JURNALISTIK SOLUTIF Oleh:
Dadang Rahmat Hidayat, SH.,S.Sos.,M.Si
Dalam konteks kekuatan politik, sudah sejak lama pers ditempatkan (terkadang menempatkan diri) sebagai kekuatan politik ke-empat (fourth estate) yang mempunyai fungsi kontrol terhadap kekuatan politik lainnya dalam kaitannya dengan trias politika yang digagas oleh Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu yaitu kekuatan politik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dinamika sebagai kekuatan ke-empat terhadapa kekuatan liannya sangat tergantung juga kepada sistem politik yang dianut di tempat dimana pers tersebut berada.
Dalam pandangan saya, penyebutan sebagai kekuatan ke-empat harus dikritisi dan dipertimbangkan relevansinya pada saat ini. Apalagi, hubungan antara pers dengan sistem ekonomi bisa jadi lebih erat ketimbang dengan dengan sistem politik. Kritik terhadap kekuatan pers ini juga disampaikan oleh Herbert Strenz (1989) yang menyatakan bahwa
ungkapan “kekuatan pers” agak ketinggalan zaman karena secara harfiah ungkapan tersebut
lebih merujuk pada media cetak, dan mungkin agak menyesatkan, karena kekuatan seringkali berkonotasi derajat kontrol yang formal dan terorganisir untuk menghasilkan perubahan. Kekuatan sering diterjemahkan sebagai kekuasaan untuk membentuk opini dan menghasilkan tindakan ke arah yang dikehendaki, sementara itu masih diragukan apakah semua pers mempunyai “hasrat” seperti itu.
Dikehendaki atau tidak arah dari berita fakta peristiwa atau opini yang disampaikan pers, tampaknya pers tetap berperan dalam memberikan pengaruh, sekecil apa pun pengaruh tersebut terhadap sistem sosial lainnya, termasuk kepada suprastruktur maupun infrastruktur politik tertentu. Dapat dipahami jika Strenz kemudian lebih memilih ungkapan “pengaruh” dibandingkan dengan ungkapan “kekuatan” karena pengaruh bisa bersifat halus, tidak langsung atau tidak dikehendaki serta menempatkan publik dalam posisi yang berdaulat, serta mengandung tanggungjawab terhadap segala informasi yang disampaikan melalui media.