• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERIAN LATIHAN JALAN TANDEM LEBIH BAIK DARIPADA LATIHAN ONE LEGGED STANCE UNTUK MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS PADA LANSIA DI BANJAR MUNCAN DESA KAPAL KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBERIAN LATIHAN JALAN TANDEM LEBIH BAIK DARIPADA LATIHAN ONE LEGGED STANCE UNTUK MENINGKATKAN KESEIMBANGAN DINAMIS PADA LANSIA DI BANJAR MUNCAN DESA KAPAL KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PEMBERIAN LATIHAN JALAN TANDEMLEBIH BAIK

DARIPADA LATIHAN ONE LEGGED STANCE UNTUK

MENINGKATKAN KESEIMBANGANDINAMIS PADA

LANSIA DI BANJAR MUNCAN DESA KAPAL KECAMATAN

MENGWI KABUPATEN BADUNG

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA FISIOTERAPI

Oleh:

LIDIA VALENTIN

NIM. 1202305009

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGIDAN PENDIDIKAN TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Nama : Lidia Valentin

NIM : 1202305009

Judul Skripsi :“Pemberian Latihan Jalan TandemLebih Baik Daripada Latihan One-Legged Stance Untuk Meningkatkan Keseimbangan Dinamis Pada Lansia Di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung”

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa oleh Dosen Pembimbing Skripsi untuk diajukan ke Sidang Seminar Skripsi.

Denpasar, 16Juni 2016 Komisi Pembimbing

Pembimbing I,

(Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, PFK, MOH) NIP. 19471211 197602 1 001

Pembimbing II,

(3)

iii

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

Denpasar, 16 Juni 2016 Pembimbing I,

(Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, PFK, MOH) NIP. 19471211 197602 1 001

Pembimbing II,

(dr. I Putu Adiartha Griadhi, M.Fis) NIP. 19761125 200501 1 002

Penguji,

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul“Pemberian Latihan Jalan TandemLebih Baik Daripada Latihan One Legged Stance Untuk Meningkatkan Keseimbangan Dinamis Pada Lansia Di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung”.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, PFK, MOH selaku Ketua Program Studi Fisioterapi Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, PFK, MOH selaku Pembimbing I sekaligus pengajar yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. I Putu Adiartha Griadhi, M.Fis. selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam skripsi ini.

(5)

v

6. Angga Winata sebagai motivator bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Orang tua, Saudara kandung dan seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberi dukungan serta motivasi tanpa hentinya agar penulis berjuang dan berusaha menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya hingga terselesaikannya skripsi ini. Terimakasih banyak atas cinta tulus tanpa syarat yang selalu kalian berikan untuk saya.

8. Seluruh teman - teman Axoplasmic Fisioterapi FK Unud 2012 dan kelompok belajar Bianglala, yang selalu membantu dan memberikan semangat dalam berbagai cara baik itu melalui tawa, canda, ataupun nasihat-nasihat yang memacu semangat. Terimakasih banyak sudah mengingatkan satu sama lainnya untuk sama-sama berjuang, semoga sukses.

9. Para Sahabat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih banyak sudah selalu berbagi cerita-cerita motivasi dan memberikan semangat walaupun kita terbatas ruang dan waktu.

10.Dosen - dosen pengajar dan staf Program Studi Fisioterapi yang telah banyak membantu dalam penyelesaian usulan penelitian ini.

(6)

vi

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak penulis sangat harapkan.

Denpasar,16 Juni 2016

(7)

vii

PEMBERIAN LATIHAN JALAN TANDEM LEBIH BAIK DARIPADA

LATIHAN ONE LEGGED STANCE UNTUK MENINGKATKAN

KESEIMBANGAN PADA LANSIA DI BANJAR MUNCAN DESA KAPAL KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG

ABSTRAK

Masalah : Keseimbangan dinamis adalah pemeliharaan keseimbangan tubuh ketika dalam posisi bergerak. Masalah yang akan timbul dari gangguan keseimbangan yaitu peningkatan resiko jatuh pada lansia. Tujuan : Tujuan penelitian mengetahui Pemberian Latihan Jalan Tandem lebih baik daripada Latihan One Legged Stance untuk Meningkatkan Keseimbangan pada Lansia.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan Pre and Post Test Control Group Design. Teknik pengambilan sampel ini adalah consecutive non probability sampling. Sampel penelitian ini berjumlah 20 orangyang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok I yang diberikan latihan Jalan Tandem dan kelompok II yang diberikan latihan One Legged Stance. Masing-masing kelompok terdiri dari 10 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran keseimbangan dinamis lansia dengan Time Up and Go Test

(TUGT) sebelum dan setelah latihan pada setiap kelompok. Uji normalitas dan homogenitas data diuji dengan menggunakan Saphiro-Wilk Test dan Levene’s

Test. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan keseimbangan dinamis pada kelompok I sebesar 3,98 dan pada kelompok II terjadi peningkatan keseimbangan dinamis sebesar 1,95. Hasil uji paired sample t-test didapatkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p=0,000 (p>0,05) pada kelompok I dan nilai p=0,001 (p>0,05) pada kelompok II. Uji beda selisih dengan independent t-test menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok I dan kelompok II dimana p=0,009 (p<0,05) dengan persentase sebesar 22,7% pada kelompok I dan 10,9% pada kelompok II. Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Pemberian Latihan Jalan Tandem lebih baik daripada Latihan One Legged Stance untuk Meningkatkan Keseimbangan pada Lansia.

(8)

viii

GIVING TANDEM WALK EXERCISES IS BETTER THAN ONE LEGGED STANCE EXERCISE TO INCREASING DYNAMIC BALANCE FOR

ELDERLY PEOPLE AT BANJAR MUNCAN KAPAL VILLAGE MENGWI DISTRICTS BADUNG

ABSTRACT

Problem : Dynamic balance is the maintenance of body equilibrium when the body is moving. Balance disorder is a common problem found among the elderly people. Problems that would arise from a balance disorder is an increased risk of falls among the elderly people. Objective : The purpose of this study was to determine giving tandem walk exercises is better than one legged stance exercise to increasing dynamic balance for elderly people. Method : This study was an experimental study with Pre and Post Test Control Group Design. This study involved 20 subjects were divided into two groups; group I, which was given a tandem walk and group II which was given one legged stance. In each group, there were consisted of 10 samples. Data was collected by measuring the dynamic balance among the elderly people using Time Up and Go Test(TUGT)at the beginning and the end of the exercise in each group. Normality and homogeneity of data were tested using Saphiro-Wilk Test and Levene’s Test. Result :The research result showed, there is an increase of dynamic balance in group I of 3,98, whereas in group II there was an increase of dynamic balance of 1,95. Paired t-test result showed significant result with p=0.000 (p>0.05) in group Iand p=0.001 (p>0.05) in group II. Independent t-test result showed a significant difference in dynamic balance between the control group and intervention group, where p=0.009 (p<0.05) with the percentage of the group I of 22,7% and the group II of 10,9%. Conclusion : Based on these results it can be concluded that giving tandem walk exercises is better than one legged stance exercise to increasing dynamic balance for elderly people.

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ii

KATA PENGANTAR iv

ABSTRAK vii

ABSTRAK viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR TABEL xv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 5

1.3 Tujuan Penelitian 6

1.3.1 Tujuan Umum 6

1.3.2 Tujuan Khusus 6

1.4 Manfaat Penelitian 6

1.4.1Manfaat Teoritis...6

1.4.2 Manfaat Praktis 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 8

2.1 Lansia 8

2.1.1 Definisi 8

2.1.2 Proses Menua 9

(10)

x

2.1.4 Proses Penurunan Keseimbangan pada Lansia 10

2.2 Keseimbangan 12

2.2.1 Pengertian Keseimbangan 12

2.2.2 Keseimbangan Dinamis 14

2.2.3 Fisiologi Keseimbangan 16

2.2.4 Komponen-Komponen Pengontrol Keseimbangan 20

2.2.4.1 Sistem Informasi Sensoris 20

2.2.4.2 Central Processing 27

2.2.4.3 Efektor 28

2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan 30 2.2.5.1 Pusat Gravitasi (Centre Of Grafity-COG) 30 2.2.5.2 Garis Gravitasi (Line Of Grafity-LOG) 31 2.2.5.3 Bidang Tumpu (Bassed Of Support-BOS) 32

2.2.6 Penyusun Keseimbangan Postural 33

2.2.6.1 Kendala Biomekanik(Biomechanical Constraints) 34 2.2.6.2 Strategi Gerakan (Movement Strategies) 36 2.2.6.3 Strategi Sensoris (Sensory Strategies) 37 2.2.6.4 Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space) 38 2.2.6.5 Kontrol Dinamik (Control of Dynamics) 39 2.2.6.6 Proses Kognitif (Cognitive Processing) 39

2.2.6.7 Resiko Jatuh pada lansia 40

2.3 LatihanJalan Tandem 40

(11)

xi

2.3.2 Tujuan LatihanJalan Tandem 42

2.3.3 Teknik Pelaksanaan LatihanJalan Tandem 43 2.3.4 Mekanisme Latihan Jalan Tandem Meningkatkan Keseimbangan

Dinamis pada Lansia 43

2.4 Latihan One Legged Stance 45

2.4.1 Definisi Latihan One Legged Stance 45

2.4.2 Tujuan Latihan One Legged Stance 46

2.4.3 Teknik Pelaksanaan Latihan One Legged Stance 46 2.4.4 MekanismeLatihanOne Legged StanceMeningkatkan

Keseimbangan Dinamis pada Lansia 47

2.5 TUGT Sebagai Tes Sebagai Pengukuran Keseimbangan

Dinamis 49

2.5.1 Definisi 49

2.5.2 Prosedur Pelaksanaan 49

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 52

3.1 Kerangka Berpikir 52

3.2 Kerangka Konsep 54

3.3 Hipotesis Penelitian 55

BAB IV METODE PENELITIAN 56

4.1 Rancangan Penelitian 56

4.2 Tempat dan Waktu 57

4.2.1 Tempat Penelitian 57

(12)

xii

4.3 Populasi dan Sampel 57

4.3.1 Populasi 57

4.3.2 Sampel 58

4.3.2.1 Kriteria Inklusi 59

4.3.2.2 Kriteria Eksklusi 60

4.3.2.3 Kriteria Drop out 60

4.3.3 Besar Sampel 60

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel 61

4.4 Variabel Penelitian 62

4.5 Definisi Operasional Variabel 63

4.6 Instrumen Penelitian 65

4.7 Prosedur Penelitian 66

4.7.1 Prosedur Pendahuluan 66

4.7.2 Prosedur Pelaksanaan 66

4.8 Alur Penelitian 68

4.9 Teknik Analisis Data 69

4.10 Jadwal Penelitian 70

BAB V HASIL PENELITIAN 71

5.1 Karakteristik Sampel 71

5.2 Hasil Pengukuran Time Up and Go Test (TUGT) 72

5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas 74

5.4 Pengujian Komparabilitas 76

(13)

xiii

5.6 Uji Statistik Sesusah dan Selisih Penelitian 79 5.7 Persentase Peningkatan Keseimbangan Dinamis 79

BAB VI PEMBAHASAN 82

6.1 Karakteristik Sampel 82

6.2 Latihan Jalan Tandem meningkatkan Keseimbangan Dinamis 84 6.3 Latihan One Legged Stance meningkatkan Keseimbangan Dinamis 86 6.4 Latihan Jalan Tandem Lebih Baik Dari Pada Latihan One Legged

Stance Dalam meningkatkan Keseimbangan Dinamis 88

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 91

7.1 Simpulan 91

7.2 Saran 91

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem Visual 21

Gambar 2.2 Sistem Vestibular 23

Gambar 2.3 Sel rambut dari alat keseimbangan 24

Gambar 2.4 Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap keseimbangan 25 Gambar 2.5 Serebral dan Sereberal Terhadap Gerakan Voluntar 23

Gambar 2.6 Bagan Fisiologi Keseimbangan 30

Gambar 2.7 Centre of Gravity 31

Gambar 2.8 Line of Gravity 32

Gambar 2.9 Base of Support 33

Gambar 2.10 Penyusunan Keseimbangan Postural 34

Gambar 2.11 Normal dan Abnormal Limits of Stability 35

Gambar 3.1 Kerangka Konsep 54

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian 56

Gambar 4.2 Latihan Jalan Tandem 63

Gambar 4.3 Latihan One Legged Stance 64

Gambar 4.6 Alur Penelitian 68

Gambar 5.1 Nilai TUGT pada Kelompok I dan kelompok II 73 Gambar 5.2 Distribusi Rata-Rata Selisih Nilai TUGT Sebelum dan

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengukuran Keseimbangan Dinamis dengan

Times Up Go Test (TUGT) 51

Tabel 4.1 Prosedur Assesment Fisioterapi 58

Tabel 4.2 Jadwal Penelitian 70

Tabel 5.1Karakteristik Subjek Penelitian 71

Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Peningkatan

Nilai Keseimbangan Sebelum dan Sesudah Pelatihan 75 Tabel 5.3 Uji Komparasi Nilai Keseimbangan Dinamis Sebelum Pelatihan 76 Tabel 5.4 Hasil Uji T-Berpasangan (Paired Sample T-Test) Sebelum dan

Sesudah Pelatihan Kelompok I 77

Tabel 5.5 Hasil Uji T-Berpasangan (Paired Sample T-Test) Sebelum dan

Sesudah Pelatihan Kelompok II 78

Tabel 5.6 Uji Komparasi Nilai Keseimbangan Dinamis Sesudah Pelatihan 79

(16)

BAB I

PENDHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keseimbangan merupakan kemampuan untuk mempertahankan posisi tubuh ketika ditempatkan dalam berbagai posisi (Delito, 2003). Menurut Depkes (2009) keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan sikap tubuh baik diam maupun bergerak. Keseimbangan tubuh dibagi menjadi dua yaitu keseimbangan statis dan dinamis. Keseimbangan statis adalah kemampuan tubuh untuk dapat menjaga keseimbangan tubuhnya pada suatu posisi diam misalnya saat berdiri. Keseimbangan dinamis adalah kemampuan tubuh untuk dapat menjaga keseimbangan tubuhnya pada saat bergerak, misalnya saat berjalan (Sugiarto, 2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan adalah pusat gravitasi, garis gravitasi, baban tumpu, kecepatan reaksi dan koordinasi neuromuskular (Suhartono et al., 2013). Selain itu kelemahan muskuloskeletal dapat mempengaruhi line of gravity dan center of gravity. Dimana pada salah satu sisi tubuh mengalami kelemahan dan salah satu sisi normal akan menyebabkan center of gravity seseorang berpindah dan mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh (Colby dan Kisner, 2007). Studi meta analisis yang dilakukan oleh Sibley menyimpulkan bahwa tujuan pelatihan keseimbangan agar dapat mencapai:

(17)

stabilitas dinamik, integrasi sensoris (vision, vestibular dan somatosensoris) serta berpengaruh terhadap perbaikan sistem kognitif (Sibley et al, 2015).

Gangguan keseimbangan tubuh biasanya disebabkan oleh kelemahan otot ektremitas, stabilitas postural, dan juga gangguan secara fisiologis dari salah satu indera yang ada dalam tubuh kita, selain itu faktor lain seperti penuaan juag turut mempengaruhi dari keseimbangan (Jonathan, 2012). Penuaan bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang dapat ditandai dengan menurunnya kemampuan dan fungsi tubuh baik secara fisik maupun psikologis (Pudjiastuti, 2003). Pada umumnya suatu proses menua terjadi sejak usia 45 tahun dan dapat menimbulkan masalah pada usia sekitar 60 tahun yang di tandai dengan mengalami kemunduran atau perubahan morfologis pada otot-otot yang menyebabkan perubahan fisiologis yang terjadi pada otot, yaitu terjadi penurunan kekuatan otot, kontraksi otot, elastisitas otot, fleksibilitas otot, gangguan visual, vestibular, serta waktu reaksi (Nitz dan Choy, 2004).

Menurut Word Health Organization (WHO) 1974 batasan batasan lansia meliputi usia pertengahan (Middle Age) antara usia 45-59 tahun, usia lanjut antara usia 60-74 tahun, usia tua (Old) antara usia 75-90 tahun, dan usia sangat tua berusia sekitar 90 tahun ke tas. Menurut Depkes RI (2009), batasan lansia terbagi menjadi tiga kelompok yaitu masa lansia awal usia antara 46-55 tahun, masa lansia akhir antara usia 56-65 tahun, masa manula berusia 65 tahun ketas.

(18)

52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat (66,2 tahun). Pada tahun 2010, jumlah penduduk Lansia yang tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di perdesaan sebesar 15.612.232 (9,97%). Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1 tahun (Hamid, 2007).

Menurut Nugroho (2008) masalah yang sangat banyak sekali terjadi pada lansia terjadi pada masalah fisik salah satunya dalah jatuh. Dimana jatuh merupakan kejadian yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Banyak sekali faktor yang menyebabkan jatuh yaitu faktor intrinsik (host) dan fakrot ekstrinsik

(environmental) yang berasal dari dalam diri lansia itu sendiri seperti terjadinya gangguan gaya saat berjalan, permasalahan keseimbangan, permasalahn penglihatan, riwayat jatuh sebelumnya, permasalahan kognitif, usia, pencahayaan yang kurang, permukaan lantai yang licin atau kasar (Rubenstein dan Josephson, 2002).

Menurut KEPMENKES 80 tahun 2013 Bab I, pasal 1 ayat 2 dicantumkan

bahwa : “Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada

individu atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis

(19)

(promtive), pencegahan (preventive), pengobatan (curative), pemulihan (rehabilitative), dan pemeliharaan (maintenance)”(Nasution, 2015).

Maka salah satu bentuk pelayanan Fisioterapi adalah dengan memberikan latihan yang bersifat teratur dan terarah untuk meningkatkan keseimbangan dinamis dengan menggunakan latihan Jalan Tandem dan Latihan One Legged Stance.

Latihan Jalan Tandem merupakan suatu tes dan juga latihan yang dilakukan dengan cara berjalan dalam satu garis lurus dalam posisi tumit kaki menyentuh jari kaki yang lainnya, latihan ini dapat meningkatkan keseimbangan postural bagian lateral, yang berperan dalam mengurangi resiko jatuh pada orang tua. Latihan ini bertujuan untuk dapat melatih sistem propriorseptif yaitu untuk melatih sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan pada tubuh. Merupakan salah satu metode untuk menumbuhkan kebiasaan dalam mengontrol postur tubuh langkah demi langkah yang dilakukan dengan bantuan kognisi dan koordinasi otot trunk, lumbal spine, pelvic, hip, dan otot-otot perut hingga ankle (Batson et al., 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Cromwell et al (2006), dengan judul Tae Kwon Do : An Effective Exercise For Improving Balance and Walking Ability

Older Adults, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa latihan proprioseptif

(20)

Active Strengthening Exercise Lebih Baik Dalam Meningkatkan Dynamic Balance

Pasien Pasca Stroke”, penelitian tersebut menyimpulan bahwa latihan one leg stance/single leg stance merupakan latihan yang dapat emningkatkan stabilitasi pada ankle, area panggul maupun trunk dan juga untuk meningkatkan postural kontrol sehingga keseimbangan dinamis akan lebih mudah tercapai.

Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji dan memahami serta membuktikan perbandingan mengenai Perbedaan Pemberian Latihan Jalan Tandem dengan Latihan One Legged Stance untuk Meningkatkan Keseimbangan Dinamis Pada Lansia di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Apakah Latihan Jalan Tandem dapat meningkatkan Keseimbangan Dinamanis pada Lansia di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung?

2. Apakah Latihan One Legged Stance dapat meningkatkan Keseimbangan Dinamanis pada Lansia di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung?

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran umum mengenai perbedaann penerapan Latihan Jalan Tandem dengan Latihan One Legged Stance untuk meningkatkan Keseimbangan Dinamis pada Lansia di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Untuk membuktikan bahwa penerapan Latihan Jalan Tandem dapat meningkatkan Keseimbangan Dinamis pada Lansia di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. 2) Untuk membuktikan bahwa penerapan Latihan One Legged Stance

dapat meningkatkan Keseimbangan Dinamis pada Lansia di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.

3) Untuk membuktikan bahwa perbedaan pemberian Latihan Jalan Tandem dengan Latihan One Legged Stance untuk meningkatkan Keseimbangan Dinamis pada Lansia di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

(22)

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Dapat dijadikan salah satu pilihan tindakan Fisioterapi dalam mengurangi resiko jatuh pada lansia.

2. Sebagai bahan masukan bagi pasien dan keluarga bahwa gangguan keseimbangan pada Lansia dapat dicegah dengan melakukan terapi rutin.

3. Sebagai bahan masukan bagi tenaga-tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai perbandingan pemberian Latihan Jalan Tandem dengan Latihan One Legged Stance untuk meningkatkan Keseimbangan Dinamis pad

a Lansia di Banjar Muncan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.

(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Definisi

Usia lanjut adalah suatu tahap akhir dari siklus kehidupan manusia dan merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Berdasarkan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi batasan usia lansia menjadi: kelompok usia 45 – 59 tahun sebagai usia pertengahan (middle elderly), kelompok usia 60 – 74 tahun disebut lansia

(elderly), kelompok usia 75 – 90 tahun disebut tua (old), dan usia di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old). Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1998 menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Rohana, 2011).

(24)

2.1.2 Proses Menua

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang berlanjut secara alamiah, dimulai sejak lahir dan umunya dialami oleh semua makhluk hidup.

Dampak yang ditimbulkan dari proses menua antara lain adanya perubahan morfologis pada otot yang menyebabkan perubahan fungsional otot yaitu terjadi penurunan kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, penurunan fungsi proprioseptif serta kecepatan, gangguan sistem vestibular, visual dan waktu reaksi (Nitz dan Choy 2004).

2.1.3 Epidemiologi Gangguan Keseimbangan pada Lansia

Gangguankeseimbangan postural merupakan hal yang sering terjadi pada lansia. Apabila keseimbangan postural lansia tidak terkontrol, maka akan dapat meningkatkan resiko jatuh. Faktor risiko jatuh pada lansia meliputi faktor intrinsik

(25)

Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia yang berumur di atas 65 tahun mengalami jatuh. Angka ini cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Jatuh dan osteoporosis secara bersamaan mengakibatkan terjadinya fraktur panggul pada lansia. Sebanyak 38% lansia yang jatuh dan dirawat di rumah sakit mengalami fraktur panggul dan 90% kejadian fraktur panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun ke atas (British Columbia, 2004). Sekitar satu per empat kematian di AS disebabkan oleh jatuh dan terjadi pada 13% populasi lansia yang berusia di atas 65 tahun. Sekitar 30-73% lansia yang mengalami jatuh cenderung akan terjadi jatuh yang berulang. Jatuh yang berulang menjadi alasan utama ketergantungan lansia pada lingkungan sekitar.Efek panjang yang dirasakan lansia yaitu berkurangnya rasa percaya diri, depresi, hingga terisolasi secara sosial (Josephson dan Rubenstein, 2006).

2.1.4 Proses Penurunan Keseimbangan pada Lansia

(26)

Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa dan otot siliaris.Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedhet al., 2006).

Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular. Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah.Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20% jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis (Barnedhet al., 2006).

(27)

Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik.Hal ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan.Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut.Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus.Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009). Oleh karena itu, penurunan fungsi setiap sistem pada lansia akan menyebabkan penurunan pada keseimbangan.

2.2 Keseimbangan

2.2.1 Pengertian Keseimbangan

(28)
(29)

Keseimbangan bukanlah kualitas yang terisolasi, namun mendasari kapasitas kita untuk melakukan berbagai kegiatan yang merupakan kehidupan kegiatan normal sehari-hari (Huxham et al., 2001).

Keseimbangan merupakan kemampuan relatif untuk mengontrol pusat gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatutitik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan gravitasinya. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut harus berpindah untuk mengompensasi gangguan yang dapat menyebabkan orang kehilangan keseimbangannya (Barnedh, 2006).

Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh ketika tubuh lain bergerak (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014).

2.2.2 Keseimbangan Dinamis

(30)

dinamis saling berkaitan dan mutlak tidak dapat dipisahkan karena tubuh manusia jarang sekali dalam keadaan diam sempurna tanpa melakukan gerakan sama sekali. Tubuh secara berkesinambungan melakukan pengaturan postur yang tidak dapat dirasakan secara dasar .

Keseimbangan merupakan interintegrasi yang kompleks dari sistem sensorik (vestibular, visual, dan somatosensory termasuk proprioceptor) dan muskuloskeletal (otot, sendi, dan jaringan lunak lain) yang diatur dalam otak sebagai respon terhadap perubahan kondisi internal dan eksternal. Bagian otak yang mengatur meliputi basal ganglia, cerebellum, area asosiasi (Batson, 2009).

Equilibrium adalah sebuah bagian penting dari pergerakan tubuh dalam menjaga tubuh tetap stabil sehingga manusia tidak jatuh walaupun tubuh berubah posisi. Dinamis Equilibrium adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan posisi pada waktu bergerak. Keseimbangan bukanlah kualitas yang terisolasi, namun mendasari kapasitas kita untuk melakukan berbagai kegiatan yang bmerupakan kehidupan kegiatan normal sehari-hari (Huxham et al., 2001).

Pada posisi berdiri seimbang, susunan saraf pusat berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi dalam keadaan stabil dengan batas bidang tumpu tidak berubah kecuali tubuh membentuk batas bidang tumpu lain misalnya melangkah. Pengontrol keseimbangan pada tubuh manusia terdiri dari tiga komponen penting, yaitu sistem informasi sensorik (visual, vestibular dan somatosensoris),

central processing dan efektor (Army, 2012).

(31)

gangguan.Bagian vestibular berfungsi sebagai pemberi informasi gerakan dan posisi kepala ke susunan saraf pusat untuk respon sikap dan memberi keputusan tentang perbedaan gambaran visual dan gerak yang sebenarnya. Masukan (input)

proprioseptor pada sendi, tendon dan otot di kulit telapak kaki juga merupakan hal penting untuk mengatur keseimbangan saat berdiri statis maupun dinamik (Army, 2012).

Sistem saraf pusatberfungsi untuk memetakan lokasi titik gravitasi, menata respon sikap, serta mengorganisasikan respon dengan sensorimotor.Selain itu, efektor berfungsi sebagai perangkat biomekanik untuk merealisasikan renspon yang telah terprogram di pusat, yang terdiri dari unsur lingkup gerak sendi, kekuatan otot, sikap, serta stamina (Army, 2012).

Pada saat berdiri tegak, hanya terdapat gerakan kecil yang muncul dari tubuh, yang biasa disebut dengan ayunan tubuh.Jumlah ayunan tubuh ketika berdiri tegak dipengaruhi oleh faktor posisi kaki dan lebar dari bidang tumpu (Nugroho, 2011). Posisi tubuh ketika berdiri dapat dilihat kesimetrisannya dengan : kaki selebar sendi pinggul, lengan di sisi tubuh, dan mata menatap ke depan. Walaupun posisi ini dapat dikatakan sebagai posisi yang paling nyaman, tetapi tidak dapat bertahan lama, karena seseorang akan segera berganti posisi untuk mencegah kelelahan (Yuliana, 2014).

Keseimbangan dinamis dalam kehidupan sehari – hari merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan secara mutlak karena manusia jarang sekali dalam keadaan diam yang sempurna tanpa bergerak sama sekali (Setiati, 2006).

(32)

Keseimbangan tercipta apabila terdapat integritas antara tiga sistem sensorik (visual, vestibular, dan proprioseptif), sistem saraf pusat sebagai unit pemroses

(central processing), serta sistem neuromuskuloskeletal sebagai efektor melalui respon motorik untuk merespon perubahan gravitasi, pergerakan linear atau angular, dan perubahan lingkungan.

Sistem proprioseptif memiliki peranan dalam menjaga keseimbangan postural dan memiliki hubungan dengan traktus spinoserebralis posterior dan

anterior.Traktus ini membawa informasi proprioseptif dan postural dari ekstremitas bawah.Sinyal-sinyal yang dijalarkan dalam traktus spinoserebralis posterior terutama berasal dari kumparan otot dan sebagian kecil berasal dari reseptor somatik di seluruh tubuh, seperti organ tendon Golgi, reseptor taktil yang besar pada kulit, dan reseptor-reseptor sendi. Semua sinyal ini memberitahu serebelum tentang bagaimana keadaan (1) kontraksi otot, (2) derajat ketegangan tendon otot, (3) posisi dan kecepatan gerakan bagian tubuh, dan (4) kekuatan kerja pada permukaan tubuh (Guyton dan Hall, 2008). Traktus ini kemudian naik di

medulla spinalis ipsilateral masuk ke pedunkulus serebelum inferior dan berakhir di serebelum.Traktus spinoserebralis anterior menerima masukan somatosensorik dari batang tubuh dan ekstremitas atas, masuk ke radiks dorsalis, traktus tersebut menyilang dan naik ke serebelum melalui pedunkulus serebelum superior.Traktus ini membawa informasi proprioseptif dari batang tubuh dan ekstremitas atas dan sebagian kecil ekstremitas bawah (Barnerdhet al., 2006).

(33)

pontin dan nuklei retikular medular. Kedua rangkaian ini berfungsi secara antagonistik satu sama lain dimana nuklei retikular pontin akan merangsang otot-otot antigravitasi dan nuklei retikular medular berfungsi untuk merelaksasi otot yang sama (Guyton dan Hall, 2008).

Nuklei retikular pontin menjalarkan sinyal eksitasi menuju medula melalui

traktus retikulospinal pontin pada kolumna anterior medula spinalis. Serabut-serabut dari jaras ini berakhir pada neuron-neuron motorik bagian medial dan anterior yang merangsang otot-otot aksial tubuh yang berfungsi untuk melawan gravitasi, meliputi: otot-otot kolumna vertebra dan otot-otot ekstensor dari anggota tubuh. Sebaliknya nuklei retikular medular menjalarkan sinyal inhibitorik ke neuron-neuron motorik anterior antigravitasi yang sama melalui traktus yang berbeda, yaitu traktus retikulospinal medula yang terletak pada kolumna lateralis medula spinalis.Nuklei retikular medular menerima input kolateral yang kuat dari

traktus kortikospinal, traktus rubrospinal, dan jaras motorik lainnya dan secara normal semua sistem ini mengaktifkan sistem inhibitorik retikular medular untuk memberikan umpan balik sinyal eksitasi dari sistem retikular pontin, sehingga dalam keadaan normal, otot-otot tidak tegang secara abnormal (Guyton dan Hall, 2008).

(34)

eksitatorik dari berbagai otot antigravitasi untuk menjaga keseimbangan sebagai responnya terhadap sinyal dari apparatus vestibular (Guyton dan Hall,2008).Traktus vestibulospinalis lateralis mendapatkan informasi lewat

macula (utrikulus dan sakulus) dan berperan dalam percepatan linear.Pada waktu gerakan percepatan linear tersebut terjadi eksitasi neuron motorik ekstensor dan inhibisi neuron motorik fleksor.Sedangkan traktus vestibulospinalis medial

menjalar ke medulla spinalis servikal dan torakal atas fasikulus longitudinalis medial.Traktus vestibulospinalis medial terutama berfungsi mengatur refleks

vestibulospinal untuk stabilisasi kepala dan mata, traktus ini menghubungkan

kanalis semisirkularis ke neuron motorik servikalis yang menginervasi otot-otot leher (Barnerdhet al., 2006).

(35)

lambat. Sedangkan perubahan posisi yang cepat terutama dikompensasi oleh sistem proprioseptif (Barnerdhet al.s, 2006).

2.2.4 Komponen-komponen Pengontrol Keseimbangan

2.2.4.1 Sistem Informasi Sensoris

a. Sistem Visual

(36)

Gambar 2.1 Sistem Visual Sumber: anonim, 2009

Sistem visual memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan.Sekitar dua puluh persen serabut saraf dari mata berinteraksi dengan sistem vestibular. Gangguan visual yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan, di antaranya:

- aneisokonia adalah perbedaan kemampuan magnifikasi atau pembesaran dan pembentukan bayangan di retina pada mata kanan dan kiri,

- anisometropia adalah keadaan di mana terdapat perbedaan refraksi yang signifikan antara ke dua mata (perbedaan 10 Dioptri),

- diplopia(double vision) adalah keadaan melihat bayangan ganda akibat sumbu ke dua mata tidak parallel,

- gangguan fungsi binocular vision, yaitu gangguan dalam mengordinasikan ke dua mata sebagai satu kesatuan dalam aspek konvergensi dan divergensi dengan aspek akomodasi,

(37)

b. Sistem Vestibular

Aparatus vestibular merupakan organ sensoris untuk mendeteksi sensasi keseimbangan.Alat ini terbungkus di dalam labirin tulang.Dalam sistem ini terdapat tabung membran dan ruangan yang disebut labirin membranosa dan merupakan bagian fungsional dari apparatus vestibular. Labirin membranosa terdiri atas: koklea (duktus koklearis), tiga kanalis seminiverus, dan ruangan besar yaitu, utrikulus dan sakulus.Koklea merupakan organ sensorik utama pendengaran dan tidak berhubungan dengan keseimbangan.Kanalis seminiverusbertanggung jawab terhadap keseimbangan dinamis, yaitu keseimbangan saat tubuh sedang bergerak seperti berjalan atau dalam keadaan tidak seimbang (tersandung atau tergelincir), sedangkan fungsi dari utrikulus dan sakulus sebagai penjaga keseimbangan statis tubuh, yaitu berperan dalam kontrol postur dan monitoring kepala (Guyton dan Hall, 2008).Pada permukaan dalam utrikulus dan sakulus

terdapat daerah sensorik kecil yang disebut sebagai makula.Makula pada utrikulus

(38)

Gambar 2.2 Sistem Vestibular Sumber: Hidayat, 2008

Setiap makula ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang dilekati oleh kristal kalsium karbonat kecil yang disebut statokonia. Dalam makula, juga terdapat beribu-ribu sel rambut dan akan menonjolkan silia ke dalam lapisan gelatinosa tersebut. Setiap sel rambut mempunyai 50 sampai 70 silia kecil yang disebut

stereosilia, ditambah satu silium besar yang disebut kinosilium.Perlekatan filamentosa yang tipis, menghubungkan ujung setiap stereosilium dengan

strereosilum selanjutnya yang lebih panjang dan pada akhirnya ke kinosilium.

Apabila stereosilia melekuk ke arah kinosilium pelekatan filamentosa akan menarik stereosilia berikutnya ke arah luar badan sel dan mampu menghantarkan ion positif mengalir ke dalam sel dari cairan endolimfatik di sekelilingnya sehingga menimbulkan depolarisasi membran reseptor. Sebaliknya, pelekukan

(39)

Pada setiap makula, setiap sel rambut diarahkan ke berbagai jurusan sehingga beberapa dari sel rambut dapat terangsang ketika kepala menunduk ke depan, dan yang lainnya terangsang ketika kepala menengadah ke belakang atau ketika membelok ke salah satu sisi. Pola inilah yang nantinya memberitahukan kepada otak posisi kepala dalam ruangan, seperti yang dijabarkan pada Gambar2.3.

Gambar 2.3 Sel rambut dari alat keseimbangan Sumber: Yuliana, 2014

Setiap apparatus vestibularis terdapat tiga buah kanalis semisirkularis

dikenal sebagai kanalis semisirkularis anterior, posterior, dan lateral (horizontal) yang tersusun tegak lurus satu sama lain, sehingga kanalis ini terdapat dalam tiga bidang. Sel-sel rambut akan menjalarkan sinyal yang sesuai ke nervus vestibularis

(40)

jatuh secara tak terduga sama sekali, karena sebelum terjadinya ketidakseimbangan orang itu mulai mengadakan koreksi keadaan tubuhnya (Guyton dan Hall, 2008). Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap keseimbangan dijabarkan pada bagan Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap keseimbangan Sumber: Sugiarto, 2005

c. Sistem Somatosensorik

Somatosensorik adalah perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh yang berasal dari somatopleura yaitu kulit, otot, tulang, dan jaringan pengikatnya.Somatosensorik tediri dari perasaan dangkal (perasa eksteroseptif), perasa dalam (perasa proprioseptif), dan perasa luhur.Somatosensorik

(41)

eksteroseptif sederhana meliputi rasa nyeri, rasa suhu, dan rasa raba.Somatosensorik proprioseptif terdiri dari rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa tekan, rasa gerak, dan rasa sikap. Somatosensorik luhur adalah perasaan yang mempunyai sifat diskriminatif dan tiga dimensional, misalnya dengan meraba, menekan, dan merasakan suhu suatu benda dengan mata tertutup, dapat menentukan benda apa yang dipegang, dari bahan apa benda itu dibuat, dan sebagainya. Susunan somatosensorik adalah perantara untuk menyadari dan merasakan rangsang dari dunia luar.Dari susunan saraf perifer, rangsangan diteruskan melalui neuron-neuron ke susunan saraf pusat yang mengolah impuls, sehingga dapat menghasilkan suatu perasaan.Impuls tersebut dinamakan impuls aferen.Ada dua jenis susunan saraf yang digunakan untuk mengalirkan impuls aferen tersebut, yaitu susunan eksteroseptif dan susunan proprioseptif (Sugiarto, 2005).

Susunan proprioseptif adalah susunan saraf yang menghantarkan impuls rasa tekan, rasa gerak, rasa sikap, rasa getar, rasa nyeri dalam, dan rasa diskriminatif. Sel neuron sistem proprioseptif mempunyai neurit dan dendrit yang hampir sama panjangnya. Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui

kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui

lemniskus medialis dan thalamus(Willis, 2007).Macam-macam reseptor dalam sistem proprioseptif yaitu: korpus vaterpacini untuk rasa tekan, letaknya di bagian bawah kulit dan jaringan ikat, organ golgi di dalam tendon dan selaput sendi,

(42)

Golgi-Massoni ada dalam kulit untuk menangkap rasa tekan halus (Sugiarto, 2005). Pengaturan serebral dan sereberal terhadap gerakan voluntar yang melalui sistem somatosensorik dijabarkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Pengaturan Serebral dan Sereberal Terhadap Gerakan Voluntar Sumber: Guyton dan Hall, 2008

2.2.4.2Central Processing

Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan

(43)

dalam keadaan diam (statis) ataupun keadaan bergerak (dinamis). Komponen sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses kontrol postural yaitu:corteks, thalamus,basal ganglia, nuckelus vestibular, dan cerebellum (Suadnyana, 2013).

2.2.4.3 Efektor

a. Respon otot-otot postural yang sinergis

Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan (Irfan, 2012).

Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh.Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu.Gerak dengan pola normal berasal dari adanya perencanaan gerak yang diimplementasikan dalam bentuk aktivasi otot dengan kekuatan dan kecepatan yang sesuai (Irfan, 2012).

b. Kekuatan otot

(44)

(external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012).

Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak dan stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun dinamis.Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan dengan besaran tertentu (Irfan, 2012).

c. Range of Motion

(45)

Gambar 2.6 Bagan Fisiologi Keseimbangan Sumber: Barnedh, 2006

2.2.5 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan

2.2.5.1Pusat gravitasi (Centre of Gravity-COG)

(46)

stabilitas tubuh (stability limit). Stability limitadalah batas dari luas area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan tumpuan (Irfan, 2012). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Centre of Gravity

Sumber : Irfan, 2012

2.2.5.2Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)

Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan

(47)

Gambar 2.8 Line of Gravity

Sumber : Irfan, 2012

2.2.5.3Bidang tumpu (Base of Support-BOS)

(48)

Gambar 2.9 Base of Support

Sumber: Irfan, 2012

2.2.6 Penyusun Keseimbangan Postural

Kontrol postural tidaklah dianggap sebagai salah satu sistematauset dalam meluruskan dan mencapai keseimbangan refleks. Sebaliknya, kontrol postural dianggap sebagaiketerampilan motorik yang kompleks berasal dariinteraksi antara berbagai proses sensorimotor. Terdapat dua tujuan utama dalam kontrol postural yaitu: orientasi postural dan keseimbangan postural. Orientasi postural dipengaruhi oleh kontrol aktif alignment tubuh terhadap gravitasi, landasan penyangga, sistem visual, dan informasi internal.Orientasi spasial pada kontrol postural bergantung pada interpretasi sistem visual, vestibular, dan somatosensoris.Keseimbangan postural dipengaruhi oleh koordinasi sensorimotor untuk menstabilkan center of mass dan penjalaran eksternal pada stabilitas postural.

(49)

salah satu komponen dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dan meningkatkan kejadian jatuh pada lansia.

Gambar 2.10 Penyusun Keseimbangan Postural Sumber: Horak, 2006

2.2.6.1 Kendala Biomekanik (Biomechanical Constraints)

(50)

Gambar 2.11 Normal dan Abnormal Limits of Stability

Sumber: Horak, 2006

Pada gambar A menunjukkan lansia pria sehat yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas, sedangkan gambar B menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas. Gambar C menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke belakang, tetapi secara tiba-tiba mengambil langkah untuk melebarkan bidang tumpu. Secara singkat, batas stabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah anteroposterior atau mediolateral tanpa memindahkan bidang tumpu (Sibley et all.,2015).

(51)

2.2.6.2 Strategi Gerakan (Movement Strategies)

Sistem saraf pusat memiliki 3 sistem untuk menjaga keseimbangan setelah tubuh mengalami perturbasi/gangguan, di antaranya: refleks regang, respon postural otomatis, dan respon volunter. Respon postural otomatis berhubungan dengan long loop reflexes yang biasanya terjadi sekitar 100-120 msec pada orang dewasa normal. Respon postural otomatis diinformasikan melalui situasi feedback

dan feedforward.Feedforward mendeskripsikan mengenai pengaturan sistem saraf pusat dalam mengatur respon postural saat mengantisipasi suatu perubahan posisi tertentu.Sebagai contoh pada gerakan menangkap bola. Gerakan menangkap bola merupakan gerakan yang disadari atas perubahan pusat gravitasinya, tetapi respon postural otomatis setidaknya akan memprediksi keadaan ini dengan mengantisipasi gerakan volunteer dalam rangka menstabilisasi pusat gravitasi tubuh sehingga perubahan sikap atau gerakan terhadap stimulus yang diberikan akan menjadi akurat. Sementara, feedback berhubungan dengan situasi dimana tubuh mendapatkan gaya eksternal, seperti: tergelincir atau terdorong. Maka, pusat gravitasi tubuh berubah dan sistem saraf pusat berperan dalam mengatur respon postural untuk menyesuaikan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu.Respon yang diberikan dapat berupa respon protektif atau respon korektif (Guccione, 2001).

(52)

melakukan respon otot) dan sequence (ketepatan gerakan respon otot). Nashner menjelaskan mengenai 3 strategi gerakan sebagai respon normal dalam mengantisipasi perturbasi postural yang tidak diinginkan. (1). Ankle Strategy

digunakan pada perubahan bidang tumpu yang cukup kecil. Pada strategi ini, aktivasi otot dilakukan dari distal ke proksimal yaitu mengaktivasi otot-otot bagian ekstremitas bawah. Misalnya, saat tubuh mengalami kehilangan keseimbangan ke arah belakang, maka otot yang akan diaktivasi pertama kali yaitu m. tibialis anterior (100 msec) yang diikuti oleh m. quadriceps dan m. abdominal. Sebaliknya, apabila tubuh kehilangan keseimbangan ke arah depan maka otot yang akan diaktivasi yaitu: m. gastrocnemius, m. hamstring, dan m. paraspinal. (2). Hip Strategy terjadi ketika perturbasi besar atau pusat gravitasi tubuh mendekati limit of stability (batas stabilitas) akibat bidang tumpu yang tidak stabil. Tujuan dari strategi ini yaitu mempertahankan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu dengan mengaktivasi tubuh bagian proksimal ke distal. Pada forward swayakan mengaktivasi m. abdominal dan m. quadriceps,

sedangkan backward sway akan mengaktivasi m. paraspinal dan m. harmstring.

(3). Stepping strategy terjadi saat perturbasi dalam jumlah yang sangat besar yaitu pusat gravitasi tubuh melebihi batas stabilitas. Strategi ini digunakan untuk memperbesar bidang tumpu sehingga dapat mempertahankan keseimbangan (Nashner et all., 1979).

2.2.6.3 Strategi Sensoris (Sensory Strategies)

(53)

yang cukup terang dengan basis yang kuat dari dukungan, orang sehat mengandalkan informasi somatosensori (70%), visual (10%), dan vestibular (20%).Namun, ketika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak stabil, merekameningkatkan bobot sensorik untuk vestibulardan informasi visual mereka serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi postural (Peterka, 2002).

Kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik (re-weight sensory) bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga stabilitas ketika seorang individu bergerak dari satu konteks sensori ke yang lainnya. Seorang individu dengan gangguan defisit periperal pada sistem vestibular atau somatosensori (neuropati) akan mengalami keterbatasan dalam kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik dan memiliki peluang jatuh lebih tinggi (Horak, 2006).

2.2.6.4 Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space)

(54)

kemampuan untuk menyelaraskan tubuh dalam ruang tanpa visual. Ketiadakakuratan referensi internal pada vertikalitas akan menghasilkan keselarasan (alignment) postural otomatis yang tidak selaras dengan gravitasi dan membuat seseorang tidak stabil (Bisdorff et al., 1996).

2.2.6.5 Kontrol Dinamik (Control of Dynamics)

Mengontrol keseimbangan selama berjalan dan ketika berpindah dari satu postur ke lainnya memerlukan kontrol yang kompleks dari pusat gravitasi tubuh. Tidak seperti dalam posisi tegak, pusat gravitasi tubuh tidak dalam basis dukungan kaki ketika berjalan atau berubah dari satu postur ke yang lain (Winter

et al., 1993). Stabilitas postural ke arah depan selama berjalan datang dari ayunan ekstremitas di bawah jatuhnya pusat gravitasi. Namun, stabilitas lateral berasal dari kombinasi kontrol tubuh bagian lateral dan peletakan kaki bagian lateral (Bauby dan Kuo, 2000). Seorang lansia yang rentan terhadap jatuh cenderung memiliki penempatan lateral yang lebih besar dari pusat gravitasi tubuh serta penempatan kaki secara lateral dan tidak teratur (Prince et al., 1997).

2.2.6.6 Proses Kognitif (Cognitive Processing)

(55)

kinerja tugas postural juga terganggu oleh tugas kognitif sekunder (Camicioli et al, 1997). Individu yang memiliki pengolahan kognitif yang terbataskarena gangguan neurologis dapat menggunakan lebih dariproses kognitif yang tersedia untuk mengendalikan postur. Jatuh merupakan hasil dari proses kognitif yang tidakcukup untuk mengontrolpostur sementara sibuk dengan tugas kognitif sekunder lainnya (Horak, 2006).

2.2.7 Resiko Jatuh Pada Lansia

Gangguan keseimbangan akan mengakibatkan resiko jatuh pada lansia (Siburian, 2006). Jatuh merupakan maslah fisik yang sering dialami oleh lansia akibat proses penuaan (Pudjastutiet al., 2003). Jatuh dapat mengakibatkan nyeri, terkilir, patah tulang, kelumpuhan, bahkan kematian. Hal ini menimbulkan rasa takut dan hilangnya rasa percaya diri sehingga lansia membatasi aktivitasnya sehari-hari yang menyebabkan menurunnya kualitas hidup (quality of life) pada lansia yang menglaminya. Penurunan kekuatan otot ektrimitas bawah dapat mengakibatkan kelambanan gerak, langkah pendek, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih gampang goyah, sudah atau terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset dan tersandung. Beberapa indikator ini dapat meningkatkan resiko jatuh pada lansia (Darmojo dan Matono, 2009).

2.3 Latihan Jalan Tandem

2.3.1 Definisi Jalan Tandem

(56)

lurus dalam posisi tumit kaki menyentuh jari kaki yang lainnya sejauh 3meter (Batson, 2009). Latihan ini dapat meningkatkan keseimbangan postural bagian lateral, yang berperan dalam mengurangi resiko jatuh pada lanjut usia. Latihan ini bertujuan untuk melatih sistem proprioseptifyaitu untuk melatih sikap atau posisi tubuh. Merupakan salah satu metode untuk menumbuhkan kebiasaan dalam mengontrol postur tubuh langkah demi langkah yang dilakukan dengan bantuan kognisi dan koordinasi otot trunk, lumbal spine, pelvic, hip, otot-otot perut hingga

ankle. (Batson, 2009)

Menurut Batson (2009) latihan jalan Tandemada dua bentuk latihan yaitu latihan jalan Tandemmaju dan latihan jalan Tandemmundur. Latihan Jalan Tandembiasanya digunakan untuk tes koordinasi atau biasanya dilakukan pada tes neurologis. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian bahwa setidaknya membutuhkan dua atau tiga indra dalam menjaga keseimbangan berdiri dan berjalan yaitu proprioseptif, vestibular, dan visual. Menjaga keseimbangan dalam posisi dinamis bergantung pada sensory pathways yang dilakukan noleh corticospinal (pyramidal) tract dan medial lateral vestibular tract. Sensori motor integration centre yang dilakukan oleh cerebellum dan dorsal collum medial lemniskus tract (Nasution, 2015).

Analisa latihan jalan Tandemdilihat dari gerakan kaki dan dimana

(57)

Gerakan yang bergoyang juga menunjukkan kesaddaran kedudukannya dalam suatu tempat (Batson, 2009)

Keuntungan latihan jalan Tandemadalah salah satu dari latihan balance exercise

yang dapat melatih sikap tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan garakan tubuh serta meningkatkan kekuatan otot ektrimitas inferior. Sedangkan kekurangan latihan jalan Tandemadalah gangguan cerebellar atau kelemahan vestibular dapat menghasilkan penyimpanan berjalan ke sisi yang lemah. Individu dengan gangguan vestibular atau atau kronis biasanya gagal tes atau latihan ini (Nasution, 2015).

Latihan jalan Tandemmaju sangat spesifik dan sering non localizing.

Kebanyakan ahli kesehatan merasa bahwa jatuh ke salah satu sisi tidak selalu menunjukkan ke sisi lesi. Beberapa individu yang sehat mungkin mengalami kesulitan dalam melakukan latihan jalan Tandem, sehingga untuk menentukan adanya gangguan vestibular dibutuhkan tes tambahan yang lebih spesifik misalnya Time Up Go Test (TUGT) dan lain-lain(Batson, 2009).

2.3.2 Tujuan Latihan Jalan Tandem

Latihan jalan Tandemmerupakan salah satu latihan yang bertujuan melatih sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Latihan jalan Tandemdigunakan pula untuk melatih parameter yang terkait dengan keseimbangan individu, kontrol mutlak atas mobilitas dan ketetapan mobilitas (Batson, 2009).

(58)

Individu dengan masalah koordinasi gerak motoriknya tidak akan lulus dalam tes ini. Dosis yang di anjurkan untuk dapat menghasilkan keseimbangan yang adekuat adalah 4 minggu(Batson, 2009).

2.3.3 Teknik Pelaksanaan Latihan Jalan Tandem

Teknik pelaksanaan Latihan Jalan Tandemmenurut Batson(2009),yaitu: a. Subyek berdiri tegak dan nyaman dengan kedua kaki

b. Pandangan subyek mengarah ke kaki

c. Latihan dimulai subyek diminta untuk berjalan maju pada jalur (satu garis lurus) dengan menempatkan kaki kanan menyentuh tumit kaki kiri dan berjalan sejauh 3 meter.

d. Lakukan sebanyak 10 kali bolak-balik kemuadian istirahat.

2.3.4 Mekanisme Latihan Jalan TandemMeningkatkan

Keseimbangan Dinamis Pada Lansia

Pada Latihan Jalan Tandem propriorseptifakan menginformasikan presisi gerak dan reflek muscular yang berkontribusi pada pembentukan stabilitas dinamis pada sendi. Tujuan latihan proprioseptif adalah untuk dapat melatih kembali jaras afferent untuk mengembangkan sensasi gerakan sendi dan aktivasi motorik pada sistem saraf pusat. Latihan proprioseptifsangat penting untuk dilakukan karena umpan balik proprioseptif akan meningkatkan dan mempertahankan stabilitas fungsional sendi (Batson, 2009).

(59)

secara semi otomatis, karena sejatinya aktivitas stablitasi merupakan sistem yang berlangsung pada central pattern generator (CPG). Pada perkembangan manusia fungsi CPG yang benar menjadi bergantung pada integrasi saraf yang lebih tinggi, yaitu pada sistem saraf pusat, pada cortex cerebral. Aktivasi otot sekuensi temporal melibatkan CPG spinal dan integrasi sirkuit neural dengan input pusat otak yang lebih tinggi. Untuk mencapai gerakan semi otomatis yang dimaksud maka latihan proprioseptifjuga melibatkan gerakan yang lambat dalam setiap perpindahan gerak dan posisi untuk memberikan kesempatan pada nuclei subcortal dan basal ganglia untuk menganalisa posisi yang mengirimkan umpan balik berupa kontraksi otot yang diharapakan. Latihan inilah yang kemudian akan diadaptasi pada CPG sebagai stabilitas fungsional yang baru (Batson, 2009).

(60)

dosis yang dianjurkan untuk dapat menghasilkan keseimbangan yang adekuat adalah 4 minggu (Batson, 2009).

2.4 Latihan One Legged Stence

2.4.1 Definisi Latihan One Legged Stence

Latihan One Legged stance merupakan suatu tes dan latihan yang dapat meningkatkan stabilitasi pada ankle, area panggul maupun trunk dan juga untuk meningkatkan postural kontrol sehingga keseimbangan dinamis akan lebih mudah tercapai. (Widayanto, 2015).

(61)

2.4.2 Tujuan Latihan One Legged Stence

Latihan ini merupakan salah satu latihan yang bertujuan melatih sikap atau posisi pertahanan tubuh sehingga dapat mengontrol keseimbangan, dan gerakan tubuh pada keseimbangan dinamis individu, serta kontrol mobilitas dan ketetapan mobilitas pada tubuh (Widayanto, 2015).

Latihan ini juga memerlukan aktivasi otot yang optimal pada sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan dengan kemampuan pertahanan saat berdiri dengan satu tungkai secara bergantian yang bertujuan untuk melatih kemampuan keseimbangan dinamis pada tubuh menjadi meningkat dan lebih optimal (Widayanto, 2015).

2.4.3 Teknik Pelaksanaan Latihan One Legged Stence

Teknik pelaksanaan latihan one legged stance :

a. Pasien berdiri tegak dan nyaman dengan kedua kaki.

b. Tangan Pasien mengarah dan menyentuh tembok tepat pada arah depan tubuhnya.

c. Pandangan lurus ke depan.

d. Tes dimulai dengan menginstrusikan pasien untuk berdiri tegak dengan satu kaki, dalam artian pasien mengangkat salah satu kakinya membentuk sudut 900 (fleksi knee 900) satu kaki yang menumpu sejajar atau datar dengan lantai atau permukaan keras yang datar. Mata pasien terbuka dan pandangan lurus ke depan.

e. Pasien Hitung waktu kemampuan berdiri pasien dengan menggunakan

(62)

f.Ulangi latihan sebanyak 3 kali dan 45 detik.

g. Latihan selesai jika tangan bergerak menyentuh suatu benda yang digunakan untuk menopang, kaki yang menumpu bergerak, dan kaki yang diangkat menyentuh lantai (Laksono, 2013).

2.4.4 Mekanisme Latihan One Legged Stence terhadap

Keseimbangan Dinamis Pada Lansia

Kemampuan optimal pada weight sifting mutlak diperlukan dalam menjaga fungsi keseimbangan dinamis kemampuan active weight shifting dapat dibentuk dengan beberapa latihan yang dimulai pada posisi berdiri yang dapat ditingkatkan dengan one legged stance exercise (Widayanto, 2015).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cromwell et al.,(2006), dengan judul Tae Kwon Do : An Effective Exercise For Improving Balance and Walking Ability Older Adults, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa latihan proprioseptifdengan walking Exercise / Standing Exercise mampu meningkatkan keseimbangan pada Lansia. Dan menurut penelitian yang dilakukan oleh Widayanto, (2015), dengan judul “Penambahan Activeone Leg Standing Exercisepada Active Strengthening Exercise Lebih Baik Dalam Meningkatkan

(63)

One Legged Stance dilakukan dengan menggunakan kemampuan berdiri dan menumpu dengan satu tungkai atau berdiri dengan beban tubuh yang disangga oleh salah satu tungkai saja. Kemampuan ini memerlukan aktivasi otot yang optimal pada sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan dengan kemampuan berdiri dan menumpu satu tungkai yang optimal akan sangat mendukung kemampuan keseimbangan dinamisnya. Latihan ini dilakukan dengan mengangkat salah satu kakinya membentuk sudut 900 (fleksi knee 900) satu kaki yang menumpu sejajar atau datar dengan lantai atau permukaan yang datar. Mata pasien terbuka dan pandangan lurus ke depan, dengan 45 detik sebanyak 3kali pengulangan latihan dengan tangan menyentuh tembok (Young et al., 2012).

Tujuan latihan ini yaitu melatih sikap atau posisi pertahanan tubuh sehingga dapat mengontrol keseimbangan, dan gerakan tubuh pada keseimbangan dinamis individu, serta kontrol mobilitas dan ketetapan mobilitas pada tubuh. Latihan ini juga memerlukan aktivasi otot yang optimal pada sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan dengan kemampuan pertahanan saat berdiri dengan satu tungkai secara bergantian yang bertujuan untuk melatih kemampuan keseimbangan dinamis pada tubuh menjadi meningkat dan lebih optimal. Kemampuan optimal pada weight sifting mutlak diperlukan dalam menjaga fungsi keseimbangan dinamis kemampuan active weight shifting dapat dibentuk dengan beberapa latihan yang dimulai pada posisi berdiri yang dapat ditingkatkan dengan

one legged stance exercise (Widayanto, 2015).

(64)

di sisi tubuh yang digunakan sebagai tumpuan, sebagai aktivasi otot-otot tungkai yang di gunakan untuk menumpu, meningkatnya kemampuan sistem somatosensoris dalam menyampaikan informasi ke sistem saraf pusat, dan meningkatnya kemampuan pada otot-otot pada ankle dan kontrol gerakan saat digunakan untuk menumpu (Raineet al., 2009).

2.5 Time Up and Go Test(TUGT) Sebagai Tes Pengukuran Keseimbangan

Dinamis

2.5.1 Definisi

Pengukuran keseimbangan menggunakan Times Up Go Test

(TUGT)merupakan suatu tes yang dapat digunakan pada lansia untuk mengukur kecepatan terhadap aktivitas yang mungkin menyebabkan gangguan keseimbangan.

2.5.2 Prosedur Pelaksanaan

Prosedur pengukuran keseimbangan dinamis dengan menggunakan times up go test (TUGT).

1) Peneliti menyiapkan kursi dengan sandaran dan penyangga lengan, stopwatch, dinding.

2) Waktu tes 10 detik - 3 menit.

(65)

dinding, kemudian berbalik tanpa menyentuh dinding dan berjalan kembali menuju kursi. Sesampainya di depan kursi pasien berbalik dan duduk kembali bersandar. Waktu dihitung sejak aba-aba “mulai” hingga pasien duduk bersandar kembali. (Shumwayet al., 2000).

Pasien tidak diperbolehkan mencoba atau berlatih lebih dulu, stopwatch

(66)

Tabel 2.1.

Pengukuran Keseimbangan Dinamis dengan Times Up and Go Test (TUGT)

Sumber: (Shumwayet al., 2000)

No. Waktu Interpretasi

1. < 10 detik Normal

2. < 20 detik Baik

3. > 30 detik Problem dalam berjalan

Gambar

Gambar 2.1 Sistem Visual
Gambar 2.2 Sistem Vestibular
Gambar 2.4 Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap keseimbangan
Gambar 2.5 Pengaturan Serebral dan Sereberal Terhadap Gerakan Voluntar
+7

Referensi

Dokumen terkait