PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN PENDEKATAN
KONSTRUKTIVISME MELALUI METODE CHILDREN LEARNING IN SCIENCE (CLIS) DITINJAU DARI HASIL PEMBERIAN TUGAS PADA
SUB POKOK BAHASAN PEMANTULAN CAHAYA DI SMP KELAS VIII TAHUN AJARAN 2008/2009
Skripsi
Oleh : Pujiati K 2305014
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam perkembangan manusia, karena dengan pendidikan dapat menghasilkan manusia yang berkualitas yang berperan dalam pembangunan bangsa dan negara serta mampu mengembangkan dirinya dalam segala aspek kehidupan, baik secara jasmani maupun rohani. Adapun tujuan pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan harus diupayakan untuk memperoleh hasil yang optimal.
Pembangunan di bidang pendidikan harus terus diusahakan, baik melalui jalur pendidikan sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah yaitu jalur pendidikan yang dilaksanakan di sekolah melalui kegiatan belajar dan mengajar secara langsung, berjenjang, dan berkesinambungan. Jalur pendidikan luar sekolah melalui kegiatan yang tidak berjenjang. Sedangkan jalur pendidikan keluarga merupakan jalur pendidikan luar sekolah yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.
Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dipengaruhi oleh dua faktor dari dalam dan luar siswa. Faktor dari dalam misalnya intelegensi, minat, keadaan jasmani dan motivasi. Menurut Ngalim Purwanto (1995: 73) menyatakan bahwa “Bagi seorang guru, tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau memacu para siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan dan ditetapkan di dalam kurikulum sekolah”. Sedangkan faktor dari luar misalnya keadaan keluarga secara keseluruhan, metode, kurikulum, disiplin sekolah serta sarana dan prasarana sekolah.
Salah satu mata pelajaran dalam kurikulum dalam pendidikan yang diberikan kepada siswa SMP adalah mata pelajaran Fisika. Brouckhous menyatakan bahwa, “Fisika adalah pelajaran tentang kejadian dalam alam, yang memungkinkan penelitian dengan percobaan, pengukuran apa yang didapat, penyajian secara sistematis dan berdasarkan peraturan-peraturan umum “ (Herbert Druxes, Gernot Born, & Fritz Siemsen, 1986:3). Pembelajaran Fisika bertujuan agar siswa menguasai konsep-konsep Fisika dan mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapai sehingga sadar akan kebesaran penciptaNya. Pada umumnya para siswa menganggap ilmu eksakta merupakan ilmu yang sulit karena banyak melibatkan perhitungan. Fisika sebagai bagian dari ilmu eksakta yang dirasa sulit, karena selain melibatkan perhitungan juga melibatkan kejadian alam dan berusaha menemukan hubungan antar kenyataan-kenyataan. Untuk itu perlu diusahakan berbagai cara untuk mengatasi kesulitan tersebut antara lain menggunakan metode dan strategi belajar mengajar yang tepat, menggunakan media yang sesuai kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai dan sebagainya. Dengan berbagai usaha perbaikan tersebut diharapkan kesulitan yang dirasakan oleh para siswa dapat teratasi sehingga belajarnya meningkat.
Dari permasalahan tersebut, peneliti menitikberatkan pada pendekatan konstruktivisme, karena pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan yang sesuai dengan karakteristik ilmu Fisika yang meliputi produk, proses, dan sikap ilmiah. Pendekatan konstruktivisme menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar aktif. Sehingga dalam proses pembelajaran terjalin komunikasi banyak arah, yang dapat meningkatkan peluang guru untuk mendapat umpan balik dalam rangka menilai efektivitas pengajarannya. Pendekatan konstruktivisme dapat diterapkan melalui metode Children Learning In Science (CLIS) dan eksperimen.
Metode pembelajaran CLIS merupakan pengembangan dari model pembelajaran generatif, yang lebih menekankan pada kegiatan siswa untuk menyempurnakan ide-ide yang telah ada, cara mencari pemecahan masalah yang muncul dalam diskusi-diskusi, sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya
sendiri. Sebelum guru memberikan penyempurnaan ide-ide ilmiah, siswa dituntun menuju pembangunan ide-ide baru yang hasilnya dibandingkan dengan ide-ide lama siswa. Sedangkan kegiatan guru yaitu berusaha menggali dan merangsang memberikan ide-ide siswa dengan memberikan evaluasi, menginterpretasikan respon-respon, memberikan kesempatan diskusi serta menerima sementara tentang ide-ide siswa dan membantu siswa untuk memecahkan masalah rumit yang muncul, memberikan ide-ide ilmiah, mengarahkan siswa untuk menerima ide baru atau pandangan baru.
Ada juga yang digunakan guru dalam mengajar disamping metode CLIS yaitu metode Eksperimen. Menurut Roestiyah N.K. (2001 : 80) mengemukakan bahwa “Metode eksperimen adalah salah satu cara mengajar, dimana siswa melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru”. Dalam metode eksperimen, siswa juga dituntut aktif dalam proses pembelajaran.
Pelaksanaan pembelajaran Fisika melalui pendekatan konstruktivisme akan dapat mencapai hasil optimal, jika diberikan media penunjang yaitu LKS (Lembar Kerja Siswa), agar siswa memiliki hasil belajar yang lebih termotivasi untuk belajar. Untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik, guru juga perlu memberikan tugas-tugas kepada siswa. Tugas-tugas yang diberikan oleh guru dapat berupa tugas kelompok atau tugas individu. Teknik pemberian tugas bertujuan agar siswa memiliki hasil belajar yang optimal karena siswa melaksanakan latihan-latihan selama melaksanakan tugas, sehingga pengalaman siswa dalam mempelajari suatu pelajaran dapat terarah.
Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang sering dijadikan objek sebagai hasil belajar siswa karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran. Materi pelajaran di sekolah merupakan materi yang tidak terisolasi, biasanya satu bidang studi materi tertentu sebagian berisi materi pelajaran berikutnya, sehingga materi tersebut harus dikuasai atau paling tidak sudah harus ada pada diri siswa.
Penelitian di SMP N 14 Surakarta pada Tahun Ajaran 2007/2008 yang dilakukan oleh May Widayati menunjukkan bahwa” kemampuan kognitif Fisika siswa dipengaruhi oleh pemberian tugas berupa pemberian tugas secara indivdu dan kelompok. Sebagai tindak lanjut penelitian yang sudah dilakukan maka, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pembelajaran Fisika Dengan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode Children Learning In Science (CLIS) Ditinjau Dari Hasil Pemberian Tugas Pada Sub Pokok Bahasan Pemantulan Cahaya Di SMP Kelas VIII Tahun Ajaran 2008/2009 ”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Pendidikan merupakan usaha memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu perlu untuk mengadakan perubahan pada pendekatan dan metode pembelajaran.
2. Para siswa menganggap Fisika merupakan ilmu yang sulit karena banyak melibatkan perhitungan. Sehingga perlu dipilih pendekatan dan metode yang cocok dalam proses pembelajaran.
3. Pendekatan yang digunakan guru dalam merangsang dan menimbulkan minat belajar Fisika bagi siswa, kadang-kadang kurang bervariasi.
4. Peran aktif siswa dalam pembelajaran Fisika masih kurang sehingga perlu adanya suatu pemberian tugas untuk menambah peran aktif siswa.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian lebih terarah, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian dibatasi pada :
1. Pembelajaran Fisika yang digunakan adalah pembelajaran Fisika dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode Children Learning In Science (CLIS) dan metode eksperimen.
2. Yang dimaksud tugas individu adalah tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa untuk dikerjakan secara individual, sedangkan tugas kelompok adalah
tugas yang diberikan kepada siswa untuk dipertanggungjawabkan secara kelompok.
3. Prestasi belajar Fisika siswa yang ditinjau adalah kemampuan kognitif Fisika siswa.
4. Pokok bahasan yang digunakan dalam penelitian adalah Pemantulan Cahaya yang merupakan salah satu sub pokok bahasan di SMP kelas VIII semester II.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Adakah perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode Children Learning In Science (CLIS) dan metode eksperimen terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
2. Adakah perbedaan pengaruh hasil pemberian tugas secara individu dan kelompok terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
3. Adakah interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dengan hasil pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
E. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, peneliti bertujuan:
1. Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode Children Learning In Science (CLIS) dan metode eksperimen terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
2. Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan pengaruh hasil pemberian tugas secara individu dan kelompok terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa. 3. Mengetahui ada atau tidaknya interaksi pengaruh antara penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dengan hasil pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa.
F. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan peneliti adalah :
1. Bagi peneliti agar dapat menambah pengalaman, wawasan ilmu pengetahuan, berfikir kreatif dalam dunia pendidikan pada umumnya dan Pendidikan Fisika pada khususnya.
2. Bagi sekolah dan para pembaca supaya hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penggunaan metode pembelajaran sehingga mutu dan kualitas pendidikan meningkat.
3. Sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang penggunaan metode pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) dalam pembelajaran Fisika.
4. Bagi peneliti lain sebagai perangsang untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang metode pembelajaran Children Learning In Science (CLIS).
BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka Hakikat Belajar Pengertian Belajar
Belajar adalah perubahan individu dalam kebiasaan, sikap, pemikiran, dan banyak hal lainnya. Belajar merupakan kegiatan yang sangat kompleks dan merupakan suatu proses dimana guru terutama melihat apa yang terjadi selama murid mengalami pengalaman edukatif untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah pola perubahan pada pengetahuan selama pengalaman belajar itu berlangsung. Belajar merupakan suatu aktivitas mental dan psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan.
Belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Slameto (1995 : 2) berpendapat bahwa : “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dalam lingkungannya”. Sukirman (1999 : 10) menyatakan bahwa :
“Belajar dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai kegiatan psikofisik menuju perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya.”
Menurut fosnot dalam Paul Suparno (2007 : 13) menyatakan bahwa : “Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi suatu perkembangan berfikir dengan membuat kerangka pengertian baru. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, meramalkan, mengetes hipotesa, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, menjari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan
refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan dll. Untuk membentuk konstruksi pengetahuan yang baru. Belajar yang sungguh-sungguh akan terjadi bila siswa mengadakan refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan selalu memperbaharui tingkat pemikiran yang tidak lengkap.
Menurut Betterncourt, Shymansky, Watt & Pope dalam Paul Suparno (2007: 13), mengemukakan bahwa :
“Bagi konstruktivisme kegiatan belajar adalah proses yang aktif, dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari mereka pelajari. Dalam proses itu siswa menyesuaikan konsep dan ide-ide baru yang mereka pelajari dengan kerangka berfikir yang telah mereka punyai”.
Pengertian belajar menurut kaum konstruktivisme (fosnot, Betterncourt, Shymansky, Watt & Pope) adalah bukan hanya menerima, mengungkapkan kembali, menghafal, tetapi lebih menekankan pada proses perubahan tingkah laku, pengetahuan, pemahaman, daya penerimaannya dan lain-lain. Perubahan ini terjadi melalui transfer informasi, mengasimilisi, dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki siswa sehingga semakin berkembang.
Dari beberapa pendapat tentang definisi belajar maka dapat peneliti simpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha sadar yang dilakukan individu dimana terjadi perubahan tingkah laku yang berbentuk kemampuan-kemampuan baru yang bersifat permanen dan berkesinambungan mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik melalui interaksi dengan lingkungan.
Teori-teori Belajar
Ada beberapa macam teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain :
1) Teori Belajar menurut Piaget
Teori pengetahuan Piaget merupakan teori adaptasi kognitif. Setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup serta struktur pemikiran manusia. Tantangan, pengalaman gejala yang baru dan skema pengetahuan yang telah dimiliki seseorang diharapkan untuk lebih berkembang menjadi pengalaman-pengalaman
baru. Semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan atau tindakan seseorang.
Menurut Piaget dalam Paul Suparno (2001 : 119-121) membedakan adanya tiga macam pengetahuan :
a) Pengetahuan fisis
Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk, besar, kekasaran, berat, serta bagaimana objek-objek itu berinteraksi satu dengan yang lain.
b) Pengetahuan matematis logis
Pengetahuan matematis logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berfikir tentang pengalaman dengan suatu objek atau kejadian tertentu. Pengetahuan ini didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan objek.
c) Pengetahuan sosial
Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang menyetujui sesuatu secara bersama. Pengetahuan sosial tidak dapat dibentuk dari suatu tindakan seseorang terhadap objek, tetapi dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain.
Berdasarkan pendapat Piaget maka dapat peneliti simpulkan bahwa setiap pengetahuan merupakan pengetahuan fisis, matematis-logis, atau sosial. Yang paling penting dari pembentukan pengetahuan itu adalah tindakan atau kegiatan anak terhadap suatu benda dan interaksi dengan orang lain.
2) Teori Belajar menurut Posner
Teori belajar menurut Posner merupakan suatu teori perubahan konsep. Dalam proses belajar ada proses perubahan konsep yang mirip dengan yang ada dalam filsafat sains tersebut. Tahap pertama perubahan konsep disebut asimilasi dan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki. Untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Sedangkan dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang dihadapi.
Berdasarkan pendapat Posner maka dapat peneliti simpulkan bahwa teori perubahan konsep merupakan suatu teori dimana dalam proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan seseorang tidak sekali jadi melainkan merupakan proses perkembangan yang terus menerus.
Menurut Ausubel dalam Ratna Wilis Dahar (1989 : 110-114) ada dua jenis belajar :
a) Belajar bermakna, (meaningful learning) yaitu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.
b) Belajar menghafal (rote learning) yaitu proses belajar dimana siswa hanya mengetahui sesuatu melalui membaca dan menghafal.
Berdasarkan pendapat Ausubel dapat peneliti simpulkan bahwa teori belajar menurut Ausubel sangat dekat dengan inti dari konstruktivisme. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena dan fakta. Fakta baru ke dalam sistem pengertian yang sudah dimiliki. Dan juga menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru dengan konsep yang sudah dimiliki siswa.
4) Teori belajar Jerome Bruner
Bruner mengemukakan empat tema pendidikan yaitu pertama mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan kedua tentang kesiapan untuk belajar, ketiga menekankan pentingnya nilai intuisi dalam proses pendidikan dan keempat tentang motivasi atau keinginan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para guru untung merangsang motivasi itu.
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi yang pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan ialah suatu proses interaktif sedang asumsi yang kedua yaitu bahwa orang yang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya. Pendekatan Bruner terhadap belajar dapat diuraikan sebagai suatu pendekatan kategorisasi. Bruner beranggapan bahwa semua interaksi-interaksi kita dengan melibatkan kategori-kategori yang dibutuhkan bagi pengfusian manusia. Kategorisasi berfungsi menyederhanakan kekomplekan dalam lingkungan kita.
Bruner mengemukakan belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Tiga proses yang berlangsung ialah memperoleh informasi baru, transformasi informasi dan menguji relevansi serta ketepatan pengetahuan.
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengijinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
Berdasarkan pendapat Bruner dapat peneliti simpulkan bahwa tujuan belajar penemuan ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuan-kemampuan intelektual siswa, merangsang keingintahuan serta memotifasi kemampuan siswa.
Tujuan Belajar
Tujuan belajar bermacam-macam dan bervariasi. Tujuan yang ingin dicapai dapat dibedakan menjadi tiga bidang yaitu kognitif (penguasaan intelektual), bidang afektif (nilai dan sikap), serta bidang psikomotorik (ketrampilan bertindak). Untuk mencapai tujuan belajar dibutuhkan lingkungan pembelajaran yang baik. Dalam mencapai tujuan belajar yang meliputi tiga bidang atau tiga aspek tersebut maka guru perlu mengusahakan tercapainya aspek-aspek itu secara menyeluruh.
Menurut Sukirman (1999 : 13-14) bahwa “Tujuan belajar itu dibagi menjadi tiga jenis yaitu untuk mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep dan ketrampilan, serta pembentukan sikap”. Setelah tujuan tercapai maka berarti akan menghasilkan hasil belajar yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga hasil belajar ini merupakan tiga hal yang secara perencanaan terpisah tetapi setelah proses internalisasi, terbentuklah suatu kepribadian utuh dalam diri siswa.
Tujuan belajar akan tercapai secara optimal jika didukung oleh faktor intern dan ekstern siswa. Faktor intern yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yang belajar, misalnya kecerdasan, bakat, pertumbuhan, motivasi, kemampuan matematika. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar individu belajar, misalnya kondisi keluarga, pendekatan dan metode yang digunakan guru dalam pembelajaran, sarana prasarana dan lain sebagainya.
Hakikat Mengajar a. Pengertian Mengajar
Mengajar merupakan suatu usaha untuk menciptakan suatu kondisi yang mendukung agar berlangsung proses belajar mengajar yang bermakna dan optimal. Menurut pendapat Raka Joni dalam Sardiman, A. M. (1990 : 54) “Mengajar adalah menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar anak didik untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan nilai atau sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun pertumbuhan sebagai pribadi”. Muhibbin Syah (2006 : 219) mengungkapkan bahwa “Mengajar adalah kegiatan mengembangkan seluruh potensi ranah psikologis melalui penataan lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya kepada siswa agar terjadi proses belajar.”
Paul Suparno (2007 : 15) menyatakan bahwa :
“Kaum konstruktivisme beranggapan bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari otak guru ke siswa. Mengajar adalah lebih merupakan kegiatan yang membantu siswa sendiri membangun pengetahuannya. Maka peran seorang guru bukanlah untuk mentransfer pengetahuan yang telah ia punyai kepada siswa, tatapi lebih sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa dapat mengkontruksi pengetahuan mereka secara cepat dan efektif.”
Kegiatan mengajar memiliki kecenderungan untuk lebih mengaktifkan siswa dalam proses belajar. Siswa yang aktif akan memperoleh hasil belajar yang baik dengan bimbingan dari guru. Keaktifan guru dan siswa akan menghasilkan kegiatan pembelajaran yang baik dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dari beberapa pendapat tentang definisi mengajar maka dapat peneliti simpulkan bahwa pengertian mengajar adalah suatu upaya yang disengaja untuk menciptakan lingkungan sebaik-baiknya bagi proses belajar sehingga tercapai tujuan belajar yang dirumuskan.
Dalam mengajar guru harus berhadapan dengan sekelompok manusia yang memerlukan bimbingan dan pembinaan untuk menuju kedewasaan, sehingga sadar akan tanggung jawabnya masing-masing. Karena tugas guru yang berat tersebut, maka guru harus mempunyai prinsip-prinsip mengajar seperti yang dikemukakan oleh Slameto (2003:35-39), sebagai berikut:
1) Perhatian
Di dalam mengajar guru harus dapat membangkitkan perhatian anak pada pelajaran yang disampaikan. Perhatian lebih besar bila anak mempunyai minat dan bakat.
2) Aktifitas
Dalam proses belajar mengajar, guru perlu menimbulkan aktifitas anak dalam berfikir maupun berbuat. Bila anak menjadi pertisipan yang aktif, maka akan memiliki ilmu pengetahuan itu dengan baik, dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
3) Apersepsi
Setiap guru dalam mengajar perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki anak, ataupun pengalamannya.
4) Peragaan
Saat mengajar di depan kelas, guru harus dapat berusaha menunjukkan benda-benda yang asli. Bila mengalami kesulitan menunjukkan model, gambar, benda tiruan, atau dengan menggunakan media lain seperti radio, TV dan sebagainya.
5) Repetisi
Penjelasan suatu unit pelajaran perlu diulang-ulang sehingga pengertian itu makin lama semakin lebih jelas dan dapat digunakan untuk memecahkan masalah.
6) Korelasi
Hubungan antara setiap mata pelajaran perlu diperhatikan, agar dapat memperluas dan memperdalam pengetahuan siswa itu sendiri.
7) Konsentrasi
Hubungan antara mata pelajaran dapat diperluas yaitu dapat dipusatkan kepada salah satu pusat minat, sehingga anak memperoleh pengetahuan secara luas dan mendalam.
8) Sosialisasi
Bekerja di dalam kelompok dapat meningkatkan cara berpikir sehingga dapat memecahkan masalah dengan baik dan lancar.
9) Individualisasi
Setiap individu mempunyai perbedaan yang khas sehingga guru diharapkan dapat mendalami perbedaan anak secara individu, agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan perbedaan anak.
10) Evaluasi
Evaluasi dapat menggambarkan kemajuan anak, prestasinya, hasil rata-ratanya, tetapi dapat juga menjadi bahan umpan balik bagi guru. Demikian guru dapat meneliti dirinya dan berusaha memperbaiki dalam perencanaan maupun teknik penyajian.
Selain mempunyai prinsip-prinsip mengajar seperti yang dikemukakan oleh Slameto (2003: 35-39), sebelum mengajar seorang guru juga harus mempunyai daftar tujuan yang akan dicapai sebagai persiapan program dan membuat struktur program dan susunan mata pelajaran untuk pencapaian tujuan program tersebut.
Hakekat Pembelajaran a. Pengertian Pembelajaran
Istilah “pembelajaran” sama dengan instruction atau “pengajaran”. Menurut purwadarminta yang dikutip oleh J. Gino et al (1999: 30) Pengajaran mempunyai arti cara (perbuatan) mengajar atau mengajarkan. Kegiatan belajar dan pembelajaran merupakan satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan kegiatan primer dalam kegiatan belajar
pembelajaran tersebut, sedangkan pembelajaran merupakan kegiatan sekunder yang diupayakan untuk dapat tercapainya kegiatan belajar yang optimal. Sedangkan menurut J. Gino et al (1999: 32) “ Pembelajaran adalah usaha sadar dan disengaja oleh guru untuk membuat siswa belajar dengan jalan mengaktifkan faktor ekstern dan faktor intern dalam kegiatan belajar mengajar”.
Dari beberapa pendapat tentang definisi pembelajaran maka dapat peneliti simpulkan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari pengajar untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan pengetahuan, ketrampilan dan tingkah laku dalam diri pelajar dengan jalan mengaktifkan faktor ekstern dan faktor intern.
b. Ciri-ciri Pembelajaran
Ciri-ciri pembelajaran ditekankan pada unsur-unsur dinamis dalam proses belajar siswa. Unsur-unsur dinamis tersebut seperti yang dikemukakan oleh J. Gino et al (1999: 36-39) adalah sebagai berikut:
1) Motivasi belajar
Motivasi yaitu serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang itu mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk mengelakkan perasaan tidak senang/ suka itu. 2) Bahan belajar
Bahan belajar yaitu segala informasi yang berupa fakta, prinsip dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
3) Alat bantu belajar
Alat bantu belajar adalah semua alat yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (siswa).
4) Suasana belajar
Suasana belajar yang diciptakan harus dapat menimbulkan aktivitas atau kegairahan belajar siswa.
Mengenai kondisi siswa dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) siswa memiliki sifat yang unik, (2) setiap siswa memiliki kesamaan dan ketidaksamaan.
Pembelajaran Fisika di SMP a. Hakekat Fisika
Fisika menjadi bagian dari ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala alam IPA. Sedangkan IPA sendiri adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis tentang gejala alam dan perkembangannya tidak hanya ditunjukkan oleh fakta-fakta tapi juga timbulnya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Maka dapat dikatakan bahwa IPA meliputi 3 hal, yaitu:
1) Produk IPA
Produk IPA adalah semua pengetahuan tentang gejala alam yang telah dikumpulkan melalui pengamatan/observasi. Produk IPA berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori.
2) Proses IPA
Proses IPA sering disebut juga proses ilmiah/metode ilmiah. Yang disebut dengan metode ilmiah adalah gabungan antara penataran dan pengujian secara empiris. Adapun langkah-langkah metode ilmiah adalah identifikasi masalah, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, melakukan eksperimen, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
3) Nilai dan sikap ilmiah
Selama melakukan metode ilmiah melalui proses observasi, eksperimen dan berfikir logis harus digunakan sikap jujur, obyektif dan komunikatif agar dapat mencapai hasil IPA yang benar.
Sampai saat ini definisi fisika yang baku belum diperoleh karena pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dipengaruhi oleh latar belakang dan kemampuan ahli yang bersangkutan, untuk itu perlu diketahui pendapat dari beberapa ahli tentang fisika tersebut. Brouckhous menyatakan bahwa, “Fisika adalah pelajaran tentang kejadian dalam alam, yang memungkinkan penelitian dengan percobaan, pengukuran apa yang didapat, penyajian secara sistematis dan berdasarkan peraturan-peraturan umum “ (Herbert Druxes, Gernot Born, & Fritz
Siemsen, 1986:3). Sedangkan Gertsen berpendapat, “Fisika adalah suatu teori yang menerangkan gejala-gejala alam sederhananya dan berusaha menemukan hubungan antara kenyataan-kenyataannya. Persyaratan-persyaratan dasar untuk pemecahan masalah adalah mengamati gejala-gejala tersebut “ (Herbert Druxes et al, 1986: 3).
Dari beberapa pendapat tentang definisi fisika maka dapat peneliti simpulkan bahwa fisika adalah ilmu yang mempelajari tentang kejadian alam yang berkembang didasarkan atas penelitian, percobaan, pengamatan dan pengukuran serta penyajian konsep, teori secara matematis dengan memperlihatkan konsep-konsep ilmu yang mempengaruhinya.
b. Masalah Pembelajaran Fisika
Secara keseluruhan fisika sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha menguraikan serta menjelaskan hukum-hukum alam dan kejadian-kejadian dalam alam dengan gambaran menurut pemikiran-pemikiran manusia. Gambaran ini berupa teori-teori dan model fisika yang seragam dan tidak dapat disangkal lagi. Kita tidak dapat memberikan begitu saja masalah-masalah yang ditemukan dalam mengajar fisika pada sekolah-sekolah pendidikan umum. Berbagai masalah terjadi dari luar fisika tetapi yang lain benar-benar terjadi dalam jangkauan lingkungan fisika sendiri, diantaranya bahwa siswa menganggap fisika itu sulit dan merupakan mata pelajaran yang berat. Masalah ini harus segera di atasi agar fungsi dan tujuan Pembelajaran Fisika di SMP dapat tercapai.
c. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Fisika di SMP
Mata pelajaran IPA di SMP mencakup kajian tentang biologi dan fisika. Mata pelajaran IPA merupakan perluasan dan pendalaman IPA di SD dan sebagai dasar untuk mempelajari perilaku benda dan energi serta keterkaitan antara konsep dan penerapannya dalam kehidupan nyata.
Fisika merupakan cabang IPA yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan dan mempunyai nilai yang selalu berkembang. Dalam usaha mengembangkan fisika dapat dilakukan melalui jalur pendidikan dan pengajaran.
Fungsi mata pelajaran IPA (sains) di SMP pada dasarnya untuk memberikan pengetahuan tentang lingkungan alam, mengembangkan
keterampilan, wawasan kesadaran, teknologi yang berkaitan dengan pemanfaatan dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai prasyarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Depdiknas (2003:2), yaitu:
1). Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa 2). Mengembangkan keterampilan, sikap dan nilai ilmiah
3). Mempersiapkan siswa menjadi warganegara yang melek sains dan teknologi
4). Menguasai konsep sains untuk bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sedangkan tujuan Pembelajaran IPA (Sains) di SMP pada dasarnya untuk memberikan pengetahuan guna memahami konsep-konsep fisika dan keterkaitannya, serta mampu menerapkanya dengan metode ilmiah yang melibatkan ketrampilan proses untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Depdiknas (2003:2) disebutkan bahwa tujuan pembelajaran sains adalah sebagai berikut:
1). Menanamkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya 2). Memberikan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, prinsip
dan konsep sains serta keterkaitannya dengan lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
3). Memberikan pengalaman kepada siswa dalam merencanakan dan melakukan kerja ilmiah untuk membentuk sikap ilmiah.
4). Meningkatkan kesadaran untuk memelihara dan melestarikan lingkungan serta sumber daya alam.
5). Memberikan bekal pengetahuan dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Hakikat Pendekatan Pembelajaran a. Pengertian Pendekatan Pembelajaran
Membahas masalah pendekatan pengajaran terutama dalam proses belajar mengajar tidak dapat terlepas dari pengertian pengajaran. “Pendekatan adalah jalan atau arah yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pengajaran dilihat dari sudut bagaimana materi itu disusun dan disajikan” ( Margono. Dkk. 1998:39). Menurut Rini Budiharti dikatakan bahwa:
Pendekatan adalah cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian sehingga berdampak ibarat seseorang mengenakan kaca mata dengan warna tertentu didalam memandang alam sekitar. Kaca mata yang berwarna hijau akan menyebabkan dunia kelihatan kehijauan-hijauan, kaca mata berwarna coklat membuat dunia kelihatan kecoklat-coklatan, dan seterusnya. ( Rini Budiharti, 1998 : 2 )
Dari beberapa pendapat tentang definisi pengajaran maka dapat peneliti simpulkan bahwa pendekatan pengajaran adalah suatu cara yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam memandang permasalahan atau objek kajian untuk mencapai tujuan pengajaran.
Adanya pendekatan yang tepat dalam penggunaan proses belajar mengajar akan meningkatkan hasil belajar. Agar siswa menguasai materi, memahami hipotesis konsep, teori, prinsip dan hukum yang berlaku dalam fisika serta dapat mengembangkan pengetahaun, ketrampilan, kemampuan sikap ilmiah, metode ilmiah dan sebagainya dan dikarenakan luasnya tuntutan hasil pengajaran ini sudah barang tentu bervariasi pula cara mengerjakannya sehingga ada dikenal beberapa pendekatan pengajaran yaitu konsep, proses, diskoveri, deduktif dan induktif. Namun ada satu pendekatan pengajaran yang sekarang ini dikembangkan dalam dunia pendidikan yaitu konstruktivisme.
b. Filsafat Konstruktivisme
Filsafat pengetahuan adalah bagian dari filsafat yang mempertanyakan soal pengetahuan dan juga bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu. Salah satu filsafat pengetahuan yang banyak mempengaruhi pengajaran perkembangan pendidikan sains dan matematika akhir-akhir ini yaitu filsafat konstruktivisme.
1) Menurut Von Glasersfeld dan Kitchener yang dikutip Paul Suparno ( 2001 : 21) secara ringkas gagasan tentang filsafat konstruktivisme dapat didefinisikan Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka tetapi selalu merupakan konstruksi kegiatan subyek. 2) Subyek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang
perlu untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dan berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Berdasarkan pendapat Von Glasersfeld dan Kitchener maka dapat peneliti simpulkan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi atau bentukan diri sendiri. Dari sudut pandang konstruktivisme, belajar nampak sebagai modifikasi dari ide-ide siswa yang telah ada atau sebagai pengembangan konsepsi siswa. c. Makna belajar konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan modifikasi dari ide-ide siswa yang telah ada atau sebagai pengembangan konsepsi siswa. Menurut kaum konstruktivis belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan atau bahan yang dipelajari dengan pengertian sudah dipunyai siswa, sehingga pengertian yang dimiliki semakin berkembang. Proses tersebut menurut Paul Suparno (2001 : 6) memiliki ciri-ciri:
1) Belajar berarti membentuk makna-makna ciptaan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami, konstruksi arti ini dipengaruhi oleh pengertian yang ia punyai.
2) Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, kemudian diadakan konstruksi baik secara kuat atau lemah.
3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosrot, 1996).
4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguannya yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan adalah situasi yang baik untuk memacu belajar. 5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan
lingkungannya (Bettencourt, 1989).
6) Hasil belajar seseorang tergantung dari apa yang telah diketahui si pelajar, konsep-konsep, tujuan-tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Berdasarkan pendapat Von Glasersfeld dan Kitchener maka dapat peneliti simpulkan bahwa bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dalam pikiran mereka. d. Makna Mengajar Konstruktivisme
Bagi murid konstruktivis, mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berprestasi dengan pelajar dalam bentuk pengetahuan, membuat makna, mencari penjelasan dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.
Sedangkan menurut von Glasersfeld dalam Paul Suparno (1997:65) menyatakan bahwa: “Mengajar bahwa membantu seseorang berfikir secara benar dengan membiarkan berfikir sendiri”. Dari pengertian tersebut, guru atau pelajar berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Karena guru berperan sebagai fasilitator dan mediator, maka penekanan pada mengajar konstruktivisme adalah para pengajar (siswa). Selain itu perlu beberapa pemikiran yang disadari pengajar, yaitu perlu banyak interaksi dengan siswa untuk mengerti apa yang diketahui atau dipikirkan siswa.
a. Metode Pembelajaran
a. Pengertian Metode Pembelajaran
Metode adalah suatu cara khusus untuk mendapatkan sesuatu. Sedangkan metode mengajar adalah cara yang teratur yang dipergunakan guru dalam hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pelajaran guna pencapaian tujuan pengajaran.
Peranan metode mengajar adalah sebagai alat untuk menciptakan kondisi proses belajar mengajar. Proses interaksi akan berjalan baik kalau siswa banyak aktif dibandingkan dengan guru. Metode mengajar yang baik adalah sesuai dengan tujuan pengajaran dalam situasi pada waktu berlangsungnya pelajaran. Dalam interaksi belajar mengajar terdapat berbagai macam penyajian agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik, efektif dan efisien. Banyak metode yang dikembangkan dalam pengajaran IPA misalnya metode CLIS (Children
Learning In Science) dan metode eksperimen.
Dalam ilmu jiwa perkembangan dikenal beberapa pembagian masa hidup anak, yang disebut sebagai fase atau perkembangan. Pembagian perkembangan anak menurut Charlotte Buhler seperti yang dikemukakan oleh Kartini Kartono (1999: 28-29) adalah sebagai berikut:
a) Fase pertama, 0-1 tahun: masa menghayati obyek-obyek diluar diri sendiri, dan saat melatih fungsi-fungsi. Terutama melatih fungsi motorik: yaitu fungsi yang berkaitan dengan gerakan-gerakan dari badan dan anggota badan.
b) Fase kedua, 2-4 tahun: masa pengenalan dunia obyektif di luar diri sendiri, disertai penghayatan subyektif. Mulai ada pengenalan pada diri sendiri, dengan bantuan bahasa dan kemauan sendiri. Anak tidak mengenal dunia luar berdasarkan pengamatan obyektif, melainkan memindahkan keadaan batinnya pada benda-benda di luar dirinya. Karena itu anak bercakap-cakap dengan bonekanya, bergurau dan berbincang-bincang dengan kelincinya: sepertinya kedua binatang dan benda permainan betul-betul memiliki sifat-sifat yang dimilikinya sendiri. Fase kedua disebut pula sebagai fase bermain, dengan subyektivitas yang sangat menonjol.
c) Fase ketiga, 5-8 tahun: masa sosialisasi anak. Anak mulai memasuki masyarakat luas (misalnya taman kanak-kanak, pergaulan dengan kawan-kawan sepermainan, dan sekolah rendah). Anak mulai belajar mengenal dunia sekitar secara obyektif dan mulai belajar mengenal arti prestasi pekerjaan, serta tugas-tugas kewajiban.
d) Fase keempat, 9-11 tahun: masa sekolah rendah. Anak mencapai obyektivitas tertinggi. Masa penyelidik, kegiatan mencoba dan bereskperimen, yang distimulir oleh dorongan-dorongan meneliti dan rasa ingin tahu yang besar. Merupakan masa pemusatan dan penimbunan tenaga untuk berlatih, menjelajah dan berekplorasi.
Pada akhir fase keempat anak mulai “menemukan sendiri” yaitu secara tidak sadar mulai berfikir tentang diri pribadi. Anak sering kali mengasingkan diri. e) Fase kelima, 14-19 tahun: masa tercapainya sintese antara sikap ke dalam
Untuk kedua kali dalam kehidupannya anak bersikap subyektif (subyektivitas pertama terdapat pada fase kedua, yaitu usia 3 tahun). Akan tetapi subyektivitas kedua dilakukannya dengan sadar.
Setelah berumur 16 tahun, pemuda dan pemudi mulai belajar melepaskan diri dari persoalan tentang diri sendiri. Anak lebih mengarahkan minatnya pada lapangan hidup konkrit, yang dahulu hanya dikenal secara subyektif belaka. Lambat laun akan terbentuk persesuaian antara pengarahan diri ke dalam dan pengarahan diri keluar. Di antara subyek dan obyek (yang dihayatinya) mulai terbentuk satu sintese. Dengan tibanya fase kelima, tamatlah masa perkembangan anak dan perkembangan remaja. Lalu individu yang bersangkutan memasuki batas kedewasaan.
Berdasarkan pendapat Charlotte Buhler maka dapat peneliti simpulkan bahwa setelah individu berumur 16 tahun, berakhirlah masa perkembangan anak dan perkembangan remaja kemudian memasuki batas kedewasaan.
Metode CLIS merupakan salah satu metode pembelajaran yang stateginya berorientasi pada konstruktivisme (cosgrove, M dan Osborne, R.J. 1985 ). Menurut Dahar, R.W ( 1989 : 160 ) “model konstruktivisme dalam pengajaran memiliki prinsip paling mendasar yaitu anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah dan pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu dan menunjang proses secara alamiah”.
Metode CLIS atau Children Learning In Science adalah salah satu metode pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan lima langkah yaitu:
1 Pengenalan, seorang guru memberikan orientasi atau gambaran umum tentang gejala fisika yang sesuai dengan materi.
2 Penyampaian ide-ide atau membangkitkan gagasan, seorang guru berusaha menggali ide-ide siswa dengan memberikan perasaan yang akan memancing siswa untuk menyampaikan ide-idenya.
a) Penjelasan dan pertukaran-pertukaran, merupakan penjelasan dari gagasan yang dimiliki siswa dan seorang guru berusaha tahu perbedaan antara ide-ide siswa dengan konsepsi guru atau konsep ilmiah.
b) Pendahuluan untuk situasi konflik, akan muncul konflik-konflik baru dan gagasan siswa yang salah akan dibetulkan dengan melakukan demonstrasi.
c) Pembangunan ide-ide baru, guru hanya sebagai fasilitator dengan merekonstruksi antara gagasan siswa guru dan gagasan siswa sehingga akan muncul gagasan baru yang sesuai dengan konsep ilmiah.
d) Evaluasi atau penilaian, setelah siswa memiliki gagasan baru, guru akan memberikan evaluasi yang berupa pertanyaan lisan maupun tulisan. 4 Penerapan ide-ide, seorang guru berusaha agar siswa mengaplikasikan atau
menerapkan ide-idenya.
5 Meninjau perubahan ide-ide, dengan membandingkan ide-ide awal dengan ide-ide ilmiah yang ada.
Gambar.2.1 Langkah-langkah Metode Pembelajaran CLIS Pengenalan
Penyampaian ide-ide
Penyusunan kembali ide-ide:
- Penjelasan dan pertukaran-pertukaran - Pendahuluan untuk situasi konflik - Pembangunan ide-ide baru
- Evaluasi atau penilaian Penerapan ide-ide
Meninjau perubahan ide-ide Perbandingan dengan
Seorang guru merangsang siswa untuk merestrukturisasi ide-ide siswa termasuk memastikan lingkungan kelas dengan mendukung siswa agar bisa merasa mampu menyumbangkan ide-idenya, menggunakan kerja sebagai basis organisasi sosial dalam kelas untuk memberi kesempatan siswa untuk berpikir melalui pertukaran ide dengan siswa yang lain.
Pada tahap pengenalan atau penggalian biasanya diterapkan pada sebuah kelompok kecil, setelah diskusi dan review di dalam kelompok, tiap kelompok diminta mempresentasikan ide mereka dan menyampaikan di dalam kelas. Persamaan dan perbedaan dalam hal ide-ide awal antar siswa diidentifikasi dan dikemukakan untuk mendapatkan pertimbangan/pembahasan lebih lanjut. Tidak hanya guru yang perlu waspada mengenai konsep-konsep awal siswa tapi perlu bagi siswa sendiri untuk mampu mengemukakannya secara eksplisit dan memperjelasnya.
Pada tahap penyusunan ide-ide/restrukturisasi, strategi berkembang dalam percobaan-percobaan yang dilakukan untuk perubahan pada konsepsi siswa. Pada akhir pelajaran siswa diberi kesempatan membuat untuk review cakupan dan cara-cara perubahan pikiran mereka dan sebagai hasilnya meliputi tidak hanya garis besar aktifitas yang akan dilakukan tapi juga memberikan peta kecenderungan utama dari jenis ide yang digunakan siswa dalam kelas.
Beberapa kelebihan metode Children learning In Science (CLIS) antara lain:
1. Mendorong siswa untuk mengemukakan pendapat. 2. Membuat siswa aktif dalam belajar.
3. Mendorong siswa untuk berpikir ilmiah, logis dan kritis.
4. Siswa mendapatkan pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya karena ikut menemukan sesuatu dan berpartisipasi dalam memecahkan masalah. 5. Membuat siswa semangat dalam belajar.
Beberapa kelemahan metode Children learning In Science (CLIS) antara lain:
1. Siswa dituntut memiliki kemampuan berpikir ilmiah. 2. Dikuasai oleh siswa yang suka bicara dan kritis.
3. Bagi siswa yang pasif dan tidak memanfaatkan kesempatan belajar akan semakin tidak mengerti.
4. Dibutuhkan sarana dan prasarana yang mendukung serta memadai sehingga kegiatan belajar mengajar berjalan efektif.
5. Memerlukan waktu yang panjang dalam kegiatan belajar mengajar karena bisa terjadi adanya pandangan dari berbagai sudut, sehingga bisa membuat pembicaraan menjadi menyimpang.
c. Metode Eksperimen
Menurut Roestiyah N. K. (2001 : 80) mengemukakan bahwa “Metode eksperimen adalah salah satu cara mengajar, dimana siswa melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru.”
Penerapan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen adalah dengan cara siswa melakukan eksperimennya sendiri dibawah bimbingan guru. Setelah melakukan eksperimen, siswa diharapkan dapat menemukan konsep sendiri. Selain berdasarkan data yang diperoleh dari eksperimen dalam menemukan konsep, siswa juga diharapkan menggali potensi yang ada pada dirinya berdasarkan pengalamannya. Dengan metode eksperimen siswa mengkonstruk pengetahuannya sendiri kemudian mencocokkannya dengan teori yang sudah ada, sehingga konsep baru yang diketahui benar-benar sesuai dengan teori dan tujuan pembelajaran yang sudah ada. Jadi dalam metode eksperimen siswa aktif sedangkan guru berfungsi sebagai mediator dan fasilitator, tetapi keduanya bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran yang direncanakan.
Agar penggunaan metode eksperimen efisien dan efektif, perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1) Jumlah alat dan bahan atau materi percobaan harus cukup bagi tiap siswa. 2) Kondisi alat dan mutu bahan percobaan yang digunakan harus baik dan bersih. 3) Diperlukan waktu yang cukup lama, agar siswa lebih teliti dan konsentrasi
4) Siswa dalam bereksperimen adalah sedang belajar dan berlatih, maka perlu diberi petunjuk yang jelas oleh guru pembimbing.
5) Perlu diketahui bahwa semua masalah bisa dieksperimenkan seperti masalah menjiwai kejiwaan.
Dengan metode eksperimen siswa berlatih menggunakan metode ilmiah sehingga dapat memotivasi belajarnya. Batas-batas kemungkinan menggunakan metode eksperimen yang digunakan adalah:
1) Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap siswa mendapat kesempatan untuk mengadakan eksperimen.
2) Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama siswa harus menanti untuk melanjutkan pelajaran.
3) Kurangnya persiapan dan pengalaman pada diri siswa akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan eksperimen.
Agar pelaksanaan metode eksperimen berhasil dengan baik dalam pembelajaran maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Perencanaan dan persiapan eksperimen.
a) Penentuan tujuan eksperimen yang akan dilakukan. b) Materi yang akan ditonjolkan dalam eksperimen. c) Menyiapkan peralatan yang dibutuhkan.
d) Mempertimbangkan jumlah siswa dalam satu kelompok sehingga setiap siswa dapat mengikuti dengan baik.
e) Membuat garis besar langkah atau pokok-pokok yang harus dilakukan secara berurutan dan secara tertulis pada LKS secara jelas .
2) Pelaksanaan Eksperimen
Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, langkah selanjutnya adalah memulai eksperimen. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: a) Sebelum memulai percobaan diadakan pretes, kemudian memeriksa
sekali lagi peralatan yang akan digunakan serta pengaturan tempat. b) Mempersiapkan siswa, barangkali ada yang ingin ditanyakan. c) Mengkondisikan suasana yang nyaman agar siswa tidak tegang. d) Mempersilahkan siswa melakukan percobaan.
3) Tindak lanjut dan evaluasi eksperimen
Penerapan pendekatan konstruktivisme melalui metode ini akan mencapai hasil yang diharapkan bila dilengkapi dengan LKS, karena dari LKS nantinya siswa dihadapkan pada pertanyaan dan kegiatan yang dapat memotivasi siswa untuk mempelajari hal-hal yang baru. Lembar Kerja Siswa ini berisikan tentang cara-cara percobaan yang akan dilakukan dan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada konsep yang akan ditanamkan yang harus diisi oleh siswa. Selain itu LKS dapat menggali kemampuan siswa yang sudah ada sebelumnya. Jadi dalam hal ini siswa menjadi aktif. Sebagai tindak lanjut setelah melakukan eksperimen maka diadakan posttest untuk mengetahui sejauh mana tujuan dari eksperimen dapat dicapai.
Menurut Rini Budiharti (1998 : 35) dalam bukunya “Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi” metode eksperimen mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan metode eksperimen, yaitu :
1) Siswa terlibat didalamnya sehingga siswa merasa ikut menemukan sesuatu serta mendapatkan pengalaman-pengalaman baru dalam hidupnya.
2) Mendorong siswa untuk menggunakan metode ilmiah dalam melakukan sesuatu.
3) Menambah minat siswa dalam belajar. Kelemahan metode eksperimen, yaitu :
1) Guru dituntut tidak hanya menguasai ilmunya, tetapi juga ketrampilan lain yang menunjang berlangsungnya eksperimen secara lebih baik.
2) Dibutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan metode yang lain.
3) Dibutuhkan alat yang relatif banyak, sehingga setiap siswa mendapatkannya
4) Dibutuhkan sarana yang lebih memenuhi syarat, baik keamanan maupun ketertiban.
Dari beberapa pendapat tentang definisi metode eksperimen maka dapat peneliti simpulkan bahwa metode eksperimen dapat memberikan gambaran yang jelas tentang konsep yang dipelajarinya karena siswa melakukan percobaannya sendiri untuk menemukan konsep yang baru di bawah bimbingan guru.
Lembar Kegiatan Siswa
Lembar Kegiatan Siswa ( LKS ) merupakan salah satu alat bantu sarana pendidikan yang berfungsi untuk memudahkan siswa memahami konsep dan membuat siswa aktif dalam mengikuti proses belajar mengajar. Menggunakan LKS dapat memotifasi siswa untuk giat belajar dan merupakan salah satu variasi metode mengajar sehingga siswa tidak bosan.
Lembar Kegiatan Siswa terbagi atas dua kategori yaitu lembar kerja berstruktur dan lembar kerja tidak berstruktur. LKS berstruktur dirancang untuk membimbing siswa dalam satu program kerja atau pelajaran dengan sedikit atau tanpa bantuan guru untuk mencapai tujuan pengajaran. Sedangkan LKS tidak berstruktur merupakan lembaran yang berisi sarana untuk menunjang materi pelajaran, sebagai alat bantu kegiatan siswa yang dipakai guru untuk menyampaikan pelajaran dan mempercepat waktu penyampaian materi karena dapat disiapkan dari rumah atau sewaktu jam bebas mengajar sebelum memasuki kelas.
Metode Pemberian Tugas
Menurut Nana Sudjana (1989 : 24), bahwa : “ Pemberian tugas bisa berwujud melakukan diskusi, melakukan eksperimen, merangkum materi, mengerjakan soal-soal dan lain-lain”. Dengan bervariasinya tugas maka akan lebih merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individual ataupun kelompok. Sedangkan menurut Roestiyah N.K (2001:133), bahwa: “ Metode pemberian tugas biasanya digunakan dengan tujuan agar siswa memiliki hasil belajar yang lebih mantap, karena siswa melaksanakan latihan-latihan selama melaksanakan tugas, sehingga pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu dapat lebih terintegrasi.
Dari beberapa pendapat tentang definisi metode pemberian tugas maka dapat peneliti simpulkan bahwa metode pemberian tugas atau penugasan diartikan sebagai suatu cara interaksi belajar mengajar yang ditandai dengan adanya tugas dari guru untuk dikerjakan peserta didik di sekolah ataupun di rumah secara perorangan atau berkelompok. Tujuan dari penggunaan metode penugasan adalah
untuk merangsang anak untuk aktif belajar baik secara individu maupun kelompok.
Setelah tanya jawab atau ceramah diketahui bahan-bahan yang perlu mendapatkan penekanan dan harus dikuasai peserta didik, guru memberikan tugas dengan alasan agar peserta didik dapat belajar sendiri atau berkelompok mencari pengayaannya atau sebagai tindak lanjut dari kegiatan sebelumnya.
Kelebihan metode pemberian tugas:
a. Membuat peserta didik aktif belajar.
b. Merangsang peserta didik belajar lebih banyak, baik dekat dengan guru maupun pada saat jauh dari guru di dalam sekolah maupun di luar sekolah. c. Mengembangkan kemandirian peserta didik.
d. Lebih meyakinkan tentang apa yang dipelajari dari guru, lebih memperdalam, memperkaya atau memperluas tentang apa yang dipelajari. e. Membina kebiasaan peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri
informasi dan komunikasi.
f. Membuat peserta didik bergairah belajar karena dapat dilakukan dengan bervariasi.
g. Membina tanggung jawab dan disiplin peserta didik. h. mengembangkan kreativitas peserta didik.
Kelemahan metode pemberian tugas:
a. Sulit mengontrol peserta didik apakah belajar sendiri atau dikenakan orang lain.
b. Sulit memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu peserta didik.
c. Tugas yang monoton dapat membosankan peserta didik.
d. Tugas yang banyak dan sering dapat membuat beban dan keluhan peserta didik.
e. Tugas kelompok dikerjakan oleh orang tertentu atau peserta didik yang rajin dan pintar.
Tugas Individu
Tugas individu adalah tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa untuk dikerjakan secara individual. Tugas mandiri diberikan setelah guru menyampaikan suatu konsep atau materi. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan kajian lanjut atas konsep yang telah diterima siswa.
Beberapa kelebihan tugas individu antara lain: a. Melatih siswa untuk dapat belajar sendiri.
c. Melatih siswa lebih percaya diri.
Beberapa kelemahan tugas individu antara lain:
a. Kadang siswa hanya menyalin pekerjaan temannya.
b. Memberi tugas bagi siswa yang kurang mampu dapat menghambat belajarnya.
c. Bagi siswa yang kurang mampu, bila sering tidak dapat mengerjakan tugas bisa menyebabkan siswa malu dan rendah diri.
Tugas Kelompok
Tugas kelompok adalah tugas yang diberikan pada siswa untuk dipertanggungjawabkan secara kelompok. Tugas kelompok dapat mengatasi perbedaan individual dengan cara eksperimen. Pemberian tugas kelompok lebih komunikatif pada proses belajar.
Sebagian siswa ada yang lebih mudah belajar dengan teman sebayanya dibandingkan dijelaskan guru. Mereka lebih terbuka dan representatif, sehingga diharapkan proses belajar akan lebih baik. Siswa yang kurang tuntas belajarnya dapat belajar dari siswa yang sudah tuntas belajarnya. Siswa yang sudah tuntas belajarnya akan semakin luas pemahaman materinya. Dengan demikian prestasi belajar dapat ditingkatkan.
Beberapa kelebihan pemberian tugas kelompok antara lain: a. Melatih siswa untuk bereksperimen.
b. Melatih siswa bekerja sama.
c. Memberi kesempatan pada siswa yang kurang paham untuk belajar kepada siswa yang lebih paham.
Beberapa kekurangan pemberian tugas kelompok antara lain: a. Kadang tugas hanya dikerjakan oleh seorang siswa.
b. Bagi siswa yang kurang mampu dan tidak memanfaatkan kesempatan belajar kepada temannya semakin tidak mengerti.
(Mulyani dan Johar, 2001: 128-132)
Kemampuan Kognitif Siswa
Adanya suatu penilaian merupakan salah satu bagian dari kegiatan atau usaha. Melalui kegiatan ini, kita dapat mengetahui sejauh mana hasil dari suatu
kegiatan. Dalam proses pembelajaran di sekolah, hasil yang didapat biasanya disebut dengan kemampuan kognitif yaitu hasil yang dicapai oleh siswa selama mengikuti proses pembelajaran. Hal ini akan memberikan masukan bagi guru untuk mengetahui seberapa banyak siswa mampu menguasai materi yang diterima selama proses pembelajaran tersebut berlangsung.
Berhasil atau tidaknya proses belajar mengajar dapat dilihat dari kemampuan kognitifnya. Menurut Bloom dalam Nana Sudjana (1995:22), hasil belajar dibagi menjadi tiga ranah, yaitu “...ranah kognitif, afektif, dan ranah psikomotorik”.
“Kemampuan kognitif adalah kemampuan yang mengatur cara belajar dan berpikir seeorang di dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk kemampuan memecahkan masalah”. (Rini Budiharti, 1998:18). Kemampuan kognitif Fisika merupakan hasil yang telah dicapai seorang siswa setelah mengikuti proses belajar Fisika. Belajar yang diperoleh siswa biasanya berupa nilai mata pelajaran Fisika.
Kemampuan kognitif mencakup tiga aspek penilaian yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Berikut akan dijelaskan aspek kognitif sebagai kemampuan kognitif siswa.
Kognitif adalah sesuatu yang berhubungan dengan atau melibatkan suatu kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dan sebagainya) atau usaha mengenai sesuatu melalui pengalaman sendiri, juga suatu proses pengenalan dan penafsiran lingkungan oleh seseorang serta hasil perolehan pengetahuan.
Cara penalaran atau kognitif seseorang terhadap suatu objek selalu berbeda-beda dengan orang lain. Artinya objek penalaran yang sama mungkin akan mendapat penalaran yang berbeda dari dua orang atau lebih. Jadi, karena berbeda dalam penalaran, berbeda pula dalam kepribadian, maka terjadilah perbedaan individu.
Menurut Benjamin Bloom dalam Dimyati dan Mudjiono (1999:26-27), komponen kognitif meliputi:
1) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan
dengan fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip, atau metode.
2) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari.
3) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru.
4) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
5) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru.
6) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal beradasarkan kriteria tertentu.
Kategori-kategori ini disusun secara hirarkis, sehingga menjadi taraf-taraf yang semakin menjadi bersifat kompleks, mulai dari yang pertama sampai dengan yang terakhir.
Pemantulan Cahaya Cahaya merambat lurus ke segala arah
Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang dapat merambat dalam ruang hampa udara dengan kecepatan rambat cahaya 3 x 108 m/s. Beberapa contoh peristiwa sehari-hari yang menunjukkan adanya cahaya merambat antara lain sebagai berikut :
1) Pada malam hari yang gelap, cahaya dari lampu senter merambat lurus. 2) Sinar matahari merambat lurus ke dalam rumah melalui genting kaca
atau celah sempit.
3) Berkas sinar pada proyektor film merambat lurus. Benda gelap terdiri atas beberapa jenis sebagai berikut : 1) Benda gelap yang dapat meneruskan seluruh cahaya. 2) Benda gelap yang dapat meneruskan sebagian cahaya. 3) Benda gelap yang sama sekali tidak meneruskan cahaya
Cahaya mempunyai beberapa sifat antara lain yaitu : merambat lurus, memiliki energi, dapat dibiaskan, dapat melentur, serta dapat berinterferensi.
Jika cahaya yang sedang merambat terhalang oleh suatu benda, maka ruangan di belakang benda tersebut gelap sehingga terjadi bayang – bayang benda. Terbentuknya bayang – bayang tersebut merupakan bukti bahwa cahaya merambat lurus. Bayangan yang terbentuk ada dua macam, yaitu bayang – bayang gelap (umbra) dan bayang – bayang kabur (penumbra). Jadi, bayang – bayang benda terjadi karena cahaya merambat lurus dan cahaya tidak dapat menembus benda itu. Sebagai contoh adalah proses terjadinya gerhana bulan atau matahari.
(b)
Gambar 2.2 Proses Terbentuknya Bayang - bayang Umbra dan Penumbra Pemantulan cahaya
Perambatan cahaya apabila mengenai permukaan benda, sebagian cahaya akan dipantulkan. Sisanya diserap oleh benda atau jika benda tersebut transparan seperti kaca atau air, sebagian diteruskan. Pemantulan cahaya terjadi menurut hukum pemantulan cahaya.
Hukum pemantulan cahaya
1) Sinar datang, garis normal, dan sinar pantul terletak dalam satu bidang. 2) Besarnya sudut datang sama dengan sudut pantul.
Gambar 2.3 Pemantulan Cahaya Keterangan : A : sinar datang B : sinar pantul N : garis normal i : sudut datang r : sudut pantul
Jenis-jenis pemantulan cahaya
1) Pemantulan teratur atau reguler, yaitu pemantulan yang terjadi jika cahaya mengenai permukaan yang halus dan rata. Pemantulan teratur diperlihatkan pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Pemantulan Teratur
2) Pemantulan baur atau difus, yaitu pemantulan yang terjadi jika cahaya mengenai permukaan yang kasar dan tidak rata. Pemantulan baur atau difus diperlihatkan pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Pemantulan Baur
Pemantulan Cermin Datar
Cermin datar adalah sebuah cermin yang memiliki permukaan berbentuk datar. Sinar cahaya adalah sinar yang datang dari benda. Perpanjangan sinar-sinar pantul adalah perpanjangan sinar-sinar pantul ke arah belakang cermin. Setiap benda yang ada di depan cermin, selalu terbentuk bayangan oleh cermin tersebut. Pembentukan bayangan itu dapat dilukiskan sebagai berikut:
Gambar 2.6 Pembentukan Bayangan oleh Cermin Datar Keterangan :
AR, BP, BQ dan AS adalah sinar-sinar datang. PB, QT, RA dan SU adalah sinar-sinar pantul.
PB’, QB’, RA’ dan SA’ adalah perpanjangan sinar pantul ke belakang.
Benda AB berada di depan cermin datar. Berkas cahaya yang sejajar datang pada benda. Cahaya AS sejajar BQ dan cahaya AR dan BP tegak lurus bidang cermin. Menurut hukum pemantulan cahaya, cahaya dari A yang datang ke
N
cermin datar (di R) dipantulkan kembali ke A, sedangkan cahaya dari titik A yang menuju ke cermin datar (di S) dipantulkan ke U. Sinar-sinar pantul (RA dan SU) tidak berpotongan sehingga untuk mendapatkan bayangan benda, kedua sinar pantul itu diperpanjang ke belakang hingga bertemu di titik A’. Dengan cara yang sama, cahaya dari B yang datang menuju cermin datar di P dipantulkan kembali ke B, sedangkan cahaya dari titik B yang menuju ke cermin datar (di Q) dipantulkan ke T. Perpanjangan sinar pantul PB dan QT berpotongan di B’. Apabila titik A’ dan B’ dihubungkan, maka terbentuklah bayangan. Bayangan yang terjadi bersifat maya karena terbentuk dari titik potong perpanjangan sinar-sinar pantul divergen (menyebar). Dari gambar tersebut diketahui bahwa jarak AR = RA’ dan BP = PB’.
Dari gambar 2.6 dapat diambil kesimpulan bahwa sifat-sifat bayangan pada cermin datar :
1) maya, yaitu bayangan terbentuk dari perpotongan perpanjangan sinar-sinar pantul divergen.
2) tegak
3) simetris (bentuk dan tinggi bayangan sama dengan benda) 4) berkebalikan sisi (sisi kanan benda menjadi sisi kiri bayangan) 5) jarak bayangan ke cermin sama dengan jarak benda ke cermin
Gambar 2.7 Panjang Minimum Cermin Datar yang Dibutuhkan Keterangan :
½ h : tinggi cermin datar
Dari gambar 2.7 dapat diketahui bahwa panjang minimum cermin datar yang diperlukan untuk melihat seluruh bayangan adalah setengah dari tinggi objek aslinya. Dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan : hc : tinggi cermin
ho : tinggi benda
Gambar 2.8 Dua Buah Cermin Datar yang Saling Membentuk Sudut Keterangan :
A dan B : cermin datar C : jarum pentul
C’ : bayangan jarum pentul
Jika dua buah cermin datar membentuk sudut 60º, kemudian sebuah jarum pentul diletakkan di depannya maka berapakah jumlah bayangan yang terjadi? Dengan memperhatikan gambar 2.8 dapat disimpulkan bahwa jumlah bayangan sebuah benda oleh cermin datar yang membentuk sudut α dirumuskan dengan :
Keterangan :
n : jumlah bayangan
α : sudut antara dua buah cermin datar Pemantulan Cermin Cekung
hc = 2 1 ho n = 1 α 360 -° a
Cermin cekung adalah cermin yang bidang pantulnya ada di sebelah dalam.
q
Jika cermin lebih kecil dari pada radius kelengkungannya, sehingga sinar yang terpantul hanya membentuk sudut kecil pada saat terpantul, maka sinar-sinar tersebut akan saling menyilang pada titik yang hampir sama, atau fokus seperti yang terlihat pada gambar 2.9. Pada kasus yang diperlihatkan, sinar-sinar itu sejajar dengan sumbu utama, yang didefinisikan sebagai garis lurus yang tegak lurus terhadap permukaan lengkung pada pusatnya (garis CA pada gambar). Titik F, dimana sinar-sinar yang sejajar dengan sumbu utama mencapai fokus, disebut titik fokus cermin. Jarak dari F ke pusat cermin, panjang FA disebut panjang fokus, f dari cermin tersebut.
Untuk menghitung panjang fokus f, perhatikan sebuah sinar yang menimpa cermin B pada gambar 2.9. titik C adalah pusat kelengkungan cermin (pusat bola yang merupakan bagian dari cermin). Jadi garis terputus CB sama dengan R, radius kelengkungan, dan CB merupakan garis normal terhadap permukaan cermin pada B. Sinar cahaya yang datang menimpa cermin B membuat sudut
q
terhadap normal. Perhatikan juga dari geometri bahwa sudut BCF juga sebesarq
seperti yang terlihat pada gambar. Segitiga CBF adalah segitiga sama kaki karena dua sudutnya sama. Dengan demikian, panjang CF = BF. Kita anggap cermin tersebut memiliki lebar atau diameter yang kecil jika dibandingkan dengan radius kelengkungannya, sehingga sudut-sudut tersebut kecil, dan panjang FB hampir sama dengan panjang FA.C F f A B
q
RPada pendekatan ini, FA = FC. Tetapi FA = f, panjang fokus, dan CA = 2 FA = R. Jadi panjang fokus adalah setengah dari radius kelengkungan:
Jalannya sinar istimewa pada cermin cekung :
(a). Sinar datang sejajar dengan sumbu utama dipantulkan melalui titik fokus (F).
(b). Sinar datang menuju titik fokus (F) dipantulkan sejajar sumbu utama. (c). Sinar datang melalui pusat kelengkungan cermin (P) dipantulkan
kembali ke P (pada garis yang sama).
(a) (b) 2 R f = C F A C F A