• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA: Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA: Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut."

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN UNTUK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

(Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pengembangan Kurikulum

Promovendus:

AHSAN HASBULLAH

NIM : 0800830

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM S3

SEKOLAH PASCA SARJANA

(2)
(3)

Ahsan Hasbullah (2013). Model Pembelajaran Kemandirian untuk Meningkatkan Hasil

Belajar Siswa (Studi pada Mata Pelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut).

Disertasi pada Program Studi Pengembangan Kurikulum SPs Universitas Pendidikan Indonesia.

Penelitian ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa kemandirian belajar siswa pada mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah masih rendah. Hal ini disebabkan pembelajaran yang dilakukan selama ini lebih berorientasi pada hafalan dan nilai akhir bukan pada proses, padahal paradigma pembelajaran telah berubah dari pembelajaran yang menuntut hasil kepada pembelajaran yang menuntut proses dan hasil. Kemandirian belajar adalah aspek kepribadian yang secara teoretik seharusnya telah dimiliki siswa Madrasah Aliyah. Penelitian ini mencoba mencarikan solusi bagi pembelajaran fiqh melalui pengembangan model pembelajaran yang menitikberatkan pada peningkatan kemandirian belajar. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan dan mengembangkan model pembelajaran untuk meningkatkan kemandirian belajar. Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut; (1) Menemukan proses pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan guru mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut, (2) Menghasilkan model pembelajaran kemandirian yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut, (3) Memperoleh data empiris tentang efektivitas model pembelajaran kemandirian yang dikembangkan dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut.

Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan

research and development (R &D). Secara garis besar tahapan penelitian ini meliputi; (1)

Studi pendahuluan, (2) Pengembangan Model, dan (3) Uji validasi. Pengujian model dilakukan dengan cara eksperimen dalam bentuk desain kuasi eksperimen dengan rancangan

pretest-posttest control group design. Pengujian statistik menggunakan uji t diterapkan untuk

membandingkan hasil belajar antara pretest dan posttest dalam kelompok eksperimen (KE), serta membandingkan hasil belajar antara kelompok eksperimen (KE) dengan kelompok kontrol (KK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan ini ternyata lebih efektif dari model pembelajaran yang selama ini digunakan.

(4)

Ahsan Hasbullah (2013). The Instructional Model to Enhance Students’ Self Learning (A Study on the Subject of Fiqh at Islamic Senior High Schools in Garut). Doctoral Dissertation at the Departement of Curriculum Development, the Postgraduate School of the Indonesian University of Education.

The research is motivated by the reality of that self learning in Fiqh instruction among the students of Islamic Senior High Schools is still far from the expectation. This is because of the instruction carried out so far is more oriented to instruction of fiqh products that; are not rote-oriented instruction process which emphasizes learning about why and how the products of fiqh there be.

Self learning is an aspect of personality that is theoretically supposed to have by students at the age when they are in Madrasah Aliyah. This study attempted to find solutions for learning fiqh through the development of a model of learning that focuses on improving learning independence. This study aims to produce and develop a learning model for improving learning independence. The purposes of this study was follows: (1) To find the process for learning fiqh which has been done by fiqh teacher at Madrasah Aliyah in Garut regency; (2) To generate models of learning that can improve students learning independence in fiqh subjects at Madrasah Aliyah in Garut regency; (3) To obtain empirical data on the effectiveness of the developed learning model in improving student learning independence on the subjects of fiqh at Madrasah Aliyah in Garut regency. To achieve these goals, the study was conducted by using an approach of research and development (R & D). For the most part, the research stages included: (1) Preliminary study, (2) Development Model, and (3) Test validation. Testing was done by experimental models in the form of quasi-experimental design with pretest-pretest control group design. Statistical testing using a test were applied to compare learning outcomes between pretest and posttest in the experimental group (EG), and to compare learning outcomes between the experimental group (EG) and the control group (CG). The results showed that the learning model was more effective than learning model that had been used.

(5)

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ……….……….………. i

LEMBAR PERNYATAAN ………….……….………. iii

KATA PENGANTAR ……… iv

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. iv

ABSTRAK ………...……….. x

DAFTAR ISI ………. xii

DAFTAR BAGAN ……… xvi

DAFTAR TABEL ………. xvii

DAFTAR GAMBAR ………. xix

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….………. 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 8

1. Identifikasi Masalah ... 8

2. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ……….……... 12

D. Manfaat Penelitian ………. 13

E. Paradigma Penelitian ……….. 14

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Hakekat Pembelajaran ………….……….. 20

1. Pengertian Pembelajaran ….……… 20

2. Teori Pembelajaran ………. 27

3. Ciri-ciri kemandirian belajar ……….. 69

4. Hasil Pembelajaran ... 40

5. Model Pembelajaran ... 45

B. Kemandirian Belajar ………. 54

1. Pengertian ………... 54

2. Landasan filosfis ………. 58

3. Ciri-ciri Kemandirian belajar ………. 69

(6)

Belajar Mandiri Sebagai Strategi Belajar ………

7. Pengembangan belajar mandiri ………... 75

C. Pengembangan Kurikulum Fiqh ………..……… 80

1. Kurikulum ……….……….. 80

a. Konsep Kurikulum ……… 80

b. Pengembangan Kurikulum ……… 82

c. Komponen Kurikulum ………..……… 86

d. Implementasi kurikulum …………..……… 89

2. Mata Pelajaran Fiqh ………... 92

a. Pengertian ……… 92

b. Tujuan ……….………. 97

c. Materi Fiqh bagi Siswa Madrasah Aliyah ……….. 98

d. Prinsip Dasar Pengembangan Materi Fiqh di Madrasah Aliyah ……….……… 100

e. Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Fiqh Madrasah Aliyah ………. 102

D. Pendidikan Madrasah Aliyah ……… 105

1. Hakekat Madrasah Aliyah ………..………… 105

2. Tujuan Pendidikan Madrasah Aliyah ……….. 109

3. Kurikulum Madrasah Aliyah ………..…… 110

4. Kompetensi Siswa Madrasah Aliyah ………. 117

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ………..……… 119

BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian ……… 122

B. Lokasi dan Subyek Penelitian ……….……… 126

C. Definisi Operasional ……… 128

D. Teknik Pengumpulan Data ……….…..……… 132

E. Analisa Data ……… 134

F. Prosedur Penelitian ……… 135

(7)

………..…….……

a. Tujuan dan Fungsi Pembelajaran Fiqh ………. 141

b. Rencana Pembelajaran ……… 141

c. Kinerja Guru ... 144

d. Aktivitas Belajar Siswa ... 147

e. Kondisi Lingkungan, Sarana, dan Fasilitas ….……. 149

2. Hasil Pengembangan Model Pembelajaran …………... 151

a. Model Pembelajaran yang dikembangkan …..……. 151

b. Langkah-langkah pengembangan model ………….. 162

c. Uji Coba Model Pembelajaran ……….……… 170

1) Uji coba terbatas ………..…… 170

2) Uji coba luas ………. 192

3. Hasil Uji Validasi Model Pembelajaran ….……… 199

4. Bentuk Akhir Model Pembelajaran ……… 220

B. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 221

1. Hasil Studi Pendahuluan ……… 221

2. Pengembangan Model Pembelajaran ………. 225

3. Dampak Penerapan Model terhadap Kinerja Guru ….… 241 4. Interaksi Model ………..……… 242

5. Faktor Pendukung dan Penghambat ……… 243

C. Temuan Hasil Penelitian ……….……… 248

1. Prinsip-prinsip pembelajaran mandiri fiqh …..……….. 248

2. Kelebihan dan kelemahan model pembelajaran mandiri fiqh ……….. 256

3. Syarat-syarat Implementasi model pembelajaran mandiri fiqh ……… 257

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan ……….. 268

B. Implikasi ………... 270

C. Rekomendasi ………..……….. 274

DAFTAR PUSTAKA ………... 276

(8)

DAFTAR BAGAN

(9)

Halaman Tabel 2.1 Revisi Taksonomi Bloom ... 41 Tabel 2.2 Perbandingan Taksonomi Bloom dan Gagne ……… 44 Tabel 2.3. Model-Model Pembelajaran Rumpun Pemrosesan Informasi 51 Tabel 2.4. Model-Model Pembelajaran Personal (Pribadi) ……… 52 Tabel 2.5. Model-model Pembelajaran Interaksi Sosial ……… 53 Tabel 2.6. Model-model Pembelajaran Rumpun Perilaku ……… 54 Tabel 2.7 : Understanding the common essential learning ……… 65 Tabel 2.8 : The table below summarises ……… 66 Tabel 2.9 Standar Kompetensi pada Mata Pelajaran Fiqh MA 102 Tabel 3.1 Lokasi dan Subyek Penelitian ... 127 Tabel 3.2 Materi Fiqh MA Semester 1 ……… 137 Tabel 4.01 Topik Mata pelajaran Fiqh Kelas X Semester 1 ……… . 164 Tabel 4.02 Topik Fiqh dan Alokasi Waktu Uji Coba Model ……… 166 Tabel 4.03Analisis Topik Fiqh dan Prosedur Pembelajarannya … 167 Tabel 4.04 Hasil Belajar Siswa pada Uji Coba Terbatas ……… 174 Tabel 4.05 Hasil Pretest Siswa Sebelum Uji Coba ……… 177 Tabel 4.06 Hasil Test Evaluasi Belajar (Posttest) Siswa ……… 178 Tabel 4.07 Hasil Output SPSS Nilai Posttest 1 dan Posttest 2 180 Tabel 4.08 Hasil Output SPSS Nilai Posttest 2 dan Posttest 3 181 Tabel 4.09 Hasil Output SPSS Nilai Posttest 3 dan Posttest 4 183 Tabel 4.10 Hasil Output SPSS Nilai Posttest 4 dan Posttest 5 185 Tabel 4.11 Rata-rata Hasil Belajar Siswa Madrasah Kategori A, B dan C 194 Tabel 4.12 Skor Rata-Rata Kemandirian belajar dan Tes Hasil … 197 Tabel 4.13 Hasil Test Evaluasi Belajar Uji Validasi ……… …… 201 Tabel 4.14 Hasil Test Evaluasi Belajar Uji Validasi Kelompok Kontrol 203

(10)
(11)
(12)

Halaman

Lampiran 1 Pedoman Wawancara ………. 288

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Aliyah bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia; mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan demokratis, menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos budaya kerja, dapat memasuki dunia kerja dan dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut (Sisdiknas, 2003:60). Di sisi lain tujuan pendidikan agama Islam adalah terkait dengan pengembangan cipta, untuk memenuhi kebutuhan hidup material dan kecerdasan sehingga mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam rangka menghasilkan suatu kebenaran.

Implementasi tujuan tersebut, di Madrasah Aliyah dijabarkan dalam bentuk mata pelajaran keagamaan yang terdiri dari mata pelajaran fiqh, mata pelajaran

Qur’an-Hadits, mata pelajaran Aqidah Akhlak dan mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Salah satu mata pelajaran yang berkenaan dengan ibadah dan muamalah yaitu mata pelajaran fiqh.

Mata pelajaran Fiqh di MA berusaha mempelajari, memperdalam serta memperkaya kajian fiqh baik yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah ushul fiqh serta menggali tujuan dan hikmahnya, sebagai persiapan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan untuk hidup bermasyarakat (Depag, 2006: 13). Secara substansial mata pelajaran Fiqh memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada siswa untuk mempraktekkan dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya ataupun lingkungannya.

(14)

maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial; (2) melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan dengan lingkungannya; (3) mengenal, memahami, dan menghayati terhadap sumber hukum Islam dengan memanfaatkan ushul fiqh sebagai metode penetapan dan pengembangan hukum Islam dari sumbernya; (4) menerapkan kaidah-kaidah dan dalil-dalil syara’ dalam rangka melahirkan hukum Islam yang diambil dari dalil-dalilnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (Depag, 2006:14).

Fiqh adalah salah satu aspek dari Pendidikan Agama Islam yang memiliki makna strategis dan fungsional bagi kehidupan sehari-hari manusia muslim dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu fiqh perlu dibelajarkan kepada siswa dengan pendekatan yang efektif. Sebagai bagian dari Pendidikan Agama Islam (PAI), pendekatan pembelajaran fiqh yang digunakan sama dengan pendekatan pembelajaran PAI pada umumnya, yakni pendekatan keimanan, pengamalan, pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, dan keteladanan (Puskur, 2003: 13).

(15)

pembelajaran fiqh digunakan untuk menggugah siswa pada pemahaman bahwa berfiqh tidak hanya berarti pelaksanaan formalitas produk-produk hukum Islam tetapi harus pula menginsafi bahwa pelaksanaan formalitas produk hukum Islam akan lebih bermakna bila dibarengi dengan etika, estetika dan kemurnian hati. Pendekatan fungsional dalam pembelajaran fiqh digunakan didasarkankan pada pemikiran bahwa fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum perbuatan muslim. Pembelajaran fiqh diberikan dengan pertimbangan kepraktisan, kemanfaatan, dan kebutuhan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan keteladanan digunakan dalam pembelajaran fiqh karena fiqh pada dasarnya adalah ilmu tentang perbuatan formal mukallaf yang menghendaki untuk dilaksanakan oleh setiap mukallaf. Pelaksanaan fiqh dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan contoh, pemodelan atau keteladanan dari orang-orang yang dianggap lebih dewasa, yakni guru fiqh di madrasah. Guru fiqh harus mampu menunjukkan dirinya sebagai contoh, model atau suri tauladan bagi siswa. Apa yang diperbuat oleh guru adalah implementasi fiqh dalam kehidupan sehari-harinya sehingga siswa mau mengambil teladan darinya.

(16)

Atas dasar itu semua, maka pembelajaran fiqh membutuhkan sebuah proses pembelajaran yang komprehensif, aktif, kreatif, konstruktif dan inovatif yang dikembangkan dengan landasan filosofis, psikologis, sosio-kultural dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk mencapai keberhasilan yang maksimal. Pembelajaran diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan kemampuan siswa memecahkan masalah-masalah fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang humanistis dan konstruktifistik sangat diharapkan bisa diimplementasikan di dalam proses belajar mengajar di kelas. Guru sebagai fasilitator utama dalam pembelajaran memiliki kewajiban untuk mengarahkan pembelajaran ke arah kemandirian.

Kemandirian dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman siswa yang bermakna. Pengalaman tersebut dapat berupa pendekatan keimanan, pengamalan, pembiasaan, rasional, emosional, fungsional, dan keteladanan yang dilakukan guru dalam pembelajaran.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah lebih mengarah kepada penghafalan ilmu fiqh, misalnya apa pengertian, macam, jenis, rukun, hukumnya shalat, tidak diarahkan kepada bagaimana mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajarannya ditujukan pada penguasaan fiqh sebagai ilmu, bukan kepada tuntutan untuk mengamalkannya, sehingga hanya akan menghasilkan kompilasi hafalan, bukan pemahaman terhadap proses pelaksanaannya.

Model pembelajarannya pun cenderung menggunakan model ekspositori dengan menggunakan metode ceramah, sedikit menggunakan metode diskusi atau metode lainnya yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif membangun pengetahuan fiqhnya. Pembelajaran dianggap berhasil jika siswa secara ekspositoris mampu menyampaikan hafalannya tentang definisi, pengertian atau konsep tanpa didasari oleh aspek afektifnya.

(17)

negatifnya adalah, siswa akan menjadi orang yang hanya mengekor dalam melaksanakan fiqh, dan dapat menjadi orang yang fanatik buta dalam berfiqh. Mereka tidak mandiri. Ketidakmandirian ini disebabkan karena pembelajaran fiqh yang bersifat ekspositoris atas ilmu-ilmu fiqh bukan pembelajaran yang didasarkan pada pemahaman proses serta pelaksanaannya. Hasil wawancara prasurvey dengan guru-guru fiqh menunjukkan bahwa pembelajaran fiqh cenderung ekspositoris, tidak mengeksplor kemandirian siswa. Diakui oleh guru-guru, bahwa kemandirian siswa dalam pembelajaran fiqh masih rendah. Wawancara secara acak dengan beberapa siswa dari kelas dan Madrasah Aliyah yang berbeda menunjukkan bahwa mereka mengalami kesulitan menjawab ketika diberikan pertanyaan problematik tentang persoalan fiqh. Diakuinya bahwa kesulitan yang dialami lebih disebabkan karena kebiasaan pembelajaran mereka yang cenderung informatif. Hal ini mengindikasikan bahwa kemandirian yang dimilikinya masih lemah.

Dengan demikian, persoalan mendasar mengenai pembelajaran fiqh adalah bahwa siswa kurang atau bahkan tidak dikembangkan kemandiriannya. Padahal kemandirian adalah bagian penting dalam pembelajaran fiqh. Ketidakmandirian siswa akan meyebabkan dampak negatif bagi pemahaman dan penghayatan mereka terhadap fiqh. Dampak negatif itu diindikasikan dengan pemahaman fiqh yang sempit dan pengamalan fiqh yang bersifat taklid buta. Taklid buta dapat menimbulkan fanatisme bodoh yang membabi buta. Dampak negatif lainnya adalah, siswa kurang atau tidak kuat dalam memegang prinsip-prinsip syariah.

Kemandirian dalam belajar dapat diartikan sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar (Dimyati, 1998:51). Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Pada dasarnya kemandirian merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantun

orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kartini dan Dali dalam Mu’tadin

(18)

sesuatu bagi diri sendiri. Kemandirian belajar seseorang sangat tergantung pada seberapa jauh seseorang tersebut dapat balajar mandiri. Dalam belajar mandiri siswa akan berusaha sendiri terlebih dahulu untuk mempelajari serta memahami isi pelajaran yang di baca atau dilihatnya melalui media pandang dan dengar. Jika siswa mendapat kesulitan barulah siswa tersebut akan bertanya atau mendiskusikan dengan teman, guru atau pihak lain lain yang sekiranya lebih berkompeten dalam mengatasi kesulitan tersebut. Siswa yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan serta mempunyai kreativitas inisiatif sendiri dan mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.

Ada beberapa faktor yang dapat menjadi kendala bagi berkembangnya kemandirian siswa yang terkait dengan praktek pendidikan yang berlangsung antara lain: (1) sistem pendidikan kurang menempatkan IQ sebagai ukuran keberhasilan; (2) praktek pendidikan lebih berorientasi pada ijazah dari pada penguasaan ilmu; (3) motivasi membaca sebagai salah satu perwujudan independent learner rendah; (4) motivasi membaca siswa rendah; (5) guru

mengajar hanya sekadar memenuhi kewajiban beban jam mengajar; (6) kegiatan belajar mengajar masih berorientasi transfer of knowledge yang tidak konstruktivistik; (7) model pembelajaran yang digunakan guru masih pasif artinya tidak aktif, kreatif, inovatif, efektif dan menyenangkan.

(19)

bukan manajemen ataupun fasilitas. Saat ini, 54 persen dari 628 ribu guru madrasah belum memenuhi kualifikasi minimal guru, yakni pendidikan S-1 atau D-4. Serta sesuai antara kualifikasi bidang studi yang pernah dipelajarinya dengan mata pelajaran yang diajarkan (http://batakpos-online.com).

Tingkat kompetensi guru yang rendah bukanlah variabel tersendiri yang independen, ia berkait dengan pertanyaan apakah guru sebagai pembelajar mendapatkan pendidikan, pembinaan dan pelatihan metodologis ataupun materi pembelajaran dari pengawas pendidikan yang bertugas dan berkewajiban mengevaluasi dan mensupervisi mereka. Realitas objektif di lapangan membuktikan bahwa pengawas pendidikan jarang sekali bahkan tidak memberikan bimbingan dan pelatihan kepada guru tentang menciptakan pembelajaran Fiqh yang baik dan konstruktif. Mereka cenderung melakukan

aktivitas kunjungan “datang, lihat-lihat, dan pulang”. Guru biasanya hanya diberikan pengawasan administratif. Problem-problem pembelajaran sangat jarang mendapatkan dukungan solusi dari mereka.

Di lihat dari perspektif analisis sistem, bahwa pembelajaran tidak lepas dari aspek input, instrumental input, environmental input, dan proses yang dilaksanakan (Djamaroh, 2000: 142). Aspek-aspek ini dalam banyak hal mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Kondisi objektif raw input Madrasah Aliyah, yakni siswa yang mengikuti pendidikan di dalamnya, sebagian besar adalah siswa yang tidak diterima di sekolah-sekolah menengah negeri (SMAN/SMKN). Salah satu penyebabnya adalah karena perolehan nilai UN yang berada di bawah standar masuk ke sekolah-sekolah negeri.

(20)

merupakan bahan baku yang perlu diolah, dalam hal ini diberi pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar-mengajar (teaching learning process). Dengan demikian, di dalam proses belajar-mengajar fiqh itu turut berpengaruh sejumlah faktor lingkungan yang merupakan masukan dari lingkungan (environmental input) dan sejumlah faktor instrumental (instrumental input) dengan disengaja

dirancang dan dimanipulasikan guna menunjang tercapainya keluaran (output) yang dikehendaki. Berbagai faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dalam menghasilkan keluaran tertentu.

Dari uraian di atas, diketahui bahwa siswa Madrasah Aliyah seharusnya telah memiliki kemampuan dan kemandirian dalam berpikir tingkat tinggi (formal operational stage). Namun dalam kenyatannya, kemandirian mereka masih jauh

dari harapan dan perlu dibina serta dikembangkan secara serius.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan belajar di Madrasah Aliyah adalah kurangnya pemberdayaan siswa sebagai subyek belajar, yang memiliki sejumlah potensi, bakat, minat, nilai dan asumsi yang siap berkembang sebagai karakteristik individu. Untuk itu pembelajaran, perlu mengutamakan pemenuhan belajar sesuai dengan kebutuhan individu.

Belajar dapat dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan berbagai sumber belajar yang sengaja dirancang untuk kegiatan pembelajaran atau yang tersedia di lingkungan pendidikan dan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Siswa sebagai subyek belajar di Madrasah Aliyah, dituntut untuk tidak sekedar menguasai sejumlah ilmu pengetahuan (content) tapi lebih pada bagaimana ia mencari dan menguasai ilmu pengetahuan itu sendiri. Artinya sebagai bekal kelak dalam kehidupan masyarakat, siswa perlu untuk selalu mengembangkan diri dengan kemandirian yang diperoleh di bangku sekolah.

(21)

sementara kurikulum itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah rencana dalam sekala makro untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan yang dimaksudkan tentu memenuhi skala kebutuhan dan jenjang secara hirarkikal. Oleh karena itu pembelajaran tidak terlepas dari kurikulum, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran telah digariskan sebelumnya terlebih dahulu dalam kurikulum.

Pembelajaran adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut langkah-langkah tertentu agar pelaksanaannya mencapai hasil yang diharapkan. Pengaturan ini dituangkan dalam bentuk perencanaan pembelajaran. Setiap pembelajaran selalu berkenaan dengan proyeksi atau perkiraan mengenai apa yang akan dilakukan. Demikian halnya dalam perencanaan pembelajaran, di dalamnya harus dilakukan proses memperkirakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada waktu melaksanakan pembelajaran sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif. Berdasarkan tujuan dan pertimbangan karakteristik yang ingin dicapai pembelajaran dapat dikelompokkan dalam beberapa model, yakni model sosial, pemrosesan informasi, persoanal dan sistem prilaku.

Model merupakan gambaran mental yang membantu kita untuk menjelaskan sesuatu dengan lebih jelas terhadap sesuatu yang tidak dapat dilihat atau dialami langsung (Dorin et al dalam Ella, 2004:50). Sedangkan model pembelajaran adalah ”kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar (Toeti S & Udin: 1994; 79).

Sementara itu Sukmadinata (2004:229), menjelaskan bahwa ”Model pembelajaran

merupakan penjabaran dari pendekatan pembelajaran, masih dapat dijabarkan lagi menjadi metode pembelajaran sehingga sifatnya lebih spesifik.

(22)

Menurut Diana Lapp, dkk (1975), dalam model ini siswa menjadi pusat dari proses belajar. Model ini dilakukan dengan cara memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang produktif sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atau tujuannya sehingga dikenal pula bahwa model ini berorientasi pada upaya membantu siswa untuk mengembangkan potensi individunya. Salah satu model pembelajarannya adalah model personal. Model personal adalah model pembelajaran yang menekankan pada pengembangan konsep diri setiap individu. Hal ini meliputi pengembangan proses individu dan membangun serta mengorganisasikan dirinya sendiri. Model pembelajaran memfokuskan pada konsep diri yang kuat dan realistis untuk membantu membangun hubungan yang produktif dengan orang lain dan lingungannya. Model ini bertitik tolak dari teori Humanistik, yaitu berorientasi pada pengembangan individu. Perhatian utamanya pada emosional siswa dalam mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Model ini menjadikan pribadi siswa mampu membentuk hubungan harmonis serta mampu memproses informasi secara efektif. Model ini diusahakan untuk memungkinkan siswa dapat memahami keberadaan dirinya sendiri secara baik, bertanggung jawab, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

(23)

mandiri menegaskan bahwa kendali belajar serta keluwesan waktu maupun tempat belajar terletak pada siswa yang belajar.

Secara makro, strategi pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem dalam pendidikan. Dalam pandangan sistem, pendidikan merupakan serangkaian komponen yang saling terintegrasi untuk mencapai tujuan pendidikan. Sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien. Fungsi-fungsi yang saling berhubungan tersebut merupakan komponen dalam pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh Sukmadinata (2003:9), bahwa ”Beberapa komponen atau faktor yang terdapat dalam sistem pembelajaran dikelompokkan dalam komponen input, process dan output. Oleh karena itu implementasi pembelajaran dengan memanfaatkan segala potensi pembelajaran sebagai pengembangan sistem dalam pembelajaran, perlu memperhatikan komponen lain agar pengintegrasiannya dapat menyatu secara sistemik untuk mencapai tujuan.

Model sistem sederhana tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut ini :

Gambar 1.1

Model Sistem Pembelajaran Sederhana Umpan Balik

Pada Input

Proses Transformasi

Input Output

(24)

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini dirumuskan dengan mengarah pada pemecahan masalah yang berkaitan dengan pengembangan model pembelajaran kemandirian untuk meningkatkan hasil belajar siswa di Madrasah Aliyah khususnya pada mata pelajaran Fiqh. Untuk itu, masalah tersebut

dirumuskan dalam pertanyaan pokok yaitu : ”Model pembelajaran kemandirian yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa ?”

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, masalah pokok dalam penelitian

ini adalah: ”Model pembelajaran kemandirian seperti apakah yang tepat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah ?”

Pendalaman terhadap permasalahan tersebut dapat diuraikan berdasarkan pertanyaan sebagai berikut :

a) Bagaimana kondisi obyektif pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan di Madrasah Aliyah ?

b) Model pembelajaran kemandirian bagaimana yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah ?

c) Bagaimana efektivitas model pembelajaran kemandirian yang dikembangkan dalam meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan dengan model pembelajaran fiqh yang digunakan selama ini di Madrasah Aliyah ?

d) Apa faktor pendukung dan penghambat bagi model pembelajaran kemandirian yang dikembangkan dalam meningkatkan has i l b el aj ar s i s wa dalam pembelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah ?

C. Tujuan Penelitian;

(25)

kurikulum fiqh sehingga dapat meningkatkan mutu kompetensi lulusan Madrasah Aliyah.

Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Menemukan kondisi obyektif pembelajaran fiqh yang selama ini dilakukan di Madrasah Aliyah.

2) Menghasilkan Model pembelajaran kemandirian yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah.

3) Memperoleh data empiris tentang efektivitas model pembelajaran kemandirian yang dikembangkan dibandingkan dengan model pembelajaran fiqh yang digunakan guru selama ini di Madrasah Aliyah. 4) Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat bagi model

pembelajaran kem andiri an yang dikembangkan dalam meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis;

Ditemukannya model pembelajaran kemandirian dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa serta diharapkan penelitian ini menghasilkan dalil-dalil atau prinsip-prinsip yang dapat dipergunakan dalam mengembangkan proses kegiatan belajar mengajar Fiqh, sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa.

2. Manfaat Praktis ;

a. Menghasilkan model pembelajaran yang dapat digunakan oleh siswa atau Madrasah Aliyah dan para guru fiqh, terutama yang berkaitan dengan; desain perencanaan pembelajaran, kegiatan implementasi pembelajaran dan pelaksanaan evaluasi.

(26)

c. Memberi masukan bagi peneliti lanjutan untuk melakukan uji coba pengembangan model pembelajaran dengan melibatkan subjek penelitian pada tingkat sekolah dasar dan menengah.

F. Paradigma Penelitian

Berdasarkan apa yang dikemukakan di dalam latar belakang masalah, tampak bahwa masalah yang dihadapi dalam pembelajaran fiqh adalah masih lemahnya dalam implementasinya yang disebabkan oleh proses pembelajaran yang kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemandirian belajar sebagai akibat dari kurangnya pemahaman metodologis guru membelajarkan fiqh kepada siswa.

Paradigma penelitian yang dikembangkan difokuskan pada tiga kegiatan utama yaitu studi pendahuluan, implementasi dan efektivitas. Penelitian pendahuluan atau prasurvey merupakan kegiatan penelitian yang bersifat deskriptif dan tidak untuk menguji hipotesis. Melalui penelitian prasurvey ini diungkap jawaban pertanyaan apa, bagaimana, berapa, dan bukan pertanyaan mengapa. Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di kelas untuk merefleksi terhadap bagaimana proses pembelajaran Fiqh yang biasa dilakukan. Aspek-aspek yang diteliti pada tahap prasurvey ini adalah (1) desain dan penerapan pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru, (2) kemampuan dan aktivitas belajar siswa, (3) kemampuan dan kinerja guru, (4) kondisi dan pemanfaatan sarana, fasilitas dan lingkungan.

(27)

uji coba terbatas dan luas sampai ditemukan model yang sesuai dengan kondisi lapangan. Sejalan dengan pelaksanaan uji coba dilakukan pengamatan, hasil dari pengamatan ini digunakan sebagai bahan untuk merevisi model yang akan diujicobakan pada tahap berikutnya. Untuk mengetahui hasil belajar setiap selesai uji coba diberikan posttest.

Dalam pengujian model, dilakukan uji validasi terhadap model pembelajaran yang telah dikembangkan tersebut. Aspek-aspek yang diteliti dalam tahap ini adalah (1) dampak penerapan model terhadap kinerja guru, dan (2) dampak penerapan model terhadap kemampuan belajar siswa.

Fiqh sebagai sebuah studi Islam sangat menghendaki pembelajaranya dengan menggunakan model pembelajaran kemandirian yang mampu menghasilkan prestasi belajar siswa. Kemandirian dalam belajar dapat diartikan sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar (Dimyati, 1998:51). Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Pada dasarnya kemandirian merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantun orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kartini

dan Dali dalam Mu’tadin (2002:2) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah

hasrat untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri. Kemandirian belajar seseorang sangat tergantung pada pada seberapa jauh seseorang tersebut dapat balajar mandiri.

(28)

Pembelajaran untuk mengembangkan kemandirian perlu mendayagunakan komponen-komponen sistem yang padu dan supportive. Dalam pendekatan sistem, pembelajaran merupakan suatu kesatuan dari komponen-komponen pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena satu sama lain saling mendukung. Komponen-komponen tersebut dapat menunjang kualitas pembelajaran. Menurut Oemar Hamalik (2001: 77) pembelajaran sebagai suatu sistem artinya suatu keseluruhan dari komponen-komponen yang berinteraksi dan berinterelasi antara satu sama lain dan dengan keseluruhan itu sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Komponen-komponennya itu adalah siswa, guru, tujuan, materi, metode, sarana/alat, evaluasi, dan lingkungan/konteks. Masing-masing komponen itu sebagai bagian yang berdiri sendiri, namun dalam berproses pada kesatuan sistem mereka saling bergantung dan bersama-sama untuk mencapai tujuan. (Soetopo, 2005: 143).

Pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian juga perlu teori pembelajaran yang mendukung tercapainya kemampuan tersebut. Teori pembelajaran telah bergeser menempatkan siswa dalam proses pembelajaran. Siswa yang semula dipandang sebagai objek pembelajaran bergeser sebagai subjek pembelajaran. Sebagai subjek, siswa adalah kunci dari semua pelaksanaan pembelajaran. Teori konstruktivisme Piaget (dalam Sanjaya, 2007: 227) menawarkan pembelajaran yang menitikberatkan pada aktivitas siswa secara dominan, guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran. Pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis cocok dilandaskan pada teori konstruktivisme ini.

(29)

demonstrator, lecturer (pengajar), (2) sebagai pengelola kelas, (3) sebagai

mediator dan fasilitator, dan (4) sebagai motivator (Usman, 1990:7).

Arikunto (1993: 216) berpendapat bahwa unsur-unsur atau komponen-komponen yang dapat mendukung kualitas pembelajaran, perlu diperhatikan unsur-unsur yang secara langsung berkaiatan dengan berlangsungnya proses belajar tersebut yang terdiri atas enam komponen, yaitu: guru, siswa, kurikulum, konteks, metode, dan sarana. Kalau dicermati lebih jauh, komponen kurikulum yang dipakai oleh Arikunto mengisyaratkan adanya evaluasi, karena dalam perencanaan kurikulum pasti terdapat evaluasi.

Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana siswa hanya menerima materi dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah menjadi sharing pengetahuan, mencari (inquiry), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut, pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran yang inovatif dan konstruktivistik dapat menjadi solusi.

(30)

untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman, 2001:76), menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif sehingga siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 2009: 53).

Pembelajaran diarahkan kepada upaya membangun kemampuan siswa melakukan aktivitas deskripsi, analisis dan evaluasi (John Hilsdon, 2009: 1-9). Outcomes yang diharapkan melalui pembelajaran yang

konstruktivistik-kognitivistik yang menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang secara dominan melakukan kegiatan pembelajaran, adalah keterampilan intelektual (intellectual skills), strategi kognitif (cognitive strategy), informasi verbal (verbal information), keterampilan motorik (motor skills), dan sikap (attitudes) (Gagne,

1992: 43-48). Outcomes pembelajaran oleh Joyce (1992: 156-157) dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu instructional effects dan nurturant effects. Instructional Effects adalah dampak langsung pembelajaran, sedangkan nurturant

effects adalah dampak tidak langsung dari pembelajaran (efek pengiring). Dalam

penelitian ini, keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, keterampilan motorik, dan sikap termasuk dalam kategori instructional effects, sedangkan kemampuan otonomi diri, manajemen diri, kebebasan dan kontrol termasuk dalam kategori nurturant effects. Untuk mencapai outcomes yang diharapkan, Gagne (1992: 190-198) mengajukan sembilan peristiwa pembelajaran yang harus dilalui, yakni:

1. Gaining Attention; yaitu upaya atau cara guru untuk meraih perhatian

siswa.

2. Informing learner of the objectives; memberitahukan siswa tujuan

pembelajaran yang akan mereka capai/peroleh;

3. Stimulating recall of prior learning; guru biasa menyebutnya dengan

appersepsi, yaitu merangsang siswa untuk mengingat pelajaran terkait

sebelumnya dan menghubungkannya dengan apa yang akan dipelajari

berikutnya;

(31)

5. Providing learning guidance; berikan bimbingan belajar;

6. Eliciting performance; tingkatkan kinerja;

7. Providing feed back; alias berikan umpan balik;

8. Assessing performance; ukur capaian hasil belajar mereka;

9. Enhancing retention and transfer; tingkatkan capaian hasil belajar

sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan untuk dicapai

(Gagne, 1992: 190-198).

Merujuk pada pemaparan di atas, secara sederhana paradigma yang dikembangkan pada penelitian ini, dapat dapat digambarkan pada bagan 1.1 berikut ini

ANTECENDENT PROCESS INSTRUCTIONAL OUTCOMES

(32)

Ahsan Hasbullah, 2013

Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

Pada bagian ini dikemukakan beberapa pembahasan, yaitu; (a) Metode Penelitian, (b) Lokasi dan subjek penelitian, (c) Definisi Operasional, (d) Teknik pengumpulan data, (e) Analisis data, dan (f) Tahapan penelitian. Pembahasannya diuraikan berikut ini.

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode research and development (R & D). Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk mengembangkan sebuah model pembelajaran. Salah satu produk yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemandirian belajar siswa pada mata pelajaran fiqh.

Borg and Gall (1983: 775) mengidentifikasi empat langkah yang dilakukan berkaitan dengan penelitian research and development (R&D), yaitu: (1) Preliminary Research (penelitian pendahuluan), (2) Pengembangan Model dan

Instrumen atau penyusunan model, (3) pengujian model, dan (4) validasi model. Keempat langkah tersebut, dirinci ke dalam beberapa tahapan, yaitu:

1. Reserch and information collecting. Tahap ini merupakan studi

(33)

Ahsan Hasbullah, 2013

adalah untuk mengetahui kondisi pembelajaran fiqh yang sedang berlangsung, dan memperoleh aktivitas siswa, kinerja guru, sarana dan prasarana yang tersedia, lingkungan sekolah, serta melihat kemungkinan diterapkannya model pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemandirian belajar fiqh.

2. Planning. Pada tahap ini membuat rancangan untuk merumuskan tujuan khusus yang berkaitan dengan rencana pengembangan produk, menentukan prosedur kerja, perkiraan kebutuhan biaya, waktu, biaya dan bentuk partisipasi selama penelitian, termasuk merancang uji kelayakan;

3. Development of preliminary form of product. Pada tahap ini

mengembangkan bentuk produk awal, fase ini peneliti mempersiapkan materi pelajaran yang merujuk kepada kurikulum untuk diuji cobakan, termasuk sarana/ fasilitas yang diperlukan untuk uji coba validasi, instrument, dan lain-lain;

4. Preliminary field testing and product revision. Tahap uji coba

pendahuluan. Tujuannya adalah untuk memperoleh deskripsi kelayakan/ kepatutan suatu produk.

5. Main field testing and operational product revision. Tahap ini merupakan fase uji coba luas dengan menggunakan disain penelitian eksperiman. Hasil uji coba dipakai untuk merevisi produk tersebut sampai diperoleh suatu produk yang siap untuk divalidasi.

(34)

Ahsan Hasbullah, 2013

group), sedangkan kelompok yang tidak mendapat perlakuan disebut

kelompok kontrol.

7. Dissemination and implementation. Pada tahap ini dilakukan sosialisasi terhadap produk hasil pengembangan, dan melaporkan hasil dalam pertemuan ilmiah serta dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dengan tujuan agar model yang baru dikembangkan dapat dipakai dan diterapkan. Dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat laporan penelitian disertasi yang siap dijual dan didistribusikan.

(35)

Ahsan Hasbullah, 2013

Bagan 3.1

Langkah-Langkah Penelitian dan Pengembangan

1. Studi Pendahuluan

Ada dua kegiatan yang dilakukan dalam studi pendahuluan ini, yaitu studi kepustakaan dan survey awal. Studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari dan mengkaji landasan-landasan teoretis dari model yang akan dikembangkan.

Survey awal (prasurvey) dilakukan untuk memperoleh gambaran dari gejala-gejala yang ada dan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat madrasah serta situasi-situasi lapangan lainnya. Penelitian survey awal ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menghimpun informasi, dan mengidentifikasi kondisi nyata yang merupakan pendukung atau penghambat terhadap penerapan model yang akan dikembangkan, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis. Pada fase ini dilakukan pengamatan yang berhubungan dengan kegiatan proses pembelajaran fiqh yang biasa dilakukan guru dan siswa. Aspek-aspek yang diteliti dalam survey awal ini adalah: (a) rancangan dan desain pembelajaran yang dilakukan guru, (b) aktivitas belajar siswa, (c) kinerja guru, (d) sarana, fasilitas, dan lingkungan. Hasil dari survey awal/ prasurvey ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan model pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemandirian belajar fiqh di MAN Kabupaten Garut yang disesuaikan dengan kondisi lapangan.

2. Pengembangan Model

(36)

Ahsan Hasbullah, 2013

diskusi bersama para pembimbing dan teman-teman sejurusan sehingga menghasilkan draf model yang kemudian diuji kelayakan/kepatutan oleh ahli (pakar) pembelajaran dan praktisi pembelajaran fiqh. Draf model yang dikembangkan dalam penelitian ini diujicobakan berulang-ulang sampai ditemukan model yang sesuai dengan kondisi lapangan. Sejalan dengan pelaksanaan uji coba dilakukan pengamatan, hasil dari pengamatan ini digunakan sebagai bahan untuk merevisi model yang akan diujicobakan pada tahap berikutnya. Untuk mengetahui hasil belajar setiap selesai uji coba diberikan posttest.

3. Validasi Model

Sebuah model dapat diterima sebagai model yang cukup memadai apabila model tersebut berhasil melewati uji validasi. Uji validasi ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas model. Validasi model dilakukan melalui eksperimen.

Dalam uji validasi terhadap model pembelajaran yang dikembangkan ini, standar yang digunakan adalah: efektivitas penerapan model kemandirian terhadap hasil belajar fiqh dan dampak penerapan model kemandirian terhadap kinerja guru.

Uji validasi dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2012/1013. Sebelum pelaksanaan eksperimen diadakan pretest, kemudian setelah model diimplementasikan diberikan posttest. Setelah selesai melakukan eksperimen dan posttest, diadakan pengolahan statistik untuk mengetahui keampuhan model yaitu dengan uji perbedaan pretest dan posttest, uji perbedaan kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

(37)

Ahsan Hasbullah, 2013

sedangkan guru yang dimaksud adalah guru yang mengajar mata pelajaran fiqh di Madrasah Aliyah.

1. Studi pendahuluan; Studi pendahuluan dilakukan di MAN 1, MAN 2, MAS Al-Musaddadiyah, MAS Cokroaminoto, MAS Darul Ulum, dan MAS Darul Arqam.

2. Pengembangan Model; Pengembangan model uji coba terbatas dilakukan

di MAN 1 Garut dan pengembangan model uji coba luas dilakukan di MAS Al-Musaddadiyah dan MAN 2 Garut.

3. Uji Validasi; Uji validasi dilakukan di MAN 2 Garut sebagai model eksperimen. Sedangkan MAS Cokroaminoto sebagai model kontrol.

(38)

Ahsan Hasbullah, 2013

MAN 2 Garut - 40

3.

Uji Validasi

a. Eksperimen MAN 2 Garut - 40

b. Kontrol MAS Cokroaminoto Garut

- 40

Dari data tersebut, yang menjadi subjek penelitian adalah siswa yang berjumlah 100 orang, terdiri dari 30 orang dari MAN 1, dan 30 orang dari MAN 2 Garut, dan 10 orang dari MAS Al-Musaddadiyah, 10 orang dari MAS Cokroaminoto Garut, 10 orang dari MAS Darul Ulum Karangpawitan Garut, dan 10 orang dari MAS Darul Arqom Garut. Namun, yang dijadikan subjek pada Kelompok Eksperimen adalah 40 orang dari MAN 2 Garut, sedangkan Kelompok Kontrolnya (KK) diambil dari 40 siswa dari MAS Cokroaminoto Garut. Jumlah guru yang dijadikan subjek penelitian ini adalah 6 orang guru yang mengajar mata pelajaran fiqh.

C. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesimpangsiuran dan kesalahpahaman terhadap penelitian ini, terdapat dua istilah yang dianggap perlu dijelaskan yaitu; model pembelajaran, dan kemandirian belajar.

1. Model Pembelajaran

Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran fiqh, yakni sebuah rancangan atau pola yang digunakan untuk mendesain pembelajaran fiqh yang interaktif di dalam ruang kelas. Model pembelajaran memandu guru ketika ia mendesain pembelajaran untuk membantu siswa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang beragam.

(39)

Ahsan Hasbullah, 2013

model itu dikembangkan. Fokus merupakan tesis utama yang menentukan kombinasi dan hubungan proses yang bermacam-macam, syarat-syarat dan faktor-faktor yang dibangun di dalam model. Tujuan pembelajaran dan aspek-aspek lingkungan, umumnya membangun fokus model. Apa yang menjadi tujuan untuk dicapai dalam pengembangan model ini adalah fokus model. Dengan demikian, fokus merupakan aspek sentral dari model pembelajaran. Kemandirian belajar siswa adalah fokus model pembelajaran fiqh.

Model pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemandirian belajar dibangun atas sintaks (syntax), yakni tahapan atau pemfasean (phasing) model, atau deskripsi pelaksanaan model yakni berupa kegiatan-kegiatan yang diorganisasikan untuk kepentingan belajar. Dengan demikian, sintaks model pembelajaran fiqh ini berisi sekuensi langkah-langkah yang terlibat dalam organisasi program pengajaran yang lengkap untuk menuju fokus (kemandirian belajar). Sintaks dibagi ke dalam tiga bagian, yakni kegiatan pendahuluan (kegiatan memotivasi, komunikasi tujuan, scaffolding, fasilitasi belajar); kegiatan inti (elaborasi, kolaborasi); dan kegiatan penutup (evaluasi dan refleksi).

Sistem sosial (social system) yang dikembangkan dalam model pembelajaran ini adalah peran-peran yang dilakukan oleh guru dan siswa, terutama hubungan hirarki atau hubungan otoritas, dan norma-norma atau tingkah laku siswa yang di-reward. Guru secara dominan berperan sebagai fasilitator pembelajaran, dan siswa berperan sebagai subjek belajar yang secara aktif melakukan aktivitas pembelajaran yang dipandu dan difasilitasi oleh guru. Peran guru secara dominan muncul pada kegiatan pendahuluan dan kegiatan penutup. Sedangkan siswa secara dominan melakukan kegiatan pembelajaran pada kegiatan inti.

(40)

Ahsan Hasbullah, 2013

memotivasi, menyampaikan tujuan pembelajaran, melakukan scaffolding, memberikan bimbingan, memberikan fasilitasi, dan melakukan konfirmasi adalah bagian dari sistem reaksi yang dibangun dalam model pembelajaran ini.

Sedangkan sistem dukungan (support system) dalam pengembangan model pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemandirian belajar siswa ini adalah dengan penyediaan fasilitas oleh guru dan siswa untuk bisa mengimplementasikan model pembelajaran tersebut dengan sukses. Ketersedian buku-buku paket fiqh, lembar kerja siswa, al-Qur’an dan terjemahnya, kitab-kitab fiqh, dan sumber-sumber lainnya diadakan untuk mempermudah proses pembelajaran. Di samping itu, setting lingkungan belajar juga dikondidisikan secara kondusif untuk mendukung terjadinya kegiatan pembelajaran yang aktif, efektif dan produktif. Semua ini menjadi system dukungan yang berarti bagi pelaksanaan model pembelajaran yang dikembangkan ini.

Berdasarkan pemaparan di atas model pembelajaran fiqh yang dikembangkan ini memiliki karakteristik rasional teoretis logis, yakni didasarkan pada teori pembelajaran kognitif-konstruktifistik; landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta didik belajar (sistem sosial berupa pembagian peran guru dan peran siswa, serta tujuan pembelajaran yang akan dicapai yakni sasaran untuk mencapai kemandirian belajar; tingkah laku pembelajaran yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan setting lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

(41)

Ahsan Hasbullah, 2013

model berkait dengan aspek efektivitas ini dengan parameter: (1) ahli dan praktisi berdasar pada pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif; dan (2) secara operasional model tersebut memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Validitas model pembelajaran fiqh untuk meningkatkan kemandirian belajar siswa akan diuji melalui uji coba terbatas dan luas, dan uji validasi model. Kepraktisan model akan diuji melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh praktisi dan ahli. Sedangkan efektivitas model akan diuji melalui uji validasi dengan eksperimen.

Mengacu kepada paparan di atas, maka model pembelajaran kemandirian fiqh untuk meningkatkan hasil belajar siswa ini merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan belajar fiqh (instructional effects dan nurturant effects), dan berfungsi menjadi pedoman bagi guru fiqh sebagai

perancang pembelajaran dalam merencanakan aktivitas pembelajaran, sehingga dapat memberikan kerangka dan arah bagi guru fiqh dalam implementasi pembelajaran fiqh. Dengan demikian, aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.

2. Kemandirian belajar

(42)

Ahsan Hasbullah, 2013

Kemandirian dalam belajar dapat diartikan sebagai aktivitas belajar dan berlangsungnya lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri dan tanggung jawab sendiri dari pembelajar (Dimyati, 1998:51). Siswa dikatakan telah mampu belajar secara mandiri apabila telah mampu melakukan tugas belajar tanpa ketergantungan dengan orang lain. Pada dasarnya kemandirian merupakan perilaku individu yang mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantun orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kartini dan Dali dalam Mu’tadin (2002:2) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri. Kemandirian belajar seseorang sangat tergantung pada pada seberapa jauh seseorang tersebut dapat balajar mandiri. Dalam belajar mandiri siswa akan berusaha sendiri terlebih dahulu untuk mempelajari serta memahami isi pelajaran yang di baca atau dilihatnya melalui media pandang dan dengar. Jika siswa mendapat kesulitan barulah siswa tersebut akan bertanya atau mendiskusikan dengan teman, guru atau pihak lain lain yang sekiranya lebih berkompeten dalam mengatasi kesulitan tersebut. Siswa yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkan serta harus mempunyai kreativitas inisiatif sendiri dan mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.

Menurut pengertian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa kemandirian belajar adalah suatu aktivitas/kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa atas kemauannya sendiri dengan tidak tergantung pada orang lain, serta mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dalam menyelesaikan tugasnya.

D. Teknik Pengumpulan Data

(43)

Ahsan Hasbullah, 2013

pedoman observasi kelas, dan uji kepatutan model. Untuk uji validasi dikembangkan instrumen pengukuran hasil belajar melalui pretest dan posttest.

1. Instumen Angket

Pertimbangan penggunaan instrumen angket dalam penelitian ini adalah karena angket sifatnya lebih objektif dan datanya mudah untuk dianalisis. Jenis angket yang digunakan berupa daftar gejala dan skala sikap yang berisikan pengukuran mengenai persepsi guru dan siswa dalam pelaksanaan pembelajaran fiqh. Ada dua instrumen angket yang dikembangkan dalam penelitian ini yang digunakan pada tahap pendahuluan (survey awal), yaitu:

a) Angket untuk guru yang terdiri dari 44 butir pertanyaan, yang digunakan untuk menjaring data yang berhubungan dengan pengalaman dalam melaksanakan pembelajaran, yang meliputi: pengembangan rancangan pembelajaran, implementasi pembelajaran, kondisi, sarana, fasilitas, dan lingkungan. Seluruh data dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan analisis kecenderungan.

b) Angket untuk siswa yang dikembangkan melalui 47 butir pertanyaan, yang digunakan untuk memperoleh data yang berhubungan dengan pandangan siswa tentang pembelajaran fiqh, pendapat asiswa tentang pembelajaran fiqh, pendapat siswa tentang prasarana, fasilitas, dan lingkungan belajar, serta pendapat mereka tentang model pembelajaran fiqh yang dikembangkan. Seluruh data dikumpulkan, kemudian dianalisis dengan analisis kecenderungan.

2. Instrumen Observasi

(44)

Ahsan Hasbullah, 2013

media pembelajaran yang tersedia dan lingkungan dalam kegiatan pembelajaran fiqh. Pada tahap uji coba, observasi dilakukan untuk menghimpun data atau informasi mengenai pola pengembangan pembelajaran yang dilakukan guru mata pelajaran fiqh, termasuk pola belajar siswa dan perkembangan kemajuan serta peningkatannya dalam kemandirian belajar fiqh.

Beberapa alasan digunakannya observasi ini diantaranya adalah; pertama, observasi merupakan cara yang lebih efektif dalam melihat kenyataan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Kedua, data-data yang diperoleh melalui pengamatan sendiri mengenai kemampuan dan tampilan guru, dapat dinilai lebih objektif. Ketiga, melalui pengamatan langsung, peneliti dapat dengan mudah mencatat

hal-hal yang penting sebagai masukan untuk perbaikan tampilan guru, sekaligus memahami situasi pembelajaran yang sedemikian kompleks.

3. Test

Dalam penelitian ini, pada tahap uji coba model dan tahap uji validasi digunakan test dalam bentuk instrumen penilaian yang telah disediakan. Penilaian dilakukan oleh diri sendiri, teman sejawat, dan oleh guru. Hal ini dilakukan agar menjaga objektivitas hasil yang diinginkan melalui penerapan model yang sedang dikembangkan dan agar mengatahui secara jelas bagaimana tingkat efektivitasnya, yaitu kemandirian belajar siswa. Materi test (instrumen penilaian) disusun berdasarkan karakteristik belajar mandiri. Hal ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa fiqh mempunyai karakteristik tersendiri.

4. Wawancara

(45)

Ahsan Hasbullah, 2013

bagaimana guru mengevaluasi pembelajaran yang telah dilaksanakannya; bagaimana kinerja guru dalam proses pembelajaran; bagaimana interaksi dan aktivitas belajar siswa; bagaimana sumber belajar, media/alat bantu yang guru fiqh gunakan, dan fasilitas yang dimiliki madrasah.

E. Analisis Data

1. Studi Pendahuluan

Data yang diperoleh dari studi pendahuluan dianalisis dengan analisis kecenderungan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran adanya potensi untuk melakukan pengembangan model pembelajaran fiqh dengan kemandirian. Hal yang dapat dilihat adalah bagaimana guru merencanakan pembelajaran fiqh, bagaimana aktivitas belajar siswa ketika mengikuti mata pelajaran fiqh, dan bagaimana pemanfaatan sarana, fasilitas, dan lingkungan.

2. Pengembangan Model

Dalam tahap pengembangan model ini, data yang diperoleh dianalisis sebagai berikut :

a) Data dari hasil uji kepatutan model yang dilakukan oleh pakar (ahli) dan praktisi pembelajaran fiqh dianalisis dengan pendekatan kualitatif.

b) Data dari hasil observasi kelas dianalisis dengan pendekatan kualitatif untuk dijadikan bahan revisi model yang akan diujicoba selanjutnya. c) Hasil test dianalisis dengan pendekatan kuantitatif yang menggunakan

statistik uji t.

d) Uji t digunakan untuk membandingkan rata-rata hasil belajar. Hasil test uji coba 1 dibandingkan dengan hasil test uji coba 2, hasil uji coba 1 dibandingkan dengan hasil test uji coba 3, dan hasil uji coba 2 dibandingkan dengan hasil uji coba 3.

3. Uji Validasi Model

(46)

Ahsan Hasbullah, 2013

kualitatif, data yang diperoleh dari test dianalisis dengan pendekatan kuantitatif. Analisis perbandingan dilakukan dengan statistik uji t dan berdasarkan hasil pengujian tersebut dilihat rata-rata hasil test antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol yang menggambarkan efektivitas model terhadap peningkatan hasil belajar siswa.

F. Prosedur Penelitian

Serangkaian persiapan yang peneliti susun untuk kepentingan penelitian dan pengembangan (R & D) dilakukan melalui tahapan penelitian sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan Pralapangan

a) Studi penjajakan terhadap masalah penelitian

b) Studi literatur untuk menemukan landasan dasar penelitian c) Menyusun rancangan penelitian

d) Menyusun kerangka jenis data yang akan dikumpulkan di lapangan e) Berkoordinasi dengan civitas akademika MAN 1 Garut

f) Mengkaji kurikulum fiqh g) Merancang materi pembelajaran h) Membuat model pembelajaran

i) Membuat butir-butir soal untuk diuji coba model j) Menentukan waktu pelaksanaan

2. Tahap orientasi

a) Mengadakan diskusi dengan beberapa guru fiqh MA Garut.

b) Mengumpulkan dan menganalisis data awal melalui angket, observasi, dan wawancara dengan responden.

c) Menentukan kelompok untuk proses uji coba model dan uji validasi. d) Pengorganisasian jadwal pelaksanaan penelitian.

3. Tahap Pelaksanaan penelitian di Lapangan

a) Mengumpulkan data dan penggalian informasi melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan analisis prediksi model.

(47)

Ahsan Hasbullah, 2013

c) Melakukan uji coba model.

d) Menafsirkan data hasil uji coba dan uji validasi. 4. Tahap Pengembangan dan Uji Coba Model Pembelajaran

Pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan kemandirian dalam pembelajaran fiqh dilakukan sebelum uji coba dilaksanakan yang merupakan bentuk model hipotesis. Dalam pengembangan model ini dilakukan kolaborasi dengan guru tempat dilakukannya uji coba yakni Madrasah Aliyah Negeri 1 Garut, sehingga diperoleh bentuk desain pembelajaran. Uji coba dilakukan berulang-ulang dalam kurun waktu Semester I (Semester Ganjil) Kelas X) tahun pelajaran 2011/2012, dan setiap uji coba berakhir dilakukan revisi terhadap model pembelajaran untuk kemudian dikembangkan rencana pembelajaran berikutnya. Uji coba dilakukan melalui uji coba terbatas dan uji coba luas.

Data yang diperoleh berbentuk catatan lapangan yang kemudian hasil catatan lapangan tersebut didiskusikan dengan guru sehingga diperoleh umpan balik untuk memperbaiki model pembelajaran dalam uji coba berikutnya. Setelah uji coba berlangsung berulang-ulang dan hasil uji coba memperlihatkan bentuk yang optimal dan hasil belajar yang baik, maka model pembelajaran tersebut dianggap siap untuk diuji validasi (bentuk akhir model).

Selain data catatan lapangan, diperoleh data berupa tes hasil belajar siswa. Terhadap data ini kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan statistic uji t untuk melihat kekuatan model dalam meningkatkan aspek berpikir siswa.

5. Uji Validasi Model Pembelajaran

Uji validasi dilakukan pada akhir Semester Ganjil (Akhir Semester 1 Kelas X). Materi pembelajaran pada semester ini membahas tentang :

Tabel 3.2

(48)

Ahsan Hasbullah, 2013

Data yang diperoleh berupa catatan-catatan lapangan yakni lembar observasi kelas yang kemudian diolah secara kualitatif untuk memperoleh hasil dampak implementasi model pembelajaran terhadap kinerja guru. Selain catatan lapangan diperoleh data tes hasil belajar siswa baik untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol (pretest dan postest). Terhadap data ini kemudian dilakukan pengolahan dan analisis statistik uji t melalui program SPSS versi 14 untuk memperoleh hasil dampak penerapan model terhadap kemampuan siswa. Perbedaan rata-rata antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol memperlihatkan efektivitas model terhadap prestasi belajar siswa, yang dalam hal ini berupa kemandirian belajar.

6. Uji Efektivitas Model

Untuk melihat efektivitas model pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemandirian belajar fiqh, dilakukan dengan uji validasi. Uji validasi dilakukan melalui eksperimen model dengan disain kuasi eksperimen dengan rancangan pretest-posttest control group design. Dalam hal ini dilakukan perlakuan yang

(49)

Ahsan Hasbullah, 2013

dikembangkan, sedangkan keolmpok kontrol menggunakan model pembelajaran yang biasa dilakukan guru.

Selanjutnya, hasil uji validasi berupa hasil eksperimen model pembelajaran dijadikan patokan untuk menentukan apakah model pembelajaran yang dikembangkan itu efektif ataukah tidak. Jika hasil eksperimen model pembelajaran pada kelompok eksperimen menunjukkan hasil yang signifikan, maka menjadi bukti bahwa model pembelajaran yang dikembangkan itu efektif. Signifikansi hasil eksperimen diketahui dengan cara membandingkan hasil pembelajaran kedua kelompok, yakni kelompok eksperimen yang menggunakan model pembelajaran yang dikembangkan dan kelommpok kontrol yang menggunakan model pembelajaran biasa.

(50)

Ahsan Hasbullah, 2013

Tahap I

Bagan 3.2

Langkah-Langkah Penelitian Model Pembelajaran yang Dikembangkan

(51)

Ahsan Hasbullah, 2013

Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

Bab V ini merupakan penutup dari keseluruhan bab. Dalam bagian ini akan dikemukakan 3 (tiga) hal, yakni simpulan hasil penelitian, implikasi, dan rekomendasi.

A. Simpulan

Mengacu pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat dikemukakan simpulan penelitian sebagai berikut:

1. Kondisi pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut selama ini

Berdasarkan hasil studi pendahuluan disimpulkan bahwa pembelajaran fiqh di Madrasah Aliyah Kabupaten Garut masih belum seimbang antara tuntutan proses dan hasil pembelajaran. Dari sudut proses, pembelajaran lebih terpusat pada guru, siswa kurang diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif mengeksplorasi potensi dan kemampuannya. Dari sudut hasil, hasil pembelajaran siswa belum mencerminkan kemandirian belajar fiqh. Pengetahuan ushul fiqh yang mestinya dibelajarkan kepada siswa sebagai landasan awal pembelajaran fiqh tidak diberikan. Model-model pembelajaran yang biasa digunakan guru lebih bersifat ekspositoris, kurang mengembangkan kemandirian belajar siswa. Pembelajaran cenderung mengarahkan siswa pada kegiatan pembelajaran menerima informasi dan menghafal konsep, fakta atau prinsip; sedangkan pengembangan kemandirian masih kurang. Hal ini cukup menjadi alasan tentang perlunya mengembangkan model pembelajaran yang bisa mengembangkan kemandirian belajar, sehingga siswa dapat memahami dan mengamalkan fiqh dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar

Tabel 4.19 Frekuensi Hasil Belajar Fiqh Kelompok Eksperimen 1       208
Gambar 2.2 : Sistem Kurikulum
Gambar 1.1 Model Sistem Pembelajaran Sederhana
Tabel 3.1 Lokasi dan Subyek Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEMANDIRIAN PASIEN PASCA STROKE DALAM PERAWATAN DIRI DI PUSKESMAS PACARKELING DAN PUSKESMAS

Berdasarkan analisis mengenai kesesuaian dan kedalaman materi pada buku Ajar Biologi untuk SMA Kelas XI yang telah dicocokkan dengan silabus kurikulum 2006, pada materi

Halaman ini dapat dibuat dengan menggunakan software yang sama seperti teori matematika dan menggunakan JavaScript untuk mengkoreksi hasil jawaban kuis.. Halaman Soal

[r]

Dari apa yang disebutkan dalam Al- Qur‟an, kita pun dapat memahami bahwa hanya ada satu waktu bagi Allah. peristiwa yang akan terjadi setelah kematian kita (dalam sudut pandang

Kedelapan, kecerdasan naturalis, memiliki ciri antara lain: (a) suka dan akrab pada berbagai hewan peliharaan, (b) sangat menikmati berjalan-jalan di alam terbuka, (c) suka

[r]

Gambar 4.9 Laju aliran massa air ( ṁ air) pada berbagai variasi penelitian Variasi fan bekerja selama 5 menit dan fan berhenti selama 5 menit yang dilakukan selama 1 jam