KOMPAS
o
Sabtu12
13
27
28
OSep
OOkt
o Selasa 0 Rabu 0 Kamis 0 Jumat
~
5
6
7
8
9
10
11
20
21
22
23
24
25
26
.Mar
OApr
OMel
OJun
OJul
0 Ags
o
Minggu
14
15
16
29
30
31
ONov
ODes
Jalan Terjf1!_T~lf}visi
-
--
'"'
Berjaringan
-
--
---Oleh
DEDE
MULKAN
S
terapkan secara tegas sejak 28 Desember 2009. Na-
istem stasiun televisi beIjaringan (SSB) semestinya
di-mun, PengurusAsosiasi Televisi Swasta Indonesia,
Uni Lubis, mengatakan, pelaksanaan siaran beIjaringan
membebani industri televisi swasta. Demikian diungkapkan
dalam diskusi terbuka yang diselenggarakan Masyarakat
Ko-munikasi dan Infonnasi bertema "Sewindu UU Penyiaran",
Rabu, 17 Februari 2010, di Jakarta.
Komisi Penyiaran Indonesia (}(PO dan Kernenterian Kornuni-kasi dan Infonnatika sendiri lebih senang rnemilih "jalan tengah" yang ditawarkan, dengan harapan rnenjadi solusi yang saling rneng-untungkan bagi televisi di Jakarta dan televisi lokal di daerah. Jalan tengah yang dimaksud, stasiun te-levisiyang ada di Jakarta rnasih di-beri kebebasan rnelakukan siaran ke seluruh pelosok Tanah Air asal bisa rnenayangkan rnuatan lokal 10persen. Di sinilah letak persoal-annya.
Persoalan pertama, apa indika-tor bahwa sebuah tayangan televi-si bisa disebut tayangan bennua-tan lokal? Katakanlah ternan-te-rnan di KPID (Jawa Barat) telah rnerumuskan rnuatan lokal de-ngan pengertian sebagai "peristi-wa, keadaan, dan kehidupan yang berkaitan dengan kebutuhan dan keinginan publik di wilayah siaran lernbaga penyiaran yang bersang-kutan". Namun, persoalan yang rnuncul kernudian, bagaimana ea-ra rnengetahui "keinginan" atau "kebutuhan" publik di wilayah Ja-bar? Apakah dengan hanya rnene-bak-nebak, rnengikuti tren yang ada, atau rnelalui riset rnendalam?
Di sisi lain stasiun televisi yang
ada diJakarta rnemilikipernaham-an berbeda pula rnengenai rnuatrnemilikipernaham-an lokal ini Mereka, misalnya, ber-anggapan, saat ini pun sebenarnya televisi Jakarta sudah rnenayang-kan rnuatan-rnuatan lokal,dengan cara rneliput obyek-obyek wisata dan kuliner yang ada di daerah. Dan itu rnereka sebut sebagai rnu-atan lokal.
Persoalan kedua yang rnungkin
rnuncul, bagaimana caranya
rnenghitung rnuatan lokal dengan persentase 10 persen itu. Apakah dihitung per hari, per minggu,atau per bulan? Misalnya,jikadalam se-hari-sernalam sebuah stasiun tele-visi rnengudara selama 24 jam, berarti harus ada rnuatan lokal se-banyak 2,4jam sehari. Apakah ini rnungkin dilakukan stasiun televi-si yangrnengudara secara natelevi-sional itu?
Persoalan ketiga, ukuran lokal itu apakah hanya sampai pada ba-tas wilayah provinsi atau kabupa-ten? Persoalan keernpat, bukan-kah sebuah lokalitas provinsi itu terdiri dari lokalitas-lokalitas ka-bupaten. Provinsi Jawa Barat, mi-salnya, rnerupakan bagian dari 10-kalitas kabupaten yang ada dalam wilayahnya. Lalu apakah nanti rnuatan lokalyang10persen
ituju--
- -
-.
-..
~ --
-Kliping Humas Unpad 2010
---t
.1'.1ga akan rnenjangkau sampai ke ba-tas wilayah kabupaten di dalam provinsi?
Tetap terpuruk
Menurut saya, keputusan jalan tengah ini justru akan rnenimbul-kan rnasalah barn yang ujung-ujungnya tetap saja tidak berpihak kepada televisi lokal di daerah. Te-levisi lokal akan tetap "terpuruk" seperti saat ini, tidak rnemiliki dana rnernadai untuk rnernbuat sebuah program yang diminati, tidak rnemiliki SDMandal sebagai syarat dihasilkannya program berkualitas. Sernua itu tentu ber-awal dari keterbatasan pennodal-an ypennodal-ang dimiliki pengelola televisi lokal karena kue iklan di daerah-nya "diserobof' oleh televisi di Ja-karta
Saya kira, cepat atau lambat langkah tegas harus diambil oleh berbagai pihak untuk "rnenghenti-kan" siaran televisi yang ada di Ja-karta ke daerah-daerah. Caranya, dengan tegas rnenerapkan UU No 32/2002 tadi. UU ini rnengama-natkan tidak ada penyelenggaraan siaran televisi nasional. Mereka harus rnemiliki jaringan siaran di daerah. Televisi "nasional" harus rnau rnenggandeng televisilokalji-ka siarannya ingin sampai ke dae-rah.
Target penyelenggaraan siaran televisi jaringan ialah agar siaran televisi tidak terpusat, dan diha-rapkan terjadi pertumbuhan in-dustri siaran televisi di daerah. Manfaat bagi rnasyarakat lokal,pa-ling tidak rnereka akan rnendapat-kan infonnasi yang berguna bagi daerahnya, tennasuk desentrali-sasi profit yang selama ini diserap dan digunakan oleh stasiun pusat
,
~
I ...
,
.~
diJakarta.
Memang bisa dipahamijika UU No 32/2002 tentang Penyiaran tersebut secara tegas dilaksana-kan, kesulitannya adalah karena perusahaan televisi "nasional" yang ada saat ini sudah go public sehingga untuk menjual saham-nya di daerah cukup sulit. Untuk menyelenggarakan siaran televisi jaringan, sedikitnya ada 14 per-aturan perundang-undangan yang harns dikaji lebih mendalam, se-perti UU Pasar Modal dan UU Per-seroan.
Simpang slur
Boleh jadi, penguluran waktu penerapan ketentuan berjaringan inijuga diakibatkan karena adanya "kesimpangsiuran pemahaman" tentang SSBdan pemahaman per-sepsi yang berbeda. Kesimpangsi-uran terhadap pemahaman ini ter-jadi di kalangan pemerintah, dustri televisi "nasional", KPI, in-dustri televisi lokal, asosiasi,peng-amat, akademisi, dan sebagainya. Kondisi ini tentu saja mengun-tungkan "pihaktertentu".
Dalam sebuah diskusi di Yogya-karta bahkan terindikasi bahwa kesimpangsiuran, .isu kesiapan sumber daya lokal, regulasi, biaya investasi, diversity of ownership, dan lainnya sengaja diciptakan un-tuk memberi alasan yang cukup bagi penundaan SSBini.
Semestinya konsep televisi ber-jaringan ini tidak diciptakan (di-arahkan) agar televisi "nasional" menciptakan sendiri jaringannya di daerah. Itu karena esensi SSB, yakni adanya desentralisasi dan demokratisasi industri penyiaran, tidak akan tercapai. Industri pe-nyiaran akan tetap dimiliki
sege-WlIUR
lintir orang. Mereka akan tetap menjadi "tuan rumah" di semua wilayah penyiaran di negeri ini. Publik lokal hanya akan menjadi penoqton. Bahkan, potensi indus-tri penyiaran lokal pun tidak akan dapat diberdayakan.
Konsep televisi berjaringan se-mestinya diarahkan agar muncul potensi-potensi lokal di daerah. KPID bersama unsur-unsur lokal, seperti pemerintah daerah, DPRD, Kadin, pengusaha, dan tentu saja pengelola televisi lokal itu sendiri, berupaya menciptakan prakondisi yang memadai agar tidak ada alas-an untuk tidak menerapkalas-an SSBdi wilayahnya. KP,IDbersama mitra lokal harns memacu kesiapan in-dustri penyiaran lokal, misalnya dengan cara memberdayakan tele-visi lokal yang ada dan mencipta-kan berdirinya stasiun televisi 10-kal barn yangmemadai.
Jikapmensiindustripenyiaran lokal dalam kondisi memadai, pe-laksanaan SSBmenjadi sebuah ke-harusan untuk dilaksanakan. Tele-visi-televisi lokal itulah, baik yang sudah mengudara maupun yang barn siap mengudara, nanti men-jadi tuan rumah di wilayahsendiri. Mereka siap "dipinang" televisi-televisi mapan yang bersiaran dari Ibu Kota.
Upaya-upaya melaksanakan
SSBhinggasaat ini memang terasa masih menjadi sebuah jalan pan-jang dan terjal. Diperlukan usaha dan kerja keras dari berbagai ele-men yang ada di daerah agar tele-visi lokalbisa hidup secara mapan.
DEDE MULKAN
Dosen di Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi,
Universitas Padjadjaran