifikasi Bentuklahan 18

Tabel 2.2. Klasifikasi Curah Hujan 19

Tabel 2.3. Klasifikasi Ketinggian 19

Tabel 2.4. Klasifikasi Kemiringan Lereng 19

Tabel 2.5. Klasifikasi Tanah 19

Tabel 3.1. Bentuklahan Daerah Penelitian 27

Tabel 3.2. Curah Hujan Daerah Penelitian 29

Tabel 3.3. Ketinggian Tempat Daerah Penelitian 31 Tabel 3.4. Kemiringan Lereng Daerah Penelitian 33

Tabel 3.5. Jenis Tanah Daerah Penelitian 35

(7)

vii

Daftar Gambar

Hal Gambar 1. Daerah Peta Administrasi Kabupaten Temanggung 5 Gambar 3.1. Citra Komposit 321 ASTER Sebagian Kabupaten

Temanggung

22

Gambar 3.2. Citra Komposit 321 Landsat 7 ETM+ Kabupaten Temanggung

24

Gambar 3.3. Citra Komposit 432 Landsat 7 ETM+ Kabupaten Temanggung

25

Gambar 3.4. Peta Bentuklahan Sebagian Kabupaten Temanggung 28 Gambar 3.5. Peta Curah Hujan Sebagian Kabupaten Temanggung 30 Gambar 3.6. Peta Ketinggian Tempat Sebagian Kabupaten

Temanggung

32

Gambar 3.7. Peta Kemiringan Lereng Sebagian Kabupaten Temanggung

34

Gambar 3.8. Peta Jenis Tanah Sebagian Kabupaten Temanggung 36 Gambar 3.9. Peta Agroekologi Sebagian Kabupaten Temanggung 42

(8)

1

Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Lahan bagi masyarakat merupakan faktor produksi alam yang dapat dikelola untuk menjadi sumber pendapatan mereka (Callier et al., 1979 dalam Buntoro, 1985). Namun karena sifatnya yang tidak dapat dipindah dan luasnya terbatas, menyebabkan meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk keperluan pertanian maupun untuk keperluan lainnya. Dalam bidang pertanian, pemanfaatan tersebut ditujukan untuk mendapatkan nilai ekonomis yang tinggi bagi pemakai lahan dengan tanpa mengabaikan dampak negatif yang mungkin timbul. Oleh karena itu dalam pemanfaatan lahan diharapkan akan diperoleh nilai ekonomis yang tinggi dan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya alam, baik sumberdaya air maupun lahan. Hal ini tersirat dalam beberapa kebijakan umum program pembangunan pertanian yang digunakan sebagai pedoman oleh dinas pertanian dalam melaksanakan kegiatannya.

Kebijakan umum program pembangunan pertanian adalah mengembangkan kapasitas masyarakat pertanian agar mampu melaksanakan kegiatan ekonomi secara mandiri. Oleh karena itu strategi, kebijakan dan program pembangunan yang dilaksanakan ditujukan untuk mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi dan sosial petani agar dapat memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Beberapa kebijakan program pembangunan pertanian yang dilakukan meliputi : (a) peningkatan produktivitas, (b) perluasan areal tanam, dan (c) pengembangan agribisnis. Peningkatan produktivitas dilakukan dengan meningkatkan mutu intensifikasi dengan tetap mengacu pada kelestarian lingkungan. Perluasan areal tanam ditempuh melalui peningkatan intensitas pertanaman. Pengembangan agribisnis ditempuh melalui sistem pemasaran yang berorientasi pada pasar (Dinas Pertanian Kabupaten Semarang, 2000).

(9)

2

Selama ini seringkali ditemukan ketidakakuratan dan ketidakkonsistenan data pertanian baik yang menyangkut keadaan lahan pertanian, luas lahan pertanian hingga produktivitas dan produksi tanaman petanian. Meskipun telah dilakukan kegiatan pengumpulan data secara periodik namun kegiatan verifikasi dan validasi di lapangan jarang dilakukan secara lebih teliti. Untuk dibutuhkan suatu sistem pengumpulan data spasial tanaman pertanian melalui suatu zonasi kondisi biofisik lahan yang berpengaruh pada produksi tanaman pertanian yang lebih akurat sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan lebih lanjut di bidang pertanian.

Data Penginderaan jauh memiliki kelebihan dalam hal waktu pengamatan yang real time dan kecilnya human error dibandingkan data pengamatan langsung di lapangan. Dalam terapannya secara operasional penggunaan data penginderaan jauh juga memiliki kelebihan antara lain memberikan data spesifik yang terkadang tidak dapat diberikan dari sumber data lainnya, pengumpulan data tanpa banyak kerja lapangan dengan hasil yang lebih cepat dan murah serta memungkinkan pengumpulan data pada medan yang tidak memungkinkan (Howard, 1996).

1.2. Perumusan Masalah

Ketersediaan data atau informasi merupakan bagian terpenting dalam membangun suatu sistem informasi pertanian yang akurat untuk mendukung perencanaan yang tepat. Dalam kaitan ini dibutuhkan suatu basis data yang tidak hanya lengkap tetapi juga mudah diakses serta didukung oleh perangkat yang handal. Mengacu pada konsep kecepatan, ketepatan, akurasi dan konsistensi data atau informasi untuk suatu kegiatan atau perencanaan dan pengambilan keputusan yang tepat, maka pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan SIG di bidang pertanian adalah sangat penting.

(10)

3

Beberapa metode pemetaan kondisi biofisik lahan pertanian telah dikembangkan menggunakan aplikasi data penginderaan jauh, metode tersebut adalah pendekatan spektral dan pendekatan spasial ekologis. Pendekatan spektral mengandalkan model-model pendekatan transformasi indeks vegetasi. Pendekatan spasial lebih bertumpu pada fenomena spasial-ekologis hasil interaksi karakteristik bentanglahan suatu wilayah dengan spesies yang dapat (’sesuai’) ditanam dan pola bercocok tanam (termasuk rotasi tanam) yang ada. Pendekatan ini juga disebut sebagai pendekatan spasial-ekologis, dan biasanya dilakukan berdasarkan hasil interpretasi visual citra melalui analisis medan (Danoedoro dkk, 1999).

Berdasarkan beberapa penelitian tentang estimasi produksi yang telah dilakukan terungkap bahwa banyak faktor yang mempengaruhi ketelitian hasil estimasi. Secara garis besar faktor-faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor iklim, faktor kondisi fisik lahan dan faktor tanaman. Ketiga faktor tersebut merupakan komponen-komponen pembentuk agrotopoklimat/agroekologi (de Zuviria, 1992). Apabila dalam melakukan estimasi menggunakan bantuan citra penginderaan jauh maka faktor-faktor di atas masih ditambah lagi dengan faktor pemilihan citra penginderaan jauh yang digunakan.

Selanjutnya timbul pertanyaan mendasar yaitu : (a) apakah informasi spektral pada citra penginderaan jauh yang merupakan pantulan dari obyek di permukaan bumi dapat digunakan untuk melakukan inventarisasi kondisi biofisik lahan, dan (b) bagaimana zonasi agroekologi berdasarkan komponen-komponen biofisik lahan yang ada pada wilayah penelitian untuk menyusun basis data spasial ?

(11)

4

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dalam jangka panjang bertujuan untuk membangun suatu model untuk estimasi produksi pertanian dengan pendekatan agroekologi berdasarkan pengintegrasian citra penginderaan jauh multispektral dengan sistem informasi geografis. Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Melakukan inventarisasi kondisi biofisik lahan dengan menggunakan data primer (interpretasi citra satelit multispektral) dan sekunder (peta, statistik, hasil penelitian).

2. Analisis komponen-komponen agroekologi yang ada pada wilayah penelitian dan menyusun zonasi agroekologi daerah penelitian.

1.4. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilaksanakan di sebagian wilayah Kabupaten Temanggung Propinsi Jawa Tengah yang meliput beberapa wilayah kecamatan, yaitu : Kecamatan Parakan, Kecamatan Bulu, Kecamatan Kledung, Kecamatan Bansari, Kecamatan Kedu, Kecamatan Temanggung, Kecamatan Tlogomulyo, Kecamatan Tembarak dan Kecamatan Selopampang (Gambar 1.)

Wilayah Kabupaten Temanggung terkenal sebagai daerah penghasil tembakau nomer satu di Propinsi Jawa Tengah, oleh karena itu zonasi agroekologi yang akan dibuat di daerah penelitian juga mengacu pada kesesuaiannya untuk ditanami tembakau atau untuk memproduksi tembakau.

(12)

5

Gambar 1. Daerah Peta Administrasi Kabupaten Temanggung Bejen Bulu Kaloran Kedu Candiroto Jumo Kandangan Pringsurat Gemawang Tretep Kranggan Kledung Ngadirejo Wonoboyo Bansari Tembarak Temanggung Parakan Tlogomulyo Selopampang Kabupaten Batang Kabupaten Kendal Kabupaten Magelang Kabupaten Semarang Kabupaten Wonosobo Kabupaten Temanggung Kota Semarang 390000 mT 390000 mT 400000 400000 410000 410000 420000 mT 420000 mT 91 8 00 00 mU 9 18 0 00 0 mU 91 90000 91 9000 0 9 20 0 00 0 9200000 92 10000 92 10000 92 20000 mU 9 22 0 00 0 m U

PETA ADMINISTRASI KABUPATEN TEMANGGUNG

Kabup aten Batang Kab upaten Ba njarnegara Kabupaten Pekalongan Kabupaten Kendal Kabupaten Magelang Kabupaten Semarang Kabupaten Wonosobo Ka bupaten Temanggung Kd Kota Semarang 360000 m T 360000 m T 380000 380000 400000 400000 420000 420000 440000 mT 440000 mT 9 180000 m U 9 180000 mU 9 200000 9 200000 9 220000 mU 9220000 m U

PETUNJUK LETAK PETA

FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Dibuat Oleh : Sigit Heru Murti

Sumber : Peta Administrasi Kabupaten Temanggung skala 1 : 100.000 LEGENDA : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Jalan Nasional Jalan Kolektor Jalan Lokal Rel Kereta Api Sungai

U

(13)

6

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. Karaketristik Pantulan Obyek Vegetasi

Tiap obyek di permukaan bumi mempunyai ciri tersendiri dalam menyerap, memantulkan dan meneruskan tenaga yang diterimanya. Pada panjang gelombang 0,55 µm (saluran hijau) terdapat puncak kecil karena kloroplas memantulkan sebagian besar sinar hijau yang diterimanya. Pada saluran biru (0,45 µm) dan saluran merah (0,65 µm) terjadi serapan energi oleh kloroplas yang digunakan untuk fotosintesis. Pada saluran dengan panjang gelombang lebih besar dari 0,70 µm (inframerah dekat) terjadi kenaikan pantulan yang sangat tajam, karena sinar inframerah dekat dipantulkan oleh jaringan parensima daun (spongy mesophyl). Konsep tersebut berlaku untuk vegetasi secara umum dan dalam kondisi sehat.

Menurut Hoffer (dalam Swain dan Davis, 1978) pantulan daun berlapis banyak (multiple leaf layers) lebih besar 85 % dibandingkan pantulan pada daun berlapis tunggal (single leaf layers) pada saluran inframerah dekat. Penyebab lebih besarnya pantulan pada daun berlapis banyak adalah adanya tambahan sinar pantulan yang berasal dari sinar yang diteruskan oleh lapisan yang ada di bawahnya. Kerapatan daun juga mempunyai pengaruh terhadap pantulan spektral, dimana semakin rapat kanopi maka semakin luas permukaan daun yang bertindak sebagai pemantul. Pada spektrum inframerah dekat daun hijau cenderung lebih banyak memantulkan dan meneruskan energi yang diterimanya.

1.5.2. Konsep Agroekologi

Konsep terpenting dalam agroekologi adalah ekosistem, dimana suatu sistem ekologi bentanglahan yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dengan adanya konsep ekosistem, maka unsur-unsur dalam lingkungan hidup tidak dipandang secara tersendiri melainkan secara terintegrasi sebagai

(14)

7

komponen yang berkaitan dalam suatu sistem, demikian pula dengan pertanian sebagai suatu ekosistem.

Huizing (1990) mengemukakan suatu pendekatan agroekologi untuk memandang pertanian sebagai suatu sistem. Agroekologi yang menyatakan hubungan dan interaksi antara tanaman dan atau ternak dengan lahan atau lingkungannya, didefinisikannya sebagai pendekatan untuk pertanian yang mengintegrasikan ide dan konsep dari berbagai bidang yang mempelajari pertanian (agroekosistem). Sebuah agroekosistem adalah sebuah satuan penggunaan lahan termasuk di dalamnya tanaman dan atau ternak serta lahan yang mengubah energi matahari, air, hara, tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk yang bermanfaat bagi manusia.

Dalam agroekologi, konsep tersebut dipertajam menjadi hubungan timbal balik antara tanaman dan atau ternak (agro) dengan lahannya dan kondisi iklim yang mendukung pertumbuhannya (ekologi). Dengan kata lain keberadaan atau keberhasilan produksi suatu jenis tanaman pertanian sangat dipengaruhi oleh pemilihan jenis tanaman yang sesuai untuk diusahakan pada sebidang lahan yang cocok dengan didukung oleh kondisi iklim yang sesuai pula.

1.5.3. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau gejala melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand et al., 2004). Alat yang dimaksud adalah sensor penginderaan jauh yang menerima dan merekam tenaga yang datang dari obyek di permukaan bumi. Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrm elektromagnetik yang mengenainya.

(15)

8

Untuk memperoleh data permukaan bumi dikembangkan teknologi satelit sumberdaya alam yang mulai berkembang pesat setelah diluncurkannya Satelit Landsat pada tahun 1972. Hingga saat ini terdapat banyak satelit sumberdaya yang mengorbit bumi dengan berbagai macam sensor dengan karakteristiknya masing-masing.

1.5.3.1. Citra Landsat 7 ETM+

Landsat 7 ETM+ diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan tujuan untuk menghasilkan data seri untuk seluruh daratan dan wilayah pesisir bumi dengan citra yang direkam dengan panjang gelombang tampak mata dan inframerah kualitas tinggi serta melanjutkan basis data Landsat yang sudah ada. Satelit ini dioperasikan bersama oleh NASA, NOAA dan USGS.

Sistem Landsat 7 ETM+ dirancang untuk bekerja selama 5 tahun, dengan spesifikasi sebagai berikut :

(a) sensor ETM+ memiliki jumlah saluran 8, terdiri dari 6 saluran multispektral, 1 saluran termal dan 1 saluran pankromatik (Tabel 2); (b) resolusi spasial bervariasi, 30 meter untuk saluran 1-5 dan 7, 60 meter

untuk saluran 6 dan 15 meter untuk saluran pankromatik; (c) ketinggian orbit 705 km;

(d) resolusi temporal 16 hari; (e) waktu lokal 09.45 – 10.15; (f) inklinasi 98,2 º;

(g) orbit sinkron matahari dan polar;

(h) setiap sekali mengorbit memerlukan waktu 99 menit, sehingga dalam 1 hari dapat mengorbit bumi sebanyak 14 kali;

(16)

9

Tabel 1.1. Karakteristik Citra Landsat ETM+ Saluran Rentang

Spektral (µm)

Resolusi Spasial (m)

Karakteristik

1 0,440 – 0,515 30 Didesain untuk penetrasi pada tubuh air, pembedaan tanah dan vegetasi, dan pemetaan jenis-jenis hutan

2 0,525 – 0,605 30 Merupakan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau, baik untuk pembedaan vegetasi

3 0,630 – 0,690 30 Beroperasi pada daerah serapan klorofil, baik untuk deteksi jalan, tanah kering dan jenis-jenis vegetasi 4 0,775 – 0,900 30 Saluran ini baik digunakan

untuk mengukur biomasa, memisahkan tubuh air dengan vegetasi dan mengenali kelembaban tanah 5 1,550 – 1,750 30 Baik digunakan untuk

membedakan jalan, tanah kering dan air. Juga baik untuk digunakan

membedakan jenis-jenis vegetasi dan relatif tidak mengalami gangguan atmosfer

6 10,400 – 12,500 60 Saluran ini merekam pantulan termal obyek, baik digunakan untuk deteksi kelembaban tanah, temperatur vegetasi dan pemetaan termal 7 2,090 – 2,350 30 Saluran ini baik digunakan

untuk pembedaan batuan dan mineral, serta interpretasi jenis-jenis tutupan vegtasi dan kelembaban tanah

8 0,520 – 0,900 15 Merupakan saluran pankromatik (hitam putih) untuk meningkatkan kemampuan pengenalan obyek

(17)

10

Landsat 7 ETM+ merekam permukaan bumi dengan 8 saluran spektral yang dimilikinya. Tujuh saluran diantaranya merupakan pengembangan dari sistem sensor yang terpasang pada Landsat generasi sebelumnya (Landsat 4 dan 5), yaitu sensor TM (Thematic Mapper) dan penambahan satu saluran baru yang berupa saluran pankromatik. Pengembangan tersebut terletak pada penajaman julat panjang gelombang dalam setiap salurannya dan peningkatan resolusi spasial untuk band 6. Saluran-saluran pada Landsat ETM+ dipilih untuk menampilkan faktor-faktor dominan yang mengontrol pantulan daun pada vegetasi, seperti pigmen daun, strukur daun dan bentuk kanopi, serta kandungan lengas daun (Tabel 1.1.).

1.5.3.2. Citra ASTER

Salah satu satelit sumberdaya yang masih tergolong baru dan memilki prospek yang baik untuk dikembangkan adalah Satelit Terra ASTER.ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and

Reflection Radiometer) merupakan sensor yang dipasang pada satelit

Terra yang diluncurkan 18 Desember 1999. Satelit Tera mengorbit bumi dengan orbit Sun-synchronous, ketinggian 707 km di katulistiwa, inklinasi 98.2o dari nominal, dan resolusi temporal 16 hari. Sensor ASTER merupakan peningkatan dari sensor yang dipasang pada satelit generasi sebelumnya, JERS-1. Sensor ini terdiri dari Visible and Near-Infrared

Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer (SWIR), Thermal Infrared Radiometer(TIR), Intersected Signal Processing Unit

dan Master Power Unit. VNIR merupakan high performance dan high

resolution optical instrument yang digunakan untuk mendeteksi pantulan

cahaya dari permukaan bumi dengan range dari level visibel hingga inframerah (520 – 860 m) dengan 3 band. Band nomor 3 dari VNIR ini merupakan nadir dan backward looking data, sehingga kombinasi data ini dapat digunakan untuk mendapatkan citra stereoskopis.

(18)

11

Tabel 1.2. Karakteristik Citra Aster

Sumber : Sumantyo dan Soekanto, 2003

Digital Elevation model (DEM) dapat diperoleh dengan

mengaplikasikan data VNIR ini, sehingga data ini tidak hanya untuk peta

Nama produk Keterangan Resolusi

Jumlah hasil observasi citra/hari Level 1A

Produk ini adalah data mentah langsung dari satelit.

Koefisien kalibrasi radiometrik dan koreksi geometrik

terlampir, tetapi tidak diterapkan dalam data. Produk ini tidak disesuaikan pada proyeksi peta tertentu.

V(15m) S(30m) T(90m)

780

Level 1B

Produk ini hasil proses penerapan koefisien koreksi

radiometrik dan geometrik yang terlampir pada data level 1A. Pada produk ini juga diterapkan metoda proyeksi peta dalam proses L1B. Dari produk ini dapat diperoleh informasi fisik seperti radiance dan temperatur dengan menggunakan nilai digital (DN) dalam data.

V(15m) S(30m) T(90m) 310 Relative Spectral Emissivity (2A02)

Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched dari data ASTER TIR. Produk ini menunjukkan variasi emisi yang diperkuat (enhanced emissivity variations) yang diturunkan dari range TIR lemah.

90m 50

Relative Spectral Reflectance VNIR (2A03V)

Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER VNIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations)

15m 50

Relative Spectral Reflectance SWIR (2A03S)

Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER SWIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations)

30m 50

Surface Radiance VNIR

(2B01V)

Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir

kepada data ASTER VNIR. 15m 10

Surface Radiance SWIR

(2B01S)

Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir

kepada data ASTER SWIR. 30m 10

Surface Radiance TIR

(2B01T)

Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir

kepada data ASTER TIR. 90m 10

Surface Reflectance VNIR (2B05V)

Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER VNIR setelah penerapan koreksi atmosfir.

15m 10

Surface Reflectance SWIR (2B05S)

Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER SWIR setelah penerapan koreksi atmosfir.

30m 10

Surface Temperature

(2B03)

Produk ini berisi temperatur permukaan dari 5 (lima) band thermal infra merah ASTER yang dihitung menggunakan

temperature-emissivity-separation terhadap data radiance

permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir.

T(90m) 10

Surface Emissivity (2B04)

Produk ini berisi emisi permukaan dari 5 (lima) band thermal

infra merah ASTER yang dihitung menggunakan

temperature-emissivity-separation terhadap data radiance permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir.

T(90m) 10

Orthographic Image (3A01)

Produk ini adalah data orthografik ASTER yang dihasilkan dari data relatif DEM (4A01), dan bebas dari distorsi geografik karena perbedaan ketinggian. Data ketinggian untuk posisi geografis pada setiap pixel juga terlampir.

V(15m)+DTM S(30m)+DTM T(90m)+DTM 30 Relative DEM Z (4A01Z)

Produk ini diperoleh dari data ketinggian yang diturunkan dari data stereoskopik. Dimana data stereoskopik ini diperoleh dari band VNIR 3N (nadir looking) dan 3B (backward looking).

(19)

12

topografik saja, tetapi bisa juga digunakan sebagai citra stereo. SWIR merupakan high resolution optical instrument dengan 6 band yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan short wavelength infrared range (1.6 – 2.43 m). Penggunaan radiometer ini memungkinkan menerapkan ASTER untuk identifikasi jenis batu dan mineral, serta untuk monitoring bencana alam seperti monitoring gunung berapi yang masih aktif.TIR adalah high accuracy instrument untuk observasi thermal infrared radiation (800 – 1200 m) dari permukaan bumi dengan menggunakan 5 bands. Band ini dapat digunakan untuk monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi.

Multi-band thermal infrared sensor dalam satelit ini adalah pertama kali di

dunia. Ukuran citra adalah 60 km dengan ground resolution 90m (Sumantyo dan Soekanto, 2003). Karakteristik citra aster disajikan pada tabel 1.2.

1.5.4. Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis (SIG) yang diterjemahkan dari

geographical information system (GIS) adalah sebah sistem untuk

pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data; yang mana data tersebut secara keruangan terkait dengan muka bumi. Untuk dapat mengoperasikan sistem ini dibutuhkan perangkat lunak dan keras. Perangkat lunak dalam hal ini adalah program komputer yang sesuai untuk tujuan di atas, sedangkan perangkat keras adalah sistem komputer yang sesuai untuk pengoperasian perangkat lunaknya (Suharyadi dan Danoedoro, 2004).

Fasilitas perangkat lunak SIG digital pada dasarnya dapat dirinci menjadi 3 sub-sistem yang saling terkait, yaitu : (a) sub-sistem pemasukan data, (b) sub-sistem pemrosesan data dan (c) sub-sistem output data. Sementara itu, Chang (2002) membagi SIG ke dalam komponen-komponen berikut : (a) sistem komputer meliputi perangkat keras dan

µ

(20)

13

sistem operasinya, (b) perangkat lunak SIG yang meliputi program dan

user interface untuk mengendalikan perangkat keras, (c) brainware untuk

pengendalian aspek tujuan, alasan, manfaat dan justifikasi penggunaan SIG, (d) infrastruktur yang mencakup lingkungan fisik, organisasi, administratif, serta kultur untuk mendukung operasi SIG, yang juga meliputi ketrampilan, standardisasi, data clearinghouse, serta pola organisasi.

Salah satu isyu utama dalam SIG ialah pemodelan spasial. Pemodelan spasial digunakan untuk memodelkan dunia nyata (real

world), dan hal ini dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan

atau kewilayahan. Pada pemodelan ini, berbagai variabel harus dikenali terlebih dahulu kemudian dipetakan secara digital dan disesuaikan sistem proyeksi maupun koordinatnya, dengan melibatkan aspek-aspek resolusi dan sistem kalsifikasinya (kalau ada). Pemilihan model data raster atau vektor dalam suatu pemodelan berbasis SIG bukan sekedar dilandasi oleh pertimbangan mudah-tidaknya pengoperasian, melainkan juga efektif-tidaknya model dan struktur data itu dalam proses dan hasil pemodelannya (Suharyadi dan Danoedoro, 2004)

1.5.5. Penelitian Yang Berkaitan

Ormsby et al., (1987) melakukan simulasi pada data digital Landsat MSS untuk mengetahui hubungan atau pengaruh kerapatan vegetasi terhadap nilai kecerahan pada citra penginderaan jauh. Data yang digunakan adalah citra MSS saluran 4 dan saluran 2. Data tersebut dimanipulasi ke dalam bentuk transformasi NDVI {(saluran 4 – saluran 2)/(saluran 4 + saluran 2)} dan SR (saluran 4/saluran 2), selanjutnya digunakan sebagai indikator penentuan wilayah bervegetasi dan tidak bervegetasi serta kerapatannya. Data vegetasi diperoleh melalui pendekatan besarnya sinar yang dipantulkan oleh vegetasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan antara NDVI dan SR dengan

(21)

14

liputan vegetasi. Nilai NDVI kurang dari 0,3 menunjukkan wilayah bervegetasi kurang dari 5 %, sedangkan nilai NDVI lebih dari 0,7 menunjukkan wilayah bervegetasi dengan kerapatan lebih fdari 80 %.

Danoedoro (1993) mengemukakan bahwa meskipun metode pemetaan penggunaan lahan yang menggunakan algoritma klasifikasi multispektral dikembangkan melalui pendekatan statistik yang mapan, tetapi ada satu hal yang diabaikan yaitu distribusi fenomena geografis di permukaan bumi tidaklaha bersifat acak. Distribusi tersebut mengikuti suatu pola ekologi-spasial yang seringkali tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui pendekatan statistik non-spasial. Penggunaan lahan yang ada pada dasarnya dipengaruhi oleh bentanglahannya dan intervensi manusia terhadap lingkungannya, sehingga informasi penggunaan lahan sebaiknya dikaitkan dengan informasi spasial yang sesuai, seperti tanah, lereng, elevasi, curah hujan dan sebagainya. Agar informasi spasial spasial yang diperlukan tersebut dapat dikaitkan dengan informasi penggunaan lahan, maka data-data tersebut disusun sebagai

knowledge-based dengan mengekspresikan suatu aturan tertentu sehingga dapat

digunakan sebagai alat bantu dalam SIG.

Murti (1997) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengestimasi besarnya produksi daun tembakau berdasarkan analisis digital citra Landsat TM dengan metode transformasi indeks vegetasi dan integrasi klasifikasi multispektral dengan SIG melalui pendekatan ekologi bentang lahan. Parameter fisik lahan yang digunakan sebagai nindikator dalam penentukan zone produksi tembakau adalah komponen agrotopklimat yang meliputi bentuklahan, tekstur tanah, kemiringan lereng, ketinggian tempat, rotasi tanam, dan tumpangsari tanaman. Hasil penelitian menunjukkan : (i) untuk metode transformasi indeks vegetasi tidak terdapat hubungan yang kuat antara nilai spektral dengan produksi daun tembakau meskipun data yang ada telah dipecah ke dalam katagori arah kemiringan lereng dan keseragaman vegetasi, (ii) untuk metode

(22)

15

integrasi klasifikasi multispektral dengan SIG diperoleh hasil estimasi produksi daun tembakau dengan tingkat ketelitian 96,75 %.

1.6. Kerangka Pemikiran

Sebagai salah satu negara agraris terkemuka di dunia yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam sangat potensial, Indonesia sudah sewajarnya harus mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya, karena pangan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam. Untuk mencukupi kebutuhan pangan tersebut diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat memperkuat struktur sektor pertanian. Dalam menyusun kebijakan-kebijakan tersebut diperlukan berbagai macam data pendukung, diantaranya adalah data kondisi biofisik lahan yang diwujudkan dalam zone agroekologi.

Beberapa metode pemetaan agroekologi telah dikembangkan menggunakan aplikasi data penginderaan jauh, metode tersebut adalah interpretasi citra penginderaan jauh menggunakan pendekatan spasial ekologis Pendekatan spasial lebih bertumpu pada fenomena spasial-ekologis hasil interaksi karakteristik bentanglahan suatu wilayah dengan spesies yang dapat (’sesuai’) ditanam dan pola bercocok tanam (termasuk rotasi tanam) yang ada, sehingga produktivitas lahan pada berbagai macam kondisi lahan dapat diketahui.

Selain informasi yang diperoleh dari citra dan data sekunder melalui pendekatan-pendekatan di atas, diperlukan pula data tanah, data curah hujan, data ketinggian tempat dan data produktivitas lahan untuk tanaman tembakau pada titik-titik sampel terpilih. Pemilihan sampel lapangan menggunakan metode statified samplingsesuai dengan jumlah unit lahan yang terbentuk.

(23)

16

Bab II Metode Penelitian

2.1. Bahan dan Alat

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini dimanfaatkan data penginderaan jauh untuk ekstraksi berbagai informasi tentang kondisi permukaan bumi dan karakteristiknya, ditunjang dengan berbagai data karakteristik biofisik, berbagai macam data peta, data sosial ekonomi dan berbagai data penunjang lain sebagai data input.

2.1.1. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : - Citra ASTER Level 1B tanggal Perekaman23 Juni 2004 daerah

Temanggung dan sekitarnya dari LAPAN.

- Citra Landsat ETM+ tanggal perekaman 21 Agustus 2002 daerah Temanggung dan sekitarnya dari LAPAN.

- Peta Rupabumi Indonesia Skala 1 : 25.000 Lembar Temanggung dari Bakosurtanal

- Data Curah Hujan dari tahun 1993 – 2002 dari BMG Jawa Tengah - Peta Tanah Tinjau Skala 1 : 250.000 daerah Jawa Tengah dari

Puslitanak

2.1.2. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

- Seperangkat Komputer PC AT Pentium 4 dengan monitor warna 17’ resolusi tinggi

- Perangkat lunak ENVI 4.0 untuk mengolah citra ASTER - Perangkat lunak ARC-View 3.3. untuk mengolah data spasial - Daftar Isian Lapangan untuk perolehan data lapangan

(24)

17

2.2. Tahapan Penelitian

Untuk memperlancar jalannya penelitian, disusun tahapan-tahapan penelitian secara sistematik yang terbagi dalam tiga bagian, yaitu tahap persiapan, tahap interpretasi citra penginderaan jauh dan tahap analisa data.

2.2.1. Persiapan

Pada tahap ini dilakukan kegiatan inventarisasi data untuk mengumpulkan informasi tentang Citra ASTER dan peta-peta terkait yang tersedia untuk daerah Temanggung dan sekitarnya sebagai daerah penelitian. Informasi tentang keberadaan citra ASTER diperoleh dari LAPAN, data curah hujan dari BMG, peta tanah dari Puslitanak dan petaRBI dari Bakosurtanal. Selain itu dilakukan pula studi pustaka untuk menentukan variabel-variabel penyusun zone agroekologi dan metode penyusunannya.

2.2.2. Interpretasi Citra Penginderaan Jauh

Citra penginderaan jauh yang digunakan ini merupakan data raster dalam produk digital dan hardcopy. Data hardcopy ini diperoleh berdasarkan hasil analisis citra digital setelah melewati proses kalibrasi (koreksi radiometrik dan geometrik) dan analisis interaktif untuk pemilihan citra input terbaik sebagai data acuan dalam proses kerja ekstraksi informasi. Dalam penelitian ini diupayakan pembentukan berbagai citra paduan warna (color composit) dan dievaluasi untuk keperluan interpretasi visual. Interpretasi visual yang dilakukan pada citra ASTER dan Landsat 7 ETM+ ini adalah untuk menurunkan informasi bentuklahan daerah penelitian. Selain itu citra ini juga digunakan untuk mendetilkan peta tanah skala tinjau yang mempunyai skala 1 : 250.000 ke dalam skala 1 : 100.000 yang digunakan dalam penelitian ini, terutama untuk memperbaiki batas

(25)

18

peta tanah yang sudah ada. Fungsi berikutnya dari citra ini adalah untuk membantu menentukan batas variabel ketinggian yang akan digunakan berdasarkan kenampakan visual obyek penutup lahan yang tampak pada citra.

2.2.3. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis variabel penelitian yang berisi seluruh informasi yang ditetapkan sebagai parameter pembatas tingkat potensi suatu kawasan untuk tujuan pengembangan kegiatan pertanian tertentu dalam hal ini adalah tanaman tembakau. Parameter yang dipersyaratkan antara lain:

• Kemiringan Lereng

• Bentuklahan

• Tanah

• Curah Hujan

• Ketinggian

Dalam penyusunan zonasi agroekologi digunakan teknik overlay antara semua variabel tersebut untuk menysun satuan lahan/unit analisis yang selanjutnya akan dilakukan analisis berdasarkan hasil survei lapangan untuk mendapatkan zone agoekologi daerah penelitian.

Klasifikasi data yang digunakan untuk setiap variabel penelitian adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1. Klasifikasi Bentuklahan

Kelas Bentuklahan Kode Bentuklahan

Lereng atas volkan B1

Lereng tengah volkan B2

Lereng bawah volkan B3

Lereng kaki volkan B4

Boka B5

(26)

19

Tabel 2.2. Klasifikasi Curah Hujan

Kelas Curah Hujan Kode Curah Hujan

< 2500 mm/th H1

2500 – 3500 mm/th H2

> 3500 mm/th H3

Tabel 2.3. Klasifikasi Ketinggian

Kelas Ketinggian Kode Ketinggian

<700 mdpal K1

700 – 900 mdpal K2

> 1100 mdpal K3

Tabel 2.4. Klasifikasi Kemiringan Lereng

Kelas Kemiringan Lereng Kode Kemiringan Lereng

< 8 % L1

8 – 15 % L2

15 – 25 % L3

25 – 40 % L4

> 40 % L5

Tabel 2.5. Klasifikasi Tanah

Kelas Jenis Tanah Kode Jenis Tanah

Kompleks regosol dan litosol T1

Kompleks regosol kelabu dan latosol T2

(27)

20

Bab III Zonasi Agroekologi Sebagian Wilayah Kabupaten Temanggung

3.1. Pengolahan Citra 3.1.1. ASTER

Citra ASTER yang digunakan dalam penelitian ini direkam pada tanggal 24 Juni 2004 dengan level data 1B atau data telah mengalami proses koreksi radiometrik dan geometrik standar. Namun dalam penelitian ini dilakukan koreksi radiometrik dan geometrik ulang untuk mendapatkan citra yang lebih baik dengan presisi yang tinggi supaya nantinya dapat diintegrasikan dengan peta-peta tematik lain yang dipakai dalam penelitian ini denganbaik dan tepat. Setelah pemrosesan awal selesai dilakukan, maka selanjutnya diproses untuk membuat citra komposit warna yang akan digunakan untuk interpretasi bentuklahan dan pengamatan kondisi medan lainnya.

Meskipun Citra ASTER terdiri dari tiga macam sensor, yaitu VNIR, SWIR dan TIR, namun dalam penelitian ini hanya digunakan citra yanng direkam dengan sensor VNIR saja yang terdiri dari tiga macam panjang gelombang, yaitu hijau, merah dan inframerah dekat. Oleh karena itu citra komposit wana yang dapat dibuat dari kombinasi ketiga panjang gelombang tersebut adalah gabungan 321 (inframerah dekat-merah-hijau) yang merupakan citra komposit warna semu standar. Pada citra tersebut obyek vegetasi akan berwarna merah, obyek ar akan berwana gelap (biru gelap-hitam), dan tanah terbuka/bangunan akan berwarna kehijauan.

Pada citra yang digunakan (gambar 3.1.) tampak bahwa sebagian besar daerah penelitian tampak dengan warna merah, yang berarti bahwa tutupan vegetasi mendominasi daerah penelitian. Pada lereng atas G. Sundoro dan G. Sumbing tampak warna merah yang ada cenderung gelap, hal ini menandakan bahwa tutupan vegetasinya cukup lebat dan diperkirakan daerah itu masih berupa hutan. Selain di lereng atas,

(28)

21

kenamapak merah gelap juga terdapat di bagian bawah daerah penelitian yang diidentifikasi sebagai hutan/kebun campuran yang berada di daerah perbukitan. Di bawah daerah hutan tersebut warna merah yang ada sudah semakin cerah dan diselingi oleh warna hijau pucat yang menandakan bahwa tutupan vegetasi yang ada sudah tidak begitu rapat dan diantaranya terdapat tanah-tanah terbuka. Berdasarkan hal ini dapat diidentifikasi bahwa daerah tersebut merupakan lahan pertanian, dimana pada bagian yang berwarna merah merupakan lahan pertanian yang ada tanamannya, sedangkan pada daerah yang berwarna hijau pucat merupakan lahan pertanian yang belum ada tanamannya atau kalaupun sudah ada tanamannya namun masih muda/kecil. Untuk obyek yang berwarna hijau tua dengan ukuran yang cukup besar dapat diidentifikasi sebagai lahan terbangun.

Kenampakan fisiografi lahan di daerah penelitian cukup baik pada citra ini. Kenampakan kerapatan aliran, pola aliran, perbedaan tinggi dan kesan tiga dimensi yang dapat ditangkap akan sangat membantu dalam proses interpretasi bentuklahan yang akan dilakukan berdasarkan citra ini. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam interpretasi bentuklahan di daerah penelitian, selain menggunakan citra ASTER juga akan digunakan citra Landsat 7 ETM+. Penggunaan citra Lndsat 7 ETM+ tersebut disebabkan oleh karean citra ini sudah teruji dan terbukti dapat digunakan untuk pemetaan bentuklahan dengan hasil yang baik dan ketelitian cukup tinggi.

(29)

22

Gambar 3.1. Citra Komposit 321 ASTER Sebagian Kabupaten Temanggung

(30)

23

3.1.2. Landsat ETM+

Seperti telah disampaikan pada bagian sebelumnya, selain digunakan citra ASTER dalam penelitian ini digunakan pula citra Landsat 7 ETM+. Citra Landsat 7 ETM+ yang digunakan dalam penelitian ini direkam pada tanggal 21 Agustus 2002 dengan level data 1G. Level data tersebut menunjukkan bahwa citra ini juga sudah mengalami koreksi radiometrik dan koreksi geometrik secara sistematik. Seperti juga dilakukan pada citra ASTER, maka untuk meningkatkan kualitas citra Landsat 7 ETM+ ini juga dilakukan pemrosesan awal citra yang berisi koreksi radiomettrik pengaruh atmosfer dan koreksi geometrik berdasarkan peta rupabumi dengan teknik koreksi disesuaikan dengan kondisi daerah penelitian yang bergunung.

Setelah pemrosesan awal citra selesai dikerjakan, maka disusun cittra komposit warna pada citra ini. Karena jumlah panjang gelombang visibel dan inframerah dekat pada citra ini lebih bervariasi dibandingkan citra ASTER, yaitu dengan adanya panjang gelombang biru, maka cittra komposit warna yang dapat dibuat juga lebih bervariasi. Oleh karena itu pada citra ini dibuat dua buah citra komposit, yaitu citra komposit warna sebenarnya yang merupakan gabungan dari panjang gelombang merah-hijau-biru (gambar 3.2.) dan citra komposit warna semu standar yang merupakan gabungan dari panjang gelombang inframerah dekat-merah-hijau (gambar 3.3.).

Sejarah pemanfaaan citra Landsat di dunia maupun di Indonesia sudah cukup panjang dengan aplikasi yang sangat beragam, oleh karena itu dalam penelitian ini citra Landsat digunakan sebagai pendamping citra ASTER untuk interpretasi bentuklahan. Meskipun citra Landsat memiliki resolusi spasial leboh rendah daripada citra ASTER namun dari sisi kualitas radiometrik citra Landsat lebih baik dibanding citra ASTER.

(31)

24

Gambar 3.2. Citra Komposit 321 Landsat 7 ETM+ Kabupaten Temanggung

(32)

25

Gambar 3.3. Citra Komposit 432 Landsat 7 ETM+ Kabupaten Temanggung

(33)

26

3.2. Pemetaan Variabel-variabel Agroekologi

Sebagai langkah awal untuk menyusun peta agroekologi daerah penelitian dilakukan pemetaan variabel-variabel penelitian yang meliputi peta bentuklahan, peta curah hujan, peta kemiringan lereng, peta ketinggian tempat dan peta jenis tanah menggunakan citra penginderaan jauh dan data-data sekunder lainnya.

3.2.1. Pemetaan Bentuklahan

Daerah penelitian terletak di antara G. Sundoro dan G. Sumbing yang secara administratif masuk di Kabupaten Temanggung. Lokasi daerah penelitian yang terletak diantara dua gunung berapi tersebut menyebabkan bentuklahan yang muncul di daerah tersebut didominasi oleh bentuklahan asal volkanik. Berdasarkan hasil interpretasi terhadap citra ASTER dan citra Landsat 7 ETM+ diperoleh hasil bahwa di daerah penelitian terdapat enam bentuklahan, yaitu lereng atas volkan, lereng tengah volkan, lereng bawah volkan, lereng kaki volkan, boka dan perbukitan terkikis. Klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada klasifikasi bentuklahan untuk skala 1 : 100.000, sehingga tidak begitu detil.

Di daerah penelitian, bentuklahan lereng kaki volkan merupakan daerah terluas dengan luas mencapai 9825,156 Ha yang terdapat mulai dari wilayah Kecamatan Parakan, Kedu, Bulu, Temanggung, Tlogomulyo, Tembarak hingga Kecamatan Selopampang. Urutan bentuklahan berikutnya berdasarkan luasannya adalah bentuklahan lereng tengah volkan dengan luas 7091,697 Ha, lereng bawah volkan dengan luas 6862,548 Ha, boka dengan luas 1405,209 Ha, lereng atas volkan dengan luas 1302,110 Ha dan terakhir adalah perbukitan terkikis dengan luas 53,672 Ha yang terdapat di wilayah Kecamatan Temanggung (Tabel 3.1.).

(34)

27

Tabel 3.1. Bentuklahan Daerah Penelitian Kelas Bentuklahan Kode BL Luas (Ha)

Lereng atas volkan B1 1302,110

Lereng tengah volkan B2 7091,697

Lereng bawah volkan B3 6862,548

Lereng kaki volkan B4 9825,156

Boka B5 1405,209

Perbukitan terkikis B6 53,672

Berdasarkan kajian wilayah terhadap bentuklahan yang ada, Kecamatan Bulu, Tlogomulyo, Tembarak dan Selopampang memiliki bentuklahan sangat bervariasi, yaitu mulai dari lereng atas volkan, lereng tengah volkan, lereng bawah volkan, sampai dengan lereng kaki volkan. Kecamatan Parakan juga memilki empat bentuklahan, yaitu lereng tengah volkan, lereng bawah volkan, lereng kaki volkan, dan boka. Untuk Kecamatan Bansari dan Kledung hanya memiliki tiga bentuklahan, yaitu lereng atas volkan, lereng tengah volkan dan lereng bawah volkan. Kecamatan Temanggung memiliki juga tiga bentuklahan yang terdiri dari lereng kaki volkan, boka dan perbukitan terkikis, sedangkan Kecamatan Kedu merupakan kecamatan yang paling sedikit variasi bentuklahannya, yaitu hanya terdiri dari lereng kaki volkan dan boka. Secara lebih lengkap distribusi spasial dari hasil pemetaan bentuklahan di daeah penelitian disajikan pada gambar 3.4.

(35)

28

Gambar 3.4. Peta Bentuklahan Sebagian Kabupaten Temanggung

Bulu Kedu Jumo Kandangan Kledung Ngadirejo Wonoboyo Bansari Tembarak Temanggung Parakan Tlogomulyo Selopampang KABUPATEN TEMANGGUNG KABUPATEN WONOSOBO KABUPATEN MAGELANG 390000 mT 390000 mU 395000 395000 400000 400000 405000 405000 410000 mT 410000 mT 91 85000 mU 9 18 5 00 0 mU 91 90000 91 90000 91 95000 91 95000 92 00000 mU 9 20 0 00 0 mU PETA BENTUKLAHAN

SEBAGIAN KABUPATEN TEMANGGUNG

Kabupaten Batang Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kendal Kabupaten Magelang Kabupaten Semarang Kabupaten Wonosobo Kabupaten Temanggung K 380000 m T 380000 mT 400000 400000 420000 420000 440000 mT 440000 m T 9 1 80000 mU 9180000 m U 9 200000 9 200000 9 2 20000 mU 9220 0 00 m U

PETUNJUK LETAK PETA

FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Dibuat Oleh : Sigit Heru Murti

Sumber : 1. Interpretasi Citra Landsat 7 ETM+ Perekaman 21 Agustus 2002 2. Survei lapangan September 2008

LEGENDA : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Jalan Nasional Jalan Kolektor Jalan Lokal Rel Kereta Api

Sungai Bentuklahan Boka

Lereng atas volkan Lereng tengah volkan Lereng bawah volkan Lereng kaki volkan Perbukitan terkikis

U

(36)

29

3.2.2. Pemetaan Curah Hujan

Pemetaan curah hujan dilakukan menggunakan data hujan selama sepuluh tahun mulai dari tahun 1993 sampai dengan 2002. Meskipun data yang digunakan tergolong data lama, namun dipandang masih dapat mewakili kondisi yang ada di daerah penelitian. Untuk memperoleh data yang lebih baru merupakan hal yang cukup menyulitkan bagi penulis, karena meskipun data tersedia dan ada di BMG namun harga data hujan sangat mahal pada saat ini (kurang lebih Rp. 500,;/stasiun/bulan).

Berdasarkan analisis terhadap data hujan dikaitkan dengan tabel kesesuaian tanaman tembakau yang mensyaratkan tanaman ini tidak menghendaki hujan yang dangat banyak ataupun sangat sedikit, maka dibuat tiga kelas curah hujan, yaitu kurang dari 2500 mm/tahun, 2500-3500 mm/tahun dan di atas 2500-3500 mm/tahun.

Tabel 3.2. Curah Hujan Daerah Penelitian Kelas Curah Hujan Kode CH Luas (Ha)

< 2500 mm/tahun H1 7981,468

2500 - 3500 mm/tahun H2 14551,022

> 3500 mm/tahun H3 4014,176

Berdasarkan tabel 3.2. dapat diketahui bahwa sebagaian besar daerah penelitian memiliki curah hujan antara 2500-3500 mm/tahun dengan luas mencapai 14551,022 Ha yang tersebar di seluruh wilayah penelitian. Berikutnya adalah curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun dengan luas 7981,468 Ha yang terdapat di bagian tengah daerah penelitian dan terakhir adalah curah hujan lebih dari 3500 mm/tahun yang terdapat di wilayah lereng atas G. Sundoro dan G. Sumbing. Distribusi spasial curah hujan di daerah penelitian disajikan pada Peta Curah Hujan Sebagian Kabupaten Temanggung (gambar 3.5).

(37)

30

Gambar 3.5. Peta Curah Hujan Sebagian Kabupaten Temanggung

Bulu Kedu Jumo Kandangan Kledung Ngadirejo Wonoboyo Bansari Tembarak Temanggung Parakan Tlogomulyo Selopampang KABUPATEN TEMANGGUNG KABUPATEN WONOSOBO KABUPATEN MAGELANG 390000 mT 390000 mU 395000 395000 400000 400000 405000 405000 410000 mT 410000 mT 91 85000 mU 9 18 5 00 0 mU 91 90000 91 90000 91 95000 91 95000 92 00000 mU 9 20 0 00 0 mU

PETA CURAH HUJAN

SEBAGIAN KABUPATEN TEMANGGUNG

Kabupaten Batang Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kendal Kabupaten Magelang Kabupaten Semarang Kabupaten Wonosobo Kabupaten Temanggung K 380000 m T 380000 mT 400000 400000 420000 420000 440000 mT 440000 m T 9 1 80000 mU 9180000 m U 9 200000 9 200000 9 2 20000 mU 9220 0 00 m U

PETUNJUK LETAK PETA

FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Dibuat Oleh : Sigit Heru Murti

Sumber : 1. Analisa Data Hujan Tahun 1991 - 2001 2. Survei lapangan September 2008

Curah Hujan < 2500 mm/tahun 2500 - 3500 mm/tahun > 3500 mm/tahun U Sungai Jalan Nasional Jalan Kolektor Jalan Lokal Rel Kereta Api Batas Kabupaten Batas Kecamatan LEGENDA :

(38)

31

3.2.3. Pemetaan Ketinggian Tempat

Ketinggian tempat merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman tembakau. Semakin dingin suatu tempat akan semakin baik untuk pertumbuhan tembakau, oleh karena itu semakin tinggi suatu wilayah akan semakin baik pula karena akan semakin dingin temperatur udaranya. Selain berdasarkan pada kesesuaian untuk tanaman digunakan pula pengamatan kondisi medan pada citra untuk menentukan dasar pembagian ketinggian tempat ini. Dari hasil analisis citra dapat dilihat bahwa kurang dari ketinggian 700 meter kemiringan lereng mulai datar, hal ini tidak begitu baik untuk tanaman tembakau yang tidak menghendaki air dapat menggenang. Berdasarkan kesesuaiannya, ketinggian tempat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu ketinggian kurang dari 700 mdpal, ketinggian antara 700 sampai dengan 1100 mdpal dan ketinggian lebih dari 1100 mdpal.

Tabel 3.3. Ketinggian Tempat Daerah Penelitian

Kelas Ketinggian

Kode

Ketinggian Luas (Ha)

< 700 mdpal K1 4996,920

700 - 1100 mdpal K2 13590,462

>1100 mdpal K3 7959,283

Berdasarkan tabel 3.3 dan peta 3.6. dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah penelitian memiliki ketinggian antara 700 sampai dengan 1100 mdpal dengan luas 13590,462 Ha yang terdapat di tengah daerah penelitian. Selanjutnya adalah adalah daerah yang terdapat pada ketinggian lebih dari 1100 mdpal dengan luas 7959,283 Ha yang terdapat di wilayah lereng atas dan lereng tengah G. Sundoro dan G. Sumbing, serta terakhir adalah daerah yang memiliki ketinggian kurang dari 700 mdpal yang terdapat di bagian bawah daerah penelitian di sekitar Kecamatan Kedu, Temanggung, Tembarak dan Selopampang.

(39)

32

Gambar 3.6. Peta Ketinggian Tempat Sebagian Kabupaten Temanggung

Bulu Kedu Jumo Kandangan Kledung Ngadirejo Wonoboyo Bansari Tembarak Temanggung Parakan Tlogomulyo Selopampang KABUPATEN TEMANGGUNG KABUPATEN WONOSOBO KABUPATEN MAGELANG 390000 mT 390000 mU 395000 395000 400000 400000 405000 405000 410000 mT 410000 mT 91 85000 mU 9 18 5 00 0 mU 91 90000 91 90000 91 95000 91 95000 92 00000 mU 9 20 0 00 0 mU

PETA KETINGGIAN TEMPAT SEBAGIAN KABUPATEN TEMANGGUNG

Kabupaten Batang Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kendal Kabupaten Magelang Kabupaten Semarang Kabupaten Wonosobo Kabupaten Temanggung K 380000 m T 380000 mT 400000 400000 420000 420000 440000 mT 440000 m T 9 1 80000 mU 9180000 m U 9 200000 9 200000 9 2 20000 mU 9220 0 00 m U

PETUNJUK LETAK PETA

FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Dibuat Oleh : Sigit Heru Murti Sumber : 1. Peta Kontur RBI skala 1:25.000 2. Survei lapangan September 2008

U Ketinggian Tempat < 700 mdpal 700 - 1100 mdpal >1100 mdpal Sungai Jalan Nasional Jalan Kolektor Jalan Lokal Rel Kereta Api Batas Kabupaten Batas Kecamatan LEGENDA :

(40)

33

3.2.4. Pemetaan Kemiringan Lereng

Peta kemiringan lereng daerah penelitian diperoleh dari interpolasi kontur peta rupabumi indonesia skala 1 : 25.000. Karena peta skala akhir dari penelitian ini adalah 1 : 100.000 maka interval kontur yang digunakan adalah 50 meter. Klasifikasi kemiiringan lereng yang digunakan mengcu pada klasifikasi kemiringan lereng untuk perhitungan erosi karena tanaman tembakau sangat erat kaitannya dengan erosi yang terjadi pada daerah yang ditanami dengan tanaman ini. Semakin miring lereng yang ada akan semakin baik ditanami tanaman tembakau karena tanaman ini sangat tidak menghendaki terendam atau tergenang oleh air, sehingga semakin cepat air pergi akan semakin baik. Oleh karena itu dalam penelitian ini kemiringan lereng dibagi dalam 5 kelas, yaitu < 8%, 8-15%, 15-25%, 25-40% dan lebih dari 40%.

Tabel 3.4. Kemiringan Lereng Daerah Penelitian Kelas Kemiringan Lereng Kode KL Luas (Ha)

<8 % L1 14305,388

8 - 15 % L2 7099,316

15 - 25 % L3 2484,927

25 - 40 % L4 1358,369

Lebih dari 40 % L5 1298,666

Berdasarkan pada tabel 3.4. dapat dilihat bahwa kelas kemiringan lereng yang mendominasi daerah penelitian adalah kemiringan lereng kurang dari 8% dengan luas mencapai 14305,388 Ha yang terdapat di bagaian bawah daerah penelitian. Kelas kemiringan lereng selanjutnya adalah 8 – 15% dengan luas 7099,316 Ha, diikuti oleh kelas kemiringan lereng 15 – 25 Ha, kelas kemiringan lereng 25 – 40% dengan luas 1358,369 Ha dan terakhir adalah kelas kemiringan lereng lebih dari 40% dengan luas 1298,666 ha. Kelas kemiringan lereng ini hanya terdapat di lereng atas volkan. Secara spasial distribusi kemiringan lereng ditunjukkan pada peta 3.7.

(41)

34

Gambar 3.7. Peta Kemiringan Lereng Sebagian Kabupaten Temanggung

Bulu Kedu Jumo Kandangan Kledung Ngadirejo Wonoboyo Bansari Tembarak Temanggung Parakan Tlogomulyo Selopampang KABUPATEN TEMANGGUNG KABUPATEN WONOSOBO KABUPATEN MAGELANG 390000 mT 390000 mU 395000 395000 400000 400000 405000 405000 410000 mT 410000 mT 91 85000 mU 9 18 5 00 0 mU 91 90000 91 90000 91 95000 91 95000 92 00000 mU 9 20 0 00 0 mU

PETA KEMIRINGAN LERENG SEBAGIAN KABUPATEN TEMANGGUNG

Kabupaten Batang Kabupaten Banjarnegara n Kabupaten Kendal Kabupaten Magelang Kabupate Semaran Kabupaten Wonosobo Kabupaten Temanggung K 380000 m T 380000 mT 400000 400000 420000 420000 440000 mT 440000 m T 9 1 80000 mU 9180000 m U 9 200000 9 200000 9 2 20000 mU 9220 0 00 m U

PETUNJUK LETAK PETA

FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Dibuat Oleh : Sigit Heru Murti Sumber : 1. Peta Kontur RBI skala 1:25.000 2. Survei lapangan September 2008

U

Sungai Jalan Nasional Jalan Kolektor Jalan Lokal Rel Kereta Api Batas Kabupaten Batas Kecamatan LEGENDA : Kemiringan Lereng 0 - 8 % 8 - 15 % 15 - 25 % 25 - 40 % Lebih dari 40 % 0 2 4 6 8 km

(42)

35

3.2.5. Pemetaan Jenis Tanah

Peta jenis tanah daerah penelitian diperoleh dari peta tanah tinjau skala 1 : 250.000 Provinsi Jawa Tengah yang diterbitkan oleh Puslitanak. Citra Landsat digunakan untuk memperbaiki batas unit tanah yang kurang sesuai dengan kenampakan fisiografi daerah penelitian yang disebabkan oleh perbedaan skala yang cukup besar antara skala yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 1 : 100.000 dengan skala peta tanah tersebut. Untuk isinya mengikuti peta tanah yang ada, yaitu di daerah penelitian terdapat tiga jenis tanah, yaitu kompleks regosol dan litosol, kompleks regosol kelabu dan latosol, serta latosol coklat.

Tabel 3.5. Jenis Tanah Daerah Penelitian Kelas Tanah

Kode

Tanah Luas (Ha) Kompleks regosol dan litosol T1 1716,728 Kompleks regosol kelabu dan latosol T2 7527,518

Latosol Coklat T3 17302,420

Berdasarkan tabel 3.5. dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah penelitian memiliki jenis tanah latosol coklat dengan luas 17302,420 Ha yang tersebar di bagian tengah dan bawah daerah penelitian. Jenis tanah kedua terluas di daerah penelitian adalah kompleks regosol kelabu dan latosol yang terdapat pada lereng atas dan tengah G. Sundoro dan G. Sumbing dengan luas mencapi 7527,518 Ha. Terakhir adalah jenis tanah kompleks regosol dan litosol yang terdapat di lereng atas dan lereng tengah G. Sumbing pada lereng bagian timur dengan luas 1716,728 Ha.

(43)

36

Gambar 3.8. Peta Jenis Tanah Sebagian Kabupaten Temanggung

Bulu Kedu Jumo Kandangan Kledung Ngadirejo Wonoboyo Bansari Tembarak Temanggung Parakan Tlogomulyo Selopampang KABUPATEN TEMANGGUNG KABUPATEN WONOSOBO KABUPATEN MAGELANG 390000 mT 390000 mU 395000 395000 400000 400000 405000 405000 410000 mT 410000 mT 91 85000 mU 9 18 5 00 0 mU 91 90000 91 90000 91 95000 91 95000 92 00000 mU 9 20 0 00 0 mU

PETA JENIS TANAH

SEBAGIAN KABUPATEN TEMANGGUNG

Kabupaten Batang Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kendal Kabupaten Magelang Kabupaten Semarang Kabupaten Wonosobo Kabupaten Temanggung K 380000 m T 380000 mT 400000 400000 420000 420000 440000 mT 440000 m T 9 1 80000 mU 9180000 m U 9 200000 9 200000 9 2 20000 mU 9220 0 00 m U

PETUNJUK LETAK PETA

FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Dibuat Oleh : Sigit Heru Murti

Sumber : 1. Peta Tanah Tinjau Jawa Tengah skala 1:250.000 2. Survei lapangan September 2008

LEGENDA : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Jalan Nasional Jalan Kolektor Jalan Lokal Rel Kereta Api Sungai

Kompleks regosol kelabu dan latosol

Kompleks regosol dan litosol Latosol Coklat

Jenis Tanah

U

(44)

37

3.3. Pemetaan Zone Agroekologi

Berdasarkan hasil tumpangsusun terhadap kelima peta penyusun zonasi agroekologi di daerah penelitian diperoleh 31 unit lahan yang diberi kode gabungan dari variabel penyusunnya. Sebagai contoh adalah : B1-H2-K3-L3-T2 yang berarti unit lahan tersebut tersusun dari lereng atas volkan dengan curah hujan 2500-3500 mdpal, ketinggian lebih dari 1100 mdpal, kemiringan lereng 15-25% dan jenis tanah regosol kelabu dan latosol.

Selanjutnya dilakukan pengelompokan terhadap unit lahan tersebut kedalam kelas-kelas atau zone agroekologi berdasarkan hasil survei dan pengamatan di lapangan. Survei dan pengamatan lapangan dilakukan pada semua unit lahan yang ada untuk mengelompokkan unit-unit lahan tersebut berdasarkan kesamaan variabel penyusun unit lahan tersebut dan kemampuannya dalam memproduksi tanaman tembakau yang dapat diamati di lapangan.

Berdasarkan hasil survei dan pengamatan di lapangan dari ke 31 unit lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 15 kelas atau zone agroekologi berdasarkan produktivitas lahannya dalam memproduksi tanaman tembakau. Kelima belas zone agroekologi tersebut adalah : - Zone 1 : pada zone ini tidak ditemukan tanaman tembakau karena

memang wilayah ini tidak cocok untuk ditanamai tembakau dan secara hukum juga tidak diperbolehkan untuk ditanami karena merupakan kawasan lindung. Unit lahan yang tergabung dalam zone ini adalah B1-H2-K3-L3-T2, B1-H2-K3-L4-T2, B1-H3-K3-L5-T2, H3-K3-L4-T2, B2-H3-K3-L5-T1, dan B2-H3-K3-L5-T2. Dari keenam unit lahan tersebut terdapat beberapa kesamaan karakteristik fisiknya, yaitu berada pada bentuklahan lereng atas atau lereng tengah volkan dengan ketinggian di atas 1100 mdpal dan kemiringan lereng 25-40% atau >40%.

- Zone 2 : pada zone ini produktivitas lahannya untuk tanaman tembakau mencapai 4,48 ton/ha/tahun. Unit lahan yang masuk dalam zone ini adalah H2-K2-L1-T2, H2-K2-L1-T3, H2-K2-L2-T2, dan

(45)

B2-38

H2-K3-L2-T2. Kesamaan karakter fisik pada keempat unit lahan tersebut adalah bentuklahannya berupa lereng tengah volkan dengan curah hujan antara 2500-3500 mm/tahun dan ketinggian di atas 700 mdpal.

- Zone 3 : produktivitas lahan untuk tanaman tembakau pada zone ini mencapai 4,53 ton/ha/tahun dengan satu unit lahan yang menjadi bagiannya, yaitu B2-H2-K3-L3-T2.

- Zone 4 :kemampuan zone ini untuk memproduksi tanaman tembakau tidak terlalu besar, yaitu 3,20 ton/ha/tahun. Zone ini hanya mempunyai satu unit lahan sebagai anggotanya, yaituB2-H3-K3-L3-T1.

- Zone 5 :produktivitas lahan dalam menghasilkan tanaman tembakau pada zone ini tidak begitu besar yaitu hanya 3,10 ton/ha/tahun dan unit lahan yang masuk dalam zone ini adalahB2-H3-K3-L3-T2.

- Zone 6 :pada zone ini produktivitas lahannya untuk tanaman tembakau mencapai 4,20 ton/ha/tahun dengan unit lahan yang tergabung didalamnya adalah B2-H3-K3-L4-T1.

- Zone 7 :produktivitas lahan yang dicapai pada unit ini adalah 4,80 ton/ha/tahun untuk tanaman tembakau. Unit lahan yang tergabung dalam zone ini ada tiga, yaitu : B3-H1-K1-L1-T3, B3-H1-K2-L1-T3, dan B3-H1-K2-L2-T3. Kesamaan karakter fisik diantara ketiganya adalah mempunyai bentuklahan lereng bawah volkan dengan curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun dan kemriringan lereng kurang dari 15%. - Zone 8 :pada zone ini produktivitas lahannya adalah 4,30 ton/ha/tahun

dengan empat unit lahan yang ada di dalamnya, yaitu B3-H2-K2-L1-T3, B3-H2-K2-L2-T2, B3-H2-K2-L2-T3, dan B3-H3-K2-L2-T3. Kesamaan karakter fisik diantara keempat unit lahan tersebut adalah memppunyai bentuklahan sama yaitu lereng bawah volkan dengan curah hujan 2500-3500 mm/tahun dan ketinggian 700-1100 mdpal.

- Zone 9 :produktivitas lahan untuk tanaman tembakau pada zone ini mencapai 4,62 ton/ha/tahun dan satu-satunya unit lahan yang menjadi anggota zone ini adalahB3-H2-K3-L2-T2.

(46)

39

- Zone 10 :produktivitas lahan pada zone ini sangat rendah, yaitu hanya 2,70 ton/ha/tahun dengan unit lahan yang ada didalamnya adalah B3-H3-K3-L3-T1.

- Zone 11 :produktivitas lahan untuk zone ini cukup tinggi mencapai 5,60 ton/ha/tahun. Zone ini hanya mempunyai satu unit lahan sebagai anggota, yaituB4-H1-K1-L1-T3.

- Zone 12 :produktiitas lahan pada zone ini juga cukup tinggi yaitu 4,10 ton/ha/tahun dan unit lahan yang masuk dalam zone ini adalah B4-H1-K2-L1-T3.

- Zone 13 :produktivitas lahan untuk tanaman tembakau di zone ini cukup tinggi hingga mencapai 5,76 ton/ha/tahun. Pada zone ini juga hanya terdapat satu unit lahan yang tergabung di dalamnya, yaituB4-H2-K1-L1-T3.

- Zone 14 :produktivitas lahan yang ada pada zone ini adalah 4,75 ton/ha/tahun dengan satu unit lahan yang termasuk dalam zone ini yaitu B4-H2-K2-L1-T3.

- Zone 15 :pada zone terakhir ini produktivitas lahan yang ada sangat rendah yaitu hanya 2,43 ton/ha/tahun. Unit lahan yang menjadi anggota dari zone ini ada empat, yaitu :H1-K2-L1-T3, H2-K1-L1-T3, B5-H2-K2-L1-T3, dan B6-H2-K1-L1-T3. Kesamaan karakter fisik yang dapat ditemui diantara keempat unit lahan yang menjadi anggota dari zone ini adalah dari bentuklahannya yang berupa boka atau perbukitan terkikis dengan kemiringan lereng datar dan jenis tanah latosol coklat. Dari pengamatan lapangan, pada bentuklahan boka dan perbukitan terkikis tembakau ditanam disela-sela tanaman keras dan mungkin ini yang menyebabkan hasil produksinya tidak dapat maksimal. Selain itu letak daerahnya yang rendah juga membuat daerah ini temperaturnya kurang baik untuk tanaman tembakau. Pada unit lahan ini kemiringan lereng yang ada seharusnya tidak datar, namun karena pada peta kemiringan lereng yang dibuat menggunakan interval kontur 50 meter

(47)

40

maka boka-boka yang ketinggiannya kurang lebih 50 meter menjadi datar kenampakannya dalam peta lereng yang dihasilkan.

Tabel 3.6. Agroekologi Daerah Penelitian

Kelas Agroekologi Kode Agroekologi Kode BL Kode CH Kode KT Kode KL Kode

JT Produktivitas Luas (Ha)

1

B1-H2-K3-L3-T2 B1 H2 K3 L3 T2 Tidak ada produksi 191,190

B1-H2-K3-L4-T2 B1 H2 K3 L4 T2 Tidak ada produksi 393,963

B1-H3-K3-L5-T2 B1 H3 K3 L5 T2 Tidak ada produksi 676,207

B2-H3-K3-L4-T2 B2 H3 K3 L4 T2 Tidak ada produksi 416,044

B2-H3-K3-L5-T1 B2 H3 K3 L5 T1 Tidak ada produksi 211,612

B2-H3-K3-L5-T2 B2 H3 K3 L5 T2 Tidak ada produksi 366,306

2 B2-H2-K2-L1-T2 B2 H2 K2 L1 T2 4,48 ton/ha/tahun 243,965 B2-H2-K2-L1-T3 B2 H2 K2 L1 T3 4,48 ton/ha/tahun 591,211 B2-H2-K2-L2-T2 B2 H2 K2 L2 T2 4,48 ton/ha/tahun 348,480 B2-H2-K3-L2-T2 B2 H2 K3 L2 T2 4,48 ton/ha/tahun 2926,448 3 B2-H2-K3-L3-T2 B2 H2 K3 L3 T2 4,53 ton/ha/tahun 501,341 4 B2-H3-K3-L3-T1 B2 H3 K3 L3 T1 3,20 ton/ha/tahun 310,763 5 B2-H3-K3-L3-T2 B2 H3 K3 L3 T2 3,10 ton/ha/tahun 713,435 6 B2-H3-K3-L4-T1 B2 H3 K3 L4 T1 4,20 ton/ha/tahun 1111,092 7 B3-H1-K1-L1-T3 B3 H1 K1 L1 T3 4,80 ton/ha/tahun 210,874 B3-H1-K2-L1-T3 B3 H1 K2 L1 T3 4,80 ton/ha/tahun 1531,374 B3-H1-K2-L2-T3 B3 H1 K2 L2 T3 4,80 ton/ha/tahun 469,194 8 B3-H2-K2-L1-T3 B3 H2 K2 L1 T3 4,30 ton/ha/tahun 382,990 B3-H2-K2-L2-T2 B3 H2 K2 L2 T2 4,30 ton/ha/tahun 452,986 B3-H2-K2-L2-T3 B3 H2 K2 L2 T3 4,30 ton/ha/tahun 2482,157 B3-H3-K2-L2-T3 B3 H3 K2 L2 T3 4,30 ton/ha/tahun 223,929 9 B3-H2-K3-L2-T2 B3 H2 K3 L2 T2 4,62 ton/ha/tahun 270,186 10 B3-H3-K3-L3-T1 B3 H3 K3 L3 T1 2,70 ton/ha/tahun 159,538 11 B4-H1-K1-L1-T3 B4 H1 K1 L1 T3 5,60 ton/ha/tahun 2261,258 12 B4-H1-K2-L1-T3 B4 H1 K2 L1 T3 4,10 ton/ha/tahun 3674,433 13 B4-H2-K1-L1-T3 B4 H2 K1 L1 T3 5,76 ton/ha/tahun 2444,402 14 B4-H2-K2-L1-T3 B4 H2 K2 L1 T3 4,75 ton/ha/tahun 1516,131 15 B5-H1-K2-L1-T3 B5 H1 K2 L1 T3 2,43 ton/ha/tahun 178,732 B5-H2-K1-L1-T3 B5 H2 K1 L1 T3 2,43 ton/ha/tahun 255,358 B5-H2-K2-L1-T3 B5 H2 K2 L1 T3 2,43 ton/ha/tahun 971,119 B6-H2-K1-L1-T3 B6 H2 K1 L1 T3 2,43 ton/ha/tahun 53,672

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi Bentuklahan
Tabel 2.3. Klasifikasi Ketinggian
Tabel 3.2. Curah Hujan Daerah Penelitian  Kelas Curah Hujan  Kode CH  Luas (Ha)
Tabel 3.3. Ketinggian Tempat Daerah Penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Wantjik Saleh yang menyatakan bahwa sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang

Kombinasi pemberian kompos berbahan MOL rumpun bambu dengan penerapan budidaya jenuh air pada lahan rawa mampu menghasilkan produktivitas kedelai yang tinggi yaitu

Rasul menyelisihi kebiasaan mereka, bahkan dalam salat sekalipun, yaitu dengan menggendong Umamah (cucu Rasulullah saw.) di pundaknya ketika salat. Dengan

Sementara itu berdasarkan hasil survey yang diperoleh peneliti setelah melakukan studi pendahuluan (observasi) di Kabupaten Bone Bolango sendiri khususnya di SMA Negeri

Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu bisa berupa batu kolesterol, batu pigmen yaitu coklat atau pigmen hitam, atau batu campuran.. Lokasi batu empedu bisa bermacam –

Perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi memiliki peran menyalurkan dana yang terhimpun, penyaluraan pembiayaan tersebut dapat ditempatkan pada Pasar Uang

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Maeda (2004), salah satu bakteri agen biokontrol diterapkan pada pemeliharaan larva kepiting (Portunus trituberculatus) dan hasilnya

Perbedaan konteks yang mempengaruhi pembentukan identitas telah menjadi isu utama dalam penelitian identitas pada abad 21 sehingga sudah banyak penelitian yang